Step 1 1. Drolling adalah hipersalivasi 2. Halithosis adalah bau mulut Step 2 1. Anatomi dari faring, laring dan tonsil? 2. Mengapa pada pasien mengeluh nyeri padaa tenggorokan? 3. Mengapa pada penderita mengeluh nyeri kepala dan badan lemas? 4. Mengapa didapatkan trismus 2 jari, drolling dan halithosis? 5. Apa aja pemeriksaan penunjang dari scenario? 6. Apa diagnosis dan DD dari scenario? 7. Apa saja etiologi dari scenario? 8. Apa saja gejala dan tanda dari diagnosis scenario? 9. Apa saja terapi dari diagnosis scenario?
Step 3 1. Anatomi dan fisiologi dari faring, laring dan tonsil? tonsil ? Faring == ada ada tabung yang dibaagi jadi nasofaring nasofaring ,orofaring, laringofaring Otot= ada bangunan tonsil palatine di fossa tonsilaris Lateral= jaringan fibrosa= kapsul nontonsilar/tonsilar hemikapsul Permukaan dilapisi epitel non keratin squamous komplek, permukaan tidak rata, didalamnya ada kripte 2. Mengapa pada pasien mengeluh nyeri padaa tenggorokan?
Ada faktor inflamasi infiltrasi dan supurasi keruang potensial peritonsil ada nyeri alih 3. Mengapa pada penderita mengeluh nyeri kepala dan badan lemas? Nyeri kepala Badan lemas= karena ada inflamasi di tenggorokan susah makan proliferasi sel imun tida ada asupan energy lemas Tanda dari inflamasi Fungsiolesa= penurunan fungsi lemas 4. Mengapa didapatkan trismus 2 jari, drolling dan halithosis? Infeksi adaa didaeerah bau Stadium supurasi – menginfiltri ke otot yang pterigoideus interna = trismus Kompensasi kesulitan menelan = drolling Nekrosis jaaringan = bau nafas Seblah kapsul = para faringeal = ada musculus pterigo nimbus apsul masuk mengiritas otot spasme susah menutup mulut 5. Apa aja pemeriksaan penunjang dari scenario? Peritonsilar= ada infeksi pemeriksaan darah = leukosit tinggi Kultur= specimen dri aspirasi abses gold standart Radiologi = foto plos Gambaran cicin isoekoik dengan gambaran sentral hipoekoik Px.fisik; Inspeksi = buka mulut di posterior tekan ada abses= besar ke kontra lateral terlihat uvula bergeser ke lateral Palpasi= ukuran tonsil t1-t4
Lab= elektrolit Ct-scan 6. Apa diagnosis dan DD dari scenario? Diagnosis= abses peritonsilar Trias utama= demam, nyeri tenggorokan, trismus DD= tumor ganas rongga mulut, ca nasofarig, tonsillitis aku, tonsillitis kronis 7. Apa saja etiologi dari scenario? Komplikasi tonsillitis akut = bakteri aerob= step viridian, pyogen, beta hemoliticus, hemovilus influenzza, unaerob= fusobakterium , peptostreptocuc, prevotella,bakteriodes Virus= adenovirus, influenza A B , eipstenbar 8. Apa saja gejala dan tanda dari diagnosis scenario? Mulut bau, muntah, nyeri saat menelan , otalgia, hot potato voice (suara guman) 9. Apa saja terapi dari diagnosis scenario? Nyeri tenggorok Kortikosteroid antbiotik Abses= aspirasi, insisi, drainasi Edukasi= obat kumur
Kronis= tonsilektomi Kompres dingin di daerah leher
Step 4 Step 7 1. Anatomi dan fisiologi dari faring, laring dan tonsil? ANATOMI TONSIL
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak d i dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:
Lateral
Muskulus konstriktor faring superior
Anterior
Muskulus palatoglosus
Posterior
Muskulus palatofaringeus
Superior
Palatum mole
Inferior
Tonsil lingual
Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.
Gambar Tonsilla Palatina
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX yaitu nervus glosofaringeal. (3) Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu 1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris dan arteri palatina asenden 2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden 3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal 4. Arteri faringeal asenden Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris. Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil, vena lidah dan pleksus faringeal.
Aliran Getah Bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cab ang serabut saraf ke IX (nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves. Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4 area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid.
Tonsil merupakan organ limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu : 1) menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik
FISIOLOGI Faring Fungsi faring terutama untuk pernapasan, menelan, resonansi suara dan artikulasi. Proses penelanan dibagi menjadi tiga tahap: 1.
gerakan makanan dari mulut ke faring secara volunter.
2.
transport makanan melalui faring,
3.
jalannya bolus melalui esofagus, keduanya secara involunter.
Langkah yang sebenarnya adalah : pengunyahan makanan dilakukan pada sepertiga tengah lidah Elevasi lidah dan palatum mole mendorong bolus ke orofaring Otot suprahioid berkontraksi, elevasi tulang hioid dan laring dan membuka hipofaring dan sinur piriformis. Secara bersamaan otot laringis intrinsik berkontraksi dalam gerakan seperti sfingter untuk mencegah aspirasi. Gerakan yang kuat dari lidah bagian belakang akan mendorong makanan ke bawah melalui orofaring gerakan dibantu oleh kontraksi otot konstriktor faringis media dan superior Bolus dibawa melalui introitus esofagus ketika otot konstriktor faringis inferior berkontraksi dan otot krikofaringeus berelaksasi Peristaltik dibantu oleh gaya berat, menggerakkan makanan melalui esofagus masuk ke lambung.
Laring Mempunyai tiga fungsi utama, yaitu proteksi jalan napas, respirasi, dan fonasi. Kenyataannya, secara filogenetik, laring mula-mula berkembang sebagai suatu sfingter
yang melindungi saluran pernapasan, sementara perkembangan suara merupakan peristiwa yang terjadi belakangan. Perlindungan jalan napas selama aksi menelan terjadi melalui berbagai mekanisme berbeda. Aditus laringis sendiri tertutup oleh kerja sfingter dari otot tiroaritenoideus dalam plika ariepiglotika dan korda vokalis palsu, di samping aduksi korda vokalis sejati dan aritenoid yang ditimbulkan oleh otot intrinsik laring lainnya. Elevasi laring di bawah pangkal lidah melindungi laring lebih lanjut dengan mendorong epiglotis dan plika ariepiglotika ke bawah menutup aditus. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral, menjauhi aditus laringis dan masuk ke sinus piriformis, selanjutnya ke introitus esofagi. Relaksasi otot krikofaringeus yang terjadi bersamaan mempermudah jalan makanan ke dalam esofagus sehingga tidak masuk ke laring. Di samping itu, respirasi juga dihambat selama proses menelan melalui suatu refleks yang diperantarai reseptor pada mukosa daerah supraglotis. Hal ini mencegah inh alasi makanan atau saliva. Pada bayi posisi laring yang lebih tinggi memungkinkan kontak antara epilglotis dengan permukaan posterior palatum mole. Maka bayi-bayi dapat bernapas selama laktasi tanpa masuknya makanan ke jalan napas. Selama respirasi, tekanan intratoraks dikendalikan oleh berbagai derajat penutupan korda vokalis sejati. Perubahan tekanan ini membantu sistem jantung seperti juga ia mempengaruhi pengisian dan pengosongan jantung dan paru. Selain itu, bentuk korda vokalis palsu dan sejati memungkinkan laring berfungsi sebagai katub tekanan bila menutup, memungkinkan peningkatan tekanan intratorakal yang diperlukan untuk tindakan-tindakan mengejan, misalnya mengangkat berat atau defekasi. Pelepasan tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk mempertahankan ekspansi alveoli terminal dari paru dan membersihkan sekret atau partikel makanan yang berakhir dalam aditus laringis, selain semua mekanisme proteksi lain yang disebutkan di atas. Namun, pembentukan suara agaknya merupakan fungsi laring yang paling kompleks dan paling baik diteliti. Korda vokalis sejati yang terduksi, kini diduga berfungsi sebagai suatu alat bunyi pasif yang bergetar akibat udara yang dipaksa antara
korda vokalis sebagai akibat kontraksi otot-otot ekspirasi. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring ( dan krikotiroideus) berperan penting dalam penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa ujung-ujung bebas korda vokalis sejati dan tegangan korda itu sendiri. Otot ekstralaring juga dapat ikut berperan. Semuanya ini dipantau melalui suatu mekanisme umpan balik yang terdiri dari telinga manusia dan suatu sistem dalam laring sendiri yang kurang dimengerti. Sebaliknya, kekerasan suara pada hakekata proporsional dengan tekanan aliran udara subglotis yang menimbulkan gerakan korda vokalis sejati. Di lain pihak, berbisik diduga terjadi akibat lolosnya udara melalui komisura posterior di antara aritenoid yang terabduksi tanpa getaran korda vokalis sejati
2. Mengapa pada pasien mengeluh nyeri padaa tenggorokan? Ada faktor inflamasi infiltrasi dan supurasi keruang potensial peritonsil ada nyeri alih 3. Mengapa pada penderita mengeluh nyeri kepala dan badan lemas? Nyeri kepala Badan lemas= karena ada inflamasi di tenggorokan susah makan proliferasi sel imun tida ada asupan energy lemas Tanda dari inflamasi Fungsiolesa= penurunan fungsi lemas 4. Mengapa didapatkan trismus 2 jari, drolling dan halithosis? Infeksi adaa didaeerah bau Stadium supurasi – menginfiltri ke otot yang pterigoideus interna = trismus Kompensasi kesulitan menelan = drolling Nekrosis jaaringan = bau nafas
Seblah kapsul = para faringeal = ada musculus pterigo nimbus apsul masuk mengiritas otot spasme susah menutup mulut 5. Apa aja pemeriksaan penunjang dari scenario? 1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit karena ketidakmampuan
pasien membuka mulut. Didapatkan: pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas, mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. Asimetri palatum mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan. Palpasi palatum mole teraba fluktuasi.
2. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standart pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum ( needle aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc. Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui organisme penyebab
infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:
Hitung darah lengkap (complete blood count ), pengukuran kadar elektrolit (electrolyte level measurement ), dan kultur darah (blood cultures).
Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif, penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk identifikasi organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
Plain radiographs adalah foto pandangan jaringan lunak lateral ( Lateral soft tissue views) dari nasopharyng dan oropharyng dapat membantu dokter dalam menyingkirkan diagnosis abses retropharyngeal.
Gambar 8. Foto lateral soft tissue dengan gambaran abses peritonsil
(15)
Computerized tomography (CT scan) biasanya tampak kumpulan cairan hypodense di apex tonsil yang terinfeksi menandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. Pemeriksaan ini dapat membantu untuk rencana operasi.
Gambar 9. CT Scan dari Abses peritonsil dextra
(15)
Peripheral Rim Enhancement Ultrasound , contohnya: intraoral ultrasonography. Intraoral ultrasonografi mempunyai sensifitas 95,2 % dan spesifitas 78,5 %. Transcutaneous ultrasonografi mempunyai sensifitas 80% dan spesifisitas 92,8 %. merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses. Pemeriksaan ini juga bias menentukan pilihan yang lebih terarah sebelum melakukan operasi dan drainase secara pasti.
Gambar 10. Ultrasonografi dari abses peritonsil
6. Apa diagnosis dan DD dari scenario? Diagnosis= abses peritonsilar Trias utama= demam, nyeri tenggorokan, trismus DD= tumor ganas rongga mulut, ca nasofarig, tonsillitis aku, tonsillitis kronis 7. Apa saja etiologi dari scenario? Abses peritonsil terjadi sebagai akibat dari komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman penyebabnya sama dengan kuman penyebab tonsilitis. Abses peritonsil disebabkan oleh organisme yang bersifat aerob maupun yang bersifat anaerob. Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsil adalah Streptococcus pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah Fusobacterium, Prevotella, Porphyromonas, dan Peptostreptococcus sp. Untuk kebanyakan abses peritonsil diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobik. Sedangkan virus yang dapat menyebabkan abses peritonsil antara lain Epstein-Barr, adenovirus, influenza A dan B, herpes simplex, dan parainfluenza.
8. Apa saja gejala dan tanda dari diagnosis scenario? Gejala klasik dimulai 3-5 hari, waktu dari on set gejala sampai terjadinya abses sekitar 2-8 hari. Abses peritonsil akan menggeser kutub superior tonsil ke arah garis tengah dan dapat diketahui derajat pembengkakan yang ditimbulkan di palatum mole. Terdapat riwayat faringitis akut, tonsilitis, dan rasa tidak nyaman pada tenggorokan atau faring unilateral yang semakin memburuk. Kebanyakan pasien menderita nyeri hebat. Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain : Demam Disfagia odinofagia yang menyolok dan spontan. Hot potato voice, mengunyah terasa sakit karena m. Masseter menekan tonsil yang meradan
sakit kepala rasa lemah dehidrasi nyeri telinga (otalgia) ipsilateral mulut berbau (foetor ex orae) muntah (regurgitasi banyak ludah (hipersalivasi) suara sengau (rinolalia) karena oedem palatum molle yang terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis atau oedem perifokalis, dan kadang-kadang sukar membuka mulut (trismus) yang bervariasi, trismus menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna, sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Keparahan dan progresivitasnya ditunjukkan dari trismus. Pernafasan terganggu biasan ya akibat pembengkakan mukosa dan submukosa faring. Sesak akibat perluasan edema ke jaringan laring jarang terjadi. Bila kedua tonsil terinfeksi maka gejala sesak nafas lebih berat dan lebih menakutkan. Akibat limfadenopati dan inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan leher (torticolis)
9. Apa saja terapi dari diagnosis scenario? Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah : a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral. c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara parenteral atau peroral. d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral. e) Pemberian steroid. Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika dikombinasikan dengan metronidazole . Dosis untuk penisilin pada dewasa adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 1224 jam, dan anak 12.500-25.000 U/Kg tiap 6 jam . Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg dan dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama 1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari .
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula den gan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabka perbaikan segera gejalagejala pasien.
Gambar 11. Insisi Abses Peritonsil
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan analgesia loka l di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a” tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi “a” froid. P ada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2 -3 minggu sesudah drainase abses. Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil. Sebagian penulis men ganjurkan tonsilektomi 6 – 8 minggu kemudian mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Gambar 12. Tonsilektomi
Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized ), nyeri tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik parenteral