Oleh:
RESTIANA RUBA’ C.10.14201.039 IIIA
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa, atas bimbingan dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyusun makalah ini yang berjudul ’’ASKEP PADA PASIEN GUILLAIN BARRE SYNDROME’’ dengan baik dan dapat selesai tepat pada waktunya. Tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih buat dosen pembimbing saya Ibu Mathilda Paseno skep, Ns. dan juga berkat kerja sama semua pihak khusunya teman- teman kelompok dan temanteman lain yang ada dilingkungan STIK STELLA MARIS.
Saya menyadari bahwa makalah saya ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu saya
sangat
mengharapkan
partisipasi
dan
dukungan
dari
teman-teman
dalam
upaya
penyempurnaan makalah saya ini.
Sebelumnya kami ucapkan terima kasih dan minta maaf jika ada kata atau sesuatu hal yang kurang berkenan di hati dosen dan teman-teman sekalian.
Penulis
Restiana Ruba’
BAB I PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
GBS adalah penyakit langka atau yang jarang terjadi, menyebabkan kelemahan dan kehilangan sensasi yang biasanya sembuh total dalam waktu mingguan atau bulanan. Nama GBS berdasarkan nama 2 orang dokter dari perancis yaitu Guillain (Ghee-lan) dan Barre (Bar-ry) yang menemukan pada tahun 1916 pada tentara yang terkena paralisis, tetapi kemudian sembuh. Penyakit ini mengenai sekitar 1 dari 40.000 tiap tahunnya yaitu sekitar 1500 orang tiap tahunnya di Inggris. Penyakit ini bisa timbul pada semua usia akan tetapi lebih sering pada usia tua. Lebih sering pada pria dibandingkan wanita. Bukan penyakit keturunan, bukan penyakit menular. Akan tetapi penyakit ini sering berkembang seminggu atau dua minggu bahkan sampai setelah infeksi pada usus atau tenggorokan.
1.1.
Tujuan Umum
Mahasiswa memiliki wawasan tentang konsep
asuhan
keperawatan
GBS.
Dengan konsep dan teori tersebut mahasiswa mampu melakukan pengkajian, merumuskan dan menetapkan diagnosa, membuat perencanaan, mengimplementasikan serta
melakukan
evaluasi
dari
implementasi
yang
telah
mendokumentasikan seluruh proses dan hasil asuhan keperawatan.
1.2.
Tujuan khusus :
Setelah mengikuti perkuliahan mahasiswa diharapkan dapat : I. Memahami konseptual GBS a)
Menjelaskan pengertian GBS
b)
Menjelaskan anatomi fisiologi GBS
c)
Menyebutkan etiologi GBS
d)
Menjelaskan patofisiologi GBS
e)
Menyebutkan manifestasi klinik GBS
f)
Menyebutkan pemeriksaan diagnostik GBS
dilakukan
kemudian
II.
g)
Menyebutkan komplikasi GBS
h)
Menyebutkan penatalaksanaan medik GBS
Mengaplikasikan Asuhan Keperawatan GBS a.
Membuat pengkajian keperawatan
b.
Merumuskan diagnosa keperawatan
c.
Merencanakan asuhan keperawatan
d.
Mengimplementasikan rencana asuhan keperawatan
e.
Mengevaluasi asuhan keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONSEP MEDIK 1. Definisi
GBS adalah penyakit langka yang menyebabkan tubuh menjadi lemah kehilangan kepekaan yang biasanya dapat sembuh sempurna dalam hitungan minggu, bulan atau tahun. GBS mengambil nama dari dua Ilmuwan Perancis, Guillain (baca Gilan) dan Barré (baca Barre), yang menemukan dua orang prajurit perang di tahun 1916 yang mengidap kelumpuhan kemudian sembuh setelah menerima perawatan medis. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialil. GBS merupakan suatu sindroma klinis dari kelemahan akut ekstermitas tubuh yang disebabkan oleh kelainan saraf tepi dan bukan oleh penyakit yang sistematis. Jadi disimpulkan bahwa GBS adalah penyakit akibat sistem kekebalan tubuh menyerang sistem selaput saraf yang menyebabkan kelemahan akut ekstermitas tubuh. Pada umumnya penyakit ini didahului oleh infeksi. Proses penyakit mencakup demielinisasi dan degerasi selaput mielin dari saraf perifer dan kranial. Penyakit ini menjangkiti satu dari 40,000 orang tiap tahunnya. Bisa terjangkit di semua tingkatan usia mulai dari anak-anak sampai dewasa, jarang ditemukan pada manula. Lebih sering ditemukan pada kaum pria. Penyakit ini sering ditemukan pada usia produktif (20 – 40 tahun). Bukan penyakit turunan, tidak dapat menular lewat kelahiran, terinfeksi atau terjangkit dari orang lain yang mengidap GBS. Namun, bisa timbul seminggu atau tiga minggu setelah infeksi usus atau tenggorokan.
2. Anatomi Fisiologi
Neuron terdiri dari: 1. Axon Axon merupkan serat saraf utama neuron, yang berfungsi menghantarkan impuls keluar dari badan sel. Axon adalah bagian yang menyampaikan impuls ke neuron lain, otot dan kelenjar. Berukuran panjang dan berbentuk silinder tipis, tempat lewatnya sinyal listrik yang dimulai dari dendrit dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke neuron lain atau ke otot atau ke kelenjar. Akson juga disebut serabut saraf, banyak serabut
saraf yang melintas bersama disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson akan ditutup lapisan lemak yang terisolasi, yang disebut myelin. 2. Badan sel Badan sel merupakan bagian utama neuron yang berisi inti dan sel. Badan sel merupakan tempat mengolah informasi. 3. Dendrite. Dendrit adalah bagian penerima input neuron, berukuran pendek dan bercabangcabang, yang merupakan perluasan dari badan sel. Dendrite berbentuk seperti antena, dan merupakan tempat penerimaan sinyal dari sel saraf lain. Denrit mengumpulkan impuls saraf dari neuron lain atau ujung saraf sensorik. 4. Nodus neurofibra Nodus neurofibra disebut juga nodus ranfier yang merupakan bagian akson yang tidak dibungkus oleh myelin. Nodus neurofibra berfungsi untuk mempercepat transmisi impuls saraf . Adanya nodus ranvier tersebut memungkinkan saraf meloncat dari satu nodus ke nodus yang lain, sehingga impuls lebih cepat sampai pada tujuan. 5. Sel Schwann Sel ini mirip lembaran yang tumbuh disekitar sebagian akson(serat) untuk membentuk selubung myelin. 6. Selubung myelin Selubung myelin juga disebut neurilema atau selubung Schwann. Selubung myelin merupakan sruktur berbentuk spiral berisi myelin berlemak yang membantu mempercepat perjalanan dan mencegah impuls pudar atau bocor. Selubung myelin sebagai isolator listrik, mencegah arus pendek antara akson, dan mempasilitasi konduksi. Nodus ranvier adalah satu-satunya titik dimana akson tidak tertutup myelin dan ion-ion dapat berpindah diantaranya dan cairan ekstraseluler. Depolarisasi membrane aksonal pada nodus ranvier memperkuat potensial aksi yang dihantarkan sepanjang akson dan ini adalah dasar konduksi saltatori (meloncat). 3. Etiologi
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya GBS, antara lain:
Infeksi
Vaksinasi
Pembedahan
Kehamilan atau dalam masa nifas.
Umur
Jenis kelamin
Paling banyak pasien-pasien dengan sindrom ini ditimbulkan oleh adanya infeksi, 1 sampai 3 minggu sebelum terjadi serangan penurunan neurologik. Pada beberapa keadaan. Dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedaha. Ini juga dapat terjadi dapat diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, cedera medula spinalis dan beberapa proses lain atau sebuah kombinasi proses. Penyakit ini timbul dari pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang. Karena banyak syaraf yang terserang termasuk syaraf immune sistem maka sistem kekebalan tubuh kita pun akan kacau. Dengan tidak diperintahakan dia akan menngeluarkan cairan sistem kekebalan tubuh ditempat-tempat yang tidak diinginkan. Dengan pengobatan maka sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya. GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Dahulu sindrom ini di duga di sebabkan oleh infeksi virus, tetapi akhirakhir ini terungkap bahwa ternyata virus bukan sebagian penyebab. Teori yang dianut sekarang ialah suatu kelainan imunobiologik, baik secara primary immune response maupun
immune
mediated
process.
Pada umumnya sindrom ini sering didahului oleh influenza atau infeksi saluran nafas
bagian atas atau saluran pencernaan. Penyebab infeksi pada umumnya virus dari kelompok herpes. Sindrom ini dapat pula didahului oleh vaksinasi, infeksi bakteri, gangguan endokrin, tindakan operasi, anestesi dan sebagainya. 4. Patofisiologi
Sindrom Guillain Barre akibat serangan autoimun pada myelin yang membungkus saraf perifer. Dengan rusaknya myelin, akson dapat rusak. Gejala GBS menghilang pada saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Apabila kerusakan badan sel terjadi selama serangan, beberapa derajat distabilitas dapat tetap terjadi. Otot ekstremitas bawah biasanya terkena pertama kali, dengan paralisis yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernafasan dapat terkena dan menyebabkan kolaps pernafasan. Fungsi kardiovaskular dapat terganggu karena gangguan fungsi saraf autonom (Corwin, 2009). Gullain Barre Syndrome diduga disebabkan oleh kelainan sistem imun lewat mekanisme limfosit medialed delayed hypersensivity atau lewat antibody mediated demyelinisation. Masih diduga, mekanismenya adalah limfosit yang berubah responnya terhadap antigen. Limfosit yang berubah responnya menarik makrofag ke saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin diserang sehingga selubung myelin terlepas dan menyebabkan sistem penghantaran implus terganggu. Karena proses ditujukan langsung pada myelin saraf perifer, maka semua saraf perifer dan myelin saraf perifer, dan cabangnya merupakan target potensial, dan biasannya terjadi difus. Kelemahan atau hilangnya system sensoris terjadi karena blok konduksi atau karena axon telah mengalami degenerasi oleh karena denervasi. Proses remyelinisasi biasannya dimulai beberapa minggu setelah proses peradangan/infeksi terjadi. Dimielinasi merupakan keadaan dimana lapisan myelin hancur serta hilang pada beberapa segmen. hal tersebut menyebabkan hilangnya konduksi saltatori yang mengakibatkan penurunan kecepatan konduksi serta terjadinya hambatan konduksi. Kelainan ini terjadi cepat namun reversibel karena sel Schwann dapat berdegenerasi dan membentuk myelin baru. Namun pada banyak kasus, demielinasi menyebabkan hilangnya akson dan deficit permanen (Djamil, 2010).
5. Manifestasi Klinis
Pasien dengan GBS umumnya hanya akan mengalami satu kali serangan yang berlangsung selama beberapa minggu, kemudian berhenti spontan untuk kemudian pulih kembali. Gejala-gejala neurologi diawali dengan parestesia (kesemuatan dan kebas) dan kelemahan otot kaki, yang dapat berkembang ke ekstremitas atas, batang tubuh dan otot wajah. Gejala awal antara lain adalah: rasa seperti ditusuk-tusuk jarum diujung jari kaki atau tangan atau mati rasa di bagian tubuh tersebut. Kaki terasa berat dan kaku atau mengeras, lengan terasa lemah dan telapak tangan tidak bisa menggenggam erat atau memutar seusatu dengan baik (buka kunci, buka kaleng dll). Gejala lanjutan dari GBS yaitu antara lain s ebagai berikut : 1. Kelemahan a) Gambaran klinis klasik kelemahan adalah asenden dan simetris. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terlibat sebelum anggota badan atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal dari yang lebih distal. Batang tubuh, kelenjar, dan otot pernafasan dapat dipengaruhi juga. b) Kelemahan berkembang akut selama beberapa hari sampai minggu. Keparahan bisa berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia yang komplit dengan
kegagalan ventilasi. Puncak defisit dicapai oleh 4 minggu setelah pengembangan awal gejala. Pemulihan biasanya dimulai 2-4 minggu setelah kemajuan berhenti. 2. Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot eksremitas tipe lower motor neuron. Pada sebagian besar kelumpuhan di mulai dari kedua eksremitas bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan anggota gerak atas dan saraf kranialis kadang-kadang juga bisa ke empat anggota dikenai secara anggota kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. 3. gangguan sensibilitas parastesia biasanya lebih jelas pada bagian distal eksremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumolar. Defesit sensori objektif biasanya minimal. Rasa nyeri otot sering di temui seperti rasa nyeri setelah suatu aktivitas fisik. 4. Gangguan saraf kranilis yang paling sering di kenal adalah N.VI. kelumpuhan otot sering di mulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral sehingga bisa di temukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa di kenai kecuali N.I dan N.VIII. diplopia bisa terjadi akibat terkena N.IV atau N.III. bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan sukar menelan disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan gangguan pernapasan karena paralis dan laringeus. 5. gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom di jumpai pada 25% penderita GBS. Gangguan tersebut berupa sinus takikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktusi, hilangnya keringat atau episodik profuse diphoresis. Retensi atau inkontenensia urin jarang di jumpai. Gangguan otonom ini jarang menetap lebih dari satu atau dua minnggu. 6. kegagalan pernapasan. kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita.
6. Pemeriksaan Penunjang
1) Cairan serebrospinal (CSS) Yang paling khas adalah adanya disosiasi sitoalbuminik , yakni meningkatnya jumlah protein (100-1000 mg/dL) tanpa disertai adanya pleositosis (peningkatan hitung sel). Pada kebanyakan kasus, di hari pertama jumlah total protein CSS normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut di saat gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah onset. Derajat penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis umumnya di bawah 10 leukosit mononuclear/mm
2) Pemeriksaan kecepatan hantar saraf (KHS) dan ele ktromiografi (EMG) Manifestasi elektrofisiologis yang khas dari GBS terjadi akibat demyelinasi saraf, antara lain prolongasi masa laten motorik distal (menandai blok konduksi distal) dan prolongasi atau absennya respon gelombang F (tanda keterlibatan bagian proksimal saraf), blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS. Pada 90% kasus GBS yang telah terdiagnosis, KHS kurang dari 60% normal. EMG menunjukkan berkurangnya rekruitmen motor unit Dapat pula dijumpai degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi 2-4 minggu setelah onset gejala, sehingga ampilitudo CMAP dan SNAP kurang dari normal. Derajat hilangnya aksonal ini telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.
3) Pemeriksaan darah Pada darah tepi, didapati leukositosis polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjadi limfositosis; eosinofilia jarang
ditemui. Laju endap darah dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala . 4) Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardia. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering.
5) Tes fungsi respirasi (pengukuran kapasitas vital paru) Menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending ).
6) Pemeriksaan patologi anatomi umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demyelinasi multifokal. Pada fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demyelinasi ini akan muncul bersama dengan demyelinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root , saraf spinal proksimal, dan saraf kranial. Infiltrat sel-sel radang (limfosit dan sel mononuclear lainnya) juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan organ lainnya.
7. Penatalaksanaan medik
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas Sindrom, Guillain Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit perawatan intensif.
a. Pengaturan jalan napas Respirasi diawasi secara ketat terhadap perubahan kapasitas vital dan gas darah yang menunjukkan permulaan kegagalan pernafasan. Setiap ada tanda kegagalan pernafasan maka penderita harus segera dibantu dengan oksigenasi dan pernafasan buatan. Trakheotomi harus dikerjakan atau intubasi penggunaan ventilator jika pernafasan buatan diperlukan untuk waktu yang lama atau resiko terjadinya aspirasi. Walaupun pasien masih bernafas spontan, monitoring fungsi respirasi dengan mengukur kapasitas vital secara regular sangat penting untuk mengetahui progresivitas penyakit. b. Pemantauan EKG dan tekanan darah Monitoring yang ketat terhadap tekanan darah dan EKG sangat penting karena gangguan fungsi otonom dapat mengakibatkan timbulnya hipotensi atau hipertensi yang mendadak serta gangguan irama jantung. Untuk mencegah takikardia dan hipertensi, sebaiknya diobati dengan obat-obatan yang waktu kerjanya pendek (short-acting), seperti : penghambat beta atau nitroprusid, propanolol. Hipotensi yang disebabkan disotonomi biasanya membaik dengan pemberian cairan iv dan posisi terlentang (supine). Atropin dapat diberikan untuk menghindari episode brakikardia selama pengisapan endotrakeal dan terapi fisik. Kadang diperlukan pacemaker sementara pada pasien dengan blok jantung derajat 2 atau 3. c. Plasmaparesis Pertukaran plasma ( plasma exchange) yang menyebabkan reduksi antibiotik ke dalam sirkulasi sementara, dapat digunakan pada serangan berat dan dapat membatasi keadaan yang memburuk pada pasien demielinasi. Bermanfaat bila dikerjakan dalam waktu 3 minggu pertama dari onset penyakit. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg. Dalam waktu 7-14 hari dilakukan tiga sampai lima kali exchange. Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Albumin : dipakai pada
plasmaferesis,
karena
dengan suatu substitusi plasma.
Plasma
pasien
harus
diganti
d. Pengobatan imunosupresan: Pengobatan imunosupresan berfungsi untuk menekan pembentukan antibody. Imunoglobulin IV Beberapa peneliti pada tahun 1988 melaporkan pemberian immunoglobulin atau gamaglobulin pada penderita GBS yang parah ternyata dapat mempercepat penyembuhannya seperti halnya plasmapharesis. Gamaglobulin (Veinoglobulin) diberikan perintravena dosis tinggi. Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih
menguntungkan
dibandingkan
plasmaparesis
samping/komplikasi lebih ringan tetapi harganya mahal. Dosis
karena
efek
aintenance 0.4
gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. imunoglobulin intravena (IVIG 7s) : dipakai untuk memperbaiki aspek klinis dan imunologis dari GBS dan Dosis dewasa adalah 0,4 g/kg/hari selama 5 hari (total 2 g selama 5 hari) dan bila perlu diulang setelah 4 minggu. Kontraindikasi IVIg : adalah hipersensitivitas terhadap regimen ini dan defisiensi IgA, antibodi anti IgE/ IgG. Tidak ada interaksi dng obat ini dan sebaiknya tidak diberikan pd kehamilan. e. Perawatan umum : Perawatan immobilisasi : Mencegah timbulnya luka baring/bed sores dengan perubahan posisi tidur. f. Fisioterapi yang teratur dan baik juga pentin g. Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Segera setelah penyembuhan mulai fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot. g. Spint mungkin diperlukan untuk mempertahakan posisi anggota gerak yang lumpuh. h. Kekakuan sendi dicegah dengan gerakan pasif. Gerakan pasti pada kaki yang lumpuh mencegah deep voin thrombosis. i.
Perawatan kulit, kandung kemih, saluran pencernaan, mulut, faring dan trakhea.
j.
Infeksi paru dan saluran kencing harus segera diobati.
k. Bila ada nyeri otot dapat dapat diberikan analgetik.
8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada prognosis yang lanjut adalah 1. Kolaps pernafasan dan kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian. kegagalan pernapasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak di tangani dengan baik. Kegagalan pernapasan ini di sebabkan paralisis pernapasan dan kelumpuhan otot-otot pernapasan, yang di jumpai pada 10-33% penderita. 2. Kelemahan beberapa otot dapat menetap (Corwin, 2009). 3. Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi (Israr, dkk, 2009).
ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian pola kesehatan
:
1) Pola nutrisi dan metabolik a) DS : Pasien mengatakan pasien merasa lemah, tidak kuat untuk mengunyah menelan. DO : pasien terlihat lemas, Nampak pasien susah menelam makanan yang diberikan, ampak pasien tidak menghabiskan makanan yang diberikan. 2) Pola eliminasi DS : Pasien mengatakan terasa pada otot-otot abdomen, pasien mengatakan tidak kuat untuk mengedan bila ingin BAB, pasien mengatakan tidak ada sensasi anus dan berkemih. DO : tampak pasien tidak BAB dalam 1 hari, dan jarang berkemih.
3) Pola aktivitas dan latihan DS : Pasien mengatakan pasien merasa lemas sehinggah tidak mampu untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari seperti biasa, pasien mengatakan terasa lemas pada dan kakinya DO : tampak pasien dibantu makan, mandi, BAK dan BAB, tampak pasien tidak mampu menggenggam.
4) Pola tidur dan istirahat DS : Pasien mengatakan susah tidur karena cemas. DO : Tampak pasien menguap, tampak pasien masih mengantuk.
B. Diagnosa keperawatan
1.
Bersihan jalan nafas tidak efektik berhubungan dengan peningkatan sekresi mucus.
2.
Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot pernapasan.
3.
Gangguan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan disfungsi sistem saraf otonom yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena.
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
5.
Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler yang mempenagaruhi reflek menelan dan fungsi GI.
6.
ansietas berhubungan dengan krisis situasional.
C. Perencanaan 1.
Bersihan jalan nafas tidak efektik berhubungan dengan peningkatan sekresi mucus. Tuju an/ kriteria hasil :
Bersiha jalan nafas kembali efektif setelah diberikan tindakan. I ntervensi:
Mandiri a. Kaji fungsi paru, adanya bunyi nafas tambahan, perubahan irama dan kedalaman, dan kekentalan sputum. R/ : Memantau dan mengatasi komplikasi potensial. Pengkajian fungsi pernapasan dengan interval yang teratur adalah penting karena pernafasan yang tidak efektif dan adanya kegagalan, karena adanya kelemahan atau paralisis pada otot-otot interkostal dan diafragma yang berkembang dengan cepat. b. Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan seperti ronchi R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu. c. Berikan posisi fowler dan semifowler. R/ : peninggian kepala tempat tidur memudahkanuntuk bernafas, meningkatkan ekspansi dada, dan meningkatkan batuk lebih efektif. d. Ajarkan cara batuk efektif R/ : Klien berada pada resiko tinggi bila tidak dapat batuk dengan efektif untuk membersihkan jalan nafas dan mengalami kesulitan dalam menelan yang dapat menyebabkan aspirasi saliva dan mencetuskan gagal nafas akut.
e. Lakukan fisioterapi dada. R/ : terapi fisik dada membantu meningkatkan batuk lebih efektif f.
Penuhi hidrasi cairan via oral, seperti minum air putih dan pertahankan intake cairan 2.500 ml/hr. R/ : pemenuhan cairan dapat mengencerkan mucus yang kental dan dapat membantu pemenuhan cairan yang dapat kelur dari tubuh.
g. Lakukan R/ :
pengisapan
lender
di
jalan
nafas.
pengisapan mungkin diperlukan untuk mempertahankan kepatenan jalan
nafas menjadi bersih.
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelemahan atau paralisis otot pernapasan Tuju an/kriteri a hasil :
Mendemonstrasikan ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan pola napas efektif. I ntervensi
Mandiri a. Pantau frekuensi, kedalaman dan kesimetrisan pernapasan. Catat peningkatan kerja napas dan observasi warna kulit dan membran mukosa. R/ : peningkatan distres pernapasan menandakan adanya kelelahan pada otot pernapasan dan/atau paralisis yang mungkin memerlukan sokongan dari ventilasi mekanik b.
Kaji adanya perubahan sensasi terutama adanya penurunan respon R/ : penurunan sensasi sering kali (walau tidak selalu ) mengarah pada kelemahan motorik
c. Catat adanya kelelahan pernapasan selama berbicara kalau pasien masih dapat berbicara. R/
:
merupakan
inikator
yang
baik
terhadap
gangguan
fungsi
pernapasan/menurunnya kapasitas paru l.
Auskultasi bunyi napas, catat tidak adanya bunyi atau suara tambahan
seperti ronchi
R/ : peningkatan resistensi jalan napas dan atau akumulasi sekret akan megganggu proses difusi gas dan akan mengarah pada komplikasi pernapasan (seperti pneumonia) e.
Tinggikan kepala tempat tidur atau letakan pasien pada posisi duduk bersandar R/ : meningkatkan ekspansi paru dan usaha batuk, menurunkan kerja pernapasan dan membatasi terjadinya resiko aspirasi secret Kolaborasi
f.
Lakukan pemantaan terhadap analisa gas darah, oksimetri nadi secara teratur R/
:
menentukan
keefektifan
dari
ventilasi
sekarang
dan
kebutuhan
untuk/keefektifan dari intervensi g.
Lakukan tinjau ulang terhadap foto rontgen R/ : adanya perubahan merupakan indikasi dari kongesti paru dan atau atelektasis
h.
Berikan obat ata bantu dengan tindakan pembersihan pernapasan, seperti latihan pernapasan, perkusi dada, fibrasi, dan drainase postural R/ : memperbaiki ventilasi dan menurunkan atelektasis dengan memobilisai sekret dan meningkatkan ekspansi alveoli paru.
3. Gangguan
perfusi
jaringan
berhubungan
dengan
disfungsi
sistem
saraf
autonomik yang menyebabkan penumpukan vaskuler dengan penurunan aliran balik vena Tuju an/kriteri a hasil :
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau tidak ada I ntervensi
Mandiri a. ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. R/ : perubahan pada tekanan darah ( hipertensi berat/hipotensi) teerjadi sebagai akibat kehilangan alur dasri saraf simpati untuk mempertahankan tonus vaskuler perifer. b. pantau frekuensi jantung dan iramanya
R/ : sinus takikardi/bradikardi dapat berkembang sebagai akibat dari gangguan saraf otonom simpatis autonom atau tidak ada hambatasn terhadap refleks yang menyebabkab henti jantung. c. pantau suhu tubuh. R/; perubahan pola tonus vasomotor menimbulkan kesulitan pada regulasi suhu ( seperti ketidakmampuan berkeringat). d. ubah posisi pasien secara teratur R/ perubahan sirkulasi/pengumpulan vaskuler yang meningkatkan resiko iskemia Kolaborasi e. berikan pengobatan : - cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi R/ mungkin di perlukan untuk mengoreksi/mencegah hipovolemia/hipertensi,tetapi harus di gunakan secara berhati-hati karena pasien dengan gangguan tonus vaskuler mungkin sensitif pada adanya peningkatan kecil dalam volume sirkulasi. - beri obat seperti antihipertensi dengan kerja pend ek R/: kadang-kadang di gunakan untuk menghilangkan hipertensi yang menetap atau gangguan mediasi outo - heparing R/: di gunakan untuk menurunkan resiko tromboflebilitis.
4. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler Tujuan/kriteria hasil :
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus) Intervensi
Mandiri a. kaji kekuatan motorik/kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5 R/ : menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan/harapan pasien b. berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman R/ : menurunkan kelelahan, meningkatkan relaksasi, menurunkan resiko terjadinya iskemia/ kerusakan pada kulit.
c. sokong eksremitas dan persendian dengan bantal R/ : mempertahankan eksremitas dalam posisi fisilogis, mencegah kontraktur dan kehilangan fungsi sendi d. lakukan latihan rentang gerak pasif. R/ : menstimulasi sirkulasi, meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi. Kolaborasi f. konfirmasikan dengan/ rujuk ke bagian terapi fisik/ terapi okupasi
5. Resiko tinggi Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
kerusakan
neuromuskuler
yang
mempenagaruhi
ketidakmampuan
menelan. Tujuan/kriteria hasil :
Mendomensterasikan berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak tanda malnutrisi Intervensi
Mandiri a. kaji kemampuan untuk mengunyah, menelan, batuk pada keadaan teratur R/ : kelemahan otot dan refleks yang hiperaktif/ hipoaktif dapat mengindikasikan kebutuhan akan metode makan alternatif, seperti melalui selang NG dan sebagainya b. auskultasi bising usus, evaluasi adanya distensi abdomen R/ : perubahan fungsi lambung sering terjadi sebagai akibat dari paralisis/imobilisasi c. catat masukan kalori setiap hari R/ : mengidentifikasi kekurangan makanan dan keutuhannya d. catat makanan yang di sukai/ tidak disukai oleh pasien dan termasuk dalam pilihan diet yang di kehendakinya. Berikan makanan setengah padat/cair R/ :meningkatkan rasa kontrol dan mungkin juga dapat meningkatkan usaha untuk makan. Makanan lunak/ setengah padat mkmenurunkan resiko terjadinya aspirasi e. anjurkan untuk makan sendiri jika memunkinkan R/ : derajat hilangnya kontrol motorik mempengaruhi kemampuan untuk makan sendiri
g. timbang berat badan setiap hari R/ : mengkaji keefektifan aturan diet Kolaborasi h. berikan diet tinggi kalori atau protein nabati R/ : makanan suplementasi dapat meningkatkan pemasukan nutrisi. i. pasang /pertahankan selang NG. R/ : dapat di berikan jika pasien tidak mampu untuk menelan( jika refleks menelan mengalam gangguan untuk pemasukan makanan, kalori , elektrolit dan mineral.
6. ansietas berhubungan dengan krisis situasional Tujuan/kriteria hasil :
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi Intervensi
Mandiri a. tempatkan pasien dekat ruang perawat, periksa pasien secara teratur. R/ : memberikan keyakianan bahwa bantuan segera dapat di lakukan jika pasien secara tiba-tiba menjadi tidak memiliki kemampuan. b. berikan perawatan primer/ hubunagan perwat yang konsisten R/ : meningkatkan saling percaya pasien dan membantu untuk menurunkan kecemasan c. berikan bentuk komunikasi alternatif jika di perlukan R/ : menurunkan perasaan tidak berdaya dan perasaan terisolasi. d. Diskusikan adanya perubahan citra diri, ketakutan akan kehilangan kemampuan yang menetap, kehilanagn fungsi, kematian, masalah mengenai kebutuhan penyebuhan /perbaikan. Kolaborasi e. berikan penjelasan singkat mengenai perawatan, rencana perawatan dengan pasien termasuk orang terdekat. R./ : pemahaman yang baik dapat meningkatkan kerjasama pasien dalam kebutuhan akan melakukan aktivitas dan keterlibatan pasien dan juga orang terdekat dalam
perencenaan asuhan akan dapat mempertahankan beberapa perasaan kontrol terhadap diri atas kehidupannya yang selanjutnya akan meningkatkan harga diri.
D. Evaluasi
1)
Bersiha jalan nafas kembali efektif
2)
Ventilasi adekuat dengan tidak ada tanda distress pernapasan, dan pola napas efektif.
3)
mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, distritmia jantung terkontrol atau tidak ada
4)
Mempertahankan fungsi tubuh dengan tidak ada komplikasi ( kontraktur, dekubitus)
5)
Berat badan stabil, normalisasi nilai- nilai laboratorium dan tidak tanda malnutrisi
6)
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat di atasi
E. Discharge planning
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9)
Penderita harus dapat diyakinkan cuci tangan dengan sabun setelah defekasi Mereka yang diketahui sebagai karier dihindari untuk mengelola makanan Lalat perlu dicegah menghinggapi makanan dan minuman. Penderita memerlukan istirahat Diit lunak yang tidak merangsang dan rendah serat. (Samsuridjal D dan Heru S, 2003) Berikan informasi tentang kebutuhan melakukan aktivitas sesuai den gan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak Jelaskan terapi yang diberikan: dosis, dan efek sa mping Menjelaskan gejala-gejala kekambuhan penyakit dan hal yang harus dilakukan untuk mengatasi gejala tersebut Tekankan untuk melakukan kontrol sesuai waktu yang ditentukan. (Suriadi & Rita Y, 2001)
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bahwa GBS adalah penyakit yang langka dan dapat disembuhkan akan tetapi nyeri ringan masih timbul dan derajat penyembuhan tergantung dari derjat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi. Guillain - Barre Syndrome (GBS) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. Manifestasi klinis berupa kelumpuhan, gangguan fungsi otonom, gangguan sensibilitas, dan risiko komplikasi pencernaan. 3.2 Kritik
Makalah ini masih belum cukup sempurna dan masih ada banyak kesalahan sehingga saya mohon kritik dan saran yang membangun guna untuk menyempurnakan makalah saya yang selanjutnya.
3.3 Saran
Berusaha dan selalu bekerja sama akan membawa kita menuju keberhasilan dalam menyelesaikan masalah dan mengerjakan tugas serta melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab akan membuat kita semakin menjadi dewasa dan mandiri. Saran untuk : 1. Keilmuan Kelumpuhan pada penderita GBS memerlukan penatalaksanaaan yang baik untuk mencegah komplikasi dan meningkatkan prognosa, salah satunya latihan gerak pasif. Perlu adanya penelitian tentang efektivitas latihan gerak pada GBS. 2. Perawat Perawat hendaknya senantiasa mengembangkan diri dan menambah pengetahuan dalam memberikan asuhan keperawatan khususnya pada klien dengan GBS terutama tentang perjalanan penyakit dan penatalaksanaannya. Penderita GBS memerlukan perawatan yang baik untuk meningkatkan kesembuhan dan mencegah komplikasi. Kelumpuhan pada GBS
memerlukan latihan gerak pasif yang sebaiknya dilakukan sesuai batas toleransi klien untuk mencegah kontraktur dan paralisis lebih lanjut. Keterlibatan keluarga dalam intervensi hendaknya ditingkatkan sehingga tujuan yang ingin dicapai klien juga ikut benar-benar berperan dan berusaha mencapai tujuan yang direncanakan. 3. Klien dan keluarga Klien dan keluarga hendaknya berpartisipasi aktif dalam pemberian intervensi yang direncanakan sebagai upaya penyembuhan serta bekerjasama mematuhi terapi yang diberikan. Semangat klien untuk sembuh akan membantu keberhasilan intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marlynn E. 2000. RencanaAsuhan Keperawatan, Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. EGC: Jakarta Smeltzer, suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddarth. Vol.3 Edisi 8. EGC :Jakarta Mutakhi Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Salemba Medika : Jakarta http://siyulopecri.blogspot.com/2011/09/askep-gbs.html http://www.scribd.com/doc/46961824/Askep-Klien-Dengan-Gbs http://www.scribd.com/doc/94097082/Asuhan-Keperawatan-Pada-Klien-Dengan-Gbs-Guillain