BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan hingga saat ini, terutama pada kelompok 22 negara, dengan beban yang tinggi. Pada Global Tuberculosis Report 2011 (WHO), dikatakan terdapat perbaikan mayor dengan menurunnya kasus dan kematian akibat TB dalam dua dekade terakhir dengan laju penurunan insidens TB secara global sebesar 2,2% pada tahun 2010-2011. Meskipun demikian, beban global akibat TB tetap besar. Menurut estimasi tahun 2011, terdapat 8,7 juta insidens TB (13% di antaranya koinfeksi HIV ) dan 1,4 juta orang meninggal karena TB. Lima negara dengan insidens tuberkulosis tertinggi pada tahun 2011 adalah India, China, Afrika Selatan, Indonesia (0,4 – 0,5 0,5 juta), dan Pakistan Tuberkulosis resisten obat (multidrug-resistant tuberculsosis, MDR-TB) merupakan masalah yang terus berkembang dan mengancam kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Secara global, estimasi insidens kasus baru TB resisten obat terlapor sebesar 3,7%, sementara insidens kasus TB dengan riwayat pengobatan sebanyak 20%. Pencegahan MDR-TB dilakukan melalui strategi directly observed treatment short-course (DOTS) yang direkomendasikan secara internasional serta terbukti efisien dan cost-effective, meskipun pada beberapa keadaan gagal menyembuhkan. Organisme resisten dapat timbul akibat beberapa faktor; kesalahan manusia memberi kontribusi terbesar. Resistensi obat dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada pasien TB yang masih sensitif obat, seperti ketidaktepatan regimen, dosis obat, dan lama pengobatan serta kegagalan memengaruhi pasien untuk menyelesaikan program pengobatan. Ketidaktaatan pasien TB dalam minum obat secara teratur tetap menjadi hambatan untuk mencapai angka kesembuhan yang tinggi. Tingginya angka putus obat akan mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman te rhadap obat antituberkulosis (OAT ) yang membutuhkan biaya dan lama pengobatan yang lebih besar. B. Rumusan Masalah 1. Definisi Resisten Obat 2. Tujuan dan kebijakan MTPTRO 3. Pengorganisasian MTPTRO 4. Diahnosis TB resisten obat
1
5. Pengobatan TB Multi Drugs Resistent (MDR) 6. Evaluasi pengobatan TB MDR 7. Tatalaksana TB Resisten Obat pada anak C. Tujuan Penulisan 1. Mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan TB Resisten Obat, apa penyebabnya dan bagaimana penatalksanaannya. Terutama penatalaksanaan TB Resisten obat pada anak
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi Resistensi Obat Resistansi kuman M.tuberculosis terhadap OAT adalah keadaan di mana kuman tersebut sudah tidak dapat lagi dibunuh dengan OAT. TB resistan OAT pada dasarnya adalah suatu fenomena “buatan manusia”, sebagai akibat dari pengobatan pasien TB yang tidak adekuat maupun penularan dari pasien TB resistan OAT. Penatalaksanaan TB resistan obat OATlebih rumit dan memerlukan perhatian yang lebih banyak daripada penatalaksanaan TB yang tidak resistan. Penerapan Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat menggunakan kerangka kerja yang sama dengan strategi DOTS dengan beberapa penekanan pada setiap komponennya.
B. Tujuan dan Kebijakan MTPTRO 1. Tujuan Mencegah TB resistan obat agar tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat dengan memutuskan rantai penularan, serta mencegah terjadinya extensively drugs resistant TB (TB XDR). 2. Kebijakan a. Pengendalian TB Resistan Obat di Indonesia dilaksanakan sesuai tatalaksana Pengendalian TB yang berlaku saat ini dengan mengutamakan berfungsinya jejaring diantara fasilitas pelayanan kesehatan. Titik berat manajemen program meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana) b. Pengendalian TB Resistan Obat dilaksanakan dengan menggunakan kerangka kerja strategi DOTS dimana setiap komponen yang ada di dalamnya lebih ditekankan kepada penatalaksanaan kasus TB resistan obat dengan pendekatan programatik yang disebut Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obat (MTPTRO). c. Penguatan kebijakan untuk meningkatkan komitmen para pelaksana terhadap Pengendalian TB Resistan Obat d. Penguatan MTPTRO Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obatdan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
3
e. f.
g. h.
i.
j.
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya TB XDR. Tatalaksana Pengendalian TB Resistan Obat mengacu kepada strategi DOTS dan International Standard for TB Care (ISTC). Pengembangan wilayah disesuaikan dengan rencana pengembangan MTPTRO Manajemen Terpadu Pengendalian TB Resistan Obatyang ada dalam Stranas TB dan Rencana Aksi Nasional (RAN) PMDT, dilakukan secara bertahap sehingga seluruh wilayah Indonesia dapat mempunyai akses terhadap pelayanan TB resistan obat yang bermutu. Pelayanan pasien TB resistan obat meliputi fasyankes pusat rujukan, sub rujukan dan satelit, dengan titik berat pada fungsi jejaring rujukan. Pembiayaan untuk penanganan pasien TB resistan obat menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat, Provinsi, Kab/Kota, dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat melalui mekanisme yang ada Laboratorium TB merupakan unit yang terdepan dalam diagnosis dan evaluasi penatalaksanaan pasien TB resisten obat sehingga kemampuan dan mutu laboratorium harus sesuai standard internasional dan selalu dipertahankan kualitasnya untuk biakan dan uji kepekaan M. tuberculosis Pengobatan TB MDR dilaksanakan di fasyankes Rujukan TB MDR yang telah ditunjuk, dan dapat dilanjutkan di fasyankes Sub rujukan atau satelit, dengan mekanisme yang telah disepakati sebelumnya.
k. Pemerintah menyediakan OAT lini keduaTB resistan obat yang berkualitas dan logistik lainnya untuk pasien TB resistan obat. l. Mempersiapkan sumber daya manusia yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan dan mempertahankan kinerja program. m. Meningkatkan dukungan keluarga dan masyarakat bagi Pasien TB. n. Memberikan kontribusi terhadap komitmen global. C. Pengorganisasian MTPTRO 1. Tingkat Pusat Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
(MTPTRO)merupakan bagian dari upaya Pengendalian TB Nasional yang dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas TB); yang merupakan forum lintas sektor dibawah koordinasi
4
Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat sedangkan Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab kegiatan Pengendalian TB Nasional. Pelaksanaan MTPTRO di tingkat Nasional berada dibawah tanggung jawab langsung Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, serta Direktorat Jenderal lain yang terkait. Sebagai unit pelaksana harian dari kegiatan MTPTRO adalah Subdirektorat TB, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang bekerjasama dengan Subdirektorat - Subdirektorat terkait lainnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Subdirektorat TB mendapatkan bantuan teknis dari kelompok kerja (POKJA) MTPTRO yang merupakan organisasi fungsional yang bertugas memberikan input, melakukan analisis situasi dan membantu untuk merumuskan kebijakan berkaitan dengan aspek program dan klinis. Pokja MTPTRO beranggotakan perwakilan-perwakilan
dari
organisasi
profesi,
fasyankes,
Dinas
Kesehatan Provinsi, mitra program TB, ahli klinis dan ahli kesehatan lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Manajemen
Terpadu
Pengendalian
TB
Resistan
Obat
(MTPTRO)merupakan bagian dari upaya Pengendalian TB Nasional yang dilakukan melalui Gerakan Terpadu Nasional Pengendalian Tuberkulosis (Gerdunas TB); yang merupakan forum lintas sektor dibawah koordinasi Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat sedangkan Menteri Kesehatan sebagai penanggung jawab kegiatan Pengendalian TB Nasional. Pelaksanaan MTPTRO di tingkat Nasional berada dibawah tanggung jawab langsung Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan, serta Direktorat Jenderal lain yang terkait. Sebagai unit pelaksana harian dari kegiatan MTPTRO adalah Subdirektorat TB, Direktorat Pengendalian Penyakit Menular Langsung,
5
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan yang bekerjasama dengan Subdirektorat - Subdirektorat terkait lainnya. Dalam pelaksanaan tugasnya, Subdirektorat TB mendapatkan bantuan teknis dari kelompok kerja (POKJA) MTPTRO yang merupakan organisasi fungsional yang bertugas memberikan input, melakukan analisis situasi dan membantu untuk merumuskan kebijakan berkaitan dengan aspek program dan klinis. Pokja MTPTRO beranggotakan perwakilan-perwakilan
dari
organisasi
profesi,
fasyankes,
Dinas
Kesehatan Provinsi, mitra program TB, ahli klinis dan ahli kesehatan lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2. Tingkat Provinsi Di tingkat Provinsi dibentuk Gerdunas TB Provinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Pelaksanaan MTPTRO merupakan bagian dari pelaksanaan program TB ditingkat Provinsi dimana Dinas Kesehatan Provinsi berperan sebagai penanggung jawab. Untuk pelaksanaan kegiatan perlu dibentuk Tim MTPTRO Provinsi yang akan membantu Dinas Kesehatan baik untuk aspek program maupun klinis. Bila diperlukan tim ini bisa berkoordinasi dengan Pokja MTPTRO di tingkat Pusat. 3. Tingkat Kabupaten/Kota Ditingkat Kabupaten/Kota dibentuk Gerdunas TB Kabupaten/Kota yang terdiri dari tim pengarah dan tim teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan Kabupaten/Kota. Dinas
Kesehatan
Kabupaten/Kota
bertanggung
jawab
terhadap
pelaksaanan MTPTRO di wilayahnya. Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes)
6
a. Rujukan TB MDR Fasyankes
Rujukan
TB
MDR
merupakan
fasyankes
yang
melaksanakan MTPTRO mulai dari penjaringan suspek, penegakan diagnosis, pengobatan baik rawat inap maupun rawat jalan, evaluasi kemajuan pengobatan, penatalaksanaan efek samping, evaluasi keberhasilan pengobatan, manajemen logistik dan pencatatan serta pelaporannya. b. Sub RujukanTB MDR Sub Rujukan TB MDR merupakan fasyankes yang melaksanakan MTPTRO
yang
kegiatannya
mulai
dari
penjaringan
suspek,
penegakan diagnosis, pengobatan baik rawat inap maupun rawat jalan, evaluasi kemajuan pengobatan, penatalaksanaan efek samping, pengelolaan logistik dan pencatatannya. Dalam pelaksanaannya fasyankes ini memerlukan koordinasi dan pendampingan fasyankes Rujukan TB MDR, karena ada beberapa persyaratan yang belum bisa dipenuhi. Fasyankes Sub Rujukan dapat ditingkatkan statusnya menjadi fasyankes Rujukan bila telah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. c. Satelit TB MDR Fasyankes yang melaksanakan MTPTRO yang kegiatannya meliputi penjaringan suspek, inisiasi pengobatan (pada fasyankes satelit dengan kondisi tertentu dan telah dianggap mampu melakukan inisiasi pengobatan), melanjutkan pengobatan, pengelolaan logistik dan pencatatan. D. Diagnosis TB Resistensi Obat 1. Strategi Diagnosis TB Resistensi Obat Diagnosis TB Resistan obat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan uji kepekaanobat dengan metode standar yang tersedia di Indonesia. Uji kepekaan obat ini bertujuan untuk menentukan ada atau tidaknya resistensi M.tb terhadap OAT. Guna menjamin kualitas hasil pemeriksaan, uji kepekaan obat tersebut harus dilakukan di laboratorium rujukan yang telah tersertifikasi
7
atau lulus uji pemantapan mutu oleh laboratorium supranasional TB sehingga laboratorium rujukan ini mampu melakukan pemeriksaan biakan, identifikasi kuman dan uji kepekaan obat sesuai standar internasional. Pemeriksaan laboratorium untuk uji kepekaan M.tuberculosis dilakukan dengan metode standar yang tersedia di Indonesia yaitu metode konvensional dan metode tes cepat (rapid test). a. Metode konvensional 1) Menggunakan media padat (Lowenstein Jensen/LJ) atau media cair (MGIT). 2) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap OAT lini pertama dan OAT lini kedua b. Tes Cepat (Rapid Test). 1) MenggunakanXpert MTB/RIF atau lebih dikenal dengan GeneXpert. a) Merupakan tes amplifikasi asam nukleat secara otomatis sebagai sarana deteksi TB dan uji kepekaan untuk rifampisin.
b) Hasil pemeriksaan dapat diketahui dalam waktu kurang lebih 2 jam. c) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin 2) Menggunakan Line probe assay (LPA): a) Dikenal sebagai Hain test/Genotype MTB DR plus b) Hasil pemeriksaan dapat diperoleh dalam waktu kurang lebih 24 - 48 jam tergantung ketersediaan sarana dan sumber daya yang ada. c) Digunakan untuk uji kepekaan terhadap Rifampisin dan Isoniasid 2. Alur Diagnosis TB Resistensi Obat Diagnosis TB Resistan Obat dipastikan berdasarkan uji kepekaan M.tuberculosis baik menggunakan metode konvensional dengan menggunakan media padat atau media cair, maupun menggunakan metode tes cepat (rapid test) dengan GeneXpert atau dengan LPA. Dengan tersedianya alat diagnosis TB Resistan Obat dengan metode cepat menggunakan GeneXpert, maka alur diagnosis TB Resistan obat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
8
Terduga TB Resisten Obat
Tes Cepat dengan GeneXpert
Mtb Resistan Rifampisin
Mtb Sensitif Rifampisin
Mtb Negatif
Biakan dan identifikasi kuman Mtb Mtb Resisten Rifampisisn (TB,RR)
Mtb tumbuh
Mtb tidak tumbuh
Obati dengan OAT MDR Standar
Uji kepekaan OAT
TB MDR (Jika ada tambahan resistensi
Lini-1 dan Lini-2
terhadap INH), lanjutkan pengobatan OAT MDR standar Pre XDR (Jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin/Kanamisisn/Amikasin, sesuaikan paduan OAT MDR TB XDR (jika ada tambahan resistensi terhadap Ofloxsasin dan Kanamisin/Amikasin), ganti dengan paduan OAT XDR
Keterangan dan Tindak lanjut setelah penegakan diagnosis: a. Pasien terduga TB resistan obat akan mengumpulkan 3 spesimen dahak, 1 (satu) spesimen dahak untuk pemeriksaan GeneXpert (sewaktu pertama atau pagi) dan 2 spesimen dahak (sewaktu-pagi/pagi-sewaktu) untuk pemeriksaan sediaan apus sputum BTA, pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. b. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb negatif, lakukan investigasi terhadap kemungkinan lain. Bila pasien sedang dalam pengobatan TB, lanjutkan pengobatan TB sampai selesai. Pada pasien dengan hasil Mtb negatif, tetapi secara klinis terdapat kecurigaan kuat terhadap TB MDR (misalnya pasien gagal pengobatan kategori-2), ulangi pemeriksaan GeneXpert 1 (satu) kali dengan menggunakan spesimen dahak yang
9
memenuhi kualitas pemeriksaan. Jika terdapat perbedaan hasil, maka hasil pemeriksaan yang terakhir yang menjadi acuan tindakan selanjutnya. c. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Sensitif Rifampisin, mulai atau lanjutkan tatalaksana pengobatan TB kategori-1 atau kategori-2, sesuai dengan riwayat pengobatan sebelumnya. d. Pasien dengan hasil GeneXpert Mtb Resistan Rifampisin, mulai pengobatan standar TB MDR. Pasien akan dicatat sebagai pasien TB RR. Lanjutkan dengan pemeriksaan biakan dan identifikasi kuman Mtb. e. Jika
hasil
pemeriksaan
Mycobacterium
biakan
tuberculosis
(Mtb
teridentifikasi tumbuh),
kuman
lanjutkan
positif dengan
pemeriksaan uji kepekaan lini pertama dan lini kedua sekaligus. Jika laboratorium rujukan mempunyai fasilitas pemeriksaan uji kepekaan lini-1 dan lini-2, maka lakukan uji kepekaan lini-1 dan lini-2 sekaligus (bersamaan). Jika laboratorium rujukan hanya mempunyai kemampuan untuk melakukan uji kepekaan lini-1 saja, maka uji kepekaan dilakukan secara bertahap. Uji kepekaan tidak bertujuan untuk mengkonfirmasi hasil pemeriksaan GeneXpert, tetapi untuk mengetahui pola resistensi kuman TB lainnya. f. Jika terdapat perbedaan hasil antara pemeriksaan GeneXpert dengan hasil pemeriksaan uji kepekaan, maka hasil pemeriksaan dengan GeneXpert menjadi dasar penegakan diagnosis. g. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan TB MDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya tambahan resistan terhadap INH), catat sebagai pasien TB MDR, dan lanjutkan pengobatan TB MDR-nya. h. Pasien dengan hasil uji kepekaan menunjukkan hasil XDR (hasil uji kepekaan menunjukkan adanya resistan terhadap ofloksasin dan Kanamisin/Amikasin), sesuaikan paduan pengobatan pasien (ganti paduan pengobatan TB MDR standar menjadi paduan pengobatan TB XDR), dan catat sebagai pasien TB XDR .
10
E.
Pengobatan TB Multi Drugs Resistant (MDR) 1. Jenis OAT untuk pengobatan TB MDR. Pengobatan pasien TB MDR dan TB RR menggunakan paduan OAT MDR yang terdiri dari OAT lini kedua dan lini pertama, yang dibagi dalam 5 kelompok berdasar potensi dan efikasinya, yaitu:
Golongan
Jenis
Obat
Golongan-1
Obat Lini Pertama
Golongan-2
Obat suntik lini kedua
Golongan-3
Golongan Florokuinolon
Golongan-4
Obat bakteriostatik lini kedua
Golongan-5
Obat yang belum terbukti efikasi-nya dan belum direkomendasikan oleh WHO untuk pengobatan standarTB RR/TB MDR
Isoniazid (H) Rifampisin (R) Pirazinamid (Z) Pirazinamid (Z) Streptomisin (S) Kanamisin (Km) Amikasin (Am) Kapreomisin(Cm) Levofloksasin (Lfx) Moksifloksasin(Mfx) Ofloksasin (Ofx) Etionamid (Eto) Protionamid (Pto) Sikloserin (Cs) Terizidon (Trd) Para amino salisilat (PAS) Clofazimin (Cfz) Linezolid (Lzd) Amoksilin/ Asam Klavulanat(Amx/Clv ) Klaritromisin (Clr) Imipenem (Ipm).
2. Panduan pengobatan TB MDR di Indonesia Pilihan
panduan
OAT
MDR
saat
ini
adalah
panduan
standar(standardized treatment), yang pada permulaan pengobatan akan diberikan sama kepada semua pasien TB MDR.
a. Panduan standard OAT MDR yang diberikan: Km – Eto – Lfx – Cs – Z-(E)/Eto – Lfx – Cs – Z-(E)
11
b. Paduan OAT MDRstandar diberikan pada pasien yang sudah terkonfirmasi TB RR/MDRsecara laboratoris. c. Bila ada riwayat penggunaan paduan OAT yang dicurigai telah ada resistensi, misalnya pasien sudah pernah mendapat fluorokuinolon pada pengobatan TB sebelumnya maka diberikan levofloksasin dosis tinggi. d. Paduan OAT MDR standar akan disesuaikan paduan atau dosisnya jika: 1) Terdapat tambahan resistensi terhadap OAT lainnya berdasarkan hasil uji kepekaan. Contoh: a) Etambutol tidak diberikan jika terbukti sudah resistan b) Apabila pasien terbukti resistan terhadap Kanamisin maka Kanamisin diganti dengan Kapreomisin 2) Terjadi efek samping berat dan obat penyebab sudah diketahui, maka obat bisa diganti bila tersedia obat pengganti, contoh: a) Apabila pasien mengalami efek samping gangguan kejiwaan karena sikloserin maka sikloserin dapat diganti dengan PAS. b) Apabila pasien mengalami gangguan pendengaran karena kanamisin, maka kanamisin dapat diganti dengan kapreomisin 3) Dosis atau frekuensi disesuaikan bila: a) terjadi perubahan kelompok berat badan b) terjadi efek samping berat dan obat pengganti tidak tersedia e. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap kanamisin, maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm – Lfx – Eto – Cs – Z – (E) / Lfx – Eto – Cs – Z – (E)
f. Jika sejak awal terbukti resistan terhadap fluorokuinolon maka paduan standar adalah sebagai berikut: Km – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/Mfx – Eto – Cs – PAS – Z-(E)
g. Jika
sejak
awal
terbukti
resistan
terhadap
kanamisin
dan
fluorokuinolon (TB XDR) maka paduan standar adalah sebagai berikut: Cm – Mfx – Eto – Cs – PAS – Z – (E)/Mfx – Eto – Cs – PAS – Z-(E)
h. Status HIV pasien TBMDRtidak mempengaruhi paduan pengobatan TB MDR.
12
i.
Penetapan
paduan
pengobatan
pasien
TB
MDRmerupakan
kewenangan TAK.
3. Dosis OAT MDR Dosis OAT MDR ditetapkan oleh TAK dan diberikan berdasarkan kelompok berat badan pasien.
OAT
Pirazinamid Kanamisin Etambutol Kapreomisin
Levofloksasin (dosis standar) Levofloksasin (dosis tinggi) Moksifloksasin Sikloserin Etionamid PAS
< 33 kg 20-30 mg/kg/hari 15-20 mg/kg/hari 20-30 mg/kg/hari 1520mg/kg/ha ri 7,5-10 mg/kg/hari 1000 mg
7,5-10 mg/kg/hari 15-20 mg/kg/hari 15-20 mg/kg/hari 150 mg/kg/hari
Berat Badan (BB) 33-50 kg 51-70 kg 750-1500 mg 1500-1750 mg
>70 kg 1750-2000 mg
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
800-1200 mg
1200-1600 mg
1600-2000 mg
500-750 mg
1000 mg
1000 mg
750 mg
750 mg
750-1000mg
1000 mg
1000 mg
1000 mg
400 mg
400 mg
400 mg
500 mg
750 mg
750-1000mg
500 mg
750 mg
750-1000mg
8g
8g
8
4. Lama dan cara pemberian pengobatan TB MDR a. Lama pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan paling sedikit 18 bulan setelah terjadi konversi biakan b. Pengobatan dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap awal dan tahap lanjutan.Tahap awal adalah tahap pengobatan dengan menggunakan obat suntikan (kanamisin atau kapreomisin) yang diberikan sekurangkurangnya selama 6 bulan atau 4 bulan setelah terjadi konversi biakan. Tahap lanjutan adalah tahap pengobatan setelah selesai pengobatan tahap awal dan pemberian suntikan dihentikan.
13
g
c. Satuan bulan yang dimaksud adalah bulan sesuai dosis bukan bulan kalender. Satu bulan pengobatan adalah bila pasien mendapatkan 28 dosis pengobatan (1 bulan = 4 minggu = 28 hari). d. Pemberian obat oral selama periode pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly Observed Treatment dengan PMO diutamakan adalah tenaga kesehatan atau kader kesehatan terlatih. e. Obat suntikan harus diberikan oleh petugas kesehatan. f. Cara pemberian obat: 1) Tahap awal: suntikan diberikan 5 hari seminggu (Senin-Jumat), obat per-oral ditelan 7 hari seminggu (setiap hari, Senin-Minggu) didepan PMO. Jumlah obat oral yang diberikan dan ditelan minimal 168 dosis dan suntikan minimal 120 dosis. 2) Tahap lanjutan:Obat per oral ditelan selama 6 (enam) hari dalam seminggu (Senin-Sabtu, hari Minggu pasien tidak minum obat) didepan PMO. Obat suntikan sudah tidak diberikan pada tahap ini. g. Cara menentukan lama pengobatan. 1) Tahap awal, lama pengobatannya adalah:“a + 4 bulan”, a = bulan pertama tercapai konversi biakan.Lama tahap awal minimal 6 bulan. Bila hasil biakan bulan ke-8 pasien tidak konversi maka pengobatan dinyatakan gagal. 2) Tahap lanjutan, lama pengobatan tahap lanjutan adalah total lama pengobatan dikurangi dengan lama pengobatan tahap awal, dimana total lama pengobatan adalah: ”a + 18 bulan”,a = bulan pertama tercapai konversi biakan. h. Pada pengobatan TB MDR dimungkinkan terjadinya pemberian obat dengan dosis naik bertahap (ramping dose/incremental dose) yang bertujuan untuk meminimalisasi kejadian efek samping obat. Tanggal pertama pengobatan adalah hari pertama pasien bisa mendapatkan obat dengan dosis penuh. Lama pemberian ramping dose tidak lebih dari 1 (satu) minggu. i.
Piridoksin (vit. B6) ditambahkan pada pasien yang mendapat sikloserin dengan dosis 50 mg untuk setiap 250 mg sikloserin.
j.
Berdasar
sifat
farmakokinetiknya
pirazinamid,
etambutol
dan
fluoroquinolon diberikan sebagai dosis tunggal. Sedangkan etionamid, sikloserin dan PAS (obat golongan 4) dapat diberikan sebagai dosis terbagi untuk mengurangi efek samping jika terjadi efek samping yang berat atau pada kasus TB MDR/HIV.
14
k. Indikasi
perpanjangan
pengobatan
sampai
dengan
24
bulan
berdasarkan terdapatnya kasus kronik dengan kerusakan paru yang luas.
5. Pengobatan ajuvan pada TB MDR Pengobatan ajuvan bisa diberikan jika diperlukan: a. Nutrisi tambahan: 1) Pengobatan TB MDR pada pasien dengan status gizi kurang, keberhasilan pengobatannya cenderung meningkat jika diberikan nutrisi tambahan berupa protein, vitamin dan mineral (vit A, Zn, Fe, Ca, dll). 2) Pemberian mineral tidak boleh bersamaan dengan fluorokuinolon karena akan mengganggu absorbsi obat, pemberian masing – masing obat dengan jarak paling sedikit 2 jam sebelum atau sesudah pemberian fluorokuinolon. b. Kortikosteroid. Kortikosteroid diberikan pada pasien TB MDR dengan gangguan respirasi berat, gangguan susunan saraf pusat atau perikarditis. Kortikosteroid juga digunakan pada pasien dengan penyakit obstruksi kronik eksaserbasi. F.
Evaluasi Pengobatan TB MDR 1. Sembuh. a. Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR tanpa bukti terdapat kegagalan, dan b. Hasil biakan selama tahap lanjutan menunjukkan hasil negatif minimal 3 kali berturut-turut dengan jarak pemeriksaan antar biakan minimal 30 hari
2. Pengobatan lengkap.
15
Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan sesuai pedoman pengobatan TB MDR tetapi tidak memenuhi definisi sembuh maupun gagal. 3. Meninggal. Pasien meninggal karena sebab apapun selama masa pengobatan TB MDR. 4. Gagal. Pengobatan TB MDR dihentikan atau membutuhkan perubahan paduan pengobatan TB MDR secara permanen terhadap 2 (dua) atau lebih OAT MDR, yang disebabkan oleh salah satu dari beberapa kondisi di bawah ini yaitu: a. Tidak terjadi konversi sampai dengan dengan akhir bulan ke-8 pengobatantahap awal b. Terjadi reversi pada tahaplanjutan, yaitu biakan dahak kembali menjadi positif pada 2 (dua) kali pemeriksaan berturut-turut setelah sebelumnya tercapai konversi biakan c. Terbukti terjadi resistansi tambahan terhadap obat TB MDR golongan fluorokuinolon atau obat injeksi lini kedua d. Terjadi efek samping obat yang berat yang mengharuskan pengobatan dihentikan secara permanen. 5. Lost to follow-up. Pasien terputus pengobatannya selama dua bulan berturut-turut atau lebih. 6. Tidak dievaluasi. Pasien yang tidak atau belummempunyaihasil akhir pengobatanpada saat pelaporan karena pengobatan masih berlangsung atau pasien tidak diketahui hasil akhir pengobatannya karena pindah ke fasyankes di daerah lain.
G. Tatalaksana TB Resistensi Obat pada anak
16
Rekomendasi panduan pengobatan MDR-TB pada anak yaitu: 1. Pemberian tiga macam obat yang cukup efektif
dengan
mempertimbangkan rendahnya jumlah kuman dan risiko resistensi obat. 2. Menggunakan pola uji sensitivitas obat pada pasien dewasa bila pola uji sensitivitas obat pada anak tidak tersedia. Pengobatan yang mengacu pada indeks uji sensitivitas dewasa dapat sama efektifnya pada anak. 3. Obat injeksi dan fluorokuinolon tetap dipertimbangkan sebagai obat inti pengobatan MDR-TB anak. 4. Tambahkan satu atau dua obat dalam kelompok 4, yaitu Eto dan Cs, dengan tetap memperhatikan obat yang berbeda dan resistensi si lang. 5. Pengobatan diberikan 6 hari setiap minnggu selama 12-18 bulan. Lama pengobatan pada anak sampai saat ini masih belum disepakati. Lama pengobatan pada MDR-TB anak dengan kavitas ataupun ekstraparu berat dapat mengacu kepada lama pengobatan pasien dewasa. Grup Jenis
Obat & Dosis
A
Levofloksasin
Golongan
Keterangan (Lfx): Anak < 5 tahun 2x
fluorokuinolon 7,5-10 mg/kg
sehari, anak > 5 tahun 1x
sehari.
Tidak
direkomendasikan pada nak dengan berat badan < 14 kg Moksifloksasin
(Mfx):
7,5-10 mg/kg Gatifloksasin (Gfx) B
Obat
Injeksi Amikasin (Am): 15-30
Lini Kedua
Maks 1000 mg
mg/kg Kanamisin (Km): 15-30
Maks 1000 mg
mg/kg
17
Kapreomisin (Cm) : 15- Maks 1000 mg 30 mg/kg
Streptomisin C
Obat
Etionamide (Eto): 15-20
Bakteriostatik
mg/kg
Lini Kedua
Protionamid (Pto): 1520 mg/kg Sikloserin (Cs): 10-20
Sikloserin
dapat
mg/kg
dilarutkan
dengan
aqua 10 ml Terizidon (Trd): 10-20 mg/kg Clofamizin
(Cfz):
1 Maks 200 mg
mg/kg Linezolid
(Lzd):
10
mg/kg/dose D1
Obat Pertama
Lini Isoniazid
Maks
600
mg
ditambah Vit.B6 (H)
dosis
tinggi: 15-20 mg/kg Ethambutol (E): 15-25 mg/kg Pirazinamid (Z): 30-40 mg/kg
D2
OAT Baru Bedaquiline (Bdq Delamanid (Dlm)
18
D3
OAT
Asam
Tambahan
aminosalisilat
para (PAS):
200-300 mg/kg
Imipenem-silastatin (lpm) Meropenem (Mpm): 20-
Maks 6000 mg
40 mg/kg IV tiap 8 jam Amoksilin
clavulanat Maks 4000 mg Amx
(Amx-Clv): 80 mg/kg
dan 500 mg Clv
2x/hari Thioasetazon (T)
19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang masih menjadi masalah kesehatan hingga saat ini. Penyakit TB menjadi resiten bisa saja terjadi karena ketidaktaatan penderita dalam mengonsumsi obat. Tingginya angka putus obat akan mengakibatkan tingginya kasus resistensi kuman terhadap obat antituberkulosis (OAT ) yang membutuhkan biaya dan lama pengobatan yang lebih besar. Pencegahan MDR-TB dilakukan melalui strategi directly observed treatment short-course (DOTS) yang direkomendasikan secara internasional serta terbukti efisien dan cost-effective, meskipun pada beberapa keadaan gagal menyembuhkan. Organisme resisten dapat timbul akibat beberapa faktor; kesalahan manusia memberi kontribusi terbesar. Resistensi obat dapat terjadi akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat pada pasien TB yang masih sensitif obat, seperti ketidaktepatan regimen, dosis obat, dan lama pengobatan serta kegagalan memengaruhi pasien untuk menyelesaikan program pengobatan
20
DAFTAR PUSTAKA
“Buku-Petunjuk-Teknis-Manajemen-dan-Tatalaksana-TBAnak”.(http://www.tbindonesia.or.id/tbidcnt/uploads/2017/02/Buku-PetunjukTeknis-Manajemen-dan-Tatalaksana-TB-Anak.pdf , diakses tanggal 9 Maret 2018) “Petunjuk Teknik Manajemen Terpadu Pengendalian Tuberkulosis Resisten Obat”. (http://www.tbindonesia.or.id/opendir/Buku/pmdt_2014.pdf , diakses tanggal 7 Maret 2018)
21