KELOMPOK 9 MODAL SOSIAL DAN PARTISIPASI PARTISIPASI MASYARAKAT 1. DENNY SATRIA (1680100023) (1680100023) 2. EKA ANIS APRILIANI (1680100031)
A. Modal Sosial
Definisi modal sosial adalah kemampuan masyarakat dalam bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama dalam beberapa komunitas dan organisasi (Coleman,1999). Selanjutnya, teori modal sosial telah dikembangkan oleh Cohen dan Prusak (2001) sebagai setiap hubungan tunggal yang terjadi dan diperketat oleh kepercayaan, saling pengertian, dan nilai bersama yang memiliki pranala anggota masyarakat untuk membuat aksi bersama yang efektif dan efisien. Secara umum, ada tiga parameter modal sosial yaitu : (1) Kepercayaan, (2) Norma, (3) Jaringan. (Rinjanta.2018) Menurut Bourdieu (1986), modal sosial didefinisikan sebagai jumlah dari sumberdaya, aktual dan virtual, yang bertambah kepada individu atau kelompok yang memiliki jaringan yang berkesinambungan. Penjelasan istilah ‘modal sosial’ tidak dapat dipisahkan dari tiga jenis modal sosial yang didefinisikan oleh woolcook (1998). Ketiga jenis modal sosial tersebut adalah (1) Modal Sosial Bonding (2) Modal Sosial Bridging (3) Modal Sosial Liking. (Rinjanta.2018) Modal sosial Bonding biasanya dapat diindikasikan oleh nilai-nilai, budaya, persepsi, dan tradisi atau kebiasaan. Modal sosial Bridging dalam hal ini berarti lembaga dan mekanisme dalam sebuah komunitas. Modal sosial Bridging adalah ikatan sosial yang muncul dalam menanggapi berbagai permasalahan. Modal sosial Linking adalah hubungan atau jaringan sosial yang ditandai dengan adanya hubungan antara berbagai tingkat kekuatan sosial dan status sosial dimasyarakat (Woolcock,1998). (Rinjanta.2018)
B. Partisipasi Masyarakat
Pengertian yang secara umum dapat ditangkap dari istilah partisipasi adalah, keikutsertaan seseorang atau sekelompok anggota masyarakat dalam suatu kegiatan. Pengertian seperti itu, nampaknya selaras dengan pengertian yang dikemukankan oleh beberapa kamus bahasa sosiologi. (Mardikanto.2013) Bornby (1974) misalnya, mengartikan partisipasi sebagai tindakan untuk “mengambilkan bagian” yaitu kegiatan atau pernyataan untuk mengambil bagian dari kegiatan dengan maksud memperoleh manfaat (Webster, 1976). Sedang di
dalam kamus sosiologi disebutkan bahwa, partisipasi merupakan keikutsertaan seseorang di dalam kelompok sosial untuk mengambil bagian dari kegiatan masyarakatnya, diluar pekerjaannya atau profesinya sendiri (Theodorson,1969). Keikutsertaan tersebut, dilakukan sebagai akibat terjadinya interaksi sosial antara individu yang bersangkutan dengan anggota masyarakatlain. (Mardikanto.2013) Beal (1964) menyatakan bahwa partisipasi,khususnya partisipasi yang tumbuh karena pengaruh atau karena tumbuh adanya rangsangan dari luar,merupakan yang dapat di indifikasikan sebagai proses perubahan sosial yang eksogen (exogenous change).karekteristik dari proses partisipasi ini adalah,semakin mantapnya jaringan sosial (social network) yang “baru” yang membentuk suatu jaringan sosial bagi terwujudnya suatu kegiatan untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diinginkan,karena itu, partisipasi sebagai proses akan menciptakan jaringan sosial baru yang masing-masih berusaha untuk melaksanakan tahapantahapan kegiatan demi tercapainya tujuan akhir yang diinginkan masyarakat atau struktur sosial yang bersangkutan. (Mardikanto.2013) Sebagai suatu kegiatan varhangen (1979) menyatakan bahwa,partisipasi merupakan suatu khususdari interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan,tangggung jawab,dan manfaat,tumbuhnya interaksi dan komunikasi tersebut,dilandasi oleh adanya kesadaran yang bersangkutan mengenai (Mardikanto.2013): a) b) c) d)
Kondisi yang tidak memuaskan,dan harus diperbaik; Kondisi tersebut dapat diperbaiki melalui kegiatan manusia atas masyarakat sendiri Kemampuannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang dapat dilakukan Adanya kepercayaan diri bahwa ia dapat memberikan sumbang sumbangan yang bermanfaat bagi kegiatan yang beersangkutan
Lebih lanjut, analisis tentang “modal soaial” (sosial capital) terhadap arti penting partisipasi masyarakat dalam pembangunan, menunjukan bahwa (Wolcook dan Narayan, 200) partisipasi dibutuhkan untuk mengembangkan sinergi dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat maupun sinergi dalam “jejaring komunikasi” (community network ). (Mardikanto.2013): Dalam kegiatan pembangunan, partisipasi masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan kepedulian serta tanggung jawab masyarakat terhadap
pentingnya pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka, artinya, melalui partisipasi yang diberikan, berarti benar-benar menyadari bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekadar kewajiban yang harus dilaksanakan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi juga menuntut keterlibatan masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya. (Mardikanto.2013): Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) di mana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi tersebut dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang telah dipikirkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak partisipasi adalah memutuskan, bertindakan, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. (Nasdian.2014) Keterlibatan masyarakat dalam program kesehatan, seperti kader kesehatan, arisan membuat jamban, dana sehat, posyandu, polindes, pos kesehatan desa, dan sebagainya adalah merupakan perwujudan partisipasi masyarakat di bidang kesehatan. Di Indonesia kegiatan-kegiatan tersebut sebenarnya sudah ada sejak tahun1970, dimulai oleh Yakum di Solo, Klampok-Banjarnegara. Filosofi partisipasi masyarakat di bidang kesehatan yang mewujudkan dalam berbagai kegiatan tersebut adalah “pelayanan kesehatan dari, oleh, dan untuk masyarakat”. (Novita.2011) Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan ini juga telah dituangkan dalam “Deklarasi Alma Ata”, September 1978, pasal 4 yaitu sebagai berikut: The people have the right and duty to participate individually and collectively in planning and implementation of their health care. Kutipan ini menekankan secara khusus dalam pelayanan kesehatan masyarakat baik secara indidu maupun kolektif perlu dilibatkan (partisipasi) karena partisipasi ini merupakan hak dan kewajiban masyarakat. Apabila digeneralisasikan, batasan tersebut dalam program kesehatan secara umum, dapat dikatakan bahwa partisipasi masyarakat adalah merupakan hakdan kewajiban individu, kelompok, atau komunitas / masyarakat dalam mewujudkan kesehatannya. Oleh sebab itu, dalam kegiatan promosi kesehatan
selalu melibatkan masyarakat, dan masyarakat bukan semata-mata sebagai objek (sasaran), tetapi sebagai subjek dan juga sebagai pelaku promosi kesehatan. (Novita.2011) Partisipasi masyarakat berbeda dengan mobilisasi. Apabila mobilisasi masyarakat juga merupakan bagian dari pengembangan masyarakat, tetapi tidak akan terjadi pembelajaran pada masyarakat. Masyarakat dipandang sebagai objek, diorganisasikan, digerakkan untuk mencapai tujuan perbaikan masyarakat itu sendiri, tetapi masyarakat hanya sebagai pelaksana kegiatan saja, tanpa dilibatkan dalam perencanaan sampai evaluasinya. Sementara itu, dalam partisipasi masyarakat, masyarakat dilibatkan mulai perencanaan kegiatan sampai dengan evaluasi proses dan hasil kegiatan tersebut. (Novita.2011) C. Bentuk – bentuk Partisipasi Masyarakat
Dusseldorp, (1981) mengindentifikasi beragam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang dilakukan oleh setiap warga masyarakat dapat berupa (Mardikanto.2013):: 1) 2) 3)
Menjadi anggota kelompok-kelompok masyarakat; Melibatkan diri pada kegiatan diskusi kelompok Melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan organisasi unuk menggerakan partisipasi masyarakat yang lain 4) Menggerakan sumberdaya masyarakat 5) Mengambil bagian dalam proses pengambilan keputusan 6) Memanfaatkan hasil-hasil yang dicapai dari kegiatan masyarakat D. Tingkatan Partisipasi Masyarakat
Dilihat dari tingkat atau tahapan partisipasi,wilcox (1988) mengmukakan adanya 5(lima)tingkatan,yaitu (Mardikanto.2013): 1) 2)
3)
Memberi informasi(information) Konsultasi (consultation); yaitu menawarkan pendapat ,sebagai pendengar yang baik untuk memberikan umpan balik,tetapi tidak terlibat dalam implementasi ide dan gagasan tersebut Pengambilan keputusan bersama (deciding together),dalam arti memberikan dukungan terhadap ide,gagsan,pilihan-pilihan serta,mengembangkan peluang yang diperlukan guna pengambilan keputusan
4)
Bertindak bersama (acting together),dalam arti tidak sekedar ikut dalam pengambilan keputusan,tetapi juga terlibat dan menjalin kemitraan dalam pelaksanaan kegiatannya 5) Memberikan dukungan (supporting independent community interest) dimana kelompok-kelompok lokal menawarkan pendanaan,nasehat dan dukungan lain untuk mengembangkan agenda kegiatan E. Teori Motivasi
Motif atau motivasi berasal dari kata Lantin moreve yang berarti dorongan dari dalam dii manusia untuk bertindak atau berperilaku. Pengertian m otivasi tidak terlepas dari kata kebutuhan atau needs atau want . Kebutuhan adalah suatu “potensi “ dalam diri manusia yang perlu
ditanggapi atau direspons.
(Notoatmodjo.2007) Tanggapan terhadap kebutuhan tersebut diwujudkan dalam bentuk tindakan untuk pemenuhan kebutuhan tersebut, dan hasilnya adalah orang yang bersangkutan merasa atau menjadi puas. Apabila kebutuhan tersebut belum direspon (dipenuhi) maka akan selalu berpotensi untuk muncul kembali sampai dengan terpenuhinya kebutuhan yang dimaksud. Misalnya seorang yang telah lulus sarjana \, akan menimbulkan kebutuhan “mencari” pekerjaan, dan sekaligus sebagai pemenuhan kebutuhan tersebut ia mencari pekerjaan, dan selama pekerjaan belum diperoleh maka kebutuhan tersebut akan selalu muncul sampai didapatnya pekerjaan. (Notoatmodjo.2007) Secara sadar ataupun tidak, setiap tingkah laku manusia didorong oleh adanya motivasi berupa dorongan, keinginan, hasrat, dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi seseorang dapat berubah jenisnya, dan dapat pula meningkat atau menurun intensitasnya. Semakin tinggi motivasi seseorang, semakin besar peluangnya untuk berprestasi. Teori motivasi banyak digagas oleh ahli psikologi. Meskipun cara pandang masing-masing ahli berlainan dan terkadang saling berlawanan, pada dasarnya memiliki arah yang sama. (Najiati.2005) 1. Teori McClelland
Menurut McClelland yang dikutip dan diterjemahkan oleh Sahlan Asnawi (2002), mengatakan bahwa dalam diri manusia ada dua motivasi, yakni motif primer atau motif yang tidak dipelajari, Dn motif sekunder atau motif yang
dipelajari melalui pengalaman serta interakasi dengan orang lain. Oleh karena Oleh karena motif sekunder timbul karena interaksi dengan orang lain maka, motif ini sering juga disebut motif sosial. Motif primer atau motif yang tidak dipelajari ini secara alamiah timbul pada setiap manusia secara biologis. Motif ini mendorong seseorang untuk terpenuhinya kebutuhan biologisnya misalnya makan, minum, dan kebutuhan-kebutuhan biologis yang lain. (Notoatmodjo.2007) Sedangkan motif sekunder adalah motif yang ditimbulkan karena dorongan dari luar akibat interaksi dengan orang lain atau interaksi sosial. Selanjutnya motif sosial ini oleh Clevelland yang dikutip oleh Isnanto Bachtiar Senoadi (1984), dibedakan menjadi 3 motif, yakni (Notoatmodjo.2007) : a. Motif untuk berprestasi (need for achievenment) Berprestasi adalah suatu dorongan yang ada pada setiap manusia untuk mencapai hasil kegiatannya atau hasil kerjanya secara maksimal. Secara naluri setiap orang mempunyai kebutuhan untuk mengerjakan atau melakukan kegiatannya lebih baik dari sebelumnya, dan bila mungkin untuk lebih baik dari orang lain itu tidak mudah, banyak kendalanya. Justru kendala yang dihadapi dalam mencapai prestasi inilah yang mendorongnya untuk berusaha mengatasinya serta memelihara semangat kerja yang tinggi, dan bersaing mengungguli orang lain. Oleh sebab itu, maka motif berprestasi adalah sebagai dorongan untuk sukses dalam situasi kompetisi yang didasarkan kepada ukuran “keunggulan” dibanding dengan standar ataupun orang lain. (Notoatmodjo.2007) Di dalam dunia kerja ataupun organisasi, motif berprestasi ini ditampakkan atau diwujudkan dalam perilaku kerja atau kinerja yang tinggi, selalu inggin bekerja lebih baik dari sebelumnya atau lebih baik dari orang lain, sera mampu mengatasi kendala-kendala kerja yang dihadapi. Secara rinci pencerminan motif berprestasi dalam dunia kerja antara lain sebagai berikut (Notoatmodjo.2007) : 1)
Berani mengambil tanggung jawab pribadi atas perbuatan-perbuatannya.
2)
Selalu mencari umpan balik terhadap keputusan atau tindakan-tindakannya yang berkaitan dengan tugasnya.
3)
Selalu berusaha melaksanakan pekerjaannya atau tugasnya dengan caracara baru atau inovatif dan kreatif.
4)
Senantiasa tidak atau belum puas terhadap setiap pencapaian kerja atau tugas, dan sebagainya.
b. Motif untuk berafiliasi (need for affiliation) Manusia adalah makhluk sosial, oleh sebab itu manusia menjadi bemakna dalam interaksinya dengan manusia yang lain (sosial). Dengan demikian, secara naluri kebutuhan atau dorongan untuk berfiliasi dengan sesama manusia adalah melekat pada setiap orang. Agar kebutuhan berafiliasi dengan orang lain ini terpenuhi, atau dengan kata lain diterima oleh orang lain atau lebih positif lagi supaya disukai oleh orang lain, ia harus menjaga hubungan baik dengan orang lain. Dengan mewujudkan “disenangani orang lain” maka setiap perbuatanya atau perilakunya adalah merupakan alat atau “media” untuk membentuk, memelihara, diterima, dan bekerja sama dengan lain. (Notoatmodjo.2007) Pencerminan motif berafiliasi di dalam perilaku sehari-hari dalam organisasi kerja, antara lain sebagai berikut (Notoatmodjo.2007): 1)
Senang menjalin “pertemanan” atau persahabatan dengan orang lain terutama dengan peer group-nya.
2)
Dalam melakukan pekerjaan atau tugas lebih mementingkan team work daripada kerja sendiri.
3)
Dalam melakukan tugas
atau pekerjaan lebih merasa efektif bekerja
bersama dengan orang lain daripada sendiri. 4)
Setiap pengambilan keputusan betkaitan dengan tugas cenderung minta persetujuan atau kesepakatan orang lain atau kawan sekerjanya, dan sebagainya.
c. Motif untuk berkuasa (need for power) Manusia mempunnyai kecenderungan untuk mempengaruhu dan menguasai orang lain, baik dalam kelompok sosial yang kecil maupun kelompok sosial besar. Motif untuk mempengaruhi dan menguasai orang lain ini oleh Clevelland disebut motif berkuasa. Motif berkuasa ini adalah berusaha mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai kepuasan melalui tujuan tertentu, yakni kekuasaan dengan jalan mengontrol atau menguasai orang lain(Notoatmodjo.2007).
Pencerminan motif berkuasa ini dalam kehidupan sehari-hari antara lain seperti tersebut dibawah ini (Notoatmodjo.2007) : 1)
Selalu ingin mendominasi pembicaraan-pembicaraan dalam pergaulan dengan orang lain terutama dalam kelompok.
2)
Aktif dalam menentukan atau pengambilan keputusan terkait dengan kegiatan kelompok atau pekerjaan.
3)
Senang membantu atau memberikan pendapat kepada pihak lain, meskipun tidak dimintanya.
4)
Senang menjadi anggota suatu organisasi atau perkumpulan yang dapat mencerminkan prestise, dan sebagainya.
2. Teori McGregor
Berdasarkan penelitiannya, McGregor menyimpulkan teori motivasi itu dalam teori X dan Y. Teori ini didasarkan pada pandangan konvensional atau klasik (teori X) dan pandangan baru atau modern (teori Y). Teori X yang bertolak dari pandangan klasik ini bertolak dari anggapan bahwa (Notoatmodjo.2007): a) Pada umumnya manusia itu tidak senang bekerja. b) Pada umunya manusia cenderung sesedikit mungkin melakukan aktivitas atau bekerja. c) Pada umumnya manusia kurang berambisi. d) Pada umumnya manusia kurang senang apabila diberi tanggung jawab, melainkan suka diatur dan diarahkan. e) Pada umunya manusia bersifat egois dan kurang acuh terhadap organisasi. Oleh sebab itu, dalam melakukan pekerjaan harus diawasi dengan ketat dan harus dipaksa untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sedangkan teori Y yang bertumpu pada pandangan atau pendekatan baru ini beranggapan bahwa (Notoatmodjo.2007) : 1)
Pada dasarnya manusia itu tidak pasif, tetapi aktif.
2)
Pada dasarnya manusia itu tidak malas kerja, tetapi suka bekerja.
3)
Pada umunya manusia dapat berprestasi dalam menjalankan pekerjaannya.
4)
Pada umunya manusia selalu berusaha mencapai sasaran atau tujuan organisasi.
5)
Pada umunya manusia itu selalu mengembangkan diri untuk mencapai tujuan atau sasaran.
Mendasarkan teori Mc Gregor ini, para pimpinan atau manajer perusahaan atau organisasi mempunyai keyakinan bahwa mereka mereka dapat mengarahkan pada bawahanya untuk mencapai produktivitas atau tujuan-tujuan organisasi mereka. Oleh sebab itu, para pemimpin tersebut dipermudah dalam memotivasi bawahan untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan-tujuan organisasi. Dengan tercapainya tujuan-tujuan organisasi, maka tujuan-tujuan perorangan dalam organisasi juga akan tercapai. (Notoatmodjo.2007)
3. Teori Herzberg
Frederick Herzberg adalah seorang ahli psikolog dari Universitas Cleveland, Amerika Serikat. Pada tahun 1950 telah mengembangkan teori motivasi “Dua Faktor” ( Herzberg’s Two Factors Motivation Theory). Menurut teori ini, ada dua faktor yang mempengaruhi seseorang dalam tugas atau pekerjaannya, yakni (Notoatmodjo.2007) : 1) Faktor-faktor penyebab kepuasan (satisfierr) atau faktor motivasional. Faktor penyebab kepuasan ini menyangkut kondisi instrinsik. Apabila kepuasan kerjadicapai dalam pekerjaan, maka akan menggerakkan tingkat motivasi yang luat bagi seorang pekerja, dan akhirnya dapat menghasilkan kinerja yang tinggi. Faktor motivasional (kepuasan) ini mencakup antara lain (Notoatmodjo.2007) : a. Prestasi (achivement ) b. Penghargaan (recognation) c. Tanggung Jawab (responsibility) d. Kesempatan untuk maju ( posibility of growth) e. Pekerjaan itu sendiri (work ) 2) Faktor-faktor penyebab ketidakpuasan (dissatisfaction) atau faktor higiene. Faktor-faktor
ini
menyangkut
kebutuhan
akan
pemeliharaan
atau
maintenance factor yang merupakan hakikat mausia yang ingin memperoleh kesehatan badaniah. Hilangnya faktor-faktor ini akan menimbulkan
ketidakpuasan bekerja (disastisfaction). Faktor higienes yang menimbulkan ketidakpuasan kerja antara lain (Notoatmodjo.2007) : a. Kondisi kerja fisik (physical enviroment) b. Hubungan interpersonal (interpersonal relationship) c. Kebijakan dan administrasi perusahaan (Company and administration policy) d. Pengawasan (supervision) e. Gaji (salary) f. Keamanan kerja (job security) Dari
teori
Hezberg
ini
dapat
ditarik
suatu
kesimpulan
bahwa
(Notoatmodjo.2007) : a. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan atau memotivasi karyawan dalam meningkatkan kinerjanya adalah kelompok faktor-faktor motivational (satisfiers). b. Perbaikan gaji, kondisi kerja, kebijakan organisasi dan administrasi tidak akan menimbulkan ketidakpuasan. Sedangkan faktor yang menimbulkan kepuasan adalah hasil kerja itu sendiri. c. Perbaikan faktor higiene kurang dapat mempengaruhi terhadap sikap kerja yang positif.
4. Teori Maslow
Maslow seorang ahli psiklolog telah mengembangkan teori motivasi ini sejak tahun 1943. Maslow melanjukan teori Eltom Mayo (1880-1949), mendasarkan pada kebutuhan manusia yang dibedakan anatra kebutuhan biologis dan kebutuhan psikologis, atau disebut kebutuhan materil (biologis) dan kebutuhan non-materil (psikologis). Maslow mengebangkan teorinya setelah ia memperlajari kebutuhan-kebutuhan
manusia
itu
bertingkat-tingkat
atau
sesuai
dengan
“hierarki”, dan menyatakan bahwa (Notoatmodjo.2007) : a. Manusia adalah suatu makhluk sosial “berkeinginan”, dan keinginan ini menimbulkan kebutuhan yang perlu dipenuhi. Keinginan atau kebutuhan ini bersifat terus-menerus, dan selalu meningkat.
b. Kebutuhan yang telah terpenuhi (dipuaskan), mempunyai pengaruh untuk menimbulkan keinginan atau kebutuhan lain dan yang lebih meningkat. c. Kebutuhan manusia tersebut tampaknya berjenjang atau bertingkat-tingkat. Tingkatan tersebut menunjukan urutan kebutuhan yang harus dipenuhi dalam suatu waktu tertentu. Satu motif yang lebih tinggi tidak akan dapat mempengaruhi atau mendorong tindakan seseorang, sebelum kebutuhan dasar terpenuhi. Dengan kata lain, motif-motif yang bersifat psikologis tidak akan mendorong perbuatan seseorang sebelum kebutuhan dasar (biologis) tersebut terpenuhi. d. Kebutuhan yang satu dengan kebutuha yang lain saling kait mengait, tetapi tidak terlalu dominan keterkaitan tersebut. Misalnya, kebutuhan untuk pemenuhan kebutuhan berprestasi tidak harus dicapai sebelum pemenuhan kebutuhan berafilasi dengan orang lain, meskipun kedua kebutuhan tersebut saling berkaitan.
DAFTAR PUSTAKA
Najiati, Sri. (2005). Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut. Bogor: Wetlands Internasional. Nasdian,
dan
Fredian
Tonny.
(2014).
Pengembangan
masyarakat .
Jakarta.Yayasan Pustaka Obor Indonesia Nesi, Novita. (2011). Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo, Soekidjo. (2007). Promosi Kesehatan & Ilmu Perlilaku. Jakarta: Rineka Cipta Mardikato, dan Poerwoko Soebianto. (2013). Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik . Bandung: Alfabeta Rinjanta, Hizbaron, Baiquni. (2018). Modal Sosial Dalam Manajemen Bencana. Yogjakarta: Gadjah Mada University Press