LAPORAN KASUS
HIPERPLASIA ENDOMETRIUM
Penyusun: Prajnya Paramitha N 030.08.192 Pembimbing: dr. Irwan Kreshnamurti, Sp.OG
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kebidanan dan Kandungan RSAU Dr. Esnawan Antariksa Periode 13 Januari 2014 – 22 Maret 2014 Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti Jakarta 2014
LAPORAN KASUS I.
II.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Ny. Supantiyah
Umur
: 46 tahun
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Suku
: Jawa
Agama
: Islam
Alamat Rumah
: Jl. Masjid Darul Khairot no. 6, Cawang
Tgl.Masuk RS
: 07 Maret 2014, pukul 11:00 WIB
No.CM
: 12.41.04
DATA DASAR Diperoleh secara autoanamnesis. Tanggal 07 Maret 2014, pukul 15:00 WIB a. Keluhan Utama : Menstruasi tidak berhenti sejak 3 minggu SMRS b. Keluhan Tambahan : Lemas, nyeri kepala, mulas c. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien datang ke Ruang Nuri RSAU dengan keluhan utama darah haid tidak berhenti sejak tiga minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan disertai rasa lemas, nyeri kepala, dan rasa mulas. Perdarahan yang terjadi sebanyak 6 pembalut setiap harinya dan menetap selama tiga minggu tersebut. Darah yang keluar berwarna merah kehitaman seperti darah haid, terkadang terdapat darah yang menggumpal. Keluhan awalnya tidak dirasakan mengganggu tetapi karena terlalu lama akhirnya pasien merasa lemas dan tidak nyaman. Selain itu OS merasa satu minggu belakangan ini menjadi sering nyeri kepala yang dirasakan seperti kepalanya terasa enteng. Keluhan tersebut terutama
2
saat OS habis beraktivitas. OS kemudian kontrol ke poli penyakit dalam dan di rujuk ke poli obsgyn untuk penanganan lebih lanjut. OS mengaku siklus haidnya memang sedang tidak lancar. Haid sebelumnya pada bulan November. OS mengaku tidak ingat tanggal persis haidnya, namun biasanya haid dialami diatas tanggal 15. OS mengatakan pada bulan Desember tidak mengalami haid sama sekali. Akhirnya OS mengalami haid kembali pada 21 Januari 2014 hingga sekarang. OS menyangkal adanya riwayat trauma sebelumnya. Pasien mengaku belum pernah mengonsumsi obat untuk keluhan utamanya. HPHT : 21 januari 2014 d. Perangai Pasien - Kooperatif e. Riwayat Haid : - Menarche
: usia 15 tahun.
- Siklus
: 28 hari, teratur.
- Lamanya
: 7 hari.
- Nyeri haid : tidak ada. - Banyaknya : 4 kali ganti pembalut per hari saat sedang banyak f. Riwayat KB : - Menggunakan pil KB (lupa nama obat) 1xI tab setelah anak ke-4 - Mengganti pil KB dengan KB suntik tiap 3 bulan setelah anak ke-5 - Menghentikan KB suntik setelah satu tahun penggunaan g. Riwayat Pernikahan : Perkawinan pertama dengan usia perkawinan 22 tahun h. Riwayat Obstetri : 1. Th. 1992, perempuan, normal, berat janin 3600 gram, ditolong oleh dokter.
3
2. Th. 1994, perempuan, normal, berat janin 3200 gram, ditolong oleh bidan. 3. Th. 1995, perempuan, normal, berat janin 2900 gram, ditolong oleh bidan. 4. Th. 1997, laki-laki, normal, berat janin 3100 gram, ditolong oleh bidan. 5. Th. 1999, laki-laki, normal, berat janin 2800 gram, ditolong oleh bidan. i. Riwayat Penyakit Dahulu - Keluhan serupa
: Disangkal
- Riwayat Hipertensi
: (+)
- Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal - Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal - Riwayat Asma
: Disangkal
- Riwayat Alergi
: Disangkal
j. Riwayat Penyakit Keluarga - Riwayat Penyakit serupa
: Disangkal
- Riwayat Hipertensi
: Ibu menderita hipertensi
- Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal - Riwayat Penyakit Jantung : Disangkal - Riwayat Asma
: Disangkal
- Riwayat Alergi
: Disangkal
K. Riwayat Kebiasaan - Riwayat merokok (-) - Mengonsumsi alkohol (-) III.
PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis:
Kesadaran Kesan sakit Status gizi Sikap pasien
KEADAAN UMUM Compos mentis Sakit sedang Kesan baik Kooperatif
4
Komunikasi Dispnoe TB / BB
Baik Tidak tampak 158 cm / 58 kg TANDA2 VITAL
Tekanan darah Nadi Suhu Respiratory rate
140/90 mmHg. 96 x/menit. 36,5°C 20 x/menit KULIT Baik Sawo matang Baik Flat Tidak tampak Tidak tampak KEPALA Normo cephaly
Turgor kulit Warna kulit Kelembaban Tekstur kulit Sianosis Ikterik Bentuk kepala
RAMBUT Hitam merata Kuat tidak mudah dicabut
Warna Distribusi Kekuatan akar rambut Nyeri tarik
Tidak ada WAJAH
Bentuk (simetris/asimetris) Anemis / An anemis Nyeri tekan sinus frontalis Nyeri tekan sinus maxillaaris Nyeri tekan sinus sphenoid
Simetris Anemis Tidak ada Tidak ada Tidak ada
MATA ALIS Warna Distribusi Kekuatan Ketebalan PALPEBRA Oedem Ptosis Furunkel Exopthalmu s
Hitam Merata Tidak mudah dicabut Tebal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
5
Enopthalmu Tidak ada s Konjungtiva Anemis BOLA MATA Sklera Pupil Refleks cahaya langsung Refleks cahaya tidak langsung
Tidak ikterik Isokor +/+ +/+
TELINGA Bentuk Nyeri tekan tragus Nyeri tekan mastoid Serumen Membran timpany
Normal Tidak ada Tidak ada Tidak ada Intake HIDUNG
Deviasi septum Sekret Mukosa Oedem konka Tophi Sadle nose Lubang simetris Bentuk Labioschizis Sianosis Mukosa (kering/pecahpecah)
Gusi merah mudah Lidah fetor UVULA Posisi Deviasi Hiperemis Tonsil Karies Infected Plak Stent Gigi hilang Pembesaran kelenjar Deviasi trakea
Tidak ada Tidak ada Tidak hiperemis Tidak ada Tidak ada Tidak ada Simetris BIBIR Simetris Tidak ada Tidak ada Tidak ada
MULUT Tidak ada Tidak ada Tenang Sentral Tidak ada Tidak ada T1-T1 tenang Tidak ada Tidak ada ada Tidak ada Tidak ada LEHER Tidak ada Tidak ada
6
Kaku kuduk Kelenjar tiroid JVP
Tidak ada Tidak teraba
Pergerakan dada saat statis / dinamis Retraksi Hiperpigmentasi Benjolan Pelebaran vena superfisial Spidernevi Ginekomastia
THORAK DEPAN Simetris Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Perkusi Auskultasi
Tidak ada Tidak ada PARU Bentuk normal, simetris dalam stasis dan dinamis Fremitus taktil sama di kedua lapang paru. Sonor di seluruh lapang paru Batas paru hepar pada IC VI garis mid clavicula kanan Batas paru lambung pada IC VIII garis axillaris anterior kiri SN vesikuler, Rh -/-, Wh -/-. JANTUNG Ictus cordis tidak terlihat Ictus cordis teraba di ICS IV, tidak kuat angkat Batas kiri jantung di ICS V garis mid clavicularis kiri Batas kanan jantung di ICS V garis mid sternal kanan Batas atas jantung di ICS III garis para sternal kiri S1 S2 Reguler murmur tidak ada, gallop tidak ada TORAKS BELAKANG Tidak ada benjolan Fremitus taktil sama di kedua lapang paru Batas bawah paru kanan belakang setinggi Th. IX Batas bawah paru kiri belakang setinggi Th.X Sn vesikuler, Rh -/-, Wh -/ABDOMEN Datar Supel Nyeri tekan (-) TFU 1 jari diatas simfisis Timpani DJJ 133-168 kali/menit
Akral Palmar eritem Clubbing finger Sianosis
EKSTREMITAS ATAS Hangat Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Inspeksi Palpasi Perkusi
Auskultasi Inspeksi Palpasi Perkusi
Auskultasi Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Inspeksi Palpasi
7
Ikterik Motorik Sensorik
Tidak ada Baik Baik
Akral Palmar eritem Clubbing finger Sianosis Ikterik Motorik Sensorik
EKSTREMITAS BAWAH Hangat Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Baik Baik
Status Ginekologi: 1. Pemeriksaan luar INSPEKSI : perut datar, tidak tampak massa, bekas operasi (-) PALPASI : TFU
: tidak terraba
Nyeri Tekan : (-) 2. Pemeriksaan Dalam Mons pubis: distribusi rambut merata Vulva, perineum, anus: peradangan (-), massa (-), fistel (-), sekret (-) Kelenjar bartholini: peradangan (-), abses (-) Dinding vagina: ruggae (+), polip (-), massa (-), septum (-), fistel (-) Porsio: arah ke belakang, bentuk bulat, terraba membesar, konsistensi kenyal, permukaan licin, canalis cervicalis tidak dapat dilalui oleh jari Parametrium & adneksa: massa (-), nyeri tekan (-) Kavum douglas: massa (-), nyeri tekan (-) 3. Inspekulo Dinding vagina: ruggae kasar, fluor albus (-), perdarahan pervaginam (+) Porsio: tampak darah keluar dari canalis cervicalis, porsio tampak membesar, arah ke bawah, bentuk bulat, permukan licin, warna pink pucat
8
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium -
DPL saat kontrol poli IPD (10/2/2014) Hemoglobin
: 7.4 mg/dl ( Normal: 11,7 – 15,5 )
Eritrosit
: 3,8 juta/mm3 (Normal: 3,8 – 5,2)
Leukosit
: 10.100 /mm2 (normal : 3600-11.000)
Trombosit
: 408.000 /mm2 ( Normal: 150 – 440 ribu/mm2)
Hematokrit
: 29 % ( Normal : 35 – 47%)
Bleeding time : 2 menit Clotting time : 5 menit -
DR post transfusi 2 kantong WB (12/2/2014) Hemoglobin
: 10.3 mg/dl ( Normal: 11,7 – 15,5 )
Leukosit
: 13.000 /mm2 (normal : 3600-11.000)
Trombosit
: 362.000 /mm2 ( Normal: 150 – 440 ribu/mm2)
Hematokrit
: 34 % ( Normal : 35 – 47%)
Bleeding time : 2 menit 30 detik Clotting time : 5 menit -
-
Kimia darah Protein total
: 6,8 g/dl (Normal: 6,6 – 8,7)
Albumin
: 4,4 g/dl (Normal: 3,8 – 5,1)
Globulin
: 2,4 g/dl (Normal: 2,8 – 3,6)
SGOT
: 12 u/l (Normal: 10 – 35)
SGPT
: 19 u/l (Normal: 10 – 55)
Ureum
: 37 mg/dl (Normal: 10 – 50)
Creatinin
: 0,52 mg/dl (Normal: 0,6 – 1,1)
Asam urat
: 4,0 mg/dl (Normal: 2,3 – 6,1)
GDN
: 105 mg/dl (Normal 80 – 100)
Urin rutin Protein
:-
Reduksi
:9
-
Urobilin
:+
Bilirubin
:-
Leukosit
: 1-2
Eritrosit
:-
Epitel
:+
Kristal
:-
USG (tanggal 12/2/2014) o Suspek hiperplasia endometrium
V.
DIAGNOSIS KERJA Menoragi ec suspek hiperplasia endometrium Anemia sedang Hipertensi grade I
VI.
RENCANA PENATALAKSANAAN Rencana Diagnosis: -
Observasi tanda-tanda vital
-
Observasi perdarahan Rencana Terapi:
-
IVFD RL 20 tpm
-
Inj. Cefotaxim 3x1 gram IV
-
Transfusi 2 kantong WB
-
Inj. Vit C 3x1 amp
-
Inj. Neurobion 1x1 amp IV
-
Persiapan Kuret o Konsul interna Acc kuret bila Hb diatas 10 g/dl o Konsul jantung Acc kuret o Rontgen, Lab darah rutin, kimia darah, urin rutin
Rencana Pendidikan: Menjelaskan pada pasien dan keluarga akan keadaan ibu pada rencana yang akan dilaksanakan.
10
VII.
PROGNOSIS Ad vitam
: Bonam
Ad fungsionam
: Dubia ad bonam
Ad sanasionam
: Dubia ad bonam
CATATAN SOAP
11
Tanggal/jam
12/2/2014
12/2/2014
13/2/2014
12:40 WIB
14:50 WIB
05:00 WIB
KU
Baik
Baik
Baik
Kesadaran
CM
CM
CM
Keluhan
Darah masih keluar (+), jumlah Gatal dan bentol seluruh satu pembalut penuh tubuh setelah disuntik obat Mulas (+)
Pemeriksaan Fisik
TD : 110/70 mmhg RR : 24 x/menit HR : 60 x/menit T
Darah masih keluar (+), jumlah seperempat pembalut
TD : 130/70 mmHg
TD : 140/90 mmhg
RR : 24 x/menit
RR : 20 x/menit
HR : 64 x/menit
HR : 80 x/menit
0
: 36,5 C
T
: 36,8 0 C
: 36,3 0 C
T
Kulit: tampak makula eritem Abdomen dan urtika pada daerah fasialis I: Datar, massa (-) et manus P: Supel, NT (-), TFU tidak terraba P:Timpani A: BU (+) Normal Terapi
•
IVFD RL 20 tpm
•
•
Inj. Cefotaxim 3x1 gram IV
o Stop seluruh obat injeksi
•
Transfusi 2 kantong WB
•
Inj. Vit C 3x1 amp
o Inj. Dexametason 2 amp IV
•
Inj. Neurobion 1x1 amp IV
•
Persiapan Kuret
Advis dr. Irwan, SpOG:
•
IVFD RL 20 tpm
•
Rawat bersama interna o Terapi HT mengikuti
•
Cek darah rutin post transfusi 2 kantong WB
o Konsul interna dan jantung o Rontgen, Lab darah rutin, kimia darah, urin rutin
12
Tanggal/jam
14/2/2014
15/2/2014
16/2/2014
05:00 WIB
05:00 WIB
05:00 WIB
KU
Baik
Baik
Baik
Kesadaran
CM
CM
CM
Keluhan
Darah masih keluar berupa flek, mual, muntah (+) 1x isi air bening, nyeri kepala
Mencret 4x, cair, air > ampas, warna coklat kehitaman
BAB mencret berkurang 2x sehari, mual (+), muntah(-)
Pemeriksaan Fisik
TD : 100/70 mmhg
TD : 130/70 mmHg
TD : 140/90 mmhg
RR : 24 x/menit
RR : 24 x/menit
RR : 20 x/menit
HR : 72 x/menit
HR : 64 x/menit
HR : 80 x/menit
: 37,5 0 C
T
Abdomen
Terapi
: 36,8 0 C
T
Abdomen
: 36,3 0 C
T
Abdomen
I: Datar, massa (-)
I: Datar, massa (-)
I: Datar, massa (-)
P: Supel, NT (-), TFU tidak terraba
P: Supel, NT (-), TFU tidak terraba
P: Supel, NT (-), TFU tidak terraba
P:Timpani
P:Timpani
P:Timpani
A: BU (+) Normal
A: BU (+) meningkat
A: BU (+) meningkat
•
IVFD RL : NaCl : D5
•
IVFD RL : NaCl : D5
•
IVFD RL : NaCl : D5
•
Inj. Gentamicin 3x1 gram IV
•
Inj. Gentamicin 3x1 gram IV
•
Inj. Gentamicin 3x1 gram IV
•
Inj. Vit C 3x1 amp
•
Inj. Vit C 3x1 amp
•
Inj. Vit C 3x1 amp
•
Inj. Neurobion 1x1 amp IV
•
Inj. Neurobion 1x1 amp IV
•
Inj. Neurobion 1x1 amp IV
•
Terapi HT sesuai interna
•
Advis dr. Irwan, SpOG:
•
Advis dr. Irwan, SpOG:
o Konsul interna •
Advis dr. Mayorita, SpPD
o Alih rawat interna
o New diatab 3x2 tab
13
PEMBAHASAN Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan keluhan utama berupa perdarahan haid yang memanjang. Pasien mengeluhkan haidnya bertahan hingga 3 minggu. Hal tersebut dapat dikatakan memanjang karena pasien mengaku pada siklus haid sebelumnya, lama haid hanya mencapai 7 hari. Begitupun dengan jumlah pembalut yang dipakai. Dimana biasanya hanya menggunakan 4 pembalut, sekarang mencapai 6 pembalut. Keluhan tersebut mengarahkan diagnosis kearah hipermenorea atau menoragia. Hal ini sesuai dengan definisi dari menoragia, yaitu adalah terjadinya perdarahan haid yang lebih banyak dari normal, atau lebih lama dari normal (lebih dari 8 hari). Selain itu, pasien juga mengeluh terjadinya lemas. Hal ini dapat dihubungkan dengan keluhan utama yang dikemukakan oleh pasien. Dimana terjadinya perdarahan terus menerus dalam jumlah yang cukup banyak dapat menyebabkan terjadinya anemi, yang akhirnya dapat menimbulkan gejala lemas yang dirasakan oleh pasien. Terjadinya anemi pada pasien juga dapat dikonfirmasi melalui pemeriksaan fisik, yaitu didapatkannya konjungtiva yang anemis. Selain itu hasil pemeriksaan penunjang mendukung diagnosis anemis. Dimana hasil pemeriksaan hemoglobin pasien adalah 7,4 g/dl yang mengakibatkan pasien tergolong anemia sedang. Sebagai persiapan operasi, dilakukan transfusi whole blood untuk perbaikan KU dan hemoglobin. Setelah dilakukan transfusi, Hb pasien meningkat menjadi 10,3 g/dl dan diperbolehkan melakukan kuret oleh dokter spesialis penyakit dalam dan jantung. Berdasarkan keluhan utama pasien, diagnosis banding yang dapat dipikirkan adalah adanya kelainan anatomis seperti hiperplasia endometrium, polip, leimioma, maupun karsinoma endometrium. Selain itu, apabila tidak ditemukan kelainan anatomis, dapat dipikirkan kelainan fisiologis seperti gangguan hormonal. Sedangkan etiologi trauma dapat disingkirkan karena pasien menyangkal. Pada pasien ini, dari anamnesis didapatkan adanya riwayat pemakaian KB pil maupun suntik. Hal tersebut mendukung diagnosis hiperplasia endometrium dimana biasanya pasien memiliki riwayat penggunaan KB hormonal maupun terapi sulih hormon. Dari pemeriksaan fisik juga didapatkan hasil pemeriksaan dalam dan inspekulo yang mendukung diagnosis hiperplasia endometrium. Dimana didapatkan tampak adanya darah yang keluar dari kanalis servisis, adanya pembesaran porsio yang terraba kenyal dan dipastikan dengan pemeriksaan inspekulo. Menurut kepustakaan, hiperplasia 14
endometrium juga lebih sering terjadi pada wanita usia lebih dari 35 tahun, terutama pada masa premenopause dan menopause. Pada pasien ini dilakukan tindakan kuretase. Tindakan yang dilakukan kepada pasien dapat digunakan sebagai metode diagnostik maupun terapeutik. Pada kasus ini, kuretase digunakan sebagai alat diagnostik dimana pada saat dilakukan kuretase, dilakukan pengerokan dari endometrium dan diambil sebagian jaringan yang mana nantinya akan dilakukan pemeriksaan histopatologi. Selain itu, tindakan kuretase yang dilakukan pada pasien juga dapat dianggap sebagai tindakan terapeutik. Dimana sebagian dari endometrium diluruhkan dan diharapkan terjadinya penghentian dari perdarahan. Dengan berhentinya perdarahan, diharapkan pasien juga tidak terjatuh ke tingkat anemia yang lebih berat. Pasien rutin datang ke poli penyakit dalam untuk mengontrol tekanan darahnya yang tinggi. Pasien rutin mengonsumsi obat-obatan anti hipertensi untuk menstabilisasi tekanan darahnya. Maka dari itu, pada saat perawatan pasien ini, dilakukan rawat bersama dengan bagian penyakit dalam. Pasien juga mengeluhkan adanya mencret sebanyak 4 kali sehari. Namun karena keluhan di bidang kandungan sudah tidak ada, dilakukan alih rawat pada pasien ke bagian penyakit dalam.
15
TINJAUAN PUSTAKA 1.
Anatomi dan Fisiologi Endometrium
Uterus adalah organ muscular yang berbentuk buah pir yang terletak di dalam pelvis dengan kandung kemih di anterior dan rectum di posterior. Uterus biasanya terbagi menjadi korpus dan serviks. Korpus dilapisi oleh endometrium dengan ketebalan bervariasi sesuai usia dan tahap siklus menstruasi. Endometrium tersusun oleh kelenjar-kelenjar endometrium dan sel-sel stroma mesenkim, yang keduanya sangat sensitif terhadap kerja hormon seks wanita. Hormon yang ada di tubuh wanita yaitu estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhan dan progesteron mempertahankannya.1
Pada ostium uteri internum, endometrium bersambungan dengan kanalis endoserviks, menjadi epitel skuamosa berlapis.
16
Endometrium adalah
lapisan
terdalam
pada
rahim
dan
tempatnya
menempelnya ovum yang telah dibuahi. Di dalam lapisan Endometrium terdapat pembuluh darah yang berguna untuk menyalurkan zat makanan ke lapisan ini. Saat ovum yang telah dibuahi (yang biasa disebut fertilisasi) menempel di lapisan endometrium (implantasi), maka ovum akan terhubung dengan badan induk dengan plasenta yang berhubung dengan tali pusat pada bayi. Lapisan
ini
tumbuh
dan
menebal
setiap
bulannya
dalam
rangka
mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan agar hasil konsepsi bisa tertanam. Pada suatu fase dimana ovum tidak dibuahi oleh sperma, maka korpus luteum akan berhenti memproduksi hormon
progesteron
dan berubah menjadi
korpus
albikan yang menghasilkan sedikit hormon diikuti meluruhnya lapisan endometrium yang
telah
menebal,
karena
hormon estrogen dan progesteron telah
berhenti
diproduksi. Pada fase ini, biasa disebut menstruasi atau peluruhan dinding rahim.3,4 2. Siklus Endometrium Normal Endometrium normal menunjukkan perubahan siklik yang disebabkan oleh perubahan terkait dalam produksi hormon ovarium. Pemeriksaan histologik endometrium pada specimen biopsy atau kuretase memungkinkan evaluasi fase siklus endometrium. Bersama dengan riwayat menstruasi pasien, hal ini dapat memberikan informasi penting mengenai kemungkinan penyebab perdarahan uterus abnormal.1,5 Siklus endometrium terbagi menjadi fase proliferative praovulasi yang merupakan akibat stimulasi estrogen dan fase sekresi pascaovulasi yang diatur oleh sekresi progesterone korpus luteum. Hari pertama siklus adalah mulainya menstruasi. Pada fase proliferative, terjadi pembentukan kembali endometrium yang terlepas dari basal dan gambaran mitotic pada sel-sel stroma maupun kelenjar. Endometrium menebal, dan kelenjar mulai menjadi berkelok-kelok. Fase sekretori dimulai setelah ovulasi dengan sekresi progesterone luteum. Bukti histologis pertama bahwa endometrium berada dalam fase sekretorik terlihat 2 sampai 4 hari setelah ovulasi, ketika vakuol sekretorik subinti muncul di dalam kelenjar. Kemudian, sekresi hal tersebut bergerak ke puncak sel inti bergerak kembali ke dasar. Edema stroma tampak pada hari ke tujuh pascaovulasi. Kelenjar tersebut menjadi lebih berkelok-
17
kelok secara progresif dan secara tipikal ujungnya berbentuk seperti gerigi pada siklus. Arteriol spiral menjadi menonjol pada hari ke sembilan setelah ovulasi. Mulai pada hari ke sembilan setelah ovulasi, sel-sel stroma menjadi lebih besar, dengan peningkatan kandungan glikogen dan banyaknya sitoplas (perubahan pradesidua). Pada saat fertilisasi tidak terjadi, neutrofil tampak di dalam stroma sekitar 13 hari setelah ovulasi, disertai dengan meningkatnya perdarahan dan nekrosis fokal kelenjar. (fase pramenstruasi). Dalam fase sekretorik siklus ini, histology endometrium memungkinkan penilaian yang sangat akurat (dalam 2 hari) mengenai tanggal siklus tersebut dalam kaitan dengan ovulasi. Menstruasi terjadi akibat penurunan mendadak estrogen dan progesterone akibat degenerasi korpus luteum. Arteriol spiral kolaps, menyebabkan degenerasi iskemik pada endometrium. Endometrium menstrual menunjukkan terlepasnya kelenjar, perdarahan, dan infiltrasi oleh leukosit neutrofil. Keseluruhan permukaan endometrium hingga lapisan basal terlepas selama menstruasi, keseluruhan proses ini memerlukan waktu 3-5 hari.1,6 3. Hiperplasia Endometrium 3.1.
Definisi
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan stroma disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium. Bersifat noninvasif, yang memberikan gambaran morfologi berupa bentuk kelenjar yang irreguler dengan ukuran yang bervariasi. Pertumbuhan ini dapat mengenai sebagian maupun seluruh bagian endometrium.3,7
18
Hiperplasia endometrium juga didefinisikan sebagai lesi praganas yang disebabkan oleh stimulasi estrogen yang tanpa lawan. Hal ini biasanya terjadi sekitar atau setelah menopause dan terkait dengan perdarahan uterus berlebihan dan ireguler.1 Menurut referensi lain, hiperplasia endometrium adalah suatu masalah dimana terjadi penebalan/pertumbuhan berlebihan dari lapisan dinding dalam rahim (endometrium), yang biasanya mengelupas pada saat menstruasi.3 Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi hormon estrogen yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja dan beberapa tahun sebelum menopause sering terjadi siklus yang tidak berovulasi sehingga pada masa ini estrogen tidak diimbangi oleh progesteron dan terjadilah hiperplasia. Kejadian ini juga sering terjadi pada ovarium polikistik yang ditandai dengan kurangnya kesuburan (sulit hamil).4 3.2.
Klasifikasi
Risiko keganasan berkorelasi dengan keparahan hiperplasia, sehingga diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Hiperplasia sederhana (hiperplasia ringan). Dicirikan dengan peningkatan jumlah kelenjar proliferatif tanpa atipia sitologik. Kelenjar tersebut, meskipun berdesakan dipisahkan oleh stroma selular padat dan memiliki berbagai ukuran. Pada beberapa kasus, pembesaran kelenjar secara kistik mendominasi (hiperplasia kistik). Risiko karsinoma endometrium sangat rendah. 2) Hiperplasia
kompleks
tanpa
atipia
(hiperplasia
sedang/hiperplasia
adenomatosa). Menunjukkan peningkatan jumlah kelenjar dengan posisi berdesakan. Epitel pelapis berlapis dan memperlihatkan banyak gambaran mitotic. Sel-sel pelapis mempertahankan polaritas normal dan tidak menunjukkan pleomorfisme atau atipia sitologik. Stroma selular padat masih terdapat di antara kelenjar.
19
3) Hiperplasia
kompleks
dengan
atipia
(hiperplasia
berat/hiperplasia
adenomatosa atipikal). Dicirikan dengan berdesakannya kelenjar dengan kelenjar yang saling membelakangi dan nyatanya atipia sitologik yang ditandai dengan pleomorfisme, hiperkromatisme dan pola kromatin inti abnormal.
Hiperplasia
kompleks
dengan
atipia
menyatu
dengan
adenokarsinoma in situ pada endometrium dan menimbulkan risiko karsinoma endometrium yang tinggi.1,2 3.3.
Patogenesis
Hiperplasia endometrium ini diakibatkan oleh hiperestrinisme atau adanya stimulasi unopposed estrogene (estrogen tanpa pendamping progesteron / estrogen tanpa hambatan). Kadar estrogen yang tinggi ini menghambat produksi Gonadotrpin (feedback
mechanism).
Akibatnya
rangsangan
terhadap
pertumbuhan
folikel berkurang, kemudian terjadi regresi dan diikuti perdarahan.7 Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga terjadi penurunan produksi progesteron oleh korpus luteum sehingga estrogen tidak diimbangi oleh progesteron. Akibat dari keadaan ini adalah terjadinya stimulasi hormon estrogen terhadap kelenjar maupun stroma endometrium tanpa ada hambatan dari progesteron yang menyebabkan proliferasi berlebih dan terjadinya hiperplasia pada endometrium. Juga terjadi pada wanita usia menopause dimana sering kali mendapatkan terapi hormon penganti yaitu progesteron dan estrogen, maupun estrogen saja. Estrogen tanpa pendamping progesterone (unopposed estrogene) akan menyebabkan penebalan endometrium. Peningkatan estrogen juga dipicu oleh adanya kista ovarium serta pada wanita dengan berat badan berlebih. 3.4.
Gejala Klinis
Siklus menstruasi tidak teratur, tidak haid dalam jangka waktu lama (amenorrhoe) ataupun menstruasi terus-menerus dan banyak (metrorrhagia). Selain itu, akan sering mengalami flek bahkan muncul gangguan sakit kepala, mudah lelah dan sebagainya. Dampak berkelanjutan dari penyakit ini, adalah
20
penderita bisa mengalami kesulitan hamil dan terserang anemia berat. Hubungan suami-istri pun terganggu karena biasanya terjadi perdarahan yang cukup parah. 3.5.
Faktor Risiko
Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki resiko tinhggi: 1. Sekitar usia menopause 2. Didahului dengan terlambat haid atau amenorea 3. Obesitas ( konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan lemak ) 4. Penderita Diabetes melitus 5. Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian progestin pada kasus menopause 6. PCOS – polycystic ovarian syndrome 7. Penderita tumor ovarium dari jenis granulosa theca cell tumor 3.6.
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa hiperplasia endometrium dengan cara USG, Dilatasi dan Kuretase, lakukan pemeriksaan Histeroskopi dan dilakukan juga pengambilan sampel untuk pemeriksaan PA. Secara mikroskopis sering disebut Swiss cheese patterns. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
21
Pada
wanita
pasca
menopause
ketebalan
endometrium
pada
pemeriksaan
ultrasonografi transvaginal kira kira < 4 mm. Untuk dapat melihat keadaan dinding kavum uteri secara lebih baik maka dapat dilakukan pemeriksaan histerosonografi dengan memasukkan cairan kedalam uterus.
Biopsy Diagnosis hiperplasia endometrium dapat ditegakkan melalui pemeriksaan biopsi yang dapat dikerjakan secara poliklinis dengan menggunakan mikrokuret. Metode ini juga dapat menegakkan diagnosa keganasan uterus. Dilatasi dan Kuretase Dilakukan dilatasi dan kuretase untuk terapi dan diagnosa perdarahan uterus. Histeroskopi Histeroskopi adalah tindakan dengan memasukkan peralatan teleskop kecil kedalam uterus untuk melihat keadaan dalam uterus dengan peralatan ini selain melakukan inspeksi juga dapat dilakukan tindakan pengambilan sediaan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.
3.7.
Diagnosis Banding 22
Hiperplasia mempunyai gejala perdarahan abnormal oleh sebab itu dapat dipikirkan kemungkinan: 1) karsinoma endometrium 2) abortus inkomplit 3) leiomioma 4) polip
3.8.
Terapi
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut: 1) Tindakan kuretase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk menghentikan perdarahan. 2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 3-4 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipi, akan tetapi kurang efektif untuk hiperplasia dengan atipi. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat 10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40 mg/hari) kemungkinan merupakan terapi yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks. Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan. Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali normal. Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri untuk kembali menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan
23
diri pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya. 3) Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan rahim. Penyakit hiperplasia endometrium cukup merupakan momok bagi kaum perempuan dan kasus seperti ini cukup dibilang kasus yang sering terjadi, maka dari itu akan lebih baik jika bisa dilakukan pencegahan yang efektif.
3.9.
Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipi. Penelitian terbaru menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan hiperplasia endometrium atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami karsinoma endometrial pada saat yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipi yang di histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial. 3.10.
Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti : 1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim. 2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama. 3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma endometrium. 24
4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan kontrasepsi oral kombinasi. 5. Rubah gaya hidup untuk menurunkan berat badan.
KESIMPULAN Hiperplasia Endometrium adalah suatu kondisi di mana lapisan dalam rahim (endometrium) tumbuh secara berlebihan. Kondisi ini merupakan proses yang jinak (benign), tetapi pada beberapa kasus (hiperplasia tipe atipik) dapat menjadi kanker rahim. Endometrium merupakan lapisan paling dalam dari rahim. Lapisan ini tumbuh dan menebal setiap bulannya dalam rangka mempersiapkan diri terhadap terjadinya kehamilan, agar hasil konsepsi bisa tertanam. Jika tidak terjadi kehamilan, maka lapisan ini akan keluar saat menstruasi. Hormon yang ada di tubuh wanita: estrogen dan progesteron mengatur perubahan endometrium, dimana estrogen merangsang pertumbuhannya dan progesteron mempertahankannya. Sekitar pertengahan siklus haid, terjadi ovulasi (lepasnya sel telur dari indung telur). Jika sel telur ini tidak dibuahi (oleh sperma), maka kadar hormon (progesteron) akan menurun, sehingga timbullah haid/menstruasi. Pada saat mendekati menopause, kadar hormon2 ini berkurang. Setelah menopause wanita tidak lagi haid, karena produksi hormon ini sangat sedikit sekali. Untuk mengurangi keluhan/gejala menopause sebagian wanita memakai hormon
25
pengganti dari luar tubuh (terapi sulih hormon), bisa dalam bentuk kombinasi estrogen + progesteron ataupun estrogen saja. Estrogen
tanpa
pendamping
progesteron
(unoppesd
estrogen)
akan
menyebabkan penebalan endometrium. Pada beberapa kasus sel2 yang menebal ini menjadi tidak normal yang dinamakan Hiperplasis atipik yang merupakan cikal bakal kanker rahim. Risiko terjadinya hiperplasia endometrium bisa tinggi pada: usia sekitar menopause, menstruasi yang tidak beraturan atau tidak ada haid sama sekali, overweight, diabetes, SOPK (PCOS), mengkonsumsi estrogen tanpa progesteron dalam mengatasi gejala menopause. Gejalanya yang biasa/sering adalah perdarahan pervagina yang tidak normal (bisa haid yang banyak dan memanjang). Berikut ini beberapa pemeriksaan yang biasa dilakukan pada hiperplasia endometrium: USG: Terutama yang transvaginal. Biopsi : pengambilan sampel endometrium, selanjutnya di periksa dengan mikroskop (PA) Dilatasi dan Kuretase (D&C): leher rahim dilebarkan dengan dilatator kemudian hiperplasianya dikuret. Hasil kuret lalau di PA-kan. Hysteroscopy: memasukkan kamera (endoskopi) kedalam rahim lewat vagina. Dilakukan juga pengambilan sampel untuk di PA-kan. Pada kebanyakan kasus hiperplasisa dapat diobati dengan obat2an yaitu dengan memakai progesteron. Progesteron menipiskan/menghilangkan penebalan serta mencegahnya tidak menebal lagi. Namun pemakain progesteron ini menimbulkan bercak (spotting). Setelah mengkonsumsi progeteron dalam waktu tertentu, dilakukan evaluasi kembali endometriumnya dengan cara di biopsi atau metode sampling lainnya. Jika tidak ada perbaikan, dilakukan dapat diberikan obat lagi. Histerektomi atau pengangkatan rahim dilakukan jika anak sudah cukup atau hiperplasia nya jenis atipik. Namun jika masih ingin punya anak maka masih ada pilihan dilakukan terapi hormonal. 26
DAFTAR PUSTAKA 1. Chandrasoma, Parakrama dan Taylor, Clive. R. Patologi Anatomi. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2006. 2. Cotran dan Robbins. Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC. 2008. 3. Wachidah Q, Salim IA, Adityono. Hubungan hiperplasia endometrium dengan mioma uteri: studi kasus pada pasien ginekologi rsud prof. Dr. Margono Soekardjo, Purwokerto. Purwokerto: Mandala of Health. 2011; 5 (3). 4. Branson KH. Gangguan Reproduksi Wanita. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC; 2006: 1292-93 5. Prajitno RP. Endometriosis. Dalam: Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo; 2008: 314-16 6. Ganong WF. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.1992. 7. Suryawan ID, Sastrawinata U. Hubungan kerapatan reseptor hormone estrogen pada wanita perimenopause terhadap kejadian tipe hiperplasia endometrium. Bandung: Jurnal Kesehatam Masyarakat. 2007; 6 (2). 27
28