LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM BIOFARMASI
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK TABLET CTM
Disusun oleh kelompok 2 Shift A1 Selasa/13.00 – Selasa/13.00 – 16.00 16.00 WIB
Wulan Tresnawati
260110130009 260110130009
Data pengamatan & pengolahan data
Ika Khumairoh
260110130010 260110130010
Metode
Leni Rahmawati
260110130012 260110130012
Pembahasan
R.A Siti Nur Azizah
260110130013 260110130013
Pembahasan
Nailil Fadhilah
260110130014 260110130014
Data pengamatan & pengolahan data
Gina Andriana
260110130015 260110130015
Teori dasar
Dewi Setiyowati
260110130016 260110130016
Prinsip, kesimpulan, editor
Hengki Sutrisno
260110130021 260110130021
Teori dasar
Annisa Claudia
260110130128 260110130128
Pembahasan
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2016
I.
Tujuan
Mempelajari pengaruh keadaan bahan baku obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap kecepatan disolusi intrinsiknya sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya.
II.
Prinsip
1. Disolusi Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985). 2. Spectroscopy UV Spektroskopi UV-Vis adalah teknik analisis spektroskopi yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik dan sinar tampak dengan mengunakan instrumen. Spektrofotometri adalah penyerapan sinar tampak untuk ultraviolet dengan suatu molekul yang daat menyebabkan eksitasi molekul dan tingkat dasar ke tingkat energi yang paling tinggi (Sumar, 1994).
III.
Teori Dasar
Tablet CTM digunakan sebagai antihistaminikum. Antihistaminikum adalah obat yang menentang kerja histamin pada H- 1 reseptor histamin sehingga berguna dalam menekan alergi yang disebabkan oleh timbulnya simptom karena histamin (Ansel,1989). Antihistamin bekerja dengan menempati tempat pada sel yang biasanya ditempati oleh histamin,dengan demikian akan menghilangkan kemampuan histamin untuk menimbulkan
reaksi alergi (Harkness, 1989). Untuk interaksi obatnya antihistamin akan menekan sistem syaraf pusat. Obat ini menekan atau mengurangi sejumlah fungsi tubuh seperti koordinasi dan kewaspadaan, depresi berlebihan dan hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika antihistamin digunakan bersama dengan sistem syaraf pusat lainnya (Harkness, 1989). Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985). Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985). Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993). Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Persamaan kecepatan menurut Noyes dan Whitney sebagai berikut (Ansel, 1985):
dM.dt-1
: Kecepatan disolusi
D
: Koefisien difusi
Cs
: Kelarutan zat padat
C
: Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
h
: Tebal lapisan difusi
Menurut Martin (1993), faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu: a. Suhu Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. a. Viskositas Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar kecepatan disolusi. b. pH pelarut pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah. Untuk asam lemah; Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat. Dan untuk basa lemah; Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.
c. Pengadukan Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang. d. Ukuran partikel Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga kecepatan disolusi meningkat. e. Polimorfisme Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar. f. Sifat permukaan zat Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan menurun sehingga
zat
mudah
terbasahi
dan
kecepatan
disolusinya
bertambah. Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu: 1. Metode suspensi Serbuk
zat
padat
ditambahkan
ke
dalam
pelarut
tanpa
pengontrolan terhadap luas permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut ditentukan dengan cara yang sesuai (Martin, 1993). 2. Metode permukaan konstan Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet terlebih dahulu,
kemudian ditentukan seperti pada metode suspense (Martin, 1993). Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu: Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan yang inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang yang berbentuk silinder dan dipanaskan dengan tangas air pada suhu 370C (Dirjen POM, 1995). Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikel wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti (Dirjen POM, 1995).
IV.
Metode
1. Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu timbangan analitik, thermostat dengan penangas air, tabung disolusi, penyangga (holder)
sampel
(berupa
pellet),
motor
pemutar,
stopwatch,
spektrofotometer UV, dan alat-alat gelas. Sedangkan bahan yang digunakan adalah medium disolusi, lilin kuning murni atau paraffin solid, dan bahan obat CTM. 2. Prosedur Prosedur dalam praktikum ini diawali dengan penentuan panjang gelombang maksimum dan penentuan kurva baku. Larutan CTM stok yang dibuat yaitu larutan CTM 100 ppm. Serbuk CTM ditimbang sebanyak 10 mg lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, kemudian ditambahkan aquadest dan dihomogenkan. Setelah itu, ditambahkan aquadest hingga tanda batas (100 ppm). Selanjutnya, dilakukan variasi konsentrasi 30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm, dan
50 ppm. Masing-masing larutan kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang maksimumnya yaitu 261 nm sehingga didapatkan persamaan garis y=ax+b. Selanjutnya yaitu pembuatan tablet CTM. Sebanyak 300 mg CTM ditimbang lalu dikempa dengan tekanan 5 ton selama 5 menit. Setelah itu, pellet bentuk tablet yang telah dibuat diletakkan pada penyangga, lalu bagian atas pellet dituangi lilin cair, sehingga hanya satu permukaan pellet yang terbuka, yang langsung dapat bersinggungan dengan medium disolusi. Peyangga yang sudah berisi sampel ini lalu ditutup dan dihubungkan dengan motor pemutar. Selanjutnya, tabung percobaan diisi dengan 900 ml aquadest dengan suhu 30 oC. Pellet yang telah dipasang pada penyangga dicelupkan kedalam medium disolusi, lalu diatur agar tidak ada gelembung udara dibawahnya, kemudian dipasang pada motor pemutar dan segera diputar dengan kecepatan 100 putaran per menit. Setelah itu, sampel hasil disolusi diambil 5 ml dengan syringe tiap selang waktu 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit dan dimasukan kedalam vial. Pada setiap pengambilan sampel, ditambahkan pula 5 ml aquadest. Kemudian tiap sampel diukur pada Spektrofotometri UV-Vis sehingga didapatkan kadarnya.
V.
Data Pengamatan
a. Pengukuran absorbansi larutan baku CTM pada λ 261 nm Konsentrasi
Absorbansi
30
0,442
35
0,460
40
0,472
45
0,483
50
0,507
b. Kurva Baku CTM pada λ 261 nm
Kurva Baku CTM Pada
λ 261 nm
0.52 0.51
50, 0.507
0.5
i s 0.49 n a b0.48 r o0.47 s b0.46 A
45, 0.483 40, 0.472 35, 0.460466667
0.45
30, 0.442
0.44 0.43 0
10
20
30
40
Konsentrasi
Berdasarkan kurva di atas, maka didapatkan hasil : r 2 = 0,9796 y = 0,0031x + 0,3509
VI.
Perhitungan
Waktu
1
2
3
Rata-rata
5 menit
2,4157
2,3703
2,4127
2,3996
10 menit
2,9328
2,8163
2,8285
2,8592
20 menit
2,9494
3,0719
2,9027
2,9747
30 menit
3,0595
3,0700
2,8874
3,0056
45 menit
3,1035
3,1530
3,0692
3,1086
60 menit
3,1281
3,1671
3,1285
3,1412
a. Menit ke-5 A = 2,3996 Konsentrasi (x) =
660,87 µg/ml
Konsentrasi x V media = 660,87 x 900 = 594783,871 µg
50
60
FK 5 =
µg
% Disolusi =
x 100% = 198,26 %
b. Menit ke-10 A = 2,8592 Konsentrasi (x) =
809,129 µg/ml
Konsentrasi x V media = 809,129 x 900 = 728216,129 µg Kadar = 728216,129 + 3304,355 = 731520,484 µg FK 5 =
x 731520,484 = 4064 µg
% Disolusi =
x 100% = 243,84 %
c. Menit ke-20 A = 2,9747 Konsentrasi (x) =
846,387 µg/ml
Konsentrasi x V media = 846,387 x 900 = 761748,38 µg Kadar = 761748,38 + 4064 = 765812,38 µg FK 5 =
x 765812,38 = 4254,51µg
% Disolusi =
x 100% = 255,27 %
d. Menit ke-30 A = 3,0056 Konsentrasi (x) =
856,354 µg/ml
Konsentrasi x V media = 856,354 x 900 = 770719,35 µg Kadar = 770719,35 + 4254,51 = 774973,86 µg FK 5 =
x 774973,86 = 4305,41µg
% Disolusi =
x 100% = 258,32 %
e. Menit ke-45 A = 3,1086 Konsentrasi (x) =
889,58 µg/ml
Konsentrasi x V media = 889,58 x 900 = 800622,58 µg Kadar = 800622,58 + 4305,41= 804927,99 µg FK 5 =
x 804927,99 = 4471,82 µg
% Disolusi =
x 100% = 268,31 %
f. Menit ke-60 A = 3,1412 Konsentrasi (x) =
900,09 µg/ml
Konsentrasi x V media = 900,09 x 900 = 810087,09 µg Kadar = 810087,09 + 4471,82 = 814558,92 µg % Disolusi =
VII.
x 100% = 271,52 %
Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi terhadap tablet CTM. Uji disolusi digunakan untuk menentukan kesesuaian persyaratan disolusi yang tertera pada masing-masing monografi untuk sediaan tablet dan kapsul, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah. Disolusi merupakan suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting karena ketersediaan suatu obat tergantung pada kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi suatu obat yaitu viskositas, suhu, polimorfisme, pengadukan, ukuran partikel, pH pelarut dan sifat permukaan zat.
Langkah pertama yang yang dilakukan pada praktikum kali ini yaitu membuat kurva baku dari zat CTM. Pembuatan kurva baku diawali dengan membuat larutan stok CTM konsentrasi 100 ppm, dengan cara menimbang serbuk CTM sebanyak 10 mg, dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml, lalu ditambahkan aquadest hingga tanda batas 100 ml (100 ppm) dan dihomogenkan. Selanjutnya, dilakukan variasi konsentrasi larutan menjadi 30 ppm, 35 ppm, 40 ppm, 45 ppm dan 50 ppm. Sebelum dilakukan pengukuran larutan baku, kuvet yang akan digunakan dikalibrasi terlebih dahulu dengan cara mengisi kuvet tersebut dengan aquades, lalu disesuaikan absorbansinya hingga menunjukkan angka nol. Setelah itu, kuvet dibilas dengan larutan yang akan dihitung konsentrasinya agar kuvet hanya
berisi
larutan
uji
tanpa
pengotor. Adanya
pengotor
dapat
menyamarkan perhitungan konsentrasi karena pengotor dapat memberikan absorbansi. Selanjutnya, masing-masing larutan diukur absorbansinya dengan Spektroskopi UV-Vis pada panjang gelombang 261 nm. Hal tersebut dilakukan karena CTM pada suasana netral memberikan serapan maksimum pada panjang gelombang 261 nm. Absorbansi yang diperoleh hendaknya berada pada rentang 0,2 sampai 0,8 sesuai dengan hukum Lambert-Beer . Pada rentang absorbansi tersebut dihasilkan panjang gelombang maksimum sehingga konsentrasi yang diperoleh lebih akurat. Pengukuran
absorbansi
hendaknya
dimulai
dari
larutan
yang
konsentrasinya kecil agar tidak mempengaruhi pengukuran konsentrasi lainnya. Setelah dilakukan pengukuran absorbansi dengan variasi konsentrasi larutan baku, maka dari data tersebut dapat dibuat persamaan regresi linearnya yaitu y=ax+b. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk mencari
konsentrasi
tablet
CTM
(sampel)
yang
telah
diukur
absorbansinya. Tahap berikutnya adalah persiapan tablet CTM untuk pengujian disolusi tablet. Uji disolusi perlu dilakukan untuk melihat kemampuan absorpsi obat dalam tubuh yang tergantung pada keadaan melarut obat (disolusi) sehingga dapat dilihat bioavaibilitas obat tersebut. Proses
pengujian disolusi diawali dengan penimbangan 300 mg CTM dlalu dikempa dengan tekanan 5 ton selama 5 menit. Tablet yang dikempa langsung akan memiliki waktu hancur dan disolusi yang lebih baik. Hal ini dikarenakan tidak melewati proses granul, tetapi langsung menjadi partikel halus. Tekanan yang digunakan harus tinggi yakni sekitar beberapa ratus kg/cm2 pada serbuk/granul menggunakan pons/cetakan baja. Pellet bentuk tablet yang telah dikempa diletakkan pada penyangga, dan dituangi lilin cair pada bagian atas tablet. Penuangan lilin hanya dilakukan pada satu permukaan pellet yang terbuka. Hal ini dilakukan agar Hal ini dilakukan agar hanya satu bagian pellet yang dapat saling bersinggungan dengan medium disolusi sehingga diperoleh hasil yang lebih valid. Peyangga yang sudah berisi sampel ini lalu ditutup dan dihubungkan dengan motor pemutar. Selanjutnya, tabung percobaan diisi dengan 900 ml aquadest dengan suhu 30oC. Media yang digunakan dipilih berdasarkan sifat kelarutan obat yang digunakan. CTM bersifat mudah larut dalam air, dimana obat yang larut dalam air laju pelarutannya cukup cepat. Selain itu, dipilih suhu yang disesuaikan dengan suhu tubuh, dikarenakan proses disolusi yang natinya akan terjadi berjalan di dalam tubuh. Umumnya semakin tinggi suhu medium yang akan digunakan mengakibatkan semakin banyak zat aktif yang terlarut. Pada suhu tinggi, gradien konsentrasi serta tetapan difusi akan meningkat, sehingga akan menaikkan kecepatan disolusi (Shargel et al ., 2005). Pellet yang telah dipasang pada penyangga dicelupkan kedalam medium disolusi, lalu diatur agar tidak ada gelembung udara dibawahnya. Pellet kemudian dipasang pada motor pemutar dan segera diputar dengan kecepatan 100 putaran per menit. Batas kecepatan yang memungkinkan untuk memilih kecepatan dan mempertahankan kecepatan disesuaikan seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4% (Dirjen POM,1995). Dari proses pengadukan dengan motor akan dilihat kecepatan disolusi (Shargel et al ., 2005).
Setelah itu, sampel hasil disolusi diambil 5 ml dengan syringe tiap selang waktu 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit dan dimasukan kedalam vial. Pada setiap pengambilan sampel, ditambahkan pula 5 ml aquadest. Penambahan aquadest sebanyak 5 ml harus terus dilakukan untuk tetap menjaga keutuhan volume media. Selain itu, akan dihasilkan gradient konsentrasi sampel yang kemudian berpengaruh terhadap pengukuran kadar sampel menggunakan spektrofotometri UV-Vis. Penetapan kadar menggunakan spektrofotometri UV-VIS merupakan peranan penting untuk melakukan penentuan kuantitatif bahan baku dan sediaan obat. Konsentrasi CTM dalam larutan ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang yang telah diperoleh dari penentuan kurva baku yakni 261 nm. Penetapan kadar dilakukan berdasarkan penggunaan nilai
suatu obat. Nilai
adalah
absorbansi suatu senyawa yang diukur pada konsentrasi 1% b/v (1 gr/100 ml) dengan ketebalan kuvet 1 cm. Nilai 1 1% berfungsi untuk mengetahui berapa besar sensitifitas dan konsentrasi senyawa yang harus disiapkan sehingga diperoleh absorbansi pada kisaran 0,2-0,8 (Rohman, 2007). Berdasarkan pengolahan data menunjukan bahwa pada pembuatan kurva baku diperoleh absorbansi dari ke lima variasi konsentrasi tersebut yakni 0,442 si, 0,460 si, 0,472 si, 0,483 si, dan 0,507 si. Sehingga diperoleh persamaan kurva baku CTM y= 0,0031x + 0,3509, dengan r 2 adalah 0,9796. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan digunakan untuk menghitung kadar sampel CTM pada uji disolusi. Berdasarkan nilai r 2 menunjukan bahwa kurva baku CTM pada praktikum ini tidak memiliki linieritas yang baik, hal ini menunjukan kemungkinan terjadinya kesalahan baik secara teknis maupun tidak, seperti halnya ketidaktepatan dalam memasukan volume zat ke dalam kuvet, sehingga konsentrasi dapat berkurang atau lebih, yang mengakibatkan absorbansi yang diperoleh tidak akurat. Selanjutnya dilakukan pengujian disolusi dengan variasi waktu yakni menit ke 5, ke 10, ke 20, ke 30, ke 45 dan ke
60. Dengan masing-masing diperoleh persentase disolusi yakni 198,26%, 243,84%, 255,27%, 258,32%, 268,31 %, dan 271, 52%. Hasil ini menunjukan dengan seiring bertambahnya waktu maka sebanding dengan peningkatan % disolusi, berdasarkan kriteria Farmakope Indonesia dimana ke 6 sampel tersebut memenuhi kriteria yaitu tidak ada satu pun kadar yang kurang dari (Q+5%) atau ( 75% + 5% =80 %), hal ini menunjukan sampel CTM memenuhi persyaratan karena dapat melarut dengan baik dan dapat terjadi absorbsi di usus, dan lambung sesuai efek terapi yang ditetapkan. Jika terjadi trial error dalam pengujian disolusi dapat
dipengaruhi
oleh
Faktor-faktor
kesalahan
yang
mungkin
mempengaruhi hasil yang diperoleh antara lain : a. Suhu larutan disolusi yang tidak konstan. b. Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml. c. Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume. d. Kekeliruan praktikan dalam menentukan volume titrasi dan titik akhir titrasi. e. Kekeliruan prosedur penentuan kadar f. Indikator yang digunakan sudah rusak. g. Suhu yang dipakai tidak tepat.
VIII. Kesimpulan
Bahan baku CTM yang digunakan untuk formulasi sediaan tablet telah memenuhi persyaratan dalam Farmakope Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan hasil uji disolusi intrinsik sediaan tablet CTM yang tidak kurang dari (Q+5%). Persentase disolusi yang diperoleh yaitu 198,26%, 243,84%, 255,27%, 258,32%, 268,31 %, dan 271, 52%.
DAFTAR PUSTAKA Ansel, H.C. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida Ibrahim, Edisi 4. Jakarta : UI Press. Dirjen POM Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV . Jakarta: Depkes RI. Harkness, R. 1989. Interaksi Obat , diterjemahkan oleh Goeswin Agoes dan mathilda S. Widianto. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Martin, A. 1993. Farmasi Fisik jilid I , Edisi 3. Jakarta: UI Press. Rohman, A. 2007. Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shargel, L., Wu-pong, S., dan Yu, A.B.C. 2005. Applied Biopharmaceutics & Pharmacokinetics. Edisi ke-5. Boston: McGraw Hill. Hal: 86-95. Sumar, H. 1994. Kimia Analisis Farmasi. Jakarta: UI Press.