Laporan Kasus
TUBERKULOSIS PARU KASUS PUTUS OBAT
Pembimbing : Dr. Ni Wayan , SpP
Disusun oleh : Sarah Melissa Panjaitan 11.2017.048
KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH RSUD KOJA, JAKARTA UTARA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA JAKARTA 2018 1
LEMBAR PENGESAHAN
Telah diterima dan disahkan, laporan kasus ILMU PENYAKIT DALAM yang berjudul
TUBERKULOSIS PARU KASUS PUTUS OBAT
Yang disusun oleh :
Nama : Sarah Melissa Panjaitan
Sebagai salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam
Jakarta, 13 April 2018
Tertanda, Dr. Ni Wayan, SpP
2
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD TARAKAN JAKARTA
Nama
: Sarah Melissa Panjaitan
NIM
: 11.2017.048
Dokter pembimbing
: Dr. Ni Wayan, SpP
Tanda Tangan
PEMBAHASAN KASUS I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. ZM
Usia
: 47 tahun
Agama
: Islam
Alamat
: Tanjung duren
Status
: Menikah
Pekerjaan
: Ojek online
Tanggal Periksa
: 7 April 2018
II. Anamnesa
Autoanamnesis dilakukan pada pasien pada tanggal 7 April 2018 Jam : 14.00 WIB
Keluhan Utama Sesak nafas sejak 7 hari SMRS.
3
Keluhan tambahan
Nyeri dada, batuk berdahak dan demam setiap malam hari sejak 1 minggu yang lalu.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Pada tahun 2010, pasien awalnya mengeluh batuk-batuk selama 3 minggu . Pasien melakukan pemeriksaan dahak dan foto rongten dan dinyatakan positif TBC.Pasien mengkonsumsi OAT selama 9 bulan dan dinyatakan sembuh. Tahun 2013, pasien mengalami hal yang sama dengan pemeriksaan dahak dan foto rongten dan dinyatakan adanya TBC aktif (kambuh). Pasien mengkonsumsi OAT selama 3 bulan tanpa streptomisin dan berhenti atas kemauan sendiri. Tahun 2015, pasien kembali mengalami batuk-batuk dan sesak nafas serta demam sepanjang hari , kemudian setelah memeriksa dahak kembali posotif TBC. Pasien mengkonsumsi OAT selama 3 bulan dan berhenti sendiri karena jarak antara rumah dan RS tempat mengambil obat jauh. Seminggu SMRS, pasien mengeluh adanya nyeri dada, batuk berdahak dan demam setiap malam. Pasien juga mengeluh adanya sesak nafas sejak 3 hari SMRS kemudian dibawa ke Puskesmas Tanah Tinggi. Dari puskesmas tersebut pasien dirujuk ke RSUD Tarakan dengan alesan keterbatasan OAT (Streptomisin). Pasien akhirnya datang ke IGD RSUD Tarakan tanggal 5 April 2018 jam 23.00 WIB karena sesak yang tak tertahankan. Saat ini pasien merasa perut terkadang terasa panas, adanya nyeri ulu hati, BAB sulit sejak 2 hari SMRS, penurunan napsu makan dan teggorokan terasa sakit. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya dan berulang sejak 5 tahun lalu b. Riwayat DM, hipertensi, asma, sakit jantung, dan alergi disangkal oleh pasien. c. Riwayat operasi (-)
.
4
Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat TBC dikeluarga disangkal. b. Riwayat DM, hipertensi, asma, sakit jantung, dan alergi disangkal.
Riwayat Pemberian Obat
Pasien mendapat OAT (RHZE) selama 9 bulan tahun 2010 dan dinyatakan sembuh, pasien mendapat OAT kembali tanpa streptomisin selama 3 bulan tahun 2013 dan STOP atas kemauan sendiri. Tahun 2015 kembali mengkonsumsi OAT hingga berhenti bulan ke -3.Pasien merupakan rujukan dari Puskesmas Tanah Tinggi. Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak merokok atau mengkonsumsi alkohol
III. Pemeriksaan Fisik A. Status Generalis
Keadaan Umum
: Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis
Tanda-tanda Vital
: TD
: 110/70 mmHg
Nadi : 72 x/menit RR
: 16 x/menit
Suhu : 36,5° C Saturasi : 97%
Kepala
: Normocephali, tidak terdapat benjolan ataupun lesi,
distribusi rambut merata warna hitam, rambut tidak mudah dicabut.
Mata
: Pupil isokor dengan diameter 3mm/3mm, konjungtiva
pucat -/-, sklera ikterik -/-, edema palpebra -/-, refleks cahaya +/+
5
Hidung
: Normosepta, sekret (-), epistaksis (-), pernapasan cuping
hidung (-)
Telinga
: Normotia, nyeri tekan tragus (-), sekret (-)
Mulut
: lembab, pucat (-), Bibir sianosis (-), luka (-), lidah kotor (-
)
Tenggorokan : Tonsil: T1-T1, hiperemis
Uvula : ukuran dan letak normal Faring: hiperemis
: Trakea lurus di tengah, tidak teraba pembesaran kelenjar
Leher
getah bening maupun tiroid.
: Bentuk normal
Dada
i. Paru-paru
Inspeksi Tidak ada pergerakan dada tertinggal saat statis dan dinamis, sela iga tidak melebar, tidak ada retraksi sela iga. Palpasi Tidak ada pergerakan dada tertinggal saat statis dan dinamis, sela iga tidak melebar, tidak ada retraksi sela iga tidak ada retraksi sela iga taktil fremitus normal Perkusi Sonor pada seluruh lapang paru Auskultasi Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi , wheezing +/ii. Jantung
Inspeksi ictus cordis terlihat pada ICS 2 line midclavicula sinistra Palpasi Ictus cordis teraba di 1cm medial dari linea midclavicula sinistra IC 2, reguler, kuat angkat Perkusi Batas kanan terletak di garis sternalis kanan pada sela iga ke-4 6
Batas atas terletak di garis sternalis kiri pada sela iga ke2 Pinggang jantung
terletak
di garis parasternalis kiri
pada sela iga ke-4 Batas kiri 1 cm medial dari garis midclavicula sinistra sela iga ke-5 Batas bawah terletak di garis midclavicula kiri sela iga ke-6 Auskultasi BJ 1-2 murni reguler, mur-mur (-), gallop (-)
Abdomen: i. Inspeksi
: bentuk datar
ii. Auskultasi
: BU (+)
iii. Perkusi
: normotimpani pada seluruh lapang abdomen
iv. Palpasi
: NT abdomen (-), massa (-)
Ekstremitas atas dan bawah: edema -/-, deformitas -/-, akral hangat,
CRT <2dtk, nyeri tekan (-), tonus otot
5+
5+
5+
5+
Sensibilitas
+
+
+
+
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium 5/4/2018 jam 23.54 WIB HEMATOLOGI Darah Rutin
-
Hemoglobin
: 13,5 gr/dl ( 12.5 – 16 g/dL )
Leukosit
: 20.170 /UL (4.000-10.500/UL)
7
-
Trombosit
: 299.300/UL (182.000-369.000/UL)
-
Hematokrit
: 41,0 % (37-47%)
-
Eritrosit
: 5.02 juta/UL ( 4,5-5,5)
KIMIA KLINIK
Elektrolit - Natrium
: 130 mEq/L (135-147 mEq/L)
- Kalium
: 3.9 mEq/L ( 3.6-5.5 mEq/L)
- SGOT
: 12 U/L ( < 32 U/L)
- SGPT
: 12 U/L (<33 U/L)
- Ureum
: 13 mg/dL ( 15-50 mg/dL)
- Kreatinin
: 0.68 mg/dL ( 0.6-1,3)
- GDS
: 136
ANALISA GAS DARAH
pH
: 7,392
PCO2
:60,4
PO2
291,3
SO2
: 99,4
BE-ecf
: 12
BE-b
:10,8
SBC
: 34,6
8
HCO3
:37,1
TCO2
: 39
A
: 76
a/A
:3,8
O2 Ct
:17,5
Temperatur
: 37
Foto Thorax AP Diambil tanggal 5/4/2018
Thorax
: trakea lurus ditengah, hilus normal, tampak adanya infiltrate pada apeks paru kanan , tampak adanya kesuraman pada 2/3 lapang paru kanan. Corakan bronkovaskular meningkat, sudut costofrenikus lancip, diafragma normal. Kavitas tidak ada, massa tidak ada. 9
Cor
: CTR <50%, elongasi aorta (-)
Kesan
: gambaran pneumonia pada paru dextra. Adanya lesi TB Paru
aktif. V. RESUME
Os datang ke IGD dengan keluhan sesak nafas . Os memiliki riwayat terapi dengan OAT pada tahun 2010, pasien awalnya mengeluh batuk-batuk selama 3 minggu . Pasien melakukan pemeriksaan dahak dan foto rongten dan dinyatakan positif TBC.Pasien mengkonsumsi OAT selama 9 bulan dan dinyatakan sembuh. Tahun 2013, pasien mengalami hal yang sama dengan pemeriksaan dahak dan foto rongten dan dinyatakan adanya TBC aktif (kambuh). Pasien mengkonsumsi OAT selama 3 bulan tanpa streptomisin dan berhenti atas kemauan sendiri. Tahun 2015, pasien kembali mengalami batuk-batuk dan sesak nafas serta demam sepanjang hari , kemudian setelah memeriksa dahak kembali posotif TBC. Pasien mengkonsumsi OAT selama 3 bulan dan berhenti sendiri karena jarak antara rumah dan RS tempat mengambil obat jauh. Seminggu SMRS, pasien mengeluh adanya nyeri dada, batuk berdahak dan demam setiap malam. Pasien juga mengeluh adanya sesak nafas sejak 3 hari SMRS kemudian dibawa ke Puskesmas Tanah Tinggi. Dari puskesmas tersebut pasien dirujuk ke RSUD Tarakan dengan alesan keterbatasan OAT (Streptomisin). Pasien akhirnya datang ke IGD RSUD Tarakan tanggal 5 April 2018 jam 23.00 WIB karena sesak yang tak tertahankan. Saat ini pasien merasa perut terkadang terasa panas, adanya nyeri ulu hati, BAB sulit sejak 2 hari SMRS, penurunan napsu makan dan teggorokan terasa sakit. Hasil pemeriksaan labolatorium didapatkan Leukosit: 20.170 /UL
, Pada pemeriksaan Foto thorax didapatkan kesan lesi TB Paru aktif
dengan gambaran infiltrate dan kesuraman pada paru dextra. .
10
VI. Pemeriksaan Anjuran
-
Cek PITC
VII.Diagnosis Kerja
- TB Paru Kasus Putus Obat - Dyspepsia VIII.Diagnosis Banding
- TB Paru Relaps - Bronkopneumoni
IX.
Penatalaksanaan Medika mentosa
- IUFD Futrolit /12 jam - Injeksi Ceftriaxone 1x 2gr IV drip - Inhalasi Combivent : Pulmicort 1 :1 3x/hari - RHZE 450/30/1000/1000 - Streptomicin 1 x 750 mg IM - Ambroxol 3x1 tab - Vit B6 1x 1 tab - Injeksi Ranitidin 2x1 amp IV
X.
Prognosis Ad vitam
: Dubia ad bonam
Ad fungsionam
: Dubia ad malam
Ad Sanationam
: Dubia ad bonam
11
TINJAUAN PUSTAKA
I. Tuberkulosis paru 1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang penting di tingkat global, regional, nasional, maupun lokal. Tuberkulosis menyebabkan 5000 kematian per hari, atau hampir 2 juta kematian per tahun di seluruh dunia. TB, HIV/AIDS, dan malaria secara bersama-sama merupakan penyebab 6 juta kematian setiap tahun. Seperempat juta (25%) kematian karena TB berhubungan dengan HIV. Insidensi global TB terus meningkat sekitar 1% per tahun, terutama karena peningkatan pesat insidensi TB di Afrika berkaitan dengan komorbiditas HIV/AIDS (WHO, 2009a). Sepertiga dari populasi total dunia (sekitar 2 milyar orang) terinfeksi TB. Karena daya tahan tubuh, hanya 10% dari orang yang terinfeksi TB akan menjadi sakit dengan tanda dan gejala TB aktif di perjalanan hidupnya. Setiap kasus TB merupakan faktor risiko penyakit TB karena jika tidak diobati dengan tepat, setiap kasus TB aktif menginfeksi 10 hingga 15 orang setiap tahun. Orang dengan HIV memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami TB aktif karena kerusakan sistem imunitas (WHO, 2009a) Indonesia menduduki peringkat ketiga di antara 22 negara di dunia yang memiliki beban penyakit TB tertinggi. Menurut Global Tuberculosis Control Report 2009 WHO, diperkirakan terdapat 528,063 kasus baru TB. Estimasi insidensi TB 228 kasus baru per 100,000 populasi. Estimasi angka insidensi hapusan dahak baru yang positif adalah 102 kasus per 100,000 populasi pada 2007 (WHO, 2009a). Berdasarkan kalkulasi disabilityadjusted life-year (DALY) WHO, TB menyumbang 6.3 persen dari total beban penyakit di Indonesia, dibandingkan dengan 3.2 persen di wilayah regional Asia Tenggara (USAID, 2008).
12
1.2 Tujuan
Menemukan penyebab utama rendahnya cakupan penemuan suspek TB di wilayah kerja Puskesmas Tanah Garam.
Menemukan upaya pemecahan masalah dan alternatif pemecahan masalah agar cakupan penemuan suspek TB dan BTA positif di wilayah kerja Puskesmas Tanah Garam dapat mencapai target yang ditetapkan Puskesmas Tanah Garam.
Menyusun Plan of Action dalam upaya peningkatan penjaringan pasien baru BTA positif (Case Detection Rate = CDR) dan Suspek tuberculosis di wilayah kerja Puskesmas Tanah Garam.
1.3 Manfaat
Plan of Action diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pihak Puskesmas dalam melaksanakan upaya peningkatan penemuan pasien baru suspect tuberculosis dan BTA positif (Case Detection Rate = CDR) di wilayah kerja Puskesmas Tanah Garam.
Sebagai bahan pembelajaran dan menambah pengetahuan penulis dalam menganalisa permasalahan dan memberikan solusi pada permasalahan yang ditemui di Puskesmas Tanah Garam.
1.4 Ruang Lingkup
Seluruh masyarakat yang ada di wilayah puskesmas Tanah Garam
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Tuberculosis Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam ini dapat merupakan organisme patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).
2.2 Epidemiologi Tuberculosis
Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia ini. Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberculosis sebagai « Global Emergency ». Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat 8,8 juta kasus baru tuberkulosis pada tahun 2002, dimana 3,9 juta adalah kasus BTA (Basil Tahan Asam) positif. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi tuberkulosis di dunia ini, dan sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia tenggara yaitu 33 % dari seluruh kasus TB di dunia, namun bila dilihat dari jumlah pendduduk, terdapat 182 kasus per 100.000 penduduk.Di Afrika hampir 2 kali lebih besar dari Asia tenggara yaitu 350 per 100.000 penduduk. Diperkirakan terdapat 2 juta kematian akibat tuberculosis pada tahun 2002. Jumlah terbesar kematian akibat TB terdapat di Asia tenggara yaitu 625.000 orang atau angka mortaliti sebesar 39 orang per 100.000 penduduk. Angka mortaliti tertinggi terdapat di Afrika yaitu 83 per 100.000 penduduk, dimana prevalensi HIV yang cukup tinggi mengakibatkan peningkatan cepat kasus TB yang muncul. Di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 didapatkan bahwa penyakit pada sistem pernapasan merupakan penyebab kematian kedua setelah sistem sirkulasi. Pada SKRT 1992 disebutkan bahwa penyakit TB merupakan penyebab kematian kedua, sementara SKRT 2001 menyebutkan bahwa tuberkulosis adalah penyebab kematian pertama pada golongan penyakit infeksi. Sementara itu dari hasil laporan yang masuk ke subdit TB P2MPL Departemen Kesehatan tahun ,2001 terdapat 50.443 penderita BTA positif yang diobati (23% dari jumlah perkiraan penderita BTA positif ). Tiga perempat dari kasus TB ini berusia 15 – 49 tahun. Pada tahun 2004 WHO memperkirakan setiap tahunnya muncul 115 orangpenderita tuberkulosis paru menular (BTA positif) pada 14
setiap 100.000 penduduk. Saat ini Indonesia masih menduduki urutan ke 3 di dunia untuk jumlah kasus TB setelah India dan China.
2.3 Etiologi Tuberculosis
Penyebab
dari
penyakit
tuebrculosis
paru
adalah
terinfeksinya
paru
oleh
micobacterium tuberculosis yang merupakan kuman berbentuk batang dengan ukuran sampai 4 mycron dan bersifat anaerob. Sifat ini yang menunjukkan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya, sehingga paru-paru merupakan tempat prediksi penyakit tuberculosis. Kuman ini juga terdiri dari asal lemak (lipid) yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam dan lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisik. Penyebaran mycobacterium tuberculosis yaitu melalui droplet nukles, kemudian dihirup oleh manusia dan menginfeksi (Depkes RI, 2002).
2.4 Patogenesis
Gambar 1. Bagan patogenesis TB Paru
15
2.5 Gejala Tuberculosis Gejala sistemik/umum:
Batuk-batuk selama lebih dari 2 minggu (dapat disertai dengan darah)
Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul
Penurunan nafsu makan dan berat badan
Perasaan tidak enak (malaise), lemah
Gejala khusus:
Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara “mengi”, suara nafas melemah yang disertai sesak.
Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada.
Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.
Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.
16
2.6 Cara dan Resiko Penularan Cara penularan
Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.
Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab.
Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.
Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.
Risiko penularan
Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.
Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun.
ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.
17
Gambar 2. Skema faktor resiko kejadian TB Risiko menjadi sakit TB
Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menja di sakit TB.
Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif.
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk).
HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula.
Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan:
50% meninggal
25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi
o 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular
18
2.7 Diagnosis Tuberkulosis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TB, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: * Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. * Pemeriksaan fisik. * Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). * Pemeriksaan patologi anatomi (PA). * Rontgen dada (thorax photo). * Uji tuberkulin.
Diagnosis TB Paru
Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB paru di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung pada pasien remaja dan dewasa, serta skoring pada pasien anak.
19
Tabel. 1 Sistem skoring (scoring system) gejala dan pemeriksaan penunjang TB pada anak
Catatan :
• Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. • Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain. • Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis. • Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan tabel badan badan. • Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak 20
• Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak. • Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14) • Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS): • S(sewaktu): Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. • P(Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. • S(sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi. Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit. Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek TB paru.
21
Gambar 3. Skema alur diagnosis TB Paru Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks
Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: • Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. • Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon). • Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan penanganan khusus (seperti: pneumotorak, pleuritis eksudativa, efusi perikarditis atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). 22
Diagnosis TB Ekstra Paru
• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lainlainnya. • Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis bergantung pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain. Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TB”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1 – 2 tahun 92%, 2 – 4 tahun 78%, 4 – 6 tahun 75%, dan umur 6 – 12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48 – 72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi: 1. Pembengkakan (Indurasi) : 0 – 4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 5 – 9mm, uji mantoux meragukan. Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.
23
2.8 Klasifikasi Tuberkulosis
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu “definisi kasus” yang meliputi empat hal , yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif; 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar 3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan Beberapa istilah dalam definisi kasus: 1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. 2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: 1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment ) sehingga mencegah timbulnya resistensi 2. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment ) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) 3. Mengurangi efek samping
24
A . Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:
1) Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis , yaitu pada
TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif
a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan
25
C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.
1) TB paru BTA negatif foto toraks positif Dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan . Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan , misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra-paru berat , misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. Catatan: • Bila seorang pasien TB ekstra paru juga mempunyai TB paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. • Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.
D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya
Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus Baru
Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus Kambuh ( Relaps)
Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus Putus Berobat ( Default/Drop Out/DO)
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
4) Kasus Gagal ( Failure) 26
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan ( Transfer I n)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan:
TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.
2.9 Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2 bulan ) dan fase lanjutan 4 atau 6 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan. A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai: 1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah: • Rifampisin • INH • Pirazinamid • Streptomisin • Etambutol 2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination) Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari : • Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
27
• Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg 3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2) • Kanamisin • Kuinolon • Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat • Derivat rifampisin dan INH Dosis OAT
• Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu Dosis intermiten 600 mg / kali • INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu, 15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. lntermiten : 600 mg / kali • Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu • Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB, 30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali • Streptomisin:15mg/kgBB atau • Kombinasi dosis tetap Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, Penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat antituberkulosis seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasiliti yang mampu menanganinya.
28
Tabel 2. Efek samping ringan dari OAT
Tabel 3. Efek samping berat dari OAT
Panduan Anti Tuberculosis
Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi: • TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH Alternatf : 2 RHZE / 4R3H3 atau (program P2TB) 2 RHZE/ 6HE Paduan ini dianjurkan untuk a. TB paru BTA (+), kasus baru b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas (termasuk luluh paru) c. TB di luar paru kasus berat 29
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7 bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3, seperti pada keadaan: a. TB dengan lesi luas b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat imunosupresi / kortikosteroid) c. TB kasus berat (milier, dll) Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji resistensi
TB Paru (kasus baru), BTA negative Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk : a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal b. TB di luar paru kasus ringan • TB paru kasus kambuh Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya, sehingga paduanobat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program P2TB) • TB Paru kasus gagal pengobatan Pengobatan
sebaiknya
berdasarkan
hasil
uji
resistensi,
dengan
minimal
menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama pengobatan minimal selama 1 – 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai uji resistensi.
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3 (Program P2TB)
Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal
Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
30
TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut : - Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu, pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual - Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu 1) Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik negatif, pengobatan OAT STOP 2) Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama 3) Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama 4) Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologic positif : pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang sama 5) Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4 minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.
TB Paru kasus kronik
Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2 macam OAT yang masih sensitive dengan H tetap diberikan walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti kuinolon, betalaktam, makrolid
Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru Catatan : TB diluar paru lihat TB dalam keadaan khusus
Kesimpulan
TBC Paru merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa sp. TBC terdiri dari berbagai klasifikasi yang dapat ditegakan diagnosanya dengan pemeriksaan seperti gejala klinis, pemeriksaan sputum SPS, pemeriksaan 31
radiologi dan biakan kuman. TBC memiliki terapi berdasarkan kategori jenisnya. TBC dapat mengancam nyawa apabila meminum OAT tidak teratur, untuk itu diperlukan pengawasan ketat untuk pengobatan rutin dari pemerintah seperti DOTS.
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2012 [Internet]. 2013 [cited
2018
April
11].
Available
from:
http://www.who.int/tb/publications/global_report/gtbr12_main.pdf . 2. Kementrian Kesehatan RI. Rencana aksi nasional: public private mix pengendalian TB Indonesia: 2011- 2014. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2011. 3. Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia. Panduan tata laksana TB sesuai ISTC dengan strategi DOTS untuk dokter praktik swasta (DPS). Departemen Kesehatan RI dan Ikatan Dokter Indonesia. Jakarta, 2011 4. Kementerian Kesehatan RI. Terobosan menuju akses universal: Strategi pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Kementerian Kesehatan RI. Jakarta, 2010. 5. World Health Organization. Public private mix for TB care and control: A toolkit. World Health Organization. Geneva, 2010. 6. Pinidiyapathirage J, Senaratne W, Wickremasinghe R. Prevalence and predictors of default with tuberculosis treatment in Srilanka. Southeast Asian J Trop Med Public Health. 2008;39:1077-82. 11 7. Vijay S, Kumar P, Chauhan LS, Hanumanthappa B, Kizhakkethil, Rao SG. Risk factors associated with default among new smear positive TUBERKULOSIS patients treated under DOTS in India. Plos ONE. 2010;5:1-9. 8. Coker R. Tuberculosis, non-compliance and detention for the public health. J Med Ethics. 2010;26:157-9. 9. Erawatyningsih E, Purwanta, Subekti H. Factors affecting incompliance with medication among lung tuberculosis patients. Berita Kedokteran Masyarakat. 2009;25:117-23.
32