Informed consent
A. Pengertian
Informed Consent merupakan proses komunikasi antara tenaga kesehatan dan
pasien tentang kesepakatan tindakan medis yang akan dilakukan dokter
atau perawat selaku tenaga medis terhadap pasien yang kemudian
dilanjutkan dengan penandatanganan formulir Informed Consent secara
tertulis. Hal ini didasari atas hak seorang pasien atas segala sesuatu
yang terjadi pada tubuhnya serta tugas utama tenaga kesehatan dalam
melakukan upaya penyembuhan pasien.
Tujuan pemberian informasi secara lengkap mengenai penyakit serta
tindakan medis yang akan dilakukan adalah agar pasien bisa menentukan
sendiri keputusannya sesuai dengan pilihannya sendiri. Pengetahuan dan
faktor pendidikan juga mempengaruhi pemahaman pasien. Hal ini disebabkan
karena adanya kesenjangan pengetahuan yang dimiliki dokter dengan
pengetahuan yang dimiliki oleh pihak pasien. Bentuk persetujuan pasien
untuk dilakukannya pasien juga dipengaruhi komunikasi antara tenaga
medis dan pasien. Bentuk komunikasi sendiri terdiri dari 2 jenis
persetujuan, yaitu langsung dan tidak langsung. Persetujuan langsung
dapat berbentuk persetujuan lisan maupun tulisan. Biasanya, semakin
invasif (pelibatan operasi/memasukkan suatu peralatan ke dalam tubuh
pasien) dan atau semakin besar potensi resiko terhadap pasien maka
semakin besar pula kebutuhan terhadap persetujuan tertulis.
Persetujuan tidak langsung terjadi apabila ada interaksi nonverbal yang
menunjukkan persetujuan tindakan kesehatan. Persetujuan ini disebut
Implied Consent atau Persetujuan Tersirat, Dalam kondisi darurat: pasien
tak mungkin diajak komunikasi, keluarga tak ditempat (Permenkes
585/1989, Pasal 11) Presumed consent. Contohnya klien yang memposisikan
badannya untuk disuntik dan atau mengisyaratkan persetujuan tidak
langsung untuk dilakukannya pemeriksaan fisik atau organ-organ vital,
dengan kata lain gestur badan yaitu komunikasi nonverbal antara tenaga
kesehatan dan pasien adalah persetujuan tidak langsung. Perseujuan tidak
langsung juga dapat terjadi apabila kondisi fisik individu tidak
memungkinkan untuk mengungkapkan atau mengambil keputusan adanya
tindakan atau tidak, kondisi seperti ini sering terjadi dalam kondisi
kegawatdaruratan.
Informed consent untuk terapi medis dan pembedahan adalah tanggungjawab
tenaga prosedural seperti dokter, termasuk perawat praktisi atau perawat
non praktisi, perawat anestesi, perawat bidan dan perawat yang melakukan
asuhan keperawatan. Menjaga tetap adanya komunikasi dua arah antara
pasien dan tenaga medis adalah yang terpentig, penejalasan prosedural,
memastikan pemahaman pasien dan mendapat persetujuan atau izin pasien
juga harus diperhatikan.
Pedoman umum yang harus dijelaskan
1. Tujuan adanya tindakan
2. Segala resiko yang akan timbul bila dilakukan tindakan
3. Manfaat yang diharapkan dan kerugian kemungkinan alternatif terapi
(bila tidak dilakukan tindakan)
Tiga elemen Informed consent
1. Threshold elements
Pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten
disini diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis. Dari
sama sekali tidak memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang
penuh. Diantaranya terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat
keputusan tertentu (keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang
reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila telah dewasa,
sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah pengampuan.
Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah pernah
menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten adalah
apabila mempunyai penyakit mental sehingga pengambilan consent
terganggu.
2. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman).
Pengertian "berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian
rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat".
Dalam hal ini, seberapa "baik" informasi harus diberikan kepada pasien,
dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
a. Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an
informasi ditentukan bagaimana "biasanya" dilakukan dalam komunitas
tenaga medis.
Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di atas
tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang
"tidak bermakna" (menurut medis) tidak diinformasikan, Informasi yang
seharusnya itu berarti untuk sisi sosial namun dianggap tidak harus
disampaikan.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus
memadai untuk pasien tersebut dalam membuat keputusan.
Kesulitannya adalah mustahil (dalam hal waktu/kesempatan) bagi
profesional medis memahami nilai-nilai yang secara individual
dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya,
yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan umumnya orang awam.
3. Elemen dari Persetujuan
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi ataupun
paksaan. Pasien juga harus bebas dari "tekanan" yang dilakukan tenaga
medis yang bersikap seolah-olah akan "dibiarkan" apabila tidak
menyetujui tawarannya.
Consent dapat diberikan :
a. Dinyatakan (expressed)
1. Dinyatakan secara lisan
2. Dinyatakan secara tertulis.
Pernyataan tertulis diperlukan apabila dibutuhkan bukti di kemudian
hari, umumnya pada tindakan yang invasif atau yang beresiko
mempengaruhi kesehatan penderita secara bermakna. Permenkes tentang
persetujuan tindakan medis menyatakan bahwa semua jenis tindakan
operatif harus memperoleh persetujuan tertulis.
b. Tidak dinyatakan (implied)
Pasien tidak menyatakannya, baik secara lisan maupun tertulis, namun
melakukan tingkah laku (gerakan) yang menunjukkan jawabannya.
Meskipun consent jenis ini tidak memiliki bukti, namun consent jenis
inilah yang paling banyak dilakukan dalam praktik sehari-hari.
Misalnya adalah seseorang yang menggulung lengan bajunya dan
mengulurkan lengannya ketika akan diambil darahnya.
c. Proxy Consent
Adalah consent yang diberikan oleh orang yang bukan pasien itu
sendiri, dengan syarat bahwa pasien tidak mampu memberikan consent
secara pribadi, dan consent tersebut harus mendekati apa yang
sekiranya akan diberikan oleh pasien (bukan baik untuk orang
banyak).
Umumnya urutan orang yang dapat memberikan proxy consent adalah
suami/istri, anak, orang tua, saudara kandung, dst.
Proxy consent hanya boleh dilakukan dengan pertimbangan yang matang
dan ketat.
B. Fungsi Informed Consent
Menurut Katz & Capran, fungsi informed Consent :
1. Promosi otonomi individu.
2. Proteksi terhadap pasien dan subjek.
3. Menghindari kecurangan, penipuan dan paksaan.
4. Mendorong adanya penelitian yang cermat.
5. Promosi keputusan yang rasional
6. Menyertakan publik.
C. Keluhan
Keluhan pasien tentang proses informed consent :
1. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
2. Perilaku dokter yang terlihat terburu-buru atau tidak perhatian, atau
tidak ada waktu untuk tanya – jawab.
3. Pasien sedang dalam keadaan stress emosional sehingga tidak mampu
mencerna informasi
4. Pasien dalam keadaan tidak sadar atau mengantuk.
Keluhan dokter tentang informed consent
1. Pasien tidak mau diberitahu.
2. Pasien tak mampu memahami.
3. Resiko terlalu umum atau terlalu jarang terjadi.
4. Situasi gawat darurat atau waktu yang sempit.
D. Landasan Hukum
PerMenKes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/ 1989 persetujuan tindakan medik/
informed consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien atau
keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medik yang dilakukan
terhadap pasien tersebut. Tindakan terhadap pasien berupa diagnostik dan
terapeutik.
Bab II ( Persetujuan)
a. Pasal 2 ayat (1) : Semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien harus mendapatkan persetujuan.
b. Pasal 2 ayat (2) : Persetujuan dapat diberikan secara tertulis atau
lisan.
c. Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1)
diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang
perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang
ditimbulkannya.
d. Pasal 2 ayat (4) : Cara penyampaian dan isi informasi harus
disesuaikan dengan tingkat pendidikan serta kondisi dan situasi
pasien.
e. Pasal 3 ayat (1) : Setiap tindakan medis yang mengandung risiko
tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh
yang berhak memberikan persetujuan.
Informed consent adalah suatu kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya
medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien
mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala
resiko yang mungkin terjadi. (Komalawati, 1989). Dari pengertian
tersebut, sebagai seorang advokat atau pelindung/pengayom juga harus
memiliki landasan hukum agar adanya kenyamanan dan ketenangan karena
memiliki payung hukum yang jelas.
Permasalahan yang terjadi adalah apakah isi dari formulir informed
consent itu sudah memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan
berkontrak serta asas mengikat sebagai undang-undang. Bahwa formulir
informed consent merupakan suatu perjanjian pelaksanaan tindakan medik
antara dokter dengan pasien atau keluarganya. Oleh karena itu, isi dari
formulir informed consent harus memenuhi syarat sahnya perjanjian secara
umum yang diatur di dalam Pasal 1320 KUH Perdata dan juga asas kebebasan
berkontrak.
Hal-hal yang harus dijelaskan oleh tenaga kesehatan
Penjelasan tentang tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) sekurang-kurangnya mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran;
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan;
c. Altematif tindakan lain, dan risikonya;
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
f. Perkiraan pembiayaan
Ketentuan Perundangan yang menjadi dasar Informed Consent adalah :
a. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyebutkan :
1. Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam
melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya.
2. Tenaga kesehatan dalam melakukan tugasnya berkewajiban untuk
mematuhi standar profesi dan menghormati hak pasien.
3. Ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
b. Dasar hukum informed consent
1. UU No. 32 Tahun 1992 tentang Kesehatan
2. Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1998 Tentang tenaga Kesehatan
3. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 159 b/Menkes/SK/Per/II/1998
Tentang RS
4. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 749A/Menkes/Per/IX/1989 tentang
Rekam medis/ Medical record
5. Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medis
6. Kep Menkes RI No. 466/Menkes/SK dan standar Pelayanan Medis di RS
7. Fatwa pengurus IDI Nomor: 139/PB/A.4/88/Tertanggal 22 Februari
1988 Tentang
8. Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 Tahun 1981 Tertanggal 16 juni
1981Tentang Bedah Mayat Klinik dan Bedah Mayat Anatomis serta
Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia
E. Pembatalan
Pembatalan apabila syarat subyektif tidak terpenuhi mengakibatkan suatu
perjanjian tidak sah secara hukum. Perjanjian akan menjadi batal apabila
salah satu pihak memohon pembatalan.
F. Penolakan (Informed Refusal)
Merupakan hak pasien/ keluarga pasien
1. Tiada satupun tenaga kesehatan yang bisa memaksa sekalipun berbahaya
bagi pasien
2. Sebaiknya pihak RS/ dokter meminta pasien/ kel menandatangani surat
penolakan terhadap anjuran tindakan medik tsb di lembaran khusus
G. Saran
1. Informed consent seharusnya tidak mengandung unsur penyalahgunaan
keadaan (undue influence) oleh pihak pembuatnya. Informed consent
haruslah memenuhi asas konsensualisme dan asas kebebasan
berkontrak serta asas mengikat seperti undang-undang.
2. Diperlukan pembaharuan dalam ketentuan Informed consent yang lebih
berpihak pada pasien.
H. Kesimpulan
4 hal yang harus diperhatikan
a. Tidak adanya paksaan
b. Kecakapan atau tanggapnya pasien terhadap penjelasan
c. Informasi yang cukup
d. Dokumentasi
A. Tidak Adanya Paksaan
Pasien tidak boleh merasa terpaksa atau merasa dipaksa agar dapat
memberikan keputusan persetujuan (informed consent) secara sukarela.
Perasaan takut penolakan terhadap profesional sering membuat pasien
merasa sungkan dan atau terpaksa dalam memberikan persetujuan;
persetujuan semacam ini bukanlah persetujuan sukarela. Pemaksaan akan
membuat keputusan tidak valid dan tidak sesuai prosedur untuk
pemenuhan pengambilan persetujuan.
B. Kecakapan atau Tanggapnya Pasien Terhadap
Pasien harus mengerti prosedur dan tindakan yang dijelaskan.
Istilah yang terlalu mendalam atau bahasa yang jarang didengar awam
akan menghambat pemahaman. Jika pasien tidak dapat membaca maka
tenaga medis harus membacakan dan dalam kondisi demikian pasien harus
tetap memahami formulir informed consent sebelum menandatanganinya.
Kecakapan disini adalah tanggapan yang dapat dijadikan landasan untuk
menentukan persetujuan dan memutuskan tindakan; ditolak atau
menerima. Jika sudah diberi penjelasan, orang dewasa yang cakap dapat
mengambil keputusan mandiri terkait kesehatan. Penentuan usia orang
dewasa disini biasanya lebih dari 18 tahun dan sadar secara
orientasi. Pasien yang bingung, diorientasi atau sedasi dianggap
tidak cakap untuk pengambilan keputusan.
C. Informasi yang Cukup
Pada awal mulanya informed consent ditulis dengan mempertimbangkan
tatanan perawatan akut. Namun, dalam perkembangannya ternyata
informed consent juga dirasa penting dalam memberikan asuhan
keperawatan dan atau tindakan medis lainnya. Informasi yang cukup
tentang penjelasan informed consent dan informasi prosedural yang
memadai akan membuat pengambilan keputusan akan tepat dan sukarela.
Konsultasi juga dapat diberikan kepada keluarga pasien; jika pasien
memang tidak cakap dalam pengambilan keputusan seperti dalam poin b.
D. Dokumentasi
Aspek yang juga tak kalah penting adalah pendokumentasian. Hak
memberikan persetujuan juga mencakup menolak dan menerima bahwa
pasien juga dapat megubah pikiran mereka. Segala bentuk kekhawatiran,
persetujuan, penolakan dan pertanyaan pasien harus didokumentasikan.
Selain itu, pada awal 1998 penganjuran untuk adanya pencatatan
pernyataan pemahaman pasien.
Contoh Informed Consent