JOURNAL READING
PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POSTOPERATIF SETELAH OPERASI PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION DAN AUTOGRAFT KONJUNGTIVA
Pembimbing : Kol !P"#n$ %# D&'#il D&() S* M
Di'"'"n Ole( : Ri&n& An%%e+i ,--.--,.//
DEPARTEMEN ILMU ILM U KESEHAT KES EHATAN AN MATA RUMAH SAKIT TK II MOH RID0AN RID0AN MEURAKSA FAKULTAS KEDOKTERAN UPN 1VETERAN2JAKARTA PERIODE ,3 MARET4 ,5 APRIL -.,6 BAB I 1
PENDAHULUAN
P#oblem
: Mengetahui perbandingan antara tehnik operasi pterygium yaitu transplantasi
selapu selaputt amnion amnion (AMT) (AMT) dan free free Autog Autograf raftt konjung konjungtiv tivaa terhad terhadap ap angka angka kejadi kejadian an inflm inflmasi asi konjungtiva postoperatif dan angka kekambuhan pterygium.
In7e#8en'i
Membahas as demogr demograft aftii pasien pasien,, tehnik tehnik operasi operasi ptery pterygium gium yang yang diguna digunakan, kan, : Membah
penggunaan MMC selama intraoperatif, dan pemberian terapi saat terjadi kekambuhan pterygium.
9om*e
: Membandingkan angka kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan angka
kekambuhan pterygium selama 1 tahun terakhir pasa operasi.
O"7ome
: !emilihan tehnik operasi yang tepat untuk mengurangi kemungkinan munulnya
kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan kekambuhan pterygium.
Peni&n B";7i Ilmi&( K&7& K"ni
: pterygium, tehnik operasi
Limi7&'i
: "#1#
$ipilih jurnal berjudul % & Postoperative conjungtival Inflamation After Pterygium Surgery With With Amniotic Selapute Transplantation Transplantation Versus ersus Conjungtival Autograft” 'leh % Ahmad heirhan, ahman na*ari, Mojgan +ikdel, amed -hassemi, assan ashemi, dan Mahmoud abbarvand /ehrou* $imuat dalam % Amerian ournal of 'phthalmology 0ol 1" +#. page 2334235 +ovember "#11
2
PERBANDINGAN INFLAMASI KONJUNGTIVA POSTOPERATIF SETELAH OPERASI PTERYGIUM DENGAN TRANSPLANTASI SELAPUT AMNION DAN FREE AUTOGRAFT KONJUNGTIVA
T"<"&n
% untuk membandingkan inflamasi konjungtiva postoperatif pada daerah operasi
setelah operasi pterygium dengan menggunakan transplantasi selaput amnion dan free Autograft konjungtiva De'&in
% penelitian retrospektif, random, intervensi.
Me7o%e
% empat puluh dua mata dari 6" pasien dengan pterygium primer menjalani operasi
eksisi diikuti pengangkatan jaringan fibrovaskular subkonjungtiva dan penggunaan mitomiin C #.#"7. emudian pasien seara aak mendapatkan AMT ("1 mata) atau free Autograft konjungtiva ("1 mata), dengan menggunakan jahitan pada kedua kelompok. asil akhir yang diukur meliputi kemunulan inflamasi konjungtiva pada daerah operasi setelah 1 bulan pasa operasi dan kekambuhan dari pterygium. H&'il
% 8ollo9 up selama 1" bulan dilakukan pada 3: mata dari 3: pasien (1: dari
kelompok AMT dan "# dari kelompok free Autograft konjungtiva). !ada 1 bulan pertama setelah operasi,derajat inflamasi konjungtiva ditemukan pada 1; (56."7) mata di elompok AMT. $an 3 mat a (17) kelompok Autograftkonjungtiva(!< #.#"). =njekesisubkonjungtiv> triaminolone ditemukan pada matainflamasi sedang4berat,yaitu 1" mata (;3.17) padakelompok AMT dan " mata (1#7) pada kelompok free Autograft konjungtiva(p<#.#1)ekambuhan pterygium onjungtiva ditemurkan pada " mata (1#.7) di kelompok AMT dan " mata (1#7) pada kelompok free Autograft konjungtiva (!<#.:"7) . ?etelah operasi, piyogenik granuloma ditemukan pada 3 mata di kelompok AMT (1.57) dan 1 mata (7) pada kelompok free Autograft onjungtiva (!<#.31). Ke'im*"l&n % setelah operasi pterygium, inflamasi konjungtiva ?eara signifikan ditemukan
lebih sering pada AMT dibandingkan apadada Autograft konjungtiva. @alaupun demikian dengan kontrol inflamasi dan penggunaan mitomiyn C intraoperasi, hasil akhir yang sama ditemukanpada keduatehnik tersebut.
P7e#=gi"m adalah keadaan dimana jaringan fibrovaskular onjungtiva bulbar hingga ke
kornea.?ebelumnya, pterygium dikenal sebagaipenyakit kronis 9alau ternyata didapatkan bukti 3
yang menunjukkan pterygium merupakan lesi proliferasi dan inf=amasi.?ebagai ontoh, terdapat sel proliferasi pada kepala pterygium, dan hyperplasia epitel dan peningkatan jaringan fibrovaskular pada pemeriksaan histopatologi. uga didapatkan peningkatan angka marker inflamasi pada pterygium. ?ebagai tambahan, seara klinis ditemukan bah9a mitomyin C (MMC) yang memiliki efek menghambat proliferasi dapat mengurangi kekambuhan pterygium setelah insisi dan steroid juga berguna untuk mengurangi kekambuhan pterygium. /anyak tehnik yang dikembangkan untuk operasi pterygium.Meliputi bare slera, rotasi flap konjungtiva, free Autograft konjungtiva, transplantasi selaput amnion (AMT). ?ehingga, untuk mengurangi angka kekambuhan pterygium, berbagai metode tambahan dilakukan, seperti radiasi / dan agen lainnya, termasuk MMC, 4fluorourail dan Thiotepa. Angka keberhasilan yang beragam dilaporkanuntuk metode operasi yang berbeda. @alau demikian masih belum jelas mengapa metole yang satu lebih baik daripada metode yang lain. ?alah satu faktor yang berperan dalam keberhasilan operasi pterygium adalah inflamasi konjungtiva postoperatif. $ikatakan bah9a infeksi konjungtiva pada sekitar daerah operasi ditemukan hingga 317 sampai 6#7 pada kasus pasa operasi pterygium dengan AMT. dan ditunjukkan bah9a tatalaksana inflamasi tersebut mempengaruhi hasil akhir keberhasilan postoperatif. +amun idak diketahui apakah inflamasi konjungtiva postoperatif ini juga munul setelah operasi pterygium dengan tehnik selain AMT dan pengaruhnya terhadap hasil akhir operasi. Bntuk menja9ab pertanyan tersebut, penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kemunulan inflamasi konjungtiva di sekitar daerah operasi setelah operasi pterygium dengan AMT dan free Autograft kongungtiva dan untuk mengetahui kemungkinan munulnya inflamasi sebagaihasil akhir operasi pterygium dari kedua tehnik tersebut. $alam penelitian prospektif ini, 6" mata dari 6" pasien dengan pterygium nasal primer menjalani operasi eksisi kemudian seara aak dipilih. "1 mata dari "1 pasien mendapatkan free Autograft konjungtiva dan "1 mata dari "1 pasien mendapatkan tehnik AMT. emudian dipilihkan seara aak bentuk murfologi pterygium pada tiap kelompok. ?ebelum operasi dan pada kunjungan setelah operasi, setiap pasien menjalani pemeriksaan okular lengkap, meliputi fotografti slit lamp, pengukuran virus koreksi terbaik seara akurat, dan penilalian tekanan intra oular. ?ebelum 'perasi, bentuk morfologi pterygium dikelompokkan berdasarkan penilaian Tan dkk. $alam penilaian ini, pterygium dikelompokkan sebagai grade T1 (pterygium atrofi), yaitu pembuluh darah episklera tidak tanpak jelas pada badan pterygium, 4
grade T3 (pterygium jaringan), dimana pembuluh darah episkleral terlihat jelas, dan grade T" (diantara grade T1 dan T3) yaitu keadaan dimana pembuluh darah episkleral hanyaterlihat jelas sebagian. ?ebeluin 'perasi, dilakukan informed onsent kepada setiap pasien. ?emua operasi dilakukan oleh satu ahli bedah (.+.) diba9ah pengaruh anestesi retrobulbar. ?aat operasi, kepala dan badan pterygium dilepaskan terlebih dahulu dengun tehnik yang sama pada setiap pasien, yaitu dengan reseksi badan " mm didepan plia ?omilunaris.
emudian diikuti
pengangkatan jaringan fibrovasular subkonjungtiva "mm dari tepi konjungtiva dan pertemuan kornea setelah kateterisasi minimal perdarahan pembuluh darah, diberikan #,#"7 MMC pada slera dan diba9ah tepi konjungtiva dengan menggunakan @e4Cel surgial sponge yang diregam dalam larutan #,#"7 MMC. $urasi pemberian MMC bedasarkan grade bertuk morfologi !terygium preoperatif, yaitu penggunaan 1 menit untuk grade 1, 3 menit untuk grade ", dan menit untuk grade 3.setelah itu permukaan mata dibasuh dengan 1## ml larutan garam fisologis, pasien seara aak mendapatkan selaput amnion (elompok AMT) atau 8ree graft onjungtiva (kelompok free autograft konjungtiva). Bntuk menutupi permukaan selaput amion sklera (homapeyvand, in, Tehran, iran) yang digunakan adalah satu lapisan dengan stromal terbalik disambung dengan nylon 1#4# dengan jahitan interuptus. Autograph konjungtiva free didapatkan dari supero4 temporal konjungtiva bulbar yang diambil seara hati hati untuk menghindari terambilnya jaringan tenon. -raft disambung dengan jahitan interuptus dengan nylon 1#4# dengan mempertahankan orientasi limbal forniel. ?etelah operasi, semua pasien mendapatkan regimen antibioti yang sama selama " minggu dan tapering topial steroid selama 3 minggu. Meliputi #,17 betametasol 6 kali sehari untuk satu bulan diikuti denga #,17 fluorometolon 6 kali sehari selama " minggu, 3 kali sehari untuk " minggu, " kali sehari untuk " minggu, dan 1 kali sehari untuk " minggu. !emerikasaan follo9 postoperatif dilakukan pada satu hari, 1 minggu, " minggu, 1 bulan, dan 3, ;,:, dan 1" bulan setelah operasi. ahitan dilepas setelah 1 minggu pada kelompok autograph konjungtiva dan setelah " minggu pada kelompok AMT. Timbulnya inflamasi konjungtiva postoperatif pada sekitar daerah operasi dalam 1 bulan setelah operasi menggunkan grade # ( tidak ada, = (ringan), == (sedang), dan === (berat), seperti
5
yang djelaskan sebelumnya). Mata dengan imflamsi dengan grade == dan === mendapatkan injeksi subkonjungtiva 5 mg triaminole aentonide disekeliling daerah operasi.
Temuan klinis pasien dengan pterigium primer dan temuan postoperatif setelah pembedahan dengan transplantasi membran amnion atau free autograft konjungtiva elompok Transplantasi membran amnion
elompok autograft konjungtiva
umlah mata
1:
"#
Bmur
6".5 D13."
62.2 D1.2
#.33
enis kelamin (laki lakiEperempuan)
1#E:
1"E5
#.2;
/entuk morfologi pterigium
+ilai !
#.5:
T1
6
T"
5
:
T3
2
;
#
3 (1.57)
12 (57)
=
6 ("1.17)
1 (7)
==
2 3;.57)
" (1#7)
===
(";.37)
#
-rade inflamasi konjungtiva postoperasi
ekambuhan pterigium
#.#"
#.:"
ekambuhan konjungtiva
" (1#.7)
" (1#7)
ekambuhan kornea
#
#
!iogenik granuloma
3 (1.57)
1 (7)
#.31
ekambuhan peteregium postoperatif dilaporkan dengan mengunakan dengan system grading yang dijelaskan sebelumnya. -rading ini meliputi grade = yaitu tidak ada kekambuhan, grade == munulnya pembuluh darah episkelera tanpa jaringan fibrovaskular pada daerah operasi, grade === adalah munulnya jaringan fibrovasular pada daerah operasi namun tanpa adanya 6
infasi pada kornea dan grade =0 kekambuhan sebenarnya yaitu jaringan fibro vasular menginfasi hingga ke kornea (kekambuhan kornea) mata dengan kekambuhan pterygium konjungtiva (grade ===) mendapatkan satu injeksi subkonjungtiva 5 mg triaminole aentonide tunggal atau injeksi intralesi fluorourail selama dua minggu. Analisa statistik dilakukan dengan menggunakan soft9are ?!?? versi 1 ( ?pss, =n, Chihago, =linois, B?A) test is s>ure dan test t digunakan untuk membandingkan seara kualitatif dan variable kuantitatif antara AMT dan kelompok Autograft onjungtiva bila nilai p #.# atau kurang maka dianggap signifikan seara statistik.
HASIL
$ari 6" mata dalam penelitian ini, dengan 1" bulan follo9 up lengkap didapat 3: mata dari 3: pasien ( "" laki laki dan 12 perempuan dengan usia rata rata 6,; F4 13,1: tahun (ange 1: samai 53 tahun) meliputi 1: mata di kelompok AMT dan "# di kelompok Autograft konjungtiva.?eara statistik Tidak ada perbedaan seara siknifikan mengenai umur, jenis kelamin, dan grede bentuk morfologi pterygium sebelum operasi antara dua kelompok. 'perasi dilakukan pada setiap kasus menggunakan metode amnioti selapute atau autograph konjungtiva. ?etelah 1 setelah operasi, pada pemeriksaan ditemukan inflamasi konjungtiva disekitar daerah operasi pada 1; mata (56,"7)dalam kelompok AMT dan 3 mata (17) dalam kelompok autograftkonjungtiva, (!<#,#") !ada kelompok AMT grade inflamasi postoperatif berupa grade = (ringan ditemukan 6 mata ("1,17 grade == (sedang 2 mata (3;,57, dan grade === (berat) Mata (";,37) sedangkan pada kelompok autograftkonjungtiva ditemukan inflamasi grade = (ringan) di 1 mata (7), grade == (sedang) " mata (1#7). =njeksi subkonjungtiva triaminolone aetonide dilakukan
pada 1"
mata
(;3,"17)
dan
"
mata
(1#7)
pada kelompok
autograph
konjungtiva(!G#,##1). !emberian injeksi menunjukan pebaikan inflamasi pada mata tersebut. ekambuhan pepterygium grade === ditemukan pada " mata (1#,7) pada kelompok AMT ( di 3 dan ; bulan setelah 'perasi) dan pada " mata (1#7) autograph konjungtiva (di 3 dan 1" bulan setelah operasi), tanpa adanya, perbedaan yang signifikan seara statisti antar " kelompok (!<:,") kekambuhan pada " mata kelompok AMT mengalami inflamasi konjungtival (1 mata) dan berat (1 mata) pada 1 bulan setelah operasi.kekambuhan pada kelompok autograph konjungtiva tidak mengalami inflamasi ( 1mata) dan mengalami inflamasi sedang (1 mata) pada 7
unjungan
1
bulan. Mata dengan kekambuhan konjungtiva
mendapatkan
1
injeksi
subkonjungtival 5mg triaminolone aetonide tunggal ("mata), 1 dimasing masing kelompok dan injeksi intarlesi fluorourail selama " minggu (" mata 1 dimasing masing kelompok), tidak ditemukan perkembangan ke kambuhan kornea primer selama follo9 up. !erkembangan pyogeni granuloma pada daerah operai ditemukan pada 3 mata (1,57) di kelompok AMT dan 1 mata (7) di kelompok autograph konjungtiva (!<#,31) seluruh pyogeni granulomata berkembang di tepi graft. !ada gruautograft konjungtiva di daerah subperotemporal dimana graft konjungtiva diambil berhasil sembuh tanpa ada komplikasi pada seluruh mata. Tidak ada komplikasi yang berhubungan graft selapute amnion atau graft konjungtiva pada mata selama follo9 up postoperatif. ?etelah injeksi triapsinolon asetonik tekanan intra oular ditemukan meningkat pada dua mata dan berhasil di ontrol dengan pengobatan. Tidak ditemukan komplikasi yang berhubungan dengan pemberian steroid pada seluruh mata.
DISKUSI
!enelitian restopektif aak ini menunjukan bah9a setelah operasi pterygium, infeksi konjungtiva ditemukan seara siknifikan seara lebih sering pada AMT disbanding pada Autokelompok konjungtiva. @alaupun dengan pengontrolan inflamasi dan penggunaan MMC introperatif, hasil akhir yang sama ditemukan pada kedua teknik. !enelitian selanjutnya dibutuhkan untuk mengevaluasi infeksi konjungtival postoperatif dengan berbagai teknik operasi pterygium !ada satu bulan setelan operasi pterygium, ketika respon inflamasi postoperatif disekitar daerah operasi munul 56,"7 pada mata di kelompok AMT dan 1 7 pada mata Autograft onjungtival. =nflamasi seara si>nifikan lebih sering dibaandingkan autograph konjungtival (p<#,#"). ?umber sebelumnya melaporkan infeksi konjungtival munul setelah operasi prepterygium dengtan AMT dan setelah eksisi konjungtivo aklasi konjungtivo Chlasi dan rekontruksi fornik. @alaupun inflamasi yang berhubungan denga penjahitan ditemukan pada operasi prepterygium dengan autograph konjungtival teknik operasi lainya sangat jarang dijelaskan ?olomon dkk melaporkan angka kejadian sebesar 31, 7 persisten inflamasi setelah operasi pterygium, AMT yang mengunkan benang dan injeksi subkonjungtival triaminolon introperatif. !enelitian kami sebelumnya menunjukan "2 mata yang mendapatkan eksisi 8
pterygium, penggunaan MMC, dan AMT mengunakan benaang ataung lem fibrin dengan pemberian injeksi triamsinolon intraoperatif pata 11 mata menunjukan angka inflamasi sebesar 6#,27. $engan penggunaan MMC tanpa pemberian injeksi triamsinolon introperatif pada penelitian ini, inflamasi munul pada 56," mata setelah AMT, halini menunjukan. Angka yang lebih tinggi, dibandingkan penelitian sebelumnya. al tersebut hasil adanya pemberian injeksi triamsinolon intraoperatif berdampak pada tingginya angka kejadian inflamasi pada penelitian ini dibandingkan penelitian sebelumnya. +amun penelitian ontrol dibutuhkan untuk mengevaluasi pemberian steroid introperatif untuk menegah terjadinya inflamasi !athogenesis dari inflamasi konjungtiva postoperatif persisten dan kemungkinan alasan tingginya angka kejadian setelah AMT, yang diketahui memiliki efek anti inflamsi masih sulit dijelaskan. ?ebagai tambahan fator lain yang mungkin berperan dalam inflamasi postoperatif masih banyak yang belum diketahui. ?ebelumnya, dilaporkan bah9a setelah operasi pteregium dengan AMT ditemukan angka kejadian inflamasi yang lebih tinggi pada penggunaan benang dibandingkan dengan penngunaan lem fibrin (;1,7 disbanding "1,67) dalam penelitian ini, benang dilepaskan setelah satu minggu pada kelompok autograftkonjungtival dan setelah " minggu pada kelompok AMT. 9alaupun kemunulan inflamasi di evaluasi pada satu bulan setelah operasi, durasi benang yang lebih lama tinggal pada kelompok AMT mungkin merupakan penyebab dari inflamasi bahkan setelah benang dilepaskan. +amun inflamasi yang tetap munul pada penggunaan fibrin menunjukan ada nya kemungkinan fator lain. Mistosin C, yang diketahui memiliki efek anti proliperatif digunakan pada seluruh mata dalam penelitin ini. @alaupun MMC menurunkan inflamasi konjungtival pada mata dengan konjungtivitis alergi, masih belum diketahui apakah penggunaan MMC dapat
menurunkan
angka kejadian inflamasi konjungtiva inframatif operasi pterygium. ?ehingga penelitian selanjutnya menggunakan sampel yang lebih besar untuk mengevaluasi fator lain seperti umur, jenis kelamin, bentuk morfologi pterygium, dan perbedaan teknik operasi yang dapat menujukan kemungkinan munul nya inflasmasi postoperatif !ada operasi pterygium dengan penggunaan MMC kekambuhan pterygium konjungtiva berkembang dengan rasio yang sama sebsar 1#7 pada kedua kelompok selama 1" bulan follo9 up posoperatif. /eberapa penelitian debelumnya membangdingkan hasil operasi pterygium dengan autograftkonjungtiva
atau AMT. disebutkan bah9a untuk operasi pterygium,
kekambuhan pada AMT sama atau lebih tinggi dibandingkan Autograft konjungtiva. +amun 9
tidak ada satu pun
penelitian menggunakan MMC yang terbukti menurunkan angka
kekambuhan. ?ehingga angka kekambuhan yang sama ditemukan pada kelompok AMT dan kelompok autograftkonjungtiva pada penelitian ini berhubungan dengan penggunangan MMC yang diberikan pada kedua kelompok. +amun fator lain masih mungkin berperann dalam munulnya angka kekambuhan yang sama pada kedua kelompok sebagai ontrol inflamasi konjungtiva post operativ !eneletian retrokspektif kami sebelumnya, menunjukan bah9a setelah operasi pterygium dengan pemberian MMC dan AMT, mata dengan inflamasi konjungtiva pada satu bulan setelah operasi tidak menunjukan kekambuhan bila diberikan injeksi subkonjungtiva triamsinolon. +amun mata yang tidak mendapatkan pengobatan memiliki kekambuhan yang lebih tinggi. Meskipun dengan autograftkonjungtival, tetap menunjukan angka kekambuhan yang lebih tinggi pada pasien yang mendapat tropial steroid postoperatif in adekuat. ?ehingga ini mungkin menjadi alas an baha9a angka kekambuhan pterygium setelah eksisi dengan AMT lebih tinggi dibandingkan autographkonjungtival seperti yang dilaporkan sebelum nya bah9a angka kejadian inflama si konjungtiva postoperatif setelah AMT lebih tinggi , yang dibiarkan tidak diobati. !engobatan inflamasi seperti yang dilakukan pada penelitian ini, mungkin yang menjadikan hasil angka kembuha yang sama antara pengguanaan AMT atau Autograftkonjungtiva penelitian selanjutnya diharapkan diharapkkan menbahas mekanisme kemungkinan lain dari hasil akhir yang berbeda dari berbagai tehnik pembedahan untuk operasi pterygium.9alaupun pemberian injeksi konjungtival triaminolon pada penelitian ini menunjukan resolusi dari inflamasi, metode postoperatif terbaik untuk menangani inflamasi dan untuk menegah kekambuhan masih belum diketahui pada penelitian ini 3 dari 6 mata denga kekambuhan konjungtiva pterygium memiliki inflamasi konjungtiva pada satu bulan setelah operasi 9alaupun telah diberikan injeksi triamsinolon. @alaupun faktorlain berperan. =nflamasi yang munul setelah injeksi triamsinolon mungkin berakibat sebgai penyebab kekambuhan. ?ebagaimana telah disebutkan sebelumnya, subkonjungtiva 4fluoroulail atau triaminolon pada penelitian ini berhasi untuk menegah pertumbuhan konjungtiva menjadi kekambuhan kornea pterygium. ?ehingga fungsi agen anti inflamasi lain dan agen anti faskular endothelial gro9th faktor untuk terapi inflamasi postoperatif membutuhkan penelitian yang lebih lanjut /erhubungan dengan tingginya angka kejadian inflamasi konjungtiva postoperasi berbanding lurus dengan angka kejadian piogenik granuloma setelah AMT dibandingkan 10
autograft konjungtiva (1.57 banding 7), 9alaupun perbedaan ini seara statitik tidak bermakna seara signifikan. ejadian tersebut, yang merupakan proses inflamasi, mungkin terjadi akibat proses penyembuhan proliferasi fibrovaskular yang berlebihan. @alaupun angka kejadian yang tinggi mungkin diakibatkan karena penggunaan benang yang lebih lama, namun belum ada satupun penelitian yang membahas mengenai hubungan antara terjadinya =uka dengan penggunaan benang. ekurangan utama dalam penelitian ini adalah terbatasnya jumlah sampel. +amun follo9 up postoperatif selama 1 tahun dinilai ukup untuk menilai kekambuhan pterygium. ?erta tidak hanya tehnik AMT dan tehnik Autograft konjungtiva yang telah dilakukan, grade bentuk morfologi pterygium juga mempengaruhi hasil akhir pembedahan. @alaupun dengan sampel yang terbatas, data kami menunjukkan bah9a inflamasi konjungtiva postoperatif lebih sering munul seara signifikan pada operasi pterygium dengan tehnik AMT dibandingkan tehnik Autograft konjungtiva. ?erta penggunaan MMC intraoperatif menimbulkan hasil yang sama pada kedua kelompok terhadap angka kekambuhan pterygium.
11
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
DEFINISI
Pterygium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterygium tumbuh berbentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterygium adalah dari bahasa Hunani, yaitu pteron yang artinya sayap.
EPIDEMIOLOGI
Pterygium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering. !revalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. 8aktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator, yakni daerah yang terletak kurang 32# Iintang Btara dan ?elatan dari ekuator. !revalensi tinggi sampai ""7 di daerah dekat ekuator dan kurang dari "7 pada daerah yang terletak di atas 6## Iintang. =nsiden pterygium ukup tinggi di =ndonesia yang terletak di daerah ekuator, yaitu 13,17.6 !asien di ba9ah umur 1 tahun jarang terjadi pterygium. !revalensi pterygium meningkat dengan umur, terutama dekade ke4" dan ke43 dari kehidupan. =nsiden tinggi pada umur antara "# dan 6:. ejadian berulang (rekuren) lebih sering pada umur muda daripada umur tua. Iaki4laki 6 kali lebih resiko dari perempuan dan berhubungan dengan merokok, pendidikan rendah, ri9ayat terpapar lingkungan di luar rumah.
FAKTOR RISIKO
8aktor resiko yang mempengaruhi pterygium adalah lingkungan yakni radiasi ultraviolet sinar matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara dan faktor herediter.
R&%i&'i "l7#&8iole7
8aktor resiko lingkungan yang utama sebagai penyebab timbulnya pterygium adalah terpapar sinar matahari. ?inar ultraviolet diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi sel. Ietak lintang, 9aktu di luar rumah, penggunaan kaamata dan topi juga merupakan faktor penting. 12
F&;7o# Gene7i;
/eberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterygium dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan ri9ayat keluarga dengan pterygium, kemungkinan diturunkan autosom dominan.
F&;7o# l&in
=ritasi kronik atau inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru patogenesis dari pterygium. @ong juga menunjukkan adanya pterygium angiogenesis factor dan penggunaan pharmacotherapy antiangiogenesis sebagai terapi. $ebu, kelembaban yang rendah, dan trauma keil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan virus papilloma juga penyebab dari pterygium.
PATOGENESIS
Jtiologi pterygium tidak diketahui dengan jelas. Tetapi penyakit ini lebih sering pada orang yang tinggal di daerah iklim panas. 'leh karena itu gambaran yang paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor4faktor lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah angin kenang dan debu atau faktor iritan lainnya. !engeringan lokal dari kornea dan konjungtiva yang disebabkan kelainan tear film menimbulkan pertumbuhan fibroplastik baru merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterygium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori ini. Bltraviolet adalah mutagen untuk p3 tumor supresor gene pada limbal basal stem cell . Tanpa apoptosis, transforming groth factor!beta diproduksi dalam jumlah berlebihan dan menimbulkan proses kolagenase meningkat. ?el4sel bermigrasi dan angiogenesis. Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial fibrovaskular. aringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoik proliferasi jaringan vaskular ba9ah epithelium dan kemudian menembus kornea. erusakan pada kornea terdapat pada lapisan selaput bo9man oleh pertumbuhan jaringan fibrovaskular, sering disertai dengan inflamasi ringan. Jpitel dapat normal, tebal atau tipis dan kadang terjadi displasia.
13
"imbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. !ada keadaan defisiensi limbal stem cell , terjadi pembentukan jaringan konjungtiva pada permukaan kornea. -ejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan selaput basement dan pertumbuhan jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterygium dan karena itu banyak penelitian menunjukkan bah9a pterygium merupakan manifestasi dari defisiensi atau disfungsi limbal stem cell . emungkinan akibat sinar ultraviolet terjadi kerusakan limbal stem cell di daerah interpalpebra !emisahan fibroblast dari jaringan pterygium menunjukkan perubahan phenotype, pertumbuhan banyak lebih baik pada media mengandung serum dengan konsentrasi rendah dibanding dengan fibroblast konjungtiva normal. Iapisan fibroblast pada bagian pterygiun menunjukkan proliferasi sel yang berlebihan. !ada fibroblast pterygium menunjukkan matriK metalloproteinase, dimana matriks ekstraselluler berfungsi untuk jaringan yang rusak, penyembuhan luka, mengubah bentuk. al ini menjelaskan kenapa pterygium enderung terus tumbuh, invasi ke stroma kornea dan terjadi reaksi fibrovaskular dan inflamasi
GAMBARAN KLINIS DAN PEMBAGIAN PTERIGIUM
Pterygium lebih sering dijumpai pada laki4laki yang bekerja di luar rumah. /isa unilateral atau bilateral. ira4kira :#7 terletak di daerah nasal. Pterygium yang terletak di nasal dan temporal dapat terjadi seara bersamaan 9alaupun pterygium di daerah temporal jarang ditemukan. edua mata sering terlibat, tetapi jarang simetris. !erluasan pterygium dapat sampai ke medial dan lateral limbus sehingga menutupi sumbu penglihatan, menyebabkan penglihatan kabur. ?eara klinis pterygium munul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fissura interpalpebra. /iasanya pada bagian nasal tetapi dapat juga terjadi pada bagian temporal. $eposit besi dapat dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterygium ( sto#er$s line). Pterygium dibagi menjadi tiga bagian yaitu % body% ape& 'head( dan cap. /agian segitiga yang meninggi pada pterygium dengan dasarnya kearah kantus disebut body, sedangkan bagian atasnya disebut apeK dan ke belakang disebut cap. A subepithelial cap atau halo timbul pada tengah apeK dan membentuk batas pinggir pterygium. !embagian pterygium berdasarkan perjalanan penyakit dibagi atas " tipe, yaitu % 14
! Progresif pterygium % tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di depan kepala pterygium (disebut cap pterygium). ! )egresif pterygium % tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi membentuk selaput tetapi tidak pernah hilang.6
!ada fase a9al pterygium tanpa gejala, hanya keluhan kosmetik. -angguan terjadi ketika pterygium menapai daerah pupil atau menyebabkan astigatisme karena pertumbuhan fibrosis pada tahap regresi. adang terjadi diplopia sehingga menyebabkan terbatasnya pergerakan mata. !embagian lain pterygium yaitu % 1. Tipe = % meluas kurang " mm dari kornea. Sto#er$s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel kornea dan kepala pterygium. Iesi sering asimptomatis meskipun sering mengalami inflamasi ringan. !asien dengan pemakaian lensa kontak dapat mengalami keluhan lebih epat. ". Type == % menutupi kornea sampai 6 mm, bias primer atau rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan menimbulkan astigmatisma. 3. Type === % mengenai kornea lebih 6 mm dan mengganggu aksis visual. Iesi yang luas terutama yang rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang meluas ke fornik dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan bola mata.
Pterygium juga dapat dibagi ke dalam 6 derajat yaitu % 1. $erajat 1 % jika pterygium hanya terbatas pada limbus kornea. ". $erajat " % jika sudah mele9ati limbus kornea tetapi tidak lebih dari " mm mele9ati kornea. 3. $erajat 3 % sudah melebihi derajat " tetapi tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan ahaya normal (pupil dalam keadaan normal sekitar 3 6 mm) 6. $erajat 6 % pertumbuhan pterygium mele9ati pupil sehingga mengganggu penglihatan.
DIAGNOSA BANDING
?eara klinis pterygium dapat dibedakan dengan dua keadaan yang sama yaitu pinguekula dan pseudopterygium. /entuknya keil, meninggi, masa kekuningan berbatasan . 15
dengan limbus pada konjungtiva bulbi di fissura interpalpebra dan kadang4kadang mengalami inflamasi. Tindakan eksisi tidak diindikasikan. !revalensi dan insiden meningkat dengan meningkatnya umur. !inguekula sering pada iklim sedang dan iklim tropis dan angka kejadian sama pada laki4laki dan perempuan. !aparan sinar ultraviolet bukan faktor resiko penyebab pinguekula. !ertumbuhan yang mirip dengan pterygium, pertumbuhannya membentuk sudut miring seperti pseudopterygium atau Terrien$s marginal degeneration. Pseudopterygium mirip dengan pterygium, dimana adanya jaringan parut fibrovaskular yang timbul pada konjungtiva bulbi menuju kornea. /erbeda dengan pterygium, pseudopterygium adalah akibat inflamasi permukaan okular sebelumnya seperti trauma, trauma kimia, konjungtivitis sikatrikal, trauma bedah atau ulkus perifer kornea. Bntuk mengidentifikasi pseudopterygium, irinya tidak melekat pada limbus kornea. !robing dengan muscle hoo# dapat dengan mudah mele9ati bagian ba9ah pseudopterygium pada limbus, dimana hal ini tidak dapat dilakukan pada pterygium. !ada pseudopterygium tidak dapat dibedakan antara head , cap dan body dan pseudopterygium enderung keluar dari ruang fissura interpalpebra yang berbeda dengan true pterygium.
PENATALAKSANAAN
eluhan fotofobia dan mata merah dari pterygium ringan sering ditangani dengan menghindari asap dan debu. /eberapa obat topikal seperti lubrikans, vasokonstriktor dan kortikosteroid digunakan untuk menghilangkan gejala terutama pada derajat 1 dan derajat ". Bntuk menegah progresifitas, beberapa peneliti menganjurkan penggunaan kaamata pelindung ultraviolet. =ndikasi eksisi pterygium sangat bervariasi. Jksisi dilakukan pada kondisi adanya ketidaknyamanan yang menetap, gangguan penglihatan bila ukuran 346 mm dan pertumbuhan yang progresif ke tengah kornea atau aksis visual, adanya gangguan pergerakan bola mata. Jksisi pterygium bertujuan untuk menapai gambaran permukaan mata yang liin. ?uatu tehnik yang sering digunakan untuk mengangkat pterygium dengan menggunakan pisau yang datar untuk mendiseksi pterygium kearah limbus. Memisahkan pterygium kearah ba9ah pada limbus lebih disukai, kadang4kadang dapat timbul perdarahan oleh karena trauma jaringan sekitar otot. ?etelah eksisi, kauter sering digunakan untuk mengontrol perdarahan. /eberapa tehnik operasi yang dapat menjadi pilihan yaitu % 16
1. *are sclera % tidak ada jahitan atau jahitan, benang absorbable digunakan untuk melekatkan konjungtiva ke sklera di depan insersi tendon rektus. Meninggalkan suatu daerah sklera yang terbuka. ". Simple closure % tepi konjungtiva yang free dijahit bersama (efektif jika hanya defek konjungtiva sangat keil). 3. Sliding flaps % suatu insisi bentuk I dibuat sekitar luka kemudian flap konjungtiva digeser untuk menutupi defek. 6. )otational flap % insisi bentuk B dibuat sekitar luka untuk membentuk lidah konjungtiva yang dirotasi pada tempatnya. . Conjunctival graftt % suatu free graftt biasanya dari konjungtiva superior, dieksisi sesuai dengan besar luka dan kemudian dipindahkan dan dijahit. ;. Amnion selapute transplantation % mengurangi frekuensi rekuren pterygium, mengurangi fibrosis atau skar pada permukaan bola mata dan penelitian baru mengungkapkan menekan T-84L pada konjungtiva dan fibroblast pterygium. !emberian mytomiin C dan beta irradiation dapat diberikan untuk mengurangi rekuren tetapi jarang digunakan. 2. "amellar #eratoplasty, e&cimer laser phototherapeutic #eratectomy dan terapi baru dengan menggunakan gabungan angiostatik dan steroid.1
KOMPLIKASI
omplikasi pterygium termasuk merah, iritasi, skar kronis pada konjungtiva dan kornea, pada pasien yang belum eksisi, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, skar pada otot rektus medial yang dapat menyebabkan diplopia. omplikasi yang jarang adalah malignan degenerasi pada jaringan epitel di atas pterygium yang ada. omplikasi se9aktu operasi antara lain perforasi korneosklera, graftt oedem, graftt hemorrhage, graftt retra#si, jahitan longgar, #orneos#leral dellen, granuloma konjungtiva, epithelial inclusion cysts, skar konjungtiva, skar kornea dan astigmatisma, disinsersi otot rektus. omplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterygium post operasi
17
PROGNOSIS
!englihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik, rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien setelah 65 jam post operasi dapat beraktivitas kembali. ekurensi pterygium setelah operasi masih merupakan suatu masalah sehingga untuk mengatasinya berbagai metode dilakukan termasuk pengobatan dengan antimetabolit atau antineoplasia ataupun transplantasi dengan konjungtiva. !asien dengan rekuren pterygium dapat dilakukan eksisi ulang dan graftt dengan konjungtiva Autograft atau transplantasi selaput amnion. Bmumnya rekurensi terjadi pada 3 ; bulan pertama setelah operasi . !asien dengan resiko tinggi timbulnya pterygium seperti ri9ayat keluarga atau karena terpapar sinar matahari yang lama dianjurkan memakai kaamata sunblok dan mengurangi terpapar sinar matahari.
TEKNIK BARE S9LERA
4 'perasi dengan menggunakan mikroskop dilakukan diba9ah anastesi lokal. 4 ?etelah pemberian anastesi topikal, desinfeksi, dipasang eye spekulum. 4 Iidokain #, ml disuntikkan diba9ah badan pterygium dengan spuit 1. 4 $ilakukan eksisi badan pterygium mulai dari punak nya di kornea sampai pinggir limbus. emudian pterygium diekstirpasi bersama dengan jaringan tenon diba9ah badannya dengan menggunakan gunting.
TEKNIK 9ONJUN9TIVAL AUTOGRAFT > ?etelah pterygium diekstirpasi, ukuran dari bare slera yang tinggal diukur.
4 $iambil konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan lebih besar 1mm dari bare slera yang diukur, kemudian diberi tanda. 4 Area yang sudah ditandai diinjeksikan dengan lidokain, agar mudah mendiseksi konjungtiva dari tenon selama pengambilan Autograft. 4 /agian limbal dari Autograft ditempatkan pada area limbal dari area yang ak an digraftt. 4 Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan viryl 5.#
18
DISKUSI
Telah dilakukan presentasi journal reading pada : April "#1 pukul 11.3# @=/ dan didapatkan pertanyaan diskusi%
1. /agaimana grading morfologi pterygium dalam penelitian ini dan apakah grading pterygium mempengaruhi dalah pemilihan sampel a9ab % bentuk morfologi pterygium dikelompokkan berdasarkan penilaian Tan dkk. $alam penilaian ini, pterygium dikelompokkan sebagai grade T1 (pterygium atrofi), yaitu pembuluh darah episklera tidak tanpak jelas pada badan pterygium, grade T3 (pterygium jaringan), dimana pembuluh darah episkleral terlihat jelas, dan grade T" (diantara grade T1 dan T3) yaitu keadaan dimana pembuluh darah episkleral hanya terlihat jelas sebagian. +amun grading morfologi pterygium ini tidak mempengaruhi dalam pemilihan sampel. $ari keseluruhan sampel yang kemudian dibagi seara aak ke dalam dua kelompok, barulah sampel pada kedua kelompok tersebut dibagi berdasarkan grading morfologinya dan mendapatkan perlakuan yang berbeda.
". 8aktor apakah yang kira kira menyebabkan pada jurnal ini tehnik AMT lebih baik daripada tehnik free autograft konjungtiva a9ab % !athogenesis dari inflamasi konjungtiva postoperatif persisten dan kemungkinan alasan tingginya angka kejadian setelah AMT, yang diketahui memiliki efek anti inflamsi masih sulit dijelaskan. ?ebagai tambahan fator lain yang mungkin berperan dalam inflamasi postoperatif masih banyak yang belum diketahui. $alam penelitian ini, benang dilepaskan setelah satu minggu pada kelompok autograftkonjungtival dan setelah " minggu pada kelompok AMT, serta kemunulan inflamasi di evaluasi pada satu bulan setelah operasi. ?ehingga dapat disimpulkan durasi benang yang lebih lama tinggal pada kelompok AMT mungkin merupakan penyebab dari inflamasi bahkan setelah benang dilepaskan.
3. Apakah pembedahan pada jurnal ini dilakukan oleh satu orang
19
a9ab % semua operasi pada penelitian ini dilakukan oleh orang yang sama sehingga meminimalisir kemungkinan sampel mendapatkan perlakukan yang berbeda bila operasi dilakukan oleh beberapa orang.
6. Apakah pada journal ini dijelaskan pada kelompok usia manakah inflamasi pasa operasi dan kekambuhan pterygium lebih banyak munul a9ab % pada journal ini tidak dijelaskan pada kelompok usia manakah inflamasi pasa operasi dan kekambuhan pterygium lebih banyak munul. al ini mungkin diakibatkan karena terlalu sedikitnya jumlah sampel sehingga rentang usia sampel yang didapatkan tidak terlalu bervariasi. Bsia rata rata pada kelompok AMT 6".5 D 13." tahun sedangkan rata rata usia pada kelompok free autograft konjungtiva 62.2 D 1.2 tahun.
. Apakah yang dimaksud dengan mitomyin C Apakah pemberian tetes mata tersebut masih dinilai aman pada penderita pterygium a9ab % mitimyin C adalah anti mioplastik dengan mekanisme kerja menghambat sintesisn protein +A seluler. Jfek samping yang mungkin timbul pada penderita perygium yang mendapatkan tetes mata mitomyin C adalah perubahan densitas keratosit pada kornea. !enurunan densitas kerosit pada bagian stroma anterior kornea mengakibatkan ketidakstabilan biomekanik, astasia iatrogeni, hingga kornea dapat hanurEmeleleh. Jfek samping lain yang timbul akibat penggunaan mitomyin C adalah iflamasi, photofobia, pengeluaran air mata yang berlebihan, dan iritasi.
;. Apa yang dimaksud dengan kekambuhan konjungtiva dan kekambuhan kornea pada kriteria kekambuhan pterygium pada jurnal ini a9ab % yang disebut kekambuhan konjungtiva adapah kekambuhan pterygium grade == dan grade ===. -rade == adalah munulnya pembuluh darah episkelera tanpa jaringan fibrovaskular pada daerah operasi, grade === adalah munulnya jaringan fibrovasular pada daerah operasi namun tanpa adanya infasi pada kornea. ?edangkan kekambuhan korna adalah kekambuhan pterygium grade =0, yaitu kekambuhan sebenarnya berupa jaringan fibro vasular menginfasi hingga ke kornea.
20
2. Apakah kekurangan journal ini menurut presentan a9ab % ekurangan utama dalam penelitian ini adalah terbatasnya jumlah sampel. sampel yang digunakan 6" mata dari 6" pasien, dan hanya 3: sampel (1: sampel pada kelompok AMT dan "# sampel pada kelompok free autograft konjungtiva) yang memenuhi kriteria penelitian. Minimnya sampel mungkin menjadi penyebab data epidemiologi yang diteliti pada jurnal ini, yaitu usia dan jenis kelamin memberikan hasil yang tidak signifikan. ?erta sampel yang digunakan tidak dipilih dari grade pterigium yang sama. -rade pterygium pada kedua kelompok dibagi seara aak, yang mengakibatkan pada masing masing grade mendapat perlakuan yang berbeda.
5. Apakah saran dari presentan bila di kemudian hari akan dilakukan penelitian yang sama dengan penelitian yang ada pada jurnal ini a9ab % diperlukan jumlah sampel yang lebih besar agar bias didapatkan data epidemiologi seperti umur dan jenis kelamin yang lebih beragam sehingga hasil yang dibeikan lebih signifikan.
21
KESIMPULAN
!terygium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat degeneratif dan =nvasif. ?aat ini banyak tehnik pembedahan sebagai pilihan untuk penatalaksanaan pterygium. ?alah satu tehnik yang banyak digunakan adalah transplantasi selaput amnion (AMT) dan free Autograft konjungtiva . Bntuk mengetahui pilihan tehnik operasi yang tepat untuk mengurangi kemungkinan munulnya kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan kekambuhan pterygium dilakukan penelitian untuk membandingkan antara tehnik operasi pterygium yaitu transplantasi selaput amnion (AMT) dan free Autograft konjungtiva terhadap angka kejadian inflmasi konjungtiva postoperatif dan angka kekambuhan pterygium selama 1 tahun terakhir pasa operasi. $ari penelitian tersebut didapatkan hasil setelah operasi pterygium, inflamasi konjungtiva ?eara signifikan ditemukan lebih sering pada AMT dibandingkan apadada Autograft konjungtiva. @alaupun demikian dengan kontrol inflamasi dan penggunaan mitomiyn C intraoperasi, hasil akhir yang sama ditemukanpada kedua tehnik tersebut.
22
DAFTAR PUSTAKA
1. =lyas ?. =lmu !enyakit Mata, edisi kedua. akarta% /alai !enelitian 8B=,"##3. 11:41"# ". amur9ono -$, +ainggolan ?, ?oekraningsih. /uku !edoman esehatan Mata dan !enegahan ebutaan Bntuk !uskesmas. akarta% $irektorat /ina Bpaya esehatan !uskesmas $itjen !embinaan esehatan Masyarakat $epartemen esehatan, 1:56. 16412 3. !erhimpunan $okter ?pesialis Mata =ndonesia (!J$AM=), Jditor Tahjono. $alam panduan manajermen klinik !J$AM=. C0 'ndo akarta "##;. ; 5 6. Tan $ T. 'ular ?urfae $iseases Medial and ?urgial Management. +e9 Hork% ?pringer, "##". ; 53 . !utra A. !enatalaksanaan pterygium Atmajaya. "##3 % " % 132 162?
23