1
BAB I PENDAHULUAN
A. LATA LATAR R BEL BELAK AKAN ANG G
Kalium Kalium merupa merupakan kan kation kation yang yang memili memiliki ki jumlah jumlah yang yang sangat sangat besar besar dalam dalam tubuh, dimana sekitar 98% kalium tubuh berada pada intraselular. Kalium berfungsi berfungsi penting bagi tubuh dimana kalium terlibat dalam sintesis s intesis protein, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin, serta kontraksi otot dan konduksi saraf.
1,2,3
Rasio
kalium kalium intrase intraselul lular ar dan ekstrase ekstraselul lular ar sangat sangat pentin penting g dalam dalam menent menentuka ukan n potens potensial ial membran sel, sedikit perubahan saja pada kalium ekstraseluler dapat menimbulkan efek yang cukup berarti terhadap fungsi fungsi kardiovask kardiovaskular, ular, neuromusku neuromuskuler ler maupun maupun sistem tubuh tubuh lainnya, lainnya, sehingga sehingga dibutuhka dibutuhkan n suatu mekanisme mekanisme yang menjaga keseimbanga keseimbangan n konsentrasi kalium ekstra-intraselular.1-3,4 Salah Salah satu kondis kondisii ganggu gangguan an keseim keseimban bangan gan konsen konsentras trasii kalium kalium ini adalah adalah hipoka hipokalem lemia. ia. Hipoka Hipokalem lemia ia merupa merupakan kan salah salah satu satu ganggu gangguan an elektr elektroli olitt yang yang sering sering ditemukan pada pasien rawat inap. Di Amerika, 21% dari pasien rawat inap didapati mengalami hipokalemia5. Sedangkan kekerapan pada pasien rawat jalan yang mendapat diuretik golongan thiazid sebesar 40% 6. Di Indonesia, insidensi hipokalemia cenderung berkisar antara 24%7 (Djoko Widodo, 2006) hingga 36,36% 8 (Nasronudin, 2005) pada pasien saat masuk rumah sakit. Hipokalemia Hipokalemia terjadi bilamana bilamana konsentrasi konsentrasi K + serum <3,5 mEq/L. mEq/L. Walaupun Walaupun kadar kalium dalam serum hanya sebesar 2% dari kalium total tubuh, namun penurunan konsentrasi kalium serum ini dapat menimbulkan berbagai keluhan, mulai dari keluhan ringan berupa badan lemas atau mual-muntah, hingga keluhan serius berupa gangguan jantung dan bahkan kematian.
2 Mengingat tingginya angka kejadian hipokalemia dan risiko yang dapat ditimbulkan akibat kondisi ini, dibutuhkan pemahaman yang baik terkait fisiologi kalium dalam homeostasis tubuh manusia dan hipokalemia sebagai salah satu gangguan keseimbangan kalium agar dapat dilakukan penatalaksanaan dengan baik.
B. TUJUAN
Menambah pemahaman terkait distribusi dan peran kalium dalam sistem homeostasis tubuh, mekanisme pengaturan keseimbangan kalium intra-ekstraselular, dan kondisi hipokalemia dari segi epidemiologi, etiologi, patofisiologi, dan terapi.
3
BAB II FISIOLOGI KALIUM
A. DISTRIBUSI KALIUM
Secara keseluruhan, tubuh manusia mengandung 50-55 mEq K+ per kilogram berat badan, dimana 90 hingga 98% ditemukan pada kompartemen intraselular (ICF; terutama di jaringan otot), sedangkan 10% sisanya berada pada kompartemen ektraselular.1,6,9
Gambar 1. Konsentrasi elektrolit dalam cairan tubuh Sumber: http://facstaff.gpc.edu/~mkim/C1211%261212Lec/04_ElectrolytesInBody.jpg
Pada kompartemen ECF, 10% konsentrasi kalium terkandung, terutama, dalam tulang (8,6%), sisanya terdapat dalam plasma (0,4%) dan cairan intertisial (1%). Sedangkan pada kompartemen ICF, 90% konsentrasi kalium terkandung, terutama, di
4 otot (76%), dan sisanya terdapat dalam hati (7%) dan eritrosit (7%). 9 Sebagai contoh, seorang laki-laki dengan berat badan 60 kg memiliki distribusi kalium sebagai berikut: Tabel 2. Contoh Distribusi Kalium dalam Kompartemen ICF dan ECF pada Laki-laki dengan Berat Badan 60 kg. ECF = 330 mEq (10%)
ICF = 2970 mEq (90%)
Plasma 13,2 mEq (0,4%)
Otot 2508 mEq (76%)
Cairan interstisial 33 mEq (1%)
Hati 231 mEq (7%)
Tulang 283,8 mEq (8,6%)
Eritrosit 231 mEq (7%)
Konsentrasi K + intrasel normal berkisar pada 140 mEq/L (range 100-150 mEq/L), dan konsentrasi ekstraselular (ECF) dijaga pada kisaran 4-5 mEq/L. Walaupun konsentrasi kalium ECF berkisar 2-10%, namun fluktuasi ringan dari konsentrasi K + ekstrasel dapat berakibat fatal, dan aritmia kordis dapat muncul bilamana konsentrasi K + dibawah 3,5 mEq/L atau diatas 5-5,5 mEq/L. 1-3,5,10 Adapun faktor-faktor yang dapat mengakibatkan perubahan konsentrasi kalium ektraselular (khususnya kalium plasma) antara lain: Tabel 3. Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Kalium Plasma 11
Faktor Keadaan asam-basa - Asidosis metabolik Asidosis hiperkloremik • Asidosis organik • - Alkalosis metabolic - Asidosis respiratorik - Alkalosis respiratorik Hormon pancreas - Insulin - Glukagon Katekolamin - β-Adrenergik - α-Adrenergik Hiperosmolaritas Aldosteron Olah raga
Perubahan Kalium Plasma
↑↑ ↔ ↓ ↑ ↓ ↓↓ ↑ ↓ ↑ ↑ ↓, ↔ ↑
5 B. PERAN KALIUM BAGI TUBUH
Kalium merupakan kation utama yang sangat penting bagi tubuh manusia. Hal ini disebabkan karena kalium berperan dalam beberapa sistem antara lain: 1-6,9-11,12 1. Kalium berperan penting dalam reaksi biokimiawi selular, dimana kalium berpartisipasi dalam sintesis protein dari asam amino dalam sel. 2. Kalium juga berfungsi dalam metabolisme karbohidrat, dimana kalium mengubah glukosa menjadi glikogen yang kemudian akan disimpan di hati untuk cadangan energi. 3. Perbedaan kadar K+ dalam kompartemen ICF dan ECF dipertahankan oleh suatu pompa Na-K aktif yang terdapat di membrane sel. Rasio kadar K+ ICF terhadap ECF adalah penentu utama potensial membrane sel pada jaringan yang dapat tereksitasi, seperti otot jantung dan otot rangka.
Gambar 2. Pompa Natrium-Kalium dalam mekanisme transport aktif (Sumber: Ove-Sten Knudsen. Biological Membranes: Theory of Transport, Potentials and Electric Impulses. Cambridge University Press (September 26, 2002)
4.
Kalium lebih mudah memasuki sel dibanding natrium yang kemudian mendorong terjadinya pertukaran natrium-kalium melewati sel membran. Pada sel saraf, perubahan natrium-kalium menimbulkan potensial elektrik yang membantu konduksi impuls saraf. Potensial membrane istirahat (-70 hingga -80 millivolts) mempersiapkan pembentukan potensial aksi yang penting untuk
6 fungsi saraf dan otot yang normal. Ketika kalium meninggalkan sel, terjadi perubahan potensial membran yang mengizinkan terjadinya proses impuls saraf. Perbedaan dalam konsentrasi ion pada sisi berlawanan dari membrane selular menghasilkan perbedaan volt ase yang disebut sebagai potensial membran. Kontribusi terbesar umum nya berasal dari ion natrium (Na+) dan klorida (Cl-) yangj memiliki konsentrasi tinggi dalam kompar temen ektraselular, dan ion kalium (K+), yang bersamaan dengan anion protein memiliki konsentrasi tinggi di konpartemen intraselular. Ion kalsium, juga terkadang berperan penting dalam mekanisme ini.
Gambar 3. Komposis elektrolit dalam mekanisme potensial membran sel (Sumber: Ove-Sten Knudsen. Biological Membranes: Theory of Transport, Potentials and Electric Impulses. Cambridge University Press (September 26, 2002)
5. Kalium merupakan bagian terbesar zat terlarut intrasel, sehingga berperan penting dalam menahan cairan di dalam sel dan mempertahankan volume sel. Fungsi kalium ini difasilitasi oleh pompa Na-K, dimana pompa ini penting dalam meregulasi keseimbangan cairan tubuh dan mencegah terjadinya cell swelling . Jika natrium tidak dipompa keluar, air akan terakumulasi di sel menyebabkan sel “membengkak” dan akhirnya pecah. 6. Kalium berperan dalam memonitor dan meregulasi hormone aldosteron, serta berperan penting sebagai katalis dari berbagai macam enzim dalam tubuh. 7. Kalium penting bagi pertumbuhan normal tubuh dan pembentukan otot. 8. Dikarenakan kalium bersifat basa, maka kalium juga berperan dalam menjaga keseimbangan asam-basa tubuh. 9. Bukti terbaru menyatakan bahwa intake kalium berperan dalam menurunkan tekanan darah. Salah satu penjelasan yang mungkin bagi peran kalium ini adalah peningkatan kalium akan berdampak pada peningkatan jumlah natrium yang diekskresi keluar tubuh.
7
Gambar 4. Transelular shifts at acidosis and alkalosis Sumber: Armin Schroll. Importance of magnesium for the electrolyte homeostasis - an overview. Deutsches Herzzentrum München, KIinik für Herz- und Gefaßchirugie, Lothstr. 1 1, D-80335 München, Germany. Uploaded on January 30, 2002
C. MEKANISME KESEIMBANGAN KALIUM
Walaupun hanya 2% total kalium tubuh (70-100 mEq) berada dalam kompartemen ekstraselular, namun kalium ektraselular ini berperan penting dalam menjaga potensi membrane sel. Hal ini penting bagi eksitasi elektrik sel (aktivitas otot dan sistem saraf). Ekuasi Ernst, yang dapat digunakan untuk mengkalkulasi potensial membran, menunjukan bahwa potensial membran adalah fungsi dari rasio kalium ektraselular terhadap konsentrasi kalium intraselular (K i/K e).13
Oleh karena kalium ektraselular berkisar pada 4 mEq/l dan konsentrasi intraselular intestinal lebih dari 100 mEq/L, maka dapat dilihat bahwa perubahan kecil konsentrasi kalium ektraselular dapat secara signifikan mengubah potensial membrane. Lebih jauh lagi, oleh karena dalam kuantitas kecil dari kalium normalnya berada dalam cairan ektraselular, pembuangan dari ion kalium tambahan pada ektraselular dapat secara signifikan mengubah konsentrasi kalium ektraselular dengan efek samping pada fungsi neuromuskular. 10-13,14
8 Konsentrasi kalium ektraselular, harus dijaga pada range yang sangat sempit. Prinsip ini berlaku pada perubahan konsentrasi kalium akibat intake kalium sehari-hari. Rata-rata input kalium per hari adalah sekitar 70-100 mEq. Untuk menjaga homeostasis kalium (menjaga total kalium tubuh pada level normal dan konstan), maka 70-100 mEq kalium harus dibuang dari tubuh setiap hari. 14 Dalam kondisi keseimbangan kalium netral, input kalium per hari sama dengan laju ekskresi kalium per hari, yang dimana utamanya terdapat dalam urine. Hanya sebagian kecil (± 10%) kalium yang diekskresikan melalui usus dan keringat. 9 Tabel 3. Keseimbang Konsentrasi Input dan Output Kalium per hari 9
Input Diet : 70-100 mEq
Output Urin : 90-95 mEq
Feses : 5-10 mEq Keringat : <5 mEq
Mekanisme renal (external balance) yang berperan utama dalam eliminasi kalium dari tubuh ini menggunakan sistem pump-leak kompleks yang melibatkan baik mekanisme transport pasif maupun aktif (energy consuming enzyme Na+ K + ATPase yang memompa Na + keluar dan K + kedalam sel dalam rasio 3:2). Enzim Na +K +ATPase juga terdapat di jaringan nonrenal (internal balance) yang penting dalam regulasi cepat konsentrasi kalium ektrarenal, karena enzim ini menggeser K + langsung ke intrasel. Dalam mekanisme keseimbangan internal, enzim ini dipengaruhi oleh banyak hormon, khususnya insulin dan katekolamin. 9-14 Berikut
akan
dibahas
masing-masing
mekanisme
keseimbangan
yang
meregulasi konsentrasi kalium dalam tubuh manusia: 1-6,9-14 1. Mekanisme Ekstra-renal ( Internal Balance)
Oleh karena makanan biasanya diasup dalam bentuk bolus, maka terdapat
9 pemasukan kalium yang signifikan secara tiba-tiba ke dalam tubuh. Jika kalium dibiarkan berada pada ruang ektraselular, hiperkalemia beserta efek sampingnya pada fungsi neuromuskular akan terjadi, maka diperlukan suatu proses untuk memindahkan dengan segera kalium ekstraselular ini ke dalam intraselular. Proses pengantaran kalium menuju ruang intraselular disebut sebagai keseimbangan internal. Proses ini mencegah makanan yang kemudian dapat menyebabkan hiperkalemia. Regulator utama pemasukan kalium menuju ruang intraselular setelah intake kalium adalah insulin. Pengasupan makanan, yang mengandung kalium, mencetuskan pelepasan insulis. Adapun penjelasan factor-faktor yang terlibat dalam mekanisme keseimbangan internal meliputi: a. Insulin Konsentrasi kalium serum yang tinggi meningkatkan kadar insulin. Ikatan hormone insulin dengan reseptor insulin menyebabkan hiperpolarisasi membrane sel yang memfasilitasi uptake kalium di hati, lemak, otot skeletal, dan jantung. Insulin juga mengaktifkan enzim Na+K+ATPase yang menyebabkan uptake kalium ke intrasel. b. Katekolamin Katekolamin dan methylxanthines dapat menstimulasi reseptor β adrenergic sehingga terjadi uptake kalium ke hati dan otot. Efek ini diperkuat oleh cyclic adenosine monophosphate (cAMP) yang diaktivasi oleh enzim Na+K+ATPase, menyebabkan influs kalium ke dalam sel dan pengeluaran natrium sebagai gantinya. Agen terapetik seperti teofilin mempotensiasi reseptor β -adrenergic dengan menghambat degradasi cAMP.
10 Representasi skematik dari mekanisme selular dimana stimulasi insulin dan βadrenergik mendorong pengambilan kalium oleh jaringan ektrarenal. Ikatan insulin terhadap reseptornya menghasilkan hiperpo larisasi membrane sel (1), yang memfasili- tasi pengambilan kalium. Setelah berikatan dengan reseptor, insulin juga mengaktifkan pompa Na+K+ ATPase, yang mencetuskan pengambilan kalium ke dalam sel (2). Second messenger yang memediasi efek ini belum sepenuhnya dipahami. Katekolamin menstimulasi pengambi lan kalium ke dalam sel melalui β-2 adrener- gic receptor ( β-2R). Pembentukan dari cyclic adenosine monophosphate (3 ’, 5’ cAMP) mengaktifkan pompa Na+K+ATPase (3), yang menyebab kan influx kalium sebagai ganti natrium. Dengan menginhibisi degradasi cyclic AMP, teofilin mempotensiasi katekolamin yang menstimulasi uptake kalium, sehingga terjadi kondisi hipokalemia (4).
Gambar 5. Mekanisme homeostasis kalium ektrarenal: insulin dan katekolamin Sumber: DeFronzo RA: Regulation of extrarenal potassium homeostasis by insulin and catecholamines. In Current Topics in Membranes and Transport , vol. 28. Edited by Giebisch G. San Diego: Academic Press; 1987:299–329.
c. Aldosteron Walaupun mineralcorticoid ini memfasilitasi uptake kalium ke otot, bukti signifikansi klinisnya dari efek ini masih kurang. d. Asam-basa Perubahan pH, asidosis metabolic dengan anion gap normal berakibat masuknya ion hidrogen ke kompartemen intraselular guna mem-buffer intrasel, sebagai gantinya kalium keluar dari kompartemen intrasel. Namun kejadian ini hanya berdampak kecil, dimana hanya merubah konsentrasi kalium ektraselular <1mEq/l. Asidosis inorganic (cont: hydrochloric acid ) memfasilitasi pergerakan kalium dari ICF ke ECF. Proton memasuki sel, sedangkan ion inorganic yang impermeabel tidak, sehingga terjadi peningkatan muatan positif di ICF. Peningkatan ini mendorong pergerakan kalium ke luar sel. Karena ion organik (cont: laktat, ketoacid) lebih sulit memasuki sel, maka peningkatan kalium
11 serum (ECF) tidak terjadi pada asidosis organik. Gangguan asam-basa respirasi juga memiliki efek yang minimal terhadap keseimbangan kalium internal. e. Tonisitas Hiperglikemi menyebabkan cairan kaya kalium keluar dari sel, sehingga meningkatkan konsentrasi kalium ECF melalui efek tarikan cairan. Pada kebanyakan kasus, peningkatan insulin memodulasi dan membalikan efek peningkatan tonisitas ekstraselular ini, namun ketika insulin tidak dapat ditingkatkan (DM tipe 1) atau hiperglikemia terjadi secara cepat (cont. pada pemberian glukosa 50%), terjadi hiperkalemia. Pemberian manitol yang cepat juga menyebabkan hiperkalemia.
2. Mekanime Renal ( Eksternal Balance)
Mekanisme keseimbangan kalium eksternal merupakan proses yang cenderung lambat, dimana intake harian diekskresikan oleh ginjal dalam waktu lebih dari 24 jam., yang dikenal sebagai renal handling mechanism. Ekskresi urinari kalium merupakan hasil dari perbedaan antara kalium yang disekresi dan kalium yang direabsorbsi di nefron distal. Regulator utama dari keseimbangan kalium eksternal, kalium plasma, difiltrasi secara bebas oleh membrane glomerular. Lebih dari 50% kalium yang difiltrasi direabsorbsi kembali oleh tubulus kontortus proximal ( proximal convulted tubule) melalui jalur paraselular. Pada tubulus Henle desensus konsentrasi kalium meningkat. Pada tubulus Henle asensus, kotransporter Na-K-2Cl mereabsorsi kalium. Ketika cairan mencapai tubulus kontortus distal, hanya tersisa 10-15% kalium yang terfiltrasi. Kalium disekresikan terutama di cortical collecting tubule oleh principal cell dan
12 outer medullary collecting tubule. Kalium juga diresorbsi di collecting tubule melalui efek kerja sel intercalacted . Lebih dari setengah kalium yang terfiltrasi, secara pasif, direapsorbsi pada distal proximal convulted tubule (PCT). Kalium lalu difiltrasi kembali ke dalam cairan tubulus pada descending limb of Henle’s loop (lihat bawah). Titik utama dari reabsorpsi aktif kalium terletak di thick ascending limb of the loop of Henle (TAL), sehingga pada distal convulted tubule (DCT), hanya 10%-15% dari kalium yang terfiltrasi tetap berada di lumen tubulus. Kalium kemudian disekresi kembali terutama oleh sel principal di cortical collecting tubule (CCD) dan outer medullary collecting duct (OMCD). Reabsorpsi kalium terjadi melalui sel intercalacted di medullary collecting duct (MCD). Kalium urin merepresentasikan perbedaan antara kalium yang disekresikan dan kalium yang direabsorpsi. Selama kondisi deplesi kalium tubuh total, reabsorpsi kalium ditingkatkan. Reabsorpsi kalium awalnya masuk ke dalam intestisium medulla, namun kemudian disekresikan ke dalam pars recta (PR) dan desceding limb of the loop of Henle (TDL). Fungsi fisiologis dari recycling medullary kalium mungkin bertujuan untuk meminimalisasikan “kebocoran balik” kalium keluar dari lumen tubulus collecting atau untuk meningkatkan sekresi kalium ginjal selama kondisi hiperkalemia.
Gambar 6. Renal Handling Sumber: MacNight ADC: Epithelial transport of potassium. Kidney Int 1977, 11:391–397.
Faktor utama yang mempengaruhi sekresi duktus collecting meliputi: 1) penghantaran distal natrium dan cairan tubulus. 2) aldosteron. 3) adanya anion nonabsorbable pada cairan tubulus. Berikut akan dijelaskan faktor-faktor utama yang meregulasi ekskresi kalium antara lain: a. Distal nephron flow rate dan penghantaran natrium Pada kondisi normal, natrium yang dikirim ke cortical collecting tubule diserap kembali melalui almiloride-sensitive epithelial sodium channel (ENaCs) pada sel principal. Akibat muatan negatif pada lumen tubular ini menghasilkan peningkatan ekskresi kalium melalui saluran kalium apikal (renal outer medullary potassium channel / ROMK) sistem ini membutuhkan pengantaran natrium ke tubulus distal. Sebagai tambahan, peningkatan pada flow rate tubular membantu menjaga rendahnya konsentrasi kalium urin, yang mendorong pergerakan kalium dari sel menuju ke tubulus.
13 b. Mineralokortikoid Aldosteron merupakan mineralokortikoid utama, yang meningkatkan sekresi kalium menuju tubulus melalui: 1) Meningkatkan jumlah dan aktivitas apical amiloride sensitive ENaCs pada connecting tubule dan cortical connecting duct pada tubulus distalis. Hal ini meningkatkan resorbsi sodium sehingga menciptakan muatan negatif dalam lumen dan memaksa ekskresi kalium ke lumen tubulus. 2) Meningkatkan aktifitas Na-K-ATPase basolateral. c. Asupan diet kalium Peningkatan dan penurunan intake kalium secara tak langsung akan berdampak pada peningkatan atau penurunan kalium urin. Tergantung pada diet, normal intake kalium dapat bervariasi antara 50-500 mEq/hari. Intake buah buahan, sayur, dan gandum mengandung banyak kalium, dan kebalikannya intake tinggi lemak memberikan asupan kalium rendah. Adaptasi ginjal terhadap intake tinggi kalium dimediasi oleh peningkatan sekeresi aldosteon dan melalui peningkatan aktivitas Na-K-ATPase pada nefron distal. Sebagai respon terhadap restriksi kalium, aktivitas mineralokortikoid dikurangi, sehingga menyebabkan hambatan dalam sekresi kalium. d. Anion non-absorbable Peningkatan pada anion non-absorbable (cont. bikarbonat, hippurat, dan beta-hidroksibutirat) menjebak kalium yang tersekresi pada lumen tubulus dan membatasi reabsorbsi kalium di medullary collecting duct . Hal ini menyebabkan pengeluaran kalium ginjal yang dapat berlanjut pada deplesi kalium berat. e. WNK kinase WNK kinase merupakan serangkaian enzim yang (baru-baru ini) diketahui
14 meregulasi ekskresi kalium. WNK4 menurunkan aktivitas dari transport NaCl pada tubulus distal dan menurunkan jumlah saluran kalium di cortical collecting tubule. Efek keseluruhan dari WNK4 ini adalah retensi kalium.
Keabnormalan pada keseimbangan kalium eksternal utamanya disebabkan oleh abnormalitasan dalam sekresi kalium di tubulus ginjal. Faktor utama yang menyebabkan gangguan dalam sekresi kalium meliputi: 1) Penurunan GFR. Biasanya perubahan kompensasi terjadi bersamaan dengan penurunan GFR, yang menjaga keseimbangan ekternal kalium hingga GFR benar-benar turun pada level <20 ml per menit. Hal inilah yang menyebabkan mengapa kalium menjadi elektrolit terakhir yang terganggu homesotasisnya pada penyakit gagal ginjal kronis. 2) Penurunan perfusi darah ke ginjal Pada saat proses ini terjadi, glomerulus menanggapinya dengan memulai proses autoregulasi untuk menjaga GFR agar stabil. Ketika GFR dijaga pada level normal selama kondisi penurunan perfusi darah ginjal, sejumlah besar plasma yang mencapai glomerulus menjadi diflitrasi oleh glomerulus, kondisi ini dikenal sebagai peningkatan fraksi filtrasi, dimana fraksi filtrasi sama dengan GFR/aliran plasma ginjal. Karena rate filtrasi glomerulus normal berkisar pada 120 ml per menit dan aliran plasma normal berkisar pada 600 ml per menit, maka fraksi filtrasi normal adalah bernilai 0,2, atau 20% Fraksi filtrasi meningkat selama proses autoregulasi glomerulus. Selama proses autoregulasi ini, plasma yang meninggalkan glomerulus pada arteriole eferen telah mengalami penurunan tekanan hidrostatik dan peningkatan tekanan
15 onkotik. Arteriole eferen sendiri akan menjadi kapiler peritubular yang mengelilingi tubulus proksimal. Straling force pada kapiler ini, menurunkan tekanan hidrostatik dan meningkatkan tekanan onkotik, yang menyebabkan perubahan berarti pada proses reabsorpsi di tubuluar proksimal. Kesimpulan: reasorbsi tubulus proksimal diperkuat selama kondisi autoregulasi glomerulus. Hasil bersih (net result ) dari peningkatan reabsorbsi tubulus proksimalis ini adalah penurunan pengantaran natrium dan cairan tubulus ke nefron distal, termasuk pada cortical collecting duct . Hal ini secara signifikan mengganggu proses sekresi kalium. 3) Defisiensi aldosteron atau resisten terhadap efek aldosteron pada level tubular. Insufisiensi adrenal akan mengakibatkan baik penurunan produksi kortisol dan aldosteron. Hiporeinemik hypoaldosteronism mengakibatkan penurunan aldosteron yang disebabkan penurunan renin, sehinga menekan produksi angiotensi II, yang menjadi stimulus primer bagi sekresi aldosteron di zona glomerulosa kelenjar adrenal. Resistensi aldosteron biasanya terjadi pada kondisi yang mengakibatkan kerusakan langsung tubulus pada cortical collecting duct . Contoh yang paling sering yaitu uropati obstruktif. Penyakit ginjal, yang mengakibatkan kerusakan
interstisial
kronik
dengan
kerusakan
tubulus,
juga
dapat
menyebabkan resistensi aldosteron, contoh: nefropati analgesic, nefritis alergi interstisial, polycystic kidney disease, dll. 4) Efek obat Sekresi kalium oleh cortical collecting duct akan terganggu pada kondisi defisiensi aldosteron, kondisi resistensi tubular terhadap efek aldosterone, atau oleh kerja obat yang menginhibisi efek dari aldosteron.
16 Penggunaan heparin jangka panjang dapat secara langsung menginhibisi produksi aldosteron adrenal. Antagonis reseptor beta-1 memiliki efek ringan dalam mengganggu sistem renin angiotensin aldosteron (RAAS). Toksisitas berat digoxin dapat mengganggu Na-K ATPase. Aldosetron dapat diinhibisi oleh spironolactone (antagonis kompetitif). Aldosteron juga dapat diinhibisi oleh obat-obatan yang mem-blok channel natrium di membrane luminal cortical collecting duct (amiloride dan trimterene). Angiotensive converting enzyme inhibitor (ACE inhibitor) dan angiotensin II receptor antagonis juga dapat mengganggu produksi aldostero. Trimethoprim dan siklosporin dapat secara kangsung mengganggu sekresi kalium.
17
BAB III HIPOKALEMIA
A. DEFINISI B. EPIDEMIOLOGI C. KLASIFIKASI D. ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO E. PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI F. DIAGNOSIS G. PENATALAKSANAAN H. KOMPLIKASI I. PROGNOSIS