BAB I PENDAHULUAN
Apendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah kesehatan. Peradangan akut apendiks memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya. Insidens apendisitis akut di Negara maju lebih tinggi daripada di Negara berkembang. Namun dalam tiga-empat dasawarsa terakhir kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini diduga disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari. Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidens tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens lelaki lebih tinggi. Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuan ya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut . Salah satu pilihan dalam manajemen appendicitis akut adalah dengan pemberian antibiotik. Namun antibiotik biasanya diberikan pada appendicitis yang ringan sampai dengan derajat sedang tanpa adanya komplikasi seperti perforasi. Biasanya tubuh pasien memberikan respon setelah diberikan antibiotik untuk mengatasi inflamasi yang terjadi. Namun masih belum bisa diketahui bagaimana reaksi tubuh selanjutnya setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun kemudian bila hanya diberikan pengobatan dengan antibiotik saja. Pemberian antibiotika pada kasus kasus bedah bertujuan untuk menurunkan morbiditas
dan mortalitas infeksi bedah. Infeksi bedah didefinisikan sebagai infeksi yang terjadi setelah tindakan pembedahan atau kasus-kasus infeksi yang penyembuhannya memerlukan tindakan pembedahan disamping anti biotika. Infeksi bedah dibedakan dengan infeksi medikal, oleh karena pada infeksi bedah terdapat masalah mekanik atau anstomis yang harus diatasi dengan tindakan invasif atau tindakan pembedahan. Saat ini masih didapatkan beberapa kontroversi dalam hal pemberian anti biotika profilaksis, baik dalam hal diberi atau tidak, cara pemberian maupun jenis antibiotika yang dipergunakan. Untuk beberapa macam prosedur pembedahan yang mempunyai resiko infeksi yang rendah pemberian antibiotika profilaksis adalah tidak pada tempatnya. Penelitian kontrol-trial yang membandingkan pemberian antibiotika dan plasebo, secara konsisiten menunjukkan, bahwa pemberian antibiotika yang efektif terhadap kuman anaerob, baik terhadap pemberian tersendiri maupun pemberian kombinasi terbukti terbukti efektif dalam menurunkan infeksi luka pasca operasi. Sedangkan pemberian antibiotika yang terutama aktif terhadap kuman aerob tidak konsisten efektif. Dikatakan hal ini adalah merupakan penemuan yang aneh, sebab kebanyakan kuman yang berhasil diisolasi dari luka adalah escherichia coli. Meskipun eschericia coli adalah kuman aerob, pemberian anti anaerob tampaknya sangat esensial. Antibiotika mungkin mempunyai peranan yang kecil kecuali appendik dalam keadaan gangren atau perforasi. Penelitian ini menggunakan cefoxitim 2 gr perioperatif dan ditambah 1 gr lagi 6 jam berikiutnya untuk appendisitis yang tidak perforasi. Apabila penderita alergi terhadap safalospirin atau penicilin, digunakan bagi yang tidak perforasi metronidazole 500 mg preoperatif dan gentamisin 1,5 mg /kg iv. Menurut Alexander et al (1991), telah dapat dibuktikan dengan jelas bahwa pemberian anti biotik yang maksimal akan tercapai bila pemberiannya akan dilakukan preoperatif.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. ANATOMI
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10 cm (kisaran 3-15 cm), dan berpangkal di sekum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya insiden apendisitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks
bergerak
dan
ruang
geraknya
bergantung
pada
panjangnya
mesoapendiks
penggantungnya. Pangkal appendix dapat ditentukan dengan cara pengukuran garis Monroe-Pichter. Garis diukur dari SIAS dextra ke umbilicus, lalu garis dibagi 3. Pangkal appendix terletak 1/3 lateral dari garis tersebut dan dinamakan titik Mc Burney. Ujung appendix juga dapat ditentukan dengan pengukuran garis Lanz. Garis diukur dari SIAS dextra ke SIAS sinistra, lalu garis dibagi 6. Ujung appendix terletak pada 1/6 lateral dexter garis tersebut. Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang sekum, di belakang kolon asendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis apendisitis ditentukan oleh letak apendiks. Persyarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterika superior dan a. apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada apendisitis bermula di sekitar umbilicus. Perdarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, apendiks akan mengalami gangren. B. FISIOLOGI
Apendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya menalir ke sekum. Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT ( gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Immunoglobulin ini
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi system imun tubuh karena jumlah jaringan limfa di sini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. C. ETIOLOGI
Apendisitis akut merupakan infeksi bacteria. Berbagai hal berperan sebagai factor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan factor yang diajukan sebagai factor pencetus disamping hyperplasia jaringan limfe, fekalit (tinja yang mengeras), tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.hystolitica. Flora bakteri pada apendiks sama dengan di kolon, dengan ditemukannya beragam bakteri aerobik dan anaerobik sehingga bakteri yang terlibat dalam apendisitis sama dengan penyakit kolon lainnya Penemuan kultur dari cairan peritoneal biasanya negatif pada tahap apendisitis sederhana. Pada tahap apendisitis supurativa, bakteri aerobik terutama Escherichia coli banyak ditemukan, ketika gejala memberat banyak organisme, termasuk Proteus, Klebsiella, Streptococcus dan Pseudomonas dapat ditemukan. Bakteri aerobik yang paling banyak dijumpai adalah E. coli. Sebagian besar penderita apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforasi banyak ditemukan bakteri anaerobik terutama Bacteroides fragilis . Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut. D. PATOLOGI
Patologi apendisitis dapat mulai di mukosa dan kemudian melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24-48 jam pertama. Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus atau adneksa sehingga terbentuk massa periapendikuler yang secara salah dikenal dengan istilah infiltrat apendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan sembuh dan massa periapendikuler akan menjadi tenang dan selanjutnya akan mengurai diri secara lambat.
Setelah terjadi obstruksi lumen appendix maka tekanan di dalam lumen akan meningkat karena sel mukosa mengeluarkan lendir. Peningkatan tekanan ini akan menekan pembuluh darah sehingga perfusinya menurun akhirnya mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Invasi bakteri dan infeksi dinding appendix segera terjadi setelah dinding tersebut mengalami ulserasi. Infiltratinfiltrat peradangan tampak di semua lapisan dan exudat fibrin tertimbun di dalam lapisan serosa. Meskipun perforasi belum terjadi, organisme-organisme biasanya dapt dibiakan dari mukosa appendix. Nekrosis dinding appendix mengakibatkan perforasi dan pencemaran abdomen oleh tinja. Apendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. E. GAMBARAN KLINIS
Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum local. Gejala klasik apendisitis ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral di daerah epigastrium di sekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan bawah ke titik Mc-Burney. Di sini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan nyeri somatic setempat. Kadang tidak ada nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsngan peritoneum, biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk. Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, karena letaknya terlindung oleh sekum, tanda nyeri perut kanan bawah tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah perut sisi kanan atau nyeri timbul saat berjalan karena kontraksi m.psoas mayor yang menegang dari dorsal. Apendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rectum sehingga peristalsis meningkat, pengososngan rectum akan menjadi lebih cepat dan berulang-ulang. Jika apendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kencing karena rangsangan dindingnya.
Gejala apendisitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa nyerinya. Dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan anak menjadi lemah dan letargik. Karena gejala yang tidak khas tadi, sering apendisitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90% apendisitis baru diketahui setelah terjadi perforasi. Pada beberapa keadaan, apendisitis agak sulit didiagnosis sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Misalnya, pada orang usia lanjut yang gejalanya samar-samar saja sehingga lebih dari separuh penderita baru dapat didiagnosa setelah perforasi. Pada kehamilan, keluhan utama apendisitis adalah nyeri perut, mual dan muntah. Yang perlu diperhatikan adalah pada kehamilan trimester pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut, sekum dan apendiks akan terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi ke regio lumbal kanan. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi. Berikut ini adalah hubungan patofisiologi dan manifestasi klinis apendisitis: Tabel 1. Hubungan patofisiologi dan manifestasi klinia apendisitis
Kelainan Patologi
Keluhan dan Tanda
Peradangan awal
Kurang enak pada ulu hati/di daerah pusat, mungkin kolik
Apendisitis mukosa
Nyeri tekan kanan bawah (rangsangan autonomic)
Radang di seluruh ketebalan Nyeri sentral pindah ke kanan bawah, mual dan dinding
muntah
Apendisitis komplit radang Rangsangan peritoneum local (somatic), nyeri pada peritoneum
parietale gerak aktif dan pasif, defans muskuler local
apendiks Radang
alat/jaringan
yang Genitalia interna, ureter, m.psoas mayor, kandung
menempel pada apendiks
kemih, rectum
Apendisitis gangrenosa
Demam sedang, takikardi, mulai toksik, leukositosis
Perforasi
Nyeri dan defans muskuler seluruh perut
Pembungkusan - tidak berhasil
s.d.a + demam tinggi, dehidrasi, syok, toksik
- berhasil
massa perut kanan bawah, keadaan umum berangsur membaik
- abses
demam remiten, keadaan umum toksik, keluhan dan tanda setempat
F. DIAGNOSIS
Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti, diagnosis klinis apendisitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15-20% kasus. Kesalahan diagnosis lebih sering pada perempuan disbanding lelaki. Hal ini dapat disadari mengingat pada perempuan terutama yang masih muda sering timbul gangguan yang mirip apendisitis akut. Keluhan itu berasal dari genitalia interna karena ovulasi, menstruasi, radang di pelvis atau p enyakit ginekologi yang lain. Untuk menurunkan angka kesalahan diagnosis apendisitis akut, bila diagnosis meragukan, sebaiknya dilakukan observasi penderita di rumah sakit dengan pengamatan setiap 12 jam. Pada anamnesis didapatkan demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5-38,5 C.
Bila suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Bisa terdapat perbedaan suhu rectal dan aksila sampai 1 C.
Pada pemeriksaan fisik biasanya ditemukan : a. Inspeksi Pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling , sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut b. Palpasi Pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing ( Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan bawah.Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg Sign).
c. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci diagnosis pada apendisitis pelvika. d. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak dengan m.obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis pelvika. Pemeriksaan penunjang yang biasanya dilakukan adalah : a. Laboratorium
Terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif (CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat. b. Radiologi Terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari apendiks yang mengalami inflamasi serta adan ya pelebaran sekum.
G. DIAGNOSIS BANDING
Pada keadaan tertentu beberapa penyakit perlu dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. 1. Gastroenteritis Pada gastroenteritis, mual, muntah, dan diare mendahului rasa sakit. Sakit perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltis sering ditemukan. Panas dan lekositosis kurang menonjol dibandingkan apendisitis akut. 2. Demam dengue Demam dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia dan hematokrit yang meningkat. 3. Limfadenitis mesenterika Limfadenitis mesenterika yang biasa didahului oleh enteris atau gastroenteritis ditandai dengan nyeri perut, terutama kanan disertai dengan perasaan mual, nyeri tekan perut samar, terutama kanan. 4. Kelainan ovulasi Folikel ovarium yang pecah (ovulasi) mungkin memberikan nyeri perut kanan bawah pada pertengahan siklus menstruasi. Pada anamnesis, nyeri yang sama pernah timbul lebih dahulu. Tidak ada tanda radang, dan nyeri biasa hilang dalam waktu 24 jam, tetapi mungkin dapat mengganggu selama dua hari. 5. Infeksi panggul Salpingitis akut kanan sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Suhu biasanya lebih tinggi daripada apendisitis dan nyeri perut bagian bawah perut lebih difus. Infeksi panggul pada wanita biasanya disertai keputihan dan infeksi urin. Pada colok vagina, akan timbul nyeri hebat di panggul jika uterus diayunkan. Pada gadis dapat dilakukan colok dubur jika perlu untuk diagnosis banding. 6. Kehamilan di luar kandungan Hampir selalu ada riwayat terlambat haid dengan keluhan yang tidak menentu. Jika ada ruptur tuba atau abortus kehamilan di luar rahim dengan perdarahan, akan timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan
vaginal didapatkan nyeri dan penonjolan cavum Douglas dan pada kuldosintesis didapatkan darah.
7. Kista ovarium terpuntir Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal atau colok dubur. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat menentukan diagnosis. 8. Endometriosis eksterna Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri di tempat endometriosis berada dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena tidak ada jalan keluar. 9. Urolitiasis pielum/ureter kanan Batu ureter atau batu ginjal kanan. Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan merupakan gambaran yang khas. Eritrosituria sering ditemukan. Foto polos perut atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut. Pielonefritis sering disertai dengan demam tinggi, menggigil, nyeri kostovertebral di sebelah kanan, dan piuria. 10. Penyakit saluran cerna lainnya Penyakit lain yang perlu dipikirkan adalah peradangan di perut, seperti divertikulum Meckel, perforasi tukak duodenum atau lambung, kolesistitis akut, pankreatitis, divertikulitis kolon, obstruksi usus awal, perforasi kolon, demam tifoid abdominalis, karsinoid dan mukokel apendiks. H. KOMPLIKASI
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah : 1. Massa periapendikuler Massa apendiks terjadi bila appendicitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan/atau lekuk usus halus. Pada massa periappendikuler yang pendidingannya belum sempurna, dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa peripendikuler yang masih bebas disarankan untuk segera operasi untuk mencegah penyulit tersebut. Selain itu operasi masih mudah. Pada anak selamanya dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa dengan massa periapendikuler yang terpancang dengan pendidingan yang
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dulu dan diberi antibiotik sambil diawasi suhu tubuh, uku ran massa serta luasnya peritonitis. Bila sudah tidak ada lagi demam, massa periapendikuler hilang, dan leukosit normal, penderita boleh pulang dan appendiktomi elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri dan teraba pembengkakan massa serta bertambahnya angka leukosit. Riwayat klasik appendicitis akut, yang diikuti dengan adanya massa yang nyeri di regio iliaka kanan dan disertai demam, mengarahkan diagnosis ke massa atau abses periapendikuler. Kadang keadaan ini sulit dibedakan dari karsinoma sekum, penyakit Chron, dan amuboma. Perlu juga disingkirkan kemungkinan aktinomikosis intestinal, enteritis tuberkulosa, dan kelainan ginekologik sebelum memastikan diagnosa massa appendiks. Kunci diagnosis biasanya terletak pada anamnesis yang khas. 2. Perforasi Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendiks akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri semakin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltic usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik. 3. Peritonitis Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaasn peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oliguria dan mungkin syok. Gejalanya adalah demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, abdomen tegang, kaku, nyeri tekan dan bunyi usus menghilang. I. TATA LAKSANA
Bila diagnosis klinis sudah jelas, tindakan paling tepat dan merupakan satu-satunya pilihan terbaik adalah apendektomi. Pada apendisitis tanpa komplikasi biasanya tidak diberikan
antibiotik, kecuali pada apendisitis gangrenosa atau apendisitis perforata. Penundaan tindak bedah sambil memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses dan perforasi. Apendektomi bisa dilakukan dengan cara terbuka atau dengan cara laparoskopi. Bila apendektomi terbuka, insisi mcBurney paling banyak dipilih oleh ahli bedah. Pada penderita yang diagnosisnya tidak jelas sebaiknya dilakukan observasi dulu. Pemeriksaan laboratorium dan ultrasonografi bisa dilakukan bila dalam observasi masih terdapat keraguan. Bila tersedia laparoskop, tindakan laparoskopi diagnostik pada kasus meragukan dapat segera menentukan akan dilakukan operasi atau tidak. Apabila apendisitis baru diketahui setelah terbentuk massa periapendikuler, maka tindakan yang pertama kali harus dilakukan adalah pemberian terapi antibiotik kombinasi terhadap penderita. Antibiotik ini merupakan antibiotik yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Setelah gejala membaik, yaitu sekitar 6-8 minggu, barulah apendektomi dapat dilakukan. Jika gejala berlanjut yang ditandai dengan terbentuknya abses, maka dianjurkan melakukan drainase dan sekitar 6-8 minggu kemudian dilakukan apendektomi. Namun, apabila ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun dan pemeriksaan klinis serta pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya radang atau abses setelah dilakukan terapi antibiotik, maka dapat dipertimbangkan untuk membatalkan tindakan bedah. Setelah tindakan bedah dilakukan, harus diberikan antibiotika selama 7 hari untuk mencegah terjadinya sepsis pascaoperasi. Pada apendektomi yang melibatkan pembukaan usus bagian bawah, diperlukan pemberian antibiotika profilaksis pre-operasi untuk mencegah infeksi luka operasi yang merupakan komplikasi utama dari apendektomi. Kemudiaan, bila saat operasi ditemukan perforasi maka pemberian antibiotik akan diperpanjang sebagai terapi. Mengingat eratnya kaitan penggunaan antibiotika dengan bedah apendiks maka dilakukan penelitian tentang penggunaan antibiotika. Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan DMK (Dokumen Medik Kesehatan) pasien bedah apendiks bagian IRNA Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya sebagai bahan penelitian. Populasi penelitian adalah DMK seluruh pasien dengan diagnosa apendisitis dan dilakukan apendektomi di RSU Dr. Soetomo Surabaya. Sampel penelitian adalah DMK seluruh pasien dengan diagnosa apendisitis di RSU Dr. Soetomo Surabaya yang memenuhi kriteria inklusi dalam jangka waktu satu tahun yaitu mulai tanggal MRS antara 1 Januari 2006 hingga 31
Desember 2006, diikuti sampai tanggal KRS dengan menggunakan metode time limited. Pada penelitian ini, sampel yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 101 DMK. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa jumlah pasien bedah apendiks yang terbanyak adalah pada rentang usia 17-64 tahun, yaitu sebesar 82,18% dengan kejadian yang paling banyak terjadi adalah apendisitis akut tanpa penyulit (simple appendicitis) (54,46% ). Rasio insiden apendisitis pada penelitian ini hampir sama antara laki-laki dan perempuan yaitu 1,1:1. Jenis pembedahan yang dilakukan pada pasien bedah apendiks adalah 98,02% apendektomi terbuka, dengan 3,96% disertai operasi tambahan omentektomi dan 0,99% histerektomi, dan 1,98% apendektomi laparoskopik. Jenis antibiotika profilaksis yang digunakan dalam bedah apendiks adalah golongan sefalosporin yaitu seftriakson (20,79%), sefazolin (16,83%), sefuroksim (10,89%), dan sefotaksim (9,9%). Selain itu, juga digunakan antibiotika profilaksis kombinasi yaitu sefazolin / metronidazol (0,99%), sefuroksim / metronidazol (0,99%) dan seftriakson / metronidazol (0,99%). Antibiotika terapi yang paling banyak digunakan adalah seftriakson / metronidazol (12,73%), sefotaksim / metronidazol (9,09%) dan amoksisilin / asam klavulanat (3,64%). Penggunaan antibiotika pada penelitian ini telah sesuai dengan guideline (ASHP) dan pedoman penggunaan antibiotika profilaksis di bidang bedah (Bagian/SMF Ilmu bedah RSU Dr. Soetomo) dimana direkomendasikan penggunaan sefalosporin pada pasien apendisitis. Dalam penelitian ini didapatkan penggunaan obat tanpa indikasi, yaitu penggunaan antibiotika per-oral pada 48,37% pasien apendisitis tanpa penyulit. Selain itu juga didapatkan penggantian antibiotika yang kurang tepat pada 10,89% pasien dimana antibiotika yang diberikan berbeda setiap harinya. Keberhasilan terapi antibiotika pada penelitian ini terlihat dari data luka operasi pasien yang menunjukkan tidak adanya tanda-tanda infeksi dan data klinik pasien yang menunjukkan perbaikan kondisi pasien.
Berdasarkan hasil penelitian, hal-hal yang perlu menjadi masukan
adalah hendaknya ditinjau kembali mengenai penggunaan antibiotika per-oral pada pasien apendisitis tanpa penyulit, dan penggantian antibiotika pada pasien yang kurang tepat. Karena kurang lengkapnya data dalam DMK, disarankan dilakukannya penelitian lanjutan secara prospektif. J. PEMBAHASAN JURNAL
Berdasarkan jurnal yang berjudul “ Antibiotic Therapy Versus Appendectomy for Acute Appendicitis” (2010) oleh Krishna K Varadhan, penggunaan antibiotik dapat seefektif dan
seaman apendektomi dalam terapi apendisitis akut yang tanpa komplikasi. Jenis antibiotik yang digunakan adalah amoxicillin/clavunate potassium dengan dosis 1 gram yang diberikan secara intravena, diberikan 3 kali sehari dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian secara oral selama 1-2 minggu. Pemberian ini juga efektif diberikan sebelum apendektomi bila sudah terjadi massa apendikuler dengan atau tanpa abses periapendikuler dan divertikulitis akut. Pada studi ini telah diambil 200 pasien yang termasuk criteria inklusi, yaitu secara klinis mengarah pada apendisitis dan usianya lebih dari 18 tahun. Follow-up dilakukan untuk menilai durasi dari nyeri, lamanya rawat inap di rumah sakit, dan absen dari aktivitas sehari-hari. Hasilnya adalah bahwa dengan pemberian antibiotik pada apendisitis tanpa komplikasi dapat membantu dalam mengurangi rasa nyeri, waktu untuk rawat inap di rumah sakit dapat berkurang dan penderita bisa menjalankan aktivitas sehari-hari dengan baik. Pemberian antibiotik ini tetap diberikan sampai dengan leukosit sudah turun dalam batas yang normal. Berdasarkan jurnal yang berjudul “Safety and Efficacy of Antibiotics Compared With Appendicectomy for Treatment of Uncomplicated Acute Appendicitis” (2013) oleh peneliti yang sama dengan jurnal sebelumnya Krishna K Varadhan, antibotik terbukti aman dan efektif sebagai terapi utama pada pasien dengan apendisitis akut non-komplikasi. Risiko komplikasi lebih rendah pada mereka yang diberikan terapi antibiotik dibanding dengan mereka yang menjalani bedah apendektomi. Terapi antibiotik dapat dipertimbangkan sebagai terapi inisial pertama untuk apendisitis akut non-komplikasi,namun tidak untuk menggantikan terapi bedah apendektomi pada kasus-kasus dengan komplikasi. Pada studi ini telah diambil 900 pasien yang termasuk criteria inklusi. Dari 900 pasien, 470 diberikan terapi antibiotik, sedangkan 430 menjalani operasi apendektomi. Terapi antibiotik terkait dengan tingkat kesuksesan sebesar 63% (277/438) dalam waktu 1 tahun. Berdasarkan jurnal yang berjudul “ Antibiotic Therapy for acute Appendicitis: ampicillin, metronidazole plus gentamycin versus cephalosporin” (2002), terapi antibiotik pada apendisitis akut menggunakan cephalosporin terutama yang jenisnya ceftriaxone memberikan efek yang lebih baik bila dibandingkan dengan ampicillin dan metronidazole plus gentamycin. Pemberian cephalosporin ini tidak hanya terbatas pada anak-anak, tapi bisa diberikan pada orang dewasa terutama yang berusis 12-48 tahun. Pemberian ceftriaxone ini bertujuan untuk proteksi terjadinya sepsis saat post-operasi dan bisa juga diberikan sebagai terapi profilaksi sebelum operasi. Pemberian ceftriaxone ini juga
mempertimbangkan waktu kerja perawat dan efisien dari harganya. Pemberian ini termasuk efisien karena hanya diberikan satu kali saat menjelang operasi atau 1 kali sehari selama 5 hari bila terjadi apendisitis yang perforasi. Sedangkn regimen yang lain biasanya diberikan setiap 8 jam sekali selam 3 hari dan bisa 5-7 hari bila telah terjadi perforasi.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Pemberian antibiotik pada kasus apendisitis akut terbukti efektif bila diberikan pada apendisitis tanpa komplikasi walaupun tidak dilakukan apendektomi, apendisitis yang sudah terjadi massa apendikuler dan sebelum atau sesudah operasi. Namun golden standar dari penangan kasus apendisitis akut adalah apendektomi. 2. Jenis antibiotik yang efektif digunakan dalam terapi apendisitis akut adalah amoxicillin/clavunate potassium dan golongan cepahalosporin (ceftriaxone). 3. Dosis pemberian amoxicillin/clavunate potassium adalah 1 gram yang diberikan secara intravena, diberikan 3 kali sehari dan kemudian dilanjutkan dengan pemberian secara oral selama 1-2 minggu. 4. Pemberian ceftriaxone hanya diberikan satu kali saat menjelang operasi atau 1 kali sehari selama 5 hari bila terjadi apendisitis yang perforasi.