PRESENTASI KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. M
Umur
: 70 tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Perum Kodam, Bekasi
Berat badan
: 62 kg
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Purnawirawan TNI AD
Status
: Menikah
Tanggal masuk RS RS
: 25 Se September 2010
No. CM
: 35 94 14
Tangg anggal al pem pemeri eriksaa ksaan n
: 3 Okt Oktob ober er 2010 2010
ANAMNESIS (AUTOANAMNESIS) 3 Oktober 2010 Keluha Keluhan n Utama Utama
:
B.
Keluhan Tambahan
: Tidak ada
C.
Riwa Riwaya yatt Peny Penyak akit it Sek Sekar aran ang g
:
A.
Nyeri Nyeri pada pada kaki kanan kanan sehing sehingga ga tidak tidak dapat dapat
berdiri
Pada tanggal 16 September, pasien terjatuh di kamar mandi dengan posisi bertumpu pada pinggang kanan. Setelah terjatuh pasien merasakan nyeri pada pangkal paha kanannya sehi sehingg nggaa jala jalan n denga dengan n agak agak dise disere ret. t. Pada Pada saat saat keja kejadi dian an pasie pasien n tida tidak k meng mengal alam amii penurunan kesadaran, tidak ada mual, muntah, juga tidak ada perdarahan akibat luka terbuka. Karena awalnya dikira sebagai terkilir biasa maka pasien tidak segera ke rumah sakit akan tetapi ke tukang urut terlebih dahulu. Namun karena tidak adanya perbaikan nyeri nyeri pada pangkal pangkal pahanya pahanya,, maka maka pasien pasien akhirn akhirnya ya ke RSPAD RSPAD Gatot Gatot Subrot Subroto o pada tangga tanggall 25 Septem September ber dan disara disaranka nkan n melakuk melakukan an foto foto radiol radiologi ogi di bagian bagian pangkal pangkal pahanya. Dari hasil foto radiologinya menunjukkan adanya patah pada tulang tungkaiya sehingga memerlukan operasi. 1
D.
Riwayat Penyakit Dahulu
:
•
Asma
: Disangkal
•
Alergi obat-obatan dan makanan
: Penisilin
•
Diabetes
: Disangkal
•
Hipertensi
: Disangkal
•
Jantung
: Disangkal
Riwa Riwaya yatt Peny Penyaki akitt Kelu Keluar arga ga :
E. •
Tidak ada riwayat penyakit jantung, hipertensi, asma, penyakit paru-paru, diabetes, penyakit ginjal, dan gangguan pembekuan darah pada keluarga pasien. Riwayat Operasi dan Anestesi:
F. •
Belum pernah dioperasi sebelumnya.
G. •
•
•
Riwayat Kebiasaan Pasien
Mero Meroko kok k
:
: Akt Aktif if,, ± 2-3 2-3 bat batan ang g per per hari hari seja sejak k 10 10 tah tahun un yang yang lalu lalu
Narkotik
: Disangkal
Alkohol
F. Lain-Lain
: Disangkal :
•
Gigi palsu
: Disangkal
•
Gigi goyang
: Disangkal
•
Konsumsi ob obat-obatan te tertentu
: Di Disangkal
III.PEMERIKSAAN FISIK (3 Oktober 2010)
Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
BB/TB
: 62 kg/ 165 cm
Vital Sign
:
Tekanan darah
: 140/80 mmHg
Nadi
: 88x/menit
Suhu
: 360C
Pernafasan
: 18x/menit
2
A. Stat Status us Gene Genera rali liss -
Kulit
: Sawo matang
-
Kepala
: Simetris, normochepal, distribusi rambut merata
-
Muka
: Simetris, tidak ada jejas
-
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflex cahaya (+/+) normal
-
Hidung
: Deviasi septum (-), discharge (-)
-
Mulu ulut/Gigi
: Bibir tidak dak kering, lidah bers ersih, carr arries (-), Mallampati 2
-
Telinga
: Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani intak +/+
Pemeriksaan Leher
-
Inspeksi
: Deviasi trakea (-)
-
Palpasi
: Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelenjar limfe
Pemeriksaan Thorax
-
Jantung Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi
: Batas atas kiri
: ICS II LMC sinistra
Batas atas kanan
: ICS II LPS dextra
Batas ba bawah ki kiri
: IC ICS V LMC si sinistra
Bata Batass baw bawah ah kana kanan n
: ICS ICS IV LPS LPS dex dextr traa
Auskultasi
-
: Suara ja jantung 1 dan 2 reguler, mu murmur (-), gallop (-)
Paru Inspeksi
: Dinding dada simetris pada saat statis dan dinamis, retraksi tidak ada, ketinggalan gerak (-)
Palpasi
: Simetris, vocal fremitus kanan sama dengan kiri, 3
Ketinggalan gerak (-) Perkusi
: Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi
: Suara dasar vesikuler normal Suara tambahan (-)
Pemeriksaan Abdomen Inspeksi
: Perut tidak membuncit, darm contour (-), darm steifung (-), venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi
: Bising usus (+)
Palpasi
: Nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba, defans muscular (-), massa abdomen (-)
Perkusi
: Ti Timpani di seluruh lapang abdomen
Pemeriksaan Ekstremitas Superior Kanan
: Edem (+) di daerah proximal, sianosis (-), tonus cukup, nyeri tekan (+) di daerah sekitar sendi coxae, mobilitas terbatas
Superior Kiri
: Edem (-), sianosis (-), tonus cukup
Inferior Kanan
: Edem (-), sianosis (-), tonus cukup
Inferior Kiri
: Edem (-), sianosis (-), tonus cukup
B. Status Lokalis Regio Femoral Dextra -
Inspeksi
: terdapat pat edema pada daerah pro proximal
-
Palpasi
: nyeri tekan (+) di daera erah sekitar sendi coxae
IV. IV. PEME PEMERI RIKS KSAA AAN N PENUN PENUNJA JANG NG 1.
Laboratorium
(25 September 2010) 4
Hematologi Hb
: 12,3 g/dl
(12 – 16 g/dL)
Ht
: 37%
(37 – 47%)
Eritrosit
: 4,0 juta/ µL
(4,3 – 6,0 juta/µL)
Leukosit
: 8.700/ µL
(4.800 – 10.800/µL)
Trombosit
: 272.000/ µL
(150.000 – 400.000/µL)
MCV
: 92 fl
(80 - 96 fl)
MCH
: 31 pg
(27 - 32 pg)
MCHC
: 34 g/dl
(32 - 36 g/dl)
Ureum
: 57mg/dl
(20 - 50 mg/dl)
Kreatinin
: 1,6 mg/dl
(0,5 - 1,5 mg/dl)
Natrium
: 141 mEq/l
(135 - 145 mEq/l)
Kalium
: 4,4 mEq/l
(3,5 - 5,3 mEq/l)
Klorida
: 103 mEq/l
(97 - 107 mEq/l)
Gula darah sewaktu: 102 mg/dl
(70 - 100 mg/dl)
Kimia
(27 September 2010) Protein total
: 6,7 g/dl
(6 - 8,5 g/dl)
Albumin
: 3,8 g/dl
(3,5 – 5 g/dl)
Globulin
: 2,9 g/dl
(2,5 – 3,5 g/dl)
Bilirubin total
: 0,6 mg/dl
(< 1,5 mg/dl)
Alkali fosfatase
: 75 U/l
(< 128 U/l)
SGPT
: 16 U/l
(< 40 U/l)
SGOT
: 21 U/l
(<35 U/l)
Gamma GT
: 40 U/l
(<55 U/l)
Ureum
: 58 mg/dl
(20 - 50 mg/dl)
Kreatinin
: 1,5 mg/dl
(0,5 - 1,5 mg/dl)
Natrium
: 140 mEq/l
(135 - 145 mEq/l)
Kalium
: 4,3 mEq/l
(3,5 - 5,3 mEq/l) 5
Klorida
: 104 mEq/l
(97 - 107 mEq/l)
Gula darah sewaktu: 105 mg/dl
(70 - 100 mg/dl)
Koagulasi Masa perdarahan
: 1’ 25’’
Masa pembekuan : 2’ 20’’
(4 Oktober 2010) AGD pH
: 7,5
(7,37 – 7,45)
pCO2
: 23,8 mmHg
(32 – 46 mmHg)
pO2
: 79,4 mmHg
(71 – 104mmHg)
HCO3
: 18,8 mEq/l
(21 – 29 mEq/l)
Base Excess: -2,1 mEq/l
(-2 – 2 mEq/l)
O2 Sat
(94 – 98%)
2.
: 97%
Pemeriksaan Echokardiografi a.
Left Ventrikel hipokinetik, Ejection Fraction 50%
b.
Katup Mitral normal
c.
Katup Aorta sklerosis
Kesan: Sesuai dengan CAD, fungsi left ventrikel normal, Ac c pro-op 3.
Pemeriksaan thorax foto
Kesan: dalam batas normal 4.
Pemeriksaan foto pelvis
Kesan: terdapat fraktur pada leher femur 5.
Pemeriksaan Fungsi Paru
Kesan: Pasien dapat di operasi dengan anestesi umum dengan toleransi resiko ringan Anjuran: Dilakukan analisa gas darah
V.
RESUME
6
Pasien laki-laki berusia 70 tahun datang dengan keluhan nyeri pada pangkal paha sebelah kanan. Pasien berjalan dengan menyeret kakinya. Pasien memiliki riwayat trauma jatuh ketika di kamar mandi dan bertumpu pada pinggang kanannya. Pasien tidak memiliki penyakit penyerta. Pasien tidak pernah di operasi sebelumnya. Pasien memiliki riwayat alergi terhadap obat-obatan golongan penisilin. Alergi makanan tidak ada. Pasien merupakan perokok aktif sejak 10 tahun yang lalu dengan frekuensi ± 2 – 3 batang per hari. Kebiasaan minum alkohol dan narkoba disangkal pasien. Tidak ada gigi goyang/ gigi palsu. Saat ini pasien tidak sedang mengkonsumsi obat-obatan apapun. Dari pemeriksaan fisik, didapatkan KU pasien tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis. TB/BB 165 cm/62 kg. TD 140/80 mmHg, Nadi 88x/ menit, Frekuensi Napas 18x/ menit, Suhu 36°C. Pasien dengan Mallampati 2. Pemeriksaan kepala, mata, telinga, hidung, mulut, leher, thoraks, dan abdomen dalam batas normal. Pada pemeriksaan status lokalis regio femoral dextra didapatkan adanya edema pada proximal dan adanya nyeri tekan pada daerah sekitar sendi coxae. Dari pemeriksaan penunjang laboratorium pada tanggal 25 September, 27 September, dan 4 Oktober didapatkan adanya nilai abnormal pada kadar ureum 58 mg/dl, gula darah sewaktu 105 mg/dl, dan dari hasil AGD pH 7,5, pCO2 23,8 mmHg, HCO3 18,8 mEq/l yang menunjukkan terjadinya alkalosis respiratorik dengan kompensasi parsial. Dari pemeriksaan echokardiolografi didapatkan kesan adanya CAD namun masih memungkinkan untuk dilakukan operasi dengan resiko ringan. Dari pemeriksaan paru juga didapatkan kesimpulan resiko operasi ringan.
VI.
DIAGNOSIS BEDAH Fraktur Leher Femur Kanan Tertutup
VII. DIAGNOSIS ANESTESI
ASA kelas II
VIII. RENCANA TINDAKAN 7
Hemiarthroplasty panggul kanan
IX.
RENCANA ANESTESI Anestesi Regional Epidural
X.
PRE OPERASI a. Persiapan Alat •
Epidural set
-
Jarum epidural no 18
-
Epidural catheter
-
Catheter connector
-
Epidural filter 0.2u
-
Spuit 10cc + Spuit 25cc
-
Sfigmomanometer digital
-
Oksimeter
-
Monitor EKG
-
Infus set dan cairan infus – Ringer Laktat
-
Cairan antiseptik
-
Kateter urin
-
Kassa
-
Krim chloramphenicol
-
Plester
-
Laringoskop
-
ETT no 7 dan 7,5
Mesin anestesi
8
-
Guedel
-
Suction
b. Persiapan obat-obat anestesi : •
Bupivacain 0,5% 70 ml
•
Midazolam 5 mg
•
Sulfat Atropine
•
Ephedrin
•
Lidocain 1% 2 ml
•
Ondansetron 8 mg
•
Ceftriaxon 1 gr
c. Persiapan pasien : 1. Informed consent : bertujuan untuk memberitahu kepada pasien tindakan
medis apa yang akan dilakukan kepada pasien bagaimana pelaksanaannya, kemungkinan hasilnya, dan resiko tindakan yang akan dilakukan. 2. Surat persetujuan operasi : merupakan bukti tertulis dari pasien atau keluarga
pasien yang menunjukkan persetujuan akan tindakan medis yang akan dilakukan sehingga bila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan keluarga pasien tidak akan mengajukan tuntutan. 3. Pasien dipuasakan sejak pukul 22.00 WIB tanggal 3 Oktober 2010 tujuannya
untuk memastikan bahwa lambung pasien telah kosong sebelum pembedahan untuk menghindari kemungkinan terjadinya muntah dan aspirasi isi lambung yang akan membahayakan pasien. 4. Pasien diberikan premedikasi Ceftriaxon 2 gr IV 1 jam sebelum operasi pada
tanggal 4 Oktober 2010 sebagai profilaksis terjadinya infeksi akibat operasi terbuka. 5. Pengosongan kandung kemih pada pagi harinya. 6. Pembersihan wajah dan kuku pasien dari kosmetik agar tidak mengganggu
pemeriksaan selama anestesi, misalnya bila ada sianosis. Bila ada gigi palsu
9
sebaiknya dilepaskan agar tidak mengganggu kelancaran proses intubasi dan bila ada perhiasan sebaiknya diberikan kepada keluarga pasien. 7. Memakai pakaian operasi yang telah disediakan di ruang persiapan. 8. Pemeriksaan fisik pasien di ruang persiapan : TD = 140/80 mmHg, Nadi = 88
x/menit, Suhu = 360C, RR = 18 x/menit
XI.
PELAKSANAAN ANESTESI Pukul 14.20 WIB
-
Memasang monitor EKG dan oksimeter pulse
-
Mengukur tekanan darah
-
Infus RL telah terpasang pada saat menunggu giliran operasi dan
masuk sebanyak 400 ml
-
Infus RL 1 diganti dengan infus RL 2
-
TD 130/90, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 14.30 WIB -
Pasien dibaringkan posisi left lateral dekubitus
-
Dibuat garis imajiner setinggi L3 – L4, dan diberi tanda
-
Disinfeksi daerah tersebut dengan betadine dan alkohol
-
Dilakukan anestesi lokal dengan Lidokain 2% sebanyak 2 cc pada
tempat di mana jarum epidural akan ditusukkan secara infiltrasi -
Dilakukan penusukan jarum epidural Tuohy no 18 di median
setinggi L3 - L4 secara perlahan-lahan hingga terasa menembus ligamentum flavum (± 6 cm)
dilakukan test “loss of resistance”
dengan menggunakan NaCl dalam spuit 10cc hasil (+). -
Dilakukan pemasangan kateter epidural melalui jarum epidural
sebagai introducer ke dalam rongga epidural
-
Tempat pemasangan kateter di tutup dengan kassa dan kateter di
fiksasi hingga setinggi bahu pasien -
Dimasukkan
bolus
melalui
kateter
epidural
menggunakan
Bupivakain 0.5% sebanyak 14 cc (70 mg) test dose tidak dilakukan 10
-
Dipasang nasal kanul dengan aliran O2 3 liter/menit
-
Dilakukan pemasangan kateter urin
-
TD 98/55, Nadi 72x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 14.45 WIB -
Diberikan midazolam 2,5 mg melalui intra vena
-
TD 68/41, Nadi 50x/menit, Saturasi O2 99%
-
Karena terjadi penurunan tekanan darah diberikan efedrin 10 mg
melalui intra vena dan drip cairan dipercepat
-
Diberikan midazolam 2,5 mg melalui intravena karena pasien tidak
tenang dan banyak bergerak Pukul 15.00 WIB
-
Pembedahan dimulai
-
TD 100/58, Nadi 70x/menit, Saturasi O2 99%
Pukul 15.05 WIB
-
Infus RL 2 diganti infus RL 3
-
TD 72/37, Nadi 65x/menit, Saturasi O2 99%
-
Diberikan efedrin 10 mg melalui intravena untuk menaikkan
tekanan darah Pukul 15.15 -
TD 88/52, Nadi 68x/menit, Saturasi O2 99%
-
TD 130/91, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
Infus RL 2 diganti infus RL 3
-
TD 95/50, Nadi 78x/menit, Saturasi O2 99%
-
TD 68/38, Nadi 75x/menit, Saturasi O2 99%
-
Diberikan efedrin 10 mg melalui intravena untuk menaikkan
Pukul 15.30
Pukul 15.45
Pukul 16.00
tekanan darah 11
Pukul 16.15 -
TD 72/43, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
Diberikan efedrin 10 mg untuk menaikkan tekanan darah
-
Infus RL 3 diganti RL 4
-
TD 80/52, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
TD 90/55, Nadi 82x/menit, Saturasi O2 99%
-
TD 98/60, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
Infus RL 4 diganti infus koloid 1
-
TD 90/58, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
Diberikan ondansetron 4 mg untuk mengatasi mual muntah yang
Pukul 16.30
Pukul 16.45
Pukul 17.00
Pukul 17.15
biasanya terjadi post-op Pukul 17.30 -
TD 94/58, Nadi 78x/menit, Saturasi O2 99%
-
Diberikan MO 2mg + bupivacain 0,5% 15 mg untuk analgesi post-
op melalui kateter epidural Pukul 17.45 -
TD 88/46, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
Diberikan efedrin 10 mg untuk menaikkan tekanan darah
-
Infus koloid diganti infus RL 5
-
Pembedahan selesai
-
TD 112/65, Nadi 84x/menit, Saturasi O2 99%
-
Monitor EKG, tensimeter digital, pulse oksimetri, dan nasal kanul
Pukul 17.50
Pukul 18.00
Pukul 18.05
dilepaskan 12
-
TD 115/62, Nadi 80x/menit, Saturasi O2 99%
-
Pasien dibawa ke ruang pemulihan
Terapi cairan Berat badan = 62 kg Lama puasa = 14 jam Kebutuhan cairan pasien per jam : 4 x 10 = 40 cc 2 x 10 = 20 cc 1 x 42 = 42 cc --------------------- +
= 102 cc/jam Lama puasa pasien 14 jam(dimulai pukul 22.00 tanggal 3 Oktober 2010 sampai pukul 12.00 tanggal 4 Oktober 2010)
Lama puasa x kebutuhan per jam : 14 x 102 cc/jam = 1428 cc
Stress operasi : operasi besar( 6 cc/kgBB ) : 6 x 62 = 372 cc
Kebutuhan cairan pada jam pertama = 50% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam = 714 cc + 372 cc + 102 cc = 1188 cc Kebutuhan cairan pada jam kedua
= 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam = 357 cc + 372 cc + 102 cc = 831 cc
Kebutuhan cairan pada jam ke tiga
= 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam = 357 cc + 372 cc + 102 cc = 831 cc 13
Cairan yang diberikan selama anestesi
: RL I
400 ml
RL II
500 ml
RL III
500 ml
RL IV
500 ml
Koloid
500 ml
RL V
100 ml + 2500 ml
Cairan yang keluar selama operasi
: Urine Perdarahan
1200 ml 600 ml_+ 1800 ml
Pengawasan Anestesi
Anestesi dilakukan mulai pukul 14.30. Pembedahan dimulai pukul 15.00 dan selesai pada pukul 18.00. EKG ritme jantung dalam batas normal, saturasi oksigen 99%.
XII. POST OPERASI Setelah pasien dibawa ke ruang pemulihan lalu dilakukan penilaian terhadap fungsi vital yaitu TD 122/76 mmHg, N= 80 x/menit , RR= 20x/menit. Penilaian pulih sadar menurut aldrette score :
-
Kesadaran
:2
-
Pernafasan
:2
-
Tekanan darah
:2
-
Aktivitas
:1
-
Warna kulit
:2
Total score
=9 14
Pasien boleh pindah ke ruang perawatan
Instruksi Post Operasi : 1. Awasi nadi, tensi, napas tiap 15 menit selama 2 jam pertama. Kemudian awasi per jam selama 24 jam. 2. Pengobatan diberikan tramadol 1 ampul setiap 8 jam secara IV, MO 2 mg jika setelah diberikan tramadol pasien tetap mengeluh nyeri 3. Lanjutkan infus RL sampai pasien sudah bisa makan - minum. 4. Pasien diperbolehkan makan - minum setelah sadar penuh dan bising usus (+) 5. Perhatian khusus : posisi kaki melebar selama perawatan, permintaan radiologi pelvis posisi AP
XIII. FOLLOW UP Dari follow up pasien pada tanggal 6 Oktober 2010, pasien telah sadar penuh, bising usus +, sehingga infus dihentikan. TD : 140/70 mmHg; Nadi 80x/menit; Napas 20x/menit. Pasien mengaku luka operasi masih terasa sakit jika digerakkan. Kateter epidural masih terpasang.
PEMBAHASAN Pada kasus ini, pasien dengan diagnosis anestesi status fisik ASA kelas II, dan dengan diagnosis bedah fraktur tertutup leher femur kanan durencanakan pembedahan hemiarthroplasty panggul kanan. Anestesia epidural pada pasien ini bertujuan untuk anestesia dan analgesia pada pembedahan dan analgesia post operatif. Hal ini sesuai dengan indikasi pembedahan, antara lain:1 •
Untuk analgesia tunggal
•
Durasi operasi lama 15
•
Post-operatif analgesia
Selain sesuai dengan indikasi pembedahan yang dilakukan, pada pasien tidak ada kontraindikasi dilakukannya anestesia epidural. Pemberian midazolam pada pasien ini bertujuan sebagai sedatif untuk pasien karena pasien merasa gelisah dan banyak bergerak.2 Pada persiapan alat, selain alat-alat yang digunakan pada anestesi epidural, sebaiknya juga dipersiapkan alat-alat untuk anestesia umum. Hal ini bertujuan sebagai tindakan antisipasi apabila terjadi kegagalan pemasangan kateter epidural maupun antisipasi terjadinya total spinal blok. Obat-obatan emergensi juga harus disiapkan. Pada pasien ini terjadi penurunan tekanan darah beberapa kali selama pembedahan berlangsung. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kurangnya intake cairan yang diberikan mengingat lamanya puasa yang dilakukan yang mencapai 14 jam.2 Pada pelaksanaan anestesi epidural pada pasien ini tidak dilakukan tes dosis. Seharusnya walaupun posisi jarum pada ruang epidural sudah dapat dipastikan melalui tes loss of resistance, tes dosis tetap harus dilakukan untuk mencegah kemungkinan salah memasukkan ke dalam vena epidural sehingga efek samping yang buruk yang dapat mengakibatkan cardiac arrest dapat dicegah. Selain itu, pada penggunaan obat analgesia melalui kateter epidural yang bertujuan sebagai tata laksana nyeri pasca operasi digunakan bupivakain 0,5 %, seharusnya cukup digunakan bupivakain dengan konsentrasi 0,125 %. Teknik anestesia epidural
Teknik anestesi epidural pada pasien ini dilakukan dalam posisi left lateral dekubitus didahului dengan membuat garis imajiner antara L3-L4 karena lokasi pembedahan di daerah femur. Pada pasien dilakukan penyuntikan anestesi lokal lidokain 1% 2 ml sebagai analgetik sehingga ketika jarum epidural ditusukkan pasien tidak merasakan nyeri. Tusukan dilakukan dengan jarum epidural no 18 dengan pendekatan median.
16
Untuk mengetahui apakah jarum sudah masuk ke ruang epidural, dilakukan tes “loss of resistance” dengan menggunakan NaCl dalam spuit 10 cc yang disuntikkan melalui jarum epidural dan memberikan hasil (+).Tes dosis tidak dilakukan. Hal ini dilakukan hanya apabila dokter anestesi yakin bahwa jarum telah masuk ruang epidural. Setelah itu, dipasang kateter epidural melalui jarum epidural sebagai introducer ke dalam ruang epidural. Kemudian jarum dicabut dan kateter epidural diberikan krim chloramphenicol dan ditutup dengan kassa lalu diplester. Kemudian pasien diberikan bolus menggunakan Bupivakain 0.5% sebanyak 70 mg melalui kateter epidural. Selama proses anestesi, monitor tanda-tanda vital harus tetap diperhatikan. Keuntungan teknik anestesi epidural adalah obat tidak masuk ke ruang subaraknoid sehingga sakit kepala dan gejala neurologis lainnya dapat dihindari. Selain itu, pemasangan kateter epidural juga memudahkan penatalaksanaan nyeri pasca operasi. Kerugiannya adalah diperlukan obat dalam jumlah besar, dengan kemungkinan adanya absorpsi sistemik yang lebih besar pula. Untuk mendapatkan efek analgesia bedah juga diperlukan waktu yang lebih lama yaitu 15 – 20 menit. Teknik anestesia epidural pada pasien ini bekerja secara maksimal karena pasien tidak merasakan sakit selama operasi dan setelah operasi selesai.
Obat anestesi yang digunakan
1. Lidokain 2%
Pemberiannya ditujukan untuk anestesia blok (epidural dan spinal), infiltrasi, topikal, dan obat anti-aritmia
Lidokain 2% untuk blok sensorik dan motorik
Onset 20 menit, durasi 60 – 120 menit
Untuk anestesia epidural, lidokain untuk operasi jangka waktu sedang
17
Mudah diserap dari tempat suntikan dan dapat melewati sawar darah otak Efek samping : mengantuk, pusing, parestesia, gangguan mental,
koma, dan kejang2
2. Bupivakain 0.5%
Obat anestesi lokal golongan amida yang toksisitasnya rendah dengan potensi tinggi
Konsentrasi efektif minimal 0.125%
Untuk blok sensorik epidural diperlukan 0.375% dan pembedahan 0.75%
Onset lambat, durasi 4 - 8 jam
Setelah suntikan kaudal, epidural, atau infiltrasi, kadar plasma puncak dicapai dalam 45 menit kemudian menurun perlahan-lahan dalam 3 – 8 jam
Metabolisme utama di hepar, sedangkan hasil metabolit diekskresi lewat urine dan sebagian kecil diekskresi dalam bentuk utuh
Bersifat miotoksik pada sistem muskuloskeletal2
3. Morfin •
Termasuk opioid golongan agonis.
•
Terhadap SSP punya 2 sifat, yaitu depresi dan stimulasi.
•
Dengan pemberian dosis besar, pada sistem-jantung merangsang vagus dan menyebabkan bradikardia. Menyebabkan hipotensi ortostatik. Pada sistem respirasi dapat menyebabkan konstriksi bronkus. 18
Dikontra-indikasikan pada kasus asma dan bronkitis kronis. Pada sistem saluran cerna menyebabkan konstipasi, tidak dianjurkan untuk pasien dengan gangguan empedu karena dapat menyebabkan kolik. Pada sistem ginjal, dapat menyebabkan retensi urin. •
Dapat menyebabkan toleransi. Dapat kembali normal setelah puasa morfin 1-2 minggu.
•
Efek samping : alergi (jarang), mual muntah, pruritus.
•
Dapat diberikan secara SC, IM, IV, epidural, dan intratekal.
•
Dimetabolisme di hepar dan diekskresikan lewat ginjal.
•
Dosis untuk nyeri sedang : 0.1-0.2 mg/kgBB Dosis untuk nyeri hebat dewasa 1-2 mg IV dan dapat diulang Dosis untuk nyeri pasca bedah/ nyeri persalinan 2-4 mg epidural atau 0.05-0.2 mg intratekal. Dapat diulang 6-12 jam.2
4. Midazolam
Digunakan sebagai premedikasi, obat induksi dan maintanance dalam anestesi umum.
Digunakan sebagai obat sedasi dalam anestesi lokal, prosedur diagnostik dan di dalam ICU
Dosis sedasi 2 mg IV dalam 30 detik dan 2 menit kemudian diikuti pemberian 0,5 – 1 mg bila sedasi tidak adekuat. Biasa digunakan antara 2,5 – 7,5 mg.
Kontra indikasi pada glaucoma dan bayi prematur
Dapat menyebabkan mual, muntah, nyeri kepala, cegukan (hiccoughs), spasme laring, dispnoe, halusinasi, ataxia, skin rash.2
5. Ephedrin 19
Merupakan obat simpatomimetik
Biasanya digunakan sebagai stimulan, dekongestan, dan juga
menatalaksanaan hipotensi dalam bidang anestesi
Dosis 10 – 25 mg; dapat diberikan dosis tambahan setiap interval 5
– 10 menit. Dosis maksimal 150 mg/hari
Kontraindikasi: Glaukoma sudut tertutup, hipertiroid, hipertensi,
kehamilan, pasien yang dianestesi dengan halotan atau siklopropane,1
Terapi cairan Berat badan = 62 kg Lama puasa = 14 jam
Kebutuhan cairan pasien per jam : 4 x 10 = 40 cc 2 x 10 = 20 cc 1 x 42 = 42 cc --------------------- +
= 102 cc/jam Lama puasa pasien 14 jam(dimulai pukul 22.00 tanggal 3 Oktober 2010 sampai pukul 12.00 tanggal 18 April 2010)
Lama puasa x kebutuhan per jam : 14 x 102 cc/jam = 1428 cc
Stress operasi : operasi besar( 6 cc/kgBB ) : 6 x 62 = 372 cc
Kebutuhan cairan pada jam pertama = 50% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam = 714 cc + 372 cc + 102 cc = 1188 cc Kebutuhan cairan pada jam kedua
= 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam 20
= 357 cc + 372 cc + 102 cc = 831 cc Kebutuhan cairan pada jam ke tiga
= 25% puasa + stress operasi + kebutuhan cairan per jam = 357 cc + 372 cc + 102 cc = 831 cc
Cairan yang diberikan selama anestesi
: RL I
400 ml
RL II
500 ml
RL III
500 ml
RL IV
500 ml
Koloid
500 ml
RL V
100 ml + 2500 ml
Cairan yang keluar selama operasi
: Urine Perdarahan
1200 ml 600 ml_+ 1800 ml
Keperluan cairan intraoperatif
= 4450 ml
Cairan yang diberikan selama pembedahan = 2500 ml – Cairan yang masih kurang intraoperatif
= 1950 ml
Sisa keperluan cairan ¼ puasa dan cairan maintenance per jam akan dikejar dengan infus RL post-operatif.
TINJAUAN PUSTAKA 21
A. Definisi
Anestesia epidural adalah salah satu bentuk dari anestesia regional dan merupakan salah satu bentuk teknik blok neuroaksial, dimana penggunaannya lebih luas daripada anestesia spinal. Epidural blok dapat dilakukan melalui pendekatan lumbal, torak, servikal atau sacral (yang lasim disebut blok caudal). Teknik epidural sangat luas penggunaannya pada anestesia operatif, analgesia untuk kasus-kasus obstetri, analgesia post operatif dan untuk penanggulangan nyeri kronis.1 Onset dari epidural anestesia (10-20 menit), lebih lambat dibandingkan dengan anestesi spinal. Dengan menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang relatif lebih encer dan dikombinasi dengan obat-obat golongan opioid, serat simpatis dan serat motorik lebih sedikit diblok, sehingga menghasilkan analgesia tanpa blok motorik. Hal ini banyak dimanfaatkan untuk analgesia pada persalinan dan analgesia post operasi.1
B. Indikasi dan Kontra Indikasi Indikasi
Menyuntikkan obat-obatan ke dalam ruang epidural primernya dilakukan untuk fungsi analgesianya. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan banyak teknik yang berbeda dan untuk alasan yang berbeda pula. Sebagai tambahan, beberapa efek samping dari analgesia epidural dapat memberikan keuntungan pada keadaan-keadaan tertentu (sebagai contoh, vasodilatasi mungkin berguna jika pasien memiliki penyakit pembuluh darah perifer). Ketika kateter ditempatkan dalam ruang epidural, obat-obatan secara kontinu dapat terus dilanjutkan selama beberapa hari, jika dibutuhkan.2
Secara umum, anestesia epidural dapat digunakan : •
Untuk analgesia saja, ketika tindakan bedah bukan menjadi pilihan. Dosis anestesia epidural untuk menghilangkan nyeri (contoh, saat melahirkan) tidak menyebabkan hilangnya tonus otot, namun juga tidak mencukupi untuk tindak bedah. 22
•
Sebagai tambahan/ pelengkap anestesia umum. Hal ini dapat mengurangi kebutuhan pasien terhadap analgesik opioid, cocok untuk tindakan bedah yang bervariasi, sebagai contoh bedah ginekologi (histerektomi), bedah ortopedi (penggantian sendi panggul), bedah umum (laparotomi), dan bedah vaskular (perbaikan aneurisma aorta).
•
Sebagai teknik tunggal anestesi untuk tindakan bedah di daerah tungkai bawah, pelvis, perineum, dan abdomen bawah.2,3 Sectio Caesarean ialah jenis terbanyak yang menggunakan teknik tunggal ini. Khasnya ialah pasien tetap sadar selama operasi. Dosis yang diperlukan jauh lebih tinggi dibandingkan yang diperlukan untuk analgesia.
•
Untuk analgesia post-operatif, seperti pada kasus yang telah disebutkan di atas. Analgesik diberikan ke dalam ruang epidural selama beberapa hari setelah operasi, lewat kateter yang telah dimasukkan saat operasi. Dengan penggunaan pompa tetesan (infusion), pasien diberikan kebebasan untuk mengontrol nyeri post-operatifnya.
•
Untuk pengobatan nyeri punggung. Injeksi analgesik dan steroid ke dalam ruang epidural dapat mengurangi keluhan nyeri.
•
Untuk pengobatan nyeri kronis atau sebagai pengobatan paliatif bagi pasien-pasien terminal.2
Sedangkan penggunaan secara spesifik pada kasus-kasus : •
Operasi pinggul dan lutut. Penggunaan epidural dapat mengurangi kehilangan darah yang berlebihan, juga penurunan angka kasus thrombosis vena dalam pada pasien post-operatif.
•
Rekonstruksi vaskuler tungkai bawah dengan cara meningkatkan aliran darah distal
•
Amputasi. Pemberian epidural 48-72 jam setelah amputasi diketahui dapat menurunkan insidensi nyeri phantom post-operatif
•
Obstetri. Epidural diindikasikan untuk pasien dengan risiko tinggi persalinan, misalnya sungsang, kembar, pre-eclampsia, dan persalinan lama. Sectio Caesarean dengan epidural dapat menurunkan kematian maternal dibandingkan anestesi umum.
23
•
Trauma thoraks dengan fraktur iga. Analgesia yang cukup meningkatkan fungsi respirasi dengan memungkinkan pasien bernapas secara adekuat, batuk, dan kooperatif dengan fisioterapi dada.3
Ruang epidural lebih sulit dan berisiko untuk dijangkau. Teknik epidural paling cocok untuk analgesia daerah dada, abdomen, pelvis, atau tungkai; kurang cocok untuk daerah leher, lengan; dan tidak mungkin dilakukan pada daerah kepala (karena persarafan kepala langsung keluar dari otak via saraf-saraf kranial, bukan melalui medula spinalis via ruang epidural.2
Waspada – Kontra Indikasi Relatif
Ada beberapa kondisi di mana risiko epidural lebih tinggi dari normal, termasuk di dalamnya, yaitu : 1. Kelainan anatomis, seperti spina bifida, meningomyelocele, atau skoliosis. 2. Riwayat operasi tulang belakang sebelumnya, di mana jaringan parut mungkin menghambat penyebaran obat. 3. Masalah khusus dengan Sistem Saraf Pusat (SSP), termasuk multiple sklerosis atau siringomielia. 4. Masalah pada katup-jantung, seperti stenosis mitral dan stenosis aorta, di mana
vasodilatasi yang dirangsang oleh obat anestesi dapat menyebabkan tidak sampainya suplai darah ke otot jantung yang menebal, juga blok total jantung (Complete Heart Block) dan HOCM (Hypertrophic Obstructive Cardio Myopathy) 5. Penggunaan LMWH (Low Molecular Weight Heparin) atau Warfarin Dosis
Rendah (INR <1.5) 6. Pasien yang tidak kooperatif.2,3
Kontra Indikasi Absolut 24
Keadaan-keadaan di mana epidural tidak boleh dilakukan : •
Pasien menolak
•
Gangguan pembekuan darah atau sedang dalam pengobatan anti-koagulan (contoh : warfarin dan heparin standar) – risiko untuk terjadinya hematoma yang dapat menekan medula spinalis
•
Infeksi di daerah dekat fokus insersi – risiko terjadinya meningitis atau abses epidural
•
Infeksi pada aliran darah yang dapat menyebar via kateter ke sistem saraf pusat.
•
Peningkatan Tekanan Intra Kranial (TIK), karena dapat berujung pada herniasi batang otak
•
Hipovelemia yang tidak terkoreksi, yang ditambah blokade simpatis oleh epidural dapat menyebabkan kolapsnya sirkulasi.2,3
C. Anatomi
Ruang epidural adalah bagian dari kanalis vertebralis yang tidak terisi oleh duramater dan isinya. Ruang epidural merupakan ruang potensial yang terletak di antara dura dan periosteum yang membatasi bagian dalam kanalis vertebralis, terbentang dari foramen magnum ke sakral hiatus. Cabang-cabang saraf anterior dan posterior dari medula spinalis menyeberangi ruang ini untuk bergabung di foramen intervertebralis untuk membentuk saraf-saraf segmentalis. Batas anterior ruang epidural terdiri atas ligamentum longitudinalis posterior yang membungkus korpus vertebra, dan diskus intervertebralis.
Batas
lateral
oleh periosteum pedikel
vertebra dan
foramina
intervertebralis. Di posterior, dibatasi oleh periosteum dari permukaan anterior lamina dan prosesus artikularis beserta ligamentum-ligamentum penghubungnya, periosteum dari cabang spina, dan ruang interlamina yang diisi oleh ligamentum flavum. Ruang epidural berisi pleksus vena dan jaringan lemak yang berhubungan dengan lemak di ruang paravertebra.3
25
D. Persiapan
Setiap epidural yang ingin dikerjakan, tidak boleh dilupakan tentang manajemen jalan napas dan resusitasi. Fasilitas untuk memonitor tekanan darah dan nadi juga harus tersedia. Diharuskan mendapat informed consent dari pasien, setelah sebelumnya pasien dijelaskan tentang risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi. Pemeriksaan pra-bedah harus dilakukan lengkap seperti pada anestesia umum. Perhatian khusus pada status kardiovaskular pasien, karena lesi vaskular dapat menyulitkan dalam meningkatan cardiac output sebagai respon terhadap vasodilatasi akibat blokade simpatis. Punggung juga harus diperiksa. Pemeriksaan laboratorium tentang status koagulasi pasien penting jika adanya koagulasi/terapi antikoagulasi meragukan. INR (PT), APTT, dan jumlah platelet harus dalam nilai normal. Jika ada keraguan tentang fungsi platelet, konsultasi ke dokter hematologi dianjurkan. Perlengkapan juga harus dicek ulang. Kanulasi vena tepi dengan kanula large bore (16G) merupakan kewajiban. Kulit harus dibersihkan dengan alkohol/ iodine. Duk steril harus dipasang, dan operator harus menggunakan perlengkapan steril lengkap, termasuk jas, masker, dan sarung tangan.3
E. Perlengkapan
Set epidural modern steril dan disposabel. Obat-obatan juga harus steril dan baru. Jarum epidural yang digunakan biasanya 16-18G, panjang 8 cm dengan garis penanda 26
berjarak 1 cm, dan ujung melengkung 15-30°. Yang lebih sering digunakan adalah jarum Tuohy dan Huber. Biasanya jarum ini juga memiliki “sayap”, sehingga memungkinkan kontrol yang lebih baik.3 Kateter berbentuk pipa plastik kecil. Kateter model lama memiliki lubang di ujungnya (end-hole), tetapi cenderung tersumbat. Kateter yang lebih baru (side-hole) memiliki ujung yang tumpul tetapi terdapat 3 atau lebih lubang di batang kateter dekat ujungnya. Hal ini tidak hanya membantu menyebarkan obat anestesia lebih merata, tetapi juga mengurangi kejadian sumbatan.2
F. Teknik Anestesia Epidural
Anestesia epidural memerlukan teknik tinggi untuk menghindari terjadinya komplikasi yang serius, and harus selalu dikerjakan oleh dokter anestesi yang terlatih, menggunakan teknik aseptik yang ketat untuk mengurangi risiko infeksi.2 F.1.
Posisi pasien
Pasien dalam posisi duduk atau posisi lateral (berbaring miring). Pasien yang duduk kemudian diminta untuk membungkukkan tubuh untuk meningkatkan kurvatura tulang belakang. Pasien yang berbaring juga diminta untuk menekuk lutut hingga menyentuh dagu untuk alasan yang sama.2 F.2.
Lokasi insersi
Dokter anestesi mempalpasi punggung pasien dan mengidentifikasi celah (gap) anatomis antara prosesus spinosus vertebra. Level pada spina di mana kateter paling baik ditempatkan bergantung pada lokasi dan tipe dari operasi yang akan dilakukan, serta lokasi anatomis asal nyeri. Krista iliaka biasanya digunakan sebagai panduan untuk mencapai vertebra L4, di mana terletak tepat di bawah berakhirnya medula spinalis. Karena persarafan dada dan abdomen berjalan di bawah iga, dokter anestesi dapat mempalpasi sepanjang iga yang bersangkutan untuk menentukan lokasi penempatan kateter.2 27
Biasanya, dokter menempatkan kateter pada daerah mid-lumbar, atau bagian punggung bawah, meskipun kadang-kadang kateter ditempatkan di daerah thoraks (dada) atau servikal (leher). Pada pasien dewasa, medula spinalis berakhir di level diskus antara L1 dan L2 (pada neonates sampai L3 tapi kadang bisa mencapai L4), di mana kemudian terdapat struktur berkas-berkas saraf yang disebut kauda ekuina. Karena itu, epidural lumbal relatif aman dari risiko trauma medula spinalis.2 F.3.
Menemukan Ruang Epidural
Kulit diinfiltrasi dengan zat anestetik lokal seperti lidokain di lokasi yang sudah diidentifikasi. Fokus insersi biasanya di garis tengah (median), meskipun pendekatan lain, seperti pendekatan paramedian kadang juga digunakan, khususnya pada pasien-pasien usia tua. Pada pendekatan paramedian, ujung jarum ditusukkan 1-2 cm lateral dari midline, mengikuti arah lamina hingga mencapai ligamentum flavum dan ruang epidural. “Menjalankan” ujung jarum pada lamina ini membuat dokter lebih percaya diri bahwa mereka benar telah dekat dengan ruang epidural. Hal ini khususnya sangat penting pada daerah thoraks, di mana medula spinalisnya lebih besar (dibandingkan lumbal), dan risiko tertusuknya dura serta trauma medula spinalis lebih besar.2
Perbedaan lokasi dan arah tusukan median dan paramedian
Ada banyak teknik yang digunakan untuk mencapai ruang epidural. Tetapi yang paling populer ialah teknik hilangnya resistensi dan teknik tetes tergantung.4 28
1. Teknik hilangnya resistensi (loss of resistance)
Teknik ini menggunakan semprit kaca atau semprit plastik rendah resistensi yang diisi oleh udara atau NaCl sebanyak ± 3 ml. Setelah diberikan anestetik lokal pada tempat suntikan, jarum epidural ditusukkan sedalam 1-2 cm. Kemudian udara/ NaCl disuntikkan perlahan-lahan secara terputus-putus (intermiten) sambil mendorong jarum epidural sampai terasa menembus jaringan keras (ligamentum flavum) yang disusul oleh hilangnya resistensi. Ada ciri khas khusus ketika ujung jarum telah masuk ke ruang epidural. Sensasi “pop” atau “klik” dapat dirasakan ketika ujung jarum menembus ligamentum flavum tepat sebelum masuk ke ruang epidural.2,4 Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis (test dose). 4 2. Teknik tetes tergantung (hanging drop)
Pada teknik ini hanya menggunakan jarum epidural yang diisi NaCl sampai terlihat ada tetes NaCl yang menggantung. Dengan mendorong jarum epidural perlahan-lahan secara lembut sampai terasa membus jaringan keras yang kemudian disusul oleh tersedotnya tetes NaCl ke ruang epidural. Setelah yakin ujung jarum berada dalam ruang epidural, dilakukan uji dosis.4 F.4.
Uji dosis
Uji dosis anestetik lokal untuk epidural dosis tunggal dilakukan setelah ujung jarum diyakini berada dalam ruang epidural dan untuk dosis berulang (kontinu) melalui kateter. Masukkan anestetik lokal 3 ml yang sudah bercampur adrenalin 1 : 200,000. •
Jika tidak ada efek setelah beberapa menit, kemungkinan besar letak jarum atau kateter benar 29
•
Jika terjadi blokade spinal, menunjukkan obat masuk ke ruang subarachnoid karena terlalu dalam
•
Jika terjadi peningkatan laju nadi sampai 20-30%, kemungkinan obat masuk vena epidural.4
F.5.
Penempatan kateter
Setelah ujung jarum masuk di ruang epidural, kateter dimasukkan lewat jarum tersebut. Jarum kemudian dicabut. Biasanya, kateter kemudian ditarik sedikit sampai tersisa 4-6 cm di dalam ruang epidural. Kateter tersebut memiliki tanda kedalaman, sehingga kedalaman kateter di ruang epidural dapat diukur. Kateter biasanya difiksasi pada kulit dengan plester atau kasa supaya tidak tertekuk.2 F.6.
Cara penyuntikan
Setelah diyakini posisi jarum atau kateter benar, suntikkan anestetik lokal secara bertahap setiap 3-5 menit sebanyak 3-5 ml sampai tercapai dosis total. Suntikan yang terlalu cepat menyebabkan tekanan dalam ruang epidural mendadak tinggi, sehingga menimbulkan peninggian tekanan intrakranial, nyeri kepala, dan gangguan sirkulasi pembuluh darah epidural.4 F.7.
Uji keberhasilan epidural
Anestesi epidural yang benar menghasikan 3 efek utama : 1. Hilangnya fungsi sistem saraf simpatis yang mengontrol tekanan darah, diketahui dari perubahan suhu. 2. Hilangnya modalitas sensorik lainnya (termasuk sentuhan, dan propriosepsi),
dengan uji tusuk jarum (pin-prick) 3. Hilangnya kekuatan otot (motorik), dinilai dari skala Bromage.2
Skala Bromage untuk blok motorik 30
Melipat Lutut
Melipat Jari
++
++
Blok parsial
+
++
Blok hampir lengkap
-
+
Blok lengkap
-
-
Blok tidak ada
G. Faktor yang Berpengaruh pada Anestesia Epidural 1. Lokasi Injeksi
Pada injeksi lumbal, analgesia akan menyebar ke kaudal dan kranial dengan delay pada segmen L5 dan S1 karena ukuran cabang saraf yang besar.
Pada injeksi torakal, analgesia menyebar merata dari lokasi injeksi. Thoraks bagian atas dan servikal bawah resistan terhadap blok tersebut karena ukuran cabang sarafnya yang besar. Ukuran ruang epidural pada daerah torakal lebih kecil sehingga volume anestesi yang diperlukan tidak terlalu besar.3
2. Dosis
Dosis yang dibutuhkan untuk analgesia atau anestesia ditentukan oleh beberapa faktor, tetapi pada umumnya dibutuhkan dosis 1-2 mL/segmen. Penyebaran lokal anestesia di dalam ruang epidural bervariasi tergantung dari ukuran ruang epidural, dan terkadang obat tersebut mengalir keluar ke ruang paravertebra.3 Efek dari epidural bekerja di bawah level spesifik yang menjadi lokasi injeksi obat (sesuai dermatom). Level yang dikehendaki biasanya 3-4 dermatom lebih tinggi dari fokus insersi.2 Intensitas dari blok saraf ditentukan dari konsentrasi obat anestetik lokal yang digunakan. Sedangkan volume obat menentukan tingkat penyebaran obat (level mana). Sebagai contoh, 15 ml 0.1% bupivakain dapat memberikan efek analgesia yang baik bagi wanita yang sedang melahirkan, tetapi tidak mencukupi untuk tindak bedah. Sebaliknya, 15 ml 0.5% bupivakain dapat memberikan blok 31
yang cukup untuk pembedahan. Karena volume yang digunakan pada kedua kasus adalah sama, penyebaran obat, dan tinggi level yang terkena efek, adalah sama.1 Penting diingat bahwa serabut saraf simpatik memiliki diameter yang terekcil dan sangat mudah diblok, bahkan dengan konsentrasi rendah. Derajat blokade simpatis berhubungan dengan jumlah segmen yang diblok. Dengan kateter epidural, dapat diatur dosis obatnya sehingga blok simpatis yang berlebihan dapat dihindari.3 Kebutuhan untuk mengulangi (topping up) dosis obat bergantung pada durasi aksi obat tersebut. Dosis ulangan harus diberikan sebelum efek blok menghilang di mana pasien dapat merasakan nyeri. Konsep yang digunakan adalah “regresi dua segmen”, yaitu rentang waktu sejak injeksi dosis pertama obat hingga timbul regresi maksimum sensorik 2 segmen. Jika hal ini telah terjadi, 1.5x dosis awal harus diinjeksikan untuk menjaga blok. Waktu regresi 2 segmen lignokain ialah 90-150 menit, dan bupivakain ialah 200-260 menit.3 3. Umur, tinggi badan, dan berat badan •
Semakin tua umur, semakin sedikit volume obat yang diperlukan untuk mencapai level blok yang diinginkan, diduga akibat penurunan ukuran dan compliance ruang epidural.
•
Tinggi badan pasien memiliki korelasi dengan volume obat, di mana pasien yang lebih tinggi memerlukan volume obat yang lebih besar.
•
Hanya ada sedikit korelasi berat badan dengan volume obat yang diperlukan, meskipun pada pasien obesitas, ruang epidural dapat terkompresi, sehingga lebih sedikit volume yang diperlukan. Keadaan lain yang berhubungan adalah pasien dengan asites, tumor intra abdomen yang besar, dan kehamilan tua.3
4. Postur
Efek gravitasi selama pengaplikasian blok telah diketahui mempengaruhi penyebaran obat dan area yang terblok. Pada posisi duduk, lumbal bawah dan 32
sakral cenderung lebih terblok, sedangkan pada posisi lateral dekubitus (tiduran miring), cabang saraf pada sisi tersebut lebih terblok.3 5. Penggunaan vasokonstriktor
Belum ada bukti penambahan vasokonstriktor pada obat anestetik lokal dapat memperpanjang efek epidural. Penambahan adrenalin pada bupivakain ternyata tidak memperpanjang efek anestesia, sedangkan penambahan adrenalin (1:200,000) pada lignokain, dapat memperpanjang durasi. Meskipun begitu, vasokonstriktor dapat mengurangi absorpsi sistemik obat anestesi lokal, dan mengurangi risiko toksik.3
H. Manajemen Anestesia Epidural
Untuk prosedur singkat, dokter dapat memberikan dosis tunggal (bolus). Obat dengan bolus lama kelamaan akan habis efeknya. Setelah itu, dokter akan mengulangi bolus lewat kateter yang masih terpasang.1 Untuk efek yang lebih panjang, infus kontinu dapat digunakan, jika tersedia alatalatnya, seperti contoh di bawah (pompa infus epidural dengan sufentanyl di dalam kotak).1 Larutan yang biasa digunakan sebagai analgesia setelah melahirkan atau postoperatif yaitu ropivakain 0.2% atau bupivakain 0.125%, dengan tambahan fentanyl 2µl, dengan laju antara 2-14 mL/jam, setelah loading dose untuk menghasilkan blokade saraf.1 Ada beberapa studi yang menyatakan bahwa bolus otomatis yang intermiten memberikan efek yang lebih baik dibanding teknik infus, meskipun dosis total antara keduanya sebanding.1 Kateter biasanya dilepas setelah pasien mampu menggunakan analgesik oral. Kateter dapat tinggal selama beberapa hari dengan risiko rendah untuk terjadinya infeksi, apalagi jika kulit telah diolesi larutan chlorhexidine.1
33
I. Obat-Obat Anestesia
Pasien yang menerima anestesia epidural untuk pengobatan nyerinya biasanya menerima kombinasi obat anestesia lokal dan opioid. Kombinasi ini bekerja lebih baik dibanding dengan salah satu jenis saja. Namun, pada dasarnya, pemilihan obat bergantung pada indikasi anestesia epidural:
Anestesia pembedahan – membutuhkan blokade sensoris yang lebih dalam dan blokade motorik sedang sampai dalam. Untuk mencapai ini, diperlukan lokal anestesia konsentrasi kuat (lidokain 2% 10 – 20mL, dengan atau tanpa adrenalin 1 :200,000), atau bupivakain 0.5% 10 – 20mL.
Saat melahirkan, sering digunakan bupivakain 0.1 – 0.25% sebanyak 5-10 ml, blok motorik yang tidak terlalu kuat
Untuk analgesia pasca operasi digunakan bupivakain konsentrasi yang lebih lemah (0.1 – 0.166%, dengan atau tanpa opioid dosis rendah) yang diberikan secara bolus, infus drip, atau PCEA ( Patient Controlled Epidural Analgesia) terbukti aman dan efisien bila diberikan dengan menggunakan pompa infus.1,2
I.1.
Obat Anestesi Lokal
Obat anestesi lokal yang biasanya dipakai yaitu, lidokain, bupivakain, ropivakain, dan kloroprokain.2
Obat-obatan pada anestesia epidural
Kloroprokain
Konsentrasi
Onset
Blok sensoris
Blok motorik
2%
Cepat
Analgesik
Ringan –
3%
Cepat
Berat
sedang Berat
Lidokain
≤ 1%
Sedang
Analgesik
Minimal
1.5%
Sedang
Berat
Ringan – sedang 34
Mepivakain
Prilokain
Bupivakain
2%
Sedang
Berat
Berat
1%
Sedang
Analgesik
Minimal
2%
Sedang
Berat
Berat
2%
Cepat
Berat
Minimal
3%
Cepat
Berat
Berat
≤ 0,25%
Lambat
Analgesik
Minimal
0,375 –
Lambat
Berat
Ringan –
Lambat
Berat
0,5% 0,75% Ropivakain
sedang Sedang – Berat
≤ 0,2%
Lambat
Analgesik
Minimal
0,3 – 0,5%
Lambat
Berat
Ringan –
0,6 – 1,0%
Lambat
Berat
sedang Sedang – Berat
I.2.
Opioid
Penambahan opioid pada obat anestetik lokal sangat populer, karena opioid memiliki efek sinergis dengan bekerja secara langsung pada reseptor opiod di medula spinalis. Opioid yang biasa digunakan untuk kombinasi yaitu morfin (2-5 mg), fentanyl (50-100mcg), diamorfin (2-4 mg). Jumlah opioid yang digunakan, misalnya diamorfin harus dikurangi jika ada peningkatan risiko depresi napas, contohnya pada orang-orang tua, atau pasien dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Harus diwaspadai pada penggunaan morfin epidural, karena kadang terjadi depresi napas yang terlambat (delayed respiratory depression), sebagai akibat kelarutannya yang rendah terhadap lemak (lipofob). Sifat ini menyebabkan morfin bertahan di CSF sementara seharusnya berikatan dengam reseptor opioid di 35
medula spinalis. CSF mengangkut morfin yang tersisa ke batang otak yang merupakan pusat pernapasan. Hal ini biasanya terjadi beberapa jam hingga 24 jam pertama sejak morfin dimasukkan ke epidural. Opioid juga dapat digunakan tunggal. Pethidin (25-75mg), memiliki struktur yang sama dengan anestetik lokal dan efektif dalam menyediakan anestesia pembedahan dan analgesia post-operatif. Semua opioid secara epidural memiliki potensi untuk menyebabkan depresi napas, sehingga diperlukan monitoring ketat pada pernapasan dan kesadaran pasien. Kadang-kadang dapat dipakai agen lain seperti alpha-2-blocker, seperti klonidin atau ketamin.2,3 J. Efek Fisiologis dan Keuntungan Analgesia Epidural setelah Pembedahan Efek fisiologis •
Sistem kardiovaskular Hilangnya fungsi simpatik dari jantung, menyebabkan turunnya frekuensi nadi dan tekanan darah
•
Sistem respiratorik Dosis anestesia epidural yang sangat besar atau dengan tingkatan blok yang tinggi, dapat menyebabkan paralisis otot-otot interkostal dan diafragma (yang bertanggung jawab untuk respirasi) akibat blokade saraf frenikus
•
Sistem gastrointestinal
36
Blokade pada saraf simpatis akan menyebabkan saraf parasimpatis (vagus dan sakral) menjadi lebih dominan, dan mengakibatkan peristaltis aktif dan relaksasi sfingter, dan kontraksi intestinal •
Sistem endokrin Menyebabkan penurunan pelepasan katekolamin pada blokade nervus di kelenjar adrenal, sehingga menurunkan stress
•
Sistem urogenital Retensi urin sering terjadi pada anestesia epidural. Hipotensi berat dapat mengurangi laju filtrasi glomerulus bila blokade saraf simpatis cukup tinggi untuk menyebabkan vasodilatasi yang signifikan. Sensasi untuk berkemih juga hilang, sehingga diperlukan pemasangan kateter urin selama durasi epidural. 1,2
Keuntungan Analgesia Epidural setelah Pembedahan
Analgesia epidural telah terbukti memberikan keuntungan setelah pembedahan, termasuk di dalamnya : •
Analgesia yang efektif tanpa kebutuhan akan opioid sistemik
•
Insidensi dari masalah respirasi post-operatif dan infeksi dada dapat dikurangi
•
Insidensi infark miokardial (serangan jantung) post-operatif dapat dikurangi
•
Respon stres terhadap pembedahan dapat dikurangi
•
Motilitas usus dapat ditingkatkan dengan cara blokade sistem saraf simpatik.
•
Mengurangi kebutuhan akan transfusi darah.1
K. Efek Samping Analgesia Epidural
Selain memblok saraf yang membawa nyeri, obat anestetik lokal di dalam ruang epidural ternyata dapat memblok tipe saraf yang lain, tergantung pada dosisnya. Bergantung pada jenis obat dan dosis yang digunakan, efek ini dapat bertahan dari beberapa menit hingga beberapa jam. Epidural biasanya menggunakan opiate fentanyl 37
atau sufentanil, dengan bupivakain. Fentanyl adalah opiate yang sangat kuat dengan potensi dan efek samping 80x morfin. Sufentanil adalah opiate yang lain, 5-10x lebih poten dibandingkan fentanyl. Pemakaian opioid dapat menyebabkan gatal yang parah dan bahkan depresi napas.2 Bupivakain bersifat toksik, dapat menyebabkan eksitasi : gelisah, kesemutan di sekitar mulut, tinnitus, tremor, bingung, pandangan kabur, atau kejang, diikuti dengan depresi : mengantuk, turunnya kesadaran, depresi napas, dan apnea. Bupivakain juga dapat menyebabkan kematian dengan henti jantung (cardiac arrest) jika obat anestetik tidak sengaja masuk ke vena epidural. 2 Saraf-saraf penghantar nyeri paling sensitif terhadap efek epidural, yang artinya epidural yang baik dapat menyediakan analgesia tanpa mempengaruhi kekuatan otot atau sensori lain. Semakin besar dosis, semakin besar efek samping yang dihasilkan. Sebagai contoh : wanita yang sedang melahirkan digunakan epidural kontinu yang pada 85% kasus memberikan analgesia yang baik tanpa mengurangi kemampuannya untuk bergerak di ranjang. Jika ia memerlukan Sectio, ia diberikan dosis bupivakain epidural yang lebih besar. Setelah beberapa menit, ia tidak bisa lagi menggerakkan kakinya, atau merasakan abdomennya. Jika tekanan darahnya turun hingga di bawah 80/50, ia diberikan bolus intravena efedrin/ infus phenylephrine untuk mengkompensasi.2
L. Komplikasi
1. Tidak adanya blokade nyeri (gagal blok), terjadi pada 1:20 kasus, atau 5%. 15% mengalami kegagalan parsial. Jika hal ini terjadi, epidural dapat diulang lagi.1 Faktor yang berhubungan dengan gagalnya blok : •
Obesitas
•
Multipara
•
Riwayat kegagalan epidural sebelumnya
•
Penggunaan udara untuk mencapai ruang epidural daripada N20, saline, atau lidokain 38
•
Pengguna opiat5
2. Tusukan berdarah (1 : 30-50). Sangat mudah terjadinya trauma pada vena epidural oleh karena jarum. Pada pasien dengan pembekuan darah yang normal, hal ini sangat jarang terjadi (1:100.000). Pada pasien dengan koagulopati, terdapat risiko terjadinya epidural hematoma. Jika darah tertarik ke arah jarum, dokter biasanya akan melakukan epidural di level lain. 3. Pada 5% pasien dapat terjadi tertusuknya duramater (dan arachnoid) secara tidak sengaja sehingga timbul sakit kepala (1-3:100) karena kedalaman ruang epidural pada lumbal yang hanya 3-5 mm. Hal ini berakibat bocornya cairan serebrospinal ke ruang epidural, sehingga terjadi PDPH (Post Dural Puncture Headache). PDPH bisa berat dan menetap selama beberapa hari, bahkan kadang hingga berbulan-bulan. Hal ini disebabkan karena berkurangnya tekanan cairan serebrospina yang ditandai dengan eksaserbasi ketika pasien mengangkat kepalanya dari posisi tiduran. Jika amat berat, dapat diobati dengan epidural blood patch ( darah pasien dimasukkan ke dalam ruang epidural lewat jarum epidural lain sehingga menyumbat yang bocor), namun kebanyakan kasus resolusi secara spontan. 4. Kateter salah tempat, masuk ke dalam vena (jarang, <1:300), dapat menyebabkan kejang dan henti jantung pada dosis besar (1:10.000). 5. Kateter masuk ke ruang subarachnoid (<1:1000). Jika kateter tidak sengaja masuk ke ruang subarachnoid, biasanya cairan serebrospinal dapat diaspirasi dari kateter (biasanya memang harus dilakukan aspirasi). Meski begitu, jika hal ini tidak disadari, dapat berujung pada blok tinggi, atau pada kasus yang lebih jarang “total spinal” di mana obat anestesia menuju batang otak, menyebabkan hilangnya kesadaran dan kejang. 6. Trauma neurologis yang lebih dari 1 tahun (1:6,700) 7. Abses epidural (1:145,000) 8. Hematoma epidural (1:168,000) 9. Paraplegia (1:250,000) 10. Arachnoiditis 11. Kematian (sangat jarang <1:100,000)1 39