BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Makanan adalah salah satu kebutuhan primer bagi manusia, dimana makanan tersebut mengandun zat gizi untuk dapat memenuhi fungsinya dan aman dikonsumsi karena makanan yang tidak aman dapat menimbulkan gangguan kesehatan bahkan keracunan. Di era modern ini, bahan pewarna tampaknya sudah tidak bisa dipisahkan dari berbagai jenis makanan dan minuman olahan. Produsen berlomba-lomba untuk menarik perhatian para konsumen dengan menambahkan menambahkan pewarna pada makanan dan minuman. minuman. Zat pewarna ini bisa didapat dari zat pewarna alami ataupun sintetik. Kadar zat warna dan jenisnya sangat berpengaruh pada hasil pewarnaan serta keamanan makanan itu sendiri. Kadang-kadang pengusaha nakal menggunakan pewarna bukan pewarna yang ditujukan untuk makanan, melainkan menggunakan pewarna tekstil yang sangat dilarang keras terkonsumsi oleh tubuh karena efek toksik yang bisa didapat. Hal ini dilakukan semata-mata demi mendapat keuntungan berlebih. Untuk itu diperlukan metode analisis yang tepat untuk memudahkan pengujian keberadaan pewarna buatan dalam makanan atau minuman. Hal ini dilakukan untuk memberikan jaminan keamanan bagi konsumen demi pemenuhina gizi dan kesehatan tubuhnya.
1.2.Tujuan
Untuk menentukan adanya zat warna sintetis secara kualitatif
1.3.Manfaat
-
Memastikan keamanan produk dan kesehatan untuk para konsumen
-
Mencegah kecurangan produsen yang menyalahgunakan zat kimia berbahaya
-
Memberi pengetahuan kepada konsumen dalam memilih produk yang baik
BAB II LANDASAN TEORI
ZAT PEWARNA
Penentuan mutu bahan pangan pada umumnya sangat tergantung pada beberapa faktor, diantaranya adalah cita rasa, tekstur, nilai gizinya, serta sifat mikrobiologis. Tetapi, sebelum faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna akan tampil lebih dahulu dan terkadang akan sangat menentukan. Zat warna makanan merupakan penentu nilai gizi suatu bahan makanan. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau pengolahan dapat ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata. Menurut Winarno (1995), yang dimaksud dengan zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik. Menurut PERMENKES RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau memberi warna pada makanan. Pewarna makanan merupakan benda berwarna yang memiliki afinitas kimia terhadap makanan yang diwarnainya. Tujuan pemberian warna dimaksudkan agar makanan terlihat lebih berwarna sehingga menarik perhatian konsumen. Bahan pewarna umumnya berwujud cair dan bubuk yang larut air. Warna suatu bahan dapat diukur dengan menggunakan alat kalori meter, spektro fotometer atau alat-alat lain yang dirancang khusus untuk mengukur warna. Tetapi alat-alat tersebut biasanya terbatas penggunaannya untuk bahan cair yang tembus cahaya seperti sari buah, bir, atau warna hasil ekstraksi. Untuk bahan bukan cairan atau padatan, warna dapat diukur dengan membandingkannya terhadap warna standar yang digambarkan dalam angkaangka.
Ada lima sebab yang dapat menyebabakan suatu bahan makanan berwarna:
a. Pigmen yang secara alami terdapat pada tanaman dan tumbuhan, misalnya klorofil yang berwarna hijau, karoten yang berwana jingga dan mioglobin yang menyebabkan warna merah pada daging b. Reaksi karamelisasi yang timbul bila gula dipanaskan, sehingga akan membentuk warna coklat. Misalnya warna coklat pada kembang gula caramel atau roti yang dibakar. c. Warna gelap yang timbul karena adanya reaksi maillrad, yaitu reaksi antara gugus amino protein dengan gugus karbonil gula pereduksi. Misalnya, susu bubuk yang disimpan lama akan berwarna gelap. d. Reaksi antara senyawa organic dengan udara akan menghasilkan warna hitam atau coklat gelap. Reaksi oksidasi ini dipercepat oleh adanya logam serta enzim. Misalnya, warna gelap pada permukaan apel atau kentang yang dipotong. e. Penambahan zat warna, baik zat warna alami maupun zat warna sintetik, yang termasuk dalam golongan bahan aditif makanan. Zat warna yang sudah sejak lama dikenal dan digunakan, misalnya daun suji, atau daun pandan untuk warna hijau dan kunyit untuk warna kuning. Dan seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, maka saat ini juga telah ditemukan suatu zat warna sintetis yang penggunaannya lebih praktis dan harganya yang juga lebih murah. Secara garis besar, berdasarkan sumbernya dikenal dua jenis zat pewarna yang termasuk dalam golongan bahan tambahan pangan, yaitu pewarna alami dan pewarna sintetis. Semua zat pewarna alami dapat digunakan dalam pengolahan pangan, tetapi tidak begitu dengan pewarna sintetis. Pewarna sintetis yang biasa digunakan dalam pengolahan pangan biasa di sebut dengan Food Colour . a. Pewarna Alami
Zat warna alami adalah zat warna (pigmen) yang diperoleh dari tumbuhan, hewan, atau dari sumber-sumber mineral. Zat warna ini telah sejak dahulu digunakan untuk pewarna makanan dan sampai sekarang umumnya penggunaannya dianggap lebih aman daripada zat warna sintetis. Warna makanan dapat disebabkan oleh pigmen alam atau pewarna yang ditambahkan. Pigmen alam adalah segolongan senyawa yang berasal dari hewan atau tumbuhan. Pigmen alam mencakup pigmen yang sudah terdapat dalam makanan dan pigmen yang terbentuk pada pemanasan, penyimpanan, atau pengolahan. Masing
–
masing pigmen warna mempunyai kestabilan yang berbeda terhadap kondisi pengolahan.
Umumnya zat warna alam terbentuk dari kombinasi tiga unsur, yaitu karbon, hidrogen dan oksigen, tetapi ada beberapa zat warna yang mengandung unsur lain seperti nitrogen pada indigotin dan magnesium pada klorofil. Jaringan tumbuhan seperti bunga, batang, kulit, kayu, biji, buah, akar dan kayu mempunyai warna
–
warna
karakteristik yang disebut pigmen dalam botani. Banyak warna cemerlang yang dimiliki oleh tanaman dan hewan yang dapat digunakan sebagai pewarna untuk makanan. Beberapa pewarna alami juga dapat menyumbangkan nilai nutrisi (karotenoid, riboflavin, kobalamin), berfungsi sebagai bumbu (kunir dan paprika) atau pemberi rasa (karamel) ke bahan olahannya. Saat ini, sudah terdapat banyak pewarna olahan yang awalnya menggunakan pewarna sintetik, kemudian berpindah menjadi pewarna alami. Contohnya adalah serbuk beet menggantikan pewarna merah sintetik FD & C No.2. Namun, penggantian dengan pewarna alami secara keseluruhan masih harus menunggu para ahli untuk dapat menghilangkan kendala, seperti bagaimana menghilangkan rasa beet-nya, mencegah penggumpalan dalam penyimpanan, dan menjaga kestabilan dalam penyimpanan.
Bila dibandingkan dengan pewarna-pewarna sintetis, penggunaan pewarna alami mempunyai keterbatasan-keterbatasan, antara lain :
Seringkali memberikan rasa dan flavor khas yang tidak diinginkan
Konsentrasi pigmen rendah
Stabilitas pigmen rendah
Keseragaman warna kurang baik
Spektrum warna tidak seluas seperti pada pewarna sintetis.
Beberapa contoh pewarna alami : Klorofil, yaitu zat warna alami hijau yang umumnya terdapat pada daun,
sehingga sering disebut zat warna hijau daun. Mioglobulin dan hemoglobin, yaitu zat warna merah pada daging. Karotenoid, yaitu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, merah
orange, yang terlarut dalam lipid, berasal dari hewan maupun tanaman antara lain, tomat, cabe merah, wortel. Anthosiamin dan anthoxanthim. Warna pigmen anthosianin merah, biru violet
biasanya terdapat pada bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran.
b. Pewarna Sintetis
Pada pengolahan makanan modern, bahan pewarna sering ditambahkan dengan tujuan memperbaiki warna dari bahan makanan atau untuk memperkuat warna asli dari bahan makanan tersebut. Awalnya makanan diwarnai dengan zat warna alami yang diperoleh dari tumbuhan, hewan atau mineral, akan tetapi proses untuk memperoleh zat warna alami adalah mahal. Selain itu, zat warna alami umumnya tidak stabil terhadap pengaruh cahaya dan panas sehingga tidak cocok untuk digunakan dalam industry makanan. Suatu zat pewarna sintetik harus melalui berbagai prosedur pengujian sebelum digunakan sebagai zat pewarna makanan yang dikenal dengan proses sertifikasi. Proses sertifikasi ini meliputi pengujian kimia, biokimia, toksikologi,dan analisis media terhadap zat warna tersebut. Zat pewarna yang diizinkan penggunaannya dikenal sebagai permitted color atau certified color . Keunggulan zat warna sintetik adalah lebih stabil dan lebih tahan terhadap berbagai kondisi lingkungan. Daya mewarnainya lebih kuat dan memiliki rentang warna yang luas, lebih murah dan lebih mudah untuk digunakan
Peraturan mengenai zat warna dalam makanan telah ditetapkan oleh masing – masing negara, dengan tujuan antara lain untuk menjaga kesehatan dan keselamatan rakyat dari hal – hal yang dapat timbul karena pemakaian zat warna tertentu yang dapat membahayakan kesehatan. Peraturan di suatu negara berbeda dengan negara lainnya, suatu zat warna yang dilarang di suatu negara belum tentu dilarang oleh negara l ainnya. Aturan penggunaan zat pewarna di Indonesia diatur dalam SK mentri kesehatan RI tanggal 22 Oktober 1973 No 11332/A/SK/73
Zat warna sintetis yang dilarang di Indonesia diatur dalam peraturan Menkes RI tanggal 19 Juni 1979, No. 235/Menkes/Per/VI/79 .
Saat ini, seringkali terjadi penyalahgunaan pemakaian zat warna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna untuk tekstil dan kulit digunakan sebagai pewarna bahan pangan. Hal ini jelas sangat berbahaya bagi kesehatan karena adanya residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Timbulnya penyalahgunaan tersebut antara lain disebabkan oleh ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan disamping itu harga zat pewarna untuk industri jauh lebih murah dibandingkan dengan harga zat pewarna untuk pangan. Hal ini disebabkan karena bea masuk zat pewarna untuk bahan pangan jauh lebih tinggi daripada zat pewarna bahan nonpangan. Lagipula, warna dari zat pewarna tekstil atau kulit biasanya lebih menarik. Pewarna dicampur dalam makanan untuk menimbulkan warna tertentu yang diharapkan dapat membangkitkan selera. Namun sayangnya, tidak banyak tersedia zat pewarna seperti yang diharapkan. Proses pembuatan zat pewarna sintetik biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa antara yang kadang-kadang berbahaya dan
sering kali tertinggal dalam hasil akhir, atau berbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya. Untuk zat pewarna yang dianggap aman, ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0,00014 % dan timbal tidak boleh lebih dari 0,001 %, sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada. Pemakaian zat warna oleh industri pangan jumlahnya boleh dikatakan tidak begitu banyak, yaitu biasanya tidak lebih dari 100 mg per kg produk. Pemakaian zat warna sintetis dalam industri pangan ini bergantung pada jenis dari makanan atau minuman itu sendiri. Berikut adalah beberapa jenis pewarna sintetis/buatan yang populer dan efek sampingnya yang ditimbulkan:
Tartrazine (E102 atau Yellow 5) Pewarna kuning yang banyak digunakan dalam makanan dan obat-obatan. Selain berpotensi meningkatkan hiperaktivitas anak, pada sekitar 1-10 dari 10.000 orang, Tartrazine menimbulkan efek samping langsung seperti urtikaria (ruam kulit). Rhinitis (hidung meler), asma, purpura (kulit lebam). Intoleransi ini lebih umum pada penderita asma atau orang yang sensitive terhadap aspirin. Berdasarkan SK Menteri Kesehatan RI Nomor 722/Menkes/Per/IX88 ditetapkan bahwa zat warna yang diizinkan dalam makanan dan minuman adalah batas 300 mg/kg atau 0.3 mg/g.
Sunset Yellow (E110, Orange Yellow/Yellow 6) Pewarna yang dapat ditemukan dalam makanan seperti jus jeruk, es krim, ikan kalengan, keju, jeli, minuman soda dan banyak obat-obatan. Untuk sekelompok kecil individu, konsumsi pewarna adiktif ini dapat menimbulkan urtikaria, rinitis, alergi, hiperaktivitas, sakit perut, mual dan muntah.
Ponceau 4R (E124 atau SX Purple) Pewarna merah hati yang digunakan dalam berbagai produk, termasuk selai, kue, agar-agar dan minuman ringan. Selain berpotensi memicu hiperaktivitas pada anak, pewarna ini dianggap karsinogenik (penyebab kanker) di beberapa Negara.
Allura Red (E129) Pewarna sintetis merah jingga yang banyak digunakan pada permen dan minuman. Pewarna ini sudah banyak dilarang di banyak Negara.
Quinoline Yellow (E104)
Pewarna makanan kuning ini digunakan dalam produk seperti es krim dan minuman energy. Zat ini sudah dilarang di banyak Negara karena dianggap maningkatkan resiko hiperaktivitas dan serangan asma. Ciri-ciri makanan yang mengandung pewarna sintetis
Warna makanan terlihat cerah dan mencolok
Ada sedikit rasa pahit terutama pada sirup atau limun
Muncul rasa gatal di tenggorokan setelah mengkonsumsinya
Baunya tidak alami sesuai makanannya
Warna menempel pada kulit atau lidah
PENENTUAN ZAT WARNA SINTETIK MENGGUNAKAN SERAT WOOL
Serat wool dapat digunakan untuk analisis warna karena sifatnya yang dapat mengabsorbsi zat warna baik asam maupun basa. Serat wool mengandung protein amfoter yang mempunyai afinitas terhadap asam maupun basa dengan membentuk garam. Proses yang dapat dilakukan adalah proses pencelupan, dimana pencelupan pada umumnya terdiri dari melarutkan atau mendispersikan zat warna ke dalam air atau medium lain, kemudian memasukkan wool ke dalam larutan tersebut sehingga terjadi penyerapan zat warna.
Penyerapan
zat
warna
tersebut
merupakan
reaksi
eksotermik
dan
reaksi
keseimbangan. Beberapa zat pembantu misalnya garam, asam, alkali atau lainnya ditambahkan ke dalam larutan celup dan kemudian pencelupan diteruskan hingga diperoleh warna yang dikehendaki. Vickerstaf menyimpulkan bahwa dalam pencelupan akan terjadi tiga tahapan:
Tahap pertama merupakan molekul zat warna dalam larutan yang selalu bergerak, pada suhu tinggi gerakan molekul lebih cepat kemudian wool dimasukkan ke dalam larutan celup. Wool dalam larutan bersifat negatif pada permukaannya sehingga dalam tahap ini terdapat dua kemungkinan yakni molekul zat warna akan tertarik oleh wool atau tertolak menjauhi wool. Oleh karena itu perlu penambahan zat pembantu untuk mendorong warna lebih mudah mendekati permukaan serat. Peristiwa tahap pertama tersebut sering disebut zat warna dalam larutan.
Tahap kedua molekul zat warna yang mempunyai tenaga yang cukup besar dapat mengatasi gaya-gaya tolak dari permukaan serat, sehingga molekul zat warna tersebut dapat terserap menempel pada permukaan serat. Peristiwa ini disebut adsorbsi.
Tahap ketiga yang merupakan bagian yang terpenting dalam pencelupan adalah penetrasi atau difusi zat warna dari permukaan serat ke pusat. Tahap ketiga merupakan proses yang paling lambat sehingga dipergunakan sebagai ukuran untuk menentukan kecepatan celup.
Pencelupan serat wool dapat digambarkan sebagai berikut:
Gugusan amina dan karboksil pada serat di dalam larutan akan terionisasi. Bila ke dalamnya ditambahakan suatu asam maka ion hidrogen langsung diserap oleh wool dan menetralkan ion karboksilat sehingga serat wool akan bermuatan positif yang kemudian langsung menyerap anion asam. Pada tahap selanjutnya anion zat warna yang bergerak lebih lambat karena molekul lebih besar akan masuk ke dalam serat dan mengganti kedudukan anion asam. Hal tersebut mungkin terjadi karena selain penarikan oleh muatan yang berlawanan juga terjadi gaya-gaya non polar.
Reagen Pewarna
NaOH : bersifat basa, biasanya warna yang dihasilkan sebagai indicator adalah selain warna merah dan untuk mengetahui sifat basa dan sebagai indicator pewarna alami, sehingga apabila sampel makanan yang diuji ditambahkan NaOH menghasilkan perubahan warna merah dikatakan sampel menggunakan pewarna sintetis
HCl : bersifat asam, biasanya warna yang dihasilkan sebagai indicator adalah selain kuning, sehingga apabila sampel makanan yang diuji ditambahkan HCl menghasilkan perubahan warna kuning, dikatakan sampel menggunakan pewarna sintetis.
BAB III METODOLOGI
3.1. Alat dan Bahan Bahan
Alat Gelas Ukur
Produk Minuman “Ale-ale”
Pipet Tetes
HCL encer (1:9)
Cawan
NaOH 10%
Beaker Gelas
HCl pekat H2SO4 pekat NH4OH
3.2. Cara Kerja
1. 30-50 ml sampel cairan diasamkan sedikit dengan larutan HCl encer. Jika padatan, 25 g sampel dicampur dengan air kemudian dihomogenkan baru diambil 30-50 ml seperti diatas. 2. Benang wool dikeringkan (20 cm) ke dalam larutan, dan didihkan selama 30 menit. 3. Benang wool diangkat dan dicuci dengan akuades. 4. Benang wool dikeringkan menggunakan Hair Drayer dan dipotong menjadi 4 bagian. 5. Keempat potongan benang wool diletakkan di atas cawan. Masing-masing ditetesi dengan NaOH 10%, HCl pekat, H2SO4 pekat dan NH4OH 12%. 6. Perubahan warna yang terjadi diamati dan dibandingkan dengan standar daftar warna (terlampir).
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil Pereaksi
Benang wool 1
Benang wool 2
Benang wool 3
Benang wool 4
NaOH 10%
putih
putih
putih
putih
HCl pekat
putih
putih
putih
putih
NH4OH 12%
putih
putih
putih
putih
H2SO4 pekat
putih
putih
putih
putih
4.2. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan uji terhadap standar pewarna untuk melihat perubahan warna yang terjadi sebagai control positif. Standar pewarna yang digunakan adalah pewarna Rhodamine B. Rhodamin B merupakan zat warna sintetik yang umum digunakan sebagai pewarna tekstil yang dilarang penggunaannya pada makanan dan dinyatakan sebagai bahan yang berbahaya menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang zat warna yang dinyatakan berbahaya dan dilarang di Indonesia. Rhodamin B dilarang digunakan dalam produk makanan karena penggunaan Rhodamin B dalam waktu lama dan jumlah yang banyak pada manusia dapat menyebabkan gangguan fungsi hati atau kanker hati dengan cara menumpuk dilemak yang lama kelamaan jumlahnya terus bertambah didalam tubuh. Bila mengkonsumsi makanan berwarna yang mengandung Rhodamin B, urine akan berwarna merah atau merah muda Pertama tama standar rhodamin diambil 10 ml lalu diasamkan dengan sedikit larutam HCl encer. Penambahan HCl encer ini bertujuan untuk mengekstraksi zat warna. Setelah itu, ke dalam larutan dimasukkan benang wool dan didihkan selama 30 menit. Benang wool yang digunakan bertujuan sebagai media untuk menarik zat warna. Sedangkan suhu yang digunakan adalah untuk membantu proses penarikan zat warna. Setelah 30 menit, benang wol dicuci dengan quadest lalu dipotong menjadi 4 bagian dan masing masing ditetesi dengan
NaOH 10%, HCl pekat, NH4OH 12%, dan H2SO4 pekat untuk mengidentifikasi perubahannya. Lalu amati perubahan yang terjadi dan bandingkan dengan ketentuan perubahan warna yang ada di literature. Dari uji yang dilakukan, didapatkanlah hasil perubahan warna menjadi oranye saat ditambahkan dengan asam asam pekat (H2SO4 pekat dan HCl pekat). Data ini sesuai dengan data yang terdapat di literature di mana rhodamine B apabila ditambahkan dengan asam asam pekat akan berubah menjadi kekuningan sampai dengan oranye. Sementara saat ditambahkan dengan basa, pada sepotng benang berubah menjadi merah muda dan putih. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan yang ada pada literature. Karena seharusnya warna benang berubah menjadi biru. Identifikasi dengan menggunakan penarikan zat warna dengan benang wool adalah karena pada benang wool, terdapat gugus polar yang dapat menyerap zat warna. Hal ini dikarenakan benag wol didapatka dari bulu domba yang mengandung protein. Pada dasarnya, analisa akna lebih baik digunakan dengan bulu domba, karena kandungan proteinnya yangbanyak dan akan menunjukkan tingkat sensitifitas analisa yang lebih tinggi. Pada praktikum, terdapat hasil menyimoang saat penetesan dengan basa, hal ini bisa terjadi akibat ketidakmampuan benang wool dalam menyerap reagen reagen yang bersifat basa. Sehingga hasil yang ditunjukkan berbeda dengan hasil yang sesungguhnya. Ketidakmampuan reagen untuk menyerap zat basa bisa terjadi karena kurang sensitifnya benang wol yang merupakan bahan sintetis, atau bisa juga terjadi karena adanya kerusakan dari zat rhodamin sendiri maupun reagen basanya. Pada praktikum penentun zat warna sintesis kelompok kami menggunakan sampel minuman ale-ale. Warna dari minuman ini adalah orange. Pertama kali, sampel cairan diambil 30 ml diasamkan sedikit dengan larutan HCl encer. Kemudian benang wool dimasukkan (20 cm) ke dalam larutan, dan didihkan selama 30 menit. Kemudian benang wool diangkat dan dicuci dengan aquades. Setelah itu, dikeringkan dan dipotong menjadi 4 bagian. Keempat potongan benang wool ditempatkan di atas cawan. Masing-masing dengan NaOH 10%, HCl pekat, NH4OH 12%, H2SO4 pekat. Perubahan warna yang terjadi diamati, dibandingkan dengan standar daftar warna yan terlampir. Penggunaan benang wool karena pada serat wool memiliki sifat mengabsropsi zat warna asam maupun basa. Serat mengandung protein amfoter yang mempunyai afinitas
terhadap asam maupun basa dengan membentuk garam. Tetapi, seharusnya untuk mengabsropsi warna minuman digunakan bulu domba. Karena pada bulu domba memiliki protein yang lebih banyak daripada benang wool, sehinga penyerapan warna akan lebih baik. Pada saat pencucian dengan aquades, warna yang terabsrobsi di benang wool hilang. Sehingga, hasil yang didapatkan dari 4 benang wool yang dipotong mengahasilkan negatif yaitu tidak terjadi perubahan warna. Penentuan zat pewarna sintetis pada minuman, karena banyak produsen yang menyalahgunakan pemakaian zat pewarna tektil dan kulit untuk makanan ataupun minuman. Hal ini sangat berbahaya bagi kesehatan karena ada residu logam berat pada zat pewarna tersebut. Pada minuman ale-ale yang diamati, pada kemasan dituliskan mengandung tartarazin. FD&C No.5 (tartarazine) merupakan tepung berwarna kuning jingga yang mudah larut dalam air, menghasilkan larutan kuning keemasan. Tartazine tahan terhadap cahaya, asam asetat, HCL, dan NaOH 10%, NaoH 30 % akan menjadikan warna berubah kemerahkemerahan. Tartarazine merupakan golongan dye dimana pewarna pada golongan ini sudah disertifikasi dan spesifikasi oleh FDA. Pewarna tartrazin juga diperbolehkan oleh BPOM RI dengan kode tartrazin CI no. 19140. Namun, pada praktikum tidak terjadi perubahan warna kemerahan yang tertera diatas. Menurut Peratutan Kepala BPOM
RI, batas maksimum
pewarna sintesis tartrazine yang diperbolehkan pada minuman adala 300 mg/kg. Sedangkan menurut FDA batas maksimumnya adalah 74,705.
BAB V PENUTUP
Kesimpulan
Minuman ale-ale menggunakan pewarna sintesis yang diperbolehkan FDA dan BPOM RI untuk minuman yaitu tartrazine.
DAFTAR PUSTAKA
Arisman. 2008. Buku Ajar Ilmu Gizi Keracunan Makanan. Jakarta: EGC Cahyadi, W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan . Jakarta: Bumi Aksara. deMan, J. 1997. Kimia Pangan. Bandung: ITB-Press http://www.fda.gov/ForIndustry/ColorAdditives/RegulatoryProcessHistoricalPerspectives/ Perataruran Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. 37 tahun 2003, Tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pewarna. Winarno, F.G. 1995. Enzim Pangan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama Winarno, F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama