1
Skenario 4 Informed Consent Seorang anak laki-laki berumur 15 tahundibawa ke unit gawat darurat RS karena mengalami kecelakaan saat mengendarai motor. Anak tersebut dalam kondisi kritis tetapi belum ada keluarganya yang dating. Kemudian dokter memutuskan untuk segera melakukan tindakan.kecelakaan yang dialami anak tersebut cukup parah terutama tungkai kanannya sehingga harus diamputasi. Nyawa Nyawa anak tersebut ternyata dapat diselamatkan tetapi keluarganya sangat marah karena tungkai kanannya diamputasi tanpa informed consent dari dari mereka. Mereka yakin anak itu akan depresi karena ia seorang atlet sepakbola disekolahnya.
STEP 1 1. Amputasi
: pemotongan sebagian/seluruh tubuh karena ketidakaktifan sel tubuh tersebut.
2. UGD
: tempat pertama penanganan medis saat keadaan gawat darurat.
3. Depresi
: kondisi lebih dari keadaan sedih akibat tekanan dari dalam dan luar.
4. Informed consent
: kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang dilakukan kepada dirinya.
5. Kondisi kritis
: kondisi yang mengancam nyawa seseorang.
6. Tungkai bawah
: system organ gerak dari bagian atas paha sampai telapak kaki yang berfungsi sebagai penopang tubuh.
STEP 2 1. Sebutkan dan jelaskan bentuk informed consent ! 2. Tujuan, dasar hukum informed consent, payung hukum bagi dokter ? 3. Syarat sah informed consent ? ? 4. Landasan informed consent ? ?
2
5. Apakah informed consent dapat dapat dibatalkan ? 6. Fungsi informed consent ? ? 7. Apakah ada informed consent khusus khusus anak-anak ? 8. Siapayang boleh melakukan informed consent kepada kepada pasien ? 9. Tindakan apa saja yang memerlukan informed consent ? ? 10. Mengapa dokter melakukan amputasi tanpa informed consent ? ? 11. Pengecualian tindakan informed consent ? ? 12. Persyaratan untuk melakukan amputasi ? 13. Kemungkinan yang terjadi setelah amputasi ? 14. Apakah keluarga pasien dapat menuntut dokter ? STEP 3 1. Tersurat dan tersirat. 2. Tujuan
Memberi informasi kepada keluarga
Menentukan sikap atas tindakan medis yang mengandung resiko.
Melindungi pasien dari tindangan malpraktek.
Tercantum dalam UUD No.29 tahun 2004 tentang tindakan m edis.
Tercantum dalam UUD No.44 tahun 2009 tentang rumah sakit.
3. Dokter memberi informasi yang jelas.
Alternatif lain selan tindakan operasi.
Kondisi pasien sudah sadar dan sudah mengerti.
Kondisi pasien yang didasarkan atas persetujuan pasien.
Dilakukan secara sukarela.
Pasien mengerti akan tindakan yang akan dilakukan.
Dokter memberi informasi yang jelas.
4. UU No.29 tahun 2009 5. Bisa, setelah dokter memberi informasi lengkap dan jika sudah mengetahui resiko medis kemudian pasien tidak setuju atas resiko yang akan ditanggung.
3
6. Bagi dokter :
Membuat rasa aman.
Perlindungan hukum.
Bagi pasien :
Penghargaan pasien
Alasan pada dokter bila terjadi mal praktek.
7. Ada, yaitu keluarga/orangtua yang diberikan informed consent. 8. Memberi : petugas kesehatan. Untuk mendapat persetujuan dokter yang memberikan informed consent .
Yang berhak menyetujui informed consent: usian 21 tahun, akal sehat,keluarga pasien.
3 jenis informed consent berbeda: berbeda: orang depresi di beri obat, untuk mengurangi stress.
9. Semua tindakan medis apalagi yang harus dilakukan tindakan . 10. Karena gawat darurat. 11. Kondisi organ membahayakan nyawa pasien. 13. Cacat permanen, depresi, komplikasi dari amputasi, rasa sakit, dan infeksi. 14. Boleh karena itu merupakan hak pasien.
STEP 4 1. Diatur dalam UUD No.29 tahun 2009 pasal 29, UUD No.36 tahun 1996 ayat 6. 2. UUD No. 36 tahun 1996 3. -
Memberi informasi yang cukup jelas. Ada di UUD No.29 tahun 2009 ayat 3.
4. (Sama) 5. Bisa, asalkan sebelum ada tindakan.
4
6. Bagi dokter : -
Membuat rasa aman.
-
Perlindungan hukum.
Bagi pasien : -
Penghargaan pasien
-
Alasan pada dokter bila terjadi mal praktek.
7. Umur 17 tahun keatas dianggap dewasa, umur dibawah 17 dapat diwakili orangtuanya, atau jika sudah menikah. 8. Petugas/ tenaga kesehatan. 9. Semua tindakan medis. Informed consent :
Tersurat : ditandatangan (operasi, anastesi)
Tersirat : tanpa tandatangan (anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang).
10. Gawat darurat medik
UU No.44 tahun 2009.
PERMENKES RI 123/SK 2001 tentang praktek jiwa keselamatan.
PERMENKES RI 148/2010.
11. 12. 13. -
Phatom pain
-
Deformitas
-
Hematoma
-
Necrosis
14. Bisa. UU No.30 tahun 2014
5
Mind Maps
Informed Consent
Jenis
Syarat
UU no 29 tahun 2009 tentang praktek kedokteran
Tujuan
Fungsi
Dasar Hukum
Permenkes no 585/MENKES/PER/ IX/1989/tentang medis dan persetujuan tindakan medis
UUD 1945 pasal 28 tentang hak warga negara Pasal 36 tentang Jaminan Sosial
STEP 5 1. Dilema etik berdasarkan kaidah dasar moral/etik kedokteran ? 2. Dilema masalah etik dan kondisi psikolog pasien ? 3. Aspek hukum kesehatan informed consent terkait terkait keselamatan pasien ? 4. Dasar hukum informed consent ? ? 5. Prinsip untuk memecahkan masalah dilema etik ?
Refleksi Diri Alhamdulillah PBL pertemuan pertama dan kedua berjalan dengan lancar. Terima kasih kepada tutor yang telah membimbing kelompok kami dengan baik, terima kasih pula kepada teman teman satu kelompok atas kerjasamanya sehingga PBL skenario ke-4 ini dapat berjalan lancar pada PBL pertemuan pertama maupun ma upun
6
ke dua. Semoga atas adanya PBL informed consent ini dapat berguna bagi kita semua kedepannya.
STEP 6 “Belajar Mandiri”
STEP 7 1. Dilema etik berdasarkan kaidah dasar moral/etik kedokteran Dalam setiap pengambilan keputusan, seseorang hendaknya mampu untuk mengaplikasikan empat prinsip dasar moral ( the four moral principles ). Dalan kutipannya Sofwan Dahlan (2007) menyebutkan bahwa :Menurut Beauchamp dan Childress ( 1983), keempat prinsip moral tersebut terdiri dari :
Beneficence : Prinsip beneficence merujuk pada perbuatan yang baik ( to do good ). Dengan prinsip ini maka setiap bentuk keputusan, termasuk keputusan bidang kesehatan, selayaknya mempertimbangkan keuntungan bagi individu sasaran.(Dahlan, 2007)
Non-maleficence : Prinsip nonmaleficence menghendaki agar setiap keputusan untuk melakukan perbuatan tertentu ( meliputi tindakan dibidang medis) tidak merugikan individu dimana perbuatan itu dilakukan ( to do no harm). harm) . (Dahlan, 2007)
Autonomy : Prinsip autonomy merujuk pada hak individu sasaran untuk membuat keputusan menyangkut kepentingannya sendiri. Namun harus difahami bahwa autonomy konsumen punya batas dan tidak boleh mengganggu autonomy profesional. autonomy profesional. Profesi juga punya autonomy yang pada batas tertentu tidak boleh diganggu gugat. Dalam kaitannya dengan pasien
7
misalnya, autonomy berarti
hak
pasien
untuk membuat
keputusan atas layanan kesehatannya sendiri ( the right to make decisions about one’shealth care ). Dengan hak tersebut tidak berarti pasien bebas meminta layanan kesehatan menurut keinginannya.
Atas
dasar
itu
autonomy pasien
wajib
dikendalikan dan dikontrol oleh prinsip-prinsip moral lainnya (seperti beneficence dan nonmaleficence) nonmaleficence) serta autonomy profesional. (Dahlan, 2007)
justice( as a fairness maupun as a distributive Justice : Prinsip justice justice ) Menunjukkan adanya kewajiban yang adil kepada semua
orang.
Prinsip
ini
juga
mencerminkan
adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban, sehingga tidaklah adil menempatkan tanggungjawab yang besar kepada dokter dan perawat tanpa diimbangi oleh haknya yang seimbang. Justice juga berarti adanya kewajiban untuk memperlakukan sama kepada setiap orang dalam kondisi atau situasi yang sama. (Dahlan, 2007)
Sedangkan menurut Catalano, JT (1991), keempat prinsip moral tersebut terdiri dari : - Beneficence - Fidelity - Autonomy - Justice Prinsip beneficence merujuk pada perbuatan yang baik ( to do good ). Dengan prinsip ini maka setiap bentuk keputusan, termasuk keputusan bidang kesehatan, selayaknya mempertimbangkan keuntungan bagi individu sasaran.
8
Menurut Oxford English Dictionary, Dictionary, terminologi beneficence diartikan sebagai perbuatan yang baik yang merupakan penjelmaan dari kebajikan atau kebaikan ( benevolence atau kindly feeling ) Terminologi beneficence itu sendiri berasal dari bahasa latin bene ( good, well ) dan facere ( to do ), dimana kebaikan atau kebajikan (benevolence) berakar (benevolence) berakar pada bene dan volens ( a strong wish or intention). intention) . Para fiosof yang lebih menekankan pada pendekatan rasional dan kalkulasi cenderung memilih terminologi beneficence, beneficence, sedangkan yang lebih melihat etika dalam kaitannya dengan watak dan dimensi-dimensi psikologis dari moral lebih cenderung memakai terminologi benevolence. benevolence. Beneficence sendiri dapat diartikan secara luas dan sempit. Secara luas beneficence oleh William Frankena dimaknai sebagai prinsip yang didalamnya mengandung elemen 7 pengekangan terhadap perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian, pencegahan terhadap perbuatan buruk, serta elemen peningkatan terhadap kebaikan. Childress mengadopsi elemenelemen beneficence dari Frankena, namun ia mengklasifikasi kembali menjadi dua prinsip yang berbeda, yaitu prinsip beneficence, beneficence, dan prinsip nonmaleficence. Prinsip non maleficence menghendaki agar setiap keputusan untuk melakukan perbuatan tertentu ( meliputi tindakan dibidang medis) tidak merugikan individu dimana perbuatan itu dilakukan ( to do no harm). harm) . Bahwa Catalano tidak mencantumkan prinsip ini sebagaimana yang dilakukan Beauchamp dan Childress, karena lebih setuju dengan pendapat William frankena, bahwa prinsip nonmaleficence sudah tersirat dalam prinsip beneficence sehingga bukan merupakan prinsip moral tersendiri.
fi delity sebagai prinsip Catalano kemudian memasukan prinsip fid moral, yang mewajibkan setiap profesional menunjukkan kecermatan, kejujuran, kepatuhan dan kesetiaan terhadap tanggungjawab yang diembannya. Prinsip ini dinilai olehnya sebagai elemen kunci dari akontabilitas.
9
Prinsip autonomy merujuk pada hak individu sasaran untuk membuat keputusan menyangkut kepentingannya sendiri. Namun harus difahami bahwa autonomy konsumen punya batas dan tidak boleh mengganggu autonomy profesional. Profesi juga punya autonomy yang pada batas tertentu tidak boleh diganggu gugat. Dalam kaitannya dengan pasien misalnya, autonomy berarti hak pasien untuk membuat keputusan atas layanan kesehatannya sendiri ( the right to make decisions about one’shealth care ). Dengan hak tersebut tidak berarti pasien bebas meminta layanan kesehatan menurut keinginannya. Atas dasar itu autonomy pasien wajib dikendalikan dan dikontrol oleh prinsip-prinsip moral lainnya (seperti beneficence dan nonmaleficence) nonmaleficence) serta autonomy profesional.
2. Dilema etik dan kondisi psikologis pasien : Psikologi klinis dalam menangani pasien dengan masalah psikologis dalam berobat
Psikologi klinis merupakan cabang Psikologi yang berfokus pada penanganan, penganalisisan, dan diagnosa penyakit-penyakit jiwa. Lahan kerja Psikologi klinis meliputi banyak hal, mulai dari kelainan emosi jangka pendek, seperti konflik keluarga, hingga kelainan mental yang sangat parah seperti schizophrenia. schizophrenia. (Kassin, 2008)
Spesifikasi Psikolog Klinis
Ada banyak bidang spesifikasi di Psikologi klinis. Misalnya, spesifikasi penanganan masalah-masalah seperti fobia dan depresi. Ada juga spesifikasi mengenai cara menangani kelompok populasi tertentu, semisal, anak-anak, remaja, orang dewasa, manula, atau kelompok minoritas. Para psikolog klinis ini juga yang biasanya melakukan pengujian terhadap t erhadap kepribadian (personality test), tes intelijensia (tes IQ), atau tes pada sikap dan tingkah laku (aptitude test) yang biasa diberikan pada para pencari kerja ataupun yang akan dipromosikan ke jenjang karir
10
yang lebih tinggi. Tes minat dan bakat juga biasa dilakukan oleh para psikolog klinis ini. Para psikolog klinis mencari solusi pemecahan masalah yang dihadapi pasiennya dengan cara psikoterapi. Psikoterapi yang dijalani dengan cara komunikasi verbal ataupun melalui hipnotis dan peralatan lainnya seperti pendulum dan peralatan elektronik lainnya. Beda dengan seorang psikiatris atau dokter jiwa yang juga menangani bidang kelainan mental, tapi juga merupakan seorang dokter sehingga bisa meresepkan obat untuk para pasiennya. Psikolog klinis tak bisa meresepkan apalagi memberi obat kepada pasiennya. (Kassin, 2008)
Pendekatan dalam Psikologi Klinis
Menurut Kassin (2008), ada beberapa pendekatan yang biasa dipakai dalam penanganan pasien. Setiap pendekatan tersebut bergantung pada keadaan pasien dan dari hasil diagnosa sebelumnya. Diantara pendekatan tersebut, adalah:
Psychodynamic Psychodynamic Therapy
Pendekatan ini mencoba untuk membantu pasien yang kehilangan motivasi, baik motivasi hidup, motivasi belajar, motivasi ingin maju melalui penelusuran penyebab hilangnya motivasi tersebut. Model terapi ini adalah psycholoanalysis yang dikembangkan oleh Sigmund Freud.
Humanistic Therapy
Pendekatan ini berusaha mencari kondisi yang sangat tepat agar pasien dengan leluasa l eluasa bisa mengutarakan permasalahannya dengan santai
dan
tanpa
tekanan.
Setelah
pasien
mengemukakan
permasalahannya, psikolog klinis kli nis akan menggiring pasiennya p asiennya agar mampu menganalisis permasalahannya sendiri dan menemukan cara menghadapi masalah tersebut.
11
Behavioral Therapy
Pendekatan ini berfokus pada pemberian kondisioning yang dapat mengubah cara pandang pasien terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya.
Cognitive Therapy
Pendekatan ini mengajak pasien agar bisa menggunakan logikanya dalam berpikir dan tidak terlalu melibatkan emosi dan perasaan. Psikolog klinis akan memberikan banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh pasien. Setelah itu jawaban pasien akan dianalisis. Selanjutnya pasien diajak berdiskusi mengenai jawabannya dan ditunjukkan mana jawaban dari soal-soal yang masih terlalu menggunakan perasaan bukan logika. Cara berpikir yang lebih rasional dan adaptif adalah tujuan dari terapi ini.
Eclectic
Teknik terapi yang menggabungkan berbagai pendekatan dalam menangani
pasiennya.
Teknik
ini
sangat
customized
–
menyesuaikan keadaan pasien. pasien.
3. Aspek hukum informed consent terkait keselamatan pasien
Menurut PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU No 29 Tahun 2004 Pasal 45 serta Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008, maka Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes No 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting. Dalam hubungan hukum,
12
pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien) bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban, sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang bernilai dan be rmanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak. Dalam masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis, disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter, juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata, hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan. Untuk itu, sebagai calon dokter gigi, perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent yang sah secara hukum.
4. Dasar hukum Informed hukum Informed Consent a. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang menyebutkan : 3) Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hokum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. 4) Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien. 5) Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. b. Permenkes
nomor
585/Menkes/Per/IX/1989
tentang
Persetujuan
Tindakan Medis; yaitu : 1)
Bab II ( Persetujuan )
Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapatkan persetujuan.
13
Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau lisan.
Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang akurat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang ditimbulkannya.
Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.
Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko
tinggi
harus
dengan
persetujuan
tertulis
yang
ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
2)
Bab III ( Informasi)
Pasal 4 ayat (1) : Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta.
Pasal 4 ayat (2) : Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.
Pasal 4 ayat (3) : Dalam hal sebagaimana dimaksud ayat (2), dokter
dengan
informasi
persetujuan
tersebut
kepada
pasien keluarga
dapat
memberikan
terdekat
dengan
didampingi oleh seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi.
Pasal 5 ayat (1) : Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan medis yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
Pasal 5 ayat (4) : Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3), dokter dengan persetujuan pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat pasien.
14
3)
Bab IV ( Yang berhak memberikan persetujuan)
Pasal 8 ayat (1) : Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar dan sehat mental.
Pasal 8 ayat (2) : Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21 (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.
Pasal 9 ayat (1) : Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampuan (curatele), persetujuan diberikan oleh wali / curator.
Pasal 9 ayat (2) : Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan oleh orangtua / wali / curator.
Pasal 10 : Bagi pasien dibawah umur 21 (duapuluh satu) tahun dan tidak mempunyai orangtua / wali dan / atau orangtua / wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh keluarga terdekat atau induk semang (guardian).
c. Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, yaitu :
Pasal 45 ayat (1) : Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang akan dilakukan oleh pasien harus mendapatkan persetujuan.
Pasal 45 ayat (2) : Persetujuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
Pasal 45 ayat (3) : Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup : 1) diagnosis dan tatacara tindakan medis; 2) tujuan tindakan medis yang dilakukan;
15
3) alternatif tindakan lain dan risikonya; 4) risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan 5) prognosis terhadap tindakan yang yang dilakukan. d.
Peraturan
Menteri
Kesehatan
Nomor
1419/Menkes/Per/X/2005
tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran :
Pasal 13 ayat (1) yang berbunyi dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan
praktek
kedokteran
didasarkan
pada
kesepakatan antara dokter atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Pasal 17 ayat (1) : Dokter atau dokter gigi dalam memberikan pelayanan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi terlebih dahulu harus memberikan penjelasan kepada pasien tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan.
Ayat (2) : Tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud ayat (1) harus mendapat persetujuan pasien.
Ayat
(3)
:
Pemberian
penjelasan
dan
persetujuan
sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan per undang-undangan..
e.
Peraturan Pemerintah nomor 32 tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan Bab V tentang Standar Profesi dan Perlindungan Hukum Pasal 22 ayat (1) huruf c yang berbunyi : “Bagi tenaga kesehatan jenis tertentu dalam menjalankan tugas profesinya berkewajiban :
memberikan informasi yang berkaitan dengan kondisi dan tindakan yang akan dilakukan.
f.
Meminta persetujuan terhadap tindakan yang akan dilakukan”.
Kode Etik Rumah Sakit Indonesia (KODERSI) pada Bab III tentang
16
Kewajiban Rumah Sakit Terhadap Pasien Pasal 11 yang berbunyi : “Rumah Sakit harus meminta persetujuan pasien (Informed Consent) sebelum melakukan tindakan medik”. g.
Penjelasan Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran : 1) Pasal 45 ayat (1) yang dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan.
Persetujuan tindakan medis dapat dilakukan oleh bukan pasien dalam hal : − Pasien berada dibawah pengampuan ( under curetale ); − Pasien anak-anak ( belum dewasa ); − Pasien tidak sadar.
Yang berhak berhak mewakili pasien dalam 3 (tiga ) keadaan diatas adalah : − Keluarga terdekat antara lain : suami / istri, ayah/ibu kandung, anak-anak kandung, saudara saudara kandung. − Bila keluarga tidak ada, maka penjelasan diberikan kepada yang mengantar pasien.
Apabila tidak ada yang mengantar dan tidak ada keluarganya maka dalam keadaan gawat darurat untuk menyelamatkan jiwa pasien tidak diperlukan persetujuan, penjelasan diberikan langsung kepada pasien ( termasuk anak-anak ) pada kesempatan pertama sesudah pasien sadar.
2) Pasal 45 ayat (2) : “Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat 1 diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap”.
17
h.
KUHPerdata Pasal 1321 bahwa “Tiada sepakat sepaka t yang sah apabila kesepakatan itu diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
5. Prinsip dalam menangani masalah dilema etik a. Otonomi Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis dan memutuskan. Orang dewasa dianggap kompeten dan memiliki kekuatan membuat keputusan sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan atau pilihan yang dihargai. Prinsip otonomi ini adalah bentuk respek terhadap seseorang, juga dipandang sebagai persetujuan tidak memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek profesioanal merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak hak pasien dalam membuat keputusan tentang perawatan dirinya. (Guswandi, 2005) b. Benefisiensi Benefisiensi berarti hanya mengerjakan sesuatu yang baik. Kebaikan juga memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang orang lain. Kadang-kadang dalam situasi pelayanan kesehatan kebaikan menjadi konflik dengan otonomi. (Guswandi, 2005)
c. Keadilan (justice) Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terapi yang sama dan adil terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan . Nilai ini direfleksikan dalam praktek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang benar sesuai
18
hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan (Guswandi, 2005) d. Non malefisie Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya / cedera secara fisik dan
psikologik.
Segala
tindakan
yang
dilakukan
pada
klien.(Guswandi, 2005)
e. Veracity (kejujuran) Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh pemberi layanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap pasien dan untuk meyakinkan bahwa pasien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran. Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprehensif dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenarnya kepada pasien
tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan keadaan dirinya salama menjalani perawatan. Walaupun demikian terdapat beberapa argument mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan prognosis pasien untuk pemulihan, atau adanya hubungan paternalistik bahwa “doctor knows best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran adalah dasar dalam membangun hubungan saling percaya (Guswandi, 2005)
f. Fidelity Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya terhadap orang lain.
Perawat
setia pada
komitmennya dan menepati janji serta menyimpan rahasia pasien. Ketaatan,
kesetiaan
mempertahankan
adalah
komitmen
kewajiban
yang
dibuatnya.
seeorang
untuk
Kesetiaan
itu
19
menggambarkan kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab dasar dari perawat
adalah
untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit, memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan. (Guswandi, 2005)
g. Kerahasiaan (confidentiality) Aturan dalam prinsip kerahasiaan ini adalah bahwa informasi tentang klien harus dijaga privasi-nya. Apa yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tak ada satu orangpun dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijin kan oleh klien dengan bukti persetujuannya. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaikannya pada teman atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dicegah. (Guswandi, 2005)
h. Akuntabilitas (accountability) Prinsip ini berhubungan erat dengan fidelity yang berarti bahwa tanggung jawab pasti pada setiap tindakan dan dapat digunakan untuk menilai
orang lain. Akuntabilitas merupakan standar yang
pasti yang mana tindakan seorang professional dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. te rkecuali. (Guswandi, 2005)
20
Daftar pustaka
Dahlan, S. 2007. 2007 . Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Dokter . Dokter . Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang Guwandi,J. (2005). Hospital (2005). Hospital Law (Emerging doctrines & Jurisprudence). Jakarta: Jurisprudence). Jakarta: Balai penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia . Kassin, CA. 2008 How 2008 How to Treat and Respect Patient as a Capable Human Being Being : Clinical Psychology. Psychology. Hempshire : Earthscan USU.Tanpa Tahun. BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Informasi Dalam Persetujuan TindakanMedik.http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24762/4/ Chapter%20II.pdf. 9 Oktober 2015 (14:22) Wardhani, RK. 2009. Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis ( Informed Consent) di RSUP Dr. Karyadi Semarang. Tesis. Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro. Semarang. 141 hal