LAPORAN KASUS HERPES ZOSTER
Oleh : Slamet Hadi Santoso
1050700103121009 10507001031210 09
Tri Wahyudi Iman D
105070107121009 105070107121009
Puti Fajri Lestari
105070107111026 105070107111026
Adiarani Puspitaati
105070100111025 105070100111025
David Christianto
105070100111078 105070100111078
Pembimbing : Dr. Herwinda Brahmanti, M.Sc., Sp.KK
ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2015
1
DAFTAR ISI
COVER DAFTAR ISI BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan 1.4 Manfaat BAB 2. LAPORAN KASUS 2.1 Identitas 2.2 Anamnesis 2.3 Status Dermatologis Dermatologis 2.4 Status Generalis 2.5 Diagnosis Banding 2.6 Pemeriksaan Pemeriksa an Penunjang 2.7 Diagnosis Kerja 2.8 Terapi 2.9 Edukasi 2.10 Prognosis 2.11 Foto Klinis BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Epidemiologi Herpes Zoster 3.2 Etiologi dan Patogenesis Herpes Zoster 3.3 Manifestasi Manifesta si Klinis Herpes Zoster 3.4 Diagnosis Banding Herpes Zoster 3.5 Pemeriksaan Pemeriksa an Penunjang Herpes Zoster 3.6 Komplikasi Komplikas i Herpes Zoster 3.7 Pencegahan Herpes Zoster 3.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Herpes Zoster BAB 4. PEMBAHASAN BAB 5. KESIMPULAN KESIMPUL AN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR GAMBAR
1 2 3 3 4 4 4 5 5 5 5 6 7 7 7 7 7 8 8 10 10 10 20 20 20 21 23 23 25 31 32
Gambar Gambar Gambar Gambar
13 14 16 17
1. 2. 3. 4.
Skema Viremia Primer Skema Viremia Sekunder Varisela, Fase Laten, dan Reaktivasinya Reaktivasinya Dermatom Kulit
2
DAFTAR ISI
COVER DAFTAR ISI BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan 1.4 Manfaat BAB 2. LAPORAN KASUS 2.1 Identitas 2.2 Anamnesis 2.3 Status Dermatologis Dermatologis 2.4 Status Generalis 2.5 Diagnosis Banding 2.6 Pemeriksaan Pemeriksa an Penunjang 2.7 Diagnosis Kerja 2.8 Terapi 2.9 Edukasi 2.10 Prognosis 2.11 Foto Klinis BAB 3. TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Epidemiologi Herpes Zoster 3.2 Etiologi dan Patogenesis Herpes Zoster 3.3 Manifestasi Manifesta si Klinis Herpes Zoster 3.4 Diagnosis Banding Herpes Zoster 3.5 Pemeriksaan Pemeriksa an Penunjang Herpes Zoster 3.6 Komplikasi Komplikas i Herpes Zoster 3.7 Pencegahan Herpes Zoster 3.8 Penatalaksanaan Penatalaksanaan Herpes Zoster BAB 4. PEMBAHASAN BAB 5. KESIMPULAN KESIMPUL AN DAFTAR PUSTAKA DAFTAR GAMBAR
1 2 3 3 4 4 4 5 5 5 5 6 7 7 7 7 7 8 8 10 10 10 20 20 20 21 23 23 25 31 32
Gambar Gambar Gambar Gambar
13 14 16 17
1. 2. 3. 4.
Skema Viremia Primer Skema Viremia Sekunder Varisela, Fase Laten, dan Reaktivasinya Reaktivasinya Dermatom Kulit
2
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Herpes Zoster merupakan penyakit neurokutan yang disebabkan karena
infeksi Vaericella Zoster Virus. Manifestasi lesi herpes zoster berupa erupsi vesicular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radicular unilateral yang terbatas di satu dermatom. Herpes zoster merupakan manifestasi reaktivasi infeksi laten endogen virus varisela zoster di dalam neuron ganglion sensoris radiks dorsalis, ganglion saraf kranialis atau ganglion saraf otonomik yang menyebar ke jaringan saraf dan kulit dengan segmen yang sama. Di Amerika Utara dan Eropa, insiden herpes zoster sekitar 1,5-3 per 1000 orang penduduk di semua kelompok umur. Insiden herpes zoster pada usia lebih dari 60 tahun menjadi 7-11 per 1000 orang penduduk tiap tahun (Arenas R & Estrada R, 2001). Gejala klinis Herpes Zoster diawali dengan gejala prodromal berupa sensasi abnormal seperti nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal, rasa terbakar. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark jantung atau seperti nyeri pada apendisitis. Setelah gejala prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya diikuti gatal atau nyeri yang terlokalisir berupa makula yang berbatas tegas dengan dasar eritem.kemudian berkembang menjadi papul, vesikel jernih selama 3- 5 hari. Setelah itu vesikel jernih akan berubah menjadi keruh dan pecah menjadi krusta. Erupsi kulit mengalami involusi involusi setelah 2-4 minggu (Wolff (W olff K et al ., ., 2013). Pemeriksaan penunjang yang penting untuk menegakkan diagnosis Herpes zoster adalah pemerikaan Tzanck . Gambaran Multinucleated Giant Cell pada mikroskop merupakan petunjuk pasti tentang diagnosis Herpes Zoster (Wolff K et al ., ., 2013). Beberapa terapi dan manajemen dapat diberikan pada pasien dengan Herpes Zoster. Prinsip dasar pengobatan Herpes Zoster adalah menghilangkan nyeri secepat mungkin. Menghilangkan nyeri tersebut bisa dilakukan dengan
3
cara membatasi replikasi virus sehingga mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut. (Wolff K et al ., 2013). Penanganan awal yang cepat dan tepat serta pencegahan dapat menurunkan risiko penderita yang mengalami Herpes Zoster.oleh karena itu penulis tertarik dengan masalah ini karena dengan penanganan yang tepat dan cepat, maka risiko terkena Herpes Zoster dapat diturunkan.
1.2
1.3
Rumusan Masalah 1.
Mengetahui penegakkan diagnosa herpes zoster pada pasien ini.
2.
Mengetahui faktor resiko herpes zoster pada pasien ini.
3.
Mengetahui penatalaksanaan herpes zoster pada pasien ini.
4.
Mengetahui bagaimana monitoring pada kondisi herpes zoster.
Tujuan 1. Mengetahui penegakkan diagnosa herpes zoster pada pasien ini. 2. Mengetahui faktor resiko herpes zoster pada pasien ini. 3. Mengetahui penatalaksanaan herpes zoster pada pasien ini. 4. Mengetahui bagaimana monitoring pada kondisi herpes zoster.
1.4
Manfaat
.
Penulisan makalah laporan kasus dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman dokter muda mengenai herpes zoster dalam hal anamnesa, pemeriksaan
fisik
dan
penunjang,
penegakkan
diagnosa,
penatalaksanaan dan monitoring.
4
BAB 2 LAPORAN KASUS
2.1
Identitas
Nama
: Tn. HS
Usia
: 75 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Perumahan Graha Dewata blok MM-4 no. 9, Kec. Dau, Kab. Malang
Pekerjaan
: Pensiunan Apoteker
No. RM
: 10613110
Tgl Pemeriksaan
: 22 Oktober 2015
2.2
Anamnesis (autoanamnesis)
Keluhan utama : gatal dan nyeri di daerah lengan, dada dan punggung. Pasien mengeluh gatal dan nyeri sejak 4 hari yang lalu. Awal nya timbul kemerahan dan plenting-plenting isi air sedikit, makin lama makin banyak di lengan atas, dada kanan dan punggung kanan sejak 7 hari yang lalu. Tiga hari setelah muncul kemerahan, pasien merasakan gatal dan nyeri di daerah yang kemerahan. Nyeri dirasakan cenut-cenut dan kumat-kumatan. Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat terkena cacar air pada usia 17 tahun. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Riwayat Keluarga Di keluarga, tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien. Riwayat Pengobatan Pasien mengobati sakitnya menggunakan krim inerson dan krim garamisin dipakai dua kali sehari sejak 4 hari yang lalu. Setelah pengobatan, penyakit tidak ada perbaikan. Riwayat Atopi Pasien memiliki alergi terhadap debu. Apabila terpapar debu, pasien akan berssin-bersin sepanjang hari. 2.3 Lokasi
Status Dermatologis : Regio Thoraks Anterior D, Thoraks posterior D dan Brachii D
5
Distribusi
: Dermatom setinggi T1
Ruam
: Multipel vesikel bergerombol, dinding tidak rata, isi air, ukuran bervariasi antara 0,1 - 0,5 cm, dasar eritem, batas tegas, diantara gerombolan vesikel terdapat kulit normal.
2.4
Status Generalis
Keadaan Umum
: compos mentis, GCS 456, kesan gizi baik
Tanda Vital
: tekanan darah, nadi, dan frekuensi napas tidak diperiksa
Kepala/Leher
: tidak diperiksa
Thorax
: tidak diperiksa
6
Abdomen
: tidak diperiksa
Extremitas
: akral hangat, edema (-)
2.5
Diagnosis Banding
1. Herpes Zoster 2. Dermatitis Kontak Iritan
2.6
Pemeriksaan Penunjang
TZANCK Test Hasil
Didapatkan
gambaran Multinucleated Giant Cell
(Hasil Tzanck Test) 2.7
Diagnosis Kerja
Herpes Zoster
2.8
Terapi
Asiklovir 5x800 mg selama 7 hari
Asam mefenamat 3x500 mg bila nyeri
Kompres NaCl 0,9% pada vesikel
2.9
Edukasi
Menjelaskan tentang penyakit yang diderita pasien serta menjelaskan tentang penggunaan obat yang diberikan kepada pasien.
Menjaga Hygiene yang baik
7
2.10
Prognosis
Quo ad vitam
:
ad bonam
Quo ad sanam
:
ad bonam
Quo ad functionam
:
ad bonam
Quo ad kosmetika
:
ad bonam
2.11
Foto Klinis
(lengan kanan)
(dada kanan)
8
(punggung kanan)
9
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Epidemiologi Herpes Zoster Herpes Zoster merupakan penyakit neurokutan yang disebabkan karena
infeksi Vaericella Zoster Virus. Di Amerika Utara dan Eropa, insiden herpes zoster sekitar 1,5-3 per 1000 orang penduduk di semua kelompok umur. Insiden herpes zoster pada usia lebih dari 60 tahun menjadi 7-11 per 1000 orang penduduk tiap tahun (Arenas R & Estrada R, 2001).
3.2
Etiologi dan Patogenesis Herpes Zoster
3.2.1
Etiologi Herpes Zoster Varisela dikatakan sebagai infeksi akut primer karena pada kontak
pertama virus varisella zoster dengan manusia menyebabkan penyakit varisella zosteratau cacar air. Penderita dapat sembuh atau penderita sembuh dengan virus yang menjadi laten (tanpa manifestasi klinis) dalam ganglion dorsalis, jika kemudian terjadi reaktivitas maka virus varisella zoster akan menyebabkan penyakit herpes zoster (Arenas R & Estrada R, 2001) Setelah VZV masuk melalui saluran pernapasan atas, atau setelah penderita berkontak dengan lesi kulit, selama masa inkubasinya terjadi viremia primer. Infeksi mula-mula terjadi pada selaput lendir saluran pernapasan atas kemudian menyebar dan terjadi viremia primer. Pada Viremia primer ini virus menyebar melalui peredaran darah dan system limfa ke hepar, dan berkumpul dalam monosit/makrofag, disana virus bereplikasi, pada kebanyakan kasus virus dapat mengatasi pertahanan non-spesifik sehingga terjadi viremia sekunder. Pada viremia sekunder virus berkumpul di dalam Limfosit T, kemudian virus menyebar ke kulit dan mukosa dan bereplikasi di epidermis memberi gambaran sesuai dengan lesi varisela. Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper endotel pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel dermis, folikel kulit dan glandula sebasea, saat ini timbul demam dan malaise, kemudian disusul timbulnya erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel (8-12 jam) (Gnann JW & W hitley RJ. 2002).
10
Vesikel akan berada pada lapisan sel dibawah kulit dan membentuk atap pada stratum korneum dan lusidum, sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam Gambaran vesikel khas, bulat, berdinding tipis, tidak umbilicated, menonjol dari permukaan kulit, dasar eritematous, terlihat seperti tetesan air mata/embun “tear drops”. Cairan dalam vesikel kecil mula-mula jernih, kemudian vesikel berubah menjadi besar dan keruh akibat sebukan sel radang polimorfonuklear lalu menjadi pustula. Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan lesi mulai mengering dimulai dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu tergantung pada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan membentuk cekungan dangkal berwarna merah muda, dapat terasa nyeri, kemudian berangsur-angsur hilang. Lesi-lesi pada membran mukosa (hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna, saluran kemih, vagina dan konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta, vesikel-vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka, kemudian sembuh dengan cepat. Karena lesi kulit terbatas terjadi pada jaringan epidermis dan tidak menembus membran basalis, maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari terjadi tanpa meninggalkan jaringan parut, walaupun lesi hyper-hipo pigmentasi mungkin menetap sampai beberapa bulan. Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi ditandai dengan demam yang berlanjut dengan suhu badan yang tinggi (39-40,5°C) mungkin akan terbentuk jaringan parut (Menaldi SL et al ., 2014). Pada sebagian besar individu satu kali infeksi VZV biasanya memberikan perlindungan seumur hidup terhadap infeksi ulang VZV dari luar. Tetapi sudah diketahui bahwa infeksi ulang dapat terjadi baik klinis atau sub-klinis; yang diketahui dengan peningkatan titer antibodi VZV setelah terpapar sumber infeksi. Hal ini biasa dijumpai pada orang dewasa yang sudah pernah menderita varisela, tetapi mempunyai kontak serumah dengan penderita varisela. Salah satu penelitian mengatakan infeksi ulang VZV ditemukan 64% asimtomatik pada individu imunokompeten, yang ditandai dengan peningkatan antibodi VZV sampai 4 kali lipat. Infeksi ulang dengan gejala klinis varisela ditemukan sekitar 13%
pada
kelompok
imunokompeten
dan
19%
pada
kelompok
imunokompromais (Oxman MN & Schmander KE, 2012) Faktor-faktor yang diduga memungkinkan timbulnya infeksi ulang dengan gejala klinis adalah : (1) usia muda (kurang dari 12 bulan), (2) infeksi primer yang terlalu ringan sehingga tidak bisa memproduksi respon sel memori yang adekuat
11
untuk melawan infeksi berikutnya, (3) ditemukannya
45%
individu
dengan
faktor genetik, yang didasari pada infeksi
ulang
dengan
gejala
klinis
mempunyai 1 atau lebih anggota keluarga yang pernah menderita varisela berulang. Herpes zoster tidak bisa dipisahkan dengan infeksi primernya yaitu varisela. Untuk lebih memahami patogenesis herpes zoster ini juga dibicarakan perjalanan penyakit yang dimulai dari munculnya varisela (Oxman MN, 2010). 3.2.1.1 Infeksi Primer
Varicella zoster viru s
Infeksi primer VZV 90% terjadi pada anak-anak berusia kurang dari 10 tahun dan 5% pada usia di atas 15 tahun. Pada anak imunokompetan gejala klinis biasanya ringan, dapat sembuh sendiri dan jarang terjadi komplikasi. Pada sebagian individu, infeksi VZV tidak menimbulkan gejala klinis. Manusia akan terinfeksi oleh VZV ketika virus berkontak dengan mukosa traktus respiratorius bagian atas atau konjungtiva. Varicella zoster virus tersebut bisa berasal dari sekret mukosa traktus respiratorius bagian atas, cairan vesikel penderita varisela atau cairan vesikel penderita herpes zoster. Dari mukosa traktus respiratorius bagian atas VZV menuju kelenjar limfe regional dan mengalami replikasi pertama (Gnann JW & Whitley RJ, 2002) 3.2.1.2 Viremia primer Di kelenjar limfe regional virus mengalami replikasi pertama di sel-sel mononukleus darah perifer / PBMCs, diikuti dengan fase viremia primer dimana VZV dalam jumlah yang sedikit menyebar melalui aliran limfe dan darah ke seluruh bagian tubuh untuk selanjutnya mengalami replikasi kedua di liver, limfa atau sel mononukleus dalam jumlah yang lebih banyak. Masa inkubasi ini biasanya berlangsung selama 2 minggu. Adanya DNA VZV di PBMCs pasien imunokompeten dengan varisela sudah dibuktikan dengan metode PCR setelah 24-72 jam munculnya lesi kulit. Pada pasien imunokompeten perkiraan jumlah PBMCs yang terinfeksi VZV sekitar 0,01% - 0,001% (Menaldi SL et al ., 2014). Varicella zoster virus dimusnahkan oleh sel sistim retikuloendotelial, yang merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh alami dan respon imun didapat yang timbul. Pada sebagian besar individu replikasi virus tidak dapat diatasi oleh sistim pertahanan tubuh yang belum berkembang. Sehingga terjadi viremia sekunder dalam jumlah virus yang lebih banyak (Oxman MN & Schmander KE, 2012).
12
Gambar 1. Skema Viremia Primer
3.2.1.3 Viremia sekunder Viremia sekunder terjadi setelah virus yang bertambah banyak dan menyebar ke seluruh tubuh dan menimbulkan gejala demam dan malaise. Pada viremia sekunder virus terutama menyebar ke kulit, mukosa dan neuron ganglion dorsalis untuk menjadi infeksi laten. Varicella zoster virus dibawa ke kulit oleh sel mononukleus darah perifer yang sudah terinfeksi VZV sebelum muncul lesi di kulit. Di kulit VZV mengalami replikasi pada sel endotel kapiler, fibroblas, epitel kulit dan menimbulkan vaskulitis di pembuluh darah kecil, degenerasi sel-sel epitel kulit yang bermanifestasi sebagai lesi varisela (Oxman MN, 2010). Respon imun alami dan didapat menghambat berlanjutnya viremia sekunder ini, sehingga menghambat berkembangnya lesi di kulit, timbulnya varisela yang luas dan varisela pada organ viseral seperti paru yang dikenal dengan varisela pneumonia. Respon imun seluler yang berperan dalam menghambat
penyebaran
VZV
adalah
natural
killer
cells, dengan cara
membunuh sel yang terinfeksi oleh VZV. Terjadinya komplikasi varisela mencerminkan gagalnya sistim imun dalam menghentikan replikasi dan penyebaran virus (Wolff K et al ., 2013).
13
Gambar 2. Skema Viremia Sekunder 3.2.2
Patogenesis Herpes Zoster Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan oleh virus varisella
zoster (virus DNA). Setelah seseorang terkena infeksi primer dari virus varisella zoster atau setelah seseorang terkena penyakit cacar air. Virus varisella zoster akan menetap dalam kondisi dorman pada ganglion posterior susunan saraf tepi dan ganglion kranialis orang tersebut. Apabila sistem imun orang tersebut rendah atau menurun misalnya karena pertambahan usia pada pasien usia lanjut atau karena penyakit imunosupresif contohnya penyakit AIDS, penyakit leukimia, dan penyakit limfoma maka virus varisella zoster tersebut dapat aktif kembali dan menyebar melalui saraf tepi ke kulit sehingga menimbulkan penyakit herpes zoster (Wolff K et al ., 2013). Sebelum timbul gejala kulit terdapat, gejala predormal baik sistemik (demam,pusing,malese), maupun gejala predormal lokal (nyeri otot-tulang, gatal, pegal dan sebagainya). Setelah itu virus varisella zoster akan memperbanyak diri (multipikasi) dan membentuk eritema yang dalam waktu singkat menjadi vesikel yang berkelompok dengan dasar kulit eritematosa dan edema, gejala ini akan terjadi selama 3-5 hari. Vesikel ini berisi cairan yang jernih, kemudian menjadi keruh (berwarna abu-abu), dapat menjadi pustul dan krusta. Penyebaran vesikel bersifat dermatomal mengikuti tempat persarafan yang dilaluivirus varisella
14
zoster. Biasanya hanya satu saraf yang terlibat, namun di beberapa kasus bisa jadi lebih dari satu saraf ikut terlibat. Vesikel akan pecah dan berair, kemudian daerah sekitarnya akan mengeras dan mulai sembuh, gejala ini akan terjadi 3-4 minggu. Pada sebagian kecil kasus, eritema tidak muncul tetapi ada rasa sakit (Arenas R & Estrada R, 2001). 3.2.2.1 Infeksi Laten
V a r i c e l l a Zo s t e r V i r u s
Selama penyembuhan varisela, Varicella zoster virus menjadi laten di nervus kranialis seperti nervus trigeminal, fasialis dan di serabut ganglion posterior medula spinalis. Pada sebagian besar individu virus ini menjadi laten seumur hidup. Perjalanan virus ke ganglion sensoris diduga dengan cara hematogenik, transport neuronal retrograde atau keduanya. Selama infeksi laten di serabut ganglion posterior ini tidak menimbulkan apoptosis sel saraf, karena pada infeksi laten tidak terjadi inflamasi sehingga tidak merusak sel-sel neuron (Arenas R & Estrada R, 2001) Pada fase laten ini VZV tidak infeksius dan sebagian besar ekspresi gen VZV tidak ditemukan pada sel neuron dari ganglion dorsalis yang merupakan tempat infeksi laten VZV. Sehingga virus tidak bisa dideteksi dan dibersihkan oleh sistim imun. Sistim imun yang berperan dalam mempertahankan keadaan laten ini adalah sistim imun seluler. Hal ini terbukti dengan tingginya insiden herpes zoster pada pasien HIV dengan jumlah CD4 menurun dibandingkan insiden pada individu dengan status imun yang baik. Hanya beberapa material genetik VZV yang diekspresikan di ganglion posteriror. Gen-gen yang biasa ditemukan pada fase ini adalah gen 21, 29, 62, dan 63. Gen-gen tersebut umumnya ditemukan dalam sitoplasma neuron ganglion dorsalis. Kadangkadang juga ditemukan di sel-sel satelit ganglion seperti sel Schwann dan astrosit. Berbeda pada fase reaktivasi, gen-gen tersebut terdapat di dalam nukleus sel neuron yang terinfeksi VZV. Gen 63 berfungsi sebagai protein yang menekan apoptosis neuron selama fase laten. Gen 62 berfungsi sebagai regulator transkripsi ketika gen tersebut berada di dalam nukleus pada fase reaktivasi. Tidak adanya gen-gen regulator transkripsi lainnya menyebabkan tidak terjadi replikasi VZV selama fase laten (Gnann JW & Whitley RJ, 2002). Dari penelitian kuantitatif PCR mengindikasikan sangat sedikit jumlah gen VZV, yaitu sekitar 6-31 per 100.000 sel ganglion yang terinfeksi laten. Pengetahuan mengenai gen mana yang diekspresikan selama fase laten penting
15
untuk berbagai alasan. Dengan diketahuinya berbagai fungsi gen VZV diharapkan dapat lebih memahami proses yang terjadi pada fase laten ini. Ekspresi gen VZV tersebut dapat digunakan sebagai dasar terapi antivirus dalam mencegah terjadinya reaktivasi virus, dan selanjutnya dapat mengidentifikasi secara spesifik enzim-enzim yang dapat menghambat reaktivasi VZV, seperti enzim anti-sense oligonukleotidase dapat menghambat reaktivasi virus laten dan kemungkinan pengembangan vaksin melawan protein VZV (Oxman MN, 2010). Komponen genetik VZV terdapat ekstrakromosomal dalam bentuk yang tidak infeksius. Hal ini berbeda dengan retrovirus, dimana komponen genetiknya terdapat di DNA sel host . Sebagian besar penelitian memperlihatkan bahwa komponen DNA virus berada di dalam sitoplasma sel neuron serabut saraf baik nervus trigeminal ataupun di neuron serabut ganglion posterior. Pada infeksi ini ditemukan sedikit perubahan morfologi tanpa disertai peradangan pada neuronneuron tersebut (Wolff K et al ., 2013). 3.2.2.2 Reaktivasi V a r i c e l l a
Zoster Viru s
Reaktivasi VZV bisa terjadi secara spontan atau mengikuti berbagai faktor pencetus, seperti infeksi, imunosupresi, trauma, radiasi dan keganasan. Selama fase klinis aktivasi terjadi berbagai perubahan patologik pada serabut ganglion. Perubahan utama adalah nekrosis dari sel-sel neuron baik sebagian maupun keseluruhan ganglion. Perubahan lain adalah infiltrasi limfosit dan hemoragik pada sel-sel neuron (Wolff K et al ., 2013).
Gambar 3. Varisela, fase laten, dan reaktivasinya.
16
Proses patologik tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya neuralgia. VZV kemudian menyebar secara sentrifugal ke saraf sensorik dan menyebabkan neuritis. Virus yang terdapat pada ujung saraf sensorik menyebar di kulit menimbulkan kelompok-kelompok vesikel herpes zoster. Biasanya keadaan ini berada pada satu unilateral dermatom (Oxman MN & Schmander KE, 2012). Pada keadaan reaktivasi didahului dengan keberadaan komponen genetik virus yang sebelumnya berada di sitoplasma neuron selama fase laten, mencapai
nukleus
dan
mengaktifkan
proses
replikasi
virus,
kemudian
memproduksi virus yang infeksius. Virus tersebut kemudian keluar dari sel neuron ganglion posterior ke saraf sensorik, dan mencapai kulit menginfeksi selsel epitel kulit dan menimbulkan lesi herpes zoster. Pada keadaan reaktivasi ini, VZV menstimulasi respon imun yang mampu mencegah reaktivasi pada ganglion lainnya dan reaktivasi klinis berikutnya. Sehingga herpes zoster hanya menyerang satu dermatom dan muncul hanya sekali seumur hidup (Wolff K et al ., 2013).
Gambar 4. Dermatom Kulit.
17
Reaktivasi bisa menghasilkan klinis herpes zoster yang generalisata hal ini disebabkan karena gagalnya sistem imun menghamabat perkembangan lesi herpes yang terjadi. Keadaan ini biasanya ditemui pada pasien-pasien imunokompromais seperti penderita HIV, pasien yang mendapat pengobatan dengan imunosupresan atau sitostatik. Hal ini bertolak belakang dengan variasi klinis herpes zoster lainnya seperti pada zoster sine herpete dimana klinis hanya berupa rasa nyeri pada dermatom yang terkena tanpa disertai munculnya erupsi kulit. Pada keadaan tersebut sistim imun dapat mencegah penyebaran virus ke kulit saat reaktivasi sehingga lesi kulit tidak muncul. Herpes zoster abortif dimana klinis yang muncul sangat ringan dan berlangsung sebentar disebabkan sistim imun dapat menekan perkembangan lebih lanjut virus sehingga tidak menimbulkan lesi yang lebih berat (Oxman MN & Schmander KE, 2012).
3.2.2.3 Patogenesis Nyeri pada Herpes Zoster dan Neuralgia Paska Herpetik Nyeri merupakan keluhan yang dirasakan penderita herpes zoster. Khususnya pada pasien tua, nyeri yang terdistribusi pada saraf sensorik bisa menetap sampai beberapa minggu, bulan, bahkan tahun setelah lesi kulit sembuh. Nyeri kronis yang menetap ini disebut neuralgia paska herpetik, didefinisikan dengan nyeri yang menetap setelah lesi kulit sembuh atau yang menetap lebih dari 4 minggu, tanpa melihat derajat perbaikan. Tidak seperti nyeri yang menyertai kerusakan jaringan akut dimana pada NPH tidak ditemukan kelainan biologik. Nyeri pada herpes merupakan hasil dari aktifitas jaras spinotalamikus dan pontin hipotalamik. Nyeri ini adalah suatu bentuk nyeri neuropati yang disebabkan oleh kerusakan pada sistim saraf. Sensasi nyeri tersebut merupakan hasil dari proses komplek sensorik pada level tertinggi di susunan saraf pusat (Arenas R & Estrada R, 2001). Dari pemeriksaan neuropatologi ditemukan adanya inflamasi akut oleh herpes zoster yang maksimal pada serabut ganglion posterior. Inflamasi akut ini menyebabkan nyeri pada suatu dermatom kemudian meluas ke perifer sepanjang saraf sensorik dan kadang-kadang ke bagian proksimal saraf sensorik dan motorik dari dermatom yang terkena. Replikasi VZV di sel neuron ganglion posterior menimbulkan inflamasi dan kerusakan pada sel tersebut, sehingga terjadi peningkatan sensitifitas dan respon yang berlebihan pada nosireseptor / reseptor taktil yang dikenal dengan sensitisasi perifer. Pada proses inflamasi ini
18
terjadi pelepasan sitokin-sitokin yang ikut memperberat kerusakan neuron. Nyeri pada herpes tidak disebabkan oleh kuatnya rangsangan pada reseptor sensorik, tetapi disebabkan oleh gangguan fungsi transmisi pada serat saraf sensorik setelah rangsangan taktil pada nosireseptor di kulit (Oxman MN & Schmander KE, 2012). Meskipun sensitisasi perifer penting pada mekanisme terjadinya nyeri pada herpes zoster, masih tidak bisa dijelaskan kenapa area kulit yang mengalami hipersensitifitas hanya terjadi di dermatom yang terkena, seperti allodynia atau hiperalgesia yang merupakan hasil dari sensitisasi sentral, yaitu perubahan
yang
terjadi
pada
kornu
posterior
medula
spinalis
sebagai
konsekuensi rangsangan pada nosireseptor. Kerusakan akson sensorik karena herpes zoster menimbulkan gangguan impuls yang menyebabkan depolarisasi terus-menerus pada medula spinalis menimbulkan respon yang berlebihan pada kornu posterior medula spinalis terhadap semua rangsangan ( wind up mechanism) (Menaldi SL et al ., 2014). Gangguan fungsi saraf yang berkepanjangan pada kornu posterior medula spinalis juga disebabkan karena pada saat depolarisasi, kalsium masuk ke sel neuron. Masuknya kalsium diinduksi rangsangan glutamat atau aspartat terhadap reseptor N-metil-d-asam glutamat / aspartat yang terjadi ketika sel neuron yang rusak di kornu posterior menghantarkan impuls. Glutamat atau aspartat merupakan neurotransmiter yang dikeluarkan oleh sel neuron yang rusak akibat proses peradangan. Akibat gangguan fungsi pada kornu posterior medula spinalis terjadi sensitisasi sentral temporer bahkan permanen meskipun tidak ada rangsangan taktil pada nosireseptor (Gnann JW & W hitley RJ, 2002) Berbagai perubahan patologik bisa menyebabkan nyeri berkepanjangan yang susah dikontrol setelah herpes zoster. Tahapan respon yang menyebabkan nyeri sesudah terjadinya kerusakan saraf terjadi sangat cepat. Pelepasan neurotransmiter
timbul
dalam
beberapa
detik
setelah kerusakan
saraf.
Hipersensitifitas dan sensitisasi sel neuron terjadi dalam beberapa menit, remodeling sel-sel neuron terjadi dalam beberapa jam, responstruktural terjadi dalam beberapa hari atau dalam beberapa bulan. Hal ini berarti setiap usaha pengobatan bisa mengurangi kerusakan saraf lebih lanjut selama dilakukan pada fase akut (Arenas R & Estrada R, 2001).
19
3.3
Manifestasi Klinis Herpes Zoster Manifestasi Herpes Zoster dapat dimulai dengan gejala prodromal berupa
nyeri dan parasthesia kemudian diikuti dengan timbulnya sensasi gatal, kesemutan, rasa terbakar, hingga rasa nyeri dan pedih setelah beberapa hari. Rasa sakit dapat muncul secara konstan atau intermiten. Brntukan khas dari herpes zoster adalah lokalisasi dan distribusi dari ruam yang hampir selalu unilateral dan umumnya terbatas pada daerah kulit yang dipersarafi oleh ganglion sensoris tunggal. Lokasi yang sering terkena oleh herpes zoster adalah T3 – L2 dan daerah yang disarafi oleh saraf trigeminal terutama bagian mata. Lesi herpes zoster bermula berbentuk makula erimatosa dan papula yang pertama kali muncul pada cabang superficial dari saraf yang terkena. Vesikel terbentuk pada 12-24 jam pertama dna berkembang menjadi pustula pada hari ke tiga. Ruam akan mengering dan berkrusta pada hari ke 7 – 10, krusta umumnya akan bertahan 2 – 3 minggu. Pada individu normal, ruam baru akan muncul untuk 1-4 hari kadang 7 hari (Wolff K et al ., 2013). Rasa sakit atau ketidaknyamanan pada penderita herpes zoster sering pada fase akut yang berkisar dari ringan hingga berat. Pasien menggambarkan rasa sakit mereka atau ketidaknyamanan mereka sebagai rasa terbakar, gatal, sakit yang mendalam, dan sensasi menusuk (Wolff K et al ., 2013). 3.4
Diagnosis Banding Hepes Zoster
Zosteriform herpes simplex
Dermatitis kontak iritan
Papular urtikaria
Erythema Multiforme
Scabies
3.5
Drug Eruption Pemeriksaan Penunjang Herpes Zoster
Tzanck Smear: dapat mengidentifikasi virus herpes, tetapi tidak dapat membedakan herpes zoster dan herpes simpleks. Dikatakan positif bisa didapatkan Multinucleated Giant Cell dan sel epitel yang mengandung badan inklusi intranuklear acidophilic.
Kultur cairan vesikel , darah, atau cairan cerebrospinal dan tes antibodi
20
Immunoflouresent
3.6
Komplikasi Herpes Zoster
A.
Neuralgia paska herpetik Neuralgia paska herpetik adalah rasa nyeri yang timbul pada daerah
bekas penyembuhan. Neuralgia ini dapat berlangsung selama berbulan-bulan sampai beberapa tahun. Kerusakan saraf perifer dan neurons di ganglion memicu signal nyeri afferent. Peradangan pada kulit memicu signal nociceptive yang menjelaskan nyeri kutaneus. Pelepasan berlebihan dari asam amino dan neuropeptida yang diinduksi oleh impuls yang terus-menerus dari impuls afferen selama fase prodormal dan akut dari herpes zoster bisa menyebabkan kerusakan eksitotosik dan kehilangan penghambat interneurons pada kornu dorsal spinal. Kerusakan neurons di corda spinal dan ganglion, dan juga pada saraf perifer adalah penting sebagai pathogenesis dari NPH (Wolff K et al ., 2013). Kerusakan saraf afferent primer bisa menjadi aktif spontan dan hipersensitif ke stimuli perifer juga ke stimulasi simpatis. Pada gilirannya, kelebihan aktifitas nociceptor dan impuls generasi ektopik bisa membuat peka neurons system saraf pusat, menghasilkan memperpanjang dan menambah respon sentral menjadi tidak merusak sebagaimana stimuli yang beracun. Secara klinis, hasil mekanisme ini ada pada allodynia (nyeri dan/atau sensasi yang tidak nyaman ditimbulkan oleh stimulus yang secara normal tidak sakit, contoh : sentuhan halus) dengan sedikit atau tidak ada kehilangan sensoris, dan menjelaskan bentukan nyeri dengan infiltrasi local lidokain (Wolff K et al ., 2013). Neuralgia pasca-herpetik adanya nyeri di daerah kulit yang dipersarafi oleh saraf yang terkena. Nyeri ini bisa menetap selama beberapa bulan atau beberapa tahun setelah terjadinya suatu episode herpes zoster. Nyeri bisa dirasakan terus menerus atau hilang-timbul dan bisa semakin memburuk pada malam hari atau jika terkena panas maupun dingin. Nyeri paling sering dirasakan pada penderita usia lanjut; 25-50% penderita yang berusia diatas 50% mengalami neuralgia pasca-herpetik. Tetapi hanya 10% dari seluruh penderita yang mengalami neuralgia pasca-herpetik. Pada sebagian besar kasus, nyeri akan menghilang dalam waktu 1-3 bulan; tetapi pada 10-20% kasus, nyeri menetap selama lebih dari 1 tahun dan jarang berlangsung sampai lebih dari 10 tahun (Wolff K et al ., 2013).
21
Pada sebagian besar kasus, nyeri bersifat ringan dan tidak memerlukan pengobatan khusus.Perubahan Anatomis dan fungsional bertanggung jawab pada kemunculan NPH yang akan dibentuk awal pada herpes zoster. Konsisten dengan ini adalah korelasi untuk inisiasi nyeri hebat dan kehadiran nyeri prodormal dengan pembentukan NPH dikemudiannya dan kegagalan terapi antiviral untuk mencegah penuh NPH (Wolff K et al ., 2013). B.
Infeksi sekunder Pada penderita tanpa disertai defisiensi imunitas biasanya tanpa
komplikasi. Sebaliknyapada yang disertai defisiensi imunitas, infeksi HIV, keganasan, atau berusia lanjutdapat disertai komplikasi. Vesikel sering manjadi ulkus dengan jaringan nekrotik (Wolff K et al ., 2013). C.
Kelainan pada mata Keterlibatan mata dapat mengancam penglihatan jika tidak terdeteksi dan
diterapidengan tepat. Adanya edem orbita adalah emergensi ophtalmologi dan pasien harusdirujuk ke spesialis mata. Iritis, iridocyclitis, glaucoma, dan ulkus kornea dapat terjadipada kasus ini. Keterlibatan hanya di daerah dibawah fisura palpebra inferior tanpadisertai keterlibatan dari kelopak atas dan nasal menunjukkan tidak adanya komplikasipada mata karena daerah kelopak bawah diinervasi oleh nervus maksillaris superior (Wolff K et al ., 2013). D.
Sindrom Ramsay Hunt Sindrom Ramsay Hunt terjadi karena gangguan pada nervus fasialis dan
otikus gangliongenikulatum), sehingga memberikan gejala paralisis otot muka (paralisis Bell), kelainankulit yang sesuai dengan tingkat persarafan, tinitus, vertigo, gangguan pendengaran,nistagmus, nausea, dan gangguan pengecapan (Wolff K et al ., 2013). E.
Paralisis motorik Paralisis motorik dapat terjadi pada 1-5% kasus, yang terjadi akibat
perjalanan virussecara kontinuitatum dari ganglion sensorik ke sistem saraf yang berdekatan. Paralisis ini biasanya muncul dalam 2 minggu sejak munculnya lesi. Berbagai paralisis dapatterjadi seperti: di wajah, diafragma, batang tubuh, ekstremitas, vesika urinaria dan anus.Umumnya akan sembuh spontan (Wolff K et al ., 2013).
22
3.7
Pencegahan Herpes Zoster Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh
adalah pemberian vaksinasi. Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon spesifik limfosit sitotoksik terhadap virus tersebut pada pasien seropositif usia lanjut.Vaksin herpes zoster dapat berupa virus herpes zoster yang telah dilemahkan atau komponen selular virus tersebut yang berperan sebagai antigen. Penggunaan virus yang telah dilemahkan telah terbukti dapat mencegah atau mengurangi risiko terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu orang lanjut usia dan penderita imunokompeten, serta imunosupresi (Wolff K et al ., 2013). Untuk memberantas cacar/herpes, setiap wabah harus dihentikan dari menyebarnya, isolasi khusus dengan vaksinasi semua orang yang tinggal didekat. Proses ini dikenal sebagai dikenal sebagai “cincin vaksinasi”. Kunci untuk starategi ini pemantauan kasus dalam masyarakat (dikenal sebagai pengawasan ) dan penahanan (Wolff K et al ., 2013). 3.8
Penatalaksanaan Herpes Zoster Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
Mengatasi infeksi virus akut
Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster
Mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Selama fase akut, pasien dianjurkan tidak keluar rumah, karena dapat menularkan kepada orang lain yang belum pernah terinfeksi varisela dan orang dengan defisiensi imun. Usahakan agar vesikel tidak pecah, misalnya jangan digaruk dan pakai baju yang longgar. Untuk mencegah infeksi sekunder jaga kebersihan badan. Pasien juga disarankan untuk memangkas kuku secara teratur untuk mencegah kerusakan kulit karena garukan (Wolff K et al ., 2013). Pasien harus menjaga diri agar terhindar dari cidera termal akibat penggunaan kompres hangat dengan suhu terlalu tinggi & akibat cedera panas yg tidak terasa (bantalan pemanas, radiator), serta hindari pemajanan berulang terhadap deterjen, pembersih, dan pelarut. Jika kulit pasien sangat kering dianjurkan menggunakan sabun yang tidak menggandung antiseptik seperti sabun bayi. Pasien juga disarankan untuk menggunakan preparat tabir surya. Dalam mempertahankan kelembaban kulit agar tidak terjadi penguapan air
23
dipermukaan kulit maka pasien dianjurkan menggunakan pelembab setiap setalah mandi ataupun setiap kulit terasa kering. Pasien harus menggunakan obat-obatan yang diberikan secara teratur, tanpa membeli sendiri jika obat sudah habis. Maka dari itu pasien harus rajin kontrol (Wolff K et al ., 2013). 3.8.1
Pengobatan Khusus
1. Obat Antivirus Obat yang biasa digunakan ialah asiklovir dan modifikasinya, misalnya valasiklovir danfamsiklovir. Asiklovir bekerja sebagai inhibitor DNA polimerase
pada
virus.
Asiklovir dapat
diberikan
peroral
ataupun
intravena. Asiklovir Sebaiknya pada 3 hari pertamasejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama7 hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien yangimunokompromise atau penderita yang tidak bisa minum obat. Obat lain yang dapatdigunakan sebagai terapi herpes zoster adalah valasiklovir. Valasiklovir diberikan3×1000 mg/hari selama 7 hari, karena konsentrasi dalam plasma tinggi. Selain itufamsiklovir juga dapat dipakai. Famsiklovir juga bekerja sebagai inhibitor DNApolimerase. Famsiklovir diberikan 3×200 mg/hari selama 7 hari (Wolff K et al ., 2013). 2. Analgetik Analgetik diberikan untuk mengurangi neuralgia yang ditimbulkan oleh virus herpeszoster. Obat yang biasa digunakan adalah asam mefenamat. Dosis asam mefenamatadalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali, atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul (Wolff K et al ., 2013). 3. Kortikosteroid Indikasi Pemberian kortikostreroid ialah untuk mencegah Sindrom Ramsay Hunt. Pemberian harus sedini mungkin untuk mencegah terjadinya paralisis. Yang biasa diberikan ialah Prednison dengan dosis 3×20 mg/hari, setelah seminggu dosis diturunkan secarabertahap. Dengan dosis prednison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebihbaik digabung dengan obat antivirus (Wolff K et al ., 2013).
24
BAB 4 PEMBAHASAN
Pada kasus ini, dapat di diagnosis sebanyak penyakit herpes zoster. Diagnosis tersebut didapatkan berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik. Keluhan utama : Gatal dan nyeri di daerah lengan, dada dan punggung. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien mengeluh gatal dan nyeri sejak 4 hari yang lalu. Awal nya timbul kemerahan dan plenting-plenting isi air sedikit, makin lama makin banyak di lengan atas, dada kanan dan punggung kanan sejak 7 hari yang lalu. Tiga hari setelah muncul kemerahan, pasien merasakan gatal dan nyeri di daerah yang kemerahan. Nyeri dirasakan cenut-cenut dan kumat-kumatan. Pembahasan: Gatal, nyeri, dan kemerahan menandakan terjadinya proses inflamasi, dan inflamasi yang merujuk pada interaksi antara infeksi dan pertahanan tubuh. Sejak 4 hari yang lalu menandakan penyakit ini bersifat akut. Plenting berarti vesikel, vesikel adalah peninggian kulit berisi cairan berukuran < 0,5cm, disebutkan lebih lanjut muncul plenting di lengan atas, dada kanan dan punggung kanan, menjelaskan bahwa hal tersebut dikarenakan mengikuti persyarafan yang menjadi jalur datangnya virus pertama kali di kulit. Plenting bertambah banyak sampai ke lengan atas, dada kanan dan punggung kanan menunjukan progresifitas perkembangan keparahan penyakit yang dialami. Nyeri dirasa cenut-cenut disebabkan karena infeksi yang menyerang saraf sehingga menyebabkan hipereksitasi dari saraf tersebut.
Riwayat Penyakit Dahulu Pasien memiliki riwayat terkena cacar air pada usia 17 tahun. Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya. Pembahasan: Apabila memang benar dahulu pasien pernah terkena penyakit cacar air berarti ada kemungkinan penyakit yang se karang adalah bangkitan dari penyakit cacar air yang dulu, karena cacar air yang disebabkan oleh virus varisella zoster
25
dapat dorman di ganglion sensorik manusia dan sewaktu-waktu dapat bangkit apabila sistem imun inang sedang turun drastik.
Riwayat Keluarga Di keluarga, tidak ada yang menderita penyakit seperti pasien. Pembahasan: Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan infeksi yang terjadi sekarang merupakan bangkitan dari penyakit cacar air yang dorman, bukan infeksi baru yang ditularkan oleh keluarga yang sakit.
Riwayat Pengobatan Pasien mengobati sakitnya menggunakan krim inerson dan krim garamisin dipakai dua kali sehari sejak 4 hari yang lalu. Setelah pengobatan, penyakit tidak ada perbaikan. Pembahasan: Kirim inerson mengandung desoximetasone, suatu kortikosteroid yang mempunyai khasiat sebagai antiflogistik, antipuritik. Krim garamisin mengandung antibiotik gentamicin yang merupakan antibiotik golongan aminoglikosida, yang mempunyai efek bakterisidal terutama terhadap basilus aerobik gram negatif yang sensitif, dan bakteri gram positif yang sensitif. Dengan pemberian inerson sebagai kortikosteroid dapat meredakan gejala yang ditimbulkan akibat proses inflamasi, akan tetapi pasien tidak sembuh karena pada kasus ini yang terjadi adalah
pasien
diberikan
antibiotik
dimana
penyakit
pasien
sebenarnya
disebabkan oleh virus.
Riwayat Atopi Pasien memiliki alergi terhadap debu. Apabila terpapar debu, pasien akan bersin-bersin sepanjang hari. Pembahasan: Dengan diketahuinya riwayat atopi membantu untuk membedakan gejala yang ditimbulkan penyakit kulit atopi ataukah manifestasi dari herpes zoster.
Status Dermatologis Lokasi
: Regio Thoraks Anterior D, Thoraks posterior D dan Brachii D
26
Distribusi
: Dermatom setinggi T1
Ruam
: Multipel vesikel bergerombol, dinding tidak rata, isi air, ukuran bervariasi antara 0,1 - 0,5 cm, dasar eritem, batas tegas, diantara gerombolan vesikel terdapat kulit normal.
Pembahasan: Diatas telah dijelaskan mengenai timbulnya vesikel dan bula. Barangkali yang perlu ditambahkan disini adalah mengenai vesikel dan bula yang pecah menjadi erosi dan krusta kekuningan disebabkan karena kombinasi antara agen infeksi dengan sistem imun yang berusaha melawan agen infeksi tersebut sehingga terbentuklah nanah yang pada kasus ini mengisi vesikel dan bula
27
dimana apabila jumlahnya terus meningkat sehingga vesikel atau bula sudah tidak mampu menahannya, maka vesikel atau bula akan pecah
Pemeriksaan Penunjang TZANCK Test
Pembahasan: Dari gambaran mikroskopis dapat ditemukan gambaran Multinucleated Giant Cell yang merupakan gambaran khas dari penyakit herpes zoster.
Terapi
Asiklovir 5x800 mg selama 7 hari
Asam mefenamat 3x500 mg bila nyeri
Kompres NaCl 0,9% pada vesikel
Pembahasan: Penatalaksaan herpes zoster bertujuan untuk:
Mengatasi infeksi virus akut oleh virus varisela zoster
Mengatasi nyeri akut yang ditimbulkan oleh virus herpes zoster dan mencegah timbulnya neuralgia pasca herpetik.
Cegah komplikasi, misalnya infeksi sekunder oleh bakteri dan viremia yang menyebar sampai ke organ.
Berdasarkan tujuan diatas maka regimen pengobatan kami menggunakan:
Asiklovir 5x800 mg selama 7 hari. Obat antiviral yang biasa digunakan pada herpes zoster adalah asiklovir
dan modifikasinya, misalnya valasiklovir dan famsiklovir. Asiklovir dapat
28
diberikan peroral ataupun intravena. Asiklovir sebaiknya pada 3 hari pertama sejak lesi muncul. Dosis asiklovir peroral yang dianjurkan adalah 5×800 mg/hari selama 7hari, sedangkan melalui intravena biasanya hanya digunakan pada pasien. Maka pada kasus ini diberikan obat antivirus berupa Asiklovir dengan dosis 5 x 800 mg selama 7 hari.
Asam mefenamat 3x500 mg bila nyeri. Dosis asam mefenamatadalah 1500 mg/hari diberikan sebanyak 3 kali,
atau dapat juga dipakai seperlunya ketika nyeri muncul..
Kompres NaCl 0,9% pada vesikel. Jika masih stadium vesikel diberikan bedak dengan tujuan protektif untuk
mencegah pecahnya vesikel agar tidak terjadi infeksi sekunder. Bila erosif diberikan kompres terbuka. Kalo terjadi ulserasi dapat diberikan salep antibiotik. Sesuai dengan teori, maka pada kasus ini juga diberikan kompres terbuka.
29
Penulisan Resep dr. David Christianto, M.Biomed S.I.P. 105070100111078 Praktek Jl. Raya Satelit Utara KN 7 Telepon (031) 7321033
Surabaya, 6 November 2017 R/ Tab Acyclovir tab. 400 mg no. LXX s. 5. d.d. tab II _________________________________________________ R/ Tab Asam Mefenamat tab. 500 mg no. X s. 3. d.d. tab. I. p.r.n _________________________________________________ Pro
: Tn. HS
Usia
: 75 tahun
Alamat : Perumahan Graha Dewata blok MM-4 no. 9, Kec. Dau, Kab. Malang
30
BAB 5 KESIMPULAN
Berdasar anamnesis, pemeriksaan fisik, dan usulan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis kerja untuk Tn. HS adalah herpes zoster. Pokok dasar terapi herpes zoster adalah mengatasi virus varisela zoster, mengatasi gejala utama yaitu nyeri dan gejala sistemik lain yaitu demam, mencegah kekambuhan, dan mencegah komplikasi.
31