PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN DAN PENGEMBANGAN KAWASAN EKOWISATA TAMAN NASIONAL BALURAN (Studi pada Masyarakat Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Kabupaten Situbondo) Mufti Nafi’atut Darajat NIM. 0911210011 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya 2014 ABSTRAK Penelitian ini mengkaji tentang proses terbentuknya partisipasi masyarakat lokal memilih untuk ikut terlibat dalam pengelolaan serta pengembangan kawasan ekowisata, serta kondisi perubahan sosial sehubungan dengan partisipasi masyarakat di kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran. Penelitian ini menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens, dengan melihat praktik sosial pada pembentukan desa wisata Wonorejo sebagai implementasi dari pengembangan rantai pariwisata di kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran. Praktik sosial dilihat melalui serangkaian tindakan yang dilakukan oleh agen-agen dalam memanfaatkan struktur sebagai sumberdaya dan aturan sehingga menciptakan keterulangan praktik sosial baru berupa perubahan kondisi sosial masyarakat dari perambah hutan menjadi aktor pariwisata dalam pembentukan desa wisata. Hubungan timbal balik antara agen dan struktur menyangkut keterlibatan masyarakat dalam pembentukan desa wisata Wonorejo dengan mengacu pada tiga dimensi struktural Anthony Giddens meliputi Signifikasi, Dominasi, dan Legitimasi serta tingkat kesadaran agen. Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa pembentukan desa wisata lebih banyak menekankan pada partisipasi dengan melibatkan masyarakat. Hal ini dikarenakan pada diri agen diperkuat oleh struktur dominasi atas kepemilikan sumberdaya, ekonomi, dan politik serta struktur signifikasi.
Kata Kunci : Partisipasi, Praktik Sosial, Ekowisata, Taman Nasional
ABSTRACT
This research was learn about how the process of participation of local society could be established in management process and development process of the ecotourism area, and the changes of social condition caused of participation the society around Baluran National Ecotourism Park. This research was used structuration theory of Anthony Giddens, by look at the social practice about process of establishment of Wonorejo tourism village as implementation of developing tourism that sustainable in Baluran National Ecotourism Park. Social practices viewed by the actions that taken by the agents in utilizing the structure as a resource and the rule thus creating a new form of repeatability social practice changes social condition of forest encroachers to be an subject in establishment of a tourism village. Mutualism relationship between agents and the structures, regarding involvement in the establishment of Wonorejo tourism village depend on three structural dimension of Anthony Giddens, there are Signification, Domination, and Legitimacy also awareness level of agents. The result of this study revealed that the establishment of a tourism village more emphasis on the participation of society. This was caused of the agents strengthened by domination structure of resource ownership, economics, politics, and structure of signification.
Key word : Participation, Social Practice, Ecotourism, National Park.
Perubahan Sosial di Kawasan Ekowisata Taman Nasional Baluran Jurnal ilmiah ini secara garis besar membahas mengenai proses terbentuknya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran. Ekowisata sebagai salah satu konsep pariwisata berkelanjutan yang menekankan pada konservasi lingkungan. Sedangkan konservasi memerlukan peran dan keterlibatan dari berbagai pihak untuk mendukung terlaksananya berbagai upaya konservasi yang dilakukan khususnya keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Ekowisata atau ecotourism saat ini banyak mendapat dukungan dari pemerintah, masyarakat, maupun pihak lain yang terkait dengan kegiatan pariwisata. Ekowisata menjadi landasan utama dalam sektor wisata yang menjadi bagian dari upaya pembangunan melalui pariwisata berkelanjutan. Ekowisata menurut The International Ecotourism Society atau TIES (1991) adalah perjalanan jasa wisata ke wilayah-wilayah alami dalam rangka mengkonservasi atau menyelamatkan lingkungan dan memberi penghidupan penduduk lokal (Nugroho, 2011, hlm. 15). Pengemasan ekowisata berbasis masyarakat adalah pengembangan ekowisata yang sejatinya mendukung dan memungkinkan keterlibatan penuh oleh masyarakat setempat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengelolaan usaha ekowisata. Ekowisata berbasis masyarakat yang dijalankan di Taman Nasional Baluran berdasarkan Community based Tourism atau CBT merupakan usaha pengembangan destinasi pariwisata yang menitikberatkan peran aktif komunitas. Hal tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat memiliki pengetahuan tentang alam serta budaya yang menjadi potensi dan nilai jual sebagai daya tarik wisata sehingga pelibatan masyarakat menjadi mutlak diperlukan. Ekowisata berbasis masyarakat mengakui hak masyarakat lokal dalam mengelola kegiatan wisata di kawasan yang masyarakat miliki sehingga akan dapat berjalan dengan menggunakan konsep CBT. Community Based Tourism atau CBT merupakan pariwisata yang memperhatikan kelangsungan budaya lokal, sosial, dan lingkungan. Bentuk pariwisata ini dikelola dan dimiliki oleh masyarakat untuk masyarakat, guna membantu para wisatawan agar dapat meningkatkan kesadaran, belajar mengenai masyarakat lokal, dan belajar tata cara hidup
masyarakat lokal atau local way of life. Sehingga CBT bukan sebuah bisnis wisata yang menekankan pada keuntungan atau aspek ekonomi dari beberapa pihak yang berkepentingan saja, namun lebih terkait mengenai dampak pariwisata bagi masyarakat setempat dan sumber daya lingkungan. CBT merupakan model pengembangan pariwisata yang berasumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya membangun pariwisata yang lebih bermanfaat bagi kebutuhan, inisiatif, dan peluang masyarakat lokal (Hadiwijoyo, 2012, hlm. 71). Sehingga dapat kita lihat bahwa CBT sebagai salah satu pendekatan pembangunan pariwisata untuk mewujudkan pariwisata berkelanjutan merupakan salah satu model perencanaan yang partisipastif. Perencanaan partisipatif yang dimaksud pada paragraf di atas yaitu dengan cara melibatkan masyarakat sekitar kawasan dalam keseluruhan kegiatan pariwisata. Pelibatan masyarakat pada kegiatan atau aktifitas pariwisata tersebut diperlukan khususnya ekowisata yang dijalankan dengan konsep CBT. Masyarakat sekitar kawasan ekowisata lebih mengerti dan memahami mengenai kebutuhan maupun kondisi lingkungan khususnya yang berkaitan dengan ekowisata. Sehingga partisipasi aktif masyarakat diperlukan untuk melibatkan masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata tidak hanya pada tahap pelaksanaan, tapi terlibat mulai dari tahap kajian, perencanaan, pelaksanaan, sampai pada tahap monev atau monitoring evaluasi. Tanpa adanya partisipasi dari masyarakat dan juga keterlibatan dari berbagai pihak, maka kegiatan ekowisata akan terhambat pelaksanaannya. Sehingga dalam ekowisata, keterlibatan atau partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan demi lancarnya program-program ekowisata dalam pengelolaan dan pengembangannya. Taman Nasional Baluran merupakan salah satu kawasan ekowisata yang ada di Wilayah Jawa Timur tepatnya di Desa Wonorejo, Kabupaten Situbondo. Taman Nasional Baluran merupakan kawasan konservasi berupa hutan dan pantai yang di sekitarnya terdapat kehidupan masyarakat desa dan secara langsung bersentuhan dengan kawasan tersebut. Sehingga secara tidak langsung masyarakat sekitar lebih mempunyai hak terhadap sumber daya yang ada di sekitarnya dibandingkan dengan masyarakat yang ada di luar kawasan hutan. Apabila pengelolaan ekowisata tidak tepat, maka akan dapat menimbulkan
kondisi yang bertentangan dengan tujuan ekowisata. Seperti penelitian di kawasan Taman Nasional Baluran yang pernah dilakukan oleh Marliani (2005) dengan mengkaji mengenai karakteristik pemanfaat sumberdaya hutan, tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan, nilai ekonomis dari hasil hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat, serta kondisi hubungan antara masyarakat lokal dengan petugas Taman Nasional dan pemerintah daerah setempat. Penelitian Marliani menyebutkan bahwa masyarakat memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hasil hutan di kawasan Taman Nasional Baluran secara keseluruhan yaitu sebesar 68,98% dibandingkan dengan pendapatan masyarakat di luar hasil hutan (Marliani, 2005, hlm. 68). Salah satu faktor tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan adalah karena mayoritas tingkat pendidikan masyarakat rendah sehingga variasi pekerjaan juga rendah. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan yang tidak harmonis antara petugas Taman Nasional dengan masyarakat lokal. Kajian yang dilakukan oleh Marliani (2005) menggambarkan bahwa kurangnya koordinasi antara masyarakat lokal dengan petugas Taman Nasional Baluran maupun pemerintah daerah dapat menghambat pelaksanaan konservasi hutan dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai orientasi dari kegiatan ekowisata. Sehubungan dengan penelitian yang dilakukan Marliani (2005), saat ini terdapat kondisi yang bertolak belakang. Masyarakat saat ini turut berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran serta kegiatan wisata di Desa Wonorejo itu sendiri. Muncul aktor-aktor pariwisata khususnya yang berasal dari masyarakat lokal sebagai bentuk upaya mendukung pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata di Taman Nasional Baluran maupun aktivitas wisata di Desa Wonorejo. Masyarakat lokal khususnya perambah hutan tidak lagi mengambil hasil hutan, namun beralih pada kegiatan ekowisata. Pekerjaan yang dilakukan masyarakat di kawasan Taman Nasional Baluran misalnya dengan menjadi driver kendaraan pengangkut bagi pengunjung wisata, menjadi pemandu wisata budaya, pemandu selam, pemandu pendakian Gunung Baluran, membuka warung atau restoran, maupun mengelola tempat penginapan atau homestay. Selain itu di Desa Wonorejo sendiri masyarakat membuat kolam pancing dan budidaya ikan yang berasal dari Pantai Bama, pembuatan dan pengelolaan kandang komunal, budidaya tanaman hias dan tanaman kesehatan (wisata agro), budidaya lebah
madu, dan pengelolaan oleh-oleh kerajinan khas Desa Wonorejo. Sedangkan program wisata yang ada di Desa Wonorejo sebagai desa penyangga diantaranya program wisata pendidikan lingkungan, program mengikuti pola kehidupan masyarakat, program wisata agro masyarakat, program ikut serta dalam upacara adat masyarakat desa, program kegiatan konservasi yang dilakukan masyarakat, program ekowisata harian, program ekowisata menginap, dan program ekowisata tahunan, serta program wisata pantai. Penjabaran dari latar belakang di atas peneliti tuangkan dalam penelitian yang berjudul “Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Ekowisata Taman Nasional Baluran” (Studi pada Masyarakat Desa Wonorejo Kecamatan Banyuputih Kabupaten Situbondo). Sehingga rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu, pertama, mengenai bagaimana proses terbentuknya rasionalitas masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata berbasis partisipasi di Taman Nasional Baluran. Kedua, mengenai bagaimana bentuk partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata di Taman Nasional Baluran. Melalui jurnal ilmiah ini nantinya diharapkan dapat Memberikan sumbangan ilmiah dalam mengembangkan ilmu pengetahuan pada umumnya serta keilmuan sosiologi khususnya sosiologi pariwisata, serta dapat menjadi bahan referensi yang dapat dimanfaatkan oleh peneliti lain, serta memberikan gambaran dan pemahaman kepada pembaca mengenai pentingnya partisipasi dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan ekowisata khususnya di Taman Nasional Baluran. Penelitian ini menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens. Teori strukturasi Giddens melihat mengenai keterhubungan atau timbal balik antara agen dengan struktur. Peneliti mengkaji menggunakan teori strukturasi Giddens yang menekankan pada kesadaran dan rasionalitas antara agen dan struktur (Giddens, 2010, Hlm. 40-43). Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif menggunakan data serta informasi yang dimaksudkan untuk menggambarkan permasalahan secara sistematis, faktual, dan aktual yang terjadi di lokasi penelitian. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan tentang situasi atau proses yang diteliti secara mendalam (Idrus, 2007, hlm. 34). Sehingga dengan tipe penelitian deskriptif ini akan dapat membantu peneliti
dalam menjabarkan sebab-sebab yang menjadi alasan masyarakat memilih berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata di Taman Nasional Baluran dilihat dari rasionalitas masyarakat tersebut. Sedangkan pemilihan informan dalam penelitian ini menggunakan cara purposive atau bertujuan. Informan yang dipilih dalam penelitian ini adalah perangkat desa, masyarakat lokal yang saat ini menjadi aktor pariwisata, dan petugas taman nasional. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui wawancara, pengamatan atau observasi, serta dokumentasi.
Pembentukan Desa Wisata Wonorejo Sebagai Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Ekowisata Taman Nasional Baluran Pada tahun 2005, Marliani lewat penelitiannya menemukan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan khususnya di Taman Nasional Baluran tinggi. Kondisi masyarakat sekitar yang sebagian besar berada di bawah garis kemiskinan membuat hutan dan keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya mengalami banyak tekanan. Sedangkan pengelolaan kawasan konservasi harus mampu memberikan manfaat ekonomi bagi para pihak yang berkepentingan, termasuk masyarakat yang tinggal di dalam maupun di sekitar kawasan konservasi. Masyarakat tersebut akan termotivasi dan berperan serta untuk kepentingan pengelolaan kawasan dalam jangka panjang. Hal ini akan berimplikasi pada terbukanya akses bagi masyarakat terhadap pemanfaatan potensi hasil hutan non kayu yang terdapat dalam kawasan secara berkesinambungan sehingga keberlangsungan kawasan konservasi dan aktivitas wisata dapat berjalan secara seimbang dan beriringan. Oleh karena itu untuk mendukung berlangsungnya konservasi ekowisata Taman Nasional Baluran maka dibentuklah perencanaan program wisata desa di Desa Wonorejo. Perencanaan program wisata desa di Desa Wonorejo merupakan kegiatan wisata yang merupakan perpaduan antara wisata alam dan wisata budaya. Berangkat dari keprihatinan pihak taman nasional mengenai tingginya tekanan masyarakat terhadap hasil hutan dan keseriusan pemerintah kabupaten dalam memproyeksikan Desa Wonorejo sebagai desa wisata, maka Desa Wonorejo bekerja sama dengan berbagai pihak saat ini sedang berproses
menjadi desa wisata secara resmi. Kegiatan wisata desa melibatkan masyarakat Desa Wonorejo. Sasaran wisatawan program ekowisata desa adalah wisatawan lokal dan mancanegara. Perencanaan program ekowisata desa dibuat berdasarkan hasil kerjasama antara pihak Taman Nasional Baluran, pemerintah daerah Kabupaten Situbondo, dan masyarakat Desa Wonorejo sendiri. Program ekowisata di Desa Wonorejo dirancang sedemikian rupa agar wisatawan tidak hanya melihat atau menikmati ekowisata Taman Nasional Baluran saja. Perencanaan ekowisata di Desa Wonorejo juga sebagai salah satu upaya untuk mengurangi tekanan masyarakat terhadap pemiskinan sumber daya hutan. Wisata di dalam Desa Wonorejo dikelola oleh masyarakat Desa Wonorejo sendiri, sedangkan pengelolaan di dalam Taman Nasional Baluran tetap dipegang oleh pihak Taman Nasional Baluran. Selain itu, tujuan adanya wisata desa ini adalah sebagai rantai pengembangan wisata di Taman Nasional Baluran untuk mengangkat perekonomian masyarakat agar masyarakat Desa Wonorejo lebih sejahtera. Perencanaan pembentukan desa wisata Wonorejo merupakan salah satu upaya yang dilakukan oleh pihak Taman Nasional Baluran untuk melibatkan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan rantai pariwisata. Pelibatan masyarakat dalam aktivitas pariwisata dikarenakan upaya pihak taman nasional sebelumnya untuk mengurangi aktivitas merambah hutan tidak berkelanjutan. Upaya yang telah dilakukan pihak taman nasional yaitu pada tahun 2002 dilakukan pembinaan terhadap desa penyangga berupa pemberian bantuan ternak berupa kambing. Namun bantuan berupa hewan ternak kambing tersebut pada saat itu tidak dibarengi dengan pembekalan mengenai pemenuhan alternatif pakan ternak, sehingga bantuan ini ternyata tidak mengurangi pengambilan sumberdaya hutan. Hal tersebut disebabkan karena untuk mendapatkan pakan ternak tersebut masih bergantung pada kawasan Taman Nasional Baluran. Selain itu, dengan diberikannya ternak tersebut, intensitas penggembalaan justru semakin bertambah. Selain dalam bidang peternakan, pihak Taman Nasional Baluran juga mencoba untuk memberikan pembinaan di bidang lain. Pemberian pembinaan bagi desa penyangga ini dikaji ulang agar tidak kembali memicu aktivitas di dalam kawasan Taman Nasional Baluran. Pembinaan ini yaitu dalam aspek kesenian yaitu dalam bentuk bantuan peralatan musik yang diberikan kepada kelompok musik yang memang telah ada organisasinya dan
membutuhkan bantuan dalam rangka pengembangannya. Bantuan dalam bidang kesenian yang diberikan yaitu berupa alat musik hadrah dan alat musik band. Bantuan tersebut dimaksudkan agar masyarakat dapat melestarikan dan mengembangkan keterampilan dan budaya yang ada, sebagai sarana untuk menyalurkan minat bakat dan menciptakan prestasi khususnya bagi Desa Wonorejo. Selain itu juga agar terdapat terobosan baru bagi masyarakat untuk dapat meningkatkan tingkat sosial ekonominya sehingga tidak lagi bergantung terhadap hasil hutan di Taman Nasional Baluran. Ada juga bantuan mesin pompa air yang diberikan kepada masyarakat Desa wonorejo khususnya pada kelompok tani yang telah terbentuk wadah organisasinya. Pemberian mesin pompa air ini juga tak lain dimaksudkan untuk mengurangi aktivitas masyarakat dalam merambah hutan di dalam Taman Nasional Baluran sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian. Jenis bantuan lainnya bagi daerah penyangga Desa Wonorejo yang diberikan oleh pihak Taman Nasional Baluran adalah berupa bantuan pembuatan gudang dan pengadaan peralatan. Selain itu diberikan juga bahan pembuatan pupuk bokhasi untuk para petani dalam bidang pertanian. Terdapat juga pemberian bantuan peralatan dan bahan pengembangan usaha pembuatan keripik singkong dan tempe. Bantuan tersebut diberikan untuk memberikan suasana baru yang sekiranya dapat dikomersilkan. Menimbang bahwa di Desa Wonorejo memiliki banyak ternak dan tanaman singkong sehingga apabila diproduksi sebagai produk olahan diharapakan dapat membantu perekonomian masyarakat Desa Wonorejo serta dapat menjadi produk olahan khas desa. Bantuan tersebut juga diharapkan dapat meningkatkan produksi pertanian desa serta menekan banyaknya penggembalaan hewan ternak secara liar di kawasan Taman Nasional Baluran. Upaya bantuan ini dilakukan juga dengan tujuan mengentas pengangguran utamanya kaum muda desa agar dapat meningkatkan media promosi khususnya dalam aspek potensi pariwisata yang dikembangkan di Desa Wonorejo sebagai pengembangan dari kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran. Masyarakat desa hanya menerima saja bantuan dari taman nasional tanpa tahu akan kebutuhan yang sebenarnya atau kondisi sebenarnya di masyarakat. Sehingga belum ada komunikasi dua arah atau timbal balik antara masyarakat dengan pihak taman nasional. Hal tersebut terbukti dengan adanya penelitian Marliani (2005) yang
menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat desa sekitar kawasan Taman Nasional Baluran masih tergantung pada sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Selanjutnya ada tahun 2006, pihak Taman Nasional Baluran bekerja sama dengan pihak desa menetapkan berdirinya organisasi Sentra Penyuluhan Kehutan Perdesaan (SPKP) Desa Wonorejo. Organisasi ini didirikan dengan tujuan sebagai wadah yang menjembatani antara pihak taman nasional dengan masyarakat desa. Sehingga dengan didirikannya organisasi SPKP ini, masyarakat dapat lebih terlibat aktif dalam upaya pengelolaan dan pengembangan kawasan Taman Nasional Baluran dengan berbagai cara utamanya melalui pendapat dan aspirasi masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan melakukan berbagai pertemuan dan kegiatan yang dapat menjalin komunikasi dua arah, sehingga tidak hanya salah satu pihak saja yang mendominasi. Hal tersebut agar masyarakat dapat mengetahui permasalahan yang ada, mengetahui kondisi masyarakat, juga agar mengetahui dan menyadari potensi apa saja yang dimiliki Desa Wonorejo, maupun mengetahui kebutuhan apa saja yang sekiranya perlu untuk diperhatikan dan dipenuhi di tengah masyarakat. Pentingnya mengetahui mengenai kebutuhan masyarakat berangkat dari konsep Community Based Tourism (CBT) yang merupakan model pengembangan pariwisata dengan asumsi bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran nilai-nilai kebutuhan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat lokal dan menjamin keberlangsungan pariwisata. Selain itu pada tahun 2009 di Desa Wonorejo sering diadakan kegiatan pendidikan konservasi sebagai salah satu wujud upaya pendekatan terhadap masyarakat desa melalui berbagai pertemuan. Sampai pada tahun 2010, Desa Wonorejo mengikuti lomba desa yang diadakan di tingkat kabupaten yaitu di Kabupaten Situbondo. Hasilnya Desa Wonorejo memenangkan lomba desa tersebut. Kemudian Desa Wonorejo menjadi perwakilan dari Kabupaten Situbondo untuk melanjutkan lomba desa di tingkat provinsi. Hasil yang dicapai adalah Desa Wonorejo meraih juara ke dua lomba desa tingkat provinsi tersebut. Melihat potensi dan prestasi yang diperoleh Desa Wonorejo, masyarakat bersama pihak taman nasional serta pemerintah daerah kabupaten bersama-sama semakin giat berupaya untuk lebih menggali dan terus mengembangkan potensi yang ada di Desa Wonorejo khususnya untuk kepentingan pariwisata. Interaksi antar berbagai pihak kemudian lebih banyak dilakukan.
Interaksi yang dilakukan tidak hanya melalui acara-acara sosialisasi resmi saja, namun lebih banyak juga melalui kegiatan-kegiatan yang memang sering diadakan di Desa Wonorejo misalnya acara selamatan pertanian, sosialisasi acara lomba desa, sosialisasi acara lomba gotong-royong, bersih desa, pertemuan berbagai kelompok seperti kelompok tani, kelompok ternak, kelompok nelayan, berbagai kelompok organisasi wanita, sampai pada kegiatan arisan. Masyarakat juga semakin terbuka dan menerima pendekatanpendekatan yang dilakukan oleh pihak taman nasional serta pihak pemerintah kabupaten. Pada penelitian ini bentuk partisipasi yang dilakukan masyarakat untuk mendukung kegiatan ekowisata baik di Taman Nasional Baluran maupun di Desa Wonorejo adalah dengan menjadi aktor pariwisata. Aktor pariwisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah agen dalam artian seluruh masyarakat Desa Wonorejo yang turut serta mendukung adanya kegiatan wisata secara langsung maupun tidak langsung serta pihak taman nasional yang turut serta mendukung untuk mengembangkan kegiatan wisata. Hasil kajian teoritis tentang penelitian ini adalah mengenai tindakan sosial agency yaitu (1) aktor pariwisata dan pihak taman nasional dianalisis menggunakan teori strukturasi Giddens dalam tindakan partisipasi pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran yang diimplementasikan di Desa Wonorejo, yaitu dengan upaya merintis menjadi desa wisata sebagai rantai pengembangan pariwisata Taman Nasional Baluran untuk tujuan pelestarian alam atau konservasi dan kesejahteraan masyarakat sekitar berjalan dengan baik. Sedangkan (2) bentuk partisipasi serta upaya yang dilakukan masyarakat bersama dengan pihak taman nasional untuk mengelola dan mengembangkan rantai pariwisata untuk tujuan pelestarian alam atau konservasi dan kesejahteraan masyarakat dituangkan dalam program-program yang telah dilaksanakan seperti program desa wisata yang meliputi berbagai program wisata pendidikan dan pengetahuan serta program yang mendukung konservasi malalui organisasi SPKP dan berbagai kelompok masyarakat lainnya dapat dijalankan karena interaksi yang terjalin antara pihak taman nasional dengan masyarakat sampai saat ini berjalan dengan baik. Selain itu berbagai program yang dijalankan di Desa Wonorejo dapat berjalan dengan baik karena masyarakat bersama pihak taman nasional dalam menjalankan program-program tersebut didasari atas kesadaran dari tindakan sosial yang dilakukan dalam mengelola dan
mengembangkan ekowisata seperti yang dikemukakan oleh Giddens, sehingga berdampak pada penekanan pengambilan hasil hutan yaitu dengan memanfaatkan hutan secara lestari.
Rasionalitas
dan
Bentuk
Partisipasi
Masyarakat
dalam
Pengelolaan
dan
Pengembangan Kawasan Ekowisata Taman Nasional Baluran Dualitas pelaku atau agen dengan struktur dapat dilihat melalui proses keterulangan praktik sosial yang dikemukakan oleh Giddens. Menurut Giddens, struktur sosial tidak lain halnya merupakan hasil sekaligus sarana dari praktik sosial tersebut (Giddens, 2011, hlm. 83 ). Seperti pada contoh di atas, yang menggambarkan bahwa masyarakat Desa Wonorejo sebelum adanya pembentukan desa wisata masih merambah hutan, walaupun sudah ada struktur yang melingkupi wilayah taman nasional, namun saat ini masyarakat telah mereproduksi pengetahuan dalam memanfaatkan alam sesuai dengan peraturan yang diterapkan dan kesepakatan untuk diimplementasikan di dalam pembentukan desa wisata Wonorejo. Sehingga dapat dilihat bahwa petugas taman nasional dan masyarakat Desa Wonorejo selaku agen dari struktur yang ada, melakukakan praktik atau tindakan sosial inilah yang kemudian disebut dengan struktur sosial. Pengelola taman nasional dan masyarakat Desa Wonorejo sebagai agen dalam keseluruhan proses ruang dan waktu inilah yang membangun kebiasaan maupun kepercayaan antara satu dengan yang lain melalui suatu interaksi yang rutin dan dalam praktik sosialnya dalam mengelola dan mengembangkan kawasan ekowisata baik di dalam Taman Nasional Baluran maupun di dalam Desa Wonorejo. Pada penelitian ini, masyarakat lokal diasumsikan sebagai agen yang ada di sekitar kawasan Taman Nasional Baluran khususnya yang saat ini menjadi aktor pariwisata. Sedangkan struktur pada teori strukturasi dalam penelitian ini adalah seperangkat aturan dan sumberdaya yang melekat di dalam Taman Nasional Baluran berupa norma, aturan, maupun kebiasaan. Pembentukan desa wisata sebagai implementasi dari pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran terjadi melalui praktik sosial strukturasi Giddens. 1) Teori Strukturasi Giddens. Teori strukturasi Giddens melihat mengenai keterhubungan atau timbal balik antara agen dengan struktur. Dualitas antara agen dan
struktur dalam penelitian ini yaitu hubungan yang terjalin dan kegiatan yang terbentuk antara Taman Nasional Baluran dengan masyarakat Desa Wonorejo melalui implementasi pengelolaan dan pengembangan kegiatan pariwisata. Ketergantungan atau proses hubungan timbal balik antara struktur dan agen dilihat dari adanya koordinasi antara pihak taman nasional dengan masyarakat lokal. Partisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata di Taman Nasional Baluran terlaksana tidak hanya karena adanya faktor struktur, namun juga karena adanya keterlibatan agen di dalamnya. Pada penelitian ini, terdapat interaksi antara pihak Taman Nasional Baluran dengan masyarakat Desa Wonorejo dalam lintas ruang dan waktu. Pada teori strukturasi Giddens dijelaskan bahwa hubungan timbal balik antara agen dengan struktur, melibatkan ruang dan waktu akan berkesinambungan dengan refleksivitas kesadaran diri sebagai sifat arus kehidupan sosial dan selalu dimonitor dalam keberlangsungannya (Giddens, 2010, hlm. 43). Aktor sebagai agen pelaku bertujuan yang memiliki alasan-alasan dalam aktifitas-aktifitasnya mampu apabila diminta menjelaskan secara berulang-ulang alasan-alasan tersebut. Sama halnya dengan aktor pariwisata yang posisinya dalam penelitian ini adalah sebagai agen. Sehingga dalam teori strukturasi Giddens, tindakan bertujuan tidak terangkai dari sekumpulan alasan dan motif yang terpisah. Jadi refleksivitas merupakan basis instropeksi monitoring secara kontinyu terhadap tindakan yang diperlihatkan agen dan untuk selanjutnya diharapkan ditampilkan pada agen lain. Instropeksi dan mawas diri (monitoring reflexive) tergantung pada rasionalisasi, sehingga dipahami bukan sebagai suatu keadaan, melainkan sebagai proses dan sebagai sesuatu yang terlibat dalam kompetensi agen-agen selain juga keterlibatan struktur di dalamnya (Giddens, 2010, hlm. 183). Misalnya dalam penelitian ini adalah kegiatan penyuluhan, pendampingan, dan pelayanan oleh pihak Taman Nasional Baluran yang menyampaikan mengenai seputar kegiatan taman nasional berkaitan dengan kondisi Desa Wonorejo sekarang yang sedang berproses menjadi desa wisata. Jika dianalisis menggunakan teori strukturasi Giddens, masyarakat memilih menjadi agen yaitu aktor pariwisata untuk bersama-sama mengelola kawasan wisata baik di dalam Taman Nasional Baluran maupun di dalam Desa Wonorejo setelah interaksi aktif yang dibangun antara pihak taman nasional dengan masyarakat. Salah satunya adalah melalui SPKP maupun
organisasi-organisasi lain dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga tindakantindakan sosial agen yang ada di dalam Taman Nasional Baluran maupun di dalam Desa Wonorejo sendiri terbangun dan terlaksana dengan baik. Keseluruhan proses terbentuknya partisipasi masyarakat bersama pihak Taman Nasional Baluran selaku agen dari struktur dapat bersama-sama secara baik dijalankan dengan memakai ruang dan waktu yang terlibat di dalamnya. 2) Skemata SDL Giddens. Selain analisis melalui hubungan timbal balik antara agen dengan struktur, prinsip struktural berupa Signifikasi, Dominasi, dan Legitimasi (S-D-L) terangkai dalam suatu pola praktik sosial dalam pembentukan desa wisata Wonorejo sebagai bentuk pengembangan keberadaan ekowisata Taman Nasional Baluran. Skemata praktik sosial tersebut dapat dilihat pada gambar berikut :
Signifikasi : Masyarakat desa Wonorejo memiliki pengetahuan mengenai kondisi lingkungan serta memahami adanya pembentukan desa wisata.
Struktur
Skema interpretatif : Modalitas
Pengetahuan aktor pariwisata mengenai pengelolaan dan pengembangan ekowisata TNB dengan cara pembentukan desa wisata. Komunikasi :
Interaksi
n
Aktor pariwisata mengadakan musyawarah dengan multipihak untuk mendapatkan pertimbangan dan kesepakatan. Sumber : Diolah Peneliti
Dominasi Politik & Ekonomi : Berupa peraturan yang dibuat oleh aktor pariwisata dengan sumber daya di Desa Wonorejo untuk kegiatan wisata. Fasilitas : Terpenuhinya kebutuhan masyarakat baik berupa pekerjaan utama maupun sampingan secara legal. Kekuasaan : Aktor pariwisata dapat mengelola dan mengembangkan potensi desa menjadi desa wisata sebagai bentuk partisipasi terhadap keberadaan ekowisata TNB.
Legitimasi : L. Struktur yaitu membentuk desa wisata sehingga masyarakat tidak lagi merambah hutan. Legitimasi agen yaitu membentuk desa wisata untuk dikelola masyarakat Norma : Aturan-aturan dalam pengelolaan desa wisata dengan tetap berkesesuaian terhadap keberadaan ekowisata TNB. Sanksi : Tujuan pembentukan desa wisata menjadi tidak terpenuhi dan akan berdampak pada keberadaan ekowisata TNB.
Gambar 1. Skemata Giddens dalam Praktik Sosial Pembentukan Desa Wisata Wonorejo
Konsep signifikasi dalam prinsip struktural melihat praktik sosial dipengaruhi oleh adanya modalitas yaitu tentang pengetahuan-pengetahuan agen mengenai kondisi lingkungan di sekitarnya baik dalam ranah taman nasional maupun Desa Wonorejo. Pemanfaatan modalitas berupa pola interpretatif (pola penandaan atau pemaknaan) dapat dilakukan dalam proses interaksi berupa komunikasi melalui proses sosialisasi internal dalam usaha untuk memberikan pengertian, pemahaman, serta pemaknaan masyarakat mengenai pengembangan pariwisata berupa pembentukan desa wisata dan memahami posisi masing-masing antar agen. Komunikasi tersebut diperlukan agar menjadi sebuah sarana melakukan transfer pengetahuan antar agen. Modalitas pada skemata pola interpretatif dimaknai sebagai modal pengetahuan, pewacanaan, dan pemaknaan yang ada dalam diri aktor dalam memahami keberadaan dan kegiatan ekowisata di Taman Nasional Baluran. Hubungan tersebut dapat dilakukan melalui interaksi komunikasi dengan pemaknaan tersebut dapat diskemakan dalam struktur signifikasi. Selain siginifikasi, terdapat struktur dominasi yang dipahami sebagai penguasaan terhadap barang atau hal yaitu ekonomi dan penguasaan atas orang atau politik (Giddens, 2010, hlm. 32). Struktur dominasi dalam penelitian ini digambarkan melalui kepemilikan atau penguasaan agen terhadap peraturan-peraturan yang dibuat, siapa yang membuat dan siapa yang menjalankan. Legitimasi dalam penelitian ini bisa dilihat dari struktur yaitu membentuk desa wisata agar masyarakat tidak lagi merambah hutan dan sebagai salah satu cara mengembangkan ekowisata. Sedangkan legitimasi dari agen yaitu masyarakat sebagai aktor pariwisata membentuk desa wisata untuk dikelola dan dikembangkan oleh masyarakat Desa Wonorejo. Ketiga gugus struktur yang telah dijelaskan tersebut akan saling berkaitan dan menggambarkan terjadinya sebuah praktik sosial dengan melihat modalitas sebagai sarana praktik sosial yaitu dualitas antara agen dengan struktur. Interaksi yang dibangun oleh agen dengan agen, maupun agen dengan struktur terjadi berupa keseluruhan koordinasi secara intensif untuk mendukung pegelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran yaitu untuk mendukung dan terlibat dalam kegiatan pembentukan desa wisata sebagai implementasi dari pengelolaan dan pengembangan ekowisata Taman Nasional Baluran termasuk aktifitas wisata dari program yang dibentuk secara bersamasama.
3) Ruang dan Waktu. Giddens melihat bahwa terjadinya tindakan atau praktik sosial dalam masyarakat melalui dualitas antara agen dan struktur terjadi dalam lintas ruang dan waktu. Konstektualitas ruang dan waktu tidak dapat lepas dari teori strukturasi yang dibangun oleh Giddens karena berkaitan dengan konsep ‘rutinitas’ yang kemudian dengan kata lain bisa dikatakan sebagai ‘sejarah’ (Giddens, 2010, hlm. 146). Praktik atau tindakan sosial yang dilakukan dalam pembentukan desa wisata sebagai bentuk dari pengembangan ekowisata di Taman Nasional Baluran merupakan perilaku yang dilakukan secara terus menerus dalam lintas ruang dan waktu yang terjadi secara berulang kemudian diciptakan oleh aktor melalui alat-alat yang digunakan untuk mengekspresikan diri sendiri sebagai aktor atau agen. Pada penelitian ini, maksud dari perilaku yang dilakukan secara terus menerus adalah proses dalam pembentukan desa wisata yang melibatkan atraksi wisata dengan aktifitas keseharian masyarakat sehingga menjadi sebuah rutinisasi yang menurut Giddens sebagai kunci utama untuk menjelaskan proses keberlangsungan terjadinya suatu praktik atau tindakan sosial. 4) Kesadaran Masyarakat Desa Wonorejo. Teori strukturasi yang dikemukakan oleh Giddens juga melihat mengenai tingkat kesadaran. Tingkat kesadaran pada dasarnya sangat berpengaruh terhadap tindakan sosial yang terjadi antara agen dan struktur. Kesadaran dalam strukturasi Giddens terbagi menjadi motivasi tidak sadar, kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis. Jenis kesadaran tersebut berhubungan dengan kemampuan agen dalam memberikan penjelasan atas motif, alasan, dan tujuan dari tindakan yang telah dilakukan. Motif Tidak Sadar, diketahui bahwa tidak semua motivasi dari tindakan agen dapat dijumpai pada tingkat kesadaran. Giddens menggunakan motivasi tidak sadar sebagai sebuah pendukung terhadap beberapa tindakan agen. Motivasi tidak sadar ini meliputi keinginan juga kebutuhan yang dapat berpotensi mengarahkan suatu tindakan, namun bukan dari tindakan itu sendiri (Giddens, 2011, hlm. 44). Pada penelitian ini, motivasi tidak sadar dari aktor pariwisata sebagai agen dalam tindakan sosial berpartisipasi mengelola dan mengembangkan ekowisata di Desa Wonorejo sebagai rantai pengembangan pariwisata Taman Nasional Baluran tidak hanya untuk kepentingan kemajuan desa dan kepentingan konservasi atau agar dapat beraktivitas dengan rasa aman, namun motif tindakan tersebut adalah untuk mendapatkan uang. Motivasi untuk mendapatkan uang tersebut merupakan
suatu kebutuhan yang dapat berpotensi mengarahkan suatu tindakan yaitu menjadi aktor pariwisata di Desa Wonorejo. Kesadaran Diskursif, yaitu kemampuan dalam diri agen untuk memaparkan dan memberikan alasan-alasan atas tindakan yang telah dilakukan secara verbal atau eksplisit. Kesadaran diskursif disini berupa tingkat kesadaran aktor yang dalam melakukan tindakan sosial tersebut diawali dengan pemikiran dari tindakan apa yang akan dilakukan untuk aktor dapat mengungkapkan dan menjelaskan dengan verbal atas tindakan yang dilakukan (Giddens, 2011, hlm. 44). Pada penelitian ini, aktor pariwisata sebagai agen menjelaskan bahwa tindakannya berpartisipasi dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata di Desa Wonorejo adalah karena kondisi perekonomian keluarga yang terbatas sehingga perlu mencari pendapatan sampingan rumah tangga untuk mencukupi kebutuhan hidup seharihari dibandingkan dengan kegiatan merambah hutan. Pada kondisi ini, agen memilih untuk menjadi aktor pariwisata sehingga tetap dapat mendapat penghasilan tambahan dari hasil kegiatan wisata. Agen memilih menjadi aktor pariwisata karena selain sejalan dengan tujuan bersama untuk mengembangkan kawasan wisata yang berorientasi pada alam atau konservasi, dengan menjadi aktor pariwisata, pekerjaan tersebut dianggap legal atau diperbolehkan bahkan didukung oleh pihak taman nasional dan pemerintah sehingga tidak membuat masyarakat khawatir. Pada tingkatan kesadaran diskursif, agen mampu mengakumulasikan kapasitas pengetahuan yang dimiliki tentang kondisi di sekitarnya sehingga dapat menceritakan secara rinci mengenai tindakan yang dilakukan. Selain itu, pada tataran tingkat kesadaran diskursif ini juga dapat memberikan peluang pada agen untuk mengubah tindakannya. Misalnya agen yang pada awalnya menjadi perambah hutan, saat ini memilih menjadi aktor pariwisata terlibat dalam pengembangan rantai wisata di Desa Wonorejo. Kesadaran Praktis, merupakan akumulasi dari pengetahuan yang dimiliki oleh agen tentang tindakan yang dilakukannya (Giddens, 2011, hlm. 45). Melalui gugusan pengetahuan yang dimiliki, agen menjadi tahu bagaimana melakukan aktivitas hidup sehari-hari tanpa harus mempertanyakan secara terus menerus apa yang akan dilakukannya. Tindakan agen tersebut menjadi suatu rutinitas yang tidak perlu dipertanyakan lagi. Pada tingkat kesadaran praktis dalam teori strukturasi Giddens inilah yang lebih ditekankan. Hal
tersebut dikarenakan teori strukturasi lebih menekankan pada tindakan, bukan dilihat dari penjelasan verbal dari agen seperti pada tataran tingkat kesadaran diskursif. Pada tingkat kesadaran praktis ini, dalam diri aktor sudah terbentuk perilaku yang seharusnya dilakukan untuk menghadapi gejala sosial di sekitarnya. Misalnya dalam penelitian ini adalah aktor pariwisata yang berprofesi sebagai nelayan. Setiap hari nelayan tersebut akan mencari ikan di laut dan melakukan kegiatan sehari-harinya di pantai tanpa mempertanyakan lagi tindakan yang dilakukannya meskipun ada wisatawan yang berkunjung melakukan kegiatan wisata ke ranahnya beraktifitas. Nelayan tersebut menerima dan melakukan tindakan yang secara rutin masuk dalam wilayah keseharian dan intensitas dari waktu ke waktu secara rutin dan menjadikan hal tersebut sebagai sebuah tindakan praktis tanpa harus mempertanyakan lagi. Pada penelitian ini, munculnya praktik atau tindakan sosial terbentuk dari dualitas agen dengan struktur serta dilihat dari kesadaran agen. Agen merupakan salah satu konsep penting dalam teori strukturasi yang dalam penelitian ini meliputi masyarakat Desa Wonorejo sebagai aktor pariwisata maupun pihak taman nasional. Agen dalam penelitian ini memiliki tingkat kesadaran di dalam dirinya dari tindakan sosial yang dilakukan meliputi motif tidak sadar, kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis. Pada tingkat kesadaran praktis lebih ditekankan karena teori strukturasi lebih menekankan pada tindakan, bukan dilihat dari penjelasan verbal dari agen yang melakukan praktik atau tindakan sosial seperti yang dilakukan oleh agen dalam penelitian ini. Selain kesadaran, terdapat rasionalisasi dan motivasi yang menjadi faktor penting yang juga dibutuhkan agen untuk memunculkan suatu praktik atau tindakan sosial. 5) Praktik Sosial Masyarakat Desa Wonorejo. Keterlibatan masyarakat dalam membentuk desa wisata di Desa Wonorejo tidak terjadi dengan sendirinya tanpa proses yang panjang. Mulai dari stimulus yang diberikan oleh Taman Nasional Baluran sampai pada tahap terbentuknya kesadaran masyarakat ikut serta dalam pembentukan desa wisata di Wonorejo sebagai bentuk pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran. Interaksi yang komunikatif antara pihak taman nasional dengan masyarakat baru terbangun sejak adanya organisasi SPKP di Desa Wonorejo. Ada upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pihak taman nasional untuk melibatkan masyarakat dalam aktifitas pariwisata, salah
satunya dengan membentuk desa wisata. Pada kasus ini, terdapat hubungan antara agen dengan agen yaitu melalui komunikasi yang terjalin antara pihak taman nasional dengan masyarakat Desa Wonorejo. Penegasan hubungan timbal balik antara agen dengan struktur pada teori strukturasi dalam lintas ruang dan waktu yang melahirkan suatu praktik atau tindakan sosial diawali dari pendekatan atau upaya yang dilakukan oleh pihak taman nasional. Petugas taman nasional mulai melakukan upaya penanganan kerusakan hutan akibat semakin tingginya perambah hutan yang mengambil dan memanfaatkan hasil hutan di kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran. Salah satu upaya hubungan agen dengan agen yang dilakukan yaitu petugas taman nasional secara intensif memberikan penyuluhan dan pemahaman bagi masyarakat mengenai kerusakan hutan yang telah terjadi akibat tingginya ketergantungan masyarakat terhadap hasil hutan. Pada analisis ini, kehidupan sosial manusia bisa dipahami berdasarkan relasi-relasi di antara individu-individu yang saling berinteraksi dan membedakan satu konteks dengan konteks yang lain. Sehingga hal tersebut ditegaskan dalam sebuah praktik atau tindakan sosial sebagai dasar landasan adanya pelaku di masyarakat (Giddens, 2010, hlm 43). Selain keterlibatan agen dengan agen, paraktik atau tindakan sosial dalam strukturasi Giddens dilandasi dari hubungan antara agen dengan struktur. Pada penelitian ini, struktur yang merupakan keseluruhan sumberdaya dan aturan yang awalnya ada di wilayah taman nasional belum dapat merubah kebiasaan agen yang juga memiliki struktur lain yaitu di dalam Desa Wonorejo. Sedangkan struktur secara keseluruhan belum dapat terintegrasi sehingga antara agen dengan struktur pada tahap ini masih belum berkesinambungan dan belum secara timbal balik mempengaruhi, sampai pada tahap perjumpaan sosial yang menjadi salah satu rutinitas agen dengan struktur dengan keseluruhan proses melintasi ruang dan waktu untuk menghasilkan suatu praktik atau tindakan sosial. Melalui perjumpaan sosial tersebut secara rutin akan terbentuk suatu praktik atau tindakan berdasarkan arah pengorientasian atas apa yang akan dikerjakan. Agen dengan struktur yang saling mempengaruhi tersebut dapat melahirkan suatu praktik atau tindakan melalui partisipasi dalam praktik sosial yang kontinue. Hal tersebut dapat
terjadi apabila hubungan antara agen dengan agen atau agen dengan struktur memiliki perspektif yang sama mengenai kegiatan ekowisata baik pengelolaan maupun pengembangan khususnya yang ada di Taman Nasional Baluran. Proses tindakan sosial yang terjalin antara masyarakat dengan pihak Taman Nasional Baluran melalui pembentukan desa wisata sebagai rantai pengembangan pariwisata di Taman Nasional Baluran ini yang dinamakan dengan praktik sosial dalam ranah strukturasi Giddens. Tindakan yang melibatkan agen dan struktur terjadi dalam praktik pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran melalui pengembangan rantai wisata di dalam Desa Wonorejo. Struktur yang dimaksud dalam penelitian ini jika dilihat dari teori strukturasi Giddens adalah keseluruhan aturan dan sumber daya yang ada di Taman Nasional Baluran untuk mengatur pengelolaan seperti sosialisasi, peringatan, peraturan, maupun sanksi, serta pengembangan kegiatan ekowisata, juga meliputi semua program kegiatan Taman Nasional Baluran dalam mengelola dan memberdayakan masyarakat demi tujuan kelestarian alam atau konservasi, kebiasaan sehari-hari, termasuk kebudayaan yang melekat pada masyarakat Desa Wonorejo dalam melakukan interaksi dengan berbagai pihak lain maupun dengan lingkungan di sekitarnya, termasuk juga melalui pengembangan rantai wisata yang diimplementasikan di dalam Desa Wonorejo. Pada penelitian ini bentuk partisipasi yang dilakukan masyarakat untuk mendukung kegiatan ekowisata baik di Taman Nasional Baluran maupun di Desa Wonorejo adalah dengan menjadi aktor pariwisata. Aktor pariwisata yang dimaksud dalam penelitian ini adalah agen dalam artian seluruh masyarakat Desa Wonorejo yang turut serta mendukung adanya kegiatan wisata secara langsung maupun tidak langsung serta pihak taman nasional yang turut serta mendukung untuk mengembangkan kegiatan wisata.
Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, maka kesimpulan yang penulis dapat yaitu 1) Pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran diimplemetasikan melalui pembentukan desa wisata yang ada di Desa Wonorejo sebagai desa penyangga taman nasional dan sebagai rantai pengembangan
kegiatan ekowisata. Masyarakat Desa Wonorejo pada awalnya memiliki tingkat ketergantungan terhadap hutan di Taman Nasional Baluran, saat ini sudah beralih menjadi aktor pariwisata khususnya di Desa Wisata Wonorejo sehingga pemanfaatan hutan oleh masyarakat dilakukan secara lestari. Tindakan masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan ekowisata Taman Nasional Baluran berbasis partisipasi tidak lepas dari peran agen dan struktur. Struktur berupa keseluruhan aturan dan sumberdaya di Taman Nasional Baluran maupun lingkungan sekitar masyarakat, sedangkan agen adalah masyarakat Wonorejo maupun pihak taman nasional. Selain itu praktik sosial pembentukan desa wisata tidak lepas dari prinsip struktural yang menurut Giddens ketiganya saling terkait satu sama lain. Prinsip tersebut yaitu struktur signifikasi berupa penandaan dan makna dari masyarakat terhadap keberadaan ekowisata taman nasional maupun pembentukan desa wisata, struktur dominasi atau kekuasaan berupa sumberdaya yang dimiliki oleh agen yang tertuang dalam peraturan-peraturan yang dibuat, serta struktur legitimasi dari agen dan struktur dengan adanya pembentukan desa wisata. Sedangkan agen memiliki tingkat kesadaran di dalam dirinya dari tindakan sosial yang dilakukan meliputi motif tidak sadar, kesadaran diskursif, dan kesadaran praktis. 2) Bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam pengelolaan dan pengembangan kawasan ekowisata Taman Nasional Baluran adalah dengan menjadi aktor pariwisata baik di dalam taman nasional maupun di dalam Desa Wonorejo, serta ikut mendukung kegiatan desa wisata dengan musyawarah dan tindakan nyata di Desa Wonorejo sebagai implementasi dari rantai pengembangan pariwisata. Keterlibatan secara langsung masyarakat dibagi menjadi dua bagian, yaitu keterlibatan terhadap program pemberdayaan masyarakat dari taman nasional secara langsung, serta keterlibatan masyarakat dalam proses pembentukan desa wisata di Wonorejo.
DAFTAR PUSTAKA Demartoto, Argyo. 2009. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wisata alam air terjun jumog, desa berjo, kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Jurnal.Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta. Hal 21. Diakses di world wide web at http://argyo.staff.uns.ac.id/files /2010/08/ laporan-penelitian -air-terjunjumog.pdf
Giddens, Anthony. 2011. The Constitution of Society :Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Penerjemah Adi Loka Sujono. Pedati _______________. 2010. Teori Strukturasi (Dasar-dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat). Penerjemah Maufur & Daryatno. Jakarta : Pustaka Pelajar _______________. 2000. Majalah Basis (Edisi Khusus Giddens). Yayasan BP Basis. Yogyakarta. Hadiwijoyo, Suryo S. 2012. Perencanaan Pariwisata Perdesaan Berbasis Masyarakat; Sebuah Pendekatan Konsep. Yogyakarta :Graha Ilmu. Hartono, Hari. 1974. Perkembangan Pariwisata, Kesempatan Kerja dan Permasalahannya. Prisma: Th.III No.2. Idrus, Muhammad. 2007. Metode Penelitian Sosial (Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif). Yogyakarta: UII Press Ife, Jim dan Frank Tesoriero. 2008. Community Development: Alternatif Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar John, W. Creswell. 2010. Research Design. Penerjemah: Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Koentjaraningrat.1993. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Lexy, Moleong. 2010. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya Marliani, Rini Novi. 2005. Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Penyangga Taman Nasional Baluran. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Miles, M. dan Hubberman, M. 1992. Analisa Data Kualitatif. Diterjemahkan oleh Tjetjep Rohid. Jakarta: Universitas Indonesia Press Nugroho, Iwan. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta : PustakaPelajar Pitana, I. Gde dan Cecep Rukendi. 2009. Kebijakan Pariwisata Berbasis Alam di Indonesia. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata. Petunjuk Pengembangan Ekowisata Budaya dan Kuliner. Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Kepariwisataan. http://iirc.ipb.ac.id/jspui/bitstream/ 12345 6789 /43361/1/I%252 Gde%2520Pitana%25 20%25 26%2520Cecep %2520 Rukendi.pdf Priyono, B. Herry. 2003. Anthony Giddens Suatu Pengantar. Cetakan kedua. Jakarta : Gramedia
Robert K. Yin. 2008. Studi Kasus: Desain & Metode, Cet II. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Salim, Agus. 2005. Teori Dan Paradigma Penelitian Sosial Cet. II;. Yogyakarta: Tiara Wacana. Soetomo. 2006. Strategi-strategi Pembangunan Masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Spreadley, James. 1997. Metode Etnografi (terjemahan Misbah Zulfa Elizabeth). Yogyakarta: Tiara Wacana. Widiani, Megasari. 2009. Konstruksi Sosial Masyarakat Senaru Terhadap Ekowisata ( Ecotourism ) di Taman Nasional Gunung Rinjani. Studi di Desa Senaru Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang Wood, M.E. 2002. Ecotourism : Principles, Practices, dan Policies for Sustainability. UNEP. Vol. 13. No.2 Diakses di world wide web http://www.unepie.org/tourism/journal/ ecotourism.htm http://desawonorejsitubondo.wordpress.com/profil-desa-wonorejo/sekapur-sirih/
Biografi Penulis Terlahir di Kabupaten Situbondo-Jawa Timur pada tanggal 10 Mei 1991 dari pasangan Achmad Safari dan Suryani. Berhasil menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN 1 Gudang pada tahun 2003. Melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 1 Asembagus dan lulus pada tahun 2006. Kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 1 Situbondo dan lulus pada tahun 2009. Selanjutnya menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya jurusan Sosiologi pada tahun 2009 dan memperoleh gelar sarjana pada tahun 2014. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan antara lain : Strategi Perempuan Produktif Dalam Penanggulangan Bencana Banjir Di Desa Sitiarjo Kecamatan Sumbermanjing Wetan Kabupaten Malang pada tahun 2012 ; Laporan Praktik Kerja Nyata (PKN) Menumbuhkan Tanggung Jawab Sosial Melalui Program Pemberdayaan Masyarakat
Menuju Kemandirian Desa Sidoasri, tahun 2012 ; Kajian Kondisi Lingkungan Alam Sebagai Faktor Pendorong Pariwisata Dalam Perspektif Ekowisata, Studi Pariwisata Di Desa Ngadas Kecamatan Poncokusumo Kabupaten Malang tahun 2013 ; serta Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pengembangan Kawasan Ekowisata Taman Nasional Baluran Kabupaten Situbondo, Laporan Penelitian, Skripsi tahun 2014. Pelatihan, workshop, dan seminar yang pernah diikuti antara lain: Research day dalam rangkaian kegiatan dari Laboratorium Sosiologi 2013 sebagai salah satu penyaji, Peserta Seminar Nasional Brawijaya Public Lecture Series dan Pekan Budaya dengan Tema “ Laman Batas dalam Perspektif Ketahanan Budaya”, Salah satu panitia Lomba Karya Tulis Kewirausahaan SMA/SMK/MA Se-Jawa dan Bali 2010 Badan Riset Ilmu Sosial (BARIS) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Brawijaya.
Contact person : 085755714885 Email :
[email protected]