TINJAUAN PUSTAKA 1 DEFINISI
Sindroma Guillain Barre yang disebut juga Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (AIDP) atau Post Infections Polyneuritis yang dapat diartikan sebagai suatu kelainan akut dan difus dari sistim saraf yang mengenai radiks spinalis, saraf perifer, dan kadang-kadang saraf kranialis setelah suatu infeksi. Sindrom Guillain-Barre adalah penyakit autoimun yang menimbulkan peradangan dan kerusakan mielin (material lemak, terdiri dari lemak dan protein yang membentuk selubung pelindung di sekitar beberapa jenis serat saraf perifer). Gejala dari penyakit ini mula-mula adalah kelemahan dan mati rasa di kaki yang dengan cepat menyebar menimbulkan kelumpuhan. Penyakit ini perlu penanganan segera dengan tepat, karena dengan penanganan cepat dan tepat, sebagian besar sembuh sempurna. Guillain Barre syndrome (GBS) adalah gangguan sistem imun dari sistem saraf perifer bersifat akut. Istilah GBS sering dianggap identik dengan akut polyradiculoneuropathy demielinasi inflamasi (AIDP) 2 . EPIDEMIOLOGI SGB merupakan penyebab paralisa akut yang tersering di negara barat. Insiden SGB yang dilaporkan di negara-negara Barat berkisar 0,89-1,89 kasus per 100.000 orang pertahun, meskipun peningkatan 20% terlihat dengan setiap kenaikan usia 10 tahun setelah dekade pertama. Rasio pria terhadap wanita dengan sindrom ini adalah 1,78 (interval kepercayaan 95%, 1,36-2,33). Dua pertiga dari kasus didahului oleh gejala infeksi saluran pernapasan atas diare akut. Dalam metaanalisis, agen infeksi yang paling sering diidentifikasi adalah Campylobacter jejuni sekitar 30%, sedangkan cytomegalovirus telah diidentifikasi dalam hingga 10%. Insiden SGB diperkirakan 0,25-0,65 per 1.000 kasus infeksi Campylobacter jejuni, dan 0,6-2,2 per 1000 kasus sitomegalovirus primer infection. Agen lain yang
dihubungan dengan SGB adalah Epstein-Barr, virus Varicella-Zoster, dan Mycoplasma pneumoniae. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. 3 . ETIOLOGI Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain : 1. Infeksi Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome adalah infeksi Campylobacterjejuni. Bakteri dari genus Campylobacter diidentifikasi sebagai yang paling umum menjadi sumber gastroenteritis bakteri di Amerika Serikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan bukti adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejuni pada 26-45% pasien Guillain–Barré Syndrome 2. Vaksinasi 3. Pembedahan 4. Kehamilan atau dalam masa nifas 5. Penyakit sistemik a. Keganasan b. Systemic Lupus Erithematous c. Tiroiditis
d. Penyakit Addison 4 .KLASIFIKASI Guillain–Barré Syndrome diklasifikasikan sebagai berikut : 1. Acute Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) adalah jenis paling umum ditemukan pada Guillain–Barré Syndrome, yang juga cocok dengan gejala asli dari sindrom tersebut. Manifestasi klinis paling sering adalah kelemahan anggota gerak proksimal dibanding distal. Saraf kranialis yang paling umum terlibat adalah nervus facialis. Penelitian telah menunjukkan bahwa pada AIDP terdapat infiltrasi limfositik saraf perifer dan demielinasi segmental makrofag .
2. Acute Motor Axonal Neuropathy Acute motor axonal neuropathy (AMAN) dilaporkan selama musim panas Guillain–Barré Syndrome epidemik pada tahun 1991 dan 1992 di Cina Utara dan 55% hingga 65% dari pasien Guillain–Barré Syndrome merupakan jenis ini. Jenis ini lebih menonjol pada kelompok anak-anak, dengan ciri khas degenerasi motor axon. Klinisnya, ditandai dengan kelemahan yang berkembang cepat dan sering dikaitkan dengan kegagalan pernapasan, meskipun pasien biasanya memiliki prognosis yang baik. Sepertiga dari pasien dengan AMAN dapat hiperrefleks, tetapi mekanisme belum jelas. Disfungsi sistem penghambatan melalui interneuron spinal dapat meningkatkan rangsangan neuron motoric . 3. Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy Acute Motor Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN) adalah penyakit akut yang berbeda dari AMAN, AMSAN juga mempengaruhi saraf sensorik dan motorik. Pasien biasanya usia dewasa, dengan karakteristik atrofi otot. Dan pemulihan lebih buruk dari AMAN . 4. Miller Fisher Syndrome Miller Fisher Syndrome adalah karakteristik dari triad ataxia, arefleksia, dan oftalmoplegia. Kelemahan pada ekstremitas, ptosis, facial palsy, dan bulbar palsy
mungkin terjadi pada beberapa pasien. Hampir semua menunjukkan IgG auto antibodi terhadap ganglioside GQ1b. Kerusakan imunitas tampak terjadi di daerah paranodal pada saraf kranialis III, IV, VI, dan dorsal root ganglia 5. Acute Neuropatic panautonomic Acute Neuropatic panautonomic adalah varian yang paling langka pada SGB. Kadang-kadang disertai dengan ensefalopati. Hal ini terkait dengan tingkat kematian tinggi, karena keterlibatan kardiovaskular, dan terkait disritmia. Gangguan berkeringat, kurangnya pembentukan air mata, mual, disfaga, sembelit dengan obat pencahar atau bergantian dengan diare sering terjadi pada kelompok pasien ini. Gejala nonspesifik awal adalah kelesuan, kelelahan, sakit kepala, dan inisiatif penurunan diikuti dengan gejala otonom termasuk ortostatik ringan. Gejala yang paling umum saat onset berhubungan dengan intoleransi ortostatik, serta disfungsi pencernaan . 6. Ensefalitis Batang Otak Bickerstaff’s (BBE) Tipe ini adalah varian lebih lanjut dari SGB. Hal ini ditandai dengan onset akut oftalmoplegia, ataksia, gangguan kesadaran, hiperrefleks atau babinsky sign. Perjalanan penyakit dapat monophasic atau terutama di otak tengah, pons, dan medula. BEE meskipun presentasi awal parah biasanya memiliki prognosis baik. MRI memainkan peran penting dalam diagnosis BEE. Sebagian besar pasien BEE telah dikaitkan dengan SGB aksonal, dengan indikasi bahwa dua gangguan yang erat terkait dan membentuk spectrum lanjutan. Secara singkat dijelaskan pada table berikut :
Subtipe
Ciri Khas
Elektro-
Patologi
diagnosis Acute
Orang
dewasa
lebih Demyelinisasi
inflammatory
banyak terkena AIDP
Serangan pertama pada permukaan sel
demyelinating dibanding
anak-anak;
polineuropath merupakan 90% kasus y (AIDP)
myelin menyebar luas,
di dunia bagian barat;
aktifasi makrofag dan
penyembuhan
infiltrasi limfosit;
antobodi
cepat; anti-GM1
(<50%). Acute
Schwann; kerusakan
variabel sekunder dari kerusakan akson
motor Anak-anak dan dewasa Aksonal
Serangan pertama pada
axonal
muda; terjadi prevalensi
nodus Ranvier motorik;
neuropathy
tinggi
aktifasi
(AMAN)
mexico karena
di
cina
dan
;mungkin cuaca;
cepat
makrofag,
sedikit limfosit, sering ditemui
makrofag
sembuh; antibodi anti-
diperiaksonal;
GD1a
keparahan
kerusakan
aksonal
sangat
bervariasi Acute
motor Lebih
banyak
pada Aksonal
Sama dengan AMAN,
sensory axonal dewasa; tidak serring
tapi juga mengganggu
neuropathy
terjadi;
nervus sensoris dan akar
(AMSAN)
lambat, dan biasanya
nervus
sensori;
tidak
kerusakan
aksonal
penyembuhan
lengkap;
berhubungan
erat
biasanya berat
dengan AMAN Miller Fisher Dewasa dan ank-anak; Demyelinisasi
Hanya
sedikit
kasus
syndrome
tidak
sering
terjadi;
yang diperiksa; mirip
(MFS)
oftalmoplegia,
ataxia,
AIDP
dan arefleksia; antibodi antiGQ1b(90%) Tabel 1. Klasifikasi Guillain–Barré Syndrome 5 PATOFISIOLOGI Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi. Buktibukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :
1.
Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2.
Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan
3.
Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran . Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNFα . Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah keadaan
alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan komponenkomponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin . Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf yang ditransmisikan . Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan semakin lambat .
Gambar 1. Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre
Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin (Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh, seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan mencapai myelin serta merusaknya dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang, sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi tubuh . Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan .
Limphosit bermigrasi & bertransformasi ke dlm serabut saraf, myelin & axon belum rusak.
Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai terjadi segmental demyelinisasi, axon belum rusak.
kerusakan selubung myelin & axon, Terjadi kromatolisis sentral inti sel saraf atropi & denervasi.
Kerusakan axon >> proximal, kerusakan irreversible regenerasi sel saraf (-)
Gambar 2. Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis
Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama . Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf .
Gambar 3. Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf tepi Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak atau hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer . Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh lebih cepat .
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi, namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat .
Gambar 4. Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran .
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta TNFα . Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah otak, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein mielin disamping menghasilkan TNF dan komplemen . Peran imunitas seluler Dalam sistem kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limfosit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/ terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen .
6 .MANIFESTASI KLINIS Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang mengalami infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain– Barré Syndrome. Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré Syndrome adalah gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi kira-kira 1-3 minggu sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien Guillain–Barré Syndrome pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum diagnosis Guillain–Barré Syndrome . Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris dari parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang bervariasi. Hal ini juga dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke proksimal yang menyebabkan kelemahan motorik dan akhirnya menjadi paralisis . Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak selalu hadir pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada banyak variasi seperti hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala lainnya . Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut: a. Kelemahan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka. Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Anggota tubuh bagian bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak napas mungkin
ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi . b. Keterlibatan saraf kranial Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus . Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa menampakkan palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari Guillain–Barré Syndrome adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial . c. Perubahan Sensorik Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan sensori cenderung minimal dan variabel.Kebanyakan pasien mengeluh parestesia, mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik . d. Nyeri Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome, 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré Syndrome pada beberapa waktu selama perjalanannya.Nyeri paling parah dapat dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau berdenyut . Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian pasien dengan Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan palsi saraf, ulkus dekubitus) .
e. Perubahan otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré Syndrome. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia, bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik, anhidrosis dan /atau diaphoresis (. Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu . f. Pernapasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 1033 persen penderita . Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan menelan, dan bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu selama perjalanan penyakit mereka . g. Papil Edema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang . Manifestasi klinik yang paling sering terjadiadalah kelemahan dan nyeri pada anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri digambarkan seperti “kuda charlie” yaitu nyeri yang timbul hanya dengan perubahan kecil yang seharusnya tidak menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga dengan hipersensitif atau hiperalgesia . Perjalanan alamiah Guillain–Barré Syndrome, skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita Guillain–Barré Syndrome. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, yaitu :
1. Fase progresif.
Umumnya berlangsung 2-3 minggu, sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap, dikenal sebagai ‘titik nadir’. Pada fase ini akan timbul nyeri, kelemahan progresif dan gangguan sensorik; derajat keparahan gejala bervariasi tergantung seberapa berat serangan pada penderita. Kasus Guillain–Barré Syndrome yang ringan mencapai nadir klinis pada waktu yang sama dengan Guillain–Barré Syndrome yang lebih berat. Terapi secepatnya akan mempersingkat transisi menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen. Terapi berfokus pada pengurangan nyeri serta gejala . 2. Fase plateau. Fase infeksi akan diikuti oleh fase plateau yang stabil, dimana tidak didapati baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti, namun derajat kelemahan tetap ada sampai dimulai fase penyembuhan. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Perludilakukan monitoring tekanan darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis. Imunoterapi dapat dimulai di fase ini. Penderita umumnya sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan khusus, serta fisioterapi. Pada pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat saraf yang meradang serta kekakuan otot dan sendi;namun nyeri ini akan hilang begitu proses penyembuhan dimulai. Lama fase ini tidak dapat diprediksikan; beberapa pasien langsung mencapai fase penyembuhan setelah fase infeksi,sementara pasien lain mungkin bertahan di fase plateau selama beberapa bulan, sebelum dimulainya fase penyembuhan . 3. Fase penyembuhan Akhirnya, fase penyembuhan yang ditunggu terjadi, dengan perbaikan dan penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang menghancurkan myelin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal, serta mengajarkan penderita untuk menggunakan otot-ototnya secara optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap menunjukkan gejala ringan samapi waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi . 7 .DIAGNOSIS Diagnosis Guillain–Barré Syndrome terutama ditegakkan secara klinis. Kriteria diagnosis yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu : 1. Kelumpuhan progresif dari lengan dan tungkai. Mungkin diawali oleh kelumpuhan di ekstremitas bawah saja, gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50% mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu dan 90% dalam 4 minggu. 2. Arefleksia (penurunan refleks tendon). 3. Ditemui hal-hal yang memperkuat prognosis: a. Progresi dari gejala dalam 4 minggu atau kurang b. Gejala relatif simetris c. Ada gejala sensoris yang ringan d. Ada keterlibatan saraf kranial. Gejala saraf kranial ±50% terjadi paresis nervus VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan e. Disfungsi otonom: takikardi, aritmia, hipotensi, hipertensi dan gejala vasomotor f. Nyeri biasanya sering terjadi g. Terdapat protein dengan konsentrasi tinggi, serta kelainan pada CSF yang khas. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosis: - Protein cairan serebrospinal: meningkat setelah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada lumbal pungsi serial - Jumlah sel cairan serebrospinal <10MN/m3 - Varian: tidak ada peningkatan protein cairan serebrospinal setelah 1 minggu gejala, jumlah sel cairan serebrospinal 11-50 MN/m3
h. Ada gambaran elektrodiagnosis yang spesifik. Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus. Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari normal. Hal-hal yang dapat menimbulkan keraguan akan diagnosis adalah sebagai berikut ; a. Disfungsi paru berat dengan kelemahan tungkai yang terbatas pada awal penyakit b. Tanda sensoris yang berat dengan kelemahan pada awal penyakit c. Disfungsi kandung kemih atau disfungsi usus d. Demam e. Progresi lambat dengan kelemahan terbatas tanpa keterlibatan sistem respirasi f. Kelemahan asimetri yang menetap g. Disfungsi kandung kemih dan usus yang menetap h. Peningkatan jumlah sel mononuklear dalam CSF (> 50 x 106/L) i. Adanya sel polimorfonuklear di CSF. Diagnosis Guillain–Barré Syndrome umumnya ditentukan oleh adanya kriteria klinis dan beberapa temuan klinis yang didukung oleh pemeriksaan elektrofisiologis dan cairan serebrospinal (CSS) .
Kriteria Diagnostik untuk Sindroma Guillain-Barre Temuan yang dibutuhkan untuk diagnosis
Kelemahan progresif kedua anggota gerak atau lebih
Arefleksia
Temuan klinis yang mendukung diagnosis :
Gejala atau tanda sensorik ringan
Keterlibatan saraf kranialis (bifacial palsies) atau saraf kranial lainnya
Penyembuhan dimulai 2-4 minggu setelah progresivitas berhenti
Disfungsi otonom
Tidak adanya demam saat onset
Progresivitas dalam beberapa hari hingga 4 minggu
Adanya tanda yang relatif simetris
Temuan laboratorium yang mendukung diagnosis:
Peningkatan protein dalam CSS dengan jumlah sel <10 sel/μl
Temuan elektrofisiologis mengenai adanya demyelinasi: melambatnya atau terbloknya hantaran saraf
A. Pemeriksaan neurologis Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan pada otot otot intercostal. Tanda rangsang meningeal seperti perasat kernig dan kaku kuduk mungkin ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinsky tidak ditemukan .
B. Pemeriksaan penunjang 1. Pemeriksaan laboratorium
Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak (> 0,5 mg%) tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu. Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). 2. Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Guillane Barre Syndrome merupakan suatu kelainan pada konduksi pada saraf dan EMG dapat menjadi suatu penilaian yang baik untuk mengkonfirmasi diagnosis, identifikasi dari segmen saraf yang rusak dan memperkirakan prognosis. Ada sejumlah laporan temuan elektrodiagnostik dalam kasus ini beberapa menunjukkan sedikit perubahan pada konduksi saraf dengan adanya kelemahan yang parah, mengarah ke kesimpulan oleh beberapa bahwa tidak ada korelasi antara gejala klinis dan studi konduksi saraf.
3. Pemeriksaan Darah Tepi Dapat didapati polimorfonuclear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat terjaadi limfositosis, eosinofilia jarang ditemui. Laju endap darah (LED) dapat meningkat sedikit atau normal, sementara anemia bukanlah salah satu gejala . 4. Test hipersensitivitas Dapat dijumpai hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG, IgM, dan IgA, akibat demyelinasi saraf pada kultur jaringan. Abnormalitas fungsi hati terdapat pada kurang dari 10% kasus, menunjukkan adanya hepatitis virus yang akut atau sedang berlangsung; umumya jarang karena virus hepatitis itu sendiri, namun aibat infeksi CMV ataupun EBV .
5. Elektrokardiografi (EKG) Menunjukkan adanya perubahan gelombang T serta sinus takikardi. Gelombang T akan mendatar atau inverted pada lead lateral. Peningkatan voltase QRS kadang dijumpai, namun tidak sering . 6. Tes fungsi respirasi Dikenal juga dengan pengukuran kapasitas vital paru ini, akan menunjukkan adanya insufisiensi respiratorik yang sedang berjalan (impending) . 7. Pemeriksaan Patologi Anatomi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tiga belas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur . Asbury, dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson .
8 DIAGNOSIS BANDING Gejala klinis Guillain–Barré Syndrome biasanya jelas dan mudah dikenal sesuai dengan kriteria diagnostik dari NINCDS, tetapi pada stadium awal kadangkadang harus dibedakan dengan keadaan lain. Penyakit lain yang mungkin dapat
menyebabkan kelemahan yang cepat dan progresif harus disingkirkan dan dibedakan. Penyakit-penyakit tersebut diantaranya adalah . 1. Gangguan elektrolit o hypophosphatemia o hyperkalemia 2. Porphyria, 3. Polymyositis atau necrotising myopathies, 4. Myasthenia gravis, 5. Poliomyelitis dan 6. Lyme borreoliosis. 7. Mielitis akuta 8. Poliomyelitis anterior akuta 9. Porphyria intermitten akuta 10. Polineuropati post difteri
Guillain–Barré Syndrome harus dibedakan dari kondisi medis lainnya dengan gejala kelemahan motorik subakut lainnya, antara lain sebagai berikut : 1. Miastenia gravis akut, tidak muncul sebagai paralisis asendens, meskipun terdapat ptosis dan kelemahan okulomotor. Otot mandibula penderita Guillain– Barré Syndrome tetap kuat, sedangkan pada miastenia otot mandibula akan melemah setelah beraktivitas; selain itu tidak didapati defisit sensorik ataupun arefleksia. 2. Thrombosis arteri basilaris, dibedakan dari Guillain–Barré Syndrome dimana pada Guillain–Barré Syndrome, pupil masih reaktif, adanya arefleksia dan abnormalitas gelombang F; sedangkan pada infark batang otak terdapat hiperefleks serta refleks patologis Babinski 3. Paralisis periodik, ditandai oleh paralisis umum mendadak tanpa keterlibatan otot pernafasan dan hipo atau hiperkalemia. 4. Botulisme, didapati pada penderita dengan riwayat paparan makanan kaleng yang terinfeksi.19 Gejala dimulai dengan diplopiadisertai dengan pupil yang
non-reaktif pada fase awal, serta adanya bradikardia; yang jarang terjadi pada pasien Guillain–Barré Syndrome. 5. Tick paralysis, paralisis flasid tanpa keterlibatan otot pernafasan; umumnya terjadi pada anak-anak dengan didapatinya kutu (tick) yang menempel pada kulit. 6. Porfiria intermiten akut, terdapat paralisis respiratorik akut dan mendadak, namun pada pemeriksaan urin didapati porfobilinogen dan peningkatan serum asam aminolevulinik delta. 7. Neuropati akibat logam berat; umumnya terjadi pada pekerja industri dengan riwayat kontak dengan logam berat. Onset gejala lebih lambat daripada Guillain–Barré Syndrome. 8. Cedera medulla spinalis, ditandai oleh paralisis sensorimotor di bawah tingkat lesi dan paralisis sfingter. Gejala hamper sama yakni pada fase syok spinal, dimana refleks tendon akan menghilang. 9. Poliomyelitis, didapati demam pada fase awal, mialgia berat, gejala meningeal, yang diikuti oleh paralisis flasid asimetrik. 10. Mielopati servikalis. Pada Guillain–Barré Syndrome, terdapat keterlibatan otot wajah dan pernafasan jika muncul paralisis, defisit sensorik pada tangan atau kaki jarang muncul pada awal penyakit, serta refleks tendon akan hilang dalam 24 jam pada anggota gerak yang sangat lemah dalam melawan gaya gravitasi.
10 PENATALAKSANAAN Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi. Adapun penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah :
a. Sistem Otonom Pasien pada stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda tanda vital. Ventilator harus disiapkan disamping pasien sebab paralisa yang terjadi dapat mengenai otot-otot pernapasan dalam waktu 24 jam. Ketidakstabilan tekanan darah juga mungkin terjadi. Obat obat anti hipertensi dan vasoaktif juga harus disiapkan. Pasien dengan progresivitas yang lambat dapat hanya diobservasi tanpa diberikan medikamentosa.Pasien dengan progresivitas cepat dapat diberikan obat-obatan berupa steroid. Namun ada pihak yang mengatakan bahwa pemberian steroid ini tidak memberikan hasil apapun juga. Steroid tidak dapat memperpendek lamanya penyakit, mengurangi paralisa yang terjadi maupun mempercepat penyembuhan. Idealnya, semua pasien harus harus dirawat di unit perawatan kritis, di mana sumber daya yang memadai tersedia untuk memungkinkan pemantauan jantung dan pernapasan terus menerus. Bahkan tanpa adanya klinis distress pernapasan, ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada pasien dengan setidaknya satu kriteria utama atau dua kriteria minor. Kriteria utama adalah hiperkarbia (tekanan parsial karbon dioksida arteri, > 6,4 kPa [48 mm Hg]), hipoksemia (tekanan parsial oksigen arteri sementara pasien menghirup udara ambien, <7,5 kPa [56 mm Hg]), dan kapasitas vital kurang dari 15 ml per kilogram berat badan, dan kriteria minor batuk tidak efisien, gangguan menelan, dan atelektasis. Penilaian awal kemampuan menelan pasien pada risiko aspirasi, mengharuskan pemasangannasogastric tube. Disfungsi otonom serius dan berpotensi fatal, seperti aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi, terjadi pada 20% pasien SGB, bradikardia berat mungkin didahului oleh beda tekanan nadi yang lebar (melebihi 85 mm Hg).
b. Fisioterapi Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai, maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
c. Plasma exchange therapy (PE) Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang paling efektif untuk melakukan PE adalah dalam 2 minggu setelah munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 40-50 ml/kg dalam waktu 710 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
d. Imunoglobulin IV Intravenous
inffusion
of
human
Immunoglobulin
(IVIg)
dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto antibodi tersebut. IVIg juga dapat mempercepat katabolisme IgG, yang kemudian menetralisir antigen dari virus atau bakteri sehingga T cells patologis tidak terbentuk. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul dengan dosis 0,4g/kgBB/hari selama 5 hari. Pemberian PE dikombinasikan dengan IVIg tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan hanya memberikan PE atau IVIg. e. Pengelolaan Tambahan : Gejala Nyeri pada fase akut dan kronis Nyeri adalah gejala yang umum dan parah pada pasien dengan SGB. Adanya nyeri penting, terutama pada pasien yang tidak mampu berkomunikasi karena intubasi. Nyeri biasa gejala yang muncul sebelum onset kelemahan mungkin membingungkan dan menunda dalam mendiagnosis SGB. Nyeri dijumpai hingga 89% dari pasien dengan SGB. Perbedaan gejala rasa sakit yang terkait dengan SGB dapat dibedakan selama fase penyakit: parestesia atau dysaesthesia, nyeri punggung atau radikular, meningisme, nyeri otot, nyeri sendi, dan pain visceral. Nyeri pada SGB bisa sangat parah, dan pengobatan sering tidak berhasil. Kortikosteroid, opioid, gabapentin, dan carbamazepine disarankan untuk menjadi efektif, meskipun
laporannya terbatas. Kemungkinan asal nyeri adalah multifaktorial. Nyeri pada fase akut SGB mungkin dari nosiseptif karena inflamasi. Saraf berdiameter kecil di kulit, bertanggung jawab atas nosisepsi, yang terkena dampak pada SGB. Pengurangan jumlah saraf intraepidermal ditemukan pada biopsi kulit dari pasien dengan SGB. 11 KOMPLIKASI Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi, trombosis vena dalam, paralisa permanen pada bagian tubuh tertentu, dan kontraktur pada sendi.3Pada negara-negara maju, 5% dari pasien dengan sindrom Guillain-Barre meninggal akibat komplikasi medis seperti sepsis, emboli paru, atau henti jantung yang tidak dapat dijelaskan, mungkin terkait dengan dysautonomia/ disfungsi otonom. Disfungsi otonom adalah komplikasi umum pada dua pertiga pasien SGB. Distribusi saraf otonom yang luas mungkin menyebabkan berbagai tanda dan gejala akibat kegagalan atau overaktivitas simpatis dan parasimpatis. Gejalanya termasuk aritmia jantung, fluktuasi tekanan darah, respon tidak normal hemodinamik terhadap obat, kelainan keringat, kelainan pupil, dan disfungsi kandung kemih dan defekasi. Meskipun disfungsi otonom biasanya tidak membahayakan, namun, komplikasi kardiovaskuler dapat terjadi mengancam jiwa. 3-10% dari pasien SGB dapat meninggal, dan beberapa pasien ini penyebabnya kemungkinan mati mendadak. Oleh karena itu, pengenalan disfungsi otonom penting untuk memprediksi pasien akan mengalami gagal otonom yang serius, oleh karena itu perlu pemantauan terus menerus. Bradiaritmia berpotensi serius, mulai dari bradikardia menyebabkan kecacatan. Seringnya disfungsi otonom terjadi dengan SGB. Pada beberapa kasus, penerapan alat pacu jantung transkutan atau atropin harus diberikan. Secara umum, terapi vasoaktif dan morfin sebaiknya digunakan dengan hati-hati. Saraf otonom dapat dipelajari dari biopsi kulit, dan kurang berkorelasi pada saraf intraepidermal dengan menilai densitas saraf pada biopsi kulit pasien dengan SGB. 12. PROGNOSIS
Prognosis dari Guillain–Barré Syndrome sendiri sulit untuk diprediksi pada pasien individual karena variasi subsantasial dari gejala sisanya. Usia tua, sering dilaporkan dengan prognosis yang buruk. Keparahan Guillain–Barré Syndrome ditentukan pada fase awal penyakit. Menurut pembelajaran RCT, telah diinvestigasi bahwa efek IVI atau PE pada pasien yang tidak dapat berjalan dapat disimpulkan bahwa 20% pasien tetap tidak dapat berjalan tanpa bantuan setelah 6 bulan. Pemeriksaan neurofisiologis dilaporkan membantu dalam menilai resiko gagal nafas, yang mana paling tinggi pada pasien dengan pengurangan kapasitas vital pada lebih dari 20% dan tandatanda dimielinasi sebagai pertanda oleh pengurangan aksi potensial gabungan saraf peroneal proksimal atau distal.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Muid Masdar, 2013 , manifestasi klinis dan laboratoris penderita sindroa
guillain barre di ruang perawatan anak RSU dr. Saiful Anwar Malang. SMF ilmu kesehatan anak RSU dr. Saiful Anwar. Malang 2.
Inawati. 2010 . Sindrom guillain barre . http:
elib.fk.uwks.ac.id/asset/archieve/jurnal/vol%20edisi%20khusus%20desember%202010/S INDROM%20GUILLAIN%20BARRE.pdf diakses pada tanggal 25 september 2015. Departemen patologi anatomi Universitas Wijaya Kusuma . Surabaya 3.
M. Burns, Ted . 2008 . Gullain-Barre Syndrome . availabe from :
htttp://orpha.net/data/patho/Pro/em/GuillainBarre-FrenPro834v01.pdf 4.
Japardi I. Sindroma Guillan-Barre. FK USU Bagian Bedah. Available from:
URL: http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi46.pdf. 5.
Evidence Center. 2011 . Available from: http://bestprice.bmj.com/best-
practice/monograph/basics/epidemiology.htmldiakses tanggal14 september 2015 6.
Mardjono M, Sidharta P, Neurologi Klinis Dasar, Edisi VIII, Jakarta : Dian
Rakyat, 2000.
7.
Adams RD, Victor M, Ropper AH. Principles of Neurology 8th Ed. USA
:McGraw Hill, 2005. 8.
Oh SJ, LaGanke C, Claussen GC. Sensory Guillain-Barre Syndrome. Neurology
2001;56;82-86. 9.
Inoue N, Ichimura H, Goto S, Hashimoto Y, Ushio Y. MR Imaging Finding of
Spinal Posterior Column Involvement in a Case of Miller Fisher Syndrome. AJNR Am j Neuroradiol April 2004 25:645-648 10.
Mantay KC, E Armeau, T Parish. Recognizing Guillain-Barré Syndrome in the
primary care setting. The Internet Journal of Allied Health Sciences and Practice 2007; 5(1): 1-8. 11.
Seneviratne U MD(SL), MRCP. Guillain-Barre Syndrome: Clinicopathological
Types and Electrophysiological Diagnosis. Departement of Neurology, National Neuroscience Institute, SGH Campus; 2003 12.
Fauci AS, DL Kasper, DL longo, et al. Harrison’s principles of internal medicine
17th Ed. New York: McGraw-Hill, 2008 13.
Burns TM. Guillain-Barre’ syndrome. Thieme Medical Journal 2008; 28(2): 152-
167. 14.
Ropper H A, Brown H R. Adam’s and Victor, Principles of Neurological 8th
edition. United States of America; 2005. p.1117-27. 15.
Bradley WG, Daroff RB, Fenichel GM, Marsden CD. Editors. Neurology in
clinical practice: the neurological disorders. 2nd edition. USA: Butterworth-Heinemann; 1996.p.1911-16. 16.
Van Doorn PA, L Ruts, B Jacobs. Clinical features, pathogenesis and treatment
of Guillain-Barre syndrome. Lancet Neurol 2008; 7: 939-950.
Bagian Neurologi
Makassar, 8 Maret 2017
Badan Kordinasi Pendidikan Rumah Sakit Bhayangkara
SINDROMA GUILLAIN BARRE
REFERAT Dibuat Dalam Rangka Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter
OLEH : Andi Rizki Sundusiasih A 111 2015 2225
PEMBIMBING : dr. Hasmawaty Basir, Sp. S (K)
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2017
LEMBAR PENGESAHAN Laporan Kasus yang berjudul “Gullain Barre Syndrome” yang dipersiapkan dan disusun oleh :
Nama
: Andi Rizki Sundusiasih
NIM
: 111 2015 2225
Telah diperiksa dan dianggap telah memenuhi syarat Tugas Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter,
Menyetujui, Pembimbing
dr. Hasmawaty Basir, Sp. S (K)
Penyusun
Andi Rizki Sundusiasih A