2
palpitasi, dll, dan/atau gejala dari disfungsi neurologi seperti kejang, lethargi, hingga koma.1,2 Selain faktor-faktor risiko diatas, usia juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian hipoglikemia, disebabkan oleh kerusakan respon hormon kontra regulasi akibat usia. Sedangkan berdasarkan studi epidemiologi oleh American Diabetes Association memperlihatkan bahwa hipoglikemia merupakan komplikasi metabolik yang paling sering terjadi pada orangtua di Amerika Serikat, dimana pasien DM tipe 2 lanjut usia yang mengalami hipoglikemia menunjukkan lebih lama dirawat di rumah sakit dan menghabiskan biaya yang lebih besar. Hipoglikemia ini disebabkan oleh berkurangnya fungsi ginjal dan aktivitas enzim hati yang berkaitan dengan metabolisme sulfonilurea dan insulin yang dipengaruhi oleh usia. 4 Hipoglikemia terbagi atas ringan, sedang, hingga berat dan dapat terjadi pada malam hari (hipoglikemia nokturnal). Pasien DM tipe 1 yang menggunakan pompa insulin dan insulin analog kerja lama sering mengalami hipoglikemia berat khususnya selama tidur dimalam hari, ditambah pula, Sovik dan Thordason melaporkan bahwa dikalangan pasien berusia <40 tahun yang telah mengalami DM selama 10 tahun, 6% nya meninggal karena sindrom “dead-in-bed “ dead-in-bed ” yang mana kemungkinan paling banyak disebabkan oleh hipoglikemia nokturnal berat. 4 Hipoglikemia terkadang luput dari pengawasan dokter maupun pasien. Sebagian orang dengan DM tidak memiliki tanda-tanda peringatan dini untuk kadar glukosa darah yang rendah. Kondisi ini paling sering mengenai penderita diabetes Tipe I, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada penderita diabetes Tipe 2.4 Hipoglikemia merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat mengancam jiwa penderita karena glukosa glukosa darah adalah sumber energi
satu-
satunya pada otak, sehingga jika mengalami penurunan kadar dari normal dapat mempengaruhi dan mengganggu fungsi otak tersebut secara langsung.4
2
palpitasi, dll, dan/atau gejala dari disfungsi neurologi seperti kejang, lethargi, hingga koma.1,2 Selain faktor-faktor risiko diatas, usia juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian hipoglikemia, disebabkan oleh kerusakan respon hormon kontra regulasi akibat usia. Sedangkan berdasarkan studi epidemiologi oleh American Diabetes Association memperlihatkan bahwa hipoglikemia merupakan komplikasi metabolik yang paling sering terjadi pada orangtua di Amerika Serikat, dimana pasien DM tipe 2 lanjut usia yang mengalami hipoglikemia menunjukkan lebih lama dirawat di rumah sakit dan menghabiskan biaya yang lebih besar. Hipoglikemia ini disebabkan oleh berkurangnya fungsi ginjal dan aktivitas enzim hati yang berkaitan dengan metabolisme sulfonilurea dan insulin yang dipengaruhi oleh usia. 4 Hipoglikemia terbagi atas ringan, sedang, hingga berat dan dapat terjadi pada malam hari (hipoglikemia nokturnal). Pasien DM tipe 1 yang menggunakan pompa insulin dan insulin analog kerja lama sering mengalami hipoglikemia berat khususnya selama tidur dimalam hari, ditambah pula, Sovik dan Thordason melaporkan bahwa dikalangan pasien berusia <40 tahun yang telah mengalami DM selama 10 tahun, 6% nya meninggal karena sindrom “dead-in-bed “ dead-in-bed ” yang mana kemungkinan paling banyak disebabkan oleh hipoglikemia nokturnal berat. 4 Hipoglikemia terkadang luput dari pengawasan dokter maupun pasien. Sebagian orang dengan DM tidak memiliki tanda-tanda peringatan dini untuk kadar glukosa darah yang rendah. Kondisi ini paling sering mengenai penderita diabetes Tipe I, tetapi tidak menutup kemungkinan juga dapat terjadi pada penderita diabetes Tipe 2.4 Hipoglikemia merupakan keadaan yang sangat berbahaya dan dapat mengancam jiwa penderita karena glukosa glukosa darah adalah sumber energi
satu-
satunya pada otak, sehingga jika mengalami penurunan kadar dari normal dapat mempengaruhi dan mengganggu fungsi otak tersebut secara langsung.4
BAB II LAPORAN PASIEN
1.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. R
Umur
: 44 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
2.
Pekerjaan
: Petani Kelapa Sawit
Alamat
: Mendahara, Tanjab Timur
ANAMNESIS (Autoanamnesis) Keluhan utama :
Badan lemas dan tidak dapat bangun sejak ± 4 hari SMRS Riwayat penyakit sekarang :
Pasien rujukan dari RS Nurdin Hamzah dengan diagnosa post KAD. Keluhan mulai muncul ± 6 bulan SMRS, pasien merasakan badannya lemas dan cepat letih meskipun hanya dengan beraktivitas sedang. Lemas dirasakan sepanjang hari namun membaik kembali ketika pasien makan. Lemas tidak disertai dengan sesak nafas, demam disangkal. Keluhan disertai dengan mual dan muntah, muntah sebanyak 2 kali, konsistensi cair, berwarna kekuningan, isi berupa apa yang dimakan, sebanyak sekitar ½ gelas, darah tidak ada. BAB berwarna coklat kadang-kadang bercampur kehitaman, konsistensi keras, frekuensi sekali dalam sehari, darah tidak ada, lendir tidak ada. BAK tidak ada keluhan, frekuensi dan volume urin normal. Sejak 2 tahun yang lalu, pasien menderita Diabetes Melitus. Hal tersebut diketahui saat pasien memeriksakan diri di puskesmas dengan keluhan sering buang air kecil saat s aat malam mal am hari dan penurunan berat badan lebih dari 5 kg dalam waktu 6 bulan. Pasien tidak rutin meminum obat oral anti diabetes dan tidak mengontrol pola makannya. Pasien mengaku lupa dengan nama obat anti diabetes yang sering diminumnya. Pasien biasanya minum obat 1 jam sebelum makan. Pasien mengaku dalam 2 bulan terakhir pasien mengganti obat oral menjadi
3
4
insulin yaitu novorapid 3 x 8 IU dan levemir 1 x 8 IU. Pasien masih bingung dengan porsi makan seharusnya, sehingga pasien hanya membatasi makanan pada yang manis-manis saja. Pasien memiliki keluhan mata kiri dan kanan yang semakin kabur dan tidak jelas. Bagian ujung-ujung jari tangan dan kaki terkadang merasa kebas. Pasien tidak pernah mengalami luka yang tidak sembuh-sembuh ± 3 hari SMRS pasien mengeluhkan seluruh badan lemas dan kemudian pingsan diwaktu pagi hari. Pasien sudah seminggu tidak minum obat dikarenakan persediaan obat habis. Pada malam sebelumnya, pasien makan dalam porsi yang cukup banyak dan tidak mengkonsumsi obat.. Riwayat penyakit dahulu :
-
Riwayat dengan keluhan yang sama (+) sebanyak dua kali. Pasien dirawat di RS DKT dan RS Royal Prima dengan keluhan yang sama.
-
Riwayat Hipertensi (-)
-
Riwayat DM (+) sejak 2 tahun yang lalu, pasien sering kehabisan obat sampai 1 bulan dan kemudian bila muncul keluhan akan dibiarkan oleh pasien. Konsumsi obat-obat tradisional tidak ada.
Riwayat penyakit keluarga :
-
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama (-)
-
Riwayat hipertensi dalam keluarga (-)
-
Riwayat DM dalam keluarga (-)
Riwayat pekerjaan dan sosial :
3.
-
Pasien berprofesi sebagai petani kelapa sawit.
-
Hubungan pasien dengan suami baik
-
Hubungan pasien dengan keluarga baik.
-
Riwayat makan dan minum yang manis-manis.
PEMERIKSAAN FISIK a. Status Generalis
-
Keadaan Umum
: Tampak Sakit Sedang
-
Kesadaran
: Somnolen (GCS 15 E4V5M6)
5
-
Vital sign : o
Tekanan darah
: 120/70 mmHg
o
Frekuensi nadi
: 84x/ menit, reguler, isian cukup
o
Frekuensi nafas
: 22x/ menit, tipe torakoabdominal
o
Suhu axilla
: 36,80C
o
Tinggi badan
: 149 cm
o
Berat badan
: 38 kg
o
IMT
: 17,11 kg/m 2 (underweight)
b. Pemeriksaan Kepala dan Leher :
-
Kepala : normocephal, rambut hitam kusam tidak mudah dicabut
-
Mata: Konjungtiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-), Refleks Pupil (+/+),
pupil isokor, Edema Palpebra (-), gangguan gangguan pengelihatan (+/+) -
THT : o
Telinga : Normotia, Sekret (-/-), Nyeri Tekan Tragus (-), Hiperemis (-/-)
-
o
Hidung : Sekret (-), Deviasi Septum (-), Nafas Cuping Hidung (-)
o
Mulut : Mukosa Mukosa Bibir Kering Kering (+), Pucat (-), Sianosis (-)
o
Lidah : Papil Atrofi (+), Lidah Kotor (-)
o
Tenggorokan : Tonsil Tonsil (T1-T1), (T1-T1), Faring Hiperemis Hiperemis (-)
cmH2O Leher : Pembesaran KGB (-), Pembesaran Tiroid (-), JVP 5-2 cmH2O
c. Pemeriksaan Thoraks Paru :
-
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris, penggunaan otot-otot bantu pernapasan (-), sela iga melebar (-) spider (-) spider nevi (-), jejas (-)
-
Palpasi : Fokal Fremitus kanan sama dengan kiri, nyeri tekan ( -)
-
Perkusi : Sonor pada kedua basal paru, batas peranjakan paru-hepar 2 jari, linea midclavicula dextra ICS V
-
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6
Jantung :
-
Inspeksi : pulsasi ictus kordis tidak terlihat
-
Palpasi : pulsasi ictus kordis teraba tidak kuat angkat di ICS V linea midklavikularis sinistra, luas 1 jari
-
-
Perkusi : o
Batas Kanan
: ICS V linea parasternalis dextra
o
Batas Kiri
: ICS V linea midklavikularis sinistra
o
Atas
: ICS II linea parasternalis sinistra
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II reguler, gallop (-), murmur (-)
4. Pemeriksaan Abdomen
-
Inspeksi
: perut cembung, kolateral vena (-), jaringan sikatrik (-)
-
Auskultasi
: bising usus (+) normal
-
Perkusi
: hiper timpani pada seluruh regio abdomen, shifting dullness (-)
-
Palpasi
: supel, nyeri tekan (-), undulasi (-), nyeri lepas (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba, turgor kulit kembali lambat
5. Punggung
-
Inspeksi : simetris
-
Palpasi : Fokal fremitus kedua lapang paru sama, nyeri tekan (-), krepitasi (-), nyeri ketok CVA (-)
-
Perkusi : sonor pada kedua basal paru
-
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
6. Pemeriksaan ekstremitas:
-
Superior : Sianosis (-), pucat (-), deformitas (-), akral hangat, ikterik (-), edema (-), CRT < 2 detik, ulkus (-)
-
Inferior : Sianosis (-), pucat (-), deformitas (-), akral hangat, ikterik (-), edema (-), CRT < 2 detik, ulkus (-)
7
4.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan
Nilai
Darah Rutin WBC RBC Hb HCT PLT MCV MCH MCHC GDS (stick) GDS (serum)
8,6 x 109/L 3,94 x 10 12/L 11,7 g/dL 31,4 % 177 x 10 9/L 79,7 fl 29,6 pg 37,2 g/dL - 44 mg/dl (satu jam pertama) - 224 mg/dl (satu jam kedua) 36 mg/dl
Pemeriksaan Ur in R utin Warna Berat Jenis pH Protein Albumin Glukosa Keton Sedimen - Sel Leukosit - Sel Eritrosit - Sel Epithel
Kuning 1015 5 (-) (-) (+++) (-) 7-8/LPB 2-4/LPB 5-6/LPB
F ungsi G injal Ureum Kreatinin LFG
104 mg/dl 2,0 mg/dl 21,53 ml/min/1,73m 2
Pemeriksaan Serologi HBsAG Anti-HBsAG HCV
(-) (-) (-)
Pemeriksaan E lektrolit Na Kalium Clorida Ca
139,14 mmol/L 2,85 mmol/L 104,00 mmol/L 1,38 mmol/L
8
Foto thorax AP
-
Cor
: CTR < 50%, kontur baik
-
Aorta dan mediastinum superior tak melebar
-
Trachea di tengah
-
Pulmo : corakan bronkovasculer normal Tidak tampak infiltrat Hilus tak menebal
-
Sinuscostofrenicus lancip dan diafragma licin Kesan : Cor dalam batas normal Pulmo dalam batas normal
5.
DAFTAR MASALAH
-
Hipoglikemia
-
Diabetes melitus tipe 2 tidak terkontrol
-
Hipokalemia
-
Hiperuremia
9
6.
DIAGNOSIS
-
Hipoglikemia et causa Diabetes Melitus tipe 2 tidak terkontrol dan hipokalemia
7.
8.
DIAGNOSIS DIFFERENSIAL
-
Hipoglikemi et causa obat
-
Hipoglikemia et causa insulinoma
PENATALAKSANAAN
-
-
9.
Non-farmakoterapi o
O2 Nasal Cannule 2L/menit
o
Catheter terpasang
o
Obat diabetes dihentikan sementara
o
Cek GDS setiap jam
Farmakoterapi o
IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
o
Bolus Dextrose 40% sebanyak 100 ml (awal)
RENCANA KERJA
Rencana Pemeriksaan Penunjang : -
Cek GDS setiap jam
-
Tes fungsi hati (SGOT, SGPT, protein, albumin)
-
Pemeriksaan C-Peptide
10
10. Tgl
FOLLOW UP S
O
A
3
Badan
Keadaan Umum: sakit sedang
Hipoglikem
/
lemas
Kesadaran : somnolen
ia et causa
P
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
4
TD : 120/70 mmHg
Diabetes
- IVFD NaCl 0,9% 10 gtt
/
Nadi : 84x/menit
tipe 2 tidak
- Bolus dextrose 40%,
Pernapasan: 22 x/menit
terkontrol
17
100 ml
Temperatur : 36,8 oC Mata: konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-)
- Sliding scale insulin
Pulmo : simetris, vesikuler (+)
- Cek GDS setiap 5 jam
normal, rhonki (-), wheezing (-) Cor : Gallop (-), murmur ( – ) Perut: datar, shifting dullness (-),
hipertimpani, Nyeri Tekan (-), turgor kembali lambat Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-) GDS: 224 mg/dl
5
Badan
Keadaan Umum: sakit sedang
Diabetes
/
lemas
Kesadaran : compos mentis
Melitus tipe
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
4
TD : 130/80 mmHg
2 tidak
- IVFD KN-2 20 gtt
/
Nadi : 88x/menit
terkontrol
- Inj. Novorapid 20 IU
17
Pernapasan: 23 x/menit Temperatur : 36,3 oC Mata: konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-)
- Sliding scale insulin - Cek GDS setiap 5 jam
11
Pulmo : simetris, vesikuler (+)
normal, rhonki (-), wheezing (-) Cor : Gallop (-), murmur ( – ) Perut: datar, shifting dullness (-),
hipertimpani, Nyeri Tekan (-), turgor kembali lambat Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-) GDS: 352 mg/dl
6
Badan
Keadaan Umum: sakit sedang
Diabetes
/
lemas, perut
Kesadaran : compos mentis
Melitus tipe
4
kembung,
TD : 110/70 mmHg
2 tidak
- IVFD KN-2 20 gtt
/
BAB keras
Nadi : 88x/menit
terkontrol
- Inj. Novorapid 16 IU
17
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
Pernapasan: 21 x/menit
- KSR 1x1
Temperatur : 36,2 oC
- Domperidone tab 3 x
Mata: konjungtiva anemis (-),
10 mg
sklera ikterik (-) Pulmo : simetris, vesikuler (+)
normal, rhonki (-), wheezing (-)
- Sliding scale insulin
Cor : Gallop (-), murmur ( – )
- Cek GDS setiap 5 jam
Perut: datar, shifting dullness (-),
- Cek elektrolit
hipertimpani, Nyeri Tekan (-), turgor kembali lambat Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-) GDS: 330 mg/dl
(11.45
589
mg/dl,
inj.
mg/dl,
inj.
Novorapid 20 IU 17.00
612
12
Novorapid 20 IU) 7
Perut
Keadaan Umum: sakit sedang
Diabetes
/
kembung,
Kesadaran : compos mentis
Melitus tipe
4
BAB keras,
TD : 110/80 mmHg
2 tidak
- IVFD KN-2 20 gtt
/
nyeri ulu
Nadi : 82x/menit
terkontrol
- Inj. Novorapid 16 IU
hati
Pernapasan: 22 x/menit
- KSR 1x1
Temperatur : 36,5 oC
- Domperidone tab 3 x
17
Mata: konjungtiva anemis (-),
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
10 mg
sklera ikterik (-) Pulmo : simetris, vesikuler (+)
normal, rhonki (-), wheezing (-)
- Sliding scale insulin
Cor : Gallop (-), murmur ( – )
- Cek GDS setiap 5 jam
Perut: datar, shifting dullness (-),
hipertimpani, Nyeri Tekan (-), turgor kembali lambat Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-)
GDS: 120 mg/dl Pemeriksaan Elektrolit Na: 152 mmol/l K: 4,1 mmol/l Cl: 92,90 mmol/l
8
Perut
Keadaan Umum: sakit sedang
Diabetes
/
kembung,
Kesadaran : compos mentis
Melitus tipe
4
BAB keras,
TD : 120/80 mmHg
2 tidak
- Kateter dilepas
/
nyeri ulu
Nadi : 82x/menit
terkontrol
- IVFD KN-2 20 gtt
hati
Pernapasan: 22 x/menit
- Inj. Novorapid 16 IU
Temperatur : 36,4 oC
- Domperidone tab 3 x
17
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
13
Mata: konjungtiva anemis (-),
10 mg
sklera ikterik (-) Pulmo : simetris, vesikuler (+)
normal, rhonki (-), wheezing (-)
- Sliding scale insulin
Cor : Gallop (-), murmur ( – )
- Cek GDS setiap 5 jam
Perut: datar, shifting dullness (-),
hipertimpani, Nyeri Tekan (-), turgor kembali cepat Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-)
GDS: 551 mg/dl (17.00 WIB
GDS 561 mg/dl) 9
Perut
Keadaan Umum: sakit sedang
Diabetes
/
kembung
Kesadaran : compos mentis
Melitus tipe
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
4
TD : 110/70 mmHg
2 tidak
- Edukasi pola makan
/
Nadi : 84x/menit
terkontrol
- IVFD KN-2 20 gtt
17
Pernapasan: 18 x/menit
- Inj. Novorapid 16 IU
Temperatur : 36,3 oC
- Domperidone tab 3 x
Mata: konjungtiva anemis (-),
10 mg
sklera ikterik (-) Pulmo : simetris, vesikuler (+)
normal, rhonki (-), wheezing (-)
- Sliding scale insulin
Cor : Gallop (-), murmur ( – )
- Cek GDS setiap 3 jam
Perut: datar, shifting dullness (-),
hipertimpani, Nyeri Tekan (-), turgor kembali cepat Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-)
14
GDS: 185 mg/dl (12.00 WIB
352 mg/dl; 17.00 WIB
344
mg/dl) 10 /
Perut
Keadaan Umum: sakit sedang
Diabetes
kembung
Kesadaran : compos mentis
Melitus tipe
- Diet DM dengan IMT 17,11 kg/m 2
4
TD : 110/70 mmHg
2 tidak
- Edukasi pola makan
/
Nadi : 78x/menit
terkontrol
- Infus dilepas
17
Pernapasan: x/menit
- IVFD KN-2 20 gtt
Temperatur : 36,2 oC
- Inj. Levemir 1 x 16 IU
Mata: konjungtiva anemis (-),
sklera ikterik (-) Pulmo : simetris, vesikuler (+)
normal, rhonki (-), wheezing (-)
- Inj. Novorapid 3 x 20 IU - Domperidone tab 3 x 10 mg
Cor : Gallop (-), murmur ( – ) Perut: datar, shifting dullness (-),
hipertimpani, Nyeri Tekan (-),
- Sliding scale insulin
turgor kembali cepat
- Cek GDS setiap 5 jam
Ekstremitas : ikterik, edema (-),
kekuatan (5), CRT < 2 detik, ulkus (-)
GDS: 443 mg/dl
11.
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: Dubia ad bonam
Quo ad fungsionam
: Dubia ad bonam
Quo ad sanationam
: Dubia ad bonam
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1. Diabetes Melitus 3.1.1. Definisi
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya.5
3.1.2. Patofisiologi
Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe-2 Belakangan diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti: jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan otak (resistensi insulin), kesemuanya ikut berperan dalam menimbulkan terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe-2. Delapan organ penting dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet ) penting dipahami karena dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang5: 1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis, bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja 2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat pada gangguan multipel dari patofisiologi DM tipe 2. 3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada penyandang gangguan toleransi glukosa.
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal (omnious octet) berikut 6 :
15
16
1. Kegagalan sel beta pancreas: Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor. 2. Liver: Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses gluconeogenesis. 3. Otot: Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion. 4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin, menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas (FFA= Free Fatty Acid ) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja dijalur ini adalah tiazolidindion. 5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan
17
glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa. 6. Sel Alpha Pancreas: Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin. 7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam patogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter) pada bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden, sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh obatnya. 8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.
3.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi etiologis DM menurut American Diabetes Association 20107, dibagi dalam 4 jenis yaitu: a. Diabetes Melitus Tipe 1 atau Insulin Dependent Diabetes Mellitus/IDDM
18
DM tipe 1 terjadi karena adanya destruksi sel beta pankreas karena sebab autoimun. Pada DM tipe ini terdapat sedikit atau tidak sama sekali sekresi insulin dapat ditentukan dengan level protein c-peptida yang jumlahnya sedikit atau tidak terdeteksi sama sekali. Manifestasi klinik pertama dari penyakit ini adalah ketoasidosis. b. Diabetes
Melitus
Tipe
2
atau
Insulin
Non-dependent
Diabetes
Mellitus/NIDDM Pada penderita DM tipe ini terjadi hiperinsulinemia tetapi insulin tidak bisa membawa glukosa masuk ke dalam jaringan karena terjadi resistensi insulin yang merupakan turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Oleh karena terjadinya resistensi insulin (reseptor insulin sudah tidak aktif karena dianggap kadarnya masih tinggi dalam darah) akan mengakibatkan defisiensi relatif insulin. Hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya sekresi insulin pada adanya glukosa bersama bahan sekresi insulin lain sehingga sel beta pankreas akan mengalami desensitisasi terhadap adanya glukosa. Onset DM tipe ini terjadi perlahan-lahan karena itu gejalanya asimtomatik.
Adanya
resistensi
yang
terjadi
perlahan-lahan
akan
mengakibatkan sensitivitas reseptor akan glukosa berkurang. DM tipe ini sering terdiagnosis setelah terjadi komplikasi. c. Diabetes Melitus Tipe Lain DM tipe ini terjadi karena etiologi lain, misalnya pada defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas, penyakit metabolik endokrin lain, iatrogenik, infeksi virus, penyakit autoimun dan kelainan genetik lain. Penyebab terjadinya DM tipe lain dapat dilihat pada tabel 3.1. d. Diabetes Melitus Gestasional DM tipe ini terjadi selama masa kehamilan, dimana intoleransi glukosa didapati pertama kali pada masa kehamilan, biasanya pada trimester kedua dan ketiga. DM gestasional berhubungan dengan meningkatnya komplikasi
19
perinatal. Penderita DM gestasional memiliki risiko lebih besar untuk menderita DM yang menetap dalam jangka waktu 5-10 tahun setelah melahirkan. Tabel 3.1. Klasifikasi DM menurut ADA 2010
3.1.4. Penegakkan Diagnosis
Diagnosis Diabetes Mellitus (DM) harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk memastikan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah dilakukan di laboratorium klinik. Walaupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan darah utuh (whole blood), vena ataupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil pengobatan dapat diperiksa glukosa darah kapiler.5 Ada perbedaan antara uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnotik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala/tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai risiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif. 5
20
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM5 sebagai berikut: a. Usia > 45 tahun b. Berat badan lebih: BBR >110% berat badan idaman atau IMT >23kg/m 2 c. Hipertensi ( ≥ 140/90mmHg) d. Riwayat DM dalam garis keturunan e. Riwayat abortus berulang, melahirkan anak cacat atau berat badan lahir bayi > 4000 gram f. Riwayat DM pada kehamilan g. Dislipidemia HDL≤ 35mg/dl dan atau trigliserida ≥ 250mg/dl h. Pernah TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) atau GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu)
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvea pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu≥ 200mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200mg/dl 5. Cara penatalaksanaan TTGO menurut WHO 19855 adalah seperti berikut : a. Tiga hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan. b. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan.
21
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa. d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250ml dan diminum dalam waktu 5 menit. e. Diperiksa kadar glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa. f. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. Kriteria diagnostik Diabetes Melitus a. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl, atau b. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir) atau Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO.
3.1.5. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus
Karena banyaknya komplikasi kronik yang dapat terjadi pada DM tipe-2, dan sebagian besar mengenai organ vital yang dapat fatal, maka tatalaksana DM tipe-2 memerlukan terapi agresif untuk mencapai kendali glikemik dan kendali faktor risiko kardiovaskular. Dalam Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan DM tipe 2
22
di Indonesia 2011, penatalaksanaan dan pengelolaan DM dititik beratkan pada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu: edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis.5
3.1.5.1. Edukasi Tim kesehatan mendampingi pasien dalam perubahan perilaku sehat yang memerlukan partisipasi aktif dari pasien dan keluarga pasien. Upaya edukasi dilakukan secara komphrehensif dan berupaya meningkatkan motivasi pasien untuk memiliki perilaku sehat.5,8 Tabel 3.2
Tujuan dari edukasi diabetes adalah mendukung usaha pasien penyandang diabetes untuk mengerti perjalanan alami penyakitnya dan pengelolaannya, mengenali masalah kesehatan/komplikasi yang mungkin timbul secara dini/saat masih reversible, ketaatan perilaku pemantauan dan pengelolaan penyakit secara mandiri, dan perubahan perilaku/kebiasaan kesehat an yang diperlukan.8 Edukasi pada penyandang diabetes meliputi pemantauan glukosa mandiri, perawatan
kaki,
ketaatan
pengunaan
obat-obatan,
berhenti
merokok,
meningkatkan aktifitas fisik, dan mengurangi asupan kalori dan diet tinggi lemak. 8
23
3.1.5.2. Terapi Gizi Medis TNM merupakan bagian penting dari penatalaksanaan DMT2 secara komprehensif. Kunci keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh dari anggota tim (dokter, ahli gizi, petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya). Guna mencapai sasaran terapi TNM sebaiknya diberikan sesuai dengan kebutuhan setiap penyandang DM. Prinsip pengaturan makan pada penyandang diabetes yaitu makanan yang seimbang, sesuai dengan kebutuhan kalori masing-masing individu, dengan memperhatikan keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah makanan. Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari karbohidrat 45%-65%, lemak 20%-25%, protein 10%-20%, Natrium kurang dari 3g, dan diet cukup serat sekitar 25g/hari. 5 a. Komposisi Makanan yang Dianjurkan terdiri dari: Karbohidrat
Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi. Terutama karbohidrat yang berserat tinggi.
Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan.
Glukosa dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat makan sama dengan makanan keluarga yang lain.
Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti glukosa, asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian ( Accepted Daily Intake/ADI).
Dianjurkan makan tiga kali sehari dan bila perlu dapat diberikan makanan selingan seperti buah atau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
Lemak
Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori, dan tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.
Komposisi yang dianjurkan: o
Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori.
o
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %.
o
Selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
24
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu fullcream.
Konsumsi kolesterol dianjurkan < 200 mg/hari.
Protein
Kebutuhan protein sebesar 10 – 20% total asupan energi.
Sumber protein yang baik adalah ikan, udang, cumi, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu dan tempe.
Pada pasien dengan nefropati diabetik perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi, dengan 65% diantaranya bernilai biologik tinggi. Kecuali pada penderita DM yang sudah menjalani hemodialisis asupan protein menjadi 1-1,2 g/kg BB perhari.
Natrium
Anjuran asupan natrium untuk penyandang DM sama dengan orang sehat yaitu <2300 mg perhari.
Penyandang
DM
yang
juga
menderita
hipertensi
perlu
dilakukan
pengurangan natrium secara individual.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.
Serat
Penyandang DM dianjurkan mengonsumsi serat dari kacan gkacangan, buah dan sayuran serta sumber karbohidrat yang tinggi serat.
Anjuran konsumsi serat adalah 20-35 gram/hari yang berasal dari berbagai sumber bahan makanan.
Pemanis Alternatif
Pemanis alternatif aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman ( Accepted Daily Intake/ADI).
Pemanis alternatif dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak berkalori.
25
Pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori, seperti glukosa alkohol dan fruktosa.
Glukosa alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan xylitol .
Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang DM karena dapat meningkatkan kadar LDL, namun tidak ada alasan menghindari makanan seperti buah dan sayuran yang mengandung fruktosa alami.
Pemanis
tak
berkalori
termasuk:
aspartam,
sakarin,
acesulfame
potassium, sukralose, neotame.
b. Kebutuhan Kalori Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan penyandang DM, antara lain dengan memperhitungkan kebutuhan kalori basal yang besarnya 25-30 kal/kgBB ideal. Jumlah kebutuhan tersebut ditambah atau dikurangi bergantung pada beberapa faktor yaitu: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat badan, dan lain-lain. Beberapa cara perhitungan berat badan ideal adalah sebagai berikut:
Perhitungan berat badan ideal (BBI) menggunakan rumus Broca yang dimodifikasi: o
Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
o
Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus dimodifikasi menjadi: Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg. BB Normal: BB ideal ± 10 % Kurus: kurang dari BBI - 10 % Gemuk: lebih dari BBI + 10 %
o
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT). Indeks massa tubuh dapat dihitung dengan rumus: IMT = BB(kg)/TB(m2) Klasifikasi IMT*
BB Kurang <18,5
26
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih ≥23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II ≥30 *)
WHO
WPR/IASO/IOTF
dalam
The
Asia-Pacific
Perspective:Redefining Obesity and its Treatment.
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori 5 antara lain:
Jenis Kelamin
Kebutuhan kalori basal perhari untuk perempuan sebesar 25 kal/kgBB sedangkan untuk pria sebesar 30 kal/kgBB.
Umur o
Pasien usia diatas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk setiap dekade antara 40 dan 59 tahun. Pasien usia diantara 60 dan 69 tahun, dikurangi 10%.
o
Pasien usia diatas usia 70 tahun, dikurangi 20%.
Aktivitas Fisik atau Pekerjaan o
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
o
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat.
o
Penambahan sejumlah 20% pada pasien dengan aktivitas ringan: pegawai kantor, guru, ibu rumah tangga.
o
Penambahan sejumlah 30% pada aktivitas sedang: pegawai industri ringan, mahasiswa, militer yang sedang tidak perang.
o
Penambahan sejumlah 40% pada aktivitas berat: petani, buruh, atlet, militer dalam keadaan latihan.
o
Penambahan sejumlah 50% pada aktivitas sangat berat: tukang becak, tukang gali.
27
Stres Metabolik
Penambahan 10-30% tergantung dari beratnya stress metabolik (sepsis, operasi, trauma).
Berat Badan o
Penyandang DM yang gemuk, kebutuhan kalori dikurangi sekitar 2030% tergantung kepada tingkat kegemukan.
o
Penyandang DM kurus, kebutuhan kalori ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB.
o
Jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kal perhari untuk wanita dan 1200-1600 kal perhari untuk pria. Secara umum, makanan siap saji dengan jumlah kalori yang terhitung dan komposisi tersebut di atas, dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya. Tetapi pada kelompok tertentu
perubahan jadwal, jumlah dan jenis
makanan dilakukan sesuai dengan kebiasaan. Untuk penyandang DM yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyerta.
3.1.5.3. Latihan Jasmani Latihan jasmani secara teratur 3-4 kali seminggu, masing-masing selama kurang lebih 30 menit. Latihan jasmani dianjurkan yang bersifat aerobik seperti berjalan santai, jogging, bersepeda dan berenang. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan meningkatkan sensitifitas insulin.5
3.1.5.4. Intervensi Farmakologis Terapi farmakologis diberikan bersama dengan peningkatan pengetahuan pasien, pengaturan makan dan latihan jasmani. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.1 Obat yang saat ini ada antara lain: 3.1.5.4.1. Obat Hipoglikemik Oral (OHO) c. Pemicu sekresi insulin:
28
Sulfonilurea
• Efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas • Pilihan utama untuk pasien berat badan normal atau kurang • Sulfonilurea kerja panjang tidak dianjurkan pada orang tua, gangguan faal hati dan ginjal serta malnutrisi Glinid
• Terdiri dari repaglinid dan nateglinid • Cara kerja sama dengan sulfonilurea, namun lebih ditekankan pada sekresi insulin fase pertama. • Obat ini baik untuk mengatasi hiperglikemia postprandial
d. Peningkat sensitivitas insulin: Biguanid9
• Golongan biguanid yang paling banyak digunakan adalah Metformin. • Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin, dan menurunkan produksi glukosa hati. • Metformin merupakan pilihan utama untuk penderita diabetes gemuk, disertai dislipidemia, dan disertai resistensi insulin. Tiazolidindion5,9
• Menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga meningkatkan ambilan glukosa perifer. • Tiazolidindion
dikontraindikasikan
pada
gagal
jantung
karena
meningkatkan retensi cairan. e. Penghambat glukoneogenesis: Biguanid (Metformin)
• Selain menurunkan resistensi insulin, Metformin juga mengurangi produksi glukosa hati.
29
• Metformin dikontraindikasikan pada gangguan fungsi ginjal dengan kreatinin serum >1,5 mg/dL, gangguan fungsi hati, serta pasien dengan kecenderungan hipoksemia seperti pada sepsis • Metformin tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonylurea. • Metformin mempunyai efek samping pada saluran cerna (mual) namun bisa diatasi denganpemberian sesudah makan.
f. Penghambat glukosidase alfa : Acarbose
• Bekerja dengan mengurangi absorbsi glukosa di usus halus. • Acarbose juga tidak mempunyai efek samping hipoglikemia seperti golongan sulfonilurea. • Acarbose mempunyai efek samping pada saluran cerna yaitu kembung dan flatulens. • Penghambat dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) Glucagon-like peptide-1 (GLP1) merupakan suatu hormone peptide yang dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi bila ada makanan yang masuk. GLP-1 merupakan perangsang kuat bagi insulin dan penghambat glukagon. Namun GLP-1 secara cepat diubah menjadi metabolit yang tidak aktif oleh enzim DPP-4. Penghambat
DPP-4
dapat
meningkatkan
menghambat penglepasan glukagon.
3.1.5.4.2. Obat Suntikan a. Insulin
Insulin kerja cepat
Insulin kerja pendek
Insulin kerja menengah
Insulin kerja panjang
Insulin campuran tetap
penglepasan
insulin
dan
30
b. Agonis GLP-1/incretin mimetik • Bekerja sebagai perangsang penglepasan insulin tanpa menimbulkan hipoglikemia, dan menghambat pelepasan glukagon • Tidak meningkatkan berat badan seperti insulin dan sulfonilurea • Efek samping antara lain gangguan saluran cerna seperti mual muntah
Dengan memahami 4 pilar tata laksana DM tipe 2 ini, maka dapat dipahami bahwa yang menjadi dasar utama adalah gaya hidup sehat (GHS). Semua pengobatan DM tipe 2 diawali dengan GHS yang terdiri dari edukasi yang terus menerus, mengikuti petunjuk pengaturan makan secara konsisten, dan melakukan latihan jasmani secara teratur. Sebagian penderita DM tipe 2 dapat terkendali kadar glukosa darahnya dengan menjalankan GHS ini. Bila dengan GHS glukosa darah belum terkendali, maka diberikan monoterapi OHO. Pemberian OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa darah. Pemberian OHO berbeda-beda tergantung jenisnya. Sulfonilurea diberikan 15-30 menit sebelum makan. Glinid diberikan
sesaat
sebelum
makan.
Metformin
bisa
diberikan
sebelum/sesaat/sesudah makan. Acarbose diberikan bersama makan suapan pertama. Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan, DPP-4 inhibitor dapat diberikan saat makan atau sebelum makan. 9 Bila dengan GHS dan monoterapi OHO glukosa darah belum terkendali maka diberikan kombinasi 2 OHO. Untuk terapi kombinasi harus dipilih 2 OHO yang cara kerja berbeda, misalnya golongan sulfonilurea dan metformin. Bila dengan GHS dan kombinasi terapi 2 OHO glukosa darah belum terkendali maka ada 2 pilihan yaitu yang pertama GHS dan kombinasi terapi 3 OHO atau GHS dan kombinasi terapi 2 OHO bersama insulin basal. Yang dimaksud dengan insulin basal adalah insulin kerja menengah atau kerja panjang, yang diberikan malam hari menjelang tidur. Bila dengan cara diatas glukosa darah terap tidak terkendali maka pemberian OHO dihentikan, dan terapi beralih kepada insulin intensif. Pada terapi insulin ini diberikan kombinasi insulin basal untuk mengendalikan glukosa darah puasa, dan
31
insulin kerja cepat atau kerja pendek untuk mengendalikan glukosa darah prandial. Kombinasi insulin basal dan prandial ini berbentuk basal bolus yang terdiri dari 1 x basal dan 3 x prandial. Algoritma tata laksana selengkapnya dapat dilihat pada gambar 2. Tes hemoglobin terglikosilasi (disingkat A1c), merupakan cara yang digunakan untuk menilai efek perubahan terapi 8-12 minggu sebelumnya. Pemeriksaan ini dianjurkan setiap 3 bulan, atau minimal 2 kali setahun. Gambar 3 menunjukkan panduan tatalaksana berdasarkan hasil A1c.9
3.1.6. Penyulit Diabetes Melitus
Pada DM yang tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi
vaskuler
kronik,
baik
mikroangiopati
maupun
makroangiopati. Di Amerika Serikat, DM merupakan penyebab utama dari end stage renal disease (ESRD), nontraumatic lowering amputation, dan adult blindness.10 Sejak ditemukan banyak obat untuk menurunkan glukosa darah, terutama setelah ditemukannya insulin, angka kematian penderita diabetes akibat komplikasi akut bisa menurun drastis. Kelangsungan hidup penderita diabetes lebih panjang dan diabetes dapat dikontrol lebih lama. Komplikasi kronis yang dapat terjadi akibat diabetes yang tidak terkendali adalah:8,9 a. Kerusakan saraf (Neuropati) Sistem saraf tubuh kita terdiri dari susunan saraf pusat, yaitu otak dan sumsum tulang belakang, susunan saraf perifer di otot, kulit, dan organ lain, serta susunan saraf otonom yang mengatur otot polos di jantung dan saluran cerna. Hal ini biasanya terjadi setelah glukosa darah terus tinggi, tidak terkontrol dengan baik, dan berlangsung sampai 10 tahun atau lebih. Apabila glukosa darah berhasil diturunkan menjadi normal, terkadang perbaikan saraf bisa terjadi. Namun bila dalam jangka yang lama glukosa darah tidak berhasil diturunkan menjadi normal makaakan melemahkan dan merusak dinding pembuluh darah kapiler yang memberi makan ke saraf sehingga terjadi kerusakan saraf yang disebut neuropati
32
diabetik (diabetic neuropathy). Neuropati diabetik dapat mengakibatkan saraf tidak bisa mengirim atau menghantar pesan-pesan rangsangan impuls saraf, salah kirim atau terlambat kirim. Tergantung dari berat ringannya kerusakan saraf dan saraf mana yang terkena. Prevalensi Neuropati pada pasien DM tipe 1 pada populasi klinik berkisar 3% s/d 65.8% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 12.8% s/d 54%. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi neuropati pada populasi klinik berkisar 7.6% s/d 68.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 13.1% s/d 45.0%. 9 b. Kerusakan ginjal (Nefropati) Ginjal manusia terdiri dari dua juta nefron dan berjuta-juta pembuluh darah kecil yang disebut kapiler. Kapiler ini berfungsi sebagai saringan darah. Bahan yang tidak berguna bagi tubuh akan dibuang ke urin atau kencing. Ginjal bekerja selama 24 jam sehari untuk membersihkan darah dari racun yang masuk ke dan yang dibentuk oleh tubuh. Bila ada nefropati atau kerusakan ginjal, racun tidak dapat dikeluarkan, sedangkan protein yang seharusnya dipertahankan ginjal bocor ke luar. Semakin lama seseorang terkena diabetes dan makin lama terkena tekanan darah tinggi, maka penderita makin mudah mengalami kerusakan ginjal. Gangguan ginjal pada penderita diabetes juga terkait dengan neuropathy atau kerusakan saraf. Prevalensi mikroalbuminuria dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 4.3% s/d 37.6% pada populasi klinis dan 12.3% s/d 27.2% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi mikroalbuminuria pada populasi klinik berkisar 2.5% s/d 57.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 18.9% s/d 42.1%. Prevalensi overt nephropathy dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 0.7% s/d 27% pada populasi klinis dan 0.3% s/d 24% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi overt nephropathy pada populasi klinik berkisar 5.4% s/d 20.0% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 9.2% s/d 32.9%.9
33
c. Kerusakan mata (Retinopati) Penyakit diabetes bisa merusak mata penderitanya dan menjadipenyebab utama kebutaan. Ada tiga penyakit utama pada mata yang disebabkan oleh diabetes, yaitu: 1) retinopati, retina mendapatkan makanan dari banyak pembuluh darah kapiler yang sangat kecil. Glukosa darah yang tinggi bisa merusak pembuluh darah retina; 2) katarak, lensa yang biasanya jernih bening dan transparan menjadi keruh sehingga menghambat masuknya sinar dan makin diperparah dengan adanya glukosa darah yang tinggi; dan 3) glaukoma, terjadi peningkatan tekanan dalam bola mata sehingga merusak saraf mata. Prevalensi retinopati dengan penyakit DM tipe 1 berkisar 10.8% s/d 60.0% pada polpulasi klinik dan 14.5% s/d 79.0% dalam penelitian pada populasi. Sedangkan pada pasien DM tipe 2 prevalensi retinopati pada populasi klinik berkisar 10.6% s/d 47.3% dan dalam penelitian pada populasi berkisar 10.1% s/d 55.0%. 9 d. Penyakit jantung koroner (PJK) Diabetes merusak dinding pembuluh darah yang menyebabkan penumpukan lemak di dinding yang rusak dan menyempitkan pembuluh darah. Akibatnya suplai darah ke otot jantung berkurang dan tekanan darah meningkat, sehingga kematian mendadak bisa terjadi. Prevalensi Penyakit jantung koroner dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 25.2% pada polpulasi klinik dan 1.8% s/d 43.4% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi penyakit jantung koroner berkisar 0.5% s/d 8.7% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 9.8% s/d 22.3% dengan Diabetes tipe 2. 9,10 e. Stroke Prevalensi stroke dengan penyakit DM (baik tipe 1 dan 2) berkisar 1.0% s/d 11.3% pada populasi klinik dan 2.8% s/d 12.5% dalam penelitian pada populasi. Lima puluh persen dari prevalensi stroke berkisar 0.5% and 4.3% dengan Diabetes tipe 1 dan berkisar 4.1% and 6.7% dengan Diabetes tipe 2. 10
34
f. Hipertensi Hipertensi atau tekanan darah tinggi jarang menimbulkan keluhanyang dramatis seperti kerusakan mata atau kerusakan ginjal. Namun, harus diingat hipertensi dapat memicu terjadinya serangan jantung, retinopati, kerusakan ginjal, atau stroke. Risiko serangan jantung dan stroke menjadi dua kali lipat apabila penderita diabetes juga terkena hipertensi. g. Penyakit pembuluh darah perifer Kerusakan pembuluh darah di perifer atau di tangan dan kaki, yang dinamakan Peripheral Vascular Disease (PVD), dapat terjadi lebih dini dan prosesnya lebih cepat pada penderita diabetes daripada orang yang tidak mendertita diabetes. Denyut pembuluh darah di kaki terasa lemah atau tidak terasa sama sekali. Bila diabetes berlangsung selama 10 tahun lebih, sepertiga pria dan wanita dapat mengalami kelainan ini. Dan apabila ditemukan PVD disamping diikuti gangguan saraf atau neuropati dan infeksi atau luka yang sukar sembuh, pasien biasanya sudah mengalami penyempitan pada pembuluh darah jantung. h. Gangguan pada hati Banyak orang beranggapan bahwa bila penderita diabetes tidak makan gula bisa bisa mengalami kerusakan hati (liver). Anggapan ini keliru. Hati bisa terganggu akibat penyakit diabetes itu sendiri. Dibandingkan orang yang tidak menderita diabetes, penderita diabetes lebih mudah terserang infeksi virus hepatitis B atau hepatitis C. Oleh karena itu, penderita diabetes harus menjauhi orang yang sakit hepatitis karena mudah tertular dan memerlukan vaksinasi untuk pencegahan hepatitis. Hepatitis kronis dan sirosis hati (liver cirrhosis) juga mudah terjadi karena infeksi atau radang hati yang lama atau berulang. Gangguan hati yang sering ditemukan pada penderita diabetes adalah perlemakan hati atau fatty liver, biasanya (hampir 50%) pada penderita diabetes tipe 2 dan gemuk. Kelainan ini jangan dibiarkan karena bisa merupakan pertanda adanya penimbunan lemak di jaringan tubuh lainnya.
35
i. Penyakit paru Pasien diabetes lebih mudah terserang infeksi tuberkulosis paru dibandingkan orang biasa, sekalipun penderita bergizi baik dan secara sosioekonomi cukup. Diabetes memperberat infeksi paru, demikian pula sakit paru akan menaikkan glukosa darah. j. Gangguan saluran cerna Gangguan saluran cerna pada penderita diabetes disebabkan karena kontrol glukosa darah yang tidak baik, serta gangguan saraf otonom yang mengenai saluran pencernaan. Gangguan ini dimulai dari rongga mulut yang mudah terkena infeksi, gangguan rasa pengecapan sehingga mengurangi nafsu makan, sampai pada akar gigi yang mudah terserang infeksi, dan gigi menjadi mudah tanggal serta pertumbuhan menjadi tidak rata. Rasa sebah, mual, bahkan muntah dan diare juga bisa terjadi. Ini adalah akibat dari gangguan saraf otonom pada lambung dan usus. Keluhan gangguan saluran makan bisa juga timbul akibat pemakaian obatobatan yang diminum. k. Infeksi Glukosa darah yang tinggi mengganggu fungsi kekebalan tubuh dalam menghadapi masuknya virus atau kuman sehingga penderita diabetes mudah terkena infeksi. Tempat yang mudah mengalami infeksi adalah mulut, gusi, paru paru, kulit, kaki, kandung kemih dan alat kelamin. Kadar glukosa darah yang tinggi juga merusak sistem saraf sehingga mengurangi kepekaan penderita terhadap adanya infeksi.
3.2. Hipoglikemia 3.2.1. Definisi
Hipoglikemia didefinisikan sebagai keadaan di mana kadar glukosa plasma lebih rendah dari 45 mg/dl – 50 mg/dl.1 Bauduceau, dkk mendefinisikan hipoglikemia sebagai keadaan di mana kadar gula darah di bawah 60 mg/dl disertai adanya gelaja klinis pada penderita. 11
36
Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal, sedangkan pada pasien diabetes dengan pengendalian gula darah yang ketat (sering mengalami hipoglikemia) dapat mentoleransi kadar gula darah yang rendah tanpa mengalami gejala hipoglikemia. 1 Pendekatan diagnosis kejadian hipoglikemia juga dilakukan dengan bantuan Whipple’s Triad yang meliputi: keluhan yang berhubungan dengan hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah, dan perbaikan kondisi setelah perbaikan kadar gula darah. 2,8 Hipoglikemia akut diklasifikasikan menjadi ringan, sedang, dan berat menurut gejala klinis yang dialami oleh pasien (Tabel 3.3) Tabel 3.3. Klasifikasi Klinis Hipoglikemia Akut Ringan Sedang Berat
Simtomatik, dapat diatasi sendiri, tidak ada gangguan aktivitas sehari – hari yang nyata Simtomatik, dapat diatasi sendiri, menimbulkan gangguan aktivitas sehari – hari yang nyata Sering tidak simtomatik, pasien tidak dapat mengatasi sendiri karena adanya gangguan kognitif 1. Membutuhkan pihak ketiga tetapi tidak membutuhkan terapi parenteral 2. Membutuhkan terapi parenteral (glukagon intramuskuler atau intravena) 3. Disertai kejang atau koma
American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia mengklasifikasikan kejadian hipoglikemia menjadi 5 kategori 12 sebagai berikut: Tabel 3.4.Klasifikasi Hipoglikemia menurut American Diabetes Association Workgroup on Hypoglycemia tahun 2005
Severe hypoglycemia Documented symptomatic hypoglycemia Asymptomatic hypoglycemia Probable symptomatic hypoglycemia Relative hypoglycemia
Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan bantuan dari orang lain Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl disertai gejala klinis hipoglikemia Kadar gula darah plasma ≤ 70 mg/dl tanpa disertai gejala klinis hipoglikemia Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai pengukuran kadar gula darah plasma Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran kadar gula darah plasma ≥ 70 mg/dl dan terjadi penurunan kadar gula darah
37
3.2.2. Patofisiologi 3.2.2.1. Mekanisme Kontra Regulasi Kadar Gula Darah
Penurunan kadar gula darah dapat memicu serangkaian respon yang bertujuan meningkatkan kadar gula darah.12
Tabel 3.5. Respon Fisiologis terhadap Penurunan Kadar Gula Darah Plasma Respon
Penurunan sekresi insulin Peningkatan sekresi glukagon Peningkatan sekresi epinephrine Peningkatan sekresi cortisol dan growth hormone Simptom hipoglikemia
Batas Kadar Gula Darah (mg/dl)
Efek fisiologis
80 – 85
Mempercepat peningkatan glukosa (Menghambat penurunan glukosa)
65 – 70
Mempercepat peningkatan glukosa
65 – 70
Mempercepat peningkatan glukosa, Menghambat penurunan glukosa
65 – 70
Mempercepat peningkatan glukosa, Menghambat penurunan glukosa
50 – 55
Sebagai tanda bagi pasien untuk mengkonsumsi glukosa
Pertahanan fisiologis yang pertama terhadap hipoglikemia adalah penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien diabetes melitus tipe 1 yang menerima terapi substitusi insulin tidak memiliki penurunan sekresi insulin fisiologis (sekresi insulin berkurang saat kadar gula darah rendah) karena insulin yag beredar dalam tubuh merupakan insulin penggantui yang berasal dari luar (eksogen). Pertahanan
fisiologis
yang
kedua
terhadap
hipoglikemia
adalah
peningkatan sekresi glukagon. Sekresi glukagon meningkatkan produksi glukosa di hepar dengan memacu glikogenolisis. 12 Pertahanan
fisiologis
yang
ketiga
terhadap
hipoglikemia
adalah
peningkatan sekresi epinefrin adrenomedullar. Sekresi ini terjadi apabila sekresi glukagon tidak cukup untuk meningkatkan kadar gula darah. Sekresi epinefrin adrenomedullar meningkatkan kadar gula darah dengan cara stimulasi hepar dan ginjal untuk memproduksi glukosa, membatasi penyerapan glukosa oleh jaringan
38
yang sensitif terhadap insulin, perpindahan substrat glukoneogenik (laktat dan asam amino dari otot, dan gliserol dari jaringan lemak). Sekresi insulin dan glukagon dikendalikan oleh perubahan kadar gula darah dalam pulau Langerhans di pankreas. Sedangkan pelepasan epinefrin (aktivitas simpatoadrenal) dikendalikan secara langsung oleh sistem saraf pusat. Bila pertahanan fisiologis ini gagal mencegah terjadinya hipoglikemia, kadar glukosa plasma yang rendah menyebabkan respon simpatoadrenal yanglebih hebat yang menyebabkan gejala neurogenik sehingga penderita hipoglikemia menyadari keadaan hipoglikemia dan bertujuan agar penderita segera mengkonsumsi karbohidrat. Seluruh mekanisme pertahanan ini berkurang pada pasien dengan diabetes tipe 1 dan pada advanced diabetes mellitus tipe 2.12
3.2.2.2. Patofisiologi Hipoglikemia yang Berhubungan dengan Kegagalan Otonom
Gambar 3.1.Hipoglikemia yang berhubungan dengan kegagalan sistem otonom
39
Gambar 3.2. Mekanisme Hormon Kontraregulator Glukosa
3.2.3. Gejala dan Tanda Hipoglikemia
Gejala dan tanda dari hipoglikemia merupakan akibat dari aktivasi sistem saraf otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien dengan usia lajut dan pasien yang mengalami hipoglikemia berulang, respon sistem saraf otonom dapat berkurang sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari kalau kadar gula darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat akibat dari hipoglikemia karena penderita terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk meningkatkan kadar gula darahnya. 13
Tabel 3.6. Gejala dan Tanda Hipoglikemia berdasarkan Kadar Gula Darah Kadar Gula Darah 79,2 mg/dL
gemetar, goyah, gelisah
70,2 mg/dL
gugup, berdebar – debar
59,4 mg/dL 50,4 mg/dL 39,6 mg/dL
berkeringat mulut kering, rasa kelaparan pucat, midriasis
Gejala Neurogenik
Gejala Neuroglikopenik
irritabilitas, kebingungan sulit berpikir, sulit berbicara ataxia, paresthesia sakit kepala, stupor, kejang, koma, kematian
40
3.2.4. Identifikasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hipoglikemia
3.2.4.1. Usia Menurut Lefebvre, gejala (symptom) hipoglikemia muncul lebih berat dan terjadi pada kadar gula darah yang lebih tinggi pada orang tua dibanding dengan usia yang lebih muda. 14 Sedangkan menurut Studenski dalam buku ajar Harrison’s Princle of Internal Medicine 18th Ed dikemukankan bahwa hipoglikemia pada penderita diabetes usia lanjut lebih sulit diidentifikas karena simptom autonomik dan neurogenik terjadi pada kadar gula darah yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penderita diabetes pada usia yang lebih muda. sedangkan reaksi metabolik dan efek cedera neurologisnya sama saja antara pasien diabetes muda dan usia lanjut.15 Simptom autonom hipoglikemia sering tertutupi oleh penggunaan betablocker. Penderita diabetes usia lanjut memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia daripada penderita diabetes usia lanjut yang sehat dan memiliki fungsi yang baik.
3.2.4.2. Kelebihan Insulin Penyebab terjadinya kelebihan insulin, antara lain: a.
Dosis insulin atau obat penurun gula darah yang terlalu tinggi
b.
Konsumsi glukosa yang berkurang
c.
Produksi glukosa endogen berkurang, misal setelah konsumsi alkohol
d.
Peningkatan penggunaan glukosa oleh tubuh, misal setelah berolahraga
e.
Peningkatan sensitivitas terhadap insulin
f.
Penurunan ekskresi insulin, misal pada gagal ginjal
Kejadian kelebihan insulin saja belum tentu menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Faktor risiko yang relevan dengan terganggunya mekanisme kontra regulasi glukosa pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan diabetes melitus tipe 2 tahap lanjut antara lain12 : a.
Defisiensi Insulin
41
Menandakan bahwa insulin yang ada merupakan insulin eksogen, sehingga apabila gula darah turun di bawah batas normal, tidak terjadi penurunan sekresi insulin. b.
Riwayat hipoglikemia berat, ketidaksadaran hipoglikemia (hypoglycemia unawareness), atau keduanya.
c.
Terapi penurunan kadar gula darah yang agresif, ditandai dengan kadar HbA1c yang rendah, target kadar gula darah yang rendah, atau keduanya.
3.2.4.3. Frekuensi Hipoglikemia Pasien yang sering mengalami hipoglikemia akan mentoleransi kadar gula darah yang rendah dan mengalami gejala hipoglikemia pada kadar gula darah yang lebih rendah daripada orang normal.
3.2.4.4. Obat Hipoglikemia Oral yang berisiko menyebabkan hipoglikemia Penggunaan
obat
hipoglikemik
oral
yang
memiliki
cara
kerja
meningkatkan sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat – obat tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-1, golongan glinide, golongan sulfonylurea: glibenclamide, glimepiride. a. Sulfonylurea Sulfonylurea bekerja dengan memacu pelepasan insulin dari sel beta pankreas dengan cara berikatan dengan reseptor sulfonylurea pada sel beta pankreas yang menyebabkan inhibisi efluks ion kalium dan menyebabkan depolarisasi dan pelepasan insulin. Pemakaian sulfonylurea jangka panjang pada pasien DM tipe 2 dapat menurunkan kadar serum glukagon yang dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia. Mekanisme inhibisi glukagon ini terjadi karena stimulasi pelepasan insulin dan somatostatin menghambat sekresi sel alfa pankreas. Obat golongan sulfonylurea yang saat ini cukup banyak digunakan merupakan sulfonylurea generasi ke-2 yaitu glibenclamide dan glimepiride.16
42
Glibenclamide ( glyburide) dimetabolisme di heparmenjadi produk dengan aktivitas
hipoglikemik
yang
sangat
rendah.
Dosis
awal
pemberian
Glibenclamide yaitu 2,5 mg per hari dan dapat ditingkatkan hinga mencapai 510 mg dosis tunggal per hari dan diberikan pada pagi hari. Pemberian dosis lebih dari 20 mg per hari tidak direkomendasikan. Glibenclamide berisiko menyebabkan hipoglikemia. Efek samping glibenclamide yang lain adalah dapat menyebabkan flushing apabila berinteraksi dengan alkohol. Insufisiensi ginjal dan hepar merupakan kontraindikasi penggunaan glibenclamide.15
Glimepiride digunakan dengan dosis sekali sehari, sebagai terapi tunggal ataupun sebagai kombinasi dengan terapi insulin. Glimepiride mencapai pengendalian gula darah pada dosis yang paling rendah bila dibandingkan dengan sulfonylurea yang lain. Dosis tunggal 1 mg tiap hari dapat menunjukkan kerja yang efektif dan dapat digunakan dosis hingga 8 mg per hari. Glimepiride memiliki waktu paruh selama 5 jam sehingga dapat diberikan dalam dosis tunggal sekali sehari. Glimepiride dimetabolisme di hepar menjadi bentuk yag inaktif. 15 b. Meglitinide Meglitinide bekerja dengan meningkatkan sekresi insulin sel beta pankreas dengan mengatur efluks kanal kalsium. Meglitinide memiliki tempat perlekatan (binding sites) yang sama dengan yang dimiliki oleh golongan sulfonylurea. Obat yang termasuk dalam golongan meglitinide yaitu repaglinide.15
Repaglinide memiliki onset kerja sangat cepat, dengan konsentrasi puncak dan efek puncak kurang dari satu jam setelah obat ditelan, sedangkan durasi kerja repaglinide selama 5 – 8 jam. Repaglinide dimetabolisme di hepar oleh enzim CYP3A4 dengan waktu paruh plasma selama 1 jam. Sifat kerja yang cepat ini membuat Repaglinide diindikasikan untuk mengatasi peningkatan glukosa setelah makan ( post-prandial ). Repaglinide diminum tepat sebelum makan, dengan dosis 0.25 – 4 mg (maksimum 16 mg per hari) Repaglinide berisiko menimbulkan hipoglikemia bila pasien tidak segera makan setelah mengkonsumsi obat, atau makan dengan jumlah karbohidrat yang tidak
43
adekuat. Repaglinide perlu mendapat perhatian khusus pada pasien dengan gangguan hepar dan ginjal. Repaglinide dapat digunakan sebagai terapi tungal ataupun dikombinasikan dengan biguanide (metformin). Repaglinide dapat diberikan pada pasien diabetes yang alergi dengan sulfonylurea karena repaglinide tidak mengandung unsur sulfur. 15
3.2.4.5. Terapi Salisilat Salisilat menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa ( glucose-stimulated insulin secretion) pada orang normal dan pasien diabetes. Salisilat menghambat sintesis prostaglandin pada berbagai jaringan, termasuk jaringan pankreas. Penurunan produksi prostaglandin di pankreas berhubungan dengan peningkatan sekresi insulin, dibuktikan dalam penelitian sebelumnya bahwa pada orang normal, infus prostaglandin E2 dan analog E2 termetilasi menghambat respon insulin akut setelah asupan glukosa. Pemberian aspirin dalam dosis 1,8g – 4,5g per hari dapat menurunkan kebutuhan suntikan insulin pada pasien diabetes dan pemberian 6g aspirin per hari selama 10 hari menurunkan rata-rata gula darah puasa dari 371 mg/dl menjadi 128 mg/dl. 15
3.2.4.6. Terapi Insulin Terapi insulin dapat menyebabkan hipoglikemia karena apabila kadar gula darah turun melampaui batas normal, tidak terjadi fisiologi penurunan kadar insulin dan pelepasan glukagon, dan juga refleks simpatoadrenal. 12 Berdasarkan berbagai penelitian klinis, terbukti bahwa terapi insulin pada pasien
hiperglikemia
memperbaiki
luaran
klinis.
Insulin,
selain
dapat
memperbaiki status metabolik dengan cepat, terutama kadar glukosa darah, juga memiliki efek lain yang bermanfaat, antara lain perbaikan inflamasi. 12 Pada awalnya, terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1). Namun demikian, pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1. 12
44
Pasien DMT2 yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal. 12 Berdasarkan onset kerjanya, terapi insulin diklasifikasikan sebagai berikut: a. Rapid acting insulin (insulin kerja sangat cepat) Insulin kerja sangat cepat memiliki onset kerja dan puncak kerja yang memungkinkan terapi insulin yang menyerupai fisiologi sekresi insulin post prandial. Insulin kerja sangat cepat dapat digunakan sesaat sebelum pasien makan. Durasi kerja insulin kerja sangat cepat tidak lebih dari 4 – 5 jam, dengan demikian memiliki risiko hipoglikemia pasca makan (late postmeal hypoglycemia) yang lebih kecil. Yang termasuk insulin kerja sangat cepat antara lain insulin lispro, insulin aspart, dan insulin glulisine. b. Short acting insulin (insulin kerja singkat) Insulin reguler adalah insulin kerja singkat yang larut dalam bentuk kristal zinc. Efek kerja insulin kerja singkat muncul dalam 30 menit, mencapai puncak kerja dalam 2-3 jam setelah injeksi subkutan, dan memiliki durasi kerja 5-8 jam. Dalam konsentrasi yang tinggi, molekul insulin ini mengalamai aggregasi di sekitar ion zinc sehingga membentuk molekul heksamer. Bentuk heksamer inilah yang menyebabkan insulin reguler membutuhkan waktu untuk dapat bekerja aktif. Setelah injeksi subkutan. molekul hexamer insulin akan mengalami pengenceran (dilusi) oleh cairan interstitial jaringan dan terpecah menjadi molekul dimer dan monomer. Insulin kerja singkat baru dapat bekerja optimal dalam bentuk monomer tersebut. Apabila insulin disuntikan pada saat pasien makan, maka akan terjadi kenaikan kadar gula darah setelah makan (early post-prandial hyperglycemia) karena insulin belum bekerja, dan berisiko menimbulkan hipoglikemia pasca makan (late post-prandial hypoglycemia) karena kerja insulin yang terlambat. Insulin kerja singkat harus disuntikkan 30 – 45 menit sebelum makan untuk mencapai penurunan kadar gula yang tepat.
45
Insulin kerja singkat bermanfaat dalam terapi intravena pada pasien ketoasidosis diabetes dan pada pembedahan ataupun infeksi akut. 15 c. Intermediate acting insulin (insulin kerja sedang) Neutral Protamine Hagedorn insulin (NPH) insulin kerja sedang yang absorbsi dan kerjanya dihambat dengan cara mengkombinasikan insulin dengan protamine dalam jumlah yang tepat. Setelah penyuntikan subkutan, enzim proteolitik jaringan menguraikan protamin sehingga insulin dapat diabsorbsi dan diedarkan ke seluruh tubuh. NPH memiliki onset kerja 2 – 5 jam dan masa kerja 4 – 12 jam. NPH biasanya dicampur dengan rapid acting insulin (lispro, aspart, atau glulisin) dan diberikan 2-4 kali sehari sebagai pengganti insulin endogen (replacement therapy). Dosis NPH mempengaruhi profil kerja, misal dosis kecil memiliki puncak kerja yang lebih rendah dan lebih cepat dan masa kerja yang singkat, dan terjadi sebaliknya pada penambahan dosis yang lebih besar. Kerja NPH sangat sulit diprediksi dan memiliki variabilitas absorbsi yang tinggi. d. Long acting insulin (insulin kerja panjang) Insulin glargine adalah insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak masa kerja ( peakless). Insulin glargine didesain untuk mencapai terpi insulin yang nyaman dan stabil. Molekul Insulin glargine larut dalam suasana yang asam (pH pelarut = 4,0) dan mengalami presipitasi sesaat setelah disuntikkan secara subkutan karena pH tubuh yang netral. Monomer insulin secara perlahanlahan dilepaskan dari kumpulan presipitat insulin pada jaringan sekitar lokasi penyuntikan sehingga menghasilkan profil insulin plasma yang rendah, stabil, dan kontinyu. Insulin glargine memiliki onset kerja yang lambat (1 – 1,5 jam) dan mencapai kerja maksimum dalam 4-6 jam. Kerja maksimum ini bertahan selama 11 – 24 jam. Glargine diberikan dalam suntikan sekali sehari, atau dapat dibagi dalam 2 dosis untuk pasien dengan resistensi insulin ataupun hipersensitivitas terhadap insulin. Glargine tidak dapat dicampur dengan insulin jenis lain karena dapat menurunkan efikasinya karena glargine harus dilarutkan dalam
46
suasana asam. Pencampuran dengan insulin lain dalam spuit yang sama juga harus dihindari dan harus disuntikkan dengan spuit yang berbeda. Pola absorbsi insulin glargine tidak terikat dengan letak penyuntikan. 15 Insulin detemir adalah insulin kerja panjang yang dikembangkan paling baru dan memiliki efek hipoglikemik yang lebih rendah daripada NPH insulin. Insulin detemir memiliki onset kerja yang bergantung pada dosis ( dose dependent ) selama 1 – 2 jam dan durasi kerja 24 jam. Insulin detemir diberikan dua kali sehari untuk mencapai kadar insulin yang tepat. 15
3.2.4.7. Aktivitas Fisik/Olahraga Aktivitas fisik atau olahraga berperan dalam pencegahan dan penanganan diabetes. Olahraga dapat memicu penurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas insulin pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan kesehatan sistem kardiovaskuler. Namun pada penderita diabetes dengan pengendalian gula darah yang intensif, olahraga dapat meningkatkan risiko terjadinya hipoglikemia bila tanpa disertai penyesuaian dosis terapi insulin, dan atau suplementasi karbohidrat. Hipoglikemia dapat terjadi saat berolah raga, sesaat setelah berolahraga, ataupun beberapa jam setelah berolahraga. Beberapa studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah olah raga dipengaruhi oleh kegagalan sistem otonom pada penderita diabetes. 13 Pada saat olah raga terjadi penurunan insulin secara fisiologis, sedangkan pada penderita diabetes yang tergantung pada terapi insulin eksogen, penurunan insulin fisiologis ini tidak terjadi karena insulin yang beredar di dalam tubuh adalah insulin eksogen dan tidak dapat dikendalikan oleh pankreas. 13 Berbeda dengan penurunan sekresi insulin yang tidak terjadi pada penderita diabetes, pada saat berolah raga sekresi glukagon dari sel – sel alfa pankreas tetap terjadi pada penderita diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Hilangnya penurunan
kadar
insulin
juga
menghambat
proses
glikogenolisis
dan
glukoneogenesis karena kadar insulin yang relatif tinggi beredar dalam darah. 13
47
Pada penderita diabetes juga terjadi kegagalan sekresi epinefrin. Secara fisiologis, epinefrin berfungsi meningkatkan glikogenolisis dan menghambat pemakaian glukosa pada saat olahraga.
3.2.4.8. Keterlambatan Asupan Glukosa Berkurangnya asupan karbohidrat atau glukosa pada pasien hiperglikemia karena terlambat makan atau menjalani puasa dengan tidak mengurangi dosis obat – obatan antidiabetes, dapat terjadi hipoglikemia karena berkurangnya asupan glukosa dari saluran cerna.
3.2.4.9. Gangguan Ginjal Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori. Pada gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin karena perubahan pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance). Insulin eksogen secara normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal, waktu paruh insulin memanjang karena proses degradasi insulin berlangsung lebih lambat. 13,15
BAB IV ANALISIS KASUS
Keadaan hipoglikemia pada pasien diabetes tergambar pada hasil laboratorium yaitu penurunan kadar glukosa plasma <60 mg/dL. Hal tersebut ditemukan pada pasien laporan kasus, dimana kadar glukosa plasmanya ialah 44 mg/dL.
Diagnosis Fakta
Teori
Pada kasus ini, pasien tersebut memenuhi
Trias whipple yaitu:
3 dari trias whipple yaitu:
1. Gejala muncul dan konsisten saat
1. Gejala muncul dan konsisten saat hipoglikemia
hipoglikemia 2. penurunan kadar glukosa plasma
2. Penurunan kadar glukosa plasma 3. Terjadi perbaikan klinis setelah kadar
3. Terjadi
perbaikan
klinis
setelah
kadar glukosa dinaikkan
glukosa dinaikkan Sehingga
bisa
didiagnosis
sebagai
hipoglikemia
Analisis Dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang dapat disimpulkan bahwa pasien memenuhi gambaran hipoglikemia pada diabetes mellitus tipe 2. Hal ini dapat dibuktikan dari pemeriksaan fisik, laboratorium, dan disesuaikan dengan trias whipple. Pasien mengalami gejala neurogenik dan neuroglikopenik yang nyata yaitu berupa pingsan, gemetar, mulut kering, sakit kepala, dan pucat.
48
49
Penatalaksanaan Fakta - O2 Nasal Cannule 2L/menit
Bila sadar:
- Catheter terpasang
1. Berikan gula murni 30 gram (2 sendok
- Obat
diabetes
dihentikan
sementara - Cek GDS setiap jam
Teori
makan) atau sirop atau permen, gula murni (bukan pemanis pengganti gula) atau gula diet atau gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
- IVFD NaCl 0,9% 10 tpm
2. Hentikan obat hipoglikemik sementara
- Bolus Dextrose 40% sebanyak 3. Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam 100 ml (awal)
4. Pertahankan glukosa darah sekitar 200 mg/dl (bila sebelumnya tidak sadar) 5. Cari penyebab Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia)
1. Diberikan larutan Dextrose 40% sebanyak 2 flakon (=50 ml) bolus intravena 2. Diberikan cairan Dextrose 10% per infus, 6 jam per kolf 3. Periksa glukosa darah sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer: a. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV b. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV 4. Periksa GDs setiap 1 jam setelah pemberian Dextrose 40% a. Bila GDs < 50 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 50ml IV
50
b. Bila GDs < 100 mg/dl ditambah bolus Dextrose 40% 25ml IV c. Bila GDs 100-200 mg/dl, tanpa bolus Dextrose 40% d. Bila GDs > 200 mg/dl, pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dextrose 10% 5. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS setiap 2 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDS
>
200
mg/dl,
pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9% 6. Bila GDS > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDS setiap 4 jam, dengan protocol sesuai diatas. Bila GDs
>
200
mg/dl,
pertimbangkan
mengganti infuse dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9% 7. Bila GDs > 100 mg/dl sebanyak 3 kali berturut-turut, sliding scale setiap 6 jam : 8. Bila
hipoglikemia
dipertimbangkan
belum
pemberian
teratasi, antagonis
insulin seperti adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glucagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin) 9. Bila pasien belum sadar, GDs sekitar 200 mg/dl : Hidrokortison 100 mg per 4 jam selama 12 jam atau Deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan Manitol 1,5-2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam.
51
Cari penyebab lain kesadaran menurun.
Analisis Pemberian terapi pada pasien ini sudah sesuai dengan teori yang ada. Terapi penyakit lain diberikan sesuai dengan tanda klinis. Pemeriksaan GDS tetap harus dilakukan secara rutin dengan mengamati gejala klinis untuk kepentingan terapi pulang karena tidak jarang pada pasien hipoglikemia terdapat pelonjakan nilai GDS, sehingga memerlukan terapi tambahan.
Prognosis Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis. Pada 22% pasien mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas meningkat sesuai dengan parahnya derajat hipoglikemia.
BAB V KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini maka diagnosanya adalah Hipoglikemia et causa DM Tipe 2 tak terkontrol, hipokalemia. Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ialah pemeriksaan laboratorium darah lengkap, urin rutin, dan kimia darah. Hasil pemeriksaan laboratorium mendukung diagnosis yang ada. Penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang sudah sesuai. Prognosis pada pasien ini adalah dubia ad bonam karena pasien ditangani dengan cepat, mendapatkan terapi yang tepat, dilakukan observasi klini hipoglikemia, dan dukungan keluarga terhadap penyakitnya.
52
DAFTAR PUSTAKA
1 American Diabetes Association, 2016. Glycemic target. Diabetes care. 39. (1) : S39-S46. Diakses 07 April 2017. Dari Care.Diabetesjournals.Org/Content39/Supplement 1/S39.Full.Pdf+Html 2 Gruden G, Baruta F, Cathurvedi N, 2012. Severe hypoglycemia and cardiovascular disease incidence in type 1 diabetes the EURODIAB prospective complications study. Diabetes Care. 35. (7) : 1598- 1604. Diakses 7 April 2017. Dari http://care.diabetesjournals.org/content/35/7/1598.full 3Perkumpulan Endokrin Indonesia, 2011. Konseling pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2011. Diakses 07 April 2017. 4 Seaquist ER, 2013. Hypoglycemia and diabetes: report of a workgroup of the american diabetes association and the endocrine society. Diabetes Care. 36. (5) : 1384-1395. Diakses 07 April 2017. Dari Care.diabetesjournals.org/ content/ 36/5/1384/full.pdf+html 5 PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2015. Diakses 7 april 2017. Dari http://pbperkeni.or.id/doc/konsensus.pdf 6 Ralph A. DeFronzo. From the Triumvirate to the Ominous Octet: A New Paradigm for the Treatment of Type 2 Diabetes Mellitus. Diabetes. 2009; 58: 773-795 7 American Diabetes Association, 2010. Standards of medical care in diabetes — 2010. Diabetes Care. 32. (1) : 13 - 61. Diakses 7 april 2017. Dari http://care.diabetesjournals.org/content/32/Supplement_1/S13.full 8 J Piette. Eff ectiveness of Self-management Education. Dalam: Gan D, Allgot B, King H, Lefèbvre P, Mbanya JC, Silink M, penyunting. Diabetes Atlas. Edisi ke-2. Belgium: International Diabetes Federation; 2003:h.207-15) 9 Sugondo S. Farmakoterapi pada pengendalian glikemia diabetes melitus tipe 2. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
53