GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang lama, dapat sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat berlangsung bertahun-tahun. Baik pasien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik. Kesembuhan pasien berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya. Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih sedikit pada anak-anak. Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS yang berbahaya, misalnya pada pasien dengan ventilator. Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik, hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa .
bronchial
2.8 Penatalaksanaan Guillain Barre Syndrome A. Fisioterapi
Penatalaksanaan fisioterapi pada penderita GBS harus dimulai sejak awal, yaitu sejak kondisi pasien stabil. Oleh karena perjalananan penyakit GBS yang unik, ada dua fase yang perlu diperhatikan dalam memberikan fisioterapi. Yang pertama adalah fase ketika gejala masih terus berlanjut hingga berhenti sebelum kondisi pasien terlihat membaik. Pada fase tersebut yang diperlukan adalah mempertahankan kondisi pasien, meskipun kondisi pasien akan terus menurun. Sedangkan yang kedua adalah pada fase penyembuhan, ketika kondisi pasien membaik. Pada fase ini pengobatan fisioterapi ditujukan pada penguatan dan pengoptimalan kondisi pasien. Pada fase pertama penekanan pada semua problem menjadi
sangat
penting.
Sedangkan
pada
fase
kedua
hanya
problem
muskuloskeletal dan kardiopulmari yang menjadi penekanan. Secara keseluruhan penatalaksanaan
fisioterapi
ditujukan
pada
pengoptimalan
kemampuan
fungsional. Meskipun ada 4 komponen problem dari sudut fisioterapi, penatalaksanaannya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karenanya sulit memisahkan satu masalah dengan masalah yang lain. Penulis berusaha memisahkan penatalaksanaan fisioterapi berdasarkan tiap problem, sesuai dengan penguraian
problem di atas supaya lebih detail. Tetapi pada prakteknya, pemberian fisioterapi tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain. a. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Problem Muskuloskeletal
Seperti telah disebutkan di atas, masalah muskuloskeletal adalah penting baik pada fase pertama maupun kedua oleh karena bukan hanya motorik adalah masalah utama penderita GBS, tetapi juga skeletal sebagai akibat dari gangguan motorik. Pada fase pertama yang perlu diberikan adalah mempertahankan kekuatan otot, panjang otot, luas gerak sendi (LGS), tanpa melupakan bahwa kondisi pasien masih akan terus memburuk dalam waktu maksimal 2 minggu. Bila panjang otot dan LGS terus terjaga pada fase pertama, fisioterapi pada fase kedua ditekankan peningkatan kekuatan otot, dengan tetap memperhitungkan jumlah motor unit yang kembali bekerja. b. Penatalaksanaan pada masalah kekuatan otot
Pada fase pertama, program awal yang bisa diberikan adalah latihan aktif, bila memungkinkan. Bila penderita tidak mampu menggerakkan sendiri anggota badannya, sebaiknya bantuan diberikan (=aktif asistif). Bila kemudian kondisi kelemahan otot sangat menonjol, latihan pasif harus diberikan; artinya fisioterapis yang menggerakkan angota badan penderita. Oleh karena dalam fase ini, kondisi penderita akan menurun, maka biasanya bantuan yang diberikan fisioterapis kepada pasien semakin banyak dari waktu ke waktu. Sebaiknya
seorang
fisioterapis
mempunyai
sistematis
dalam
menggerakkan anggota tubuh pasien, sehingga tidak ada bagian yang terlewati. Selain itu fisioterapis juga akan bisa sekaligus mengamati perkembangan motorik pasien bila dilakukan secara sistematis. Dianjurkan menggerakkan anggota tubuh dari bawah, sehingga akan diakhiri dengan bagian tubuh yang terkuat. Secara psikis hal ini juga akan sangat membantu motivasi pasien. Selain menggerakkan bagian tubuh secara sistematis, juga sebaiknya arah gerakan tiap sendi dibuat secara sistematis, sehingga tidak ada gerakan otot yang tertinggal. Dalam menggerakkan anggota badan, sebaiknya fisioterapis mengamati tingkat toleransi pasien terhadap latihan. Jangan sampai pasien dibiarkan terlalu lelah atau memaksa menggerakkan anggota tubuh, karena akan merusak motor unit. Berikan kesadaran kepada pasien bahwa pada waktunya
ototnya akan kembali bergerak, asalkan dilakukan gerakan secara rutin. Bagi pasien GBS, frekuensi latihan seharusnya tidak terlalu tinggi dalam satu sesi, untuk mencegah kelelahan, mengingat jumlah motor unit yang bekerja hanya terbatas. Intensitas latihan dalam sehari bisa ditingkatkan dengan melakukan lebih banyak sesi dalam sehari. Penatalaksanaan pada fase kedua tidak jauh berbeda dengan fase sebelumnya. Sasaran utama pada fase ini adalah peningkatan kekuatan otot. Meskipun demikian latihan yang diberikan masih harus tidak boleh terlalu berat, karena jumlah motor unit yang aktif terbatas. Program latihan aktif seharusnya ditingkatkan bila penderita sudah mampu melakukan latihan aktif dan memenuhi LGS normal tanpa kesulitan. Latihan kemudian meningkat menjadi aktif resistif, artinya menggunakan beban unntuk meningkatkan kekuatan otot. Jenis latihan bisa bervariasi, bisa menggunakan beban manual, artinya fisioterapis memberikan beban secara manual, hingga latihan dengan alat, seperti misalnya quadricep bench. Dalam memberikan program latihan, hendaknya selalu diingat bahwa tujuan akhir program fisioterapi adalah memaksimalkan kemampuan fungsional. Jadi dalam meningkatkan kekuatan otot, perlu diingat otot-otot mana saja yang diperlukan dalam beraktivitas, atau mensiasati bila ada keterbatasan. Untuk mengukur perubahan kondisi pasien, bisa digunakan pengukuran kekuatan otot (MMT- manual muscles testing). Tentu saja pada fase pertama kekuatan pasien tidak akan mengalami kenaikan, sesuai dengan perjalanan penyakit. Tetapi pengukuran kekuatan terakhir pasien, saat kekuatan biasanya berhenti sebelum kemudian membaik, bisa dijadikan titik balik pengukuran pada tahap berikutnya. Sebaiknya pengukuran dilakukan secara berkala, misalnya tiap minggu, atau tiap 3 hari. Dengan demikian fisioterapis maupun penderita bisa melihat perkembangan yang terjadi, yang mungkin juga akan menjadi motivasi keduanya. c. Penatalaksanaan pada Luas Gerak Sendi (LGS)
Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada f ase pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk
menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang fungsional. Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal. Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2 sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk mempertahankan LGS. Berbeda dengan program untuk kekuatan otot, untuk mempertahankan sendi sama pada fase pertama dan kedua. Ukuran yang dipergunakan untuk mengukur luas gerak sendi adalah pengukuran sudut setiap sendi. Alat yang digunakan adalah goniometer. Pengukurannya dilakukan dengan satuan derajat. Dalam satu institusi biasanya disepakati sistem apa yang digunakan, posisi penderita dan posisi goniometer pada setiap sudut pengukuran. Seharusnya tidak akan ada perubahan LGS dari waktu ke waktu, agar pada akhirnya penderita masih mempunyai kemampuan fungsional yang maksimal. d. Penatalaksanaan pada Panjang Otot
Pada saat melakukan latihan untuk mempertahankan LGS, sebagian besar otot juga terpelihara panjangnya. Kecuali beberapa otot yang panjangnya melewati dua sendi. Untuk otot-otot tersebut, perlu gerakan khusus untuk mempertahankan panjangnya. Otot-otot seperti quadricep, iliotibial band, sartorius adalah contoh otot yang melewati dua sendi. Otot-otot tersebut penting dalam kegiatan sehari-hari, misalnya duduk, bersila atau bersimpuh. Sehingga bila panjang ototnya tidak terpelihara, maka akan berpengaruh pada aktivitas penderita bila sembuh nanti. Agak sulit membuat pengukuran panjang otot, oleh karena panjang otot tiap individu akan berbeda tergantung pada aktivitas dan keturunan. Karenanya untuk mengetahui panjang otot yang normal, secara nalar, berarti fisioterapis harus tahu penderita sebelum menderita GBS. Kenyataannya hal itu tidak mungkin terjadi. Sehingga salah satu cara untuk mengetahui panjang otot adalah menanyakan aktivitas penderita, apakah penderita biasa bersila, duduk sambil menumpangkan kaki atau bersimpuh. Dengan demikian bisa diukur apakah panjang otot yang bersangkutan cukup untuk kembali melakukan kembali aktivitasnya. Cara lain yang bisa digunakan adalah membandingkan otot sebelah kiri dan kanan, karena
biasanya keduanya mempunyai panjang otot yang sama. Pencatatannya baru dilakukan bila ada keterbatasan panjang otot. e. Penatalaksanaan pada Problem Kardiopulmonari
Masalah kardiopulmonari lebih menonjol pada fase pertama. Pada kasus GBS yang berat, terjadi kelemahan otot-otot intercostal disebabkan karena berkurangnya jumlah motor unit yang terkonduksi. Akibatnya tidak dapat melakukan inspirasi secara penuh, sehingga kapasitas vital menjadi berkurang. Seperti yang telah disebutkan di atas, menurunnya kemampuan batuk, akan menurunkan kemampuan untuk membersihkan saluran pernafasan. Sehingga saluran pernafasan semakin menyempit, dan ekspansi paru menjadi berkurang juga. Sehingga pada akhirnya kembali terjadi penurunan kapasitas vital. f. Penatalaksanaan pada Kemampuan Ekspansi Dada
Berbeda dengan masalah muskuloskeletal yang lain, latihan pasif tidak bisa dilakukan dengan mudah. Latihan pasif hanya bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan terpenuhinya volume sesuai dengan kapasitas vital, maka pertukaran gas dalam alveoli menjadi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan ventilasi. Selain itu juga memelihara kelenturan jaringan-jaringan lunak disekitarnya, sehingga LGS persendian disekitar tulang rusuk terpelihara. Dengan demikian bila kekuatan otot interkostal sudah kembali membaik, rongga dada sudah siap kembali mengembang.Bila otot intercostal dan diafragma sudah menigkat, maka latihan penguatan harus segera diberikan. Oleh karena tekanan positif yang diberikan lewat ventilator dan manual hyperinflation bisa memberikan efek samping, seperti barotrauma. Maka latihan aktif harus segera diberikan. Pemberian latihan masih harus memperhatikan aturan rendah frekuensi dalam satu sesi dan banyak sesi dalam sehari. Ini berarti harus diberikan kesempatan istirahat cukup bagi penderita diantara sesi latihan, untuk menghindari kelelahan. g. Penatalaksaaan pada Pembersihan Saluran Pernafasan
Dalam keadaan normal, setiap hari dihasilkan sekitar 100 ml sekresi saluran pernafasan dalam sehari. Pembersihan dilakukan sebagai bagian dari sistem pertahanan, yakni didorong oleh cilia yang kemudian tertelan. Bila sekresi yang dihasilkan lebih dari normal, atau ada kegagalan kerja cilia, maka diperlukan mekanisme batuk untuk mengeluarkannya dari saluran pernfasan.
Agar bisa meletupkan batuk yang kuat, seseorang harus bisa menghirup cukup volume udara. Sehingga seorang penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol tidak mampu melakukan batuk yang kuat untuk mengeluarkan sekresi. Bila sekresi dibiarkan menumpuk, maka diameter saluran pernafasan akan menyempit. Ini berarti volume udara yang bisa masuk ke paru berkurang, sehingga kemampuan ventilasi menjadi berkurang. Pada fase awal, pada penderita GBS dengan kelemahan otot pernafasan yang menonjol, pembersihan saluran pernafasan bisa dilakukan dengan bantuan ventilator atau manual hyperinflation. Dengan teknik tertentu, maka panjang ekspirasi bisa diperpendek, sehingga kecepatan udara yang keluar pada waktu ekspirasi bisa meningkat. Dengan demikian sekresi saluran pernafasan bisa dikeluarkan. Selain menggunakan bantuan ventilator dan manual hyperinflation, bisa dilakukan postural drainage untuk membantu memindahkan sekresi dari saluran pernafasan yang distal ke yang lebih proksimal. Untuk membersihkan sekresi dari saluran pernafasan, penderita harus mampu batuk, atau bila tidak harus dilakukan suction. Selama melakukan postural drainage, haruslah diwaspadai tanda-tanda gangguan otonomik, seperti kecepatan nafas permenit, nadi permenit, atau saturasi penderita agar selalu dalam batas normal. Jelaslah bahwa melatih batuk sejak dini sangatlah diperlukan untuk meningkatkan kemampuan pembersihan saluran pernafasan. Hal ini biasanya bisa terlaksana pada fase kedua, ketika otot-otot pernafasan mulai menguat. Atau pada fase pertama bila kelemahan otot-otot pernafasan masih mampu menghasilkan batuk, sehingga latihan batuk berguna untuk mempertahankan kekuatan otot. h. Penatalaksanaan pada Gangguan Menelan
Jika terjadi juga gangguan menelan, maka resiko infeksi dada semakin tinggi. Oleh karena kemungkinan masuknya benda asing ke saluran pernafasan menjadi lebih besar. Benda tersebut kemudian akan menjadi sumber infeksi dada. Dalam hal ini ada dua masalah dalam sistem respiratori, yakni benda itu sediri, dan sekresi yang berlebihan akibat adanya benda asing yang masuk ke saluran pernafasan. Bila kemampuan pasien untuk batuk kuat, maka pasien mampu mengeluarkan benda asing dari saluran pernafasan dan membersihkan
sekresi. Sayangnya, biasanya gangguan menelan disertai kelemahan otot pernafasan, sehingga penderita tidak mampu batuk. Namun penderita dengan gangguan menelan biasanya menerima makanan melalui slang yang langsung masuk ke lambung, sehingga tidak perlu dikawatirkan akan masuk ke saluran pernafasan. Pada fase pertama tidak banyak fisioterapi yang bisa dilakukan. Tetapi pada fase ke dua program fisioterapi yang bisa diberikan adalah segera memberikan latihan batuk, bila otot-otot pernafasan sudah bertambah kuat. Sehingga pada saatnya penderita belajar menelan, resiko masuknya benda asing ke saluran pernafasan sudah teratasi. i. Penatalaksanaan pada Problem Saraf Otonomik
Seperti disebutkan diatas, gangguan saraf otonomik akan timbul, bila kehancuran selaput myelin mencapai tingkat thoracal atau lebih tinggi, yakni cranial nerves. Pada umumnya gangguann saraf otonnomik tersebut adalah hal yang perlu dicermati dalam melakukan tindakann fisioterapi. Gangguangangguan tersebut antara lain labilnya tekanan darah, keluarnya keringat tidak sesuai keadaan, atau postural hipotensi. Gangguan-gangguan tersebut akan mejadi masalah, biasanya pada waktu mobilisasi. Pada waktu mobilisasi, misalnya dari berbaring ke duduk, tubuh memerlukan berbagai adaptasi, oleh karena terjadi perbedaan pengaruh terhadap tubuh. Tanpa gangguan saraf otonomik pun, seseorang yanng berbaring lama memerlukan waktu untuk beradaptasi terhadap tekanan darah. Adaptasi tersebut teratasi oleh karena pusat pengaturan tekanan darah mendapatkan input, kemudian tekanann darah meningkat atas pengaruh saraf otonnom. Bila terjadi gangguan saraf otonnomik, maka adaptasi tersebut akan terganggu. Maka, dalam memberikan tindakan fisioterapi harus selalu dicermati tekanan darah dari waktu ke waktu. Oleh karena yang diukur adalah tekanan darah, maka yang dijadikan aturan adalah tekanan darah. Bila memungkinkan digunakan spirometer elektronik yang terus bisa dimonitor setiap saat. Disamping tekanan darah, bisa dicermati kemampuan komunikasi penderita, atau warna muka sebagai indikator tekanan darah. j. Penatalaksanaan pada Problem Sensasi
Problem sensasi pada penderita GBS yang muncul adalah rasa terbakar, kesemutan, rasa tebal atau nyeri. Tidak banyak yang bisa dilakukan untuk
mengurangi ketidaknyamanan akibat rasa tebal, rasa terbakar, atau kesemuta. Secara teori rasa nyeri bisa dikurangi dengan pemberian TNS. Rasa nyeri bisa disebabkan murni oleh karena gangguan sensasi. Tetapi nyeri pada punggung mungkin juga disebabkan oleh kurangnya gerakan pada sendi-sendi tulang belakang. Bila sesudah peregangan sendisendi tulang belakang beserta otot-otot disekitarnya, rasa nyeri berkurang, maka rasa nyeri tersebut disebabkan oleh kurangnya gerakan. Tetapi bila rasa nyeri tersebut tidak hilang, maka gangguan tersebut disebabkan oleh gangguan sensasi. Seringkali rasa nyeri yang timbul karena kombinasi keduanya. Jadi bila sesudah peregangan rasa nyeri berkurang, tetapi tidak hilang sama sekali. Bila rasa nyeri disebabkan oleh kuranngnya gerakan sendi, tindakan yang bisa dilakukan adalah peregangan lebih lanjut, atau lebih spesifik bisa dilakukan manipulasi atau mobilisasi pada tulang belakang tertentu. Selain ketidaknyamanan, rasa tebal juga bisa menimbulkan komplikasi, yaitu dekubitus. Rasa tebal menyebabkan penderita tidak dapat merasakan tekanan kasur pada penonjolan-penonjolan tulang, sehingga memungkinkan terjadi lecet dan akhirnya dekubitus. Oleh karenanya perubahan posisi harus selalu dilakukan sebagai usaha pencegahan. Idealnya perubahan posisi dilakukan setiap 2 jam, dan setiap penonjolan tulang harus selalu mendapat perhatian.
B.
Medikamentosa
Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital.Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktive juga harus disiapkan .Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan. Plasma exchange therapy (PE) telah dibuktikan dapat memperpendek lamanya
paralisa dan mepercepat terjadinya penyembuhan. Waktu yang paling efektif
untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Regimen standard terdiri dari 5 sesi ( 40 – 50 ml / kg BB) dengan saline dan albumine sebagai penggantinya. Perdarahan aktif, ketidakstabilan hemodinamik berat dan septikemia adalah kontraindikasi dari PE . Intravenous inffusion of human Immunoglobulin ( IVIg ) dapat menetralisasi
autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4 g / kg BB / hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan
PE
atau
IVIg.
Fisiotherapy
meningkatkan kekuatan dan fleksibilitas
juga
dapat
dilakukan
untuk
otot setelah paralisa.Heparin dosis
rendah dapat diberikan unutk mencegah terjadinya trombosis .
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.
2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).
3. Pengobatan imunosupresan:
a. Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. b. Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
6 merkaptopurin (6-MP)
azathioprine
cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.
2
c. Terapi fisik: - alih baring 1) latihan ROM dini u/ cegah kontraktur 2) Hidroterapi d.
Supportif: profilaksis DVT (heparin s.c).
e.
Analgesik Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan
nyeri
sangat,penelitian
ringan,
random
namun
control
tidak
trial
untuk
mendukung
nyeri
yang
penggunaan
gabapentin atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB fase akut. Analgesic narkotik dapat digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati-hati kepada efeksamping denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol, gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk penatalaksanaan nyeri neuropatik jangka panjang. Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric, isotonic,
isokinetic,
dan
manual
serta
latihan
secara
progresif.
Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus, posture, orthotics,dan nutrisi yang sesuai.
C. Pemulihan
1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan 2. 15% pulih sempurna 3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL 4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap 5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat berlangsung >2 tahun 6. Mortalitas: 3-5% 7. Relaps: 2-10% 8. Perburukan: 6% menjadi CIDP ( Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy)
4
D. Prognosis Faktor yang mempengaruhi buruknya prognostik:
1. Penurunan hebat amplitudo potensial aksi berbagai otot 2. Umur tua 3. Kebutuhan dukungan ventilator 4. Perjalanan penyakit progresif & berat
.
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengan keadaan antara lain: a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset c. progresifitas penyakit lambat dan pendek d. pada penderita berusia 30-60 tahun
2.9
Pencegahan Guillain Barre Syndrome
2.10 Asuhan Keperawatan Guillain Barre Syndrome 1.
B1 (Breathing) Kesulitan bernafas / sesak, pernafasan abdomen, apneu, menurunnya kapasitas vital / paru, reflek batuk turun, resiko akumulasi secret.
2.
B2 (Bleeding) Hipotensi / hipertensi, takikardi / bradikardi, wajah kemerahan.
3.
B3 (Brain) Kesemutan, kelemahan-kelumpuhan, ekstremitas sensasi nyeri turun, perubahan ketajaman penglihatan, ganggua keseimbangan tubuh, afasis (kemampuan bicara turun), fluktuasi suhu badan.
4.
B4 (Bladder) Menurunkan fungsi kandung kemih, retensi urine, hilangnya sensasi saat berkemih.
5.
B5 ( Bowel) Kesulitan menelan-mengunyah, kelemahan otot abdomen, peristaltic usus turun, konstipasi sampai hilangnya sensasi anal.
6.
B6 (Bone) Gangguan mobilitas fisik-resiko cidera / injuri fraktur tulang, hemiplegi, paraplegi.