KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
Journal Reading
Ant A ntii bi oti c R esista sistanc nce e i n Ped Pedi atr i c Uri Ur i nar nar y Tra Tr act I nfec nfecti ons
“
”
OLEH I Gede Suaranta H1A 012 023
PEMBIMBING dr. Titi Pambudi K, M.Sc., Sp.A
DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN ILMU ILMU KESEHATAN ANAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PROVINSI NTB 2017
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan anugerah-Nya saya dapat menyelesaikan journal reading Ilmu Kesehatan Anak yang berjudul “ Antibiotic Resistance in Pediatric Urinary Tract Infections” dapat diselesaikan dengan baik. Journal reading ini dibuat berdasarkan salah satu syarat untuk menyelesaikan kepaniteraan Ilmu Kesehatan Anak Fakultas kedokteran Universitas Mataram di Rumah Sakit Umum Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Saya berharap journal reading ini, dapat menjadi media untuk memberikan informasi yang berguna bagi para pembacanya baik bagi teman-teman sejawat, kalangan medis lain, maupun lapisan masyarakat umum. Saya menyadari bahwa journal reading ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh sebab itu kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk menambah kekurangan dari journal reading ini. Saya memohon maaf apabila ada kesalahan kata dalam penulisan journal reading ini. Atas perhatiannya, saya mengucapkan terima kasih.
Mataram, 30 November 2017
Penulis
2
DATA JURNAL
a.
Judul
: Antibiotic Resistance in Pediatric Urinary Tract Infections
b. Penulis
: Jeremy S. Stultz, Christopher D. Doern, dan Emily Godbout
c. Penerbit
: Current Infection Disease Reports
d. Volume/Nomor : 18/12 e. Halaman
: 1-9
f. Tahun terbit
: 2016
g. Jenis Jurnal
: Journal Reviewed / Original Article
h. Kata kunci
: Microbial sensitivity tests, Urinary tract infections, Pediatric, Extended spectrum beta-lactamases
3
ABSTRACT
Urinary tract infections (UTIs) are a common problem in pediatric patients. Resistance to common antibioticagents appears to be increasing over time, although resistance rates may vary based on geographic region or country. Prior antibiotic exposure is a pertinent risk factor for acquiring resistant organisms during a first UTI and recurrent UTI. Judicious prescribing of antibiotics for common pediatric conditions is needed to prevent additional resistance from occurring. Complex pediatric patients with histories of hospitalizations, prior antibiotic exposure, and recurrent UTIs are also at high risk for acquiring UTIs due to extended spectrum betalactamase-producing organisms. Data regarding the impact of in vitro antibiotic susceptibility testing interpretation on UTI treatment outcomes is lacking.
4
ABSTRAK
Infeksi saluran kemih adalah masalah yang umum pada anak-anak. Resistensi terhadap agen antibiotik yang umum digunakan juga mulai bertambah setiap waktu, meskipun laju rasistensinya mungkin bervariasi sesuai daerah geografis atau negara. Paparan antibiotik sebelumnya merupakan salah satu faktor risiko terkait yang mengakibatkan resistensi organisme selama infeksi saluran kemih pertama dan infeksi saluran kemih berulang. Resep antibiotik yang bijak untuk kondisi anak-anak secara umum yaitu resep yang mempertimbangkan kebutuhan untuk mencegah bertambahnya resistensi. Pasien anak-anak yang kompleks dengan riwayat opname, paparan antibiotik sebelumnya, dan infeksi saluran kemih berulang juga merupakan risiko tinggi untuk terinfeksi saluran kemih yang disebabkan organisme penghasil beta-lactamase spektrum luas. Data mengenai dampak kepekaan antibiotik melalui uji antibiotik secara in vitro pada terapi infeksi saluran kemih hasilnya masih kurang.
5
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Resistensi antibiotik merupakan permasalahan internasional yang sedang berkembang yang mempengaruhi kemampuan untuk menentukan terapi lini pertama yang sesuai untuk infeksi-infeksi umum, seperti infeksi saluran kemih (ISK). Pada pemeriksaan rutin anak-anak di AS, ISK terjadi 2,4 sampai 2,8 persen dari keseluruhan anak dan 7-8% anak menunjukkan demam dan/atau gejala ISK. Penyebab utama ISK pada anak-anak (80% kasus) adalah Escherichia coli. Patogen gram negatif lain yaitu Enterobacteriaceae, enterococci, dan Pseudomonas aeruginosa. American Academy of Pediatrics (AAP) meluncurkan panduan terapi dan manajemen ISK pada anak usia 2 bulan dan 2 tahun pada tahun 2011. Pada panduan tersebut terdapat beberapa pilihan antibiotik untuk ISK tapi tidak merekomendasikan agen yang spesifik. Antibiotik
yang
paling
sering
digunakan
pada
anak
dengan
ISK
adalah
trimethoprim/sulfamethocazole (TMP/SMX) (sekitar 50% peresepan), diikuti sefalosporin generasi 3 (17%). Antibiotik oral lainnya adalah amoxicillin dengan atau tanpa asam klavulanat, sefalosporin generasi 1 dan 2, floroquinolon, dan nitrofurantoin. Obat oral lebih dipilih karena praktis dan efikasinya sama untuk ISK tanpa komplikasi dan terapi lanjutan untuk pielonefritis. Pemberian secara intravena mungkin juga digunakan, tetapi umumnya digunakan untuk organisme yang resisten atau penyakit yang berat. Jurnal ini melakukan analisis terhadap pola resistensi patogen penyebab ISK dan faktor risiko pada pasien karena penting untuk memastikan pemilihan rejimen antibiotik empiris dan strategi yang tepat untuk mempertahankan efektivitas antibiotik oral untuk manajemen ISK pada anak.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk merangkum data terbaru terkait resistensi patogen penyebab ISK anak.
6
C. Metode
Metode yang dilakukan yaitu dengan mengumpulkan publikasi medis berbahasa inggris dengan mesin pencarian PubMed antara 1 Januari 2010 sampai 1 Juli 2016. Kata kunci yang digunakan sesuai dengan MeSH, yaitu "microbial sensitivity tests" dan "urinary tract infections". Hasilnya di filter sesuai studi untuk anak (usia <18 tahun). Ditambahkan juga keyword yang terpisah antara "p(a)ediatric urinary tract infection susceptibility" dan "p(a)ediatric urinary tract infection resistance". Hasil pencarian artikel yang sama dihapus. Hasil pencarian ditinjau dengan alat JSS dan EG. Yang dimasukkan adalah studi dengan kualitas yang masuk akal dan relevan, yang juga menggunakan standar laboratorium klinis dari Clinical and Laboratory Standards Institute (CLSI) atau European Committee on Antimicrobial Susceptibility Testing (EUCAST) untuk uji kepekaan antimikroba.
7
ISI JURNAL
A. Tren Resistensi Patogen Penyebab ISK dari Waktu ke Waktu
Mencari tren resistensi patogen dari waktu ke waktu sangat penting untuk mengidentifikasi terapi empiris ISK yang sesuai untuk pasien anak. Penemuan terbaru disajikan dalam tabel 1. Tidak ada studi yang mencari perbedaan tren antara ISK pertama dan ISK berulang. Semua studi menunjukkan peningkatan laju resistensi dari waktu ke waktu paling tidak pada satu antibiotik, meskipun satu studi menunjukkan tren penurunan pada antibiotik seperti amoxicillin/klavulanat, cefuroxime, dan gentamisin. Menariknya, studi multipel menunjukkan perbedaan tren berdasarkan jenis kelamin, yang mana peningkatan tren signifikan pada laki-laki. Sebuah meta-analisis terkini menunjukkan variasi pola resistensi antibiotik pada patogen ISK. Sangat penting untuk mempertimbangkan lokasi saat analisis tren terhadap resistensi dan juga untuk menentukan tingkat kepekaan lokal dalam menentukan terapi lini pertama yang tepat. Data kepekaan dewasa dan anak-anak mungkin berbeda dan telah mengubah pilihan antibiotik empiris. Jika memungkinkan, data kepekaan pada anak-anak mesti dipisahkan dari data dewasa sebelum penginterpretasian tren resistensinya dan pengaplikasian data kepekaan pada pasien anak.
B. Faktor Risiko untuk Organisme Resistan
Identifikasi faktor risiko pasien sebagai predisposisi ISK yang disebabkan oleh organisme resisten sangat penting untuk menetapkan manajemen ISK. Beberapa pasien mungkin membutuhkan pilihan antibiotik empiris yang berbeda, dan harus menggunakan antibiotik dengan bijak pada populasi pasien tertentu. Tabel 1 menyajikan rangkuman dari beberapa studi yang telah menganalisis faktor risiko untuk pasien dengan ISK resisten termasuk ISK pertama dan ISK berulang. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa anak yang lebih muda akan memiliki faktor risiko terhadap
8
resitensi lebih tinggi dibanding anak yang lebih tua dan dewasa. Terlihat adanya hubungan antara pola resitensi dan penggunaan antibiotik secara umum dengan kategori usia. Sebagai contoh, anak umumnya menerima amoxicillin dan sefalosporin sebagai terapi berbagai penyakit infeksi, dan mereka akan memiliki resistensi patogen ISK lebih tinggi terhadap obat tersebut dibanding orang dewasa. Sebaliknya dewasa memilili resistensi yang lebih tinggi pada floroquinolone dan tetrasiklin yang dikontraindikasikan untuk anak. Hubungan antara penggunaan antibiotik dan resistensi telah ditunjukkan dalam sebuah meta-analisis terkini dari 58 studi terkait laju resistensi patogen ISK pada anak, yang mana termasuk juga pasien dengan ISK pertama dan ISK berulang. Kesimpulan studi tersebut bahwa ne gara-negara yang tidak terlibat dalam Organization of Economic Co-operation and Development memiliki laju resistensi lebih tinggi, mungkin disebabkan lebih banyak tersedianya antibiotik yang dijual bebas. Selain itu, pengumpulan data dari berbagai studi terkait paparan antibiotik sebelumnya dan temuan bahwa resep antibiotik hingga 6 bulan sebelum ISK akan menjadi faktor risiko terkena ISK yang disebabkan oleh E. coli yang resistan. Mengkombinasikan pasien yang terkena ISK pertama dan ISK berulang dalam satu analisis menyediakan gambaran yang luas dari resistensi ISK. Namun faktor-faktor risiko cenderung berbeda antara populasi pasien tersebut yang unik, dan mungkin berbeda jauh saat mencoba untuk mengidentifikasi pasien yang berisiko terkena ISK yang disebabkan organisme penghasil beta-lactamase spektrum luas.
C. Faktor Risiko Terjadinya Resistensi Pada ISK Pertama
Telah dilaporkan bahwa mayoritas (71-92%) anak-anak <2 tahun dengan ISK pertama tidak akan mengalami ISK berulang dalam 1-2 tahun. Maka dari itu, penting untuk mengetahui apa faktor risiko yang unik yang ada pada pasien dengan ISK pertama kali. Faktor risiko mayor teridentifikasi dalam dua studi terkini yang topiknya disajikan dalam tabel 2. Adanya kaitan usia sebagai faktor risiko, studi dari Philadelphia, USA, dari tahun 2001 sampai 2006 menemukan bahwa pasien usia di bawah 1 tahun memiliki faktor risiko lebih tinggi terhadap resitensi ampisilin dibandingkan usia 1-4 tahun. Studi di Italia dari tahun 2007 hingga 2009 menemukan bahwa tidak ada perbedaan dalam resistensi terhadap ampisilin, TMP/SMX, atau
9
amoxicilin/clavulanat antara pasien usia 2-12 bulan dan 13-48 bulan. Penting dicatat bahwa studi selanjutnya untuk membandingkan laju resistensi antara dua grup tanpa mengontrol faktor-faktor lain. Studi di Philadelphia juga mengidentifikasi ras kulit hitam memiliki risiko lebih tinggi dibanding ras kulit putih, dan perempuan berisiko lebih tinggi dibanding laki-laki. Faktor risiko terkuat untuk resistensi ampisilin dan amoxicilin/clavulanate adalah paparan amoxicilin sebelumnya. Paparan antibiotik sebelumnya juga berkaitan dalam studi terhadap paparan antibiotik intrapartum dan resistensi patogen penyebab ISK. Studi ini menemukan bahwa neonatus dan bayi 7 sampai 90 hari dengan ISK pertama, memiliki risiko terjadinya resistensi lebih tinggi terhadap cefazolin dibandingkan anak yang mengalami ISK tetapi tidak terpapar antibiotik intrapartum (75 % vs 23,5%). Studi ini bertujuan untuk menganalisis semua bakteri infeksi dan hanya ditemukan perbedaan yang signifikan pada subgrup ISK. Menariknya, antibiotik yang tersering diberikan intrapartum adalah ampisilin (lebih dari 90%). Penting untuk dicatat bahwa resistensi pada 3 studi sebelumnya, memfokuskan patogen yang resisten terhadap amoxicillin dan/atau amoxicillin/clavulanate. Resistensi amoxicillin secara historikal tinggi pada sebagian besar ISK akibat gram negatif dan maka dari itu, amoxicillin tidak dianggap sebagai salah satu agen terapi empiris lini pertama untuk ISK. Untuk antibiotik lainnya, laju resistensi pada ISK pertama secara umum dilaporkan sebesar 15-22% untuk TMP/SMX, 6-17% untuk amoxicillin/clavulanate, 7-75% untuk cefazolin (75% hanya untuk pasien yang telah terpapar antibiotik sebelumnya), dan =< 1% untuk sefalosporin generasi 3 atau 4, nitrofurantoin dan gentamisin.
D. Faktor Risiko Terhadap Organisme Resisten Pada Pasien ISK Berulang
Ketika membandingkan pasien dengan ISK pertama kali dengan ISK berulang, maka kemungkinan dan bentangan resistensi antibiotiknya semakin meningkati. Setiap studi yang teridentifikasi di dalam table 2 memperlihatkan laju yang tinggi untuk resistensi paling tidak pada satu antibiotik dengan ISK berulang. Sebuah studi dari Yunani menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis untuk ISK berulang sangat berhubungan dengan kejadian resistensi dibandingkan ISK berulang. Selain itu, studi oleh RIVUR, yang diselesaikan di beberapa pusat
10
di AS, mengilustrasikan tingkat resitensi yang lebih tinggi pada pasien dengan vesikouretral refluks yang menerima antibiotik pofilaksis untuk ISK berulang (pada studi ini digunakan TMP/SMX). Menariknya, follow-up yang dilakukan studi RIVUR ini, resistensi terhadap TMP/SMX berkurang dari waktu ke waktu selama 2 tahun studi tersebut. Satu alasan yang mungkin untuk temuan ini adalah berkurangnya tingkat kepatuhan partisipan. Studi ini juga memperlihatkan hubungan antara paparan antibiotik sebelumnya dan perkembangan resistensi patogen penyebab ISK.
E. Faktor Risiko untuk Organisme Penghasil Beta-Lactamase Spektrum Luas
Tantangan yang unik dihadapi oleh para praktisi klinis, ahli farmasi, dan ahli mikrobiologi terhadap organisme penghasil beta-lactamase spektrum luas atau ESBL (Extended Spectrum Beta-Lactamase). Enzim ESBL mampu menghidrolisis penisilin, sefalosporin, dan monobactam, dan dapat ditransfer melalui plasmid antar-strain bakteri dan juga antarspesies bakteri yang berbeda. Organisme penghasil ESBL ini diidentifikasi sebagai patogen yang kemungkinan didapat di RS, sedangkan organisme penghasil ESBL yang didapat dari komunitas masih jarang meynebabkan infeksi pada pasien anak-anak, meskipun begitu prevalensinya mulai meningkat. Berdasarkan kepekaannya, antibiotik empiris yang umum digunakan untuk terapi ISK mungkin tidak sesuai untuk organisme penghasil ESBL, dan mungkin terapi yang hanya tersedia sebagai pilihan adalah terapi intravena. Hal tersebut memicu tingkat rawat inap dan/atau lamanya rawat inap. Mengidentifikasi faktor risiko pasien yang mengalami ISK berulang akibat infeksi organisme penghasil ESBL menjadi lebih penting untuk menentukan terapi antibiotik empiris yang sesuai. Sebuah studi case-control yang besar di Israel membandingkan antara anak-anak dengan ISK akibat organisme penghasil ESBL yang didapat dari komunitas dengan yang bukan akibat organisme penghasil ESBL dengan analisis regresi. Studi tersebut mengidentifikasi faktor risiko untuk ISK akibat ESBL didapat dari komunitas adalah profilaksis ISK, rawat inap terakhir, dan Klebsiella sebagai pathogen penyebabnya. Studi di Turki mengidentifikasi faktor risiko pada bidang klinis nefrologi anak yaitu usia di bawah satu
11
tahun dan ISK berulang. Rawat inap sebelumnya dan profilaksis sefalosporin juga diidentifikasi sebagai faktor risiko pada pasien di bawah usia 1 tahun Tiga studi retrospektif mengulas faktor risiko yang berhubungan dengan ISK akibat organisme penghasil ESBL dibandingkan dengan ISK non-organisme penghasil ESBL, namun tidak melakukan analisis regresi untuk mengendalikan faktor lainnya. Studi dari AS mendemonstrasikan lamanya waktu rawat inap sebelum kultur positif, penggunaan antibiotik sebelumnya, dan riwayat dirawat di ICU. Metode pengumpulan urin tidak dideskripsikan dengan baik. Studi di Yunani, menunjukkan bahwa vesikouretra refluks grade 3 atau lebih dan infeksi Klebsiella terjadi lebih sering pada ISK akibat organisme penghasil ESBL dibandingkan dengan ISK non-organisme penghasil ESBL. Pasien dengan penyakit neurologis, penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir, rawat inap terakhir dalam sebulan, dan riwayat inap di ICU, ditemukan sebagai faktor risiko potensial pada studi di Taiwan. Selain itu, penggunaan sefalosporin generasi 3 dan aminoglikosida berhubungan dengan pasien ISK akibat E. Coli penghasil ESBL. Literatur terbaru mengidentifikasi beberapa faktor risiko pasien yang berhubungan dengan organisme penghasil ESBL, menyebutkan bahwa anak yang lebih muda, rawat inap sebelumnya, penggunaan antibiotik sebelumnya atau profilaksis, ISK berulang, dan Klebsiella sebagai pathogen penyebab adalah faktor risiko ISK akibat patogen penghasil ESBL. Keterbatasan pada literature terbaru adalah jumlah sampel yang kecil dan tergantung pada data retrospektifnya. Mengingat rendahnya prevalensi ISK akibat organsme penghasil ESBL pada pasien anak-anak dan ukuran sampel kecil di kebanyakan penelitian, diperlukan lebih banyak data lagi untuk mengidentifikasi secara akurat populasi anak-anak yang berisiko tinggi. Berdasarkan bukti saat ini, penurunan paparan antibiotik, terutama di tahun pertama kehidupan, harus menjadi fokus untuk membantu mencegah peningkatan ISK karena organisme penghasil ESBL.
F. Ringkasan Faktor Risiko
Sudah sangat jelas bahwa ada faktor risiko yang unik pada ISK anak-anak karena patogen yang resisten. Paparan antibiotik sebelumnya tampaknya merupakan faktor risiko
12
yang sangat relevan dan harus dipertimbangkan saat pasien didiagnosis dengan ISK, dan saat seorang dokter memilih agen empiris yang sesuai. Karena sebagian besar patogen ISK juga merupakan flora normal usus, mekanisme resistensi karena paparan antibiotik sebelumnya dapat berasal dari perubahan flora pencernaan yang memilih organisme yang resisten terhadap antibiotik sebelumnya. Studi mulai meneliti hubungan antara organisme komensal usus dan patogen ISK. Sementara studi tambahan diperlukan terkait dengan topik ini, faktor risiko ini menggarisbawahi pentingnya penggunaan antibiotik secara bijaksana untuk indikasi lain pada pasien anak-anak. Mengikuti rekomendasi-rekomendasi panduan berbasis bukti (misalnya, pedoman untuk otitis media akut, sinusitis, dan bronkiolitis) dan mencegah paparan obat yang tidak perlu serta mencegah pengobatan spektrum luas yang tidak perlu akan sangat penting dalam mencegah pengembangan lebih lanjut dari patogen ISK yang resisten.
G. Implikasi Prosedur Pengujian Kepekaan Antibiotik
Uji kepekaan antibiotik adalah tes in vitro yang menentukan apakah suatu organisme peka, tahan intermediate, atau resisten terhadap antibiotik berdasarkan konsentrasi hambat minimum (MIC). Panduan untuk kinerja dan interpretasi uji ini disediakan oleh beberapa organisasi termasuk CLSI dan EUCAST, Food and Drug Administration, dan lain-lain. Anehnya, hanya spesies organisme dan antibiotik yang diuji yang digunakan untuk menafsirkan hasil kepekaan. Faktor pasien seperti usia, jenis kelamin, kompetensi sistem kekebalan tubuh, atau bahkan jenis infeksi, umumnya tidak diperhitungkan dalam interpretasi hasil uji ini. Sebagian besar rekomendasi dikembangkan untuk infeksi sistemik, yang diekstrapolasikan untuk digunakan saat menguji isolat saluran k emih. Selain itu, sering terjadi perubahan pada breakpoint MIC, yang dapat menyebabkan perubahan pada tingkat resistensi. Sebagai contoh, breakpoint untuk kepekaan organisme seperti E. coli terhadap cefazolin menurun pada tahun 2011. Perubahan ini setidaknya sebagian bertanggung jawab atas peningkatan dramatis tingkat resistensi patogen ISK anak-anak di Taiwan. Selanjutnya, breakpoint ini meningkat pada tahun 2014 untuk pengujian patogen yang diisolasi dari saluran kemih.
13
Tabel 1. Studi terpilih yang menganalisis tren tingkat resistensi Penulis
Lokasi
Tahun
Hasil (Tren laju resistensi)
Edlin
US “The survaillance network”
2002-2004 vs 2009
Rose
Philadelphia dan Delaware
2000-2010
Dayan Bitsori
Israel Yunani
2007-2012 1997-2008
MohammadJafari
Iran
2006-2009
E. coli and TMP/SMX: laki-laki – 23 s.d. 31%, perempuan 23 s.d. 31% E. coli and siprofloksasin: laki-laki – 1 s.d. 10%, perempuan 0,6 s.d. 4% E. coli and sefazolin: perubahan yang minimal pada jenis kelamin E. coli and floroquinolon o Resistensi secara keseluruhan: 0 s.d. 8 % o Resistensi pada laki-laki dengan infeksi yang berhubungan dengan rawat inap: 0s.d. ~15% (di 2008, resistensi >40%) o Tidak ada beda antara infeksi rawat inap atau komunitas pada perempuan Spesies penghasil ESBL: bertambah dari 1-5% Perbedaan signifikan, hanya isolat E. coli: Perbedaan signifikan, Ceftriaxone: 0,9- 6,5% non- E. coli Ceftazidime: 0,9-6,5% Enterobacteriaceae: Zosyn: 1,8-10,8% Amoxicillin: 61,9-89,2% Nitrofurantoin: 0,9-7,1% Piperacillin/tazobactam: Penurunan terhadap amoxicillin/klavulanat 0-25,4 dan cefuroxime Nitrofuran: 38,1-64,4% Perbedaan signifikan, hanya isolat E. coli: Perbedaan signifikan, nonCeftriaxon: 10-20% E . coli: Gentamicin: 6-26% Enterobacter: cefixime 7Amikacin: 0-20% 38% Cefixime: 2-38% Gram (-) bacilli: cefixime Ampicilin: 77-80% 28-46% Asam Nalidixic: 2-16% (tidak ada kesempatan untuk cipro)
Ket: TMP/SMX: trimethoprim/sulfamethoxazole
Tabel 2. Studi terpilih yang menganalisis faktor risiko ISK akibat organisme yang resisten Penulis
Lokasi
Tahun
Studi yang mengkombinasikan ISK pertama dan berulang Mantadakis Yunani 2003-2008
McGregor
Oregon, AS
2005-2010
Jakovljevic
Serbia
2009-2010
Razaee Rose
Iran Philadelphia dan Delaware
2010-2014 2000-2010
Hasil (Tren laju resistensi)
Perbandingan dari tingat resistensi dengan kategori usia: - E. coli pada anak-anak lebih resisten pada ampicillin/ticarcillin, tapi dewasa foroquinolon - Ampicillin, amoxicillin/klavulanat, dan ticarcillin lebih resisten pada laki-laki usia 1-2 tahun dibanding perempuan Resistensi E. coli berdasarkan kategori umur; Batang gram (-) lain: Signifikan resisten pada ampicillin, Ampicillin, sefazolin, TMP/SMX Ciprofloksasin, sefazolin, tobramycin dan (resistensi pada pasien muda lebih TMP/SMX di pasien lebih muda tinggi), nitrofurantoin & tetrasiklin (rendah pada pasien lebih muda) Perbandingan resistensi berdasarkan kategori umur pada E. coli: - Rata-rata resistensi terhadap agen lini pertama lebih tinggi jika <2 tahun, tapi rendah untuk spektrum luas - MDR lebih tinggi pada <2 tahun dan laki-laki Tidak ada hasil signifikan pada resitensi antibiotik pada laki-laki E. coli dan floroqinolon: Laki-laki lebih tinggi daripada perempuan Laki-laki 1-5 tahun memilki laju resistensi lebih tinggi Rawat inap punya risiko lebih tinggi dibanding rawat jalan Resistensi floroquinolon berhubungan dengan peningkatan penggunaannya
Studi tentang faktor risiko terhadap resistensi pada ISK pertama Paschke Philadelphia, AS 2001-2006 Regresi multivariat untuk identifikasi faktor risiko: Paparan amoxicillin pada 30 hari lalu meningkatkan risiko organisme resisten ampicillin dan amoxicillin/asam klauvalanat Caracciolo Itali 2007-2009 Tidak ada beda resistensi berdasarkan usia terhadap ampicillin, TMP/SMX, atau amoxicillin/klavulanat
15
Studi membandingkan ISK pertama dengan ISK berulang atau mencari faktor risiko pasien dengan ISK berulang Bitsori Yunani 1997-2008 Resistensi terhadap uropatogen: amoxicillin/klavulanat, sefalosporin generasi 2-4, piperacillin/tazobactam, aminoglikosida, TMP/SMX, imipenem. Untuk sepsifik E. coli: lebih tinggi resistensinya terhadap ceftazidime, gentamisin dan TMP/SMX Sakran Israel 2003-2010 Semua uropatogen meningkat resistensinya terhadap cefuroxime dan nitrofurantoin pada ISK berulang dibanding yang ISK pertama RIVUR 19 klinik di AS 2007-2011 Profilaksis TMP/SMX vs placebo pada pasien VUR: - 63% resistensi TMP/SMX vs 19% placebo untuk ISK berulang pertama kali - Beda risiko pada E. coli resisten: 44% placebo vs TMP/SMX - Beda risiko untuk berbagai resistensi: 43,8%
16
Efek antibakteri didasarkan pada hubungan antara konsentrasi obat di tempat infeksi dan MIC organisme terhadap antibiotik spesifik menunjukkan jika konsentrasi obat mungkin lebih tinggi dalam urin daripada yang dicapai secara sistemik (misalnya, dalam darah, meninges, atau tulang) jika obat tersebut dieliminasi melalui ginjal, misalnya, berdasarkan sisipan paket (yang biasanya menggunakan data orang dewasa), dalam waktu 72 jam setelah dosis tunggal TMP / SMX, 84,5% dosis sulfonamida dan 66,8% dosis trimetoprim ditemukan kembali dalam urin. Konsentrasi urin dilaporkan lebih tinggi dari pada konsentrasi dalam darah, walaupun tidak ada nilai yang diberikan. Untuk cefazolin, 60% dosis diekskresikan sebagai obat yang tidak berubah dalam urin setelah 6 jam, dan 70-80% dalam waktu 24 jam. Konsentrasi urin puncak setelah dosis intramuskular 1 g pada orang dewasa dilaporkan sebesar 4000 μg / mL, namun konsentrasi serum puncak setelah dosis 1 gram IV hanya 185 μg / mL. Meskipun data konsentrasi urin terbatas untuk kebanyakan antibiotik, terutama pada populasi anak-anak, ekstrapolasi hasil uji kepekaan antibiotik yang ditujukan untuk isolat aliran darah ke isolat saluran kemih tampak bermasalah. Untuk mengatasi masalah ini, kriteria interpretasi untuk beberapa antibiotik sekarang ada secara khusus untuk saluran kemih. Misalnya, p ada tahun 2014, CLSI menerbitkan kriteria interpretif untuk pengujian isolat Klebsiella pneumoniae, E. coli, dan Proteus mirabilis yang menyebabkan infeksi saluran kemih tanpa komplikasi terhadap cefazolin. Kriteria interpretif ini berusaha mengakomodasi konsentrasi cefazolin yang lebih tinggi yang dicapai pada urin versus aliran darah, dan akibatnya, titik putus-putus saluran kemih delapan kali lebih tinggi (2 vs 16 μg / mL untuk air kencing). Demikian pula, EUCAST juga telah mengembangkan breakpoint yang lebih tinggi untuk Enterobacteriaceae yang menyebabkan ISK tanpa komplikasi. Contohnya meliputi amoksisilin- asam klavulanat (8 vs 32 μg / mL untuk urin), sefadroksil, sefaleksin, sefiksim, cefpodoksi, fosfomisin, nitrofurantoin, dan trimetoprim.
H. Dampak Resistensi In Vitro terhadap Hasil Klinis
Kemampuan breakpoint khusus urin untuk memprediksi secara akurat hasil pasien yang belum dievaluasi secara menyeluruh dalam kajian literatur, terutama pada populasi anak anak. Hanya empat publikasi dalam pencarian yang telah mencoba untuk mempelajari relevansi klinis uji kepekaan antibiotik (AST) untuk anak-anak dengan ISK.
Sebuah studi yang diselesaikan di Yunani memiliki 17/18 pasien yang merespons secara klinis (berdasarkan resolusi demam) dan 19/20 secara mikrobiologis yang merespon, meskipun 86% pasien pada awalnya diobati dengan antibiotik sehingga organisme tidak peka (karena penghasil ESBL) untuk rata-rata 4,5 hari. Pasien-pasien ini juga tidak berkembang menjadi penyakit jaringan parut ginjal. Di Taiwan, sebuah penelitian kedua melihat tingkat respons 48 jam (berdasarkan pada resolusi demam) meskipun resistensi didokumentasikan pada cefazolin berdasarkan kriteria CLSI yang diperbarui di tahun 2011. Tingkat respon berturut-turut 80, 79 dan 75% untuk sensitif terhadap cefazolin, -sensitif, -intermediate, dan isolat resisten. Jika diperhatikan, regimen antibiotik empiris yang digunaka n dalam penelitian ini bervariasi, dan urin bag digunakan pada bayi dan anak kecil. Dua penelitian dari Korea melihat masalah ini, tetapi juga memasukan bayi yang didiagnosis dengan ISK berdasarkan sampel yang diambil dari urin bag. Empat pasien menunjukkan respon pengobatan meskipun ada patogen yang tidak peka dalam salah satu penelitian. Pada penelitian kedua, dua pasien menanggapi pengobatan empiris meskipun mengalami resistensi in vitro. Sebelas (50%) pasien dengan organisme penghasil ESBL dipulangkan (setelah 6 hari pengobatan IV yang tepat) pada sefalosporin generasi ketiga oral, dimana organisme in vitro dianggap resisten terhadap antibiotik tersebut, dan tidak memiliki kekambuhan. S tudi ini menunjukkan respons masih dapat dicapai pada beberapa pasien dengan adanya organisme yang resistans, bahkan mungkin dengan isolat penghasil ESBL. Namun, karena ukuran sampel sangat kecil dengan keterbatasan studi yang signifikan, topik ini memerlukan penelitian tambahan. Dalam penelitian sebelumnya dengan metodologi yang lebih kuat, tingkat kegagalan pengobatan organisme tahan TMP / SMX dengan SMX / TMZ untuk ISK tanpa komplikasi pada wanita hamil dan pielonefritis pada wanita dewasa telah mengalami peningkatan kegagalan. Sementara, definisi in vitro terkini untuk organisme yang resisten dalam sampel urin tidak selalu berkorelasi dengan hasil klinis, ada kekurangan bukti berkualitas tinggi yang menunjukkan bahwa antibiotik dapat digunakan sebagai pengobatan meskipun memiliki patogen yang resisten. Penilaian klinis masih harus digunakan saat menerapkan hasil AST dalam memutuskan sebuah pengobatan.
18
KESIMPULAN
Berdasarkan bukti yang ada saat ini, tampaknya ada kecenderungan peningkatan resistensi patogen ISK pada anak-anak terhadap obat-obatan yang umum digunakan seperti amoxicillin, amoxicillin/asam klavulanat, dan TMP/SMX. Pola resistensi bervariasi antara berbagai negara dan wilayah negara. Antibiotik empiris spektrum sempit untuk ISK anak-anak harus dtentukan berdasarkan pada kepekaan lokal. Populasi pasien tertentu berisiko lebih besar terhadap resistensi daripada yang lain untuk ISK yang diakibatkan oleh organisme resisten, dengan faktor risiko yang paling meyakinkan adalah ISK berulang, dan paparan antibiotik terakhir (30-60 hari terakhir). Penggunaan antibiotik yang bijaksana untuk masalah pediatrik umum (misalnya, otitis media akut, refluks vesikoureteral, dan sinusitis) harus dilakukan semua pihak untuk membantu mencegah bertambahnya perkembangan resistensi patogen. Kemampuan penggunaan AST saat ini (termasuk yang spesifik untuk ISK) untuk memprediksi hasil pengobatan ISK anak-anak masih belum terbukti.
19