Terwujudnya Pelayanan Publik yang Kompetitif dan Profesional1 2
Akbar Suwardi
I. Pendahuluan
Kondisi perekonomian disetiap negara tidaklah hanya dipenagaruhi oleh satu faktor saja, misalnya hanya perbankakn. Namun, banyak sektor yang mempenagruhi kondisi tersebut, sebut saja pelayanan publik di negara tersebut. Di Indonesia, selama ini pelayanan publik berupa barang dan jasa tidaklah memuaskan, hal ini seringkali dapat menjadi hambatan dalam mencapai produktifitas yang efisien di kalangan pelaku ekonomi di dalama negeri. Buruknya fasilitas berupa barang publik yang disediakan seperti, jalan raya, pelabuhan, dan lainnya. Serta lambanya birokrasi dalam pelayanan jasa, merupakan contoh permasalahan dari Pelayanan Publik Untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang sustainable dan mandiri, barang publik yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif dan profesional. Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya terhadap pelaku bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private yang disediakan oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam pengadaannya harus menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam penerapannya, barang publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan di segala sektor, baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun berupa barang, agar dapat terwujud secara menyeluruh dan komprehensif. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk menjelaskan penegertian atas pelayanan publik dan barang publik, keterkaiatan atas pelayanan publik dan barang publik atas kondisi perekonomian atau pada kondisi iklim investasi, permasalahan –
1 2
Tulisan ini adalah bahan diskusi Tim P erumus Simposium Ekonomi Nasional 2009 oleh BEM FEUI Mahasisawa Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia
1
permasalahan atas pelayanan publik berupa barang dan jasa, dan penjabaran atas upaya yang telah digagas oleh ahlli ekonomi publik dalam memperbaiaki pelayanan publik
II. Tinjauan Literatur
II.1. Pelayanan Publik
Pelayanan Publik merupakan sebuah kewajiban yang dilakukan oleh sebuah kepemerintahan suatu negara tas negara yang dikelolonya. Dan dari sisi mayarkayt merupakan sebuah Ha yang harus di terima. Hudges (1992) mengatakan bahwa Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Pada dasarnya pelayanan public adalah kepercayaan publik. “Public service is a public trust. Citizens expect public servants to serve the public interest with fairness and to manage public resources properly on a daily basis. Fair and reliable public services inspire public trust and create a favourable environment for businesses, thus contributing to well-functioning markets and economic growth,” Dengan demikian, kualitas pelayanan
publik merupakan salah satu strategic issue bagi aparatur negara yang harus diaktualisasikan dalam kerangka membangun kepercacayaan public. ( OECD (2000))
3
Negara dalam upaya mencapai tujuannya, pastilah memerlukan perangkat negara yang disebut dengan pemerintah dan pemerintahannya. Dalam hal ini pemerintah pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi melayani masyarakat serta menciptakan kondisi agar setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya (Rasyid, 1998:139). Etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara da dalam lam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan-kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma-norma norma-norma yang mengatur tingkah laku manusia yang dianggap baik” (Kumorotomo, 1996:7). Lebih lanjut dikatakan oleh Putra Fadillah (2001:27), etika pelayanan publik adalah: ”suatu cara dalam melayani publik dengan menggunakan kebiasaan kebiasaan-kebiasaan -kebiasaan yang mengandung nilai-nilai hidup dan hukum atau norma yang yang mengatur tingkah laku 3
Dimensi Kepemimpinan Aparatur dalam Perspektif Pelayanan Publik: Building the Trust, Oleh A. Aziz Sanapiah
2
manusia yang dianggap baik”. Sedangkan etika dalam konteks birokrasi menurut Dwiyanto (2002:188): ”Etika birokrasi digambarkan sebagai suatu panduan norma bagi aparat birokrasi dalam menjalankan tugas pelayanan pada masyarakat. Etika birokrasi harus menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan organisasnya. Etika harus diarahkan pada pilihan-pilihan kebijakan yang benar-benar 4
mengutamakan kepentingan masyarakat luas”.
II.2. Pengertian barang publik
Barang publik secara umum diartikan berdasarkan tingkat dua karakteristik utama yang dimilikinya : (1) konsumsi bersama (non rivalry) dan (2) non eksklusif.
5
Konsumsi bersama mengacu pada ide bahwa ada beberapa barang yang manfaatnya dapat dinikmati oleh lebih dari satu orang pada waktu yang sama. Misalnya, budi dan tedi dapat menikmati oksigen di udara di kantor mereka secara bersamaan. Konsumsi budi terhadap oksigen di udara tidak akan mengurangi jumlah oksigen yang tersedia bagi tedi. Dalam kasus ini, konsumsi budi dan konsumsi tedi dikatakan non-rival. Ada banyak contoh barang yang menawarkan konsumsi non-rival. Dua orang dapat menonton sepak bola tanpa mengurangi kenikmatan orang lain. Para densusu 88 yang berkerja menangkap para teroris untuk keamana masyarakat. Pekerjaan seorang diplomat atau perlindungan kapal nuklir dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat, dan manfaat yang diterima seseorang tidak mengurangi manfaat yang diterima orang lain. Ada beberapa barang yang tidak bersifat konsumsi bersama. Dua orang tidak dapat mengkonsumsi ketoprak secara bersama-sama. Manfaat dan kepuasan budi memakan ketoprak tidak akan tersedia bagi tedi. Karena jika memeng terjadi, budi dan tedi memakan ketoprak tersebut bersama-sama, maka kepuasann yang akan terjadi akan – sendiri. Oleh karena itu, ketika konsumsi berbeda atau kurang dibandingkan jika sendiri – sendiri. barang oleh seseorang tidak dapat dikonsumsi oleh orang lain, konsumsi dua orang tersebut disebut rival.
4
Mewujudkan Birokrasi Yang Mengedepankan Etika Pelayanan Ublik , Oleh I Wayan Sudana
5
Economics of The Public sector, by Joseph E. Stiglitz
3
Karakteristik kedua yang membedakan barang publik dengan barang swasta adalah
non-eksklusifitas.
Untuk
beberapa
barang,
kemampuan
teknik
untuk
mengecualikan konsumsi orang-orang yang tidak membayar merupakan hal rutin. Untuk barang lain, pengecualian tersebut tidak dimungkinkan. Hanya karena terdapat suplai lontong sayur tidak berarti semua orang dapat menikmatinya. Jika anda tidak membayar penjual lontong sayur, anda tidak akan mendapat lontong sayur tersebut tersebut. Non-eksklusifitas terjadi ketika seseorang dapat menikmati manfaat barang baik dengan membayar maupun tidak. Misalnya, jika lingkungan telah menyemprot nyamuk, sulit untuk mencegah orang lain yang tidak membayar untuk menikmati hasil semprotan tersebut. Atau dengan skala yang lebih luas, jika terdapat sistem pertahanan negara, semua penduduk dapat memperoleh manfaat baik membayar pajak atau tidak. Ini tidak berarti bahwa perusahaan pencari-keuntungan akan mensuplai barang yang bersifat noneksklusifitas.
II.3. Efisiensi Pareto
Efisiensi Pareto menyatakan bahwa suatu keadaan lebih diinginkan dibandingkan yang lain jika menghasilkan perbaikan satu individu atau lebih tanpa merugikan kesejahteraan orang lain. Ketika satu titik dicapai dimana memperbaiki sejumlah orang akan merugikan kesejahteraan orang lain, dikatakan telah mencapai titik optimal Pareto. Optimalitas Pareto merupakan kriteria hati-hati. Ia menolak setiap gerakan yang membahayakan setiap orang meski manfaat untuk beberapa orang akan merugikan orang 6
lain.
Optimalitas Pareto merupakan sasaran sistem pertukaran sukarela. Dalam kasus barang swasta, mengapa dua individu bebas melakukan transaksi kecuali keduanya merasa situasi ekonomi mereka akan meningkat? Jika masyarakat merasa keadaan ekonomi mereka akan memburuk dengan melakukan kontrak, mereka tidak akan melakukannya. Jika kita menganggap transaksi ekonomi sebagai bentuk sistem pemilikan, kita dapat mengatakan bahwa keputusan pertukaran sukarela dibuat atas dasar kesepakatan bersama. 6
Economics of The Public sector, by Joseph E. Stiglitz
4
III. Kondisi Pelayanan Publik di Indonesia
1. High Cost Economy
Iklim Investasiyang merupakan salah satau faktor penting bagi perekonomian seuatau
negara juga dipengaruhi oleh pelayanan publik dalam pemprosesannya atau
birokarsi. Lamanya waktu yang terbuang serta tingginya biaya yang dikeluarkan untuk memulai suatu usaha baru di Indonesia. Baik bagi sisi Asing ataupun dalam negeri, merupakan suatu yang perlu dipertimbangkan. 7
Tabel 1.1 Hambatan Jalannya Bisnis
Anti Kompetisi Lisensi Bisnis dan Izin Usaha Korupsi Pungutan liar terhadap Penerimaan Dilihat pada Tabel 1.1,
Indonesia 17.3 17.5 38.2 3.4
Pakistan 21.3 14.5 40.4 2.0
Philipina 24.3 13.5 35.2 1.9
Banglades 29.3 16.5 57.8 2.5
Cina 17.6 15.9 22.4 1.8
pada anti kompetisi Indonesia menduduki peringkat
terakhir. Lama nya Lisensi Bisnis dan Izin Usaha pada urutan yang pertama, hal ini menandakan sulitnya para Investor dalam menginvestasikan dananya ke Indonesia, dana hal ini pula yang dapat memperlambat laju pertumbuhan ekonomi dan memperburuk iklim Insvestasi dalam negeri. Sedangkan jika dibandingkan neagara berkembanga lainnya di Asia, Indonesia menempati posisi teraats dalam hal pembuatan izin usaha paliing lama dan panjangnya prosedur yang harus dilalui perusahan dalam memulai usaha baru. Korupsi, seperti yang kita ketahui tingkat korupsi merupakan hal penting dalam memeperhatiakan ketidaka efisienan suatu negara, namun sangat memprihatinkan ternyata Indonesia mempati posisi ketiga ketiga tertinggi dalam hal Korupsi ( The Investment Climate Study, 2005) setelah Banglades Banglades dan Pakistan,
“korupsi merupakan titik kulminasi dari proses hubungan kolusi yang sistemik antara pelaku institusi politik (baik politikus atau birokrat) dengan 7
Laporan ADB dan Bank Dunia, May 2005
5
pelaku ekonomi (baik ekonomi privat atau masyarakat biasa) yang relatif kontinyu sehingga menghasilkan semacam situasi dilematis (reconfusion ) 8 dalam menentukan batas-batas ruang lingkup „publik‟ dan „privat”‟.
Kata kolusi di atas merujuk pada pengertian adanya kesepakatan rahasia untuk kepentingan kedua belah pihak yang biasanya bersifat ilegal atau pemalsuan, sementara bentuk titik kulminasi di atas misalnya skandal terbuka, kebangkrutan ekonomi negara, bahkan kudeta, atau revolusi sosial. Pungutan Liar terhadap penerimaan pada urutan tertinggi, yang menandakan bahwa banyaknya adaministratif yang ilegal yang pada nyatanya sangat membebankan para perusahaan dalam pengoprasian produksinya.
2. Penyediaan barang Publik
Kondisi barang publik yang diberikan oleh pemerintah tidaklah disertai dengan perawatan oleh pemerintah, akibatnya selain habisnya dana yang besar dalam membangun hal tersebut, namun juga mengganngu jalannya perekonomian, sebagai salah satu contoh, jalan raya, jalan raya sangatlah diperlukan oleh para pengusaha dalam memproduksi. Pada dasarnya, penyediaan barang publik dapat dikatagorikan pada menajadi dua, yaitu yang terlibat lagsung dan yang tidak terlibat langsung bagi perekonomian. Bagi Barang publik yang tidak terlibat langsung dalam perekonomian, karena butuh waktu atau proses yang lama untuk merasakan hasil atas kebijakan tersebut, seperti pada Sektor Kesehatan dan Pendidikan. Sektor Kesehatan: Rumah sakit, puskesmas, Sektor Pendidikan : Bangunan Sekolahan, Perpustakaan Umum. Penyediaan barang publik berupa Infrastruktur yang terlibat langsung daam perekonomian, seperti pembangunan Pasar, Baik Tradisional atau yang modern, Pembangunan jalan buat transportasi bahan baku serta barang jadi bagi kegiatan perkeonomian, pelabuhan dan airport yang digunakan sebagai tempat ekspor dan impor.
8
Ahmad Zaenal Fanani, SHI “Optimalisasi Pelayanan Publik; Persep ektif David Osborne
dan Ted Gaebler”
6
Penyedian barang publik atas perekonomian sebuah negara sanagatlah vital atau penting keberadaanya. Di Indonesia, belanja keperluan publik telah menyerap sekitar 3040% dari anggaran belanja negara. Pada beberapa departemen pemerintah, seperti Departemen Pekerjaan Umum dan Departemen Pendidikan Nasional, pengeluaran pengadaan barang dan jasa publik berkisar antara 60 % - 70% setiap tahun anggaran. Oleh sebab itu, belanja negara dalam pengadaan barang dan jasa publik harus disertai dengan proses yang jujur dan pengelolaan secara tepat. Berbagai langkah harus diambil untuk mengurangi dan meminimalisir potensipenyimpangan dan pelanggaran. Besarnya angka belanja negara dalam pengadaan barang dan jasa sangat rentan korupsi. Menteri Negara BUMN, Soegiharto, memprakirakan bahwa 80% dari korupsi dan penyelewengan di BUMN terjadi di bidang pengadaan barang dan jasa. Menurut Indeks Pembayaran Suap TI tahun 2002, sektor bisnis yang rawan terjadi suap adalah: Pekerjaan Umum/konstruksi (46%); senjata dan pertahanan (38%); minyak dan gas (21%); keuangan (15%); dan perumahan (11%).
IV. Upaya Perbaikan Pelayanan Publik di Indonesia
IV.1. Upaya Perbaikan Pelayanan Publik atas a tas jasa
9 1. Reinventing Government dan Optimalisasi Pelayanan
Gagasan Reinventing Government yang dicetuskan oleh David osborne dan Ted Gaebler (1992) adalah gagasan mutakhir yang mengkritisi dan memperbaiki konsepkonsep dan teori-teori klasik untuk optimalisasi pelayanan publik. Gagasan-gagasan Osborne dan Gaebler tentang Reinventing Government mencakup 10 prinsip untuk mewirausahakan birokrasi dan mengoptimalisasi pelayanan Publik. Adapun 10 prinsip tersebut adalah: Pertama, pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh. Artinya,
jika pemerintahan diibaratkan sebagai perahu, maka peran pemerintah seharusnya sebagai 9
Ulasan 10 prinsip Reinventing Government ini secara utuh bisa dilihat dalam David Osborne dan Ted Gaebler, Reinventing; atau terjemahannya Mewirausahakan, hlm. 29-343. sebagai bahan pelengkap juga baca David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Optimalisasi Pelayanan Publik: P erspektif David Osborne Dan Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000.- Optimalisasi Ted Gaebler Oleh: Ahmad Zaenal Fanani, Shi., M.Si
7
pengemudi yang mengarahkan jalannya perahu, bukannya sebagai pendayung yang mengayuh untuk membuat perahu bergerak. Pemerintah entrepreneurial seharusnya lebih berkonsentrasi pada pembuatan kebijakan-kebijakan strategis ( mengarahkan) daripada disibukkan oleh hal-hal yang bersifat teknis pelayanan ( mengayuh). Kedua, pemerintahan milik rakyat: memberi wewenang ketimbang melayani.
Artinya, birokrasi pemerintahan yang berkonsentrasi pada pelayanan menghasilkan ketergantungan dari rakyat. Hal ini bertentangan dengan kemerdekaan sosial ekonomi mereka. Oleh karena itu, pendekatan pelayanan harus diganti dengan menumbuhkan inisiatif
dari
mereka
sendiri.
Pemberdayaan
masyarakat,
kelompok-kelompok
persaudaraan, organisasi sosial, untuk menjadi sumber dari penyelesaian masalah mereka sendiri. Pemberdayaan semacam ini nantinya akan menciptakan iklim partisipasi aktif rakyat untuk mengontrol pemerintah dan menumbuhkan kesadaran bahwa pemerintah sebenarnya adalah milik rakyat. Ketiga, pemerintahan yang kompetitif : menyuntikkan persaingan ke dalam pemberian pelayanan. Artinya, berusaha memberikan seluruh pelayanan tidak hanya
menyebabkan resources pemerintah menjadi habis terkuras, tetapi juga menyebabkan pelayanan yang harus disediakan semakin berkembang melebihi kemampuan pemerintah (organisasi publik), hal ini tentunya mengakibatkan buruknya kualitas dan efektifitas pelayanan publik yang dilakukan mereka. Oleh karena itu, pemerintah harus mengembangkan kompetisi (persaingan) di antara masyarakat, swasta dan organisasi non pemerintah yang lain dalam pelayanan publik. Hasilnya diharapkan efisiensi yang lebih besar, tanggung jawab yang lebih besar dan terbentuknya lingkungan yang lebih inovatif. Keempat , pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan oleh peraturan. Artinya, pemerintahan yang dijalankan berdasarkan peraturan
akan tidak efektif dan kurang efisien, karena bekerjanya lamban dan bertele-tele. Oleh karena itu, pemerintahan harus digerakkan oleh misi sebagai tujuan dasarnya sehingga akan berjalan lebih efektif dan efisien. Karena dengan mendudukkan misi organisasi sebagai tujuan, birokrat pemerintahan dapat mengembangkan sistem anggaran dan peraturan sendiri yang memberi keleluasaan kepada karyawannya untuk mencapai misi organisasi tersebut.
8
Kelima, pemerintahan yang berorientasi hasil : membiayai hasil, bukan masukan. Artinya, bila lembaga-lembaga pemerintah dibiayai berdasarkan masukan
(income), maka sedikit sekali alasan mereka untuk berusaha keras mendapatkan kinerja yang lebih baik. Tetapi jika mereka dibiayai berdasarkan hasil ( outcome), mereka menjadi obsesif pada prestasi. Sistem penggajian dan penghargaan, misalnya, seharusnya didasarkan atas kualitas hasil kerja bukan pada masa kerja, besar anggaran dan tingkat otoritas. Keenam,
pemerintahan
berorientasi
pelanggan: memenuhi
kebutuhan
pelanggan, bukan boirokrasi. Artinya, pemerintah harus belajar dari sektor bisnis di
mana jika tidak fokus dan perhatian pada pelanggan ( customer ), ), maka warga negara tidak akan puas dengan pelayanan yang ada atau tidak bahagia. Oleh karena itu, pemerintah harus menempatkan rakyat sebagai pelanggan yang harus diperhatikan kebutuhannya. Pemerintah harus mulai mendengarkan secara cermat para pelanggannya, melaui survei pelanggan, kelompok fokus dan berbagai metode yang lain. Ketujuh, pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan.
Artinya, sebenarnya pemerintah mengalami masalah yang sama dengan sektor bisnis, yaitu keterbatasan akan keuangan, tetapi mereka berbeda dalam respon yang diberikan. Daripada menaikkan pajak atau memotong program publik, pemerintah wirausaha harus berinovasi bagaimana menjalankan program publik dengan dengan sumber daya keuangan yang sedikit tersebut. Dengan melembagakan konsep profit motif dalam dunia publik, sebagai contoh menetapkan biaya untuk public service dan dana yang terkumpul digunakan untuk investasi membiayai inoasi-inovasi di bidang pelayanan publik yang lain. Dengan cara ini, pemerintah mampu menciptakan nilai tambah dan menjamin hasil, meski dalam situasi keuangan yang sulit. Kedelapan, pemerintahan antisipatif : mencegah daripada mengobati. Artinya,
pemerintahan tradisional yang birokratis memusatkan pada penyediaan jasa untuk memerangi masalah. Misalnya, untuk menghadapi sakit, mereka mendanai perawatan kesehatan. Untuk menghadapi kejahatan, mereka mendanai lebih banyak polisi. Untuk memerangi kebakaran, mereka membeli lebih banyak truk pemadam kebakaran. Pola pemerintahan semacam ini harus diubah dengan lebih memusatkan atau berkonsentrasi
9
pada pencegahan. Misalnya, membangun sistem air dan pembuangan air kotor, untuk mencegah penyakit; dan membuat peraturan bangunan, untuk mencegah kebakaran. Kesembilan, pemerintahan desentralisasi: dari hierarki menuju partisipasi dan tim kerja. Artinya, pada saat teknologi masih primitif, komunikasi antar berbagai lokasi
masih lamban, dan pekerja publik relatif belum terdidik, maka sistem sentralisasi sangat diperlukan. Akan tetapi, sekarang abad informasi dan teknologi sudah mengalami perkembangan pesat, komunikasi antar daerah yang terpencil bisa mengalir seketika, banyak pegawai negeri yang terdidik dan kondisi berubah dengan kecepatan yang luar biasa, maka pemerintahan desentralisasilah yang paling diperlukan. Dan
prinsip
yang
kesepuluh
adalah pemerintahan
berorientasi
pasar:
mendongkrak perubahan melalui pasar . Artinya, daripada beroperasi sebagai pemasok
masal barang atau jasa tertentu, pemerintahan atau organisasi publik lebih baik berfungsi sebagai fasilitator dan pialang dan menyemai pemodal pada pasar yang telah ada atau yang baru tumbuh. Pemerintahan entrepreneur merespon perubahan lingkungan bukan dengan pendekatan tradisional lagi, seperti berusaha mengontrol lingkungan, tetapi lebih kepada strategi yang inovatif untuk membentuk lingkungan yang memungkinkan kekuatan pasar berlaku. Pasar di luar kontrol dari hanya institusi politik, sehingga strategi yang digunakan adalah membentuk lingkungan sehingga pasar dapat beroperasi dengan efisien dan menjamin kualitas hidup dan kesempatan ekonomi yang sama.
10
Mereformasi Birokrasi 2. Pembentukan Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi
Salah satu yang menyumbangkan atas permasalahan buruknya pelayan Publik di Indonesia baik barang dan jasa adalah banyaknya para aparatur – aparatur pemerintah atau PNS tidaklah berkerjseacara profesionalisme maka merelesaikan Gagasan pembentukan komisi kepegawaian untuk mereformasika Birokrasi dijalankan. Gagasan tersebut , yang mana merupakan salah satu hasil penelitian The Habibie Center yang disampaikan dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2005 dan Perspektif Awal Tahun 2006,pernah dicetuskan oleh Direktur Program dan Riset The Habibie Center Dr Dewi Fortuna Anwar. 10
ibid
10
IV.2. Upaya Perbaikan Pelayanan Publik atas a tas barang
1. Pemantauan dan Perbaikan Barang Publik
Pemantauan dan Perbaikan atas Barang publik yang telah ada sanagatlah dibutuhkan, mengingat dana yanf dikeluarkan atas pembuatan barang tersebuat tidakalah murah. Selaian itu, jika kondisi barang publik tidak baikan atau rusak, maka akan mempengaruhi produktivitas perekonomian negara tersebut.
2. Transparansi seleksi atas penyedian barang publik
Dengan Transparansi seleksi atas penyediaan barang publik diharapakan dalam pengadaan barang publik tidak terjadi kecurangan – kecurangan – kecurangan seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), yan semua itu dapat merugikan negara dan perekonomian. Barang publik yang sediakan dapat menghabiskan biaya tinggi, namun nilai keguanan serta kualitas yang dirasakan sanagatlah rendah.
V. Kesimpulan
Pelayanan Publik atas barang dan jasa yang disediakan oleh pemerintah haruslah kompetitif dan profesional. Kompetitif berarti barang publik dalam pelayanan dan kegunaanya terhadap pelaku bisnis dan masyarakat dapat berkompitisi dengan barang private yang disediakan oleh swasta. Prefesional berarti barang publik dalam pengadaannya harus menggunakan pendekatan organisatif dan sistemastis. Dalam penerapannya, barang publik yang kompetitif dan profesional haruslah diterapkan di segala sektor, baik sektor yang sifatnya pelayanan umum berupa jasa ataupun berupa barang, agar dapat terwujud secara menyeluruh dan komprehensif. Dalam pelayanan publik, kita harus ingat, bahwa Pemerintah sanalah seperti Organisasi publik, yang mana Organisasi publik dibuat oleh publik, untuk publik, dan karenanya harus bertanggung jawab kepada publik. Barang publik secara umum diartikan
11
berdasarkan tingkat dua karakteristik utama yang dimilikinya : (1) konsumsi bersama (non rivalry) dan (2) non eksklusif Kondisi Pelayanan Publik Di Indonesia yang masih belum dikatagorikan baik ini, turut menyumbang lemahnya pertembuhan ekonomi di tanaha air, dari sisi anti Kompetisi, lisensi Bisnis dan Izin Usaha, Korupsi, Pungutan Liar. Indonesia diantara negara – negara – neagra neagra lainnya bukanlah termassuk dalam katagori yang dapat di contoh. Dalam hal penyediaan barang publik, jangan membedakan anatara pelayanan barang publik yang langsung mempengaruhi perekonomian denga yang tidak langsung, karena negara ini tidaklah dibangun dan berjalan 10 atau sampai 100 tahun saja. Reinventing Government yang digagas oleh David Osborne dan Ted Gaebler
menemukan titik relevansinya dalam konteks optimalisasi pelayanan publik. 10 prinsip yang terkandung di dalamnya, yakni pemerintah seharusnya lebih berfungsi mengarahkan ketimbang
mengayuh,
memberi
wewenang
ketimbang
melayani,
menyuktikkan
persaingan (kompetisi) dalam pemberian pelayanan. Dalam hal, memantau serta meningkatkan kinerja dari aparatur pemeritaha maka Pembentukan Komisi Kepegawaian untuk Mereformasi Birokrasi perlu dilaksanakan. Dan untuk memperbaiki kualitas dan menekan biaya atas penyediaan baranf publik maka perlu adanya pemantauan serta transparansi dalam penyediaan arang publik.
12
Daftar Pustaka
David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategis Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000.
Ahmad Zaenal Fanani, SHI “Optimalisasi Pelayanan Publik; Persepektif David Osborne dan Ted Gaebler”
Inu Kencana Syafi'i, dkk., Ilmu Administrasi Publik , Jakarta: Rineka cipta, 1999.
World Bank, (2007), Indonesia Public Expenditure Review , Conference Edition.
I Wayan Sudana, “Mewujudkan birokrasi yang menegdepankan Etika Pelayanan Publik”.
Stiglitz, Joseph E. Economics of The Public Sector , New York : W.W. Norton & Company, 2000.
13