Teknik Penanganan Panen dan Pasca Panen Tanaman Pisang
Secara umum teknik penanganan panen tanaman pisang ini sudah disinggung dalam standart operasional budidaya budidaya tanaman pisang, pisang, diketahui diketahui
bahwa hasil hasil yang
diinginkan dari tanaman pisang yang dipanen ialah buahnya, artinya untuk memanen dengan cara yang baik perlu diperhatikan terlebih dahulu dari segi kar akteristik, fisiologis buah pisang ini, bagaimana buah yang layak untuk dipanen sehingga hasil panen yang didapat berkualitas tinggi, terutama pada buah pisang segar atau buah meja yang perlu lebih diperhatikan agar hasil panennya membuat konsumen tertarik mengkonsumsinya. Perubahan fisik dan kimia buah yang terjadi setelah panen menentukan kualitas buah yang dikonsumsi. dikonsumsi. Perubahan fisik yang te rjadi diantaranya adalah perubahan warna kulit buah, ukuran buah, morfologi dan struktur permukaan, serta kekerasan buah. Proses pematangan juga menyebabkan perubahan kimia seperti perubahan komposisi karbohidrat, asam organik serta aroma yang disebabkan oleh senyawa volatil (Diennazola, 2008). Mutu buah merupakan ukuran kelayakan buah tersebut untuk dikonsumsi serta berhubungan dengan preferensi konsumen. Tingkat kesukaan konsumen terhadap buah tersebut ditentukan oleh kandungan kimia buah yang dapat mempengaruhi rasa buah, yaitu kadar kemanisan dan kemasaman buah, serta jumlah j umlah bagian yang dapat dimakan pada buah (Santoso & Purwoko, 1995). Kemanisan buah terus meningkat selama pematangan p ematangan dipengaruhi oleh pemecahan polimer karbohidrat karbohidrat menjadi gula gula seperti sukrosa, fruktosa, dan glukosa. Bagian buah buah yang yang dapat dimakan dipengaruhi oleh kandungan air buah. Proses respirasi yang terjadi selama proses pematangan menyebabkan terjadinya perpindahan air dari kulit buah ke daging buah secara osmosis sehingga kandungan air pada daging buah menjadi meningkat (Diennazola, 2008). Untuk tingkat kematangan buah pisang cavendish sendiri dapat dilihat pada tabel 2, berikut ini:
Sumber : Satuhu dan Supriyadi, (2000) Mutu buah juga dilihat dari daya tahan simpan buah yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain tingkat kemasakan, faktor genetik yang mencakup ketebalan dan kelenturan kulit, tekstur daging buah, komponen penyusun kulit dan daging buah (Antarlina, 2009). Kekerasan buah berkaitan dengan ketebalan dan kelenturan kulit. Masing-masing buah mempunyai komposisi bahan pada kulit dan daging buah yang berbeda dan dapat menyebabkan perbedaan kelenturannya. Buah yang berkulit tipis dan tekstur daging lunak memiliki daya simpan yang lebih pendek (Antarlina, 2009). Adapun proses fisiologis yang terjadi pada buah pisang yang sudah dipanen atau pada saat pasca panen, hal ini karena adanya proses respirasi. Meskipun sudah dipanen buah pisang masih melangsungkan proses respirasi. Respirasi adalah proses biologis dimana oksigen diserap untuk digunakan pada proses pembakaran yang menghasilkan energy dan diikuti oleh pengeluaran sisa pembakaran dalam bentuk CO2 dan air (Phan et al. 1986). Reaksi kimia sederhana untuk respirasi adalah sebagai berikut : C6H12O6 + 6O2 6CO2 + 6H2O + Energi Laju respirasi merupakan indeks untuk menentukan umur simpan buah-buahan setelah dipanen. Besarnya laju respirasi dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal seperti: tingkat perkembangan organ, susunan kimia
jaringan, ukuran produk, adanya pelapisan alami, dan karbon dioksida, senyawa pengatur pertumbuhan dan adanya luka pada buah (Phan et al. 1986). Menurut Phan et al. (1986) di dalam Pantastico (1986), besar kecilnya respirasi pada buah dan sayuran dapat diukur dengan cara menentukan jumlah substrat yang hilang, oksigen yang diserap, karbon dioksida yang dikeluarkan, panas yang dihasilkan dan energi yang timbul. Untuk menentukan laju respirasi, cara yang umum digunakan adalah dengan pengukuran laju penggunaan O2 atau dengan penentuan laju pengeluaran CO 2. Kemudian berdasarkan pola respirasinya, buah dapat dibedakan menjadi dua, yaitu buah klimakterik dan buah non-klimakterik. Buah klimakterik mengalami kenaikan CO 2 secara mendadak dan mengalami penurunan dengan cepat setelah proses pematangan terjadi, sedangkan buah non-klimakterik tidak terjadi kenaikan CO 2 dan diikuti dengan penurunan CO2 dengan cepat. Klimakterik ditandai dengan adanya proses waktu pematangan yang cepat dan peningkatan respirasi yang mencolok serta perubahan warna, citarasa, dan teksturnya (Rhodes, 1970). Ditinjau dari tipe respirasinya, buah pisang merupakan buah klimakterik yaitu golongan buah yang dalam proses pemasakan diiringi laju respiras i dan laju produksi etilen yang relatif tinggi. Selama proses pemasakan buah pisang akan mengalami perubahan sifat fisik dan kimia, antara lain perubahan tekstur, aroma dan rasa, kadar pati dan gula. Pada tahap pemasakan buah pisang, besarnya peningkatan kadar air sebanding dengan semakin menaiknya laju respirasi pada jaringan buah. Adanya perbedaan tekanan osmosis antara daging buah dan kulit buah selama proses penyimpanan diakibatkan oleh peningkatan kadar air pada daging buah (Dumadi, 2001). Menurut Rhodes (1970), pada awal perkembangan buah, kandungan pati meningkat terus dan setelah mencapai maksimum, makin tua buah kandungan pati makin menurun. Penurunannya disebabkan oleh perubahan pati menjadi gula yang digunakan untuk kegiatan respirasi. Kemudian juga setelah dipanen, kehilangan air tidak dapat dihentikan sehingga berakibat kehilangan bobot. Aktivitas respirasi dan transpirasi yang cukup tinggi pada buah menyebabkan kehilangan air yang cukup banyak sehingga ukuran sel dan tekanan sel terhadap dinding sel berkurang yang dapat mengakibatkan perubahan tekstur buah menjadi lunak (Pudja, 2009).
Pelunakan pada buah akan semakin cepat selama
penyimpanan. Pelunakan buah diakibatkan oleh senyawa pektin yang tidak larut berubah menjadi larut, sehingga tekstur buah akan mengalami penurunan tingkat kekerasan (Rachmawati, 2010). Setelah diketahui bagaimana karakteristik buah pisang ini, dapat diketahui bagaimana teknik yang baik untuk penanganan buah pisang cavendish agar didapatkan buah yang berkualitas tinggi. Menurut Sulusi, dkk; (2008) sebenarnya penanganan buah pisang ini, untuk mendapatkan buah segar matang dengan berkualitas tinggi, perhatian harus diberikan sejak penentuan buah untuk dipanen, kebersihan dan pencegahan serangan busuk buah, penanganannya sampai tempat tujuan dan proses pematangannya. Diagram 1 berikut menyajikan alur A adalah alur yang disarankan untuk penanganan segar buah pisang yang baik, dan alur B yang merupakan cara umum yang dilakukan oleh petani/pedagang buah pisang.
Praktik pada alur B yang memengaruhi kualitas adalah kegiatan panen yang tidak menggunakan acuan ketuaan panen yang tepat, belum diterapkannya pencucian dan pengendalian penyakit pascapanen sehingga buah kotor dan cepat rusak, cara penanganan yang kasar seperti melemparkan atau menjatuhkan tandan buah begitu saja saat pengangkutan, kemudian pengangkutan yang umumnya dengan cara menumpuk tandan buah pada bak truk dan menutup rapat dengan terpal, dan penggunaan bahan pemeram yang tidak tepat dosisnya akan menyebabkan buah cepat lunak. Kemudian a kibat lain dari cara penanganan yang kasar menyebabkan banyaknya buah cacat fisik karena luka, memar, atau menjadi buah patah. Pengangkutan secara curah dalam bak truk dengan penutup terpal menyebabkan lingkungan panas, respirasi dan penguapan ti nggi, sehingga buah layu dan tidak segar. 1
Pemotongan Sisir dan Pencucian Untuk menjaga kualitas buah pisang, cara terbaik dalam pengiriman buah adalah
dalam bentuk sisir yang dikemas dalam peti karton atau peti plastik yang bisa digunakan ulang. Pekerjaan pemotongan sisir dilakukan oleh pekerja di bangsal pengemasan menggunakan pisau khusus (dehander ). Biasanya pada saat dipotong, tiap sisir akan mengeluarkan getah. Untuk membekukan getah dan sekaligus membersihkan debu dan kotoran yang melekat pada permukaan buah, sisir-sisir pisang segera dimasukkan dalam bak berisi air. Jika satu sisir pisang berukuran besar dan berisi banyak, maka perlu dipotong lagi atau dalam bentuk klaster, agar lebih mudah penanganannya saat pengemasan. Air dalam bak harus sering diganti. Jika tidak, dapat merupakan sumber inokulum yang kemudian menginfeksi bagian crown dan menyebabkan busuk yang dikenal dengan crown rot yang dapat menjalar ke buah pisang. Untuk mencegahnya, dalam air pencucian dapat ditambahkan chlorin, berupa natrium hipochlorit 75-125 ppm untuk membunuh spora Fusarium, Cholletotrichum, dan Botryodiplodia serta fungi lain yang sering menyerang crown pisang. Buah kemudian ditiriskan. Perlakuan pengendalian penyakit pascapanen menggunakan fungisida dapat dilakukan setelah pencucian, baik melalui perendaman atau penyemprotan. 2
Penyakit Pasca Panen yang Menyerang Buah Pisang
Kualitas buah pisang di Indonesia kadang kurang baik, yang disebabkan oleh panen tidak tepat waktu (ketuaan tidak memenuhi syarat), kurangnya perawatan tanaman dan buruknya penanganan di kebun dan selama pengangkutan yang mengakibatkan kerusakan mekanis dan memberi peluang infeksi mikroorganisme penyebab busuk pascapanen lebih besar. Selain mikroorgan- isme yang masuk ke dalam buah melalui luka, serangan busuk buah juga sudah dimulai penetrasinya sejak buah masih di pohon. Mikroorganisme yang telah melakukan penetrasi tersebut adalah Colletotrichum sp, yang kemudian berada dalam keadaan laten, dan spora berkecambah saat buah menjadi matang. Pada umumnya busuk pada pisang di Indonesia adalah antraknos, tip rot , dan crown rot . Antraknos pada pisang menyerang permukaan buah, pada awalnya berupa bintik bintik coklat, kemudian makin melebar, cekung, kemudian muncul spora berwarna merah bata di tengah noda tersebut. Semakin lama bintik-bintik tersebut saling menyambung dan penampilan buah menjadi buruk. Antraknos muncul setelah buah matang kemudian menyebar dengan cepat, dan dalam 2-3 hari permukaan kulit buah telah rusak. Antraknos disebabkan oleh infeksi laten Colletotrichum sp yang telah menginfeksi buah sejak di kebun. Serangan crown rot pada buah pisang dipengaruhi oleh cara penanganan buah, lokasi dan tempat pemasarannya. Buah yang diambil langsung dari kebun, kemudian mendapat perlakuan hati-hati dan bersih, pada bagian crown hanya terserang oleh Colletotrichum sp dan Rhizopus sp. Selanjutnya, mulai dari pedagang pengumpul, pasar tradisional dan pasar swalayan mengalami penambahan mikroorganisme perusaknya. Yaitu terdapat Botryodiplodia sp, Fusarium sp. dan Penicillium sp. (Murtiningsih, et al., 1995). Hal ini memperlihatkan bahwa, buah pisang yang mendapat perlakuan hati- hati dan terjaga kebersihannya selama penanganan dapat mencegah infeksi mikroorganisme. Busuk pada crown banyak terjadi pada buah pisang yang ditransportasikan dalam bentuk sisiran, karena infeksi lebih mudah berlangsung dan umumnya buah tidak mendapatkan perlakuan pencegahan terhadap infeksi. Infeksi yang masuk melalui crown dapat menjalar sampai pangkal buah, bahkan seluruh buah hingga men yebabkan buah rontok.
3
Cara Mengatasi Serangan Penyakit Pasca Panen
Untuk mengendalikan busuk yang disebabkan serangan penyakit pascapanen dapat digunakan salah satu dari beberapa fungisida atau tanpa bahan kimia yaitu menggunakan pencelupan dengan air panas. Jika tidak ingin menggunakan fungisida, maka perlakuan dengan air panas sudah dapat membantu mengurangi dan menunda serangan busuk pada buah pisang. Pengendalian busuk pada pisang Raja Sere, Emas dan Lampung telah dilakukan penelitiannya menggunakan beberapa perlakuan yaitu benomil 500 ppm, zineb 1000 ppm, mankozeb 1000 ppm, dan perlakuan perendaman dalam air panas 55 oC selama 2 menit. Hasilnya memperlihatkan bahwa, benomil dan perlakuan air panas dapat menunda serangan penyakit pascapanen pada tiga kultivar pisang tersebut. Pada pisang Raja Sere yang mendapat perlakuan benomil mulai terserang setelah 11,4 HSP (HSP=hari setelah perlakuan) sementara perlakuan air panas memberikan gejala awal serangan setelah 11 HSP dengan buah tanpa perlakuan mulai terserang pada 8 HSP. Buah mulai matang pada 7,4 HSP. Pada pisang Emas dan pisang Lampung gejala awal serangan muncul lebih awal, dibandingkan dengan kontrol, hanya benomil yang efektif hingga 9,8 HSP (Emas) dan 8,6 HSP untuk pisang Lampung (Murtiningsih, et al., 1991). Kutipan hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa, buah pisang yang tidak mendapat perlakuan fungisida atau air panas, saat buah menjadi matang sudah mulai terdapat bintik-bintik serangan penyakit pascapanen pada permukaan buahnya, namun, jika buah mendapat perlakuan, awal serangan baru mulai paling cepat 3 hari setelah buah matang. Hal ini berarti, ketika buah dalam pemajangan/pemasaran hingga sampai konsumen dalam keadaan mulus. Untuk mengatasi serangan busuk pada crown, dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain pencelupan dalam air panas, pelapisan lilin+benomil, dan pengolesan dengan kapur sirih. Ternyata, yang paling mudah dan murah namun cukup efektif adalah pengolesan dengan kapur sirih pada crown. Gejala serangan pada crown muncul setelah 11,62 HSP, sementara pada kontrol, gejala muncul pada 4,50 HSP. Buah mulai matang setelah 10,50 HSP dan terserang pada 11,57 HSP. Jika digunakan perlakuan pelapisan lilin yang mengandung benomil, gejala serangan pada crown baru muncul setelah 13 HSP. Penggunaan fungisida prochloraz 0,55 ml/liter juga sudah diteliti, dapat menunda munculnya serangan penyakit pascapanen sampai 5 hari
dibandingkan perlakuan kontrol yang membutuhkan waktu 10-11 hari pada suhu kamar (Suyanti dan Sabari, 1988). Hanya saja prochloraz merupakan fungisida yang tidak beredar di Indonesia. 4
Pengemasan dan penyimpanan Pengemasan komoditi hortikultura adalah suatu usaha menempatkan komoditi
segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat sehingga mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan pada saat diterima oleh konsumen akhir dengan nilai pasar yang tetap tinggi. Dengan pengemasan, komoditi dapat dilindungi dari kerusakan, benturan mekanis, fisik, kimia dan mikrobiologis selama pengangkutan, penyimpanan dan pemasaran (Sacharow dan Griffin, 1980). Menurut Purwadaria (1997), perancangan kemasan selama transportasi ditujukan untuk meredam goncangan dalam perjalanan yang dapat mengakibatkan kememaran dan penurunan kekerasan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan meliputi jenis, sifat, tekstur dan dimensi bahan kemasan; komoditas yang diangkut, sifat fisik, bentuk, ukuran, struktur; dan pola susunan biaya transportasi dibandingkan dengan harga komoditas, waktu permintaan dan keadaan jalan yang akan dilintasi. Pengemasan buah pisang ditujukan untuk melindungi buah dari kerusakan mekanis dan memudahkan penanganan selama pengangkutan untuk distribusi dan pemasaran. Untuk itu, Mitchell (1985) menyebutkan beberapa persyaratan, yaitu: kemasan harus mampu melindungi isi terhadap kerusakan selama distribusi dan mampu mempertahankan bentuk dan kekuatan kemasan meski terkena kelembaban dan ditumpuk selama waktu penggunaannya. Kemasan yang baik juga mampu mengeluarkan panas dan uap air yang dihasilkan oleh buah pisang yang tetap melakukan respirasi. Untuk kemasan buah pisang, terdapat bermacam-macam bentuk, ukuran, dan bahan kemasan. Paling sederhana dan masih banyak digunakan adalah keranjang terbuat dari anyaman bambu, kotak dari kayu, dan kotak dari karton. Untuk kemasan karton biasanya digunakan oleh perusahaan atau swasta yang memiliki perkebunan buah pisang. Menurut Triyanto (1991), karton gelombang merupakan bahan kemasan transpor yang paling umum dan paling banyak digunakan untuk berbagai jenis produk, dari buah buahan sampai peralatan untuk industri. Hal ini disebabkan oleh harganya yang relatif murah dan daya tahan yang dapat diatur sesuai dengan jenis produk yang dikemas dan
jenis transportasi yang dipergunakan. Karton gelombang adalah karton yang dibuat dari satu atau beberapa lapisan keras medium bergelombang dengan kertas lainer sebagai penyekat dan pelapisnya. Kertas medium adalah kertas yang dipergunakan sebagai lapisan bergelombang pada karton gelombang. Sedangkan kertas lainer adalah kertas yang dipergunakan untuk lapisan datar, baik pada bagian luar maupun bagian dalam karton gelombang (Haryadi, 1994). Kemasan untuk produk hasil-hasil pertanian (holtikultura) perlu dilubangi sebagai ventilasi. Adanya ventilasi ini menyebabkan sirkulasi udara yang baik dalam kemasan sehingga akan menghindarkan kerusakan komoditas akibat akumulasi CO 2 pada suhu tinggi (Haryadi, 1994). Hardenberg (1986) menyatakan bahwa umumnya karton menjadi dingin dengan lambat bila dimasukkan ke dalam ruang pendingin. Tetapi dengan adanya penambahan lubang ventilasi dan peningkatan luas permukaan yang tersentuh udara dingin yang bergerak, sampai pada suatu derajat tertentu, dapat meningkatkan penghilangan panas Apapun kemasan yang digunakan, terdapat beberapa hal penting yang harus mendapat perhatian, pertama, kemasan harus mampu memberikan perlindungan pada buah pisang dari kerusakan seperti luka, tertusuk, dan memar. Memar pada buah pisang yang sering terjadi selama penanganan dan distribusi dapat merupakan kerusakan yang merugikan. Memar mengakibatkan rusak pada kulit dan daging buah yang sangat nampak ketika buah telah matang. Pantastico et al. (1986), menyatakan bahwa cara-cara lain untuk mempertahankan mutu tidak akan dapat berhasil tanpa pendinginan. Dalam iklim tropika yang panas, penyimpanan dalam udara terkendali tidak dianjurkan tanpa dikombinasikan dengan pendinginan. Oleh karena itu kerusakan akan berlangsung lebih cepat akib at penimbunan panas dan CO2. Pada saat penyimpanan, keasamaan buah juga berubah bervariasi menurut jenis buahnya, kematangan, dan suhu penyimpanannya. Asam malat akan berkurang lebih dahulu dibandingkan dengan asam sitrat. Hal ini diduga karena adanya katabolisme sitrat melalui malat pada Siklus Kreb. Asam askorbat umumnya akan lebih cepat berkurang jumlahnya pada suhu penyimpanan yang semakin tinggi (Pantastico, 1975). Setelah dipetik, buah-buahan akan kehilangan suplai air dari pohon induknya, sedangkan proses respirasi masih terus berlangsung. Dengan kadar air yang cukup tinggi yaitu berkisar antara 75-95% (Sacharow dan Griffin, 1970). Buah-buahan akan cepat layu
dan berkeriput pada suhu ruang. Untuk mengatasai hal tersebut dapat dilakukan usaha pencegahan
dengan
penggunaan
pengemasan
dan
penyimpanan
suhu
rendah.
Penyimpanan di bawah suhu 15°C dan di atas titik beku bahan dikenal sebagai penyimpanan dingin (chilling storage). Penyimpanan dingin merupakan salah satu cara menghambat turunnya mutu buah-buahan, disamping pengaturan kelembaban dan komposisi udara serta penambahan zat-zat pengawet kimia. Menurut Ryall dan Lipton (1982) penyimpanan dingin adalah sebagai proses pengawetan bahan dengan cara pendinginan pada suhu di atas suhu bekunya. Secara umum pendinginan dilakukan pada suhu 2.2°C -15.5°C tergantung kepada masing-masing bahan yang disimpannya. Kemudian dalam kegiatan industry, digunakan bahan-bahan seperti:kitosan dan 1 Methylcyclopropene (1-MCP) yang banyak dimanfaatkan sebagai pengawet produk untuk penyimpanan buah pisang. Kitosan diperoleh dari proses deasetil kitin yang berasal dari kulit udang (Gyline et al., 2003). Sifat-sifat yang dimiliki kitosan selain mengawetkan dan juga melapisi produk, kitosan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme perusak (Kusumawati, 2009). Pelapisan buah dengan menggunakan kitosan secara baik dan tepat mampu memperpanjang masa simpan dan mempertahankan mutu pada buah. Kitosan berfungsi sebagai pelapis buah dan dapat mengendalikan busuk buah strawberi oleh jamur Botrytis cinerea (Zhang dan Quantick, 1998).
Selain itu, penelitian Widodo et al. (2010b)
menunjukan bahwa aplikasi kitosan 2,5% dapat memperpanjang masa simpan buah jambu biji selama 7-8 hari.
Aplikasi kitosan juga dapat menghambat pemasakan dan
meningkatkan masa simpan buah peach, pir Jepang, dan buah kiwi (Du et al., 1997) dan buah duku (Widodo et al., 2007). Penggunaan kitosan diharapkan dapat memodifikasi atmosfer internal buah dengan meningkatkan CO2 dan menurunkan O2 karena dapat menghambat difusi oksigen ke dalam buah, sehingga proses respirasi dapat terhambat. Menurut Pumchai et al. (2005), kitosan dapat menunda pemasakan, mengurangi respirasi, produksi etilen, penurunan bobot buah, kadar asam askorbat, dan kadar keasaman hasil titrasi, tetapi tidak dapat mempertahankan kekerasaan mangga. Kitosan dapat juga menghambat pertumbuhan
cendawan Colletotrichum musae penyebab penyakit antraknosa pada tanaman pisang (Rogis et al., 2007). Aplikasi 1-MCP (1-Methylcyclopropene) merupakan salah satu teknologi pascapanen yang dapat mengatasi masalah penyimpanan. Pemasakan pada buah tidak lepas dari peranan gas etilen yang berpengaruh terhadap laju pemasakan. Penggunaan 1MCP sebagai penghambat respon etilen dapat menghambat etilen masuk ke dalam reseptor etilen, sehingga pemasakan buah menjadi tertunda (Cantin et al., 2011). 1-MCP memiliki berbagai efek pada respirasi, produksi etilen, produksi volatil, degradasi klorofil dan perubahan warna lainnya, protein dan membran perubahan, pelunakan, gangguan dan penyakit, keasaman, dan kandungan gula (Blankenship dan Dole, 2003). Penambahan zat anti-etilen 1-MCP dapat menghambat kinerja etilen dan menghambat produksi etilen yang dikeluarkan oleh buah (Cantin et al., 2011). Perlakuan 1-MCP hanya menghambat efek fisiologis dari produk (Sisler et al., 1996). 1-MCP bersifat tidak beracun, tidak berbau, tidak menimbulkan residu, dan efektif untuk memperpanjang umur penyimpanan produk hortikultura. Menurut penelitian Pelayo et al. (2003), perlakuan 1-MCP dapat memperlambat perubahan warna dan menunda pelunakan pada buah pisang pada suhu simpan 20 0C. Perlakuan 1-MCP 0,5 µl/l pada buah pisang mampu menunda pemasakan hingga 35 hari dengan mutu yang tetap (Suprayatmi et al., 2005). Pada tanaman hias, yaitu tanaman kaktus yang diberi perlakuan dengan konsentrasi 100 nl/l 1-MCP, bunga lebih banyak muncul dibandingkan konsentrasi lainnya. Reid dan Staby (2008) menyimpulkan bahwa perlakuan 1-MCP dapat mempertahankan kesegaran bunga dan berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh. 5
Pemeraman Buah pisang sampai tempat tujuan pengiriman diharapkan masih dalam keadaan
hijau. Pemeraman dikerjakan oleh pedagang di pasar-pasar tujuan. Pemeraman pada lingkungan suhu sejuk dapat menghasilkan pisang matang dengan penampilan kulit buah kuning, namun daging buah masih keras. Teknik pemeraman ini juga disebut dengan teknik pematangan buah.
Buah pisang yang telah matang sangat mudah dikenali melalui perubahan warna kulitnya, oleh karena itu indeks warna kulit menjadi penting, dan digunakan sebagai penanda tingkat kematangan buah pisang.
Tabel 3. Deskripsi kematangan buah pisang berdasar indeks warna kulit Buah pisang dapat dipanen tua sebelum matang kemudian dilakukan pemeraman untuk mendapatkan buah matang. Pemeraman setidaknya dilakukan sampai buah memiliki indeks warna 3, dimana kondisi buah sudah mulai menguning namun tekstur masih keras dan tahan untuk dikirimkan ke tempat pemasaran. Stimulasi pematangan sering dilakukan dengan menggunakan gas etilen, gas karbit atau ethrel. Jika menggunakan gas etilen dengan waktu kontak cukup 24 jam. Kesempurnaan hasil pemeraman dipengaruhi oleh dosis bahan pemacu pematangan, suhu, kelembaban dan sirkulasi udara. Proses pematangan yang berjalan sempurna (suhu sejuk, kelembaban tinggi, ventilasi udara di tempat pemeraman baik, dosis bahan pemacu pematangan tepat) m enghasilkan warna kulit buah pisang kuning merata, rasa buah manis, aroma kuat dan tidak mudah rontok. Proses pematangan tersebut terjadi pemecahan khlorofil, pati, pektin, dan tanin yang diikuti dengan pembentukan senyawa etilen, pigmen, flavor, energi dan polipeptida (Pantastico, 1975). Senyawa etilen inilah yang merupakan hormon yang aktif dalam proses pematangan buah.
Seperti disebutkan sebelumnya, bahwa suhu lingkungan berpengaruh terhadap pematangan buah pisang. Murtiningsih, et al . (1994), mengamati pematangan buah pisang ambon atau cavendish pada suhu 16, 17, 18, 19, 20 dan 27 oC dikaitkan dengan perubahan indeks warna (IW), tekstur, produksi gas karbon dioksida dan etilen serta uji organoleptik. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa semakin tinggi suhu maka respirasi makin cepat, perubahan warna dari hijau menjadi kuning dan tekstur dari keras menjadi lunak semakin cepat pula. Data pada Tabel 5 berikut bermanfaat untuk menentukan lama pematangan buah pada tiap temperatur, sehingga pasokan buah ke pasar dapat diatur sesuai kebutuhan. Lebih jelasnya, jika buah pisang Ambon berada pada temperatur 27 oC, IW=2 dicapai setelah 6 hari, sementara untuk suhu 16 oC -20oC, IW=2 baru dicapai setelah 12-16 hari. Demikian pula untuk perubahan IW 3-7, pada temperatur 27 oC yang paling cepat berlangsung. Dikaitkan dengan tekstur, maka buah pisang pada temperatur 27 oC lebih cepat menjadi lunak, dan matang. Melunaknya daging buah terkait dengan perubahan protopektin yang tidak larut menjadi pektin yang larut selama pematangan berlangsung. Pada buah yang berada pada temperatur 16 oC -20oC, saat IW=6 atau buah berwarna kuning, tekstur dengan nilai 3 (sedang), rasa manis, buah tidak mudah rontok dari sisirannya. Selanjutnya, buah pisang pada suhu 16 oC -20oC mengalami puncak klimakterik pada 19 hari penyimpanan dan pada saat tersebut buah berwarna kuning namun tekstur keras dan rasa manis asam sedikit sepat sedangkan buah pada suhu 27 oC mencapai puncak klimakterik pada 12 hari simpan dengan warna buah kuning, ujung hijau, tekstur lunak dan rasa manis. Buah yang berada pada suhu 27 oC, cepat lunak dan buah mudah lepas dari sisirannya. Dengan demikian, pematangan pada suhu sejuk menghasilkan buah dengan warna kuning, rasa manis, namun tekstur belum lunak dan tidak mudah rontok.