BAB I PENDAHULUAN
Wanita memiliki organ eksterna dan interna serta dilengkapi dengan hormon-hormon reproduksi. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menjadikan wanita rentan sekali terhadap berbagai penyakit terutama yang yang berhubungan dengan organ reproduksi reproduksi contohnya seperti Hyperplasia Endometrium. Sebanyak 40.000 kasus terdiagnosis di Amerika pada tahun 2005. Risiko terjadinya kelainan ini meningkat pada wanita dengan obesitas, diabetes, dan penggunaan terapi pengganti hormon. Studi yang dilakukan oleh Kurman menyatakan hiperplasia sederhana berhubungan dengan 1% progresi menjadi kanker, 3% progresi menjadi hiperplasia kompleks, 8% progresi menjadi hiperplasia sederhana atipik. Sementara hiperplasia kopmleks atipik 29%, akan progresi menjadi kanker 2,4 %. Semakin meningkatnya penderita Hyperplasia Endometrium, maka dalam makalah ini akan dibahas tentang Hyperplasia Endometrium.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Hiperplasia Endometrium adalah suatu kondisi dimana terjadi penebalan atau pertumbuhan berlebihan dari lapisan dinding dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada saat menstruasi. Kondisi ini merupakan proses yang jinak (benign), tetapi pada beberapa kasus (hyperplasia tipe atipik) dapat menjadi kanker rahim.
2.2 Anatomi
Endometrium merupakan bagian dari uterus, terletak antara kandung kemih dan rectum. Terdiri dari 3 lapisan, susunan dari luar ke dalam : 1. Tunika serosa (perimetrium) terdiri dari epitel skuamus simpleks. 2. Tunika muskularis ( myometrium) terdiri dari berkas otot polos yang serabutnya berjalan longitudinal atau oblik pada bagian dalam dan luar, Sedangkan bagian tengah sirkuler. 3. Tunika mukosa (endometrium) terdiri dari epitel kolumnar simpleks dengan sel bersilia dan sel sekretorik, Lamina propria, stroma yang langsung berhubungan dengan myometrium. Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan, agar hasil konsepsi bisa tertanam. Jika tidak terjadi kehamilan, maka lapisan ini akan keluar saat menstruasi.
2.3 Etiologi
Hormon estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium dimana estrogen merangsang pertumbuhannya dan progesterone mempertahankannya. Sekitar pertengahan siklus haid, terjadi ovulasi (lepasnya sel telur dari indung telur). Jika sel telur ini tidak dibuahi (oleh sperma), maka kadar hormon (progesteron) akan menurun sehingga timbullah haid atau menstruasi. Hiperplasia endometrium disebabkan oleh ketidakseimbangan hormon estrogen dan progesteron, yang dihasilkan oleh ovarium. Perubahan level kedua hormon ini tiap bulannya yang mengatur siklus menstruasi. Tetapi, bila efek estrogen berlebihan atau tubuh memproduksi estrogen lebih banyak dari progesteron, maka sel-sel endometrium akan terstimulasi untuk bertumbuh dengan sangat cepat. Hiperplasia endometrium lebih sering terjadi pada gadis remaja yang baru mendapat menstruasi
pertama,
dan
juga
pada
wanita
yang
mendekati
masa
menopause
(Montgomery,2004: Tate,2003). Bagaimanapun, hiperplasia endometrium dapat terjadi pada wanita yang dalam masa reproduksi, yakni bila sering tidak terjadi ovulasi. Pada saat ovulasi, telur dilepaskan dari ovarium. Tetapi bila tidak terjadi ovulasi, maka ovarium tidak melepas progesteron, sehingga estrogen akan tetap tinggi.
Wanita yang beresiko tinggi terjadi hiperplasia endometrium : Tidak menstruasi Obesitas Sindrom polikistik ovarium Perimenopause (mendekati menopause) dan siklus menstruasi tidak teratur
Terapi sulih hormon yang mengandung estrogen tetapi tanpa progesteron untuk
mengurangi efek dari gejala menopause(estrogen berlebihan dapat meningkatkan resiko kanker endometrium) Penggunaan tamoxifen untuk mencegah / mengobati kanker payudara Ada tumor ovarium yang mensekresi estrogen (jarang)
2.4 Hispatologi
Penebalan dinding rahim tidak dapat dilihat secara fisik, ada gejala bahwa seseorang yang mengalami Hiperplasia endometrium merasakan nyeri perut bagian bawah, spotting atau perdarahan antara periode menstruasi, keputihan yang berlebihan, atau menstruasi berat/ berkepanjangan. Gejala ini tidak boleh diabaikan. Gambaran histopatologi yang dapat dilihat dari hiperplasia endometrium adalah terjadinya peningkatan rasio kelenjar terhadap stroma, tepi kelenjar menjadi tidak teratur dengan ukuran kelenjar yang bervariasi. Aktivitas mitosis kelenjar tampak jelas dengan derajat yang berbeda. Sering tejadi peningkatan vaskularisasi stroma di dala m epitel
2.5 Klasifikasi
Menurut World Health Organization (WHO) dan the International Society of Gynecologic Pathologists terdapat 4 jenis hiperplasia yakni, simpel non atipik, kompleks non atpik, simpel atipik, dan kompleks atipik. Klasifikasi ini berdasarkan ada dan tidaknya gambaran sel atipik dan selanjutnya berdasarkan kompleksitas kelenjarnya yaitu menjadi simpleks dan kompleks.
2.5.1 Hiperplasia Simpleks Non Atipik
Sebelumnya disebut sebagai hiperplasia kistika atau ringan dengan gambaran yang tampak adalah banyak kelenjar yang mengalami proliferasi dan dilatasi dengan tepi yang tidak teratur dan terdapat penonjolan dan perlekukan kelenjar yang menonjol serta sering ada gambaran kistik, dan dipisahkan oleh s troma yang masih banyak. Dapat terlihat metaplasia skuamosa walau hal ini jarang terjadi. Sitologi, epitel kelenjar menyerupai gambaran endometrium fase proliferasi, berupa sel kolumner dengan sitoplasma amfofilik dan pseudostratifikasi nukleus sampai ke membrana basalis. Nukleus bentuk oval dengan kontur halus, sering dengan kromatin yang menyebar dan nukleoli kecil yang tidak terlihat. Stroma yang banyak menyerupai dengan yang terlihat pada fase proliferasi dari siklus haid normal, terdiri atas sel yang kecil, oval dengan sitoplasma sedikit atau tampak terlihat aktifitas mitosis seperti pada kelenjar. Gambaran khas pada hyperplasia simpleks ini adalah venula yang berdilatasi pada stroma.
2.5.2 Hiperplasia kompleks Non Atipik
Hiperplasia kompleks sebelumnya dikenal sebagai hiperplasia moderat atau adenomatosa, dengan tampak suatu gambaran susunan kelenjar yang padat. Pada kelenjar terdapat gambaran irreguler, dengan ukuran bervariasi, sebagian berdilatasi bercabang dengan lekukan dan tonjolan. Lebih banyak adanya penonjolan dan perlekukan kelenjar dan kadang-kadang kelenjar saling berdekatan dan menempel karena padatnya (back-to-back position), dengan hanya sedikit stroma yang masih terlihat. Rasio kelenjar dan stroma lebih dari 2:1. Derajat kepadatan kelenjar inilah yang membedakan hiperplasia simpleks dan kompleks. Gambaran kelenjar kistik kadang juga ditemukan.
Sering terjadi adanya bentuk campuran antara hiperplasia si mpleks dan kompleks. Gambaran intinya terdapat pseudostratifikasi, Cigar shaped sampai berbentuk oval dengan bentuk yang halus, distribusi kromatin yang seragam, nukleolus kecil dan aktifitas mitosis yang jumlahnya bervariasi, sedangkan sitoplasmanya sering amfofilik.
2.5.3 Hiperplasia Simpleks Atipik
Hiperplasia atipik simpleks memperlihatkan gambaran kelenjar yang kurang padat dibandingkan dengan jenis kompleks, sehingga risiko untuk berkembangnya menjadi adenokarsinoma endometrium lebih tinggi.
2.5.4 Hiperplasia Kompleks Atipik Secara umum hiperplasia atipik berbentuk kompleks dengan kelenjar yang padat
sekali. Bentuk dan ukuran kelenjar sangat tidak beraturan berbentuk papiler atau bertumpuk, dengan sedikit inti fibrovaskuler dalam lumen. Walaupun kompleks dan sangat padat, kelenjar pada hiperplasia endometrium atipik dikelilingi oleh stroma dengan adanya gambaran kelenjar yang saling menempel, tiap kelenjar mempunyai membrana basalis dengan tepi tipis.
2.6 Gejala dan Tanda
Karena hiperplasia endometrium dan karsinoma endometrium mempunyai gejala perdarahan abnormal maka dapat dilakukan anamnesis yang mengarah kepada keganasan untuk menyingkirkan diagnosis karsinoma endometrium. Biasanya pada tipe hyperplasia non atipia bersifat asimtomatik. Selain itu dapat juga ditemukan gejala perdarahan setelah menopause, vaginal discharge, kram pada abdominal bawah.
2.7 Diagnosa
Pada penderita perdarahan uterus abnormal yang disertai dengan faktor resiko harus dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan hiperplasia endometrium :
a. Pemer i ksaan U ltr asonogr afi
Pada wanita pasca menopause ketebalan endometrium pada pemeriksaan ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding cavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan hysterosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus
b. Biopsy
Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus.
c. Di latasi dan Ku r etase
Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus.
d. H isteroskopi
Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.
2.8 Penatalaksanaan
Pasien dengan hiperplasia dapat diterapi dengan terapi progestin atau histerektomi, tergantung dari usia dan adanya keinginan untuk memiliki anak. Wanita-wanita muda dengan hiperplasia sederhana seringkali berhasil diterapi dengan pil kontrasepsi oral, progesterone periodik withdrawal atau progestin dosis tinggi. Histerektomi dianjurkan pada pasien dengan hiperplasia atipikal kompleks. Pasien-pasien yang masih memiliki keinginan untuk memiliki anak atau mereka yang memiliki masalah kesehatan lain yang menyulitkan operasi dapat diterapi dengan progestin dosis tinggi sambil diawasi dengan ketat melalui biopsi endometrial yang diulang setiap 3-6 bulan Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan. Biopsi endometrial berkala atau USG transvaginal dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan hiperplasia atipikal setelah terapi progestin, karena kemungkinan adanya kanker yang tidak terdiagnosa pada 25% dari kasus, 29% kemungkinan progresi ke arah kanker dan angka kekambuhan yang tinggi setelah diterapi dengan progestin. Pada pasien peri- dan postmenopause dengan hiperplasia atipikal yang mengalami kekambuhan setelah terapi progestin atau yang tidak dapat mentoleransi efek samping maka dianjurkan untuk histerektomi vaginal atau abdominal.
2.9 Prognosa
Beberapa macam terapi yang dapat dilakukan pada hiperplasia endometrium : Di latasi dan k ur et
Ini
termasuk
prosedur
operasi
kecil
dimana
dilakukan
kerokan
pada
endometrium. Bagi wanita yang premenopause dan yang mengalami hiperplasia non atipikal, tindakan ini dapat memulihkan endometrium, dan masih ada kemungkinan untuk hamil lagi. Terapi h ormon
Biasanya akan digunakan progestin, untuk mengimbangi efek estrogen terhadap dinding
uterus.
Tujuan
utama
terapi
hormon
adalah
untuk
mengembalikan
keseimbangan hormonal tubuh agar endometrium dapat bertumbuh secara normal. Histerektomi
Ini merupakan prosedur operasi dimana dilakukan pengangkatan uterus secara keseluruhan. Bila terjadi perubahan prekanker pada endometrium, maka histerektomi dilakukan
untuk
mengurangi
resiko
terjadinya
kanker
endometrium.
Setelah
histerektomi, tidak ada lagi kemungkinan untuk hamil.
Beberapa pilihan terapi tergantung pada keadaan tiap orang, seperti yang dikemukakan dibawah : Bagi usia reproduktif dan hiperplasia non atipikal ( simpleks ataupun kompleks), maka
penanganannya :
Follow up jangka panjang tanpa terapi. Dalam beberapa kasus, hiperplasia non atipikal akan hilang dengan sendirinya.
Dilatasi dan kuret untuk menghilangkan jaringan endometrium yang ada dan memberi kemungkinan untuk pertumbuhan endometrium yang baru. Dokter akan melakukan cek up secara tertatur untuk memastikan bahwa tidak ada kekambuhan.
Terapi hormon dan cek up yang teratur ( termasuk biopsi endometrium)
Bagi usia reoproduktif dan hiperplasia atipikal, dimana masih ingin mempertahankan
uterus atau masih ingin hamil, dapat diberikan terapi hormon selama tiga bulan (singkirkan kemungkinan kanker endometrium). Bila masih tetap hiperplasia, dapat dilakukan lagi terapi hormon yang kedua, selama 3 bulan. Tetapi, bila tetap saja masih hiperplasia, maka sebaiknya dilakukan histerektomi. Bagi usia reproduktif dan hiperplasia atipikal, dimana sudah tidak ingin hamil lagi,
histerektomi merupakan pilihan yang tepat. Bagi usia postmenopause dan hiperplasia non atipikal, dapat diterapi dengan terapi
hormon selama tiga bulan. Bila setelah terapi tidak ada perbaikan, dianjurkan histerektomi. Histerektomi dianjurkan bagi wanita postmenopause dan hiperplasia atipikal sedang
sampai berat, untuk menghindari resiko kanker endometrium yang makin meningkat sejalan dengan usia. Bila histerektomi tidak dapat dilakukan sehubungan dengan adanya masalah kesehatan atau resiko operasi yang besar, maka diberikan terapi hormon selama tiga bulan. Bila hiperplasia berkurang atau menghilang, maka terapi hormon dianjurkan untuk selamanya. Dokter juga akan melakukan biopsi endometrium secara teratur untuk mendeteksi adanya pertumbuhan prekanker atau kanker. Bila hiperplasia tetap ada, atau tidak dapat menahan efek samping obat, maka tetap dianjurkan histerektomi. 2.10 Pencegahan Hiperplasia Endometrium
Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Tderapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi.
Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bagus Ida.1998. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri, Ginekologi, dan Kb.Jakarta:EGC 2. Branson Kathleen H. Gangguan Reproduksi Wanita. Dalam: Sylvia A. Price, Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006: 1292-93 3. Prajitno Raden P. Endometriosis. Dalam: Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2008: 314-16 4. Ganong W.F. 1992. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC 5. Wiknjosastro H. 1997. Ilmu Kebidanan, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 6. Mochtar R. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Jakarta, EGC.