Laporan Praktikum Hari, tanggal : 5 Mei 2014
Farmakologi II Waktu : 11.00-13.30 WIB
Penanggung Jawab: Dr. drh. Min Rahminiwati, MS
Pengaruh Obat pada Usus yang Terisolasi
Kelompok
Nama NRP Tanda Tangan
Devi Anianti B04110028
Resti Regia B04110029
Purnama Sinta B04110030
SelmaAnggita B04110031
BAGIAN FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Aktivitas usus berada dibawah pengaruh sistem saraf otonom, yakni simpati dan parasimpatis. Saluran digestive terutama dipengaruhi oleh saraf parasimpatis dengan meningkatkan peristaltik usus dan sekresi kelenjar, baik saliva maupun keringat. Gerakan usus yang meliputi peristaltik, segmentasi, dan pendulum dipengaruhi juga oleh saraf parasimpatis dengan meningkatkan aktivitasnya, sedangkan saraf simpati sebagai inhibitor dari aktivitas parasimpatis, sehingga saluran digestive akan menurun aktivitasnya.
Sistem syaraf otonom disusun atas syaraf preganglion, ganglion dan pascaganglion yang mempersyarafi sel efektor. Beberapa contoh sel efektornya adalah otot polos, otot jantung dan kelenjar tubuh. Lingkaran refleks syaraf otonom terdiri dari syaraf eferen yang sentripetal disalurkan melalui n. vagus, n, pelvikus, n. splanikus, dan syaraf otonom lainnya. Syaraf eferen terbagi dalam sistem syaraf simpatis dan parasimpatis. Sistem syaraf simpatis disalurkan melalui serat thorakolumbal dari torakal 1 sampai lumbal 3. Sedangkan sistem syaraf parasimpatis disalurkan melalui n. occulomotorius, n. facialis, n. glossopharyngeus, n. vagus, dan n. pelvikus yang berasal dari sacral segmen 2, 3, dan 4.
Fungsi sistem syaraf simpatis dan parasimpatis selalu berlawanan (antagonis). Secara umum sistem syaraf simpatis berperan dalam mempertahankan diri terhadap tantangan di luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau pertahanan diri yang dikenal sebagai fight or flight reaction. Sistem syaraf simpatis aktif setiap saat dan bekerja secara serentak. Beberapa fungsi syaraf simpatis seperti denyut jantung meningkat, tekanan darah meningkat, dilatasi bronkus dan midriasis. Sedangkan sistem syaraf parasimpatis berperan dalam konservasi dan reservasi tubuh sewakttu aktivitas organisme minimal. Cara kerja sistem syaraf parasimpatis lebih terlokalisasi dan tidak perlu bekerja secara serentak. Beberapa fungsi syaraf parasimpatis seperti mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah, menstimulasi sistem pencernaan berupa peningkatan motilitas dan sekresi getah pencernaan, meningkatkan absorbsi makanan, mengosongkan rectum dan kandung kemih.
Serat-serat praganglion simpatis dan parasimpatis mengeluarkan neurotransmitter yang sama, yaitu asetilkolin (Ach), tetapi ujung-ujung pasca ganglion kedua system ini mengeluarkan neurotransmitter yang berlainan (neurotransmitter yang mempengaruhi organ efektor). Serat-serat pascaganglion parasimpatis mengeluarkan asetilkolin. Dengan demikian, serat-serat itu bersama dengan semua serat praganglion otonom, disebut serat kolinergik. Sebaliknya sebagian besar serat pascaganglion simpatis disebut serat adrenergik, karena mengeluarkan noradrenalin, lebih umum dikenal sebagai norepinefrin. Asetilkolin maupun norepinefrin juga berfungsi sebagai zat perantara kimiawi di bagian tubuh lainnya.
1.2 Tinjauan Pustaka
Sistem saraf otonom atau sistem saraf tidak sadar mengatur kerja otot yang terdapat peda organ dan kelenjar. Contohnya fungsi vital seperti denyut jantung, salivasi dan pencernaan yang berlangsung terus-menerus diluar kesadaran baik waktu bangun maupun waktu tidur.Sistem saraf otonom dapat dibagi kedalam dua kelompok besar yang umumnya satu sama lain saling menyeimbangkan. Kedua sestem saraf tersebut adalah :
Sistem saraf simpatis : Mempunyai efek eksitasi antara lain melonggarkan saluran pernafasan, dan meningkatkan aliran darah ke ekstremitas.
Sistem saraf parasimpatis : Mempunyai efek inhibisi misalnya melambatkan denyut jantung, dan menghambat aliran darah ke ekstremitas
Meskipun kerja fungsional dari kebanyakan organ dihasilkan karena kerjasama kedua sistem tersebut, otot-otot disekeliling pembuluh darah hanya memberikan respon terhadap sinyal saraf simpatik. Pembuluh darah mengalami dilatasi atau kontriksi tergantung kepada perangsangan relatifnya terhadap reseptor alfa atau beta.
Neurotransmitter adalah senyawa yang menghantarkan sinyal dari satu neuron ke neuron lain atau mencetuskan respon pada efektor yaitu otot atau organ. Neurotransmiter pada saraf simpatik adalahAdrenalin dan noradrenalin, Neurotransmiter pada saraf parasimpatik adalah asetilkolin. Reseptor saraf parasimpatik adalag α, β1 dan β2. Reseptor pada sistem saraf parasimpatik terdiri dari : Reseptor muskarinik : M1 pada sel parietal lambung dan otak, M2 pada jantung dan M3 pada otot polos dan kelenjar. Dan reseptor nikotinik.
Efek stimulasi reseptor pada sistem saraf otonom :
Adrenergik
Reseptor alfa 1 : mengaktivasi organ-organ efektor misalnya otot polos (vasokonstriksi), bertambahnya sekresi ludah dan keringat
Reseptor alfa 2: menghambat pelepasan noradrenalin pada saraf-saraf adrenergik menyebabkan turunya takanan darah
Reseptor beta 1: memperkuat daya dan frekuensi denyut jantung
Reseptor beta 2: Bronkodilatasi dan stimulasi glikogen dan lemak.
Kolinergik
Reseptor Muskarinik
Reseptor Nikotinik
Beberapan contoh obat yang diberikan untuk menguji kerja obat pada usus antara lain ada atropin, pilokarpin, epinefrin dan BaCl2. Atropin merupakan derivat campuran rasemis yang berkhasiat anti-kolinergis kuat dan merupakan antagonis khusus dari efek muskarin ACh.Efek nikotinnya diantagonir ringan sekali, Atropin juga memiliki daya kerta SSP dan daya bronchodilatasi ringan berdasarkan perbedaan otot polos bronchi. Zat ini digunakan sebagai midriatikum kerja panjang yang juga melumpuhkan akomodasi, juga sebagai spasmolitikum pada kejang-kejang disaluran lambung usus dan urogenital. Reabsorpsinya di usus cepat.
Pilocarpin dalah alkaloida yang mempunyai sebuah atom nitrogen tersier yang maningkatkan kelarutannya di dalam lemak. Obat yang secara luas mepunyai kerja pada reseptor nikotinik pada saraf parasimpatik. Efeknya termasuk meningkatkan motilitas saluran cerna, meningkatkan sekresi saliva dan bronkus.
Adrenalin atau epinefrin adalah obat yang tidak stabil dalam saluran cerna, karena dirusak oleh enzim usus. Masa kerja obat ini juga relatif singkat karena re uptake oleh ujung saraf dan metabolisme oleh enzim Mono Amin Oksidase (MAO). Adrenalin atau epinefrin meningkatkan tekanan darah melalui stimulasi laju dan kekuatan denyut jantung (reseptor beta1), stimulasi reseptor alfa pada pembuluh darah viscera kulit menyebabkan vasokontriksi, tapi stimulasi reseptor beta pada pembuluh darah otot rangka menyebabkan vasodilatasi. Pemberian Barium pada usus dapat menyebabkan sapamus otot polos usus, sehingga meningkatkan kontraksi otot polos usus. Barium biasanya merupakan salah satu komposisi salam obat pencahar yang bertujuan agar dapat mengeluarkan isi lumen usus dalam waktu yang relatif singkat.
1.3 Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh obat yang bekerja pada SSO dengan cara mempelajari kontraksi usus sehingga peserta praktikum dapat menjelaskan golongan sifat dan cara kerja obat-obat tersebut.
1.4 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah isolated organ bath, larutan tyrode, spoit 1ml, jarum, benang, gunting, scapel, pinset, dan termometer. Sedangkan bahan yang digunakan adalah kelinci, larutan BaCl2 1%, larutan pilokarpin 0,1% dan 1:10.000, larutan atropin 0,1%, dan larutan epineprin 1:25.000.
1.5 Metodelogi
Pertama kelinci dianaesthesi dengan cara dibenturkan kepalanya. Lalu perut kelinci dipotong dan dibuka rongga abdomennya menggunakan gunting. Kemudian usus kelinci dikeluarkan dan dimasukkan ke dalam cawan petri yang berisi larutan tyrode dengan suhu 37 oC. Isi usus perlahan-lahan dikeluarkan sampai bersih menggunakan spoit yang berisi larutan tyrode. Usus yang sudah bersih dipotong dengan panjang 1,5 – 2 cm. Kedua sisi potongan usus halus diikat dengan benang. Pengikatan ini dilakukan didalam gelas beker yang berisi larutan tyrode dengan suhu 37 oC. Selanjutnya potongan usus tersebut dimasukkan ke dalam organ bath (physiograph) dan diamati kontraksi normalnya. Setelah itu, usus halus diberi larutan pilokarpin 1:10.000 sebanyak 0,1 ml dan diamati perubahannya. Kemudian usus diberikan larutan pilokarpin 0,1 ml sebanyak 0,25 ml dan diamati perubahannya. Pada puncak pemberian larutan pilokarpin ini diberikan larutan epineprin 1:25.000 sebanyak 0,1 ml dan diamati perubahannya. Lalu usus dicuci dan dibersihkan dengan larutan tyrode. Langkah selanjutnya usus diberikan larutan pilokarpin 0,1% sebanyak 0,25 ml dan diamati perubahannya. Usus ini diberikan lagi larutan atropin 0,1% sebanyak 0,25 ml dan amati perubahannya. Setelah itu, usus dicuci dan dibersihkan dengan larutan tyrode. Usus kemudian diberikan larutan BaCl2 1% sebanyak 2 ml dan diamati perubahannya. Langkah terakhir usus diberi larutan atropin 0,1% sebanyak 0,5 ml dan diamati perubahannya.
2. HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 Hasil Praktikum
Epineprin (1:25.000; 0,1 mL)
Pilokarpin (1:10.000; 0,1 mL), Pilokarpin (0,1%; 0,25 mL dan Epineprin (1:25.000;0,1 mL
Pilokarpin (0,1%; 0,25 mL) dan atropin (0,1%;0,25 mL)
BaCl2 (1%; 2 mL) dan Atropin (0,1 %; 0,5 mL)
Normal
2.2 Pembahasan
Pengamatan dilakukan dengan kimograf. Dilakukan pada larutan Tyrode bersuhu 37 oC. Larutan Tyrode adalah larutan yang isotonic dengan cairan interstisial dan digunakan dalam percobaan fisiologis dan kultur jaringan. Usus yang telah diikat bagian ujungnya dimasukkan ke dalam organ bath (physiograph) yang berisi larutan tyrode. Terlihat peningkatan amplitude yang konstan pada grafik. Kemudian diberkan epineprin 1:25.000 sebanyak 0,1 mL. Pada grafik terlihat pergerakan amplitude yang tidak konstan, yaitu terjadi sedikit penurunan amplitudo. Dari percobaan ini dapat diketahui bahwa epinefrin dapat menurunkan kinerja dari usus.
Pilokarpin merupakan parasimpatomimetik yang bekerja menyerupai kerja syaraf parasimpatis. Pada otot polos longitudinal pada saluran pencernaan, pengaruh parasimpatis menyebabkan peningkatan kontraksi usus. Peningkatan kontraksi otot longitudinal usus kelinci ini dibuktikan dengan peningkatan amplitude pada pencatat usus, sehingga terlihat tanjakan dan turunan yang lebih tajam. Kemudian diberikan pilokarpin 0,1 % sebanyak 0,25 mL. Pilocarpin dalah alkaloida yang mempunyai sebuah atom nitrogen tersier yang maningkatkan kelarutannya di dalam lemak. Efeknya termasuk meningkatkan motilitas saluran cerna, meningkatkan sekresi saliva dan bronkus (Mycek et al 2011).Teramati bahwa masih terjadi peningkatan kontraksi otot dengan peningkatan amplitude, namun panjang gelombang lebih rapat dibandingkan pemberian pilokarpin 1:10.000. Hal tersebut membuktikan bahwa efek parasimptatomimetik pilokarpin 1:10.000 lebih besar dari pilokarpin 0,1%. Terakhir penambahan epineprin 1:25.000 sebanyak 0,1 mL. Terlihat sangat jelas penurunan amplitude. Sesuai dengan kerja epineprin yang meningkatkan aktivitas susunan saraf simpatis yaitu menghambat kontraksi usus. Selanjutnya usus dicuci atau dinetralkan dengan larutan tyrode.
Setelah usus dinetralkan dengan larutan tyrode, diberikan larutan pilokarpin 0,1 % sebanyak 0,25 mL. Terjadi peningkatan amplitude kembali sesuai kerja pilokarpin sebagai obat yang mengingkatkan aktivitas susunan saraf parasimpatis yaitu meningkatkan kontraksi usus. Selanjutnya diberikan larutan atropine 0,1 % sebanyak 0,25 mL, sebagai obat yang menghambat efek parasimpatis maka panjang gelombang lebih rapat dari sebelumnya dengan amplitude yang masih tinggi, karena atropine sama-sama bekerja pada susunan saraf parasimpatis seperti pilokarpin, hanya efeknya saja yang membedakan.
Usus dinetralkan kembali dengan larutan Tyrode dan selanjutnya diberikan larutan BaCl2 1 % sebanyak 2 mL. Berdasarkan grafik, pemberian BaCl2 1 % tidak terdapat gelombang atau amplitude, maka tidak terjadi kontraksi pada usus. Hasil tersebut berbeda dengan literature yang mengatakan, pemberian Barium pada usus dapat menyebabkan sapamus otot polos usus, sehingga meningkatkan kontraksi otot polos usus (Sulistia dan Gunawan 2007). Hal ini mungkin dikarenakan sebelum pemberian BaCl2 usus diberikan atropine yang memiliki efek menurunkan kontraksi usus. Terakhir penambahan atropine 0,1 % sebanyak 0,5 mL. Pada grafik tetap mendatar atau tidak terbentuk adanya gelombang. Berdasarkan hasil pemberian BaCl2 1 % yang tidak terjadi kontraksi, kemudian ditambah pemberian atropine yang bekerja menghambat susunan parasimpatis maka pemberian kedua obat tersebut tetap tidak menimbulkan kontraksi usus.
3. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengamatan pada obat-obat yang bekerja pada susunan saraf otonom, membuktikan bahwa obat kholinergik seperti pilokarpin meningkatkan kontraksi usus, dan obat antikholinergik serta adrenergik seperti atropine dan epineprin menurunkan kontraksi otot berdasarkan grafik yang terlihat.
DAFTAR PUSTAKA
Mycek, Mary. Dkk. 2011. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medik : Jakarta.
Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi Terapi. Jakarta (ID): UI Press.