Judul
: Atypical : Atypical Antipsychotics nn The Treatment of Delirium
Penulis
: Hee Ryung Wang, MD, Young Sup Woo,MD, PhD, and Won-Myong Bahk, MD, PhD.
Penerbit
: Psychiatry : Psychiatry and Clinical Neurosciences
Tahun Terbit : Juli 2013
1. Abstrak Tujuan dari studi ini adalah untuk mengulas (review) (review) efikasi dan keamanan obat antipsikotik atipikal yang dibandingkan dengan placebo dan penatalaksanaan aktif lainnya untuk delirium. Literature penelitian ini diselenggarakan oleh PubMed, EMBASE, dan database Cochrane (1 januari 1990 – 5 november 2012 ). Kriteria yang dipilih untuk review ini adalah prospektif, studi control (membandingkan penelitian) menggunakan rating scale delirium scale delirium yang sudah divalidasi sebagai hasil pengukuran, dan didapatkan jumlah penelitian prospektif sebanyak 6 , serta serta studi control acak juga juga dimasukan kedalam review ini. Didapatkan antipsikotik atipikal efektif dan aman dalam penanganan delirium, meskipun tidak terlalu terlihat jelas perbedaan hasil setiap agen, dan didapatkan bahwa bah wa efikasi obat antipsikotik antitpikal ini mirip dengan haloperidol. Dapat disimpulkan bahwa ternyata antipsikotik atipikal sangat efektif dan dapat dterima dalam penanganan delirium, meskipun memiliki keterbatasan bukti. 2. Latar Belakang Delirium adalah keadaan akut dan bingung yang ditandai dengan gangguan kesadaran, kognitif dan perhatian, serta penurunan kewaspadaan serta gangguan persepsi yang berkembang secara akut dan fluktuatif. Lipowski menyebutkan pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit baik untuk pengobatan dan operasi memiliki insidensi terjadinya delirium sebesar 10 hingga 18%, hal ini menjadikan mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Orang-orang usia tua rentan untuk terjadinya perkembangan dari delirium ini. Menurut Han dan Kim, 10 hingga 40 % pasien berusia tua mengalami delirium selama perawatan di rumah sakit. Penanganan konservatif seperti pencegahan komplikasi dan mendapatkan dukungan dari lingkungan sekitar juga merupakan hal yang sangat penting. Dalam hal intervensi farmakologi, agen antipsikotik telah menjadi pilihan dalam pengobatan. Dari semua jenis antipsikotik,
1
haloperidol merupakan salah satu jenis obat yang banyak digunakan secara luas karena tingginya potency pada reseptor dopamine, efek antikolinergik yang rendah, dan dapat digunakan dalam berbagai cara, tetapi tentunya antipsikotik jenis tipikal ini memiliki efek samping, yaitu efek ekstrapiramidal, dimana efek samping ini lebih tinggi pada antipsikotik tipikal dibandingkan dengan efek antipsikotik jenis atipikal. Dikarenakan efek samping yang lebih rendah, maka penggunaan antipsikotik atipikal untuk penanganan delirium telah meningkat dibandingkan dengan jenis antipsikotik tipikal. Bukti yang menunjukan bahwa antipsikotik atipikal efektif dan tolerabel untuk penanganan delirium sangat sedikit atau terbatas, maka dari itu tujuan utama dari review ini adalah untuk mengulas literatur yang ada dan sudah dipublikasikan mengenai penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium. 3. Metode Dalam mengulas efikasi dan tolerabel antipsikotik atipikal dalam penanganan delirium, peneliti mencari literature melalui Pub Med, EMBASE, dan Cochrane database (1 Januari 19905 November 2012) yang menggunakan kombinasi kata-kata saat pencarian di lakukan seperti, ‘delirium’, ‘agen antipsikotik’, ‘ agen neuroleptik’, ‘olanzapine’, ‘risperidone’, ‘aripiprazole’, ‘quetiapine’, ‘ziprasidoen’, ‘amisulpride’, ‘zotepine’, ‘paliperidone’. Dalam penelitian ini digunakan metode prospektif dan studi control acak. Secara spesifik studi-studi yang telah dipilih ini membandingkan placebo dengan penanganan aktif lainnya seperti haloperidol, atau membandingkan dua atau lebih jenis antipsikotik satu sama lainnya. Literature review ini juga terbatas untuk studi-studi yang menggunakan kriteria standard diagnostik untuk delirium dan instrument yang sudah tervalidasi untuk rate delirium. Penelitian atau studi seperti seri-seri kasus, laporan kasus, penelitian yang menggunakan retrospective design, penelitian hubungan zat-zat dengan delirium, dan penelitian agen-agen obat tanpa grup kontrol yang adekuat termasuk kedalam eksklusi dari review ini. Penelitian yang membahas keefektifan antipsikotis atipikal dalam mencegah terjadinya delirium pada pasien dengan risiko tinggi juga termasuk kedalam eksklusi.
2
4. Hasil 4.1 Hasil Penelitian Peneliti mengidentifikasi 789 artikel dari PubMed, 2627 artikel dari EMBASE, dan 61 artikel dari Cochrane Database. Dari keseluruhan, terdapat 552 artikel yang tumpang tindih. Setelah melihat abstrak dari 2925 artikel yang teridentifikasi, peneliti mendapatkan 85 artikel tambahan, dan mengulas seluruhnya. Dari 85 artikel tambahan tersebut, hanya 6 artikel yang terpilih. 6 artikel terpilih tersebut terdiri dari satu penelitian yang membandingkan amisulpride dengan quetiapine untuk pengobatan delirium, dua penelitian lainnya meneliti efikasi dan keamanan olanzapine, dan salah satu dari dua penelitian olanzapine tersebut ada yang dibandingkan dengan haloperidol, lalu pada satu penelitian lainnya membandingkan efektifitas olanzapine dan risperidone yang dibandingkan den gan haloperidol. 4.1.1 Antipsikotik Atipikal pada delirium
Amisulpride Kami meninjau kembali penelitian tentang keberhasilan amisulpride untuk tatalaksana delirium. Yang satu adalah studi yang tidak terkendali, jadi dikeluarkan dari tinjauan lebih lanjut. Satu penelitian terbuka secara prospektif yang menyelidiki keefektifan amisulpride untuk delirium yang memenuhi kriteria untuk tinjauan ini. Lee dkk, membandingkan efektivitas dan keamanan amisulpride dan quetiapine pada pasien dengan delirium. Mereka juga membandingkan efek masingmasing obat terhadap waktu tidur dan waktu pemulihan. Sebanyak 40 pasien yang dipanggil untuk konsultasi psikiatri di sebuah rumah sakit universitas telah terdaftar. Pasien yang telah menggunakan antipsikotik, yang tampaknya sembuh secara spontan, dan yang memiliki riwayat gangguan kejiwaan sebelumnya diasingkan. Subjek diacak menjadi kelompok amisulprida atau quetiapine. Dosisnya fleksibel tergantung keputusan dokter. Instrumen yang digunakan untuk penilaian delirium adalah skala Clinical Global
Impression – Severity (CGIS) dan DSR 98. Enam belas subjek dalam kelompok amisulpride dan 15 subjek dalam kelompok quetiapine melengkapi penelitian ini. Pada kelompok amisulpride, subjek rata-rata diberikan dosis 156.4 ± 97.5 mg/hari (sekitar 503
800 mg/hari). Dalam kelompok quetiapine, subjek diberi resep dosis harian rata-rata 113 ± 85.5 mg/hari (sekitar 50-300 mg/hari). Pengobatan dihentikan saat skala CG I mencapai ≤2. Benzodiazephine atau antipsikotik lainnya tidak diperbolehkan. Pada kedua kelompok, skor DSR-R 98 menurun secara signifikan setelah perawatan (dari 10.5 ± 4.1 ke 3.5 ± 1.4 untuk kelompok amisulpride, P < 0.001 ; dari 10.1 ± 4.1 ke 3.5 ± 2.6 untuk kelompok quetiapine P = 0.001, tetapi tidak ada perbedaan yang signifikan pada kedua kelompok. Waktu pemulihan dari delirium tidak berbeda antara kedua kelompok (6.3 ± 4.4 hari untuk kelompok amisulpride dan 7.4 ± 4.1 hari untuk kelompok quetiapin). Persentase pasien yang mengalami >50% penurunan gejala setelah pengobatan dilakukan pada kelompok amisulpride dan 80% pada kelompok quetiapine. Tidak ada kejadian buruk yang serius yang dilaporkan selama masa penelitian. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa amisulpride dan quetiapine efektif dalam mengobati delirium dan keduanya dapat ditoleransi dengan baik.
Olanzapine Terdapat sejumlah penelitian yang dipublikasikan yang meneliti keefektifan olanzapine. Tiga dari studi tersebut menilai khasiat dan keamanan olanzapine dengan menggunakan rancangan acak secara prospektif. Skrobik dkk, membandingkan penggunaan onlazapine dan haloperidol selama 5 hari dalam pengobatan delirium. Penelitian ini merupakan percobaan acak prospektif untuk perawatan kritis. Subjek adalah pasien yang dirawat di unit perawatan intensif
bedah medis dan didiagnosis dengan delirium berdasarkan kriteria DSM IV. Pasien yang telah menerima antipsikotik dalam waktu 10 hari sebelum masuk ke rumah sakit atau unit perawatan intensif, yang memiliki disfungsi gastrointestinal, menghambat perawatan oral atau enteral, dan yang memiliki status neurologis yang terganggu dan evaluasi psikiatri yang memadai dikeluarkan dari kriteria penelitian. Subyek secara acak diberikan olanzapine atau haloperidol pada hari tersebut. Titrasi dosis bergantung pada penilaian dokter. Benzodiazepin sebagai pengobatan adjuvant dan intravena haloperidol merupakan obat penyelamatan yang diijinkan. Tingkat keparahan delirium diukur dengan menggunakan DI. Sebanyak 73 pasien dimasukkan ke dalam analisis. Usia ratarata kelompok penelitian adalah 63.26 ± 11.66 tahun untuk kelompok haloperidol dan 67.50 ± 6.04 tahun untuk kelompok onlazapine. Rata-rata dosis harian adalah 6,5 mg 4
(sekitar 1 – 28 mg) pada kelompok haloperidol dan 4,54 mg pada keompok onlazapine(sekitar 2,5-13,5 mg). Pada kedua kelompok skor, DI berkurang secara signifikan setelah 5 hari pengobatan dengan masing-masing pengobatan, namun skor DI tidak berbeda antara kedua kelompok. Secara keseluruhan, skor DI pada semua pasien berasal dari 7,5 pada hari ke 1 sampai 5,05 pada hari ke 5. Tidak ada efek samping yang dilaporkan pada kelompok onlazain, sedangkan enam subjek pad a kelompok haloperidol mengalami gejala ekstrapiramidal. Studi tersebut menunjukkan bahwa olanzapine memiliki kemampuan klinis dan dapat ditolerir untuk pengelolaan delirium pada pasien yang sakit kritis. Grover dkk meneliti khasiat dan tolerabilitas olanzapine dan risperidon dibandingkan dengan haloperidol untuk delirium. penelitian itu memiliki desain acak. Subjek penelitian adalah pasien yang telah dirawat di bangsal medis dan bedah dan diberi referensi konsultasi psikiatris untuk delirium. Delirium didiagnosis berdasarkan DSR 98 dan skala Confussion Assessment Method (CAM). Mereka yang mengalami delirium karena alkohol atau benzodiazepin, yang mengalami demensia, yang responsif terhadap stimulus fisik atau verbal, yang menderita penyakit terminal, dan yang mengalami gangguan psikotik atau mood dikeluarkan dari kriteria penelitian ini. Subjek yang memiliki kesulitan pendengaran atau visual yang mendalam, afasia, penyakit Parkinson, riwayat sindroma ganas neuroleptik sebelumnya, dan interval QTc yang berkepanjangan (> 500 ms) juga dikeluarkan dari kriteria penelitian ini. Tingkat keparahan delirium dinilai menggunakan DRS-R 98. 74 pasien secara acak ditetapkan ke tiga kelompok obat: risperidone, onlazapine, atau haloperidol. Di antara pasien-pasien tersebut, 64 orang menyelesaikan penelitian ini. Jadwal dosis berdasarkan penilaian klinis. Dosis harian rata-rata setiap obat adalah 0.88 ± 0.98 mg/hari untuk haloperidol, 3.05 ± 1.44 mg/hari untuk onlazapin, dan 0.95 ± 0.28 mg/hari untuk risperidon. Semua kelompok menunjukkan penurunan yang signifikan dari skor awal pada skor DRS-R 98 pada hari ke 3 dan 6, namun tidak ada perbedaan yang signifikan diantara ketiga kelompok. Empat subjek dalam kelompok haloperidol, enam di kelompok risperidon dan dua di kelompok olanzapine melaporkan beberapa efek samping, namun tidak ada perbedaan kelompok. Penelitian ini menunjukkan bahwa dua antipsikotik generasi kedua (olanzapine dan risperidon) juga efektif dan dapat ditolerir dibandingkan dengan haloperidol. 5
Kim
dkk,
melakukan
percobaan
terkontrol
selama
7
hari
untuk
membandingkan olanzapine dan risperidone untuk pengobatan delirium. Subyek adalah pasien yang mengigau di tiga rumah sakit universitas yang dirujuk untuk konsultasi kejiwaan. Diagnosis delirium didasarkan pada kriteria DSM IV. Mereka, yang menderita demensia dan yang memakai antipsikotik karena masalah perilaku yang harus dirujuk tidak disertakan. Untuk keampuhan, DSR-R 98 digunakan untuk mengukur tingkat keparahan delirium. Skala The Udvalg for Kliniske Undersogelser digunakan untuk skala efek samping neurologis. Jadwal dosis didasarkan pada penilaian klinis tergantung pada kondisi medis masing-masing pasien selama tujuh hari. Penyelamatan dengan obat seperti injeksi haloperidol atau benzodiazepin diperbolehkan. Diantara 32 pasien yang terdaftar, 17 diacak untuk risperidone dan 15 diacak untuk olanzapine. Diantaranya, 12 subjek dalam kelompok risperidone dan delapan di kelompok olanzapine menyelesaikan percobaan. Dosis awal rata-rata adalah 0.6 ± 0.2 mg/hari untuk risperidone dan 1.8 ± 0.6 mg/hari untuk olanzapine. Dosis rata-rata harian adalah 0.9 ± 0.6 mg/hari untuk risperidone dan 2.4 ± 1.7 mg / hari untuk olanzapine. Ada peningkatan signifikan dalam skor DSR-R 98 dari awal sampai hari ke 7 pada kedua kelompok, namun kedua kelompok tersebut tidak berbeda satu sama lain. Juga tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik dalam tingkat respon antara kelompok risperidone dan olanzapine, tiga pasien pada kelompok olanzapine dan dua di kelompok risperidone melaporkan gejala ekstrapiramidal, namun semuanya ringan sampai sedang. Studi ini menunjukkan bahwa keduanya bersifat atipikal; antipsikotik juga efektif dalam pengobatan delirium. Quetiapine
Sejak Schwartz dan Masand melaporkan keberhasilan klinis quetiapine dalam pengobatan delirium dalam penelitian berdasarkan grafik tinjauan retrospektif, banyak penelitian telah meneliti khasiat quetiapin untuk delirium. Sebagian besar penelitian ini tidak terkontrol, penelitian tunggal, namun ada tiga percobaan terkontrol secara acak prospektif yang menyelidiki kemanjuran dan keamanan quetiapine delirium. Diantara ketiga penelitian tersebut, studi Devlin dkk dikecualikan dari tinjauan karena ukuran hasil utamaya adalah waktu untuk resolusi pertama delirium, bukan perubahan tingkat keparahan delirium yang diukur pada skala rating delirium yang divalidasi. Diantara dua 6
studi acak terkontrol lainnya, satu adalah studi perbandingan yang menguji keefektifan amisulprida dan quetiapin, yang telah dijelaskan di bagian amisulpride. Tahir dkk menilai kegunaan klinis quetiapine dalam pengelolaan delirium. Ini adalah uji coba terkontrol acak ganda. Sampel terdiri dari pasien yang dirawat di tempat medis, bedah, bangsal ortopedi di rumah sakit universitas. Diantara pasien tersebut, mereka yang memenuhi kriteria DSM IV untuk delirium dan yang memiliki skor total DRS-R 98 ≥15 direkrut. Mereka yang memiliki gangguan kognitif yang sudah ada sebelumnya, psikosis yang ada sebelumnya, ketergantungan substansial, penarikan alkohol, atau obat yang berinteraksi dengan quetiapin tidak disertakan. Diantara 372 pasien yang diskrining, setidaknya ada 42 pasien yang direkrut untuk percobaan ini. Usia rata-rata subjek adalah 84,2 ± 8,3 tahun (sekitar 58-98 tahun). 29 pasien menyelesaikan percobaan: 16 pasien dalam kelompok quetiapine dan 13 pasien pada kelompok plasebo. DRS-R 98, Brief Psychiatric Rating Scale ( BPRS), CGI, dan Mini Mental State Examination (MMSE) digunakan. Ketidak normalan Involuntary Movements Scale (AIMS) dan pemeriksaan klinis digunakan untuk menilai efek samping dari quetiapine. Subjek dievaluasi pada hari 1,2,3,4,7 dan 1 0 setelah pengacakan dan ditindaklanjuti pada hari ke 30. 42 subjek secara acak diberikan quetiapine atau plasebo dengan dosis yang fleksibel. Dosis awal untuk quEtiapin adalah 25 mg sekali sehari. Dosisnya meningkat 25 mg per hari sampai dosis maksimum 175 mg jika skor DRS-R 98 tidak membaik setelah perawatan. Dosis rata-rata quetiapin tertinggi adalah 40 mg pada hari ke 4 (25 mg/hari pada hari pertama, dan 37.50 mg/hari pada hari ke 10. Kelompok quetiapine menunjukkan peningkatan yang lebih cepat dibandingkan skor kelompok DRS-R 98 pada kelompok plasebo. Selain itu, pada kelompok quetiapine dibandingkan dengan kelompok plasebo menunjukkan peningkatan yang lebih cepat pada subskala non kognitif DRS-R 98 (items 1-8) namun tidak pada subskala kognitif DRS-R 98 (items 913). Tidak ada perbedaan dalam nilai MMSE, BPRS, dan CGI antara kedua kelompok. Tujuh subjek meninggal dalam 30 hari setelah memasuki percobaan (empat di k elompok quetiapine dan tiga di kelompok plasebo). Satu subjek ditarik dari quetiapine karena sedasi. Gerakan tidak sadar yang tidak normal dilaporkan terjadi pada kedua kelompok tersebut (4.8% dari kelompok quetiapine dan 14.3% dari kelompok placebo). Walaupun penelitian diakhiri lebih awal karena kekhawatiran pemberian makanan dan obat-obatan 7
mengenai penggunaan antipsikotik pada orang tua, studi tersebut menunjukkan potensi quetiapine untuk pengurangan yang lebih cepat dalam keparahan gejala non kognitif dari delirium.
Risperidone Sudah ada tiga percobaan prospektif risperidone pada delirium yang terdiri dari studi yang mengukur keefektifan serta tolerabel olanzapine dan risperidone yang dibandingkan dengan haloperidol. Studi lain diadakan dalam 7 hari menggunakan metode percobaan kontrol acak antara olanzapine dan risperidone. Dua penelitian dari tiga penelitian ini sudah dijelaskan sebelumnya pada bagian olanzapine, sehingga hanya sisa satu penelitian yang akan dibahas pada bagian ini. Peneliti menggunakan metode double-blind dan percobaan kontrol acak untuk membandingkan antara risperidone dengan haloperidol pada pengobatan delirium. Sampel yang digunakan adalah para pasien yang rutin berkonsultasi dengan psikiater dan sudah terdiagnosa delirium berdasarkan interview klinis pada DSM-III-R (SCD). Mereka yang memiliki demensia atau gangguan psikiatri lainnya termasuk kedalam eksklusi. Jumlah pasien pada penelitian ini adalah 28 pasien yang diacak untuk mendapatkan risperidone atau haloperidol dengan dosis yang flexibel. Dosis awal untuk haloperidol dan risperidone adalah 1,5 mg dan 1 mg. dosis dapat ditingkatkan dalam 7 hari selama penilaian. Dosis rata-rata dalam sehari adalah 0,84 mg dan 0,41 mg untuk haloperidol dan risperidone. MDAS digunakan untuk mengukur tingkat keparahan delirium. Nilai
awal DRS adalah 4,30 dengan perbedaan yang tidak
signifikan pada kedua grup. Kedua grup terlihat mengalami penurunan pada nilai MDAS dari screening hingga hari ke-7, tetapi tanpa adanya perbedaan yang signifikan dari kedua grup. Tidak ada efek samping yang dilaporkan dari masing-masing grup. Gasil dari penelitian ini menunjukan bahwa risperidone memiliki efikasi dan tolerabel yang serupa dengan haloperidol.
Ziprasidone Tidak ditemukan adanya penelitian yang menggunakan instrumen tervalidasi pada penelitian-penelitian yang membahas efikasi ziprasidone, sehingga dieksklusikan.
8
Aripiprazole Hanya beberapa laporan kasus, penelitian uncontrolled dan satu non-randomized study yang didapatkan membahas tentang kegunaan aripiprazole pada delirium. Tetapi tidak didapatkan penggunaan metode prospektif dan randomized controlled studies yang meneliti keefektifan dan tolerabel aripiprazole dengan instrument yang tervalidasi
Antipsikotik Atipikal Lainnya Terdapat percobaan open-label prospektif yang meneliti keefektifan paliperidone pada delirium, tetapi tidak didapatkan randomized controlled studies., dan belum ada penelitian tentang keefektifan dan tolerabel zotepine dalam pengobatan delirium.
5. Diskusi Banyak penelitian yang membahas tentang efikasi dan tolerabel antipskotik atipikal dalam pengobatan delirium, tetapi karna delirium memiliki banyak etiologi yang dapat menjadi fluktuatif alami, maka hal ini menyulitkan peneliti untuk membuktikan perkembangan signifikan gejala delirium yang telah diobservasi oleh penelitian-penelitian sebelumnya dalam penggunaan antipsikotik atipikal karna efeknya. Maka dari itu, peneliti hanya memilih penelitian yang terkontrol dengan baik sehingga variabel yang dapat mempengaruhi respon pengobatan dan penyebab delirium dapat dipisahkan. Dari enam penelitian yang didapatkan, hanya satu penelitian terkontrol placebo, sisa penelitian lainnya adalah penelitian perbandingan. Penelitian yang menggunakan metode placebo-controlled meneliti efikasi quetiapine pada 98 pasien dengan jumlah nilai DRS-R >15. Meskipun grup quetiapine dan placebo tidak memiliki perbedaan dalam tingkat keparahan delirium, grup quetiapine memiliki perkembangan yang lebih cepat. Tetapi karena penelitian ini tidak dilanjutkan, maka tidak didapatkan kesimpulan yang definitif. Tiga penelitian lainnya membandingkan secara langsung sesama antipsikotik, lalu satu penelitian lainnya menggunakan haloperidol sebagai pembanding. Dari seluruh tiga penelitian pembanding menunjukan perbaikan gejala delirium setelah penggunaan antipsikotik atipikal dan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar grup tentang keefektifan dan tolerabel.
9
Dua penelitian lainnya yang membandingkan antara haloperidol dengan olanzapine dan risperidone menunjukan hasil efektifitas yang serupa satu sama dan dapat disarankan menjadi obat alternatif yang aman selain haroperidol. Dari enam penelitian, gejala ekstrapiramidal paling banyak dilaporkan dibandingkan efek samping metabolik. Hal ini dapat dikarenakan durasi pengobatan delirium jauh lebih singkat dibandingkan dengan gangguan psikiatrik lainnya. Selama melakukan pengulasan literatur yang ada, peneliti menemukan beberapa keterbatasan metodologi. Keterbatasan pertama adalah jumlah sample yang sedikit dan kecil, ratarata jumlah sampel dari enam penelitian yang terpilih adalah anta ra 20-80, dan sangat sedikit untuk mendapatkan hasil yang general. Keterbatasan kedua adalah terdapat heterogenitas dalam karakteristik setiap grup dan etiologi delirium. Dari enam penelitian menunjukan pasien delirium pada saat perawatan ICU atau operasi. Etiologi yang mendasari terjadinya delirium juga bervariasi seperti tumor malignan, masalah ortopedi, pneumonia, kondisi neurosurgical dan keadaan medis lainnya. Keterbatasan yang ketiga adalah tidak dikontrolnya penelitian dengan perbedaan yang heterogen ini. Baik dalam hal analisis maupun pengobatan. Karena hal ini dapat memperbanyak variabel, untuk kedepannya perlu dilakukan penjelasan variabel-variabel dalam analisis dan pengukuran. Keterbatasan yang keempat adalah tidak adanya data yang tervalidasi untuk efek samping obat di semua penelitian yang terpilih, kecuali pengukuran skala untuk gejala ekstrapiramidal. Terdapat pula keterbatasan pada penelitian utama ini, yang pertama adalah peneliti mungkin banyak mengeksklusikan penelitian-penelitian penting yang dikarenakan penelitian ditulis dengan bahasa selain inggris, tidak ada pengontrolan, naturalistic, atau desain retrospective yang juga memiliki informasi berharga tentang utilitas antipsikotik atipikal. Keterbatasan yang kedua adalah peneliti hanya meloloskan penelitian yang menggunakan delirium rating scale tervalidasi sebagai hasil pengukuran efikasi. Tetapi peneliti juga tidak meloloskan penelitian penelitian pada pasien kritis dengan delirium, dimana DRS tervalidasi dari pasien tersebut tidak dapat digunakan. Disamping keterbatasan yang ada, secara keseluruhan peneliti berhasil mendapatkan hasil bahwa antipsikotik atipikal efektif dan relatif aman untuk pengobatan delirium. Terlebih lagi
10
efikasi antipsikotik atipikal serupa dengan haloperidol, yaitu obat yang selalu digunakan secara luas dalam pengobatan delirium. Sementara itu, terdapat beberapa laporan bahwa antipsikotik atipikal dapat menyebabkan atau memicu terjadinya delirium pada saat perawatan gangguan psikiatri mayor, dan hal ini dapat diberikan perhatian lebih pada potensi antipsikotik atipikal dalam memperparah gejala atau komplikasi dari pengobatan delirium. Meskipun efikasi antipsikotik atipikal pada delirium dapat didapatkan dengan dosis yang rendah, para klinisi tetap harus memberikan perhatian lebih pada orang-orang tua, dan harus selalu di monitoring dalam penggunaan obat antipsikotik atipikal tersebut. 6. Kesimpulan dan Saran Hasil dari penelitian ini dalam mengulas literatur-literatur yang meneliti keefektifan antipsikotik atipikal menunjukan hasil yang cukup baik, tetapi hal tersebut tidak terlepas dari keterbatasan dan masalah yang ada selama penelitian ini dilakukan. Peneliti berharap untuk kedepannya pada penelitian sejenis seperti ini dibutuhkan pengontrolan yang baik, sampel yang besar, peralatan pengukuran efek samping yang lebih sistematik, dan lebih memperdalam efek samping dari berbagai faktor dalam peran antipsikotik atipikal p ada pengobatan delirium.
11
Tugas 1. Jelaskan tentang desain retrospektif ? Observasi atau pengukuran terhadap variabel bebas (dependent) dan tergantung ( Independent), tidak dilakukan dalam satu waktu, melainkan variabel tergantung (efek) dilakukan pengukuran terlebih dahulu, baru meruntut kebelakang untuk mengukur variabel bebas (faktor risiko).
Referensi : ( Anggraeni, D.M., & Saryono. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif dalam Bidang Kesehatan. Nuha Medika, Yogyakarta ).
2. Jelaskan tentang DRS-R 98 ? DRS-R 98 adalah kepanjangan dari Delirium Rating Scale-Revised 98, yang merupakan suatu alat untuk mengukur skala dari gejala delirium, dan sudah digunakan oleh banyak ahli. DRS sendiri memiliki 16 item, dimana 13 item digunakan untuk mengukur derajat keparahan dari gejala dan 3 item lainnya digunakan untuk penegakan diagnosa yang signifikan. Alat ini dapat diaplikasin dalam waktu dua puluh empat jam. Setiap derajat keparahan didasarkan pada gejala-gejala partikular. Jika total angka yang didapatkan >18, maka terindikasi delirium. Semakin tinggi angka yang dihasilkan, semakin tinggi pula derajat keparahan delirum, selain itu DRS-R-98 ini juga dapat digunakan untuk mengevaluasi delirium pada anak. Dapat disimpulkan bahwa DRS-R-98 merupakan suatu alat yang cukup popular dalam fungsinya mengukur derajat keparahan dan fenomena dari delirium. Referensi (Grover S, Kate N. Assessment scales for delirium: A Review. World journal of Psychiatry. India. 2012. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3782167/pdf/WJP-2-58.pdf )
12
3. Jelaskan tentang DI ? DI adalah kepanjangan dari Delirium Index, dan merupakan suatu alat untuk mengukur tingkat keparahan dari gejala delirium. Pengukuran ini diadaptasi dari CAM (Confusion Assessment Method), yang terdiri dari 10 gejala seperti gangguan perhatian, pikiran, kesadaran, orientasi, memori, persepsi, dan aktivitas psikomotor. Setiap nilai dimulai dari skala nol (tidak ada) hingga tiga ( parah ), yang menggunakan kriteria operasional pada seyiap nilainya. Hasil ini akan dievaluasi dengan keadaan pasien secara individu tanpa informasi tambahan dari anggota keluarga, perawat, atau rekam medis pasien itu sendiri. Total nilai yang didapatkan dari DI ini adalah 21, dengan indikasi semakin tinggi nilai yang didapat menunjukan derajat keparahan delirium yang semakin besar
Referensi (Grover S, Kate N. Assessment scales for delirium: A Review. World journal of Psychiatry. India. 2012. Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3782167/pdf/WJP-2-58.pdf) . 4. Kesimpulan secara menyeluruh tentang penggunaan antipsikotik atipikal pada delirium? Apa manfaatnya untuk dokter umum? Bagaimana cara pemberiannya ? Jawab : Pada penelitian ini, didapatkan kesimpulan bahwa obat antipsikotik atipikal memiliki potensi serta efektifitas yang serupa dengan obat antipsikotik tipikal pada pasien delirium. Sehingga obat antipsikotik atipikal ini dapat m enjadi alternatif pilihan pertama bagi dokter umum jika tidak ada antipsikotik tipikal. Obat dapat diberikan secara parenteral pada pasien dengan tigkat delirium yang parah, seperti melalui injeksi dan NGT (Naso Gastric Tube). Pasien dapat mulai diberikan secara oral ketika kesadaran membaik. Sumber : Damping E, Andri. Peranan Psikiatri Geriatri dalam Penanganan Delirium Pasien Geriatri. Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 57, Nomor: 7, Juli 2007.
13
5. Bagaimana efikasi antipsikotik atipikal yang memiliki efek metabolik? Jawab : Antipsikotik generasi ini lebih efektif dibandingkan generasi pertama untuk simptom negatif, simptom mood, dan gangguan kognitif. Selain itu, efikasinya lebih baik dibandingkan dengan generasi pertama. Meski demikian, pemberiannya tidak terlepas dari risiko diabetes, weight gain, dan dislipidemia. Pada 2005, The Clinical Antipsychotic Trials of Intervention Effectiveness (CATIE) mengindikasikan bahwa efektivitas penggunaan antipsikotik generasi kedua ini berkontribusi pula pada peningkatan prevalensi sindrom metabolik. Studi terbaru menunjukkan bahwa prevalensi berat badan, intoleransi glukosa, dan hiperlipidemia, dan dalam beberapa kasus seperti hipertensi menyertai penggunaan antipsikotik, dimana antispikotik atipikal relatif lebih berpengaruh dibandingkan antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal memiliki pola ikatan reseptor neurotranmitter yang kompleks. Reseptor Antagonis serotonin (5HT) 2A dan Reseptor D2 berinteraksi dengan subtipe reseptor dopamine dan serotonin, termasuk transpoter 5HT1, 5HT2, 5HT3, 5HT4, 5HT5, 5HT6, 5HT7, serta D1, D3, dan D4. Antipsikotik atipikal mempunyai efek pada neurotransmitter lain dengan menghambat transporter norepinefrin dan juga reseptor muskarinik 1, muskarinik 2, histamin 1, alpha 1 adrenergik, dan alpha-2 adrenergik. Antipsikotik ini juga mempunyai aksi yang menyebabkan gangguan resintansi insulin seluler dan meningkatkan kadar trigliserida melalui aksinya pada reseptor yang kemudian dikenal sebagai reseptor X. Reseptor serotonin -2C (5HT-2C), muskarinik-3 (M3), dan histamin-1 (H1) serta suatu reseptor yang dikenal dengan reseptor X adalah reseptor yang secara hipotesis dihubungkan dengan risiko kardiometabolik. Antagonis reseptor 5HT2C dan H1 dihubungkan dengan peningkatan berat badan. Menurut penelitian, hal ini karena antipsikotik tersebut memiliki potensi aksi simultan pada reseptor H1 dan 5HT2C paling tinggi. Jika kedua reseptor ini diblokade oleh histamine (H1) antagonis dengan serotonin-2C (5HT2C) antagonis pada saat bersamaan maka pusat makan di hipotalamus akan dipengaruhi sehingga terjadi peningkatan nafsu makan. Sementara
itu,
antagonis
M3
dapat
menyebabkan
gangguan
pada
regulasi
insulin. Reseptor X ini yang diduga mempercepat terjadinya resintansi insulin dan peningkatan 14
kadar trigliserida puasa. Terjadinya dislipidemi dan resintansi insulin ini memudahkan terjadinya diabetes melitus dan penyakit kardivaskular. Selanjutnya, peningkatan berat badan akan mempermudah terjadinya obesitas dan diabetes melitus serta penyakit kardiovaskuler dan inilah yang disebutmetabolic highway. Metabolic highway dimulai dari peningkatan nafsu makan, peningkatan berat badan, dan berlanjut pada obesitas, resintansi insulin, serta dislipidemia dengan peningkatan kadar trigliserida puasa. Keadaan hiperinsulinemia mengakibatkan kegagalan sel beta pankreas, dan diabetes.
Sumber : 1.
German Journal of Psychiatry diakses dari · http://www.gjpsy.uni-goettingen.de · ISSN 1433-1055. 27 September 2015.
2.
Kannabiran M, Singh V. 2008. Metabolic Syndrome and Atypical Antipsychotics: A Selective Literature Review. German J Psychiatry 2008; 11: 111-122.
3.
Stahl, SM. 2008. Stahl’s Esensial psychopharmacology: Neuroscientific Basis and Practical Applications. 3rd ed. NewYork. Cambridge University.
15