BAB III PEMBAHASAN
3.1 HIV (Human Immunodeficiency Virus) 3.1.1 Definisi AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) yang ditandai dengan gejala menurunnya sistem kekebalan tubuh. AIDS dapat dikatakan suatu kumpulan tanda/gejala atau sindrom yang terjadi akibat adanya penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan dibawa sejak lahir. Penderita AIDS mudah diserang infeksi oportunistik (infeksi yang disebabkan oleh kuman yang pada keadaan system kekebalan tubuh normal tidak terjadi) dan kanker dan biasanya berakhir dengan kematian. 3.1.2 Epidemiologi Penularan HIV/AIDS terjadi akibat melalui cairan tubuh yang mengandung viru virus s HIV HIV yait yaitu u mela melalu luii hubu hubung ngan an seks seksua ual, l, baik baik homo homose seks ksua uall
maup maupun un
heteroseksual, jarum suntik pada penggunaan narkotika, transfuse komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV / AIDS misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana (Djoerban, 2007).
30
3.1.3 Patogenesis
Gambar 1 Proses terjadinya infeksi HIV (Siregar, 2004)
Dasa Dasarr utam utama a pato patoge gene nesi sis s HIV HIV adal adalah ah kura kurang ngny nya a jeni jenis s Limf Limfos osit it T helper/in helper/induce ducerr yang mengandu mengandung ng marker marker CD4 (sel T4) .Limfosit .Limfosit merupaka merupakan n pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung langsung dalam mengindu menginduksi ksi fungsi-fu fungsi-fungsi ngsi imunolog imunologik. ik. Kelainan Kelainan selektif selektif pada satu ,jenis ,jenis sel menyebabkan kelainan selektif pada satu jenis sel. Human Immunodeficiency Virus mempunyai mempunyai tropisme selektif selektif terhadap terhadap sel T4, karena molekul CD4 yang terdapat terdapat pada pada dindingn dindingnya ya adalah adalah reseptor reseptor dengan dengan affinitas affinitas yang tinggi untuk untuk virus ini. Setelah HIV mengikat diri pada molekul CD4, virus masuk kedalam targ target et dan dan
ia mele melepa pas s
bung bungku kusn snya ya
kemu kemudi dian an deng dengan an enzy enzym m
reve revers rse e
transcryptase ia merubah bentuk RNAnya menjadi DNA agar dapat bergabung menyatakan diri dengan DNA sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan akan mengun mengunda dang ng bahan bahan geneti genetik k virus. virus. Infeksi Infeksi oleh oleh HIV denga dengan n demiki demikian an menjadi irreversibel dan berlangsung seumur hidup. Berbeda dengan virus lain, virus HIV menyerang sel target dalam jangka lama. Jarak dari masuknya virus
31
ketubuh sampai terjadinya AIDS sangat lama yakni 5 tahun atau lebih. Infeksi oleh oleh vius vius HIV HIV meny menyeb ebab abka kan n fung fungsi si sist sistem em keke kekeba bala lan n tubu tubuh h rusa rusak k yang yang mengak mengakiba ibatka tkan n daya daya tahan tahan tubuh tubuh berku berkuran rang g atau atau hilan hilang, g, akibat akibatnya nya mudah mudah terkena terkena penyaki penyakit-pen t-penyaki yakitt lain seperti seperti penyakit penyakit infeksi infeksi yang disebab disebabkan kan oleh oleh bakteri bakteri protozoa protozoa dan jamur jamur dan juga mudah mudah terkena terkena penyaki penyakitt kanker kanker seperti seperti sarkoma kaposi. HIV mungkin juga secara lansung menginfeksi sel-sel syaraf menyebabkan menyebabkan kerusakan neurologis. (Agustina, 2004) 3.1.4 Penularan Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penya penyaki kitt yaitu yaitu sumber sumber infek infeksi, si, vehik vehikulu ulum m yang yang membaw membawa a agent, agent, host host yang yang rentan, tempat keluar kuman dan tempat masuk kuman (port’d entrée). Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lmfosit T dan sel otak sebagai organ organ sasara sasaranny nnya. a. Virus Virus HIV sanga sangatt lemah lemah dan mudah mudah mati mati dilua diluarr tubuh tubuh.. Seba Sebaga gaii vehi vehiku kulu lum m yang yang dapa dapatt memb membaw awa a viru virus s HIV kelu keluar ar tubu tubuh h dan dan menularkan kepada orang lain adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen, cairan vagina atau servik dan darah penderita (Siregar, 2004). Banya Banyak k cara cara yang yang didug diduga a menja menjadi di cara cara penul penulara aran n virus virus HIV, HIV, namun namun hingga kini cara penularan HIV yang diketahui adalah melalui: 1. Tran Transm smis isii Seks Seksua uall Penu Penula lara ran n
mela melalu luii
hubu hubung ngan an seks seksua uall
baik baik homo homose seks ksua uall
maup maupun un
heter heterose oseksu ksual al merup merupaka akan n penul penulara aran n infek infeksi si HIV yang yang palin paling g sering sering terja terjadi. di. Penulara Penularan n ini berhubun berhubungan gan dengan dengan semen semen dan cairan vagina. vagina. Infeksi Infeksi dapat dapat ditularkan dari setiap pengidap infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan pasangan seks, jumlah pasangan seks
32
dan dan jenis jenis hubun hubungan gan seks. seks. Pada Pada peneli penelitia tian n Darro Darrow w (1985 (1985)) ditemuka ditemukan n resiko resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada hubungan hubungan seksual yang dilakukan dilakukan pada pasangan pasangan tidak tidak tetap. tetap. Orang yang sering sering berhubun berhubungan gan seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi terinfeksi virus HIV (Siregar, 2004). •
Homoseksual Di duni dunia a bara barat, t, Amer Amerik ika a Seri Serika katt dan dan Erop Eropa a ting tingka katt prom promis isku kuit itas as
homoseksual homoseksual menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan krusial. Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko resiko tinggi tinggi bagi bagi penul penulara aran n HIV, HIV, khusus khususnya nya bagi bagi mitra mitra seksua seksuall yang yang pasif pasif menerima ejakulasi semen dari seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan deng dengan an muko mukosa sa rekt rektum um yang yang sang sangat at tipi tipis s dan dan muda mudah h seka sekali li meng mengal alam amii pertukaran pada saat berhubungan berhubungan secara anogenital. anogenital. •
Heteroseksual Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan
heterose heteroseksua ksuall pada promisku promiskuitas itas dan penderita penderita terbanyak terbanyak adalah adalah kelompok kelompok umur seksual aktif baik pria maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti. 2. Tran Transm smis isii Non Non Sek Seksu sual al •
Transmisi Parenteral Jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah terkontaminasi,
misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara transmisi parental ini kurang dari 1%. Darah/Produk Darah
33
Transmis Transmisii melalui melalui transfusi transfusi atau produk produk darah darah terjadi terjadi di negara-ne negara-negara gara barat sebelum tahun 1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi darah adalah lebih dari 90%. •
Transmisi Transplasental Transplasental Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai
resiko resiko sebesar sebesar 50%. Penulara Penularan n dapat dapat terjadi terjadi sewaktu sewaktu hamil, hamil, melahirk melahirkan an dan sewaktu menyusui. Penularan melalui air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah. (Siregar, 2004) Faktor risiko dari infeksi HIV ini antara lain (Mayo Clinic, 2010): 1. Melakuka Melakukan n hubunga hubungan n seksual seksual tanpa tanpa perlin perlindung dungan an Hubu Hubunga ngan n seksua seksuall yang yang tida tida terlin terlindu dungi ngi yaitu yaitu melaku melakukan kan hubun hubungan gan seksual tanpa menggunakan kondom yang terbuat dari latex atau polyurethane seti setiap ap saat saat.. Anal Anal seks seks lebi lebih h beri berisi siko ko dari daripa pada da vagi vagina nall seks seks.. Risi Risiko ko akan akan meningkat bila memiliki pasangan seksual lebih dari satu. 2. Mempun Mempunyai yai peny penyaki akitt menula menularr seksual seksual Banyak penyakit menular seksual mengakibatkan adanya luka terbuka pada genitalia. Luka ini merupakan pintu masuk infeksi HIV. 3. Mengguna Menggunakan kan obat-oba obat-obatan tan melalui melalui intravena intravena Orang yang menggunakan obat-obatan intravena sering berbagi jarum suntik. Ini akan memaparkan infeksi melalui darah 4. LakiLaki-la laki ki yang yang tidak tidak tersi tersirku rkumsi msisi si Beberapa studi menemukan bahwa tidak sirkumsisi meningkatkan risiko penularan HIV heteroseksual. heteroseksual.
34
Dari anamnesa didapatkan bahwa pasien tidak memiliki riwayat penyakit menula menularr
seksua seksual, l, berga berganti nti-ga -ganti nti pasan pasangan gan,,
atu pengg pengguna unaan an obatobat-oba obatan tan
intravena. Namun suami pasien menderita sakit yang sama yaitu batuk-batuk lama, semakin kurus, dan meninggal 3 tahun yang lalu. Sehingga Sehingga pada pasien ini HIV kemungkinan ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan suami pasien. 3.1.5 Diagnosis Penu Penula lara ran n
HIV/ HIV/AI AIDS DS
terj terjad adii
akib akibat at
mela melalu luii
cair cairan an
tubu tubuh h
yang yang
mengan mengandu dung ng virus virus HIV yaitu yaitu melalu melaluii hubung hubungan an seksua seksual, l, baik baik homos homoseks eksua uall maupun maupun heterosek heteroseksual sual,, jarum jarum suntik suntik pada pengguna penggunaan an narkotika, narkotika, transfuse transfuse komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkanya. dilahirkanya. Oleh karen karena a itu kelomp kelompok ok risiko risiko tingg tinggii terhad terhadap ap HIV/AI HIV/AIDS DS misal misalnya nya pengg pengguna una narkotika, pekerja seks komersil dan pelangganya serta narapidana (Djoerban, 2007). Untuk menegakkan diagnosis pada penderita perlu dilakukan anamnesa, peme pemeri riks ksaa aan n
fisi fisik k
dan dan
tes tes
labo labora rato tori rium um..
Apab Apabil ila a
deng dengan an
peme pemeri riks ksaa aan n
laboratorium terbukti terinfeksi HIV, baik dengan metode pemeriksaan antibodi atau pemeriksaan untuk mendeteksi adanya virus dalam tubuh maka penderita dinyatakan terinfeksi HIV. Diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans surveilans ditegakkan apabila terdapat infeksi oportunistik oportunistik atau limfosit CD4+ CD4+ kurang dari 200 sel / mm3. Untuk keperluan surveilans epidemiologi seorang dewasa ( < 12 tahun ) dianggap menderita AIDS apabila menunjukkan tes HIV positif dengan strategi pemeriksaan yang sesuai dan sekurang – kurangnya didapatkan 2 gejala mayor
35
dan 1 gejala minor dan gejala – gejala ini bukan disebabkan oleh keadaan – keadaan lain yang tidak berkaitan dengan HIV : 1. Gejala Mayor : Berat badan menurun > 10 % dalam 1 bulan, diare kronis yang berla berlang ngsun sung g lebi lebih h dari dari 1 bulan bulan,, demam demam berkep berkepanj anjan angan gan lebih lebih dari dari 1 bulan bulan,, penu penuru runa nan n
kesa kesada dara ran n
dan dan
gang ganggu guan an
neur neurol olog ogis is,,
deme demens nsia ia
atau atau
HIV HIV
ensefalopati. 2. Gejala Minor : Batuk menetap lebih dari 1 bulan, dermatitis generalisata yang gatal, adanya herpes zoster multisegmental dan atau berulang, kandidiasis kandidiasis oro – faringeal faringeal,, herpes herpes simpleks simpleks kronis kronis progresi progresif, f, limfaden limfadenopa opati ti generali generalisata sata,, infeksi infeksi jamur berulang pada alat kelamin perempuan. Pada pasien pasien ini ditemukan hasil hasil determinan determinan tes positif, adanya 2 gejala mayo mayorr yait yaitu u Bera Beratt bada badan n menu menuru run n > 10 % dala dalam m 1 bula bulan n dan dan dema demam m berkepan berkepanjang jangan an lebih lebih dari 1 bulan, bulan, sedangka sedangkan n pada gejala minor minor didapatka didapatkan n Batuk menetap lebih dari 1 bulan dan kandidiasis oro – faringeal. Sehingga pada pasien ini dapat didiagnosa sebagai HIV karena memenuhi kriteria sekurang – kurangnya didapatkan didapatkan 2 gejala mayor dan 1 gejala minor. 3.1.6 Tes HIV Pemeri Pemeriksa ksaan an labor laborato atoriu rium m untuk untuk menge mengetah tahui ui secara secara pasti pasti apaka apakah h seseoran seseorang g terinfeks terinfeksii HIV sangatla sangatlah h penting, penting, karena pada infeksi HIV gejala gejala klini klinisny snya a dapat dapat baru baru terlih terlihat at setel setelah ah bertah bertahun un – tahun tahun lamany lamanya.T a.Terd erdap apat at beberapa beberapa jenis jenis pemeriksa pemeriksaan an laborator laboratorium ium untuk untuk memastika memastikan n diagnosi diagnosis s infeksi infeksi HIV. Secara garis besar dapat dibagi menjadi : 1. Pemeriksaan serologic untuk mendeteksi adanya antibody terhadap HIV 2. Pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan virus HIV.
36
Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetic dalam darah pasien (UNAIDS,1997). Pemeri Pemeriksa ksaan an yang yang lebih lebih mudah mudah dilaks dilaksana anakan kan adala adalah h pemeri pemeriksa ksaan an terhadap antibody HIV. Sebagai penyaring biasanya digunakan teknik: 1. ELISA (enzyme (enzyme – linked immunosorbent immunosorbent assay) 2.Aglutinasi atau dot – blot immunobinding assay Meto Metode de yang yang bias biasa a digu diguna naka kan n di Indo Indone nesi sia a adal adalah ah deng dengan an ELIS ELISA A (UNAIDS,1997) Seseorang yang ingin menjalani tes HIV untuk keperluan diagnosis harus mendapatkan konseling pra tes. Hal ini harus dilakukan agar ia mendapatkan informasi yang sejelas – jelasnya mengenai infeksi HIV / AIDS sehingga dapat mengambi mengambill keputusan keputusan yang terbaik terbaik untuk untuk dirinya dirinya serta lebih siap menerima menerima apapun hasil tesnya nanti. Untuk keperluan survey tidak diperlukan konseling pra tes karena orang yang dites tidak t idak akan diberitahu hasil tesnya (UNAIDS,1997). Untuk memberitahu hasil tes juga diperlukan konseling pasca tes, baik hasil tes positif maupun negatif. Jika hasilnya positif akan diberikan informasi mengenai mengenai pengoba pengobatan tan untuk untuk memperpa memperpanjan njang g masa tanpa gejala gejala serta cara pencegah pencegahan an penulara penularan. n. Jika hasilnya hasilnya negatif, negatif, konselin konseling g tetap perlu perlu dilakuk dilakukan an untuk memberikan informasi bagaimana mempertahankan perilaku yang tidak berisiko (UNAIDS,1997). 3.1.7 Stadium Klinis WHO telah menetapkan Stadium Klinis HIV/AIDS untuk dewasa maupun anak dimana stadium klinis HIV/AIDS masing-masing terdiri dari 4 stadium. Jika
37
dilih dilihat at dari dari gejal gejala a yang yang terjad terjadii pembag pembagian ian stadi stadium um klini klinis s HIV/AI HIV/AIDS DS adala adalah h sebagai berikut (WHO, 2010): 1. Stadium 1 •
Asimptomatis
•
Lymphadenopathy Lymphadenopathy generalisata generalisata persisten
2. Stadium 2 •
Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan (dibawah 10%
dari berat •
badan yang diperkirakan) diperkirakan)
Infeksi Infeksi saluran saluran nafas nafas yang berulang berulang (sinusiti (sinusitis, s, tonsilli tonsillitis, tis, otitis otitis
media, pharyngitis) •
Herpes zoster
•
Angular cheilitis
•
Sariawan yang berulang
•
Papular pruritic eruptions
•
Dermatitis seboroik
•
Infeksi jamur pada kuku
3. Stadium 3 •
Penurunan berat badan yang parah tanpa penyebab yang jelas
(lebih dari 10% berat badan terukur) •
Diare kronis tanpa penyebab yang jelas selama lebih dari satu
bulan •
Demam yang menetap tanpa sebab yang jelas (intermittent atau
menetap selama lebih dari 1 bulan) •
Candidiasis Candidiasis oral persisten
38
•
Oral hairy leukoplakia
•
TBC Paru
•
Infeks Infeksii Paru Paru yang yang parah parah (pneum (pneumon onia, ia, empyem empyema, a, menin meningi gitis tis,,
pyom pyomyo yosi siti tis, s, infe infeks ksii send sendii dan dan tula tulang ng,, bact bacter erae aemi mia, a, seve severe re pelv pelvic ic inflammatory disease) •
Acute necrotizing ulcerative stomatitis, gingivitis atau periodontitis periodontitis
•
Anemia tanpa sebab yang jelas (dibawah 8 g/dl ), neutropenia
(dibawah 0.5 x 109/l) dan/atau thrombocytopeni kronis •
Terapi Antiretroviral untuk infeksi HIV pada dewasa dan dewasa
muda 4. Stadium 4 •
HIV wasting syndrome
•
Pneumocystis Pneumocystis jiroveci pneumonia jiroveci pneumonia
•
Pneumonia bacterial yang berulang
•
Infeksi Infeksi herpes herpes simplex simplex kronis kronis (orolabi (orolabial, al, genital genital atau anorecta anorectall
selama lebih dari 1 bulan pada daerah viseral) •
Candidiasis Candidiasis esofagus (atau candidiasis candidiasis pada trachea, bronchi atau
paru) •
Tuberculosis Tuberculosis Ekstra Pulmonal
•
Kaposi sarcoma
•
Penyaki Penyakitt Cytomega Cytomegalovi lovirus rus (retiniti (retinitis s atau infeksi infeksi pada organ lain
kecuali hepar, lien dan lymphonodi). •
Toxoplasmosis Toxoplasmosis pada system saraf pusat
•
HIV encephalopathy encephalopathy
39
•
Cryptococcosis Cryptococcosis Ekstra pulmoner termasuk meningitis
•
Disseminated Disseminated nontuberculous nontuberculous mycobacteria infection
•
Progressive multifocal leukoencephalopathy
•
Cryptosporidiosis Cryptosporidiosis kronis
•
Isosporiasis Kronis
•
Disseminated Disseminated mycosis (histoplasmosis, (histoplasmosis, coccidiomycosis) coccidiomycosis)
•
Septisemia berulang (including nontyphoidal Salmonella) Salmonella )
•
Lymphoma (cerebral or B cell non-Hodgkin)
•
Kanker Cerviks invasif
•
•
Atypical disseminated leishmaniasis HIV Simptoma Simptomatis-be tis-berhub rhubunga ungan n dengan nephrop nephropathy athy atau
HIV
Cardiomyopathy Dari data-data yang ditemukan pada pasien ini didapat penurunan berat badan badan yang yang parah parah tanpa tanpa penye penyeba bab b yang yang jelas jelas (lebi (lebih h dari dari 10% 10% berat berat badan badan teruku terukur), r), demam demam yang yang meneta menetap p tanpa tanpa sebab sebab yang yang jelas, jelas, Candi Candidia diasi sis s oral oral persisten, TB Paru, sehingga pasien ini termasuk HIV stage 3. 3.1.8 Terapi Secara umum, penatalaksanaan penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis yaitu : 1. Pengobat Pengobatan an untuk menekan menekan replika replikasi si virus HIV dengan dengan obat obat antiretrovi antiretroviral ral (ARV) 2. Pengobat Pengobatan an untuk mengat mengatasi asi berbaga berbagaii penyakit penyakit infeksi infeksi dan kanker kanker yang yang meny menyer erta taii infe infeks ksii HIV HIV / AIDS AIDS,, sepe sepert rtii jamu jamur, r, tube tuberc rcul ulos osis is,, hepa hepati titi tis, s, toksoplasma, sarcoma Kaposi, limfoma, kanker serviks.
40
3. Pengo Pengobat batan an simpto simptoma matis tis yang yang bertuj bertujua uan n untuk untuk menghi menghilan langka gkan n gejal gejalaagejala yang muncul pada pasien 4. Pengobat Pengobatan an suportif, suportif, yaitu yaitu makanan makanan yang mempun mempunyai yai nilai nilai gizi yang yang lebih baik baik dan pengo pengobat batan an penduk pendukung ung lain lain sepert sepertii dukun dukunga gan n psikos psikososi osial al dan dan dukungan agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang. Terapi Antiretroviral
Gambar 2. Algoritme Penilaian dan Monitor infeksi kronis HIV Waktu Waktu memulai memulai terapi terapi ARV harus harus dipertimb dipertimbangk angkan an dengan dengan seksama seksama karena obat ARV akan diberikan dalam jangka panjang. Berikut ketentuannya: 1. ARV dimula dimulaii pada pada semua semua pasie pasien n yang yang telah telah menunj menunjukk ukkan an gejal gejala a yang yang termasuk dalam kriteria diagnosis AIDS, atau menunjukkan gejala yang sangat berat, tanpa melihat jumlah limfosit CD4+.
41
2. ARV dimulai pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ kurang dari 350 sel / mm3. 3. ARV dimuali pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ 200 – 350 sel / mm3. 4. ARV dapat dimulai atau ditunda pada pasien asimptomatik dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel / mm3 dan viral load lebih load lebih dari 100.000 kopi/ml. 5. ARV tidak dianjurkan dianjurkan dimulai pada pasien dengan limfosit CD4+ lebih dari 350 sel/mm3 dan viral load kurang load kurang dari 100.000 kopi/ml. Tabel 1. Keadaan klinik dalam penentuan pemberian terapi ARV (WHO, 2010)
Tabel 2. Kombinasi Obat ARV untuk Terapi Inisial (Djourban, 2007) Kolom A
Kolom B
Lamivudin + zidovudin Lamivudin + didanosin
Evafirenz *
Lamivudin + stavudin Lamivudin + zidovudin Lamivudin + stavudin
Nevirapin
Lamivudin + didanosin Lamivudin + zidovudin Lamivudin + stavudin
Nelvinafir
Lamivudin + didanosin
42
* Tidak Tidak dianj dianjurk urkan an pada pada wani wanita ta hamil hamil trimes trimester ter pertam pertama a atau atau wanit wanita a yang yang berpotensi tinggi untuk hamil. Catatan : kombinasi yang sama sekali tidak boleh adalah : zidovudin + stavudin. Saat Saat ini ini regi regime men n peng pengob obat atan an ARV ARV yang yang dian dianju jurk rkan an WHO WHO adal adalah ah komb kombin inas asii
dari dari
3
obat obat
ARV. ARV.Te Terd rdap apat at
bebe bebera rapa pa
regi regime men n
yang yang
dapa dapatt
dipergunakan, dengan keunggulan dan kerugianya masing – masing.Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin zidovudin (ZDV) / lamivudin (3TC), dengan nevirapin (NVP). Pada Pada pasi pasien en ini ini dibe diberi rika kan n anti antibi biot otik ik Cotri Cotrimo moxa xazo zole le 2x96 2x960 0 mg dan dan Ceftri Ceftriaxo axone ne 2 x 1 gram gram iv untuk untuk terapi terapi infek infeksi si oport oportuni unisti stik. k. Juga Juga diberi diberikan kan Nystatin drop 4 x 3 cc untuk mengatasi oral trush. Terapi simptomatis diberikan oksigen 2-4 liter per menit melalui nasal canule karena pasien mengeluh sesak dan ambroxol 3 x 30 mg po untuk keluhan batuknya. Terapi suportif diberikan dengan pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein 2100 kkal/hari. ARV tidak langsung diberikan pada pasien ini, namun ARV diberikan setelah 25 hari yaitu Stavudin 2 x 1 tablet, Lamivudin 2 x 1 tablet, dan Efavirenx 2 x 1 tab, yang berupa kombinasi NRTI (Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor) dan NNRTI (Non Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor). 3.2 TUBERCULOSIS TUBERCULOSIS 3.2.1 Epidemiologi TB pada Pasien HIV Risiko berkembangnya berkembangnya tuberkulosis (TB) diperkirakan diperkirakan antara antara 20-37 kali kali lebih lebih besar besar pada orang yang hidup dengan dengan HIV dibandin dibandingkan gkan mereka tanpa tanpa infeksi HIV. Pada tahun 2009 ada 9,4 juta kasus baru TB, dimana 1,2 (13%) juta antara orang yang hidup dengan HIV dan dari 1,7 juta orang yang meninggal akibat TB 400.000 (24%) hidup dengan HIV. Dengan 13% dari kasus TB baru
43
dan dan 24% 24% kemati kematian an akiba akibatt TB yang yang HIV terkai terkait, t, TB adala adalah h penye penyebab bab utama utama morbiditas dan kematian di antara orang yang hidup dengan HIV dan TB tersebut tetap sebagai risiko kesehatan yang serius bagi orang yang hidup dengan HIV. 3.2.2 Patogenesis TB pada Pasien HIV Infeksi TB terjadi ketika orang dengan karier basil TB dalam tubuhnya, tetapi bakteri yang ada dalam jumlah kecil dan dorman. Dorman bakteri ini diatur oleh mekanisme pertahanan tubuh, sehingga tidak menyebabkan menyebabkan penyakit. Pada pasie pasien n denga dengan n HIV terja terjadi di penuru penuruna nan n imunit imunitas as tubuh tubuh sehing sehingga ga bakter bakterii TB dengan mudah dapat menyerang. Pada beberapa penelitian dikatakan bahwa TB menyebabkan peningkatan replikasi virus HIV di dalam tubuh, sehingga adanya infek infeksi si oport oportuni unisti stik k TB pada pada pasien pasien HIV akan akan memper memperpa parah rah HIV itu sendir sendirii (Zahra (Zahra,, 2001). 2001). TB pada pada pasie pasien n ini ini adala adalah h suatu suatu oportu oportuni nisti stik k infek infeksi, si, karen karena a pasie pasien n ini lebih lebih dulu dulu terken terkena a hiv lalu lalu manife manifesta stasi si TB muncul muncul setel setelah ah pasie pasien n terinfeksi HIV. Tabel di bawah ini menunjukkan dampak infeksi HIV pada lifetime risk dari M. tuberculosis-infected tuberculosis-infected ndividual developing TB Tabel 3. Dampak Infeksi HIV pada Lifetime Risk dari Risk dari M. Tuberculosis-Infected Tuberculosis-Infected Ndividual Developing TB (WHO, 2004) HIV STATUS negative positive
LIFETIME RISK OF DEVELOPING TB 5-10% 50%
3.2.3 Diagnosis TB dengan HIV Gambaran Gambaran klinis pasien pasien TB dengan dengan HIV/AIDS HIV/AIDS tergantun tergantung g dari derajat berat berat ringann ringannya. ya. Pada saat awal ketika imunitas imunitas masih masih baik gejala gejala TB tidak tidak banyak berbeda dengan pasien TB tanpa HIV. Misalnya terdapat keluhan batukbatuk, demam terutama sore hari, keringat malam, nafsu makan berkurang, berat
44
badan turun dan batuk darah. Bila proses telah berlanjut dengan imuniti sangat rendah maka gambaran klinik menjadi tidak khas lagi. Dengan demikian sangat penting penting mengetah mengetahui ui riwayat riwayat penyakit penyakit,, serta kemungki kemungkinan nan ada tidaknya tidaknya faktor faktor resiko, resiko, seperti seperti seks bebas, riwayat penyaki penyakitt STD, atau riwayat riwayat pengguna penggunaan an jarum suntik pada penyalahgunaan obat (Hudoyo dkk., 2008). Gejala klinik mengarah dan atau curiga pada TB-HIV, bila dijumpai proses perburuk perburukan an klinis klinis yang berlangs berlangsung ung sangat sangat cepat. cepat. Misalnya Misalnya keadaan keadaan umum umum menurun drastis, demam tinggi, dan atau timbulnya sesak nafas yang bukan oleh karena bronkospasme yang ditandai bunyi wheezing. Bila HIV/AIDS sudah lanjut tentu saja disertai disertai tanda tanda klinis klinis HIV/AIDS yang jelas. jelas. TB pada HIV sering bermanifestasi klinis sebagai proses TB ekstra paru misalnya imfadenitis, efusi pleura, efusi pericard atau TB milier. Selain itu beberapa perbedaan yang patut dicatat dicatat adalah adalah pad TB-HV gejala gejala batuk lebih jarang. jarang. Hal ini disebabk disebabkan an oleh karena jarang terjadi kaviti, proses inflamasi, endobrankial TB dan iritasi bronkus sebagai sebagai akibat akibat berkuran berkurangnya gnya aktifitas aktifitas sel-sel sel-sel mediated mediated-imu -imuniti niti.. Demikian Demikian juga juga hemoptis akibat pecahnya arteri bronkialis juga jarang terjadi pda kasus TB-HIV, karena tidak terbentuknya proses nekrosis kaseosa (Hudoyo dkk., 2008). Pemeriksaan sputum BTA tetap merupakan pemeriksaan paling penting dalam dalam penegaka penegakan n diagnosi diagnosis s TB, walaupu walaupun n di daerah daerah dengan dengan prevalen prevalensi si HIV tinggi. Penelitian yang dilakukan di sub sahara Afrika memperlihatkan pasienpasien TB paru dengan HIV ternyata BTA sputumnya positif meskipun proporsi BTA negatif dan suspeknya lebih tinggi dibanding dengan pasien HIV negatif. Jumlah Jumlah kuman kuman yang yang terkan terkandu dung ng dalam dalam sputum sputum lebih lebih sediki sedikitt sehing sehingg g pada pada pemeriksaan mikroskopik per satuan lapang pandang juga lebih sedikit. Bila ada baha bahan n lain lain sela selain in sput sputum um yang yang bisa bisa dipe diperi riks ksa, a, seba sebaik ikny nya a diki dikiri rim m untu untuk k
45
pemeriksaan BTA, misalnya feces, cairan pleura, LCS atau pus hasil aspirasi. Bila memungki memungkinkan nkan dilakuka dilakukan n juga pemeriks pemeriksaan aan biakan biakan atau kultur-res kultur-resisten istensi si (Hudoyo dkk., 2008). Pemeriksaan radiologis untuk menegakkan diagnosis penting sebagai pemeriksaan pemeriksaan penunjang. Terutama bila pemeriksaan pemeriksaan sputum BTA 3x negatif, dan pembe pemberia rian n antibi antibioti otik k sprekt sprektum um luas luas tidak tidak membe memberik rikan an respo respon. n. Gamba Gambaran ran radiologis juga tergantung dari berat ringannya HIV. Pada tahap awal atau early HIV ketik ketika a CD-4 CD-4 masih masih normal normal,, gamba gambaran ran radio radiolog logis is masih masih tipika tipikal, l, sepert sepertii infiltrate, fibrosis kaviti dan kalsifikasi dengan lokasi yang masih di apeks. Bila imunitas sudah menurun atau pada late HIV gambaran radiologis bisa berubah menjadi atipikal dengan bayangan infiltrate di inferior, atau berupa pembesaran kelenjar hilus. Manifestasi yang sering dijumpai berupa TB ekstra paru seperti efusi pleura, efusi perikard atau gabaran milier. Tetapi yang sulit kadang-kadang TB-paru pada pasien HIV gambaran foto rongent dadanya dapat normal (Hudoyo dkk., 2008). Berikut ini adalah alur diagnosis TB pada pasien HIV positif:
46
Gambar 3. Algoritme Diagnosis TB pada Pasien dengan HIV (CDC, 2007) Pada pasien ini didapatkan keluhan batuk sejak 4 bulan sebelum masuk rumah sakit disertai demam, keringat malam, penurunan nafsu makan dan berat badan. Pasien memiliki riwayat terapi OAT 2 kali dan dinyatakan sembuh. Gejala klinik mengarah dan atau curiga pada TB-HIV berupa proses perburukan klinis yang berlangsung sangat cepat yang didapatkan berupa keluhan sesak napas yang disertai wheezing. Sesak napas dirasakan pasien sejak 8 hari sebelum masuk rumah sakit. Meskipun Meskipun pada pasien pasien ini didapatk didapatkan an hasil hasil pemeriks pemeriksaan aan sputum sputum BTA negatif, namun pada gambaran radiologis didapatkan gambaran fibroinfiltrat di
47
lapang paru atas, tengah, dan bawah yang disimpulkan sebagai TB paru far advance lesion. lesion . Sehingga pada pasien ini bisa didiagnosa didiagnosa TB. 3.2.4 Terapi TB 1. Kategori 1 (2HRZE/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E). Obat-obat tersebut diberikan selama dua bulan (2HRZE). Kemud Kemudia ian n diter diterusk uskan an denga dengan n tahap tahap lanjut lanjutan an yang yang terdir terdirii dari dari INH (H) (H) dan dan Rifampisin (R), diberikan tiga kali atau setiap hari dalam seminggu selama 4 bulan selanjutnya (4H3R3). Penderita TB paru yang termasuk dalam kategori 1 adalah: a. Penderita baru TB paru dengan BTA positif b. Penderita TB paru BTA negatif, Roentgen positif yang ‘sakit berat’ c. Penderita TB ekstra paru berat 2. Kategori 2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E), dan suntikan Strep Streptom tomisi isin n (S) tiap tiap hari hari di unit unit pelaya pelayanan nan keseh kesehata atan n (UPK) (UPK) terdek terdekat at yang yang dilakukan setelah penderita menelan obat HRZE. Dilanjutkan dengan 1 bulan Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), dan Ethambutol (E) setiap hari. Setelah itu dilanjutkan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam seminggu. Penderita TB paru yang termasuk dalam kategori 2 adalah: a. Penderita kambuh (relaps ( relaps)) b. Penderita gagal (failure ( failure)) c. Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after ( after default therapy )
48
3. Kategori 3 (2HRZ/4H3R3) Tahap intensif terdiri dari HRZ yang diberikan setiap hari selama dua bulan (2HRZ), diteruskan dengan tahap lanjutan terdiri dari HR selama 4 bulan diberikan 3 kali seminggu (4H3R3). Penderita TB paru yang termasuk dalam kategori 3 adalah: a. Penderita baru TB paru dengan BTA , Roentgen positif yang ‘sakit ringan’ b. Penderita TB ekstra paru ringan (limfadenitis, pleuritis eksudativa, TB kulit, TB tulang kecuali tulang belakang, sendi, dan kelenjar adrenal). adrenal). 4. OAT Sisipan (HRZE) Bila Bila pada akhir tahap tahap intensif intensif pengobata pengobatan n penderita penderita baru BTA positif deng dengan an kate katego gori ri 1 atau atau pend pender erit ita a BTA BTA posi positi tiff peng pengob obat atan an ulan ulang g deng dengan an kategori2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan (PDPI, 2004). 3.2.4.1 Terapi TB pada pasien HIV Pada Pada dasarn dasarnya ya pengo pengobat batann annya ya sama sama denga dengan n pengo pengobat batan an TB tanpa tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat. Pemberian tiasetazon pada pasien HIV/AIDS sangat berbahaya karena akan menyebabkan efek efek toksik toksik berat berat pada pada kulit. kulit. Injeks Injeksii strep streptom tomis isin in hanya hanya boleh boleh diberi diberika kan n jika jika tersedia alat suntik sekali pakai yang steril. Desensitisasi obat (INH,Rifampisin) tidak boleh dilakukan karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati. Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap pengobatan, sela selain in dipi dipiki kirk rkan an terd terdap apat at resi resist sten ensi si terh terhad adap ap obat obat juga juga haru harus s dipi dipiki kirk rkan an terdapatnya malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar
49
OAT yang diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi ATS yaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan setelah konversi dahak. INH diberikan terus menerus seumur seumur hidup. hidup. Bila Bila terjad terjadii MDR, MDR, pengo pengobat batan an sesua sesuaii uji uji resist resisten ensi/ si/ses sesuai uai pedoman pengobatan MDR-TB (PDPI, 2009). Waktu Waktu pember pemberia ian n obat obat pada pada koinfe koinfeksi ksi TB-HIV TB-HIV harus harus mempe memperha rhatik tikan an jumlah limfosit CD4 dan sesuai dengan rekomendasi yang ada. Tabel 4. Waktu Pemberian Regimen OAT dan ARV (PDPI, 2009) Kondisi CD4 < 200 sel/mm3
Rekomendasi Mulai terapi OAT, mulai terapi ARV segera sete setela lah h tera terapi pi TB dapa dapatt dito ditole lera rans nsii (ant (antar ara a 2
CD4 200-350 sel/mm3
minggu hingga 2 bulan) Mulai terapi OAT Pertimbangan ARV: -mulai salah satu dibawah ini setelah selesai fase intensif (mulai lebih dini dan bila penyakit berat): -Paduan yang mengandung EFV (AZT atau d4T) +3TC+EFV (600 atau 800mg/hari) atau -Paduan yang mengandung NVP bila paduan TB fase lanjutan tidak menggunakan rimfapisin (AZT
CD4 > 350 sel/mm3
atau d4T)+3TC+NVP Mulai terapi TB. (tunda ARV)
CD4
Mulai terapi TB (perimbangan (perimbangan ARV)
tidak
mungkin
diperiksa
Dengan perubahan sistem imun karena ARV, pasien dengan HIV lebih jarang berkembang menjadi TB selama mendapat terapi ARV. Ketika TB muncul
50
pada pasien yang mendapat ARV, hal ini mungkin menandakan kegaalan terapi dari regimen ARV, dan/atau resistensi, atau TB yang terlewat diagnosa pada skrining awal (WHO, 2007). 1. Bila Bila TB terd terdia iagn gnos osa a pada pada awal awal 6 bula bulan n inis inisia iasi si ARV, ARV, haru harus s dian diangg ggap ap sebaga sebagaii kegaga kegagala lan n terap terapii ARV. ARV. Regim Regimen en harus harus dises disesua uaika ikan n
denga dengan n
pemberian rifampisin 2. Bila TB didiagnosa setelah terapi inisiasi ARV 6 bulan, sehingga evaluasi
harus dilakukan untuk mengeksklusi kegagalan ARV, yaitu: •
•
jumlah CD4 menilai kepatuhan terapi, bila kepatuhan baik perlu pemeriksaan
spesimen viral load dan/atau resistensi HIV •
menilai keadaan klinis dan bukti imulologis imulologis lain kegagalan terapi
•
bila tidak bisa melakukan pemeriksaan CD 4, bila TB paru maka
bukan kegagalan ARV, bila TB ekstra paru maka merupakan kegagalan ARV Berikut adalah regimen terapi bila ditemukan TB paru pada pasien yang telah mendapat ARV: Tabel 5. Regimen ARV bila Ditemukan TB Paru pada Pasien dengan ARV dan Mendapat OAT dengan Rifampisin (WHO, 2007)
51
Pada prinsip prinsipnya, nya, pemberi pemberian an OAT pasien
HIV
negatif.
Inte Interraksi
antar tar
pada odha odha tidak berbed berbeda a dengan dengan OAT
dan
ARV,
ter terutama
efek
hapatotoksisitasnya, hapatotoksisitasnya, harus sangat diperhatikan. diperhatikan. Pada odha yang telah mendapat obat ARV sewaktu diagnosis TB ditegakkan, maka obat ARV tetap diteruskan dengan evaluasi yang lebih ketat. Pada odha yang belum mendapat terapi ARV, waktu pemberian obat disesuaikan dengan kondisinya (Djourban, 2007). Tidak Tidak ada ada intera interaksi ksi bermak bermakna na antar antara a OAT denga dengan n ARV ARV golong golongan an nukleosida, kecuali didanosin (ddI) yang harus diberikan selang 1 jam dengan OAT karena bersifat sebagai buffer antasida (Djourban, 2007). Inte Intera raks ksii deng dengan an OAT OAT teru teruta tama ma terj terjad adii pada pada
ARV ARV golo golong ngan an non non
nukleosida dan inhibitor protease. Obat ARV yang dianjurkan digunakan pada odha odha deng dengan an TB yang yang bera berasa sall dari dari golo golong ngan an non non nukl nukleo eosi sida da reve revers rse e transcrip transcriptase tase inhibito inhibitorr adalah adalah efvirenz. efvirenz. Rifampis Rifampisin in dapat dapat menurunka menurunkan n kadar kadar
52
nelf nelfin inav avir ir (pro (prote teas ase e inhi inhibi bito tor) r) samp sampai ai 82% 82% dan dan dapa dapatt menu menuru runk nkan an kada kadar r nevirapi nevirapin n (NNRTI) (NNRTI) sampai sampai 37%. Namun Namun jika efavirenz efavirenz tidak tidak memungki memungkinkan nkan diberika diberikan, n, pada pemberia pemberian n bersama bersama rifampis rifampisin in dan nevirapi nevirapin, n, dosis dosis nevirapi nevirapin n tidak perlu dinaikkan (Djourban, 2007). Pada pasien ini diberikan OAT kategori 2 berupa RHZE 450/300/750/750 450/300/750/750 mg dan injek karena sebelumn sebelumnya ya didapatka didapatkan n njeksi si stre strept ptom omis isin in 1 x 750 750 mg karena riwayat pernah mendapatkan mendapatkan terapi OAT 2 kali dan sembuh. ARV pada pasien ini diberikan karena CD4 < 200 sel/mm 3. ARV pada pada pasien pasien ini berupa berupa kombina kombinasi si nucleoside reverse transcriptase inhibitor (NRTI) yaitu stavudin dan lamivudin serta non nucleosi nucleoside de reverse reverse transcript transcriptase ase inhibito inhibitorr (NNRTI)ya (NNRTI)yaitu itu efavirenz efavirenz.. Peng Penggu guna naan an tera terapi pi ini ini
dise disesu suai aika kan n
deng dengan an kond kondis isii
klin klinis is pasi pasien en yang yang
mendap mendapatk atkan an terapi terapi antitu antituber berku kulos losis is.. Pengg Pengguna unaan an stavud stavudin in dan dan lamivu lamivudi din n diber diberika ikan n karen karena a kadar kadar toksis toksisita itasn snya ya yang yang minim minimal. al. Adapun Adapun penggu penggunaa naan n efavirenz diindikasikan pada pasien ini karena pasien mendapatkan terapi OAT yaitu rifampisin yang mana sudah diketahui bahwa penggunaan efavirenz tidak banyak banyak dipenga dipengaruhi ruhi oleh oleh rifampisi rifampisin n dibandin dibandingkan gkan penggun penggunaan aan NNRTI NNRTI jenis jenis lainnya.
53