BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit ataumelalui ataumelalui selaput lendir.(FI.III.1979) Sedangkan menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, injeksi adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 mL atau kurang. Umumnya hanya larutan obat dalam air yang bisa diberikan secara intravena. Suspensi tidak bisa diberikan karena berbahaya yang dapat menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kapiler.(FI.IV.1995) Sediaan steril injeksi dapat berupa ampul, ataupun berupa vial. Injeksi vial adalah salah satu bentuk sediaan steril yang umumnya digunakan pada dosis ganda dan memiliki kapasitas atau volume 0,5 mL – 100 100 mL. Injeksi vial pun dapat berupa takaran tunggal atau ganda dimana digunakan untuk mewadahi serbuk bahan obat, larutan atau suspensi dengan volume sebanyak 5 mL atau pun lebih. l ebih. (Anonim. Penuntun Penuntun Praktikum Farmasetika I .2011). .2011). Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat penghancuran dan penghilangan semua mikroorganisme hidup. Formulasi sediaan steril merupakan salah satu bentuk sediaan farmasi yang paling penting banyak dipakai terutama saat pasien dioperasi, diinfus, disuntik, mempunyai luka terbuka yang harus diobati dan sebagainya. Semuanya membutuhkan kondisi steril karena pengobatan yang bersentuhan langsung dengan sel tubuh, lapisan mukosa organ tubuh, dan dimasukkan langsung kedalam cairan atau rongga tuubuh memungkinkan terjadinya infeksi bila obat tidak steril. Karena itu, dibutuhkan sediaan obat yang steril dan juga dalam kondisi isohidris dan isotonis agar tidak mengiritasi (Lachman, 1986;1254). Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi – bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi – bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa 1
kebagian dalam tubuh. Karena sediaan menggelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksis dan harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik, kimia atau mikrobiologi (Lachman, 1989;1292). Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan, dan intramuscular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Bentuk sediaan steril bisa berbagai bentuk, yaitu cair, padat atau semi padat. Proses pembuatannya sama dengan sediaan non steril. steril . Namun, dalam pembuatan sediaan steril kita perlu mengetahui proses steriliasinya yang berkaitan dengan stabilitas bahan aktif maupun bahan – bahan tambahannya. Dengan demikian, dalam pembuatan sediaan steril bekal pengetahuan tidak sekedar pengetahuan formulasi sediaan, tetapi juga pemahaman kimia fisika yang berkaitan dengan stabilitas proses pembuatan, sehingga menghasilkan sediaan yang dikehendaki (R. Voight, 1994;159). Oleh karena itu, perlu dilaksanakan proses pembuatan sediaan steril berupa injeksi. 1.2
Tujuan Khusus
Untuk memenuhi penugasan kelompok yang diberikan oleh dosen pembimbing. 1.3
Tujuan Umum 1. Tujuan obat dibuat steril (seperti obat suntik) karena berhubungan langsung
dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh yang lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap yang berada di saluran cerna / gastrointestinal / gastrointestinal , misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir / menawarkan racun (detoksikasi=detoksifikasi). 2. Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini
tidak berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril.
2
kebagian dalam tubuh. Karena sediaan menggelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksis dan harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi dan luar biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik, kimia atau mikrobiologi (Lachman, 1989;1292). Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan, dan intramuscular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Bentuk sediaan steril bisa berbagai bentuk, yaitu cair, padat atau semi padat. Proses pembuatannya sama dengan sediaan non steril. steril . Namun, dalam pembuatan sediaan steril kita perlu mengetahui proses steriliasinya yang berkaitan dengan stabilitas bahan aktif maupun bahan – bahan tambahannya. Dengan demikian, dalam pembuatan sediaan steril bekal pengetahuan tidak sekedar pengetahuan formulasi sediaan, tetapi juga pemahaman kimia fisika yang berkaitan dengan stabilitas proses pembuatan, sehingga menghasilkan sediaan yang dikehendaki (R. Voight, 1994;159). Oleh karena itu, perlu dilaksanakan proses pembuatan sediaan steril berupa injeksi. 1.2
Tujuan Khusus
Untuk memenuhi penugasan kelompok yang diberikan oleh dosen pembimbing. 1.3
Tujuan Umum 1. Tujuan obat dibuat steril (seperti obat suntik) karena berhubungan langsung
dengan darah atau cairan tubuh dan jaringan tubuh yang lain dimana pertahanan terhadap zat asing tidak selengkap yang berada di saluran cerna / gastrointestinal / gastrointestinal , misalnya hati yang dapat berfungsi untuk menetralisir / menawarkan racun (detoksikasi=detoksifikasi). 2. Diharapkan dengan steril dapat dihindari adanya infeksi sekunder. Dalam hal ini
tidak berlaku relatif steril atau setengah steril, hanya ada dua pilihan yaitu steril dan tidak steril.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Injeksi 2.1.1
Pengertian Pengertian Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Dalam FI.ed.IV, sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis yang berbeda : 1. Sediaan berupa larutan dalam air/minyak/pelarut organik yang lain yang digunakan untuk untuk injeksi, ditandai dengan nama, Injeksi. Dalam FI.ed.III disebut berupa Larutan. Larutan. Misalnya :
Inj. Vit.C, pelarutnya aqua pro injection
Inj. Camphor oil , pelarutnya Olea neutralisata ad injection
Inj. Luminal, pelarutnya Sol Petit atau propilenglikol dan air
2. Sediaan padat kering (untuk dilarutkan) atau cairan pekat tidak mengandung dapar, pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah penambahan pelarut yang sesuai memenuhi persyaratan injeksi. Dalam FI.ed..III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan larutan yang memenuhi syarat larutan injeksi. Misalnya: Inj. Inj . Dihydrostreptomycin Sulfat steril . 3. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk larutan
yang
memenuhi
persyaratan
untuk
suspensi
steril setelah steril setelah penambahan bahan pembawa yang sesuai. Dalam FI.ed.III disebut berupa zat padat kering jika akan disuntikkan ditambah zat pembawa yang cocok dan steril, hasilnya merupakan suspensi
yang
memenuhi syarat suspensi steril. Misalnya : Inj. Procaine Penicilline G steril G steril untuk suspensi. suspensi.
3
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak disuntikkan secara intravena atau ke dalam saluran spinal. Dalam FI.ed.III disebut Suspensi steril ( zat padat yang telah disuspensikan dalam pembawa yang cocok dan steril). Misalnya : Inj. Suspensi Hydrocortisone Acetat steril. 5. Sediaan berupa emulsi, mengandung satu atau lebih dapar, pengencer atau bahan tambahan lain. Dalam FI.ed.III disebut bahan obat dalam pembawa cair yang cocok, hasilnya merupakan emulsi yang memenuhi semua persyaratan emulsi steril. Misalnya : Inj. Penicilline Oil untuk injeksi.
2.1.2
Rute-rute Injeksi
1. Parenteral Volume Kecil a. Intradermal Istilah intradermal (ID) berasal dari kata "intra" yang berarti lipis dan "dermis" yang berarti sensitif, lapisan pembuluh darah dalam kulit. Ketika sisi anatominya mempunyai derajat pembuluh darah tinggi, pembuluh darah betul-betul kecil. Makanya penyerapan dari injeksi disini lambat dan dibatasi dengan efek sistemik yang dapat dibandingkan karena absorpsinya terbatas, maka penggunaannya biasa untuk aksi lokal dalam kulit untuk obat yang sensitif atau untuk menentukan sensitivitas terhadap mikroorganisme. b. Intramuskular Istilah intramuskular (IM) digunakan untuk injeksi ke dalam obat. Rute intramuskular menyiapkan kecepatan aksi onset sedikit lebih normal daripada rute intravena, tetapi lebih besar daripada rute subkutan. c. Intravena Istilah intravena (IV) berarti injeksi ke dalam vena. Ketika tidak ada absorpsi, puncak konsentrasi dalam darah terjadi dengan segera, dan efek yang diinginkan dari obat diperoleh hampir sekejap. Merupakan larutan yang dapat mengandung cairan yang tidak menimbulkan iritasi yang dapat bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml. Larutan ini biasanya isotonis dan hipertonis. Bila larutan hipertonis maka disuntikkan perlahan-lahan. Larutan injeksi intravena harus jernih betul, bebas dari endapan atau partikel padat, karena dapat 4
menyumbat kapiler dan menyebabkan kematian. Penggunaan injeksi intravena tidak boleh mengandung bakterisida dan jika le bih dari 10 ml harus bebas pirogen. Pemberian obat intramuscular menghasilkan efek obat yang kurang cepat, tetapi biasanya efek berlangsung lebih lama dari yang dihasilkan oleh pemerian lewat IV. d. Subkutan Subkutan (SC) atau injeksi hipodermik diberikan di bawah kulit. Parenteral diberikan dengan rute ini mempunyai perbandingan aksi onset lambat dengan absorpsi sedikit daripada yang diberikan dengan IV atau IM. e. Rute intra-arterial Disuntikkan langsung ke dalam arteri, digunakan untuk rute intravena ketika aksi segera diinginkan dalam daerah perifer tubuh. f. Intrakardial Disuntikkan langsung ke dalam jantung, digunakan ketika kehidupan terancam dalam keadaan darurat seperti gagal jantung. g. Intraserebral Injeksi ke dalam serebrum, digunakan khusus untuk aksi lokal sebagaimana
penggunaan
fenol
dalam
pengobatan
trigeminal
neuroligia. h. Intraspinal Injeksi ke dalam kanal spinal menghasilkan konsentrasi tinggi dari obat dalam daerah lokal. Untuk pengobatan penyakit neoplastik seperti leukemia. i.
Intraperitoneal dan intrapleural Merupakan rute yang digunakan untuk pemberian berupa vaksin rabies. Rute ini juga digunakan untuk pemberian larutan dialisis ginjal.
j.
Intra-artikular Injeksi yang digunakan untuk memasukkan bahan-bahan seperti obat antiinflamasi secara langsung ke dalam sendi yang rusak atau teriritasi.
5
k. Intrasisternal dan peridual Injeksi ke dalam sisterna intracranial dan durameter pada urat spinal. Keduanya merupakan cara yang sulit dilakukan, dengan keadaan kritis untuk injeksi. l.
Intrakutan (i.c). Injeksi yang dimasukkan secara langsung ke dalam epidermis di bawah stratum corneum. Rute ini digunakan untuk memberi volume kecil (0,1-0,5 ml) bahan-bahan diagnostik atau vaksin.
m. Intratekal Larutan yang digunakan untuk menginduksi spinal atau anestesi lumbar oleh larutan injeksi ke dalam ruang subarachnoid. Cairan serebrospinal
biasanya
diam
pada
mulanya
untuk
mencegah
peningkatan volume cairan dan pengaruh tekanan dalam serabut saraf spinal. Volume 1-2 ml biasa digunakan. Berat jenis dari larutan dapat diatur untuk membuat anestesi untuk bergerak atau turun dalam kanal spinal, sesuai keadaan tubuh pasien.
2.1.3
Komposisi Injeksi
1. Bahan aktif a. Kelarutan Terutama data kelarutan dalam air dari zat aktif sangat diperlukan, karena bentuk larutan air paling dipilih pada pembuaan sediaan steril. Data kelarutan ini diperlukan untuk menentukan bentuk sediaan. Zat aktif yang larut air membentuk sediaan larutan dalam air, zat aktif yang larut minyak dibuat larutan dalam pembawa minyak. Jika zat aktif tidak larut dalam air ada beberapa alternatif yang dapat diambil sebelum memutuskan untuk membuat sediaan suspensi atau larutan minyak yaitu dengan mencari bentuk garam dari zat aktif, melakukan reaksi penggaraman, atau dicari bentuk kompleksnya. b. pH stabilitas pH stabilita adalah pH dimana penguraian zat aktif paling minimal, sehingga diharapkan kerja farmakologinya optimal. pH stabilita dicapai dengan menambahkan asam encer, basa lemah atau dapar.
6
c. Stabilitas zat aktif Data ini membantu menentukan jenis sediaan, jenis bahan pembawa, metoda sterilisasi
atau
cara
pembuatan.
Beberapa
factor
yang
mempengaruhi penguraian zat aktif adalah: Oksigen (Oksidasi) Pada kasus ini, setelah air dididihkan
makaperlu dialiri gas nitrogen dan ditambahkan antioksidan. Air (Hidrolisis) Jika zat aktif terurai oleh air dapat dipilih
alternatif:
Dibuat pH stabilitanya dengan penambahan asam/basa atau buffer.
Memilih jenis pelarut dengan polaritas lebih rendah daripada air, seperti campuran pelarut
air-gliserin-
propilenglikol atau pelarut campur lainnya.
Dibuat dalam bentuk kering dan steril yang dilarutkan saat disuntikkan.
Suhu Jika zat aktif tidak tahan panas dipilih metode sterilisasi
tahan panas, seperti filtrasi. Cahaya Pengaruh
cahaya
matahari
dihindari
dengan
penggunaan wadah berwarna cokelat.
Tak tersatukannya (homogenitas) zat aktif.
Baik ditinjau dari segi kimia, fisika, atau farmakologi.
d. Dosis Data ini menentukan tonisitas larutan dan cara pemberian. Rute pemberian yang akan digunakan akan berpengaruh pada formulasi, dalam hal: Volume maksimal sediaan yang dapat diberikan pada rute tersebut. Pemilihan pelarut disesuaikan dengan rute pemberian. Isotonisitas dari sediaan juga dipengaruhi oleh rute pemberian. Pada larutan
intravena
isotonisitas
menjadi
kurang
penting
selama
pemberian dilakukan dengan perlahan untuk memberikan waktu pengenceran dan ’adjust’ oleh darah. Injeksi intraspinal mutlak harus isotonis.
7
2. Bahan tambahan a. Antioksidan
:
Garam-garam
sulfurdioksida,
termasuk
bisulfit,
metasulfit dan sulfit adalah yang paling umum digunakan sebagai antioksidan.
Selain
itu
digunakan
:Asam
askorbat,
Sistein,
Monotiogliseril, Tokoferol. b. Bahan antimikroba atau pengawet : Benzalkonium klorida, Benzil alcohol,
Klorobutanol,
Metakreosol,
Timerosol,
Butil
p-
hidroksibenzoat, Metil p-hidroksibenzoat, Propil p-hidroksibenzoat, Fenol. c. Buffer : Asetat, Sitrat, Fosfat. d. Bahan pengkhelat : Garam etilendiamintetraasetat (EDTA). e. Gas inert : Nitrogen dan Argon. f. Bahan penambah kelarutan (Kosolven) : Etil alcohol, Gliserin, Polietilen glikol, Propilen glikol, Lecithin. g. Surfaktan : Polioksietilen dan Sorbitan monooleat. h. Bahan pengisotonis : Dekstrosa dan NaCl i.
Bahan pelindung : Dekstrosa, Laktosa, Maltosa dan Albumin serum manusia.
j.
Bahan penyerbuk : Laktosa, Manitol, Sorbitol, Gliserin.
3. Bahan Pembawa Bahan pembawa injeksi dapat berupa air maupun non air.Sebagian besar produk parenteral menggunakan pembawa air. Hal tersebut dikarenakan kompatibilitas air dengan jaringan tubuh, dapat digunakan untuk berbagai rute pemberian, air mempunyai konstanta dielektrik tinggi sehingga lebih mudah
untuk
melarutkan
elektrolit
yang
terionisasi
dan
ikatan
hydrogen yang terjadi akan memfasilitasi pelarutan dari alkohol, aldehid, keton, dan amin. Syarat air untuk injeksi menurut USP : a. Harus dibuat segar dan bebas pirogen. b. Tidak mengndung lebih dari 10 ppm dari total zat padat. c. pH antara 5-7
8
d. Tidak mengandung ion-ion klorida, sulfat, kalsium dan amonium, karbondioksida, dan kandungan logam berat serta material organik (tanin, lignin), partikel berada pada batas yang diperbolehkan.
2.1.4
Air Pro Injeksi
Aqua bidest dengan pH tertentu, tidak mengandung logam berat (timbal, Besi, Tembaga), juga tidak boleh mengandung ion Ca, Cl, NO3, SO4, amonium, NO2, CO3. Harus steril dan penggunaan diatas 10 ml harus bebas pirogen. Aqua steril Pro Injeksi adalah air untuk injeksi yang disterilisasi dan dikemas dengan cara yang sesuai, tidak mengandung bahan antimikroba atau bahan tambahan lainnya. 1. Air Pro Injeksi Bebas CO2 CO2 mampu menguraikan garam natrium dari senyawa organic seperti barbiturate
dan sulfonamide kembali membentuk asam
lemahnya yang mengendap. Cara pembuatan : Mendidihkan air p.i selama 20-30 menit lalu dialiri gas nitrogen sambil didinginkan. 2. Air Pro Injeksi bebas O2 Dibuat dengan mendidihkan air p.i selama 20-30 menit dan pada saat pendinginannya dialiri gas nitrogen. Dipakai untuk melarutkan zat aktif yang mudah teroksidasi, seperti apomorfin, klorfeniramin, klorpromazin,
ergometrin,
ergotamine,
metilergotamin,
proklorperazin, promazin, promesatin HCl, sulfamidin, turbokurarin.
3. Pembawa Non Air Pembawa non air digunakan jika: a. Zat aktif tidak larut dalam air b. Zat aktif terurai dalam air c. Diinginkan kerja depo dalam sediaan Syarat umum pembawa non air . d. Tidak toksik, tidak mengiritasi dan menyebabkan sensitisasi e. Dapat tersatukan dengan zat aktif f. Inert secara farmakologi g. Stabil dalam kondisi di mana sediaan tersebut biasa digunakan
9
h. Viskositasnya harus sedemikian rupa sehingga dapat disuntikan dengan muda i.
Harus tetap cair pada rentang suhu yang cukup lebar
j.
Mempunyai titik didih yang tinggi sehingga dapat dilakukan sterilisasi dengan panas
k. Dapat bercampur dengan air atau cairan tubuh
Tonisitas larutan sediaan injeksi : 1.
Isotonis Jika suatu larutan konsentrasinya sama besar dengan konsentrasi dalam sel darah merah, sehingga tidak terjadi pertukaran cairan di antara keduanya, maka larutan dikatakan isotoni (ekuivalen dengan larutan 0,9% NaCl).
2.
Isoosmotik Jika suatu larutan memiliki tekanan osmose sama dengan tekanan osmose dalam serum darah, maka larutan dikatakan isoosmotik (0,9% NaCl, 154 mmol Na+ dan 154 mmol Cl- per liter = 308 mmol per liter, tekanan osmose 6,86). Pengukuran menggunakan alat osmometer dengan kadar mol zat per liter larutan.
3.
Hipotonis Turunnya titik beku kecil, yaitu tekanan osmosenya lebih rendah dari serum darah, sehingga menyebabkan air akan melintasi membran sel darah merah yang semipermeabel memperbesar volume sel darah merah dan menyebabkan peningkatan tekanan dalam sel. Tekanan yang lebih besar menyebabkan pecahnya sel-sel darah merah. Disebut Hemolisa.
4.
Hipertonis Turunnya titik beku besar, yaitu tekanan osmosenya lebih tinggi dari serum darah merah, sehingga menyebabkan air keluar dari sel darah merah
melintasi
membran
semipermeabel
dan
mengakibatkan
terjadinya penciutan sel-sel darah merah, disebut plasmolisa.
10
2.1.5
Kelebihan dan Kekurangan Sediaan Injeksi 1. Keuntungan Injeksi
Respon fisiologis yang cepat dapat dicapai segera bila diperlukan, yang menjadi pertimbangan utama dalam kondisi klinik seperti gagal jantung, asma, shok.
Terapi parenteral diperlukan untukobat-obat yang tidak efektif secara oral atau yang dapat dirusak oleh saluran pencernaan, seperti insulin, hormon dan antibiotik.
Obat-obat untuk pasien yang tidak kooperatif, mual atau tidak sadar harus diberikan secara injeksi.
Bila memungkinkan, terapi parenteral memberikan kontrol obat dari ahli karena pasien harus kembali untuk pengobatan selanjutnya. Juga dalam beberapa kasus, pasien tidak dapat menerima obat secara oral.
Penggunaan parenteral dapat menghasilkan efek lokal untuk obat bila diinginkan seperti pada gigi dan anestesi.
Dalam kasus simana dinginkan aksi obat yang diperpanjang, bentuk parenteral tersedia, termasuk injeksi steroid periode panjang secara intra-artikular dan penggunaan penisilin periode panjang secara i.m.
Terapi
parenteral
dapat
memperbaiki
kerusakan
serius
pada
keseimbangan cairan dan elektrolit.
Bila makanan tidak dapat diberikan melalui mulut, nutrisi total diharapkan dapat dipenuhi melalui rute parenteral.
Aksi obat biasanya lebih cepat.
Seluruh dosis obat digunakan.
Beberapa obat, seperti insulin dan heparin, secara lengkap tidak aktif ketika diberikan secara oral, dan harus diberikan secara parenteral.
Beberapa obat mengiritasi ketika diberikan secara oral, tetapi dapat ditoleransi ketika diberikan secara intravena, misalnya larutan kuat dektrosa.
Jika pasien dalam keadaan hidrasi atau shok, pemberian intravena dapat menyelamatkan hidupnya.
11
2. Kerugian Injeksi
Bentuk sediaan harus diberikan oleh orang yang terlatih dan membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan pemberian rute lain.
Pada pemberian parenteral dibutuhkan ketelitian yang cukup untuk pengerjaan secara aseptik dari beberapa rasa sakit tidak dapat dihindari.
Obat
yang
diberikan
secara
parenteral
menjadi
sulit
untuk
mengembalikan efek fisiologisnya.
Yang terakhir, karena pada pemberian dan pengemasan, bentuk sediaan parenteral lebih mahal dibandingkan metode rute yang lain.
Beberapa rasa sakit dapat terjadi seringkali tidak disukai oleh pasien, terutama bila sulit untuk mendapatkan vena yang cocok untuk pemakaian i.v.
Dalam beberapa kasus, dokter dan perawat dibutuhkan untuk mengatur dosis.
Sekali digunakan, obat dengan segera menuju ke organ targetnya. Jika pasien
hipersensitivitas
terhadap
obat
atau
overdosis
setelah
penggunaan, efeknya sulit untuk dikembalikan lagi.
Pemberian beberapa bahan melalui kulit membutuhkan perhatian sebab udara atau mikroorganisme dapat masuk ke dalam tubuh. Efek sampingnya dapat berupa reaksi phlebitis, pada bagian yang diinjeksikan.
2.2
Kulit 2.2.1
Pengertian Kulit
Kulit adalah organ yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 2m 2 dengan berat kira-kira 16% berat badan. Kulit merupakan organ yang esensial dan vital serta merupakan cermin kesehatan dan kehidupan. Kulit juga sangat kompleks, elastis dan sensitive, bervariasi pada keadaan iklim, umur, jenis kelamin, ras, dan juga bergantung pada lokasi tubuh. Kulit mempunyai berbagai fungsi seperti sebagai perlindung, pengantar hama, penyerap, indera perasa, dan fungsi pergetahan.
12
2.2.2
Anatomi kulit
Kulit merupakan pembungkus yang elastisk yang melindungi tubuh dari pengaruh lingkungan. Kulit juga merupakan alat tubuh yang terberat dan terluas ukurannya, yaitu 15% dari berat tubuh dan luasnya 1,50 – 1,75 m2 . Rata- rata tebal kulit 1-2 mm. Paling tebal (6 mm) terdapat di telapak tangan dan kaki dan paling tipis (0,5 mm) terdapat di penis. Kulit terbagi atas tiga lapisan pokok, yaitu epidermis, dermis atau korium, dan jaringan subkutan atau subkutis.
Gambar 1 : Lapisan-lapisan Kulit
2.2.3
Epidermis
Epidermis terbagi atas empat lapisan yaitu : 1. Lapisan Basal atau Stratum Germinativum 2. Lapisan Malpighi atau Stratum Spinosum 3. Lapisan Granular atau Sratum Granulosum 4. Lapisan Tanduk atau Stratum Korneum
Pada telapak tangan dan kaki terdapat lapisan tambahan di atas lapisan granular yaitu Stratum Lusidium atau lapisan-lapisan jernih. Stratum Lusidium, selnya pipih, bedanya dengan stratum granulosum ialah sel-selnya sudah banyak yang kehilangan inti dan butir-butir sel telah menjadi jernih sekali dan tembus sinar. Dalam lapisan terlihat seperti suatu pita yang bening, batas- batas sel sudah tidak begitu terlihat, disebut stratum lusidium.
13
Lapisan basal atau germinativum, disebut stratum basal karena sel-selnya terletak di bagian basal. Stratum germinativum menggantikan sel-sel yang di atasnya dan merupakan sel-sel induk. Bentuknya silindris (tabung) dengan inti yang lonjong. Di dalamnya terdapat butir-butir yang halus disebut butir melanin warna. Sel tersebut disusun seperti pagar (palisade) di bagian bawah sel tersebut terdapat suatu membran yang disebut membran basalis. Sel-sel basalis dengan membran basalis merupakan batas terbawah dari epidermis dengan dermis. Ternyata batas ini tidak datar tetapi bergelombang. Pada waktu kerium menonjol pada epidermis tonjolan ini disebut papila kori (papila kulit), dan epidermis menonjol ke arah korium. Tonjolan ini disebut Rete Ridges atau Rete Pegg (prosessus interpapilaris). Lapisan Malpighi atau lapisan spinosum/akantosum, lapisan ini merupakan lapisan yang paling tebal dan dapat mencapai 0,2 mm terdiri dari 5-8 lapisan. Sel – selnya disebut spinosum karena jika kita lihat di bawah mikroskop sel – selnya terdiri dari sel yang bentuknya poligonal (banyak sudut) dan mempunyai tanduk (spina). Disebut akantosum karena sel – selnya berduri. Ternyata spina atau tanduk tersebut adalah hubungan antara sel yang lain disebut Interceluler Bridges atau jembatan interseluler. Lapisan granular atau stratum granulosum, stratum ini terdiri dari sel – sel pipih seperti kumparan. Sel – sel tersebut terdapat hanya 2-3 lapis yang sejajar dengan permukaan kulit. Dalam sitoplasma terdapat butir – butir yang disebut keratohiolin yang merupakan fase dalam pembentukan keratin oleh karena banyaknya butir – butir stratum granulosum. Stratum korneum, selnya sudah mati, tidak mempunyai inti sel (inti selnya sudah mati) dan mengandung zat keratin. Epidermis juga mengandung kelenjar ekrin, kelenjar apokrin, kelenjar sebaseus, rambut dan kuku. Kelenjar keringat ada dua jenis, ekrin dan apokrin. Fungsinya mengatur suhu tubuh, menyebabkan panas dilepaskan dengan cara penguapan. Kelenjar ekrin terdapat di semua daerah di kulit, tetapi tidak terdapat pada selaput lendir. Seluruhnya berjumlah antara 2 sampai 5 juta, yang terbanyak di telapak tangan. Sekretnya cairan jernih, kira – kira 99% mengandung klorida, asam laktat, nitrogen, dan zat lain. Kelenjar apokrin adalah kelenjar keringat besar yang bermuara ke folikel rambut. Tardapat di ketiak, daerah anogenital, puting susu, dan areola. Kelenjar sebaseus terdapat di seluruh tubuh, kecuali di tapak tangan, tapak kaki, dan 14
punggung kaki. Terdapat banyak kulit kepala, muka, kening, dan dagu. Sekretnya berupa sebum dan mengandung asam lemak, kolesterol, dan zat lain. Rambut terdapat diseluruh tubuh, rambut tumbuh dari folikel rambut di dalamnya epidermis. Folikel rambut dibatasi oleh epidermis sebelah atas, dasrnya terdapat papil tempat rambut tumbuh. Akar berada di dalam folikel pada ujung paling dalam dan bagian sebelah luar disebut batang rambut. Pada folikel rambut terdapat otot polos kecil sebagai penegak rambut. Rambut terdiri dari rambut panjang di kepala, pubis dan jenggot, rambut pendek dilubang hidung, liang telinga dan alis, rambut bulu lanugo diseluruh tubuh, dan rambut seksual di pubis dan aksila (ketiak). 2.2.4
Dermis
Dermis merupakan lapisan kedua dari kulit. Batas dengan epidermis dilapisi oleh membran basalis dan di sebelah bawah berbatasan dengan subkutis tetapi batas ini tidak jelas hanya kita ambil sebagai patokan ialah mulainya terdapat sel lemak. Dermis terdiri dari dua lapisan yaitu bagian atas, pars papilaris (stratum papilar) dan bagian bawah, retikularis (stratum retikularis). Batas antara pars papilaris dan pars retikularis adalah bagian bawahnya sampai ke subkutis. baik pars papilaris maupun pars retikularis terdiri dari jaringan ikat longgar yang tersusun dari serabut – serabut yaitu serabut kolagen, serabut elastis dan serabut retikulus. Serabut ini saling beranyaman dan masing – masing mempunyai tugas yang berbeda. Serabut kolagen, untuk memberikan kekuatan kepada kulit, dan retikulus, terdapat terutama di sekitar kelenjar dan folikel rambut dan memberikan kekuatn pada alai tersebut. 2.2.5
Subkutis
Subkutis terdiri dari kumpulan – kumpulan sel – sel lemak dan di antara gerombolan ini berjalan serabut – serabut jaringan ikat dermis. Sel – sel lemak ini bentuknya bulat dengan intinya terdesak ke pinggir, sehingga membentuk seperti cincin. Lapisan lemak ini disebut penikulus adiposus yang tebalnya tidak sama pada tiap – tiap tempat dan juga pembagian antar laki – laki dan perempuan tidak sama (berlainan). Guna penikulus adiposus adalah sebagai shock braker atau pegas bila tekanan trauma mekanis yang menimpa pada kulit, isolator panas atau untuk mempertahankan suhu, penimbunan kalori, dan tambahan untuk kecantikan tubuh. Di bawah subkurtis terdapat selaput otot kemudian baru terdapat otot. 15
2.2.6
Fisiologi Kulit
Kulit merupakan organ paling luas permukaannya yang membungkus seluruh bagian luar tubuh sehingga kulit sebagai pelindung tubuh terhadap bahaya bahan kimia, cahaya matahari mengandung sinar ultraviolet dan melindungi terhadap mikroorganisme serta menjaga keseimbangan tubuh terhadap lingkungan. Kulit merupakan indikator bagi seseorang untuk memperoleh kesan umum dengan melihat perubahan yang terjadi pada kulit. Perasaan pada kulit adalah perasaan reseptornya yang berada pada kulit. Pada organ sensorik kulit terdapat 4 perasaan yaitu rasa raba/tekan, dingin, panas, dan sakit. Kulit mengandung berbagai jenis ujung sensorik termasuk ujung saraf telanjang atau tidak bermielin. Pelebaran ujung saraf sensorik terminal dan ujung yang berselubung ditemukan pada jaringan ikat fibrosa dalam. Saraf sensorik berakhir sekitar folikel rambut, tetapi tidak ada ujung yang melebaratau berselubung untuk persarafan kulit. 2.2.7
Fungsi kulit
Kulit mempunyai fungsi bermacam-macam untuk menyesuaikan dengan lingkungan. Adapun fungsi utama kulit: a. Fungsi proteksi Kulit menjaga bagian dalam tubuh terhadap gangguan fisik atau mekanik (tarikan, gesekan, dan tekanan), gangguan kimia ( zat-zat kimia yang iritan), dan gagguan bersifat panas (radiasi, sinar ultraviolet), dan gangguan infeksi luar. b. Fungsi absorpsi Kulit yang sehat tidak mudah menyerap air, larutan dan benda padat tetapi cairan yang mudah menguap lebih mudah diserap, begitupun yang larut lemak. Permeabilitas kulit terhadap O2, CO2 dan uap air memungkinkan kulit ikut mengambil bagian pada fungsi respirasi. Kemampuan absorpsi kulit dipengaruhi oleh tebal tipisnya kulit, hidrasi, kelembaban, metabolisme dan jenis vehikulum. c. Fungsi ekskresi Kelenjar kulit mengeluarkan zat-zat yang tidak berguna lagi atau sisa metabolisme dalam tubuh berupa NaCl, urea, asam urat, dan amonia. 16
d. Fungsi persepsi Kulit mengandung ujung-ujung saraf sensorik di dermis dan subkutis sehingga
kulit
mampu
mengenali
rangsangan
yang
diberikan.
Rangsangan panas diperankan oleh badan ruffini di dermis dan subkutis, rangsangan dingin diperankan oleh badan krause yang terletak di dermis, rangsangan rabaan diperankan oleh badan meissner yang terletak di papila dermis, dan rangsangan tekanan diperankan oleh badan paccini di epidermis. e. Fungsi pengaturan suhu tubuh (termoregulasi) Kulit melakukan fungsi ini dengan cara mengekskresikan keringat dan mengerutkan (otot berkontraksi) pembuluh darah kulit. Di waktu suhu dingin, peredaran darah di kulit berkurang guna mempertahankan suhu badan. Pada waktu suhu panas, peredaran darah di kulit meningkat dan terjadi penguapan keringat dari kelenjar keringat sehingga suhu tubuh dapat dijaga tidak terlalu panas. f. Fungsi pembentukan pigmen Sel pembentuk pigmen (melanosit) terletak di lapisan basal dan sel ini berasal dari rigi saraf. Jumlah melanosit dan jumlah serta besarnya butiran pigmen (melanosomes) menentukan warna kulit ras maupun individu.
2.3
Piridoksin HCL 2.3.1
Pengertian
Piridoksina (vitamin B6) termasuk dalam kelompok vitamin B kompleks. Senyawa ini bersifat larut dalam air dan berperan sebagai koenzim untuk membantu memperlancar proses metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang berujung pada pelepasan energi. Vitamin ini juga berperan vital dalam metabolisme asam amino dan sistem imun tubuh. Terdapat 6 bentuk umum yang sering dijumpai, yaitu piridoksal (PL),
piridoksina
(PN), piridoksamine (PM), piridoksal
5'-
fosfat (PLP), piridoksin 5'-fosfat (PNP), dan pridoksamin 5'-fosfat (PNP). Sumber utama vitamin ini adalah sayur-sayuran.
17
2.3.2
Peranan Bagi Tubuh
Piridoksina berperan sangat penting dalam metabolisme asam amino di dalam tubuh. Dengan bantuan piridoksina, asam amino dapat diserap tubuh di usus penyerapan dan digunakan untuk berbagai keperluan di dalam tubuh. Vitamin ini juga turut bekerja dalam pemecahan protein dan sintesis asam amino. Selain itu, pembentukan
senyawa histamin, serotonin, dopamin,
dan adrenalin juga
sangat
tergantung pada keberadaan vitamin ini. Serotonin yang dibentuk akan digunakan untuk menjaga sistem imun yang baik. Piridoksina juga mampu menyembuhkan PMS pada wanita.
2.3.3
Konsumsi
Konsumsi vitamin B6 yang cukup akan sangat membantu tubuh menjalankan fungsi dan metabolisme yang baik. Peranannya yang besar menjadikan vitamin ini bersifat esensial bagi tubuh manusia. Bila tidak terpenuhi maka tubuh akan mengalami berbagai gangguan kesehatan. Beberapa makanan yang dapat digunakan sebagai
sumber
vitamin
ini
ikan, telur, daging, gandum, roti, sereal, sayur
adalah biji bayam, wortel,
bunga
matahari,
dan
buah pisang.
Karena bersifat sensitif cahaya dan panas, vitamin B6 seringkali rusak selama proses pemasakan.
2.3.4
Defisiensi
Defisiensi piridoksina pada umumnya jarang terjadi karena vitamin ini tersebar di banyak sumber makanan. Jika terjadi kasus defisiensi, hal ini biasanya dikarenakan oleh adanya gangguan sistem penyerapan nutrisi di saluran pencernaan. Kejadian ini banyak terjadi pada pecandu alkohol. Mekanisme lain yang dapat terjadi adalah bila penderita
banyak
dan penisilamin yang
mengonsumsi obat tertentu, mampu
menonaktifkan
seperti isoniazid, hidrolazin, kerja vitamin ini. Gejala
yang
ditimbulkan antara lain dermatitis, bibir pecah-pecah, peradangan mulut, sirosis, dan insomnia. 2.4
Sterilisasi 2.4.1
Pengertian
Sterilisasi adalah proses yang dirancang untuk menciptakan keadaan steril. Secara tradisional keadaan steril adalah kondisi mutlak yang tercipta sebagai akibat 18
penghancuran dan penghilangan semua
mikroorganisme hidup. Konsep ini
menyatakan bahwa steril adalah istilah yang mempunyai kondisi konotasi relatif, dan kemungkinan menciptakan kondisi mutlak bebas dari mikrorganisme hanya dapat diduga atas dapat proyeksi kinetis angka kematian mikroba. Produk steril adalah sediaan terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi-bagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa kebagian dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien, yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik dan harus mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar biasa.
2.4.2
Syarat Sediaan Steril
1. Efikasi mencakup kemanjuran suatu obat yang dalam terapi termasuk efektivitas obat dalam terapi. 2. Safety : keamanan ini antara lain meliputi: eamanan dosis obat dalam terapi, memberikan efek terapi sesuai dengan yang diinginkan dan tidak memberikan efek toksik atau efek samping yang tidak diinginkan. 3. Aceeptable : maksudnya disukai oleh pasien. Jadi obat perlu dibuat sedemikian menarik dan mudah dipakai konsumen. 4. Sediaan obat harus jernih. Jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak larut dalam sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berearna, tetap terlihat jernih (tidak keruh). 5. Tidak berwarna. Maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna, namun warna larutan sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada campuran warna lain dalam sediaan itu. 6. Bebas dari partikel asing. Partikel asing; partikel yang bukan penyusun obat. Sumber partikel bisa berasal dari: air, bahan kimia, personil yang bekerja, seratr dari alat/pakaian personil, alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas, plastik). 7. Keseragaman volume/berat. Terutama untuk sediaan solid steril. 8. Memenuhi uji kebocoran. Terutama untuk injeksi yang dikemas dalam ampul. Uji kebocoran dapat dilakukan dengan:
Uji dengan larutan warna (dye bath test ) 19
Metode penarikan vakum ganda (the double vacuum pull method )
9. Stabil. Artinya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal jika bentuk sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan (bukan suspensi). Sifat stabil ini berkaitan dengan formulasi. Ketidakstabilan dapat dilihat dari:
Terjadi perubahan warna. Contoh: larutan adrenalin yang awalnya berwarna jernih karena teroksidasi akan menjadi merah karena terbentuk adenokrom.
Terjadi pengendapan. Contoh: injeksi aminophilin dibuat dengan air bebas CO2, karena jika tidak bebas CO2 maka akan terbewntuk theopilin
yang
kelarutannya
kecil
dalam
air
sehingga
kanmengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.
2.4.3
Persyaratan Dalam Larutan Injeksi
1.
Kerja optimal dan sifat tersatukan dari larutan obat yang diberikan secara parenteral hanya akan diperoleh jika persyaratan berikut terpenuhi
2.
Sesuainya kandungan bahan obat yang dinyatakan di dalam etiket dan yang ada dalam sediaan, tidak terjadi penggunaan efek selama penyimpanan akibat perusakan obat secara kimia dan sebagainya.
3.
Penggunaan wadah yang cocok, yang tidak hanya memungkinkan sediaan tetap steril tetapi juga mencegah terjadinya antaraksi antarbahan obat dan material dinding wadah.
4.
Tersatukan tanpa terjadinya reaksi. Untuk beberapa faktor yang paling menentukan: bebas kuman, bebas pirogen, bebas pelarut yang secara fisiologis, isotonis, isohidris, bebas bahan melayang.
2.4.4
Metode Sterilisasi 1.
Sterilisasi uap (Lembab panas) :
Sterilisasi uap dilakukan dalam autoklaf dan menggunakan uap air dengan tekanan. Cara ini dilakukan sebagai cara yang terpillih pada hampir semua keadaan di mana produk mampu diperlakukan seperti itu. Tekanan uap air yang lazim, temperatur yang dapat dicapai dengan tekanan tersebut, dan
20
penetapan waktu yang dibutuhkan untuk sterilisasi sesudah sistem mencapai temperatur yang ditentukan, adalah sebagai berikut :
Tekanan 10 pound (115,5 oC), untuk 30 menit
Tekanan 15 pound (121,5 oC), untuk 20 menit
Tekanan 20 pound (126,5 oC), untuk 15 menit
Dapat dilihat, makin besar tekanan yang dipergunakan makin tinggi temperatur yang dicapa dan makin pendek waktu yang diutuhkan untuk sterilisasi. USP menentukan sterilisasi uap sebagai penerapan uap jenuh di bawah tekanan paling kurang 15 menit dengan temperatur minimal 121oC dalam jaringan tekanan. Bentuk yang paling sederhana dari autoklaf adalah “home pressure cooker ”. A. Uap panas pada 100 oC Uap panas pada suhu 100 oC dapat digunakan dalam bentuk uap mengalir atau air mendidih. Metode ini mempunyai keterbatasan penggunaan uap mengalir dilakukan dengan proses sterilisasi bertingkat untuk mensterilkan media kultur. Metode ini jarang memuaskan untuk larutan yang mengandung bahan-bahan karena spora sering gagal tumbuh dibawah kondisi ini, bentuk vegetatif dari kebanyakan bakteri yang tidak membentuk spora. Temperatur suhu titik mati bervariasi, tetapi tidak ada bentuk non spora yang bertahan. B. Pemanasan dengan bakterisida Ini menghadirkan aplikasi khusus dari pada uap pans pada 100 oC. adanya bakterisida sangat meningkatkan efektifitas metode ini. Metode ini digunakan untuk larutan berair atau suspensi obat yang tidak stabil pada temperatur yang biasa diterapkan pada autoklaf. Larutan yang ditumbuhkan bakterisida ini dpanaskan dalam wadah bersegel pada suhu 100 oC selama 20 menit dalam pensterilisasi uap atau penangas air. Bakterisida yang dapat digunakan termasuk 0,5%, fenol, 0,5% klorbutanol, 0,2% kresol atau 0.002% fenil merkuri nitrat saat larutan dosis tunggal lebih dari 15 ml larutan
21
obat untuk injeksi intratekal atau gastro intestinal sehingga tidak dibuat dengan metode ini. C. Air mendidih Penangas air mendidih mempunyai kegunaan yang sangat banyak dalam sterilisasi jarum spoit, penutup karet, penutup dan alat-alat bedah. Bahan-bahan ini harus benar-benar tertutupi oleh air mendidih dan harus mendidih paling kurang 20 menit. Setelah sterilisasi bahan-bahan dipindahkan dan air dengan pinset yang telah disterilisasi menggunakan pemijaran. Untuk menigkatkan efisiensi pensterilan dari air, 5 % fenol, 1-2% Na-carbonat atau 23% larutan kresol tersaponifikasi yang menghambat kondisi bahan bahan logam.
2. Sterilisasi panas kering
Sterilisasi panas kering biasanya dilakukan dengan oven pensteril yang dirancang khusus untuk tujuan itu. Sterilisasi panas kering, biasanya ditetapkan pada temperatur 160o – 170oC dengan waktu tidak kurang dari 2 jam. Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi kosong adalah lebih kurang 15 oC, jika alat strilisasi beroperasi pada suhu tidak kurang dari 250 oC. Sterilisasi panas kering umumnya digunakan untuk senyawa – senyawa yang tidak efektif disterilkan dengan uap air panas. Senyawa – senyawa tersebut meliputi minyak lemak, gliserin, berbagai produk minyak tanah seperti petrolatum, petrolatum cair (minyak mineral), paraffin dan berbagai serbuk yang stabil oleh pemanasan seperti ZnO. a. Udara Panas Oven Bahan yang karena karakteristik fisikanya tidak dapat disterilisasi dengan uap destilasi dalam udara panas-oven. Yang termasuk dalam bahan ini adalah minyak lemak, paraffin, petrolatum cair, gliserin, propilen glikol. Selama pemanasan kering, mikroorganisme dibunuh oleh proses oksidasi. Ini berlawanan dengan penyebab kematian oleh koagulasi protein pada sel bakteri yang terjadi dengan sterilisasi uap panas. Pada umumnya suhu yang lebih tinggi dan waktu pemaparan yang 22
dibutuhkan saat proses dilakukan dengan uap di bawah tekanan. Saat sterilisasi di bawah uap panas dipaparkan pada suhu 121°C selama 12 menit
adalah
efektif.
Sterilisasi
panas
kering
membutuhkan
pemaparan pada suhu 150°C sampai 170°C selama 1-4 jam. Beberapa waktu dan suhu yang umum digunakan pada oven :
170°C (340 F) sampai 1 jam
160°C (320 F) sampai 2 jam
150°C (300 F) sampai 2,5 jam
140°C (285 F) sampai 3 jam
b. Minyak dan penangas lain Bahan kimia yang stabil dalam ampul bersegel dapat disterilisasi dengan mencelupkannya, dalam penangas yang berisi minyak mineral pada suhu 1620C. larutan jenuh panas dari natrium atau ammonia klorida dapat juga digunakan sebagai pensterilisasi. Ini merupakan metode yang mensterilisasi alat-alat bedah. Minyak dikatakan bereaksi sebagai lubrikan, untuk menjaga alat tetap tajam, dan untuk memelihara cat penutup. c. Pemijaran langsung Pemijaran langsung digunakan untuk mensterilkan spatula logam, batang gelas, filter logam bekerfield dan filter bakteri lainnya. Mulut botol, vial, dan labu ukur, gunting, jarum logam dan kawat, dan alatalat lain yang tidak hancur dengan pemijaran langsung. Papan salep, lumping dan alu dapat disterilisasi dengan metode ini.
3. Sterilisasi dengan penyaringan
Sterilisasi dengan penyaringan tergantung pada penghilangan mikroba secara fisik dengan adsorbsi pada media penyaring atau dengan makanisme penyaringan, digunakan untuk sterilisasi larutan yang tidak tahan panas.
4. Sterilisasi gas
Beberapa senyawa yang tidak tahan terhadap panas dan uap dapat disterilkan dengan baik dengan memaparkan gas etilen oksida tau propilen oksida bila dibandingkan dengan cara – cara lain. Keburukan dari etilen
23
oksida adalah sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah dicampur dengan gas inert yang sesuai, bersifat mutagenik, dan kemungkinan adanya residu toksik di dalam bahan yang disterilkan, terutama yang mengandung ion klorida.
5. Sterilisasi dengan radiasi pengionan
Teknik – teknik yang disediakan untuk sterilisasi beberapa jenis sediaan – sediaan farmasi dengan sinar gama dan sinar – sinar katoda, tetap penggunaan tehnik – tehnik ini terbatas karena memerlukan peralatan yang sangat khusus dan pengaruh – pengaruh radiasi pada produk – produk dan wadah – wadah. Keunggulan sterilisasi iradiasi meliputi reaktivitas kimia rendah,
residu
rendah
yang
dapat
diukur,
dan
kenyataan
yang
membuktikan bahwa variabel yang dikendalikan lebih sedikit. Ada 2 jenis radiasi ion yang digunakan, yaitu disintegrasi radioaktif dari radioisotop (radiasi gamma) dan radiasi berkas elektron.
Secara umum ada 2 peosedur pembuatan sediaan steril yaitu : 1. Cara sterilisasi akhir Cara ini merupakan cara sterilisasi umum dan paling banyak digunakan dalam pembuatan sediaan steril. Zat aktif harus stabil dengan adanya molekul air dan suhu sterilisasi. Dengan cara ini sediaan disterilkan pada tahap terakhir pembuatan sediaan. Semua alat setelah lubang-lubangnya ditutup dengan kertas perkamen, dapat langsung digunakan tanpa perlu disterilkan terlebih dahulu. 2. Cara aseptis Cara ini terbatas penggunaannya pada sediaan yang mengandung zat aktif peka
suhu
tinggi
dan
dapat
mengakibatkan
penurunan
kerja
farmakologinya. Antibiotik dan bebrapa hormon tertentu merupakan zat aktif yang sebaiknya diracik secara aseptis. Cara aseptis bukanlah suatu cara sterilisasi melainkan suatu cara untuk memperoleh sediaan steril dengan mencegah kontaminasi jasad renik dalam sediaan.
24
BAB III FORMULASI
3.1
Preformulasi 3.1.1
Piridoksin HCL
Rumus molekul
: C8H11NO8.HCL
Pemerian
: Hablur putih atau tidak berwarna, atau serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa asin.
Kelarutan
: Mudah larut dalam air, sukar larut dalam etanol (95%) P, praktis tidak larut dalam eter.
Dosis
: 100 mg/mL (10 mL, 30 mL)
Khasiat
: Pengobatan dan pencegahan defisiensi Vitamin B6
Ph
: 2 – 3,8
Stabilitas
: Stabilitas dipengaruhi oleh beberapa faktor termasuk konsentrasi, pH, temperatur. Terurai oleh cahaya.
3.1.2
OTT
: larutan alkalin, garam besi dan larutan pengoksida.
Wadah
: Simpan dalam tempat kedap udara
Penyimpanan
: Lindungi larutan terkonstitusi dari pembekuan.
Aqua Pro Injeksi
Rumus Molekul
: H 2O
Berat Molekul
: 18,02
Fungsi
: Sebagai bahan pembawa sediaan iv
Pemerian
: Cairan jernih / tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa
Kelarutan
: Dapat bercampur dengan pelarut polar dan elektrolit
OTT
: Dalam sediaan farmasi, air dapat bereaksi dengan obat dan zat tambahan lainnya yangmudah terhidrolisis (mudah terurai dengan adanya air atau kelembaban).
25
Stabilitas
: Stabil secara kimia dalam bentuk fisika bagian dengan cairan uap, air stabil dalam setiap keadaan (es, cairan, uap panas).
Wadah
: Dalam wadah tertutup kedap, disimpan dalam wadah tertutup kapada berlemak, harus digunakan dalam waktu 30 hari setelah pembuatan.
3.1.3
Natrium Klorida
Rumus Molekul
: NaCl
Pemerian
: Hablur heksahedral tidak berwarna atau serbuk hablur putih; tidak berbau; rasa asin.
Kelarutan
: Larut dalam 2,8 bagian air, dalam 2,7 bagian air mendidih dan dalam lebih kurang 10 bagian gliserol P; sukar larut dalam etanol (95%) P.
Titik leleh
: 801 °C (1074 K)
Titik didih
: 1465 °C (1738 K)
Penyimpanan
: dalam wadah tertutup baik.
Kegunaan
: sumber ion klorida dan ion natrium.
OTT
: larutan natrium klorida bersifat korosif dengan besi; membentuk endapan bila bereaksi dengan perak; garam merkuri; agen oksidasi kuat pembebas klorine dari larutan asam sodium klorida; kelarutan pengawet nipagin menurun dalam larutan sodium klorida.
Stabilitas
:
larutan
sodium
klorida
stabil
tetapi
dapat
menyebabkan perpecahan partikel kaca dari tipe tertentu wadah kaca. Larutan cair ini dapat disterilisasi dengan cara autoklaf atau filtrasi. Dalam bentuk padatan stabil dan harus disimpan dalam wadah tertutup rapat, sejuk dan tempat kering.
26
3.2
Formulasi 3.2.1
Formulasi Piridoksin HCL
Komposisi : Tiap ml mengandung Vitamin B6
50 mg
Disuspensikan dalam aqua pi add 1 ml 3.2.2
Prosedur Kerja 1. Bahan dan Alat
Bahan : 1. Piridoksin HCL 2. Aqua pro injeksi
Alat 1. Gelas ukur 2. Erlenmeyer 3. Spatula 4. Beaker glass 5. Corong kaca 6. Kertas saring 7. Botol/ampul 8. Pipet 9. Karet pipet 10. Pinset 11. Spuit 12. Timbangan
27
Persyaratan sediaan parenteral (termasuk injeksi) 1. Sesuai antara kandungan bahan obat yang ada didalam sediaan dengan pernyataan tertulis pada etiket dan tidak terjadi pengurangan kualitas selama penyimpanan akibat kerusakan obat secara kimiawi dan sebaginya. 2. Penggunaan
wadah
yang
cocok,
sehingga
tidak
hanya
memungkinkan sediaan tetap steril, tetapi juga mencegah terjadinya interaksi antara bahan obat dengan material dinding wadah. 3. Tersatukan tanpa terjadi reaksi 4. Bebas kuman 5. Bebas pirogen 6. Isotonis 7. Isohidris 8. Bebas partikel melayang
Tonisitas metode ekivalen nacl Isohidris : pH sediaan diusahakan mendekati pH darah yaitu 7,4 akan tetapi larutan vitamin B6 stabil pada pH lebih kurang 3 dan dalam bentuk sediaan injeksi stabil pada pH 2,0 – 3,8 maka dipakai pH stabilitas zat aktif yaitu sekitar 2,0 – 3,8.
Alasan-alasan :
Zat aktif larut dalam air sehingga dapat dipakai sebagai sediaan parenteral volume kecil karena akan dibuat sediaan injeksi dan larutan bersifat larutan sejati.
IM karena pemberian secara IM merupakan pemberian yang tepat untuk sdiaan kerja diperlambat yang dibuat dengan pembawa air. Dan pemberian secara IM digunakan untuk larutan < 3ml.
Autoklaf Filtrasi autoklaf larutan disterilkan dengan cara autoklaf 115-116◦C selama 30 menit. Tidak harus cara sterilisasi dengan filtrasi karena tidak ada data kestabilan pada suhu 115-116◦C.
33
Tetap memakai formula pada fornas dan tidak menambah zat tambahan lain seperti :
Zat pengawet : Karena sediaan ditujukan untuk single doses maka tidak diperlukan zat pengawet, pengawet juga tidak diperlukan karena sediaan dilakukan sterilisasi akhir.
Antioksidan digunakan untuk melindungi zat yang peka terhadap oksidasi, tetapi vitamin B6 tidak terlalu peka terhadp oksidasi sehigga tidak diperlukan antioksidan hanya pada penyimpanannya diletakkan pada wadah berwarna gelap.
Pengatur pH (dapar) : Tujuan digunakan untuk meningkatkan stabilitas obat, mengurangi rasa nyeri, iritasi, nekrosis saat penggunaannya, menghambat pertumbuhan mikroorganisme.
2. Perhitungan bahan :
Akan dibuat sediaan ampul 1 ml sebanyak 10 ampul, maka volume berlebih yang akan dimasukkan ke dalam ampul adalah 1,15 mL Volume yang dibuat = (n + 2)V + (2 x 3) = (10 + 2) 1,15 mL + (2 x 3) = (12) 1,15 mL + 6 = 13,8 + 6 = 19, 8 mL ~ 20 mL Penimbangan Bahan = ( 50 mg/1 mL) x 20 mL = 1000 mg / 1 g Perhitungan Isotonis metode ekivalen NaCL 0,9% = kesetaraan piridoksin dengan NaCL adalah 0,36 = 1 g x 0,36 = 0,36 g Untuk memperoleh larutan isotonis dari 20 ml injeksi piridoksin adalah 0,9 – 0,36 = 0,54 gram 33
3. Penimbangan (dilebihkan 5%)
4. Cara sterilisasi alat dan bahan -
Spatel logam, pinset, batang pengaduk, erlenmeyer, kaca arloji, beaker glass, di oven selama 30 menit pada suhu 1500C
-
Gelas ukur, pipet tetes, vitamin B6 dan kertas saring di autoklav selama 30 menit pada suhu 115 0C – 1160C
-
Karet pipet tetes direbus selama 30 menit
5. Prosedur kerja a.
Prosedur tetap
Persiapan alat-alat yang akan digunakan, bersihhkan terlebih dahulu alat yang akan digunakan seperti gelas ukur, gelas piala, corong, erlenmeyer, dll
Sterilisasi alat-alat dan wadah ampul yang akan digunakan.
Praktikkan menyiapkan IK pembuatan sediaan injeksi volume kecil.
b.
Praktikkan melakukan kegiatan sesuai dengan IK.
Kegiatan Produksi
Penimbangan bahan obat dan bahan tambahan.
Pelarutan bahan dalam pembawa sesuai kelarutan
Pengukuran volume I
Penyaringan
Pengukuran volume II
Penyaringan
Pengisian keburet
Ampul berisi larutan obat dialiri uap air untuk mencegah pengarangan kemudian disemprotkan gas N2
Penutupan ampul
Sterilisasi akhir
33
c.
Instruksi Kerja
Disiapkan alat yang diperlukan untuk disteriisasi alat.
Dibuat aquadest kedalam erlenmeyer tutup dengan kaca arloji, dididhkan dengan penangas air setelah mendidih hitung 30 detik (air bebas CO2), setelah mendidih dipanaskan lagi 10menit kemudian ditutup erlenmeyer dgn kpas dibungkus dengan kain kasa ataau tutup yang permeable (air bebas CO2). Dibuat bebas CO2 dan O2 agar pada saat penyimpanan sediaan lebih stabil dan tidak teroksidasi air pada formula tidak ditambahkan antioksidan
Ditimbang vit B6 sebanyak 1 gram dgn kaca arloji, kemudian dimasukkan kedalm pass box
Sebagian API yang akan digunakan dalam pembuatan sediaan obat dimasukkan kedalam beacker glass kemudian ditambahkan sdikit demi sedikit vit B6, aduk ad larut.
Disiapkan erlenmeyer, corong dan kertas saring serta membasahkan kertas saring yang digunakan dengan sedikit API.
Disaring larutan dalam gelas ukur melalui corong kedalam erlenmeyer yang telah disiapkan.
Dilakukan pengukuran pH hingga sesuai dengan pH sediaan
Dibilas beacker glass yang digunakan untuk melarutkan vit B6 dengan sisa API kemudian menyaringnya kedalam erlenmeyer yang berisi filtrat larutan sebelumnya.
Diisikan larutan obat kedalam ampul sebanyak 1,15ml dengan menggunakan spuit
Ditutup ampul dengan panas api dari bunsen gas
Disterilkan sediaan dalam autoklaf pada suhu 115◦-116◦C selama 30 menit
Dilakukan evaluasi terhadap sediaan dan wadah
33
3.2.3
Evaluasi Sediaan
a. Potensi / Kadar Penentuan kadar dilakukan dengan SP UV, HPLC, SP IR dll (Evaluasi tidak dilakukan). b. Penetapan pH pH sediaan diukur dengan menggunakan kertas lakmus setelah sediaan jadi. pH sediaan kami yaitu 3. c. Warna Warna yang terjadi pada sediaan adalah bening atau jernih. d. Kekeruhan Alat yang dipakai adalah Tyndall, karena larutan dapat menyerap dan memantulkan sinar. Idealnya larutan parenteral dapat melewatkan 9297% pada waktu dibuat dan tidak turun menjadi 70% setelah 3-5 tahun. Terjadinya kekeruhan dapat disebabkan oleh : benda asing, terjadinya pengendapan atau pertumbuhan m.o. Evaluasi ini hanya dilihat oleh kasat mata karena tidak tersedianya alat tyndall. Secara fisik sediaan yang kami buat tergolong jernih atau bebas pirogen. e. Bau Sediaan yang kami buat tidak memiliki bau. f. Evaluasi Wadah Dalam uji kebocoran, menggunakan metylen blue dari 10 ampul berwarna jernih atau sediaan tidak berubah menjadi warna biru dan sediaan tidak ada yang bocor. g. Uji kejernihan Menggunakan latar belakang hitam tidak ada kotoran-kotoran berwarna muda yang melayang, Menggunakan latar belakang putih tidak ada kotoran-kotoran berwarna
gelap
melayang.
Sediaan
yang
dibuat
mempunyai
kejernihan.
33
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini, kami membuat sediaan parenteral volume kecil yaitu sediaan injeksi dengan pelarut larut air dan sebagai zat aktifnya yaitu vitamin B6 atau Piridoksin HCl. Pada saat pengerjaan tidak banyak kendala yang kami temukan karena vit B6 tergolong mudah larut dalam air. Piridoksin HCl yang kami gunakan disterilisasi dengan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf dan tidak harus dengan cara filtrasi karena tidak ada data ketidakstabilan pada suhu 115-116˚C. Untuk pembutan sediaan sebelumnya kami melakukan sterilisasi alat untuk menghindari kontaminasi dari luar. Berikut tabel sterilisasi alat yang kami lakukan : Nama alat Spatel logam Pinset logam Batang pengaduk gelas Kaca arloji
Jumlah 1 1 1 2
Gelas ukur
1
Pipet tetes tnpa karet
1
Karet pipet
1
Corong gelas dan kertas sarin lipat Kasa steril Beacker glass Erlenmeyer Ampul
Sterilisasi Oven 150◦C Oven 150◦C Oven 150◦C Oven 150◦C Autoklaf 115◦ 116◦C Oven 150◦C Rebus air mendidih
waktu 30 menit 30 menit 30 menit 30 menit
Masuk 9.25 9.25 9.25 9.25
Keluar 9.55 9.55 9.55 9.55
30 menit
9.30
10.00
30 menit
9.30
10.00
30 menit
9.31
10.01
1
Oven 150◦C
30 menit
9.25
9.55
1 1 2 10
Oven 150◦C Oven 150◦C Oven 150◦C
30 menit 30 menit 30 menit 30 menit
9.25 9.25 9.25
9.55 9.55 9.55
Dalam prosesnya, piridoksin HCl hanya dilarutkan dalam air yang kemudian disaring dengan kertas saring. Air merupakan suatu pembawa utama pada sediaan parenteral. Air juga digunakan pada pencucian, pembilasan dan pada proses sterilisasi. Suplai air harus menjamin kualitas air yang sesuai dengan kebutuhan mulai dari proses awal hingga akhir. Untuk kepentingan farmaseutik, air perlu perhatian khusus seperti kontaminasi elektrolit, zat organik, partikel, gas terlarut (CO2) dan mikroorganisma. Air untuk
injeksi
harus
memiliki
kemurnian
yang
tinggi
dan
bebas
pirogen.
Sediaan injeksi B6 kami tidak menggunakan pengawet karena kami menggunakan dosis 33
tunggal. Dan sesuai dengan formularium nasional, B6 juga tidak memerlukan zat pengisotoni karena sudah hipertonis. Pada praktikum kali ini kami membuat sediaan parenteral volume kecil yaitu sediaan injeksi dengan pelarut air dan sebagai zat akifnya yaitu vitamin B6 dengan rute IM. Dimana pada pemberiaan IM sebaiknya isotonis, kadang dibuat sediaan hipertonis untuk mempermudah absorspsi jaringan, Praktikum sediaan injeksi B6 kali ini dibuat sediaan isotonis dengan perhitungan ekivalen Nacl 0,9%,yaitu penambahan 0,54 gram nacl. Volume yang disuntikkan 1 ml didaerah deltoid. Vitamin B6 mempunyai kelarutan mudah larut dalam air sehingga sediaan larutan dengan pembawa air yaitu aqua pro injection, pH stabilitas dari vitamin B6 yaitu pada pH 2,0 – 3,8 sehingga pH sediaan dibuat mendekati pH stabilitas zat aktif sehingga penguraian zat aktif dapat diminimalkan dan memberi efek farmakologi yang optimal. pH sediaan yang dibuat pada praktikum injeksi B6 adalah pH 3 menggunakan pH meter. Piridoksin HCL yang kami gunakan disterillisasi akhir dengan menggunakan autoklaf suhu 115 - 116◦C selama 30 menit. Sediaan yang injeksi yang dibuat tidak berbau dan dihasilkan sediaan yang berwarna bening, sedangkan kebocoran dari 10 ampul tidak ada yang bocor ditandai dengan tidak berubahnya warna injeksi menjadi biru setelah dicelupkan metilen blue.
33
BAB V PENUTUP
5.1
Kesimpulan
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lendir. Sediaan parenteral yang diberikan secara penyuntikan intravena, subkutan, dan intramuscular merupakan rute pemberian obat yang kritis jika dibandingkan dengan pemberian obat-obatan secara oral. Bentuk sediaan steril bisa berbagai bentuk, yaitu cair, padat atau semi padat. Proses pembuatannya sama dengan sediaan non steril. Namun, dalam pembuatan sediaan steril kita perlu mengetahui proses steriliasinya yang berkaitan dengan stabilitas bahan aktif maupun bahan – bahan tambahannya. Sediaan injeksi yang kami buat terdiri dari : Piridoksin HCl 50 mg Aqua Pro Injection 1 ml (Kekuatan sediaan 50mg/ml). Piridoksin HCl berfungsi sebagai antidote, agen pemulihan kekurangan vitamin B6 dan suplemen nutrisi Piridoksin HCl yang kami gunakan disterilisasi dengan sterilisasi akhir menggunakan autoklaf dan tidak harus dengan cara filtrasi karena tidak ada data ketidakstabilan pada suhu 115-116˚C. Sediaan yang kami buat tidak menggunakan pengawet karena dibuat dalam
dosis
tunggal
dan
tidak
menggunakan
pendapar
karena
sudah
hipertonis. Hasil Sediaan vit B6 kami memiliki kejernihan yang cukup baik, tidak memiliki warna dan bau dan pH 5.2
Saran
Dalam pembuatan sediaan steril (untuk injeksi/suntik), harus diperhatikan dengan baik sifat dari obat yang akan dibuat.
33