BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berkembang sangat besar. Manusia mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menggunakan rasa, karsa dan daya cipta yang dimiliki. Salah satu bidang iptek yang berkembang pesat dewasa ini adalah teknologi reproduksi. Teknologi reproduksi adalah ilmu reproduksi atau ilmu tentang perkembangbiakan yang menggunakan peralatan serta prosedur tertentu tert entu untuk menghasilkan suatu produk (keturunan). Salah satu teknologi reproduksi yang telah banyak dikembangkan adalah inseminasi buatan. Inseminasi buatan merupakan terjemahan dari artificial insemination yang insemination yang berarti memasukkan cairan semen (plasma semen) yang mengandung selsel kelamin pria (spermatozoa) yang diejakulasikan melalui penis pada waktu terjadi kopulasi atau penampungan semen. Berdasarkan pengertian di atas, maka definisi tentang inseminasi buatan adalah memasukkan atau penyampaian semen ke dalam saluran kelamin wanita dengan menggunakan alat-alat buatan manusia dan bukan secara alami. Namun perkembangan lebih lanjut dari inseminasi buatan tidak hanya mencangkup memasukkan semen ke dalam saluran reproduksi wanita, tetapi juga menyangkut seleksi dan pemeliharaan sperma, penampungan, penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencatatan, dan penentuan hasil inseminasi pada manusia dan hewan. Adapun tujuan dari inseminasi buatan adalah sebagai suatu cara untuk mendapatkan keturunan bagi pasutri yang belum mendapat ket urunan. Makalah ini akan membahas tentang Inseminasi Buatan pada hewan ternak (Sapi). Inseminasi Buatan pada Sapi sering juga disebut dengan kawin suntik. Kawin suntik adalah suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atau semen yang telah dicairkan dan diproses terlebih dahulu) yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut 'insemination gun'.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana sejarah perkembangan Inseminasi Buatan ? 2. Apa yang dimaksud dengan Inseminasi Buatan ? 3. Apa saja teknik Inseminasi Buatan ? 4. Apa tujuan Inseminasi Buatan ?
5. Apa keuntungan dan kerugian dari Inseminasi Buatan ? 6. Bagaimana prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi ? 7. Apa saja faktor – faktor – faktor faktor yang menyebabkan rendahnya prosentase kebuntingan pada Sapi ? 8. Apa dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan sejarah Inseminasi Buatan. 2. Untuk memahami pengertian dari Inseminasi Buatan. 3. Untuk mengetahui teknik Inseminasi Buatan. 4. Untuk mengetahui tujuan Inseminasi Buatan. 5. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian dari Inseminasi Buatan. 6. Untuk mengetahui prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi. 7.
Untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan rendahnya prosentase kebuntingan pada Sapi.
8. Untuk mengetahui dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi.
5. Apa keuntungan dan kerugian dari Inseminasi Buatan ? 6. Bagaimana prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi ? 7. Apa saja faktor – faktor – faktor faktor yang menyebabkan rendahnya prosentase kebuntingan pada Sapi ? 8. Apa dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui perkembangan sejarah Inseminasi Buatan. 2. Untuk memahami pengertian dari Inseminasi Buatan. 3. Untuk mengetahui teknik Inseminasi Buatan. 4. Untuk mengetahui tujuan Inseminasi Buatan. 5. Untuk mengetahui keuntungan dan kerugian dari Inseminasi Buatan. 6. Untuk mengetahui prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi. 7.
Untuk mengetahui faktor – faktor yang menyebabkan rendahnya prosentase kebuntingan pada Sapi.
8. Untuk mengetahui dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Inseminasi Buatan
Inseminasi Buatan (IB) pada hewan peliharaan telah lama dilakukan sejak berabadabad yang lampau. Seorang pangeran arab yang sedang berperang pada abad ke-14 dan dalam keadaan tersebut kuda tunggangannya sedang mengalami birahi. Kemudian dengan akar cerdinya, sang pangeran dengan menggunakan suatu tampon kapas, sang pangeran mencuri semen dalam vagina seekor kuda musuhnya yang baru saja dikawinkan dengan pejantan yang dikenal cepat larinya.Tampon tersebut kemudian dimasukan ke dalam vagina kuda betinanya sendiri yang sedang birahi. Alhasil ternyata kuda betina tersebut menjadi bunting dan lahirlah kuda baru yang dikenal tampan dan cepat larinya. Inilah kisa awal tentang IB, dan setelah itu tidak lagi ditemukan catatan mengenai pelaksanaan IB atau penelitian ke arah pengunaan teknik tersebut. Tiga abad kemudian, barulah ada pengamatan kembali tentang reproduksi. Tepatnya pada tahun 1677, Anthony van Leeuwenhoek sarjana Belanda penemu mikroskop dan muridnya Johan amm merupakan orang pertama yang melihat sel kelamin jantan dengan mikroskop buatannya sendiri. Mereka menyebut sel kelamin jantan yang tak terhitung jumlahnya tersebut animalcules atau animalculae yang berarti jasad renik yang mempunyai daya gerak maju progresif. Di kemudian hari sel kelamin jantan tersebut dikenal dengan spermatozoatozoa. Pada tahun berikutnya, 1678, seorang dokter dan anatomi Belanda, Reijnier (Regner) de Graaf, menemukan folikel pada ovarium kelinci. Penelitian ilmiah pertama dalam bidang inseminasi buatan pada hewan piarann dialkukan oleh ahli fisiologi dan anatomi terkenal Italia, yaitu Lazzaro Spallanzani pada tahun 1780. Dia berhasil menginseminasi amphibia, yang kemudian memutuskan untuk melakukan percobaan pada anjing. Anjing yang dipelihara di rumahnya setelah muncul tanda-tanda birahi dilakukan inseminasi dengan semen yang dideposisikan langsung ke dalam uterus dengan sebuah spuit lancip. Enam puluh hari setelah inseminasi, induk anjing tersebut melahirkan anak tiga yang kesemuanya mirip dengan induk dan jantan uang dipakai semennya. Dua tahun kemudian (1782) penelitian spallanzani tersebut diulangi oleh P. Rossi dengan hasil yang memuaskan. Semua percobaan ini membuktikan bahwa kebuntingan dapat terjadi dengan mengunakan inseminasi dan menghasilkan keturunan normal. Spallanzani juga membuktikan bahwa daya membuahi semen terletak pada spermatozoatozoa, bukan pada cairan semen. Dia membuktikannya dengan menyaring semen
yang baru ditampung. Cairan yang tertinggal diatas filter mempunyai daya fertilisasi tinggi. Peneliti yang sama pada tahun 1803, menyumbangkan pengetahuannya mengenai pengaruh pendinginan terhadap perpanjangan hidup spermatozoatozoa. Dia mengamati bahwa semen kuda yang dibekukan dalam salju atau hawa dimusim dingin tidak selamanya membunuh spermatozoatozoa tetapi mempertahankannya dalam keadaaan tidak bergerak sampai dikenai panas dan setelah itu tetap bergerak selama tujuh setengah jam. Hasil penemuannya mengilhami peneliti lain untuk lebih mengadakan penelitian yang mendalam terhadap sel-sel kelamin dan fisiologi pembuahan. Dengan jasa yang ditanamkannya kemudian masyarakat memberikan gelar kehormatan kepada dia sebagai Bapak Inseminasi. Perkenalan pertama IB pada peternakan kuda di Eropa, dilakukan oleh seorang dokter hewan Perancis, Repiquet (1890). Dia menasehatkan pemakaian teknik tersebut sebagai suatu cara untuk mengatasi kemajiran. Hasil yang diperoleh masih kurang memuaskan, masih banyak dilakukan penelitian untuk mengatasinya, salah satu usaha mengatasi kegagalan itu, Prof. Hoffman dari Stuttgart, Jerman, menganjurkan agar dilakukan IB setelah perkawinan alam. Caranya vagina kuda yang telah dikawinkan dikuakkan dan dengan spuit diambil semennya. Semen dicampur dengan susu sapi dan kembali diinsemiasikan pada uterus hewan tersebut. Namun diakui cara ini kurang praktis untuk dilaksanakan. Pada tahun 1902, Sand dan Stribold dari Denmark, berhasil memperoleh empat konsepsi dari delapan kuda betina yang di IB. Mereka menganjurkan IB sebagai suatu cara yang ekonomis dalam pengunaan dan penyebaran semen dari kuda jantan yang berharga dan memajukan peternakan pada umumnya. Penanganan IB secara serius dilakukan di Rusia, sebagai usaha untuk memajukan peternakan. Peneliti dan pelopor terkemuka dalam bidang IB di Rusia adalah Elia I. Ivannoff. Tahun 1899 ia diminta Direktur Peternakan Kuda Kerjaaan Rusia, untuk menentukan kemungkinan-kemungkinan pemakaian IB. Dan dilah orang pertama yang berhasil melakukan IB pada sapi dan domba. Hasil spektakuler dan sukses terbesar yang diperoleh adalah di Askaniya-Nova (1912) yang berhasil menghasilkan 31 konsepesi yang 39 kuda yang di IB, sedang dengan perkawinan alam hanya diperoleh 10 konsepsi dari 23 kuda yang di IB. Tahun 1914, Geuseppe amantea Guru Besar fisiologi manusia di Roma, banyak mengadakan penelitian tentang spermatozoatologi, dengan hewan percobaan anjing, burung merpati dan ayam. Kemudian dia berhasil membuat vagina buatan pertama untuk anjing. Berdasar penemuan ini banyak peneliti lain membuat vagina buatan untuk sapi, kuda dan domba. Tahun 1926, Roemelle membuat yang pertama kali membuat vagina buatan untuk sapi, dan orang pertama
yang membuat vagina buatan untuk domba dan kambing adalah Fred F. Mckenzie (Amerika Serikat) pada tahun 1931. Pada tahun 1938 Prof. Enos J. Perry mendirikan koperasi IB pertama di Amerika Serikat yang terletak di New Jersey. Kemajuan pesat dibidang IB, sangat dipercepat dengan adanya penemuan teknologi pembekuan semen sapi yang disposori oleh C. Polge, A.U. Smith dan A.S. Parkes dari Inggris pada tahun 1949. Mereka berhasil menyimpan semen untuk waktu panjang dengan membekukan sampai -79 0C dengan mengunakan CO 2 pada (dry ice) sebagai pembeku dan gliserol sebagai pengawet. Pembekuan ini disempurnakan lagi, dengan dipergunakannya nitrogen cair sebagai bahan pembeku, yang menghasilkan daya simpan yang lebih lama dan lebih praktis, dengan suhu penyimpanan -169 0C. Inseminasi Buatan pertama kali diperkenalkan di Indonesia pada awal tahun limapuluhan oleh Prof. B. Seit dari Denmark di Fakultas Hewan dan Lembaga Penelitian Peternakan Bogor. Dalam rangka rencana kesejahteraan istimewa (RKI) didirikanlah beberpa satsiun IB di beberapa daerah di awa Tenggah (Ungaran dan Mirit/Kedu Selatan), Jawa Timur (Pakong dan Grati), Jawa Barat (Cikole/Sukabumi) dan Bali (Baturati). Juga FKH dan LPP Bogor, difungsikan sebagai stasiun IB untuk melayani daerah Bogor dan sekitarnya, Aktivitas dan pelayanan IB waktu itu bersifat hilang, timbul sehingga dapat mengurangi kepercayaan masyarakat. Pada tahun 1959 dan tahun-tahun berikutnya, perkembangan dan aplikasi IB untuk daerah Bogor dan sekitranya dilakukan FKH IPB, masih mengikuti jejak B. Seit yaitu penggunaan semen cair umtuk memperbaiki mutu genetik ternak sapi perah. Pada waktu itu belum terfikirkan untuk sapi potong. Menjelang tahun 1965, keungan negara sangat memburuk, karena situasi ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan, sehingga kegiatan IB hampir-hampir tidak ada. Stasiun IB yang telah didirikan di enam tempay dalam RKI, hanya Ungaran yang masih bertahan. Di Jawa Tenggah kedua Balai Pembenihan Ternak yang ditunjuk, melaksanakan kegiatan IB sejak tahun1953, dengan tujuan intensifikasi onggolisasi untuk Mirit dengan semen Sumba Ongole (SO) dan kegiatan di Ungaran bertujuan menciptakan ternak serba guna, terutama produksi susu dengan pejantan Frisien Holstein (FH). Ternyata nasib Balai Pembibitan Ternak kurang berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik, kecuali Balai Pembibitan Ternak Ungaran, dan tahun1970 balai ini diubah namanya menjadi Balai Inseminasi Buatan Ungaran, dengan daerah pelayanan samapi sekarang di daerah jalur susu Semarang – Solo – Tegal.
Inseminasi buatan telah pula digalakkan atau diperkenalkan oleh FKH IPB, di daerah Pengalengan, Bandung Selatan, bahkan pernah pula dilakukan pameran pedet ( Calf Show) pertama hasil IB. Kemajuan tersebut disebabkan adanya sarana penunjang di daerah tersebut yaitu 1) rakyat pemelihara sapi telah mengenal tanda-tanda berahi dengan baik, 2) rakyat telah tahu dengan pasti bahwa peningkatan mutu ternak melalui IB merupakan jalan yang sesingkat-singkatnya menuju produksi tinggi, 3) pengiriman semen cair dari Bogor ke Pengalengan dapat memenuhi permintaan, sehingga perbaikan mutu genetik ternak segera dapat terlihat. Hasil-hasil perbaikan mutu genetik ternak di Pengalengan cukup dapat memberi harapan kepda rakyat setempat. Namun sayangnya peningkatan produksi tidak diikuti oleh peningkatan penampungan produksi itu sendiri. Susu sapi umumnya dikonsumsi rakyat setempat. Akibatnya produsen susu menjadi lesu, sehingga perkembangan IB di Pangalengan sampai tahun 1970, mengalami kemunduran akibat munculnya industri-industri susu bubuk yang menggunakan susu bubuk impor sebagai bahan bakunya. Kekurang berhasilan program IB antara tahun 1960-1970, banyak disebabkan karena semen yang digunakan semen cair, dengan masa simpan terbatas dan perlu adanya alat simpan sehingga sangat sulit pelaksanaanya di lapangan. Disamping itu kondisi perekonomian saat itu sangat kritis sehingga pembangunan bidang peternakan kurang dapat perhatian. Dengan adanya program pemerintah yang berupa Rencana Pembangunan Lima Tahun yang dimulai tahun 1969, maka bidang peternakan pun ikut dibangun. Tersedianya dana dan fasilitas pemerintah akan sangat menunjang peternakan di Indonesia, termasuk program IB. Pada awal tahun 1973 pemerintah measukan semen beku ke Indonesia. Dengan adanya semen beku inilah perkembangan IB mulai maju dengan pesat, sehingga hampir menjangkau seluruh provinsi di Indonesia. Semen beku yang digunkan selema ini merupakan pemberian gratis pemerintah Inggris dansSelandia Baru. Selanjutnya pada tahun 1976 pemerintah Selandia Baru membantu mendirikan Balai Inseminasi Buatan, dengan spesialisasi memproduksi semen beku yang terletak di daerah Lembang Jawa Barat. Setahun kemudian didirikan pula pabrik semen beku kedua yakni di Wonocolo Suranaya yang perkembangan berikutnya dipindahkan ke Singosari Malang Jawa Timur. Untuk kerbau pernah pula dilakukan IB, yakni di daerah Serang, Banten, dengan IPB sebagai
pelaksana
dan
Dirjen
Peternakan
sebagai
sponsornya
(1978).
Namun
perkembangannya kurang memuaskan karena dukungan sponsor yang kurang menunjang,
disamping reproduksi kerbau belum banyak diketahui. IB pada kerbau pernah juga diperkenalakan di Tanah Toraja Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara dan Jawa Timur. Hasil evaluasi pelaksanaan IB di Jawa, tahun 1972-1974, yang dilaksanakan tahun 1974, menunjukan anka konsepsi yang dicapai selama dua tahun tersebut sangat rendah yaitu antara 21,3 – 38,92 persen. Dari survei ini disimpulkan juga bahwa titik lemah pelaksaan IB, tidak terletak pada kualitas semen, tidak pula pada keterampilan inseminator, melainkan sebagian besar terletak pada ketidak suburan ternak-ternak betina itu sendiri. Ketidak suburan ini banyak disebabkan oleh kekurangan pakan, kelainan fisiologi anatomi dan kelainan patologik alat kelamin betina serta merajalelanya penyakit kelamin menular. Dengan adanya evaluasi terebut maka perlu pula adanya penyemopurnaan bidang organisasi IB, perbaikan sarana, intensifikasi dan perhatian aspek pakan, manajemen, pengendalian penyakit.
B. Inseminasi Buatan
Teknologi modern pada zaman sekarang telah mampu mengatasi masalah kemandulan (bagi manusia) dan menghasilkan bibit-bibit unggul (bagi hewan yang dapat menguntungkan manusia), khususnya dalam bidang bioteknologi. Hal tersebut dapat dilakukan diantaranya dengan melalui inseminasi buatan. Dari hasil kemajuan bioteknologi tersbut, sekarang telah tersedia inseminasi buatan, fertilisasi atau pembuatan in vitro dan rahim kontrak. Kemajuan bioteknologi tersebut apabila diterapkan pada dunia hewan, maka akan mendatangkan manfaat dan keuntungan bagi manusia. Namun, jika kemajuan bioteknologi diaplikasikan pada manusia, maka akan menghasilkan dampak yang positif dan dampak yang negatif. Dampak posotof dapat diambil dari orang-orang yang telah menikah, tetapi tidak bisa mempunyai anak, maka agar keinginan untuk mempunyai anak dapat terwujud, maka dapat dilakukan dengan melalui bayi tabung atau rahim kontrak. Sedangkan dampak negatifnya yaitu dapat menimbulkan kekacauan dalam sistem keturunan manusia. Maka sejak tahun 1956 dewan gereja di Roma telah mengutuk kegiatan tersebut dengan alasan bahwa inseminasi buatan dapat memisahkan tindakan prokreasi (kasih sayang terhadap anak, dan anak adalah karunia Tuhan yang harus dijunjung tinggi) dan persatuan cinta. Alasan lainnya yaitu kegiatan inseminasi melibatkan tindakan masturbasi yang dibutuhkan untuk mengeluarkan sperma. Inseminasi Buatan adalah salah Bioteknologi dalam bidang reproduksi ternak yang memungkinkan manusia mengawinkan ternak betina tanpa perlu seekor pejantan. Inseminasi Buatan merupakan suatu rangkain proses terencana dan terpogram karena menyangkut
kualitas genetik ternak di masa yang akan datang. Pelaksanaan dan penerapan teknologi Inseminasi Buatan di lapangan dimulai dengan langkah pemilihan pejantan unggul sehingga akan lahir anak yang kualitasnya lebih baik dari induknya selanjutnya dari pejantan tersebut dilakukan penampungan semen, penilaian kelayakan semen, pengelolahan dan pengawetan semen dalam bentuk cair dan beku, serta teknik inseminasi ke dalam saluran reproduksi ternak betina (Depdiknas, 2001).
C. Teknik Inseminasi Buatan
1. Teknik IUI ( Intrauterine Insemination) Teknik IUI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan melalui leher rahim hingga ke lubang uterine (rahim). 2. Teknik DIPI ( Direct Intraperitoneal Insemination) Teknik DIPI telah dilakukan sejak awal tahun 1986. Teknik DIPI dilakukan dengan cara sperma diinjeksikan langsung ke peritoneal (rongga peritoneum). Teknik IUI dan DIPI dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut bivalve speculum, yaitu suatu alat yang berbentuk seperti selang dan mempunyai 2 cabang, dimana salah satu ujungnya sebagai tempat untuk memasukkan/menyalurkan sperma dan ujung yang lain dimasukkan ke dalam saluran leher rahim untuk teknik IUI, sedangkan untuk teknik DIPI dimasukkan kedalam peritoneal. Jumlah sperma yang disalurkan/diinjeksikan kurang lebih sebanyak 0,5 – 2 ml. Setelah inseminasi selesai dilakukan, orang yang mendapatkan perlakuan inseminasi tersebut harus dalam posisi terlentang selama 10 – 15 menit.
D. Tujuan Inseminasi Buatan
1. Memperbaiki mutu genetika ternak; 2.
Tidak mengharuskan pejantan unggul untuk dibawa ketempat yang dibutuhkan sehingga mengurangi biaya ;
3.
Mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam jangka waktu yang lebih lama;
4. Meningkatkan angka kelahiran dengan cepat dan teratur; 5. Mencegah penularan / penyebaran penyakit kelamin.
E. Keuntungan dan Kerugian dari Inseminasi Buatan
1. Keuntungan Inseminasi Buatan a) Menghemat biaya pemeliharaan ternak jantan;
b) Dapat mengatur jarak kelahiran ternak dengan baik; c) Mencegah terjadinya kawin sedarah pada sapi betina (inbreeding ); d) Dengan peralatan dan teknologi yang baik spermatozoa dapat simpan dalam jangka waktu yang lama; e)
Semen beku masih dapat dipakai untuk beberapa tahun kemudian walaupun pejantan telah mati;
f)
Menghindari kecelakaan yang sering terjadi pada saat perkawinan karena fisik pejantan terlalu besar;
g)
Menghindari ternak dari penularan penyakit terutama penyakit yang ditularkan dengan hubungan kelamin.
2. Kerugian Inseminasi Buatan a)
Apabila identifikasi birahi (estrus) dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat maka tidak akan terjadi kebuntingan;
b)
Akan terjadi kesulitan kelahiran (distokia), apabila semen beku yang digunakan berasal dari pejantan dengan breed / turunan yang besar dan diinseminasikan pada sapi betina keturunan / breed kecil;
c)
Bisa terjadi kawin sedarah (inbreeding ) apabila menggunakan semen beku dari pejantan yang sama dalam jangka waktu yang lama;
d) Dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang jelek apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik (tidak melalui suatu progeny test).
F. Prosedur Inseminasi Buatan pada Sapi
Prosedur Inseminasi Buatan adalah sebagai berikut:
-
Sebelum melaksanakan prosedur Inseminasi Buatan (IB), semen harus dicairkan (thawing) terlebih dahulu dengan mengeluarkan semen beku dari nitrogen cair dan memasukkannya dalam air hangat atau meletakkannya dibawah air yang mengalir. Suhu untuk thawing yang baik adalah 37oC.
-
Jadi semen/straw tersebut dimasukkan dalam air dengan suhu badan 37 oC, selama 7-18 detik.
-
Setelah dithawing, straw dikeluarkan dari air kemudian dikeringkan dengan tissue. Kemudian straw dimasukkan dalam gun, dan ujung yang mencuat dipotong dengan menggunakan gunting bersih.
-
Setelah itu Plastic sheath dimasukkan pada gun yang sudah berisi semen beku/straw.
-
Sapi dipersiapkan (dimasukkan) dalam kandang jepit, ekor diikat.
-
Petugas Inseminasi Buatan (IB) memakai sarung tangan (glove) pada tangan yang akan dimasukkan ke dalam rektum.
-
Tangan petugas Inseminasi Buatan (IB) dimasukkan ke rektum, hingga dapat menjangkau dan memegang leher rahim (servix), apabila dalam rektum banyak kotoran harus dikeluarkan lebih dahulu.
-
Semen disuntikkan/disemprotkan pada badan uterus yaitu pada daerah yang disebut dengan 'posisi ke empat'.
-
Setelah semua prosedur tersebut dilaksanakan maka keluarkanlah gun dari uterus dan servix dengan perlahan-lahan.
G. Faktor – Faktor yang Menyebabkan Rendahnya Prosentase Kehamilan pada Sapi
1. Fertilitas dan kualitas mani beku yang jelek / rendah; 2. Inseminator kurang / tidak terampil; 3. Petani / peternak tidak / kurang terampil mendeteksi birahi; 4. Pelaporan yang terlambat dan / atau pelayanan Inseminator yang lamban; 5.
Kemungkinan adanya gangguan reproduksi / kesehatan sapi betina. Jelaslah disini bahwa faktor yang paling penting adalah mendeteksi birahi, karena tanda-tanda birahi sering terjadi pada malam hari.
H. Dampak dari Inseminasi Buatan pada Sapi
Inseminasi Buatan yang dikembangkan oleh manusia bertujuan untuk memberi keuntungan atau meningkatkan kesejahteraan manusia. Namun, Inseminasi Buatan juga tidak lepas dari dampak negatif yang dapat ditimbulkannya.
1. Dampak Positif Inseminasi Buatan Dengan inseminasi buatan akan dihasilkan mutu ternak yang lebih baik. Hal ini akan menguntungkan para peternak sehingga dapat meningkatkan perekonomian mereka.
2. Dampak Negatif Inseminasi Buatan Inseminasi buatan tidak lepas dari kerugian atau dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Misalnya, jika waktu inseminasi buatan tidak tepat maka tidak akan terjadi kehamilan pada hewan ternak. Selain itu, dapat menyebabkan menurunnya sifat-sifat genetik yang tidak diinginkan apabila ternak jantan donor tidak dipantau sifat genetiknya dengan baik.
BAB III PENUTUP
Kesimpulan
Inseminasi buatan harus berlandaskan nilai etika tertentu, karena bagaimanapun juga perkembangan dalam dunia bioteknologi tidak lepas dari tanggung jawab manusia sebagai agen moral dan subjek moral. Etika diperlukan untuk menentukan arah perkembangan bioteknologi serta perkembangannya secara teknis, sehingga tujuan yang menyimpang dan merugikan bagi kemanusiaan dapat dihindarkan. Dan yang penting perlu diterapkannya aturan resmi pemerintah dalam pelaksanaan dan penerapan bioteknologi, sehingga ada pengawasan yang intensif terhadap bahaya potensial yang mungkin timbul akibat kemajuan bioteknologi.
PEMISAHAN SPERMATOZOA DENGAN METODE MINIMUM ESENSIAL MEDIA 9MEM) I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada masa ini, bioteknologi berkembang sangat pesat, terutama di negara-nagara maju. Kemajuan ini ditandai dengan ditemukannya berbagai macam teknologi misalnya rekayasa genetika, kultur jaringan, rekombinasi DNA, pengemangbiakan sel induk, kloning dan laian-lain. Pada prinsipnya bioteknologi merupakan pemanfaatan makhluk hidup (mokroba, tumbuhan dan hewan) beserta sistemnya, sehingga menghasilkan bahan atau sumber daya yang memiliki nilai tambah bagi kesejahteraan umat manusia. Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dari tahun ke tahun bertambah maju dan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan berbagai penemuan. Kemajuan IPTEK tersebut, juga berpengaruh terhadap kemajuan teknologi pada subsektor peternakan.
Perkembangan IPTEK di bidang reproduksi dan bioteknologi ternak misalnya telah memberikan dampak kemajuan di subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan produktivitas ternak. Di negara maju telah lama di kembangkan teknologi reproduksi Inseminasi Buatan ( Artificial Insemination), Transfer Embrio (Transfer Embryo), yang kemudian terus berkembang ke teknologi prosessing semen (pemisahan spermatozoa X dan Y), Fertilisasi In Vitro ( In Vitro Fertilization), teknologi Preservasi dan Criopreservasi gamet (spermatozoa dan ova) dan embrio. Saat ini sedang dikembangkan teknologi rekayasa genetik untuk menghasilkan klon-klon ternak unggul yang meliputi transfer gen, pemetaan genetik, cloning dan chimera. Penemuan-penemuan
teknologi
di
bidang
reproduksi
ternak
tersebut
dapat
dimanfaatkan untuk mengatasi masalah-masalah dan tantangan yang dihadapi subsektor peternakan terutama dalam meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Pemisahan spermatozoa X dan Y merupakan salah satu kemajuan teknologi di bidang peternakan yang dapat membantu meningkatkan populasi, produksi dan produktivitas ternak baik secara kualitas maupun kuantitas. Sexing atau pemisahan sperma adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan spermatozoa yang membawa sifat kelamin jantan dengan betina. Teknologi ini bertujuan untuk menjawab tingginya permintaan peternak terhadap pedet atau anak sapi jantan potong karena harga jualnya yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak betina. Berdasarkan uraian diatas, maka dalam makalah ini membahas tentang bagaimana tehnik pemisahan spermatozoa dengan metode minimum esensial media (MEM). B.
Tujaun dan Manfaat
Tujuan dalam makalah ini adalah untuk mengetahui pemisahan spermatozoa dengan metode minimum esensial media (MEM) Eagle’s. Manfaat dalam makalah ini adalah untuk menambah wawasan bagi mahasiswa mengenai pemisahan spermatozoa dengan metode minimum esensial media (MEM) Eagle’s.
II. PEMBAHASAN
A. Pemisahan Spermatozoa
Sexing atau pemisahan sperma adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan spermatozoa yang membawa sifat kelamin jantan dengan betina. Pemilihan teknologi sexing spermatozoa merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat maupun dalam skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam bidang reproduksi ternak adalah memproduksi anak yang mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan peternak. Pemanfaatan teknologi sexing spermatozoa merupakan salah satu pilihan yang tepat dalam rangka peningkatan efisiensi reproduksi ternak yang mampu meningkatkan efisiensi usaha peternakan baik dalam skala peternakan rakyat maupun dalam skala peternakan komersial. Salah satu sasaran dalam bidang reproduksi ternak adalah memproduksi anak yang mempunyai jenis kelamin sesuai dengan keinginan peternak. Sebagai contoh, peternak sapi perah lebih mengharapkan sapi betina dari suatu kelahiran daripada sapi jantan, sebaliknya peternak sapi potong lebih mengharapkan kelahiran sapi jantan dari pada sapi betina. Berbagai penelitian yang telah dilakukan untuk mengontrol jenis kelamin anak ternak dari suatu kelahiran agar sesuai dengan keinginan peternak. Penelitian dimulai dengan pengkondisian saluran reproduksi ternak betina agar lingkungan itu menjadi lebih baik bagi spermatozoa X daripada spermatozoa Y atau sebaliknya. Selanjutnya pemisahan spermatozoa X dan spermatozoa Y sebelum dilakukan IB atau IVF ( In Vitro Fertilization).
Keberadaan spermatozoa dalam proses pembentukan jenis kelamin pada kebanyakan makhluk hidup khususnya mamalia, mempunyai arti penting, karena spermatozoa menentukan jenis kelamin seekor ternak. Proses ini melibatkan penggabungan antara kromosom seks yang dibawa oleh spermatozoa dan kromosom seks yang dibawa oleh ovum (sel telur). Berdasarkan kromosom seks yang dibawanya, spermatozoa pada mamalia dapat dibedakan atas spermatozoa pembawa kromosom X (spermatozoa X) dan spermatozoa pembawa kromosom Y (spermatozoa Y). Dalam suatu perkawinan, apabila spermatozoa Y yang berhasil membuahi telur, anak yang akan dilahirkan adalah jantan, dengan komposisi kromosom secara normal yaitu XY. Hal ini terjadi karena dalam proses pembentukan jenis kelamin, spermatozoa Y yang mengandung gen Testis Determining Factor (tidak dimiliki oleh spermatozoa X) akan mengarahkan pertumbuhan gonad primordial untuk membentuk testes. Selanjutnya, testes ( sel-sel Sertoli) akan menghasilkan hormon Anti Mullerian Duct factor yang dapat meregresi pertumbuhan Mullerian duct , sehingga saluran reproduksi betina (oviduct, uterus, cervix dan vagina) tidak terbentuk. Selain itu, testes ( sel-sel Leydig ) juga mensekresikan hormon testosteron yang menyebabkan maskulinisasi pada foetus dan membantu dalam proses pembentukan penis dan scrotum serta merangsang pertumbuhan Wollfian duct untuk membentuk epididymus, vas deferens, dan seminal vesicle. Sebaliknya jika spermatozoa X yang berhasil membuahi sel telur, maka akan dilahirkan anak betina dengan komposisi kromosom yang normal, yaitu XX . Ketidakhadiran gen testes determining factor akan menyebabkan gonad primordial berubah menjadi ovarium. Selanjutnya ovarium ( sel-sel granulosa dan sel-sel theca) akan mensekresesikan hormon estrogen yang merangsang pertumbuhan Mullerian duct untuk membentuk saluran reproduksi betina (Gilbert, 1988 dalam Saili dkk ., 1998). Upaya pemisahan dilakukan berdasarkan perbedaan kromosom pada semen pejantan yaitu X dan Y yang dapat menentukan jenis kelamin anak. Perbedaan spermatozoa diantara keduanya adalah pada berat, pergerakan, kandungan biokimia, muatan permukaan dan besar spermatozoa. Metode pemisahan spermatozoa yang dapat dilakukan antara lain adalah sedimentasi, immunologi, elektroforesis dan metode filtrasi (Saili et al., 1998). Metode lain yang juga dapat dilakukan antara lain adalah dengan kolum albumen (Susilawati et al., 2002). Menurut Saili (1999) penggunaan putih telur dapat sebagai pengganti bahan Bovine Serum Albumen (BSA). Penggantian bahan ini dapat lebih ekonomis jika dibandingkan dengan metode pemisahan lain.
Terdapat perbedaan kromosom pada individu ternak jantan dan betina. Perbedaan ini akan menentukan jenis kelamin anak yang dilahirkan. Sepasang kromosom umumnya terdiri dari pasangan kromosom homozigot/sejenis (XX) dan pasangan kromosom yang heterozogot/tidak sejenis (XY). Kromosom heterozigot dibawa oleh ternak jantan dengan produksi dua macam gamet yang seimbang yaitu gamet yang membawa kromosom X dan Y, sedangkan kromosom homozigot dibawa oleh ternak betina yang hanya menghasilkan satu jenis gamet. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa kombinasi gamet yang mungkin terbuahi hanya dua dan hasilnya 50% jantan dan 50% betina (Pineda, 1989). Spermatozoa hanya mengandung setengah jumlah DNA pada sel-sel somatik sebagai hasil pembelahan reduksi selama spermatogenesis, sehingga terbentuklah dua macam kromosom. Spermatozoa yang membawa kromosom X disebut spermatozoa X dan spermatozoa yang membawa kromosom Y disebut spermatozoa Y. Spermatozoa X pada mamalia jika membuahi sel telur akan menghasilkan embrio betina sedangkan spermatozoa Y akan menghasilkan embrio jantan (Graves, 1994 dan Toelihere, 1985). Semua sel tubuh akan didapatkan autosom-autosom yang berpasangan yang diploid dan satu pasang seks kromosom. Secara primer jenis kelamin ditentukan oleh kromosom seks. Hewan mamalia dalam semua sel tubuh betina didapatkan dua kromosom X dan pada hewan jantan didapatkan satu kromosom X dan satu kromosom Y (Yatim, 1986). Penerapan teknologi pemisahan spermatozoa masih terkendala diantaranya adalah penurunan kualitas yang diakibatkan oleh proses metabolisme yang berlebih yang kemudian menyebabkan asam laktat yang berdampak pada penurunan pH sehingga berakibat pada penurunan motilitas spermatozoa (Bearden dan Fuquay, 1984 dan Sonjaya et al., 2005). Alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan penambahan zat tertentu yang dapat mempertahankan kualitas spermatozoa, diantaranya adalah kafein. Kafein (1,3,7 Trimetyl 2,6 Dioksipurin) mampu meningkatkan motilitas pada spermatozoa yang tidak motil seperti yang terdapat pada testes dengan cara menghambat siklus nukleotida fospodiesterase dan mempengaruhi level intraseluler dari siklus AMP (El Gaafary et al., 1990). Hasil penelitian Lopez dan Alvarino (2000) menunjukan bahwa penambahan kafein pada semen kelinci yang disimpan selama 96 jam pada konsentrasi 0,2 mM/L dapat meningkatkan motilitas spermatozoa. Garbers et al. (1971) melaporkan bahwa peningkatan motilitas spermatozoa sapi dengan pemberian kafein, berhubungan erat dengan peningkatan kadar cAMP.
Hasil penelitian Hasbi et al. (2011) menjelaskan bahwa penambahan ekstrak kopi sebelum proses pemisahan dapat mengurangi laju penurunan motilitas spermatozoa selama penyimpanan. Motilitas dan persentase hidup spermatozoa hasil pemisahan menurun selama penyimpanan. Motilitas dan persentase hidup spermatozoa pada medium pemisah 30% (spermatozoa pembawa kromosom Y) lebih tinggi jika dibandingkan pada medium pemisah 10% (spermatozoa pembawa kromosom X). Motilitas adalah persentase spermatozoa yang bergerak maju kedepan. Motilitas dipengaruhi oleh perbedaan bangsa, waktu pemeriksaan dan juga ukuran tubuh. Semakin besar motilitas spermatozoa yang teramati maka semakin banyak jumlah spermatozoa yang masih bertahan hidup dan mampu bergerak. Integritas membran plasma spermatozoa sangat dipengaruhi oleh komposisi plasma semen (Herdis, 2005). Persentase membran plasma utuh adalah jumlah spermatozoa dengan keadaan dimana lapisan terluar spermatozoa tetap dalam keadaan utuh pasca pemisahan. Kerusakan membran plasma spermatozoa akan mengganggu metabolisme spermatozoa, akibatnya akan dapat menurunkan motilitas. Hal inilah yang membuat keduanya sangat berkorelasi (Yu dan Leibo 2002). Gliserol merupakan salah satu komponen yang berperan dalam menjaga kestabilan membran. Membran spermatozoa akan tetap stabil saat berada dalam plasma semen (Yanagimachi disitasi Hafez, 2000). Persentase spermatozoa dengan tudung akrosom utuh. Evaluasi parameter ini dapat dilakukan dengan melihat pada bagian kepala spermatozoa yang menunjukan warna gelap pada bagian atas kepala spermatozoa. Keutuhan tudung akrosom dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan semen, antara lain dengan adanya penurunan pH semen yang diakibatkan oleh peningkatan jumlah asam laktat (Samsudewa, 2006). Menurut Salisbury dan VanDemark (1985) penurunan pH semen akan meningkatkan ion hidrogen cairan semi gelatinous sapi sehingga akan menurunkan tekanan osmotik. Peningkatan ini akan menurunkan permeabilitas membran spermatozoa sehingga menyebabkan plasmolisis sel spermatozoa. Plasmolisis sel ini akan menyebabkan meluruhnya tudung akrosom. B.
Teori yang Melandasi Metode Minimum Esensial (MEM) Eagle’s
Metode minimum esensial (MEM), yang dikembangkan oleh Harry Eagle, merupakan salah satu yang paling banyak digunakan dari semua media kultur sel sintetis. Medium minimal esensial elang (MEM) merupakan kultur sel media yang dikembangkan oleh Harry Elang yang dapat digunakan untuk menjaga sel-sel dalam kultur jaringan.
Upaya awal untuk menumbuhkan fibroblast mamalia normal dan subtipe tertentu mengungkapkan bahwa mereka memiliki kebutuhan nutrisi tertentu yang tidak bisa dipenuhi oleh Medium Basal Eagle (BME). Penelitian selanjutnya menggunakan sel ini dan lainnya dalam budaya menunjukkan bahwa penambahan BME bisa dibuat untuk membantu pertumbuhan lebih banyak jenis sel rewel. MEM, yang menggabungkan modifikasi ini, termasuk konsentrasi yang lebih tinggi dari asam amino sehingga media semakin mendekati komposisi protein dari sel mamalia. MEM telah digunakan untuk budidaya berbagai macam sel tumbuh dalam mono-lapisan. Opsional suplementasi non-asam amino esensial dengan formulasi yang menggabungkan baik Hanks 'atau Eagles' garam telah memperluas kegunaan dari media ini. Formulasi telah dimodifikasi lebih lanjut oleh penghapusan opsional kalsium untuk memungkinkan pertumbuhan sel dalam suspensi. Kebanyakan formulasi yang ditawarkan di kedua bubuk dan bentuk cair. Selain itu, formulasi kebanyakan ditawarkan sebagai media lengkap atau variasi kekurangan yang memungkinkan pengguna untuk melengkapi dengan komponen umum seperti bikarbonat, glutamin atau kalsium. Variasi ini memberikan lebih banyak fleksibilitas dan kontrol atas penggunaan
akhir
dan
kesesuaian
medium.
Sebagian besar formulasi yang ditawarkan mengandung garam yang Earle asli. Namun, sejumlah formulasi mengandung garam Hanks '. Kedua fosfat dan bikarbonat buffer solusi garam mengandung ion yang sama: kalsium, magnesium, kalium, natrium, dan fosfat. Mereka berbeda dalam konsentrasi kalsium, natrium, dan dalam komponen penyangga. Buffered Hanks 'garam solusi mengandung konsentrasi jauh lebih rendah natrium bikarbonat dibandingkan garam tidak Earle yang buffer. Formulasi MEM asli berisi garam Earle dan sekelompok asam amino umumnya disebut sebagai asam amino esensial. Mereka dianggap penting karena sel-sel yang sedang dikembangkan tidak akan tumbuh tanpa kehadiran mereka. The 12 asam amino esensial adalah: L-arginin, L-sistin, L-glutamin, L-histidine, L-isoleusin, leusin L-, L-metionin, Lfenilalanin, L-treonin, L-triptofan, L-tirosin , dan L-valin. C. Tahapan-Tahapan Pelakasanaan Pemisahan Spermatozoa
Tahap-tahap dalam pemisahan spermatozoa yaitu sebagai berikut :
Penyiapan Semen
Metode penyiapan spermatozoa menurut Toelihere (2001) yaitu semen sapi ditampung menggunakan vagina buatan,kemudian dibawa ke laboratorium untuk dievaluasi secara makroskopis (volume, warna,bau, pH, dan kekentalan) dan mikroskopis(gerakan
massa, persentase motilitas, konsen-trasi, persentase abnormalitas, dan persentase hidup mati).
Pemisahan Spermatozoa
Metode pemisahan menurut Saili (1999),yaitu semen sapi yang ditampung (ejakulat) dicuci dengan penambahan medium BO (Brackett-Oliphant) dan disentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama 10 menit. Medium BO ditambahkan kembali pada endapansemen sampai konsentrasi menjadi 150 juta selper mililiter. Satu mililiter sampel dimasukkanke dalam tabung yang telah berisi kolom albu-min bertingkat 10% dan 30%, kemudian dibiarkan selama satu jam pada suhu 280 Fraksi semen bagian atas dipisahkan dari fraksi semen bagian bawah dengan menyedot masing-masing fraksi menggunakan pipet dan ditampung dalam tabung centrifuge, kemudian dicuci menggunakan medium BO dengan sentrifugasi pada kecepatan 2500 rpm selama10 menit.
Evaluasi Spermatozoa
Preparat ulas spermatozoa dibuat dari masing-masing fraksi semen dengan pewarnaan diferensial menggunakan larutaneosin 2%, selanjutnya pengukuran panjang dan bagian terlebar kepala spermatozoa dilakukan di bawah mikroskop cahaya pembesaran 10 x100 dengan menggunakan lensa mikrometer.Jumlah spermatozoa yang dihitung dari masingmasing fraksi adalah 200 sel spermatozoa, yang berukuran kepala lebih besar dari kontrol dikategorikan sebagai spermatozoa X, sedangkan bila ukuran kepala lebih kecil darikontrol dikategorikan sebagai spermatozoa Y (Saili,1999). D. Kelebihan dan Kekurangan dalam Pemisahan Spermatozoa Metode Minimum Esensial Media (MEM) Eagle’s.
Penggunaan metode minimum esensial media atau pemisahan kelamin ini pada mamalia bisa sangat akurat dean hasilnya keturunan akan menjadi normal. Meningkatnya atau menurunnya abnormalitas tidak bisa dihitung atau diatur tanpa adanya kontrol yang jelas. Mesikipun proses sexing ini bisa menghilangkan sperma yang mati dan beberapa sperma yang anuploid, ini tidak sepenuhnya bisa mengurangi abnormalitas pada perkawinan karena abnormalitas terjadi pasa sperma yang tidak mengalami proses sexing dan hasilnya adalah terjadi abortus. Penggunaan sexing dengan metode ini memiliki kelebihan yaitu bisa dievaluasi secara berkala. Metode ini bisa dilakukan cepat atau prosesnya tidak memakan waktu lama.
III. KESIMPULAN
Berdasarkn pembahasan makalah diatas, maka dapat disimpulkan bahwa Metode minimum esensial (MEM), yang dikembangkan oleh Harry Eagle, merupakan salah satu yang paling banyak digunakan dari semua media kultur sel sintetis. Medium minimal esensial elang (MEM) merupakan kultur sel media yang dikembangkan oleh Harry Elang yang dapat digunakan untuk menjaga sel-sel dalam kultur jaringan. Penggunaan sexing dengan metode ini memiliki kelebihan yaitu bisa dievaluasi secara berkala. Metode ini bisa dilakukan cepat atau prosesnya tidak memakan waktu lama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimous, 2011.http://husbandryanimalthomndsgregoriuss.blogspot.com/2011/1 2/v-behaviorurldefaultvmlo.html. Pemisahan Spermatozoa X Dan Spermatozoa Y. Diakses pada Tanggal 18 Desember 2012, Pukul 14.00 WITA. Anonimous, 2012.http://susenobayuwibowo.blogspot.com/2012/11/teknologisexingspermatozoa-x-dan-y.html. Teknologi Sexing Spermatozoa X dan Y . Diakses pada Tanggal 18 Desember 2012, Pukul 18.00 WITA. Saili, T. 1999. Efektivitas penggunaan albumin sebagai medium separasi dalam upaya mengubah rasio alamiah spermatozoa pembawa kromosom X dan Y pada sapi . Tesis.Program Pasca Sarjana, IPB, Bogor. Toelihere, M. R. 2001. Prosesing dan pembekuan semen serta pemanfaatan semen beku. Pelatihan Transfer Embrio dan Prosesing Sperma. Proyek Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong. Diposting oleh Basrudin fapet di 18.27 Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
PENGAMBILAN, PENGAWETAN, DAN PENGAMATAN SPERMA
Laporan Praktikum ke-5 m.k. Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik
Hari/Tanggal : Senin/ 19 November 2012 Asisten
: Cahya Lestari
PENGAMBILAN, PENGAWETAN, DAN PENGAMATAN SPERMA
KELOMPOK II
Intan Kurnia Sakarosa
C14100056
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 I. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Salah satu permasalahan fertilisasi pada budidaya ikan air tawar adalah rendahnya tingkat fertilisasi dari spermatozoa di dalam air. Hal ini mengakibatkan banyaknya sel telur yang tidak terbuahi secara sempurna (Masrizal dan Efrizal 1997). Pada satu siklus reproduksi ikan dapat dihasilkan sel telur sampai jutaan per ekor, tetapi yang terbuahi hanya mencapai 5% dari total. Adapun permasalahan lain adalah kurangnya ketersediaan cairan spermatozoa pada waktu pembuahan buatan. Rendahnya pembuahan spermatozoa dalam fertilisasi buatan ini juga disebabkan oleh aktivitas spermatozoa yang relatif singkat (Nurman 1998). Hal tersebut dapat disebabkan oleh singkatnya waktu viabilitas dan motilitas dari spermatozoa, sehingga kemampuan spermatozoa untuk menembus lubang mikrofil pada sel telur rendah. Selain itu, penyebab lain adalah kelangsungan hidup sperma diluar tubuh ikan umumnya singkat hanya beberapa puluh detik hingga beberapa puluh menit. Adapun upaya yang bisa dilakukan adalah memperpanjang umur sperma pada ikan dengan pengawetan. Oleh karena itu, diperlukan adanya suatu upaya untuk mempelajari cara pengambilan, pengamatan serta pengawetan sperma untuk memperpanjang umur sperma hingga memiliki tingkat motilitas yang tetap tinggi dalam membuahi sel telur.
1.2
Tujuan Praktikum ini bertujuan untuk mempelajari cara pengambilan, pengawetan dan pengamatan sperma serta mengetahui angka motilitas sperma pada bio ta perairan.
II. METODOLOGI
2.1
Waktu dan Tempat Praktikum pengambilan, pengawetan dan pengamatan sperma dilakukan pada hari senin tanggal 12 November 2012 pukul 07.00 - 10.00 WIB, bertempat di Laboratorium Perkembangbiakan Ikan 3 (PBI 3), Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
2.2
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan pada praktikum pengambilan, engawetan dan pengamatan sperma ikan yaitu syringe 1 ml, gelas objek, mikroskop, stopwatch, kulkas, tusuk gigi, pipet tetes, botol film dan tissue. Selain itu, bahan yang digunakan antara lain air, sperma induk jantan ikan mas dan akuades.
2.3
Prosedur Kerja Mula-mula disiapkan syringe 1 ml, effendorp, tissue kemudian, induk ikan mas jantan diambil untuk dikeluarkan spermanya. Selanjutnya, bagian lubang pengeluaran sperma dilap dengan tissue hingga kering dan disiapkan pula syringe 1 ml kemudian, bagian perut ikan di streefing (diurut) hingga sperma yang berupa cairan berwarna putih keluar dan disedot dengan syringe. Setelah sperma dikeluarkan dan disedot dengan syringe kemudian, sperma tersebut dimasukkan ke dalam botol film untuk diamati. Kemudian diambil untuk dilakukan pengamatan di bawah mikroskop dengan perlakuan suhu ruangan. Sperma diletakkan di gelas objek dan akuades diberikan ditempat yang berbeda pada satu gelas objek, kemudian stopwatch disiapkan dan pada saat sperma telah tercampur air stopwatwatch mulai dihidupkan, pengamatan dilakukan sampai sperma mati semua. Untuk perlakuan suhu rendah, pengamatan dilakukan setiap 30 menit sekali.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1
Hasil Berikut tabel hasil pengamatan sperma ikan mas ( Cyprinus carpio) pada perlakuan suhu ruang dan suhu rendah. Tabel 1. Hasil pengamatan sperma ikan Mas (Cyprinus carpio) 2
5
IM
Detik ke-
IM
Detik ke-
5
0
5
0
4
60
4
150
3
86
3
240
2
120
0.25
228
0
249
Keterangan:
2 = kelompok 2 perlakuan suhu ruang
5 = Kelompok 5 perlakuan suhu rendah
Berdasarkan tabel 1 diatas dapat kita ketahui bahwa untuk perlakuan suhu ruang yang diamati kelompok 2, pada detik ke-249 sperma sudah mulai tidak menunjukkan gerakan. Sedangkan untuk perlakuan suhu rendah diamati oleh kelompok 5, pada detik ke-240 menunjukkan angka motilitas 3 yaitu: banyak sperma bergerak cepat dan yang lain bergetar di tempat. Berikut grafik hasil pengamatan sperma pada perlakuan suhu ruang dan suhu rendah.
Gambar 1. Grafik pengamatan sperma
Berdasarkan gambar 1 di atas dapat kita ketahui bahwa untuk perlakuan suhu ruang yang diamati kelompok 2, pada detik ke-249 sperma sudah mulai tidak menunjukkan gerakan. Sedangkan untuk perlakuan suhu rendah diamati oleh kelompok 5, pada detik ke-240 menunjukkan angka motilitas 3 yaitu: banyak sperma bergerak cepat dan yang lain bergetar di tempat.
3.2
Pembahasan Sel sperma adalah sel padat yang tidak tumbuh atau membelah diri. Cairan sperma adalah larutan spermatozoa yang berada dalam cairan seminal dan dihasilkan oleh hidrasi testis. Sperma memiliki bagian antara lain, kepala yang berinti tebal dan sedikit sitoplasma diselubungi oleh selubung tebal yang disebut akrosom; badan sperma terletak dibagian tengah sperma dan banyak mengandung mitokondria sebagai penghasil energi untuk pergerakan sperma; ekor untuk alat pergerakan sperma (Anonim 2008). Adapun sel sperma pada ikan cyprinidae dalam hal ini adalah ikan mas menurut Affandi dan Tang (2002), memiliki kepala sperma yang berbentuk oval sedikit memanjang dimana perbandingan panjang lebih kepala sedikit lebih besar daripada leher kepala dan memiliki lebar kepala sperma lebih besar dibanding ikan nilem, tawes dan barbir, sehingga ikan mas digunakan untuk membuahi telur ikan nilem, tawes, dan barber maka diperoleh jumlah larva yang relative rendah karena kepala sperma tidak mampu membuahi telur. Sebaliknya sperma ikan nilem, tawes, dam barber dapat membuahi telur ikan mas yang berukuran diameter mikrofilnya lebih
besar. Menurut Risnawati dalam Affandi dan Tang (2002), ukuran lebar kepala ikan mas berkisar 1.832 +- 0.178 im dengan panjang ekor 33.733 +- 2.093 im. Motilitas sperma bergantung terhadap suhu, pH, tekanan osmotic, elektrolit, non elektrolit, dan cahaya. Pada umumnya, sperma sangat aktif dan tahan hidup lebih lama pada pH yang berkisar 7.0. Mortilitas partial dapat dipertahankan pada pH 5 sampai 10. Sperma tetap motil untuk waktu lama di dalam media yang isotonic dengan darah. Pada umumya, sperma lebih mudah dipengaruhi oleh keadaan hipertonik daripada keadaan hipotonik (Affandi dan Tang 2002). Suhu mempengaruhi daya tahan hidup sperma. Peningkatan suhu akan mempengaruhi kualitas sperma dan dapat meningkatkan kadar metabolisme sehingga dapat mengurangi daya tahan hidup sperma pembekuan yang cepat dapat melindungi sperma dari kerusakan akibat efek larutan tetapi dapat mengakibatkan cold shock dan pembentukan kristal es yang akan merusak sperma. Pembekuan yang lambat akan mencegah munculnya kristal es tetapi akan menyebabkan naiknya konsentrasi garam dan tekanan osmotik yang akan merusakan protein yang dikandung oleh sel. Proses pembekuan yang salah akan menyebabkan kerusakan permanen pada sperma yang ditandai dengan bentuk yang tidak normal, pergerakan yang tidak normal, motilitas yang rendah, kerusakan membran plasma dan kematian sel (Scot dan Baynes 1980 dalam Hidayaturrahmah 2007). Pada praktikum pengambilan, pengawetan, dan pengamatan sperma dilakukan 2 perlakuan yaitu perlakuan dengan suhu rendah dan perlakuan dengan suhu ruangan. Dapat dilihat pada detik ke-249 untuk perlakuan suhu ruangan mendapatkan angka motilitasbsebesar 0 yaitu: semua sperma tidak bergerak dan bergetar. Sedangkan pada suhu rendah pada detik 240 mendapat angka motilitas sebesar 3 yaitu banyak sperma bergerak cepat dan yang lain bergetar di tempat. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pada penyimpanan suhu rendah, dapat mempertahankan kualitas sperma. Setiap perlakuan mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Untuk perlakuan suhu rendah mempunyai kekekurangan yaitu penyimpanan pada suhu rendah mempunyai resiko terjadi cold shock , untuk itu perlu ditambah suatu bahan yang dapat meminimal dampak negetif tersebut, misal kuning telur. Lesitin dan lipoprotein dalam telur dapat melindung selubung lipoprotein membran spermatozoa. Kadar kuning telur 20% dalam semen cair terbukti mampu menekan kerusakan sperma akibat cold shock (Weitze 1993 dalam Hidayaturrahmah 2007). Sedangkan untuk kelebihannya pada perlakuan suhu rendah penyimpanan rendah akan menekan aktivitas dan metabolisme sperma sehingga daya hidup sperma akan lebih lama. Penyimpanan semen pada 5 oC terbukti mampu mempanjang daya hidup sperma dibandingkan pada semen yang disimpan pada suhu kamar (Weitze 1993 dalam Hidayaturrahmah 2007). Untuk perlakuan suhu ruangan memiliki kekurangan yaitu daya hidup sperma akan lebih pendek karena sperma akan terus melakukan
aktivitas dan metabolisme sehingga daya hidup sperma akan lebih singkat. Sedangkan untuk kelebihannya tidak terjadi cold shock yang terjadi ada suhu rendah. Berdasarkan praktikum dilakukan pengawetan dengan menggunakan suhu rendah dan suhu ruangan. Terdapat metode pengawetan sperma selain menggunakan suhu rendah dan suhu ruangan yaitu dengan metode penambahan ekstender madu setelah proses pembekuan (Rini et al 2010), dengan penambahan madu setelah proses pembekuan akan meningkatkan daya hidup spermatozoa. Metode ini telah diteliti pada ikan komet (Carassius auratus auratus), dengan dosis yang diberikan 0,3%; 0,4% ; 0,5% ; 0,6% dan 0,7%. Penambahan dengan dosis yang berbeda berpengaruh pada daya tahan spema itu sendiri. Selain itu dengan equilibrasi yaitu pengawetan dengan menggunakan pendingin dengan mengurangi metabolisme. Selama itu terjadi mengurangi gliserol ke dalam spermatozoa untuk menciptakan keseimbangan konsentrasi intarselluler dan ekstraselluler. Tujuannya penyesuaian antara spermatozoa dengan pengencer dan suhu sebelum pembekuan. Metode selanjutnya vaporasi, vaporasi adalah proses merubahnya molekul didalam keadaan cair, serta metode freezing (Iskandar et al . 2005). Pengawetan sperma dapat dilakukan pada ikan mas, ikan salmon, ikan trout dll. Hal ini dikarenakan kurangnya ketersediaan stok benih, adanya masalah dalam ketersediaan induk jantan, ketidaksinkronan pemijahan, serta ikan-ikan salmon, trout sudah mulai mengalami kelangkaan. Pengawetan sperma dapat diaplikasikan dalam proses budidaya. Mengingat semakin menurunnya produktifitas perikanan yang disebabkan kurangnya ketersediaan benih dan tidak sinkronnya pemijahan. Selain itu aplikasi pengawetan sperma ini dapat digunakan untuk proses fertilisasi dengan metode Gynogenesis dapat tersedia setiap saat dan mutu dan sperma terutama adalah dan pejantan yang unggul. Keuntungan dan metode Gynogenesis Triploidi adalah benih yang dihasilkan mandul sehingga pertumbuhan ikan cepat (Sujono 2004).
IV. KESIMPULAN
4.1
Kesimpulan Praktikum pengambilan, pengawetan, dan pengamatan sperma dapat disimpulkan, pengawetan dan pengamatan sperma seta angka motilitas sperma pada biota perairan berbedabeda. Daya tahan sperma dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, pH, tekanan osmotic, dan cahaya. Selain itu ukuran lebar kepala sperma dan panjang ekor juga memngaruhi gerak sperma dan daya tahan sperma. Dengan dilakukan pengawetan sperma dapat mengatasi ketersediaan benih, seta dapat menyingkronisasi waktu pemijahan.
4.2
Saran Praktikum selanjutnya dapat gunakan jenis ikan yang berbeda pula, agar dapat mengetahui perbedaan lama waktu bertahan sperma setiap jenis ikan yang diuji.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Fertilisasi dan Gestasi. http://www.e- dukas i.net . [15 November
2012]
Hidayaturrahmah. 2007. Waktu Motilitas Dan Viabilitas Spermatozoa Ikan Mas
(Cyprinus carpio L)
Pada Beberapa Konsentrasi Larutan Fruktosa.
http://www.bioscientiae.unlam.ac.id/ [15
November 2012]
Iskandar S, Mardalestari R. 2005. Pengaruh jenis, konsentrasi krioprotektan dan terhadap arab.
kualitas
semen
metode thawing
beku
peternakan.litbang.deptan.go.id/fullteks/jitv/jitv111-5.pdf [15 November
ayam 2012]
Rini P S, Rahardja B, Mubarak. 2010. Penambahan ekstender madu dalam proses penyimpanan sperma beku terhadap motilitas dan viabilitas spermatozoa ikan auratus). http://
komet (Carassius auratus
alumni.unair.ac.id/kumpulanfile/3250828321_abs.pdf. [15 November 2012]
Sujono. 2004. Teknologi pembekuan sperma sebagai stock proses gynogenesis
triploidi dalam
rangka meningkatkan kualitas dan produksi benih ikan mas (cyprinus carpio). http://Sujono jurnaledukasi- 892-1650-1-PB.pdf [15
November 2012]
Pendahuluan
Saat ini, pemerintah kembali mencanangkan program swasembada daging 2014 yang berarti bahwa produksi daging dalam negeri harus mampu mencapai 90 – 95% dari total kebutuhan daging nasional. Namun, bercermin pada kondisi peternakan tahun 2000, jumlah populasi ternak potong penghasil daging sangat mengkhawatirkan. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak daerah yang mengalami penurunan populasi ternak potong yang cukup tinggi khususnya pada ternak lokal yang merupakan plasma nutfah asli Indonesia. Rendahnya produktivitas ternak lokal Indonesia mendorong beberapa teknologi untuk diterapkan guna mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu teknologi yang sering diaplikasikan yaitu teknologi Inseminasi Buatan (IB). IB merupakan suatu cara atau teknik untuk memasukkan mani (sperma atau semen) yang telah dicairkan dan telah diproses terlebih dahulu yang berasal dari ternak jantan ke dalam saluran alat kelamin betina dengan menggunakan metode dan alat khusus yang disebut “ insemination gun”. Teknologi IB sendiri merupakan teknologi yang efektif dan murah dikarenakan teknologi IB lebih sedikit menggunakan bahan-bahan kimia dan biologis dari pada dengan menggunakan teknologi transfer embrio (TE) atau dengan teknologi fertilisasi in vitro (FIV). ( Herdis, 2000 ). Keberhasilan inseminasi buatan memerlukan semen yang berkualitas baik dengan daya hidup semen yang tinggi, sehingga proses pengolahan semen perlu sangat diperhatikan. Semen segar terbukti menghasilkan fertilitas lebih tinggi, biaya lebih murah dan tingkat keberhasilannya yaitu semen beku 1 juta semen cair sebanding dengan 15 juta semen beku (Morel, 1999). Dalam pemanfaatan semen cair dibutuhkan teknologi dalam menjaga kualitas semen salah satunya dengan metode pengawetan sperma dengan metode chilling . Pengawetan sperma ada beberapa macam diantaranya pendinginan dan pembekuan (Toelihere, 1985). Yang dimaksud dengan chilling semen adalah pengawetan sperma dengan cara diencerkan dan diikuti dengan pendinginan sampai suhu 5 °C (Situmorang at al , 2000; Mardiyah, 2001) sehingga pembuatannya lebih cepat dari pembekuan sperma yang didinginkan sampai -196 °C. Pengenceran dilakukan untuk menjamin kebutuhan fisik dan kimiawi, dan penyimpanan pada suhu 5 °C dapat mempertahankan kehidupan sperma dalam waktu tertentu untuk kemudian dipakai sesuai dengan kebutuhan. Chilling semen dibuat untuk mempermudah pelaksanaan inseminasi buatan di lapangan, sehingga lebih praktis dan lebih ekonomis bila dibandingkan dengan menggunakan semen beku yang selalu tergantung pada ketersediaan nitrogen cair dan kontainer NZ yang cukup
mahal. Pemeliharaan semen ini cukup hanya disimpan di dalam suhu 5 °C dan bisa bertahan sampai 1 minggu (Situmorang at al , 2000; Mardiyah,2001). Konsentrasi sperma yang dihasilkan berbeda pada tiap individu ternak dan dapat mencapai lebih dari 2000 juta, sedangkan penggunaannya pada 50 juta/ml sudah cukup baik. Oleh karena itu pada makalah ini dipelajari konsentrasi pengenceran yang menghasilkan mutu sperma yang baik untuk mendapatkan sperma hidup yang lebih panjang, dalam menunjang keberhasilan program inseminasi buatan. Teknologi Inseminasi Buatan
IB yang lebih dikenal dengan kawin suntik merupakan cara pemasukan spermatozoa ke dalam organ reproduksi betina dengan suatu alat tertentu dengan bantuan manusia, dan melalui proses sejak penampungan semen, penilaian, sampai penilaian hasil dari inseminasi buatan (Ridwan, 2009). Semen yang digunakan untuk keperluan inseminasi buatan pada umumnya ditampung dengan vagina buatan. Cara penampungan juga dilakukan dengan cara mengurut-ngurut vesikula seminalis dan ampula uretra pada ternak jantan dengan tangan yang disebut dengan cara message atau palpasi dalam. Cara lain yang juga sering digunakan dengan menggunakan alat yang disebut electro ejakulator (Partodihardjo, 1992). Semen yang sering digunakan dalam IB ialah semen beku produksi Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB). Menurut Morel (1999) IB dengan semen cair terbukti menghasilkan fertilitas lebih tinggi dan lebih murah daripada semen beku. Fertilitas Semen Segar
Semen adalah cairan suspensi seluler yang mengandung gamet jantan atau spermatozoa dan merupakan sekresi kelenjar asesoris pada saluran reproduksi jantan. Cairan dari suspensi yang terbentuk saat ejakulasi disebut seminal plasma (Hafez, 2000). Seminal plasma merupakan sekresi epididimis dan kelenjar kelamin asesori yaitu vesica seminalis, prostata dan bulbourethralis. Sekresi tersebut berfungsi sebagai buffer dan medium bagi spermatozoa agar daya hidupnya dapat dipertahankan secara normal setelah ejakulasi (Hafez, 2000; Partodihardjo, 1982). Fertilitas semen segar pada proses inseminasi buatan sangat berpengaruh pada tingkat keberhasilan IB, hal ini karena semen cair segar terbukti menghasilkan fertilitas lebih tinggi dan biaya lebih murah daripada semen beku (Morel, 1999). Keuntungan penggunaan sperma cair adalah satu juta spermatozoa cair sebanding dengan menggunakan 15 juta spermatozoa beku pada proses inseminasi untuk mendapatkan fertilitas yang sama pada ternak sapi. Fertilitas sperma cair dapat dipertahankan hingga 3-5 hari apabila disimpan pada temperatur 10oC-15oC, sesudah itu mengalami penurunan fertilitas 3%-6% setiap harinya. Viabilitas atau daya hidup spermatozoa dapat diperpanjang apabila dalam bahan pengencer ditambahkan antioksidan.(Ismaya, 2009). Dalam proses penampungan semen harus selalu diperhatikan kebersihan untuk mencegah kontaminasi semen. Penanganan dan perlakuan terhadap pejantan harus tepat dan teliti. Hal ini penting untuk memberikan stimulasi yang cukup sebelum penampungan, yang akan meninggikan kuantitas dan kualitas semen yang diperoleh (Toelihere, 1993).
[1] Mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Brawijaya Kerangka Berfikir
Kerangka Berfikir Analisis Ekonomi Semen Segar dan Semen Beku
Dengan Asumsi Kebutuhan IB sebanyak 120 ekor/hari, maka diperlukan 3600 straw/bulan. a) Semen Beku Biaya produksi semen Beku (3600 straw/bulan) -Pembelian 3600 Straw Semen Beku = Rp 23.400.000 -Nitrogen Cair 30 Liter
= Rp
180.000
-Biaya Penyusutan Kontainer
= Rp
200.000 +
Total Biaya semen beku
Rp23.780.000
b) Semen Segar Biaya Produksi Semen Dingin (3600 straw/Bulan) Bahan kimia untuk 3600 Straw Kuning telor
= Rp. 10.000
Citric acid 1 2,06 g
= Rp. 27.100
Tris Citrat 22,5 g
= Rp.101.900
Fruktosa 9 g
= Rp. 13.300
Glycerol 36 ml
= Rp. 25.200
Antibiotik penstrep
= Rp. 10.000
Pembelian 3600 straw kosong = Rp. 1.800.000 Alat-Alat Laboratorium
= Rp 1.666.666
(Rp. 100.000.000/60 bln) Penyusutan Gedung
= Rp 208.333
(Rp.50.000.000/240 bln) Tenaga Kerja
= Rp 1.800.000
(3 orangxRp.600.000) Pakan Konsentrat dan Rumput Untuk pejantan/bulan
= Rp 480.000 = Rp 629.830
Over head (listrik dll) 10% total Total Biaya
+
= Rp 6.772.329
Keuntungan jika memakai semen dingin = Rp. 23.780.000 – Rp 6.772.329 = Rp 17.007.671 Pengenceran Semen
Semen yang tidak diencerkan, sukar mempertahankan hidupnya lebih dari 24 jam, walaupun disimpan dalam suhu rendah. Karena spermatozoa yang senantiasa bergerak aktif, maka cadangan energi di dalam semen yang tidak diencerkan akan cepat habis digunakan. Selain itu semakin meningkatnya kadar asam laktat yang terbentuk makin meningkat derajat keasaman semen yang bersifat racun terhadap spermatozoa. Pengencer semen beku harus mengandung sumber nutrisi, buffer, bahan anti cold shock, anti biotik dan krioprotektan yang dapat melindungi spermatozoa pada saat pendinginan , pembekuan dan thawing. Sumber nutrisi yang paling banyak digunakan adalah kabohidrat terutama fruktosa yang paling mudah dimetabolisir oleh spermatozoa (Toelihere , 1993) Beberapa bahan pengencer yang umum digunakan dalam pengencer semen adalah kuning telur, susu, air kelapa. Bahan pengencer lain yang berpotensi dimanfaatkan untuk dapat mempertahankan kualitas spermatozoa adalah pengencer NaCl Fisiologis, Ringer Laktat dan Ringer Dextrose. Ketiga larutan tersebut dapat digunakan sebagai pengencer semen sebab komposisi kimianya relatif isotonis dengan cairan tubuh dan plasma semen. Larutan pengencer semen yang memiliki komposisi kimia lebih lengkap akan memberikan fungsi yang baik bagi spermatozoa yang diencerkan, subtrat-subtrat nutrisi diperlukan spermatozoa untuk mempertahankan hidupnya, terutama bagi spermatozoa yang disimpan terlebih dahulu
sebelum diinseminasikan (Ridwan, 2008). Pada penelitian yang dipelajari Umiyasih et al (1999) yang memperoleh daya tahan hidup spermatozoa sapi madura selama 5 hari dalam pengencer air susu yang mengandung gliserol. Teknik Pengenceran dengan Metoda Pembuatan sediaan pelarut
Pembuatan larutan tris-sitrat
Pembuatan larutan tris-sitrat 3.5 Pembuatan sediaan pengencer tris-sitrat kuning telur
Pembuatan sediaan pengencer tris-sitrat kuning telur 3.6 Perhitungan pengenceran
Rumus perhitungan = E Keterangan :
A x Bx Cx D
= X
A = Jumlah sperma dalam 5 kotak kamar hitung B = 50000 (faktor hasil perhitungan kamar hitung) C = Banyaknya pengenceran sperma D = Jumlah sperma hidup (%) E = Konsentrasi semen cair yang dipergunakan (Juta sperma hidup/ml) X = Jumlah Pengenceran Contoh Perhitungan : Dari satu kali ejakulasi didapatkan data sebagai berikut : A = 121
B = 50000
D = 79
E = 50 Juta
C = 400
Pengenceran yang dibutuhkan adalah : 121 x 50000 x 400 x 0.79 = 38 Jadi 1 ml sperma di encerkan 38 kali 50 Juta Setelah konsentrasi sperma dihitung, maka didapatkan banyaknya pengenceran sebesar 38 kali. Pengencer yang tersedia 50 ml yaitu terdiri dari 25 ml l arutan A dan 25 ml larutan B, kemudian dimasukkan ke dalam pendingin air dengan suhu ± 35°C. Setelah itu sebanyak 1350 ul semen dimasukkan ke dalam larutan A, diaduk sampai rata dengan cara menggoyangkan tabung pelan-pelan, lalu stop kontak pendingin air dinyalakan agar suhu turun sedikit demi sedikit. Penambahan larutan B ke dalam larutan A yang sudah berisi semen diatur menjadi tiga kali berturut-turut apabila suhu telah sampai ke 15°C, 10°C dan 5°C. Setelah selesai penambahan larutan B kemudian tabung digoyangkan dengan hati-hati agar semua pengencer tercampur dengan rata, kemudian pergerakan sperma dievaluasi di bawah mikroskop . Daftar Pustaka Herdis Et al. 1998. Inseminasi Buatan Teknologi Tepat Guna solusi dalam meningkatkan populasi ternak Akibat Krisis Ekonomi. Deptan. Ismaya, 2009, Konservasi Spermatozoa : Perkembangan, Hasil dan Potensi di masa yang akan datang . http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/746_pp0906030.pdf (online), diakses 10 Maret 2012 Partodiharjo , S. 1992.. Fisiologi Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. IPB. Bogor. Mardiyah , Enok.2001.Teknik Pengenceran Pada Pembuatan Chilling Semen sapi. Temu Teknis Fungsional Non Peneliti 2001