LAPORAN PRAKTIKUM BIOFARMASETIKA
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK Rabu, 8 Maret 2017 Shift C Kelompok 3 Rabu, 10.00-13.00
Nama
NPM
1. Rudy Suseno 2. Nadiya Putri Liya 3. Ainani Tajriyani 4. Rizky Azizah 5. Nimas Tika Inas Tarina 6. Frederick Alexander 7. Indraswari Pitaloka 8. Rheza Andika 9. Indriani Saraswati 10. Doni Dermawan
Tugas
260110140098 260110140099 260110140100 260110140101 260110140102 260110140103 260110140104 260110140105 260110140106 260110140107
Pembahasan Data Pengamatan Pembahasan Prosedur, Alat, Bahan Teori Dasar Teori Dasar Data Pengamatan Pembahasan Pembahasan Editor, Tujuan, Prinsip, Simpulan
LABORATORIUM BIOFARMASETIKA FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PADJADJARAN 2017
Nilai
TTD
(aslab)
I.
TUJUAN
(aslab)
1. Mempelajari pengaruh keadaan bahan (baku) obat (polimorfi, hidrat, solvate) terhadap kecepatan disolusi intrinsik sebagai preformulasi untuk bentuk sediaannya. II.
PRINSIP 1. Disolusi Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1989). 2. Spektrofotometri UV-Vis Spektroskopi UV-Vis adalah teknik analisis spekriskopi yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik dan sinar tampak dengan menggunakan instrumen. Spektrofotometri adalah penyerapan sinar tampak untuk ultraviolet dengan suatu molekul yang dapat menyebabkan eksitasi molekul dari tingkat dasar ke tingkat energi yang paling tinggi (Sumar, 1994). 3. Hukum Noyes-Whitney Dituliskan dengan persamaan di bawah ini : dc/dt = K.S (Cs - C) Keterangan : dc/dt
= Kecepatan disolusi obat
S
= Luas permukaan bahan obat yang terdisolusi
K
= Tetapan kecepatan disolusi
Cs
= Larutan bahan obat jenuh
C
= Kadar dalam obat yang terlarut dan cairan medium (Martin, 1993).
III.
TEORI DASAR Tablet
klorfeniramin
maleat
mengandung
Klorfeniramin
Maleat
(C16H19ClN2.C4H4O4) tidak kurang dari 93,0% dan tidak lebih dari 107,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket. Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau. Larutan mempunyai pH antara 4 dan 5 Kelarutan : Mudah larut dalam air; larut dalam etanol dan kloroform; sukar larut dalam eter dan dalam benzena Inkompatibilitas : CTM akan mengendap bila direaksikan dengan meglumine iodipamide (Depkes RI, 1995). Tablet CTM digunakan sebagai antihistaminikum. Antihistaminikum adalah obat yang menentang kerja histamin pada H-1 reseptor histamin sehingga berguna dalam menekan alergi yang disebabkan oleh timbulnya simptom karena histamin (Ansel, 1989). Antihistamin bekerja dengan menempati tempat pada sel yang ditempati pula oleh histamin. Dengan demikian, CTM akan menghilangkan kemampuan histamin dalam menimbulkan reaksi alergi (Harkness, 1989). Zat antihistamin akan bekerja dengan cara menekan sistem syaraf pusat. Obat ini menekan atau mengurangi sejumlah fungsi tubuh, seperti koordinasi dan kewaspadaan, depresi berlebihan, bahkan hilangnya fungsi tubuh dapat terjadi jika antihistamin digunakan bersama dengan obat yang memiliki efek kerja pada sistem syaraf pusat lainnya (Harkness, 1989). Pembuatan tablet CTM yang paling menguntungkan adalah dengan metode kempa langsung. Metode ini dinilai sangat memuaskan karena hemat waktu,
peralatan, energi yang digunakan dan sangat sesuai untuk zat aktif yang tidak tahan panas dan kelembaban tinggi sehingga dapat menghindari kemungkinan terjadi perubahan zat aktif akibat pengkristalan kembali yang tidak terkendali selama proses pengeringan pada metode granulasi basah. Selain itu dapat menghindari zat aktif dari tumbukan mekanik yang berlebihan jika di gunakan metode granulasi kering (Voigt, 1994). Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, salah satu pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kualitas tablet adalah uji disolusi. Disolusi merupakan proses perpindahan molekul obat dari bentuk padat kedalam larutan pada suatu medium (Depkes RI, 1995).Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989). Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).Suatu obat padat akan mengalami disintegrasi, deagregasi, dan disolusi pada saat yang sama (serentak) (Voigt, 1994). Dalam monografi sediaan tablet pada Farmakope Indonesia, dicantumkan persyaratan uji disolusi dengan persentase tertentu suatu zat aktif yang dikandung sediaan padat harus larut dalam waktu tertentu pula untuk memberikan efek terapi yang sesuai dengan yang diinginkan. Untuk tablet CTM, uji disolusi yang disarankan dalam Farmakope Indonesia Edisi IV adalah menggunakan alat uji disolusi tipe 2 (dayung) dengan 50 rpm dan media 500 ml air dalam waktu 45 menit. Prosedur pengujianna dengan melakukan penetapan jumlah CTM yang
terlarut dengan mengukur serapan filtrat larutan uji, jika perlu encerkan dengan HCl 3 N dan serapan larutan baku Klorfeniramin Maleat BPFI dalam media yang sama pada panjang gelombang serapan maksimum lebih kurang 262 nm. Toleransi dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75 % CTM dari jumlah yang tertera pada etiket (Depkes RI, 1995). Alat uji disolusi yang paling banyak digunakan saat ini adalah alat uji disolusi yang tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi IV. Ada dua alat yang tertera dalam Farmakope Indonesia Edisi IV, antara lain adalah alat uji disolusi dengan pengaduk berbentuk keranjang dan alat uji disolusi dengan pengaduk berbentuk dayung atau paddle. Untuk pengujian tablet CTM, digunakan alat uji disolusi dengan pengaduk yang berbentuk dayung. Alat ini terdiri dari wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak, dan alat pengaduk berbentuk dayung. Wadah tercelup sebagian dalam wadah berisi air yang telah dipanaskan sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah tetap 370 ± 0,50 C selama pengujian berlangsung dan juga menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan konstan. Wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 106 mm, dan kapasitas normal 1000 ml. Pada bagian atas wadah yang memiliki ujung melebar, dapat digunakan suatu penutup yang sesuai untuk mencegah penguapan selama pengujian berlangsung. Dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian rupa sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang terlalu banyak. Daun melewati diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak 25 mm ± 2 mm antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut yang inert dan sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan yang tidak
bereaksi, seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan (Depkes RI, 1995).
Gambar 1. Alat Uji Disolusi (Depkes RI, 1995). Pada tiap pengujian, volume dari media disolusi (seperti yang dicantumkan dalam masing-masing monografi) ditempatkan dalam bejana dan dibiarkan serta dipertahankan pada suhu 370C ± 0,50C, kemudian satu atau lebih tablet yang akan diuji dicelupkan ke dalam bejana dan pengaduk diputar dengan kecepatan tertentu seperti yang telah ditetapkan dalam monografi. Pada waktu (menit) tertentu, sampel dari media yang merupakan sebagian dari bagian obat yang terlarut diambil dan selanjutnya akan dianalis (Depkes RI, 1995).
Menurut Clarke (1986), terdapat beberapa metode uji disolusi dengan penetapan kadar, yaitu: penetapan kadar secara Kromatografi Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT), Kromatografi Gas, Spektrofotometri Ultra Violet, dan Spektrofotometri Infra-Red. Pada pengujian kali ini, analisis kadar sampel menggunakan instrumen spektrofotometri UV pada panjang gelombang 261 nm. Faktor-faktor yang mempengaruhi uji disolusi diantaranya: ukuran partikel, bentuk partikel, dan sifat media pelarut.Semakin kecil ukuran partikel, maka semakin luas permukaan partikel, sehingga kecepatan disolusi meningkat. Bentuk partikel terbagi menjadi amorf dan kristalin. Bentuk amorf lebih mudah larut dalam media air karena ikatan antar molekulnya lemah, sedangkan ikatan molekul bentuk kristalin lebih kuat. Sifat media pelarut terbagi menjadi polar, semi polar, dan non polar. Kepolaran yang sama antara molekul dan pelarut akan meningkatkan kecepatan disolusi (Devissaguet, 1992). Dalam industri farmasi, perlu dilakukan uji disolusi sebelum suatu obat diedarkan, manfaatnya antara lain: menjamin keseragaman produk dalam batch, menjamin efektifitas obat, dan untuk pengembangan obat baru sebagai dasar pertimbangan (Depkes RI, 1995).Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1994).
IV.
ALAT DAN BAHAN
4.1 Alat
Botol Vial
Dissolution Tester
Kertas perkamen
Labu ukur
Spektrofotometer UV
Stopwatch
Timbangan Analitik
4.2 Bahan V.
Bahan obat (CTM) Lilin kuning murni atau paraffin solid Media disolusi (Aquadest) Bahan obat : klorfeniramin maleat (CTM) PROSEDUR Pertama-tama bahan obat yang akan digunakan ditimbang, yakni CTM
sebesar 300 mg, lalu dikempa dengan tekanan 5 ton selama 5 menit hingga menjadi pellet berbentuk tablet. Kemudian pellet diletakan pada penyangga, dan bagian atas pellet dituangkan lilin cair, sehingga hanya satu bagian pellet saja yang terbuka dan bersinggungan langsung dengan media disolusi. Penyangga yang sudah diisi sampel kemudian ditutup dan dihubungkan dengan motor pemutar. Tabung percobaan kemudian diisi 150 mL media disolusi yakni aquades. Lalu suhu pada termostat diatur pada 37 ± 0,5oC. Pellet yang sudah dipasang pada penyangga dicelupkan dalam media disolusi dan diatur agar tidak ada gelembung di bagian bawahnya, lalu dipasang pada motor pemutar dan diatur jarak anatra permukaan pellet dengan dasar tabung disolusi sejauh 2 cm, kemudian motor pemutar segera diputar dengan kecepatan 100 putaran per menit. Sampel hasil disolusi diambil sebanyak 10mL tiap selang waktu tertentu yakni 5 menit, 10 menit, 15 menit, 20 menit, 30 menit, 45 menit dan 60 menit,
kemudian disimpan di vial. Selanjutnya sampel yang diperoleh ditentukan kadarnya menggunakan spektrofotometri UV dengan panjang gelombang maksimum 262 nm.
VI.
DATA PENGAMATAN
Pembuatan Kurva Baku 1. Pembuatan larutan baku variasi konsentrasi a. Larutan Stok 1000 ppm 10 mg CTM/ 10 mL aquadest = 1000ppm Larutan Stok 160 ppm 1000ppm × v1 = 160ppm × 10 mL v1 = 1,6 mL Larutan Stok 140 ppm 1000ppm × v1 = 140ppm × 10 mL v1 = 1,4 mL Larutan Stok 120 ppm 1000ppm × v1 = 120ppm × 10 mL v1 = 1,2 mL b. Larutan baku 22 ppm 160ppm × v1 = 22ppm × 20 mL v1 = 2,75 mL c. Larutan baku 24 ppm 160ppm × v1 = 24ppm × 20 mL v1 = 3 mL d. Larutan baku 26 ppm 140ppm × v1 = 26ppm × 20 mL v1 = 3,7 mL e. Larutan baku 28 ppm 140ppm × v1 = 28ppm × 20 mL v1 = 4 mL f. Larutan baku 30 ppm
120ppm × v1 = 30ppm × 10 mL v1 = 2,5 mL 2. Kurva Kalibrasi Konsentrasi 22 ppm 24 ppm 26 ppm 28 ppm 30 ppm
1 0,2851 0,349 0,3615 0,3971 0,4385
Absorbansi 2 0,2839 0,349 0,3607 0,3980 0,4392
3 0,2839 0,3482 0,3605 0,3982 0,4390
Rata-rata 0,2843 0,3487 0,3609 0,3972 0,4389
Kurva Baku CTM
Absorbansi
0.5 0.45 0.4 0.35 0.3 0.25 0.2 0.15 0.1 0.05 0
f(x) = 0.02x - 0.1 R² = 0.96 Y-Values Linear (Y-Values)
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Konsentrasi (ppm)
Penghilangan data 24 ppm yang membuat kurva baku menjadi tidak linear
Kurva Baku CTM 4 Konsentrasi 0.5 0.4
f(x) = 0.02x - 0.14 R² = 1
0.3 Absorbansi
Y-Values
0.2
Linear (Y-Values)
0.1 0 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Konsentrasi (ppm)
Konsentrasi CTM dalam tiap satuan waktu :
5 menit
10 menit
Y = 0,0192x – 0,1386
Y = 0,0192x – 0,1386
3,3259 = 0,0192x – 0,1386
3,6409 = 0,0192x - 0,1386
3,4645 = 0,0192x
3,7795 = 0,0192x
X = 180,44 ppm
X = 196,85 ppm
20 menit
30 menit
Y = 0,0192x – 0,1386
Y = 0,0192x – 0,1386
3,3261 = 0,0192x – 0,1386
3,0053 = 0,0192x – 0,1386
3,4647 = 0,0192x
3,1439 = 0,0192x
X = 180,45 ppm
X = 163,75 ppm
45 menit
60 menit
Y = 0,0192x – 0,1386
Y = 0,0192x – 0,1386
3,0116 = 0,0192x – 0,1386
3,6147 = 0,0192x – 0,1386
3,1502 = 0,0192x
3,7533 = 0,0192x
X = 164,07 ppm
X = 195,49 ppm
VII.
PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini dilakukan uji disolusi intrinsik terhadap sediaan tablet chlorpheniramine maleat atau CTM. Disolusi obat merupakan suatu proses hancurnya sediaan obat, dalam penelitian ini tablet, dan terlepasnya zat-zat aktif dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan tubuh. Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan dari bahan baku obat ketika berkontak dengan cairan tubuh manusia, sehingga dapat diketahui kecepatan efektivitas obat yang diberikan. Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan kelarutan dari suatu zat atau disolusi, di antaranya yaitu viskositas, pH pelarut, temperatur, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme, dan sifat permukaan zat. Mekanisme sediaan bentuk tablet terdisolusi dalam cairan tubuh yaitu tablet yang ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan terpecah mengalami disintegrasi menjadi granul kecil yang terdiri dari zat aktif obat tersebut dan zat eksipiennya. Granul selanjutnya dipecah lagi menjadi serbuk dan zat aktifnya akan larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung dimana tablet itu harus bekerja. Untuk uji disolusi intrinsik CTM, ada beberapa syarat menurut Farmakope Indonesia IV. Pertama, suhu medium yang dibuat untuk uji disolusi disetting hingga mencapai 37ºC, karena pada pengujian ini diupayakan untuk membuat kondisi seperti melarutkan obat dalam tubuh sehingga suhu tersebut dibuat sama dengan suhu tubuh manusia. Kedua, medium yang digunakan pada uji disolusi disini adalah 500 mL air/aquadest, karena CTM mudah larut dalam air dan juga cairan di dalam tubuh manusia sebagian besar merupakan molekul air. Selanjutnya alat yang digunakan adalah tipe 2 dengan kecepatan putar 50 rpm. Kemudian toleransi waktu disolusi CTM yaitu dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% dari jumlah zat. Setelah uji disolusi, serapan laruran baku CTM dilihat pada panjang gelombang 262 nm.
Pembuatan tablet dengan zat aktif yang akan diujikan yaitu chlorpheniramine maleate dengan bobot 300 mg setiap tabletnya dan tanpa penambahan zat tambahan dikarenakan uji yang akan dilakukan merupakan disolusi intrinsik, yaitu hanya menggunakan zat aktifnya. Tablet dibuat menjadi 3 tablet untuk membandingkan profil disolusi yang baik antara tablet satu dengan yang lainnya. Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari suatu serbuk yang mempertahankan luas permukaan yang tetap, yang biasanya dinyatakan dalam mg/cm2menit. Obatobat tersebut umumnya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat lambat yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat kecil (Alache, 1993). Setelah pengempaan tablet, tablet cukup rapuh, friabilitasnya rendah dan kurang solid, dikarenakan daya ikat tablet yang buruk dikarenakan faktor zat dan tanpa zat tambahan. Tablet disalut atau dilapisi dengan lilin kuning dan hanya sebagian permukaan tablet yang dilapisi, hal ini bertujuan untuk menghilangkan faktor luas permukaan dalam uji disolusi ini, dikarenakan luas permukaan juga berpengaruh terhadap kecepatan disolusi. Semakin besar luas permukaan sentuhnya maka semakin cepat tablet melarut dalam larutan.suhu pelarut yang digunakan adalah 37 derajat celsius dan dengan kecepatan 100 rpm, ini bertujuan agar memilliki kondisi yang sama seperti didalam tubuh manusia normal. Setelah dilakukan proses disolusi maka larutan yang sudah terlarut oleh chlorpheniramine setiap jangka waktu tertentu diambil untuk dilihat absorbansinya menggunakan spektrometer uv, dikarenakan chlorpheniramine memiliki serapan pada area UV-Visible. Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Dalam praktikum ini, bahan obat yang digunakan adalah CTM dengan medium disolusi aquades 900 mL dan massa sampel 300 mg, digunakan operating time yaitu 5, 10, 20, 30, 45, 60 menit dan persamaan kurva baku Y = 0,0192X + 0,1386 dengan R 0.97 pada panjang gelombang antara 120 - 200 nm. Nilai r yang didapat sangat baik, karena nilai nya mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut
nantinya
akan
digunakan
untuk
menghitung
kadar
sampel
chlorpheniramine pada ujidisolusi. Hal
yang
terlebih
dahulu
harus
dilakukan
sebelum
pelaksanaan uji disolusi adalah pembuatan kurva baku dari sampel zat yang akan dianalisis. Pembuatan kurva baku sampel dimulai
dengan
pembuatan
larutan
baku
CTM,
dengan
menimbang baku CTM sebanyak 10 mg dan kemudian dilarutkan dalam 10 mL aquadest untuk membuat larutan baku dengan konsentrasi 1000 ppm. Selanjutnya dilakukan pengenceran bertingkat
dari
larutan
baku
yang
telah
dibuat
untuk
mendapatkan variasi konsentrasi sebesar 160 ppm, 140 ppm, 120 ppm, 30 ppm, 28 ppm, 26 ppm, 24 ppm, 22 ppm. Larutan baku pada 5 konsentrasi terakhir kemudian digunakan untuk diukur absorbansinya pada spektrofotometer UV-Vis. Dengan mengekstrapolasikan
data
pada
kurva
hubungan
antara
absorbansi dengan konsentrasi analit, maka didapatkanlah suatu kurva kalibrasi dari baku CTM. Setelah dilakukan proses running larutan baku yang telah dibuat, didapatkanlah persamaan y = 0,0179x-0,099 dengan linearitas kurva yang dihasilkan sebesar R2 = 0,9629. Linearitas menunjukkan kemampuan metode analisis untuk menghasilkan respon yang proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel pada kisaran atau rentang yang ada. Uji ini dilakukan dengan membuat satu seri larutan standar yang terdiri
dari
4
konsentrasi
yang
bertingkat.
Nilai
linearitas
dari
persamaan yang didapatkan melalui ekstrapolasi kelima titik tersebut dinilai tidak memenuhi syarat keberterimaan linearitas kurva, dimana nilainya tidak boleh kurang dari 0,9970 dan mendekati nilai 1. Jika dilihat dari kurva yang dihasilkan, maka terlihat bahwa pada data dengan konsentrasi 24 ppm terjadi penyimpangan terjauh. Hal ini mungkin terjadi akibat kesalahan pada
saat
tahap
penginjeksian
sampel
ke
dalam
mesin
spektrofotometer, karena hanya pada konsentrasi ini sajalah terjadi penyimpangan terjauh, bukan dikarenakan preparasi pengenceran larutan-larutan baku tersebut. Untuk
meningkatkan
nilai
R2,
maka
dapat
dilakukan
pembuangan data yang menyebabkan data menjadi tidak linear, yang dalam pengukuran ini diakibatkan oleh larutan dengan konsentrasi 24 ppm. Setelah
data
didapatkanlah
pengukuran
persamaan
y =
24
ppm
0,0192x
dibuang, -
0,1386
maka dengan
linearitas R² = 0,9996 yang memenuhi syarat keberterimaan kurva kalibrasi (R2=0,9970). Sehingga persamaan ini lebih dapat diterima sebagai acuan dalam pengukuran kadar sampel pada saat uji disolusi. Uji disolusi yang dilakukan pada tablet CTM kali ini menggunakan 6 variasi waktu, yaitu 5 menit, 10 menit, 20 menit, 30 menit, 45 menit, dan 60 menit. Data yang diperoleh dengan adanya variasi waktu menunjukan perbedaan konsentrasi dari sampel CTM. Sayangnya, hasil yang diperoleh tidak memiliki nilai keberagaman yang baik, karena konsentrasi yang secara teoritis seharusnya semakin tinggi dengan semakin lamanya waktu justru menunjukan hasil yang sedikit tak beraturan.
Konsentrasi paling rendah didapat pada menit ke 30 yaitu sebesar 163,75 ppm, sementara konsentrasi paling tinggi didapat pada menit ke 10 yaitu sebesar 196,85 ppm. Jika diurutkan dari konsentrasi terkecil hingga terbesar, maka akan tercacat sebagai berikut:
Waktu 30 45 5 20 60 10
C 163,75 ppm 164,07 ppm 180,44 ppm 180,45 ppm 195,49 ppm 196,85 ppm
Ketidak seragam ini berpengaruh pada kurva dari konsentrasi CTM yang tidak berbentuk linier, melainkan naik turun. Hasil ini jelas berbeda dengan data kurva baku yang menunjukan grafik linier meningkat ke atas, sehingga perbandingan antara baku dengan sampel CTM tidak bisa disinergiskan. Alasan terjadinya ketimpangan pada data konsentrasi bisa disebabkan oleh proses pengenceran sebelum disolusi. Pengenceran sampel hingga mencapai konsentrasi baku yang sesuai (yaitu sekitar 0.2 – 0.8 yang dapat dibaca instrumen) akan memudahkan pembacaan nilai disolusinya. Ketika nilai pengenceran sampel pada waktu dari 5 hingga 60 tetap berada pada rentang 0.2 – 0.8 ppm (sambil tetap menaik sedikit-sedikit), maka hasil data akan lebih linier karena sampel secara tidak langsung menyesuaikan dengan konsentrasi dari baku. Namun dikarenakan rentang absorbansi yang dilakukan pada uji kali ini tidak melalui tahap pengenceran hingga mencapai konsentrasi normal (sampel langsung di-running dan dikali faktor pengenceran) maka tidak heran hasil dari data pun melonjak antara satu dengan lainnya. Pada uji selanjutnya diharapkan sampel dapat di-running dalam keadaan nilai absorbansi sesuai baku sehingga nilai yang didapatkan lebih linier.
VIII. SIMPULAN Keadaan bahan obat CTM dapat mempengaruhi kecepatan disolusi intrinsiknya dengan nilai kelarutan yang sangat fluktuatif dan tidak linier per satuan waktunya dimana hal ini dapat terjadi akibat ketidaktepatan dalam proses pengenceran sehingga nilai ini tidak dapat dijadikan dasar studi preformulasi untuk pembuatan dan pemilihan bentuk sediaannya. IX.
DAFTAR PUSTAKA
Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Surabaya : Airlangga University Press. Amir, S., dkk.2007. Farmakologi dan Terapi Edisi Kelima. Jakarta: Gaya Baru. Ansel, C.H. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Jakarta: UI Press. Clarke, E. G. C. 1986. Clarke’s Isolation and Identification of Drugs - Second Edition. London: The Pharmaceutical Press. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI. Devissaguet, J. 1992. Farmasetika-Biofarmasi. Surabaya: UNAIR Press. Harkness, R., dkk. 1989. Interaksi Obat. Bandung : ITB. Martin, A. 1993. Farmasi Fisik Jilid I. Jakarta : UI Press. Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Surabaya : Airlangga University Press. Sumar, H. dkk. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang : IKIP. Voigt, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi 5. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.