Penggunaan Akar Tanaman Purwoceng ( P i mpi nella nella alpi alpi ne, ne, Molk) sebagai Obat Tradisional
Bisiril FATIHAH1 dan Pitah T. WULANDARI 2 Agroteknologi, Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman Jl. Dr. Soeparno, No. 56, Kelurahan Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas, Jawa Tengah.
Abstrak
Purwoceng ( Pimpinella alpine, alpine, Molk) merupakan tanaman herba yang akarnya dapat digunakan sebagai obat karena mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (oligosakarida). Tanaman ini merupakan tanaman asli Indonesia yang keberadaannya saat ini sudah mulai langka karena mengalami erosi genetik secara besar-besaran. Tanaman ini sudah digunakan oleh manusia sebagai bahan baku jamu tradisional yang dapat digunakan sebagai peningkat stamina tubuh, penghilang rasa sakit, penurun panas, obat cacing, antibakteri dan antikanker, serta dapat menghilangkan masuk angin dan pegal linu. Pemanfaatan tanaman ini selain sebagai jamu tradisi onal juga dapat diolah menjadi beberapa macam bentuk obat seperti dalam bentuk serbuk akar ataupun dalam bentuk lain seperti tablet, pil dan kapsul. Pembuatan bentuk obat yang mengandung akar purwoceng ini dapat mempermudah masyarakat dalam mengkonsumsi purwoceng sebagai obat dalam kehidupan sehari-hari.
1
NIM. A1D015030 NIM. A1D015116
2
Pendahuluan
Purwoceng merupakan tanaman herba komersial yang akarnya dilaporkan berkhasiat obat sebagai afrodisiak, diuretik (melancarkan saluran air seni), dan tonik (mampu meningkatkan stamina tubuh). Khasiat lain dari tanaman ini yaitu dapat digunakan sebagai obat analgetika (menghilangkan rasa sakit), penurun panas, obat cacing, antibakteri dan antikanker, serta dapat menghilangkan masuk angin dan pegal linu (Perdana, 2012). Tanaman tersebut merupakan tanaman asli Indonesia yang hidup secara endemik di daerah pegunungan seperti dataran tinggi Dieng di Jawa Tengah, Gunung Pangrango di Jawa Bar at, dan area pegunungan di Jawa Timur. Dewasa ini populasi purwoceng sudah langka karena men galami erosi genetik secara besar-besaran, besar-besa ran, bahkan populasinya di Gunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur dilaporkan sudah musnah. Rahardjo (2003) dan Syahid et al. (2004) melaporkan bahwa saat ini tanaman tersebut hanya terdapat di dataran tinggi Dieng, bukan di habitat aslinya melainkan di areal budi daya yang sangat sempit di Desa Sekunang.
Gambar 1. Tahapan pertumbuhan tanaman purwoceng. a = tanaman, b = bunga kuncup, c = bunga mekar, d = buah, dan e = akar akar dari tanaman berumur 6 bulan ( Darwati, 2008)
Perkembangan usaha industri industri obat tradisional yang meningkat meningkat dan nilai jual herba yang sangat tinggi ikut menjadi pemicu penambangan purwoceng secara
besar-besaran.
Penambangan herba tanpa diikuti
budidaya menyebabkan
purwoceng makin langka dan membahayakan masa depan tanaman ini. Usaha pertanian secara intensif di Pegunungan Dieng dan sekitarnya, menjadi salah satu sat u faktor tergesernya komoditas purwoceng oleh komoditas sayuran terutama kentang yang dapat dipenen tiga kali dalam setahun. Tanaman ini sudah banyak dimanfaatkan sebagai obat tradisional oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Pemanfaatan ta naman ini bisa dengan dibuat sebagai jamu tradisional ataupun berbentuk pil yang dapat dikonsumsi manusia. Bagian tanaman purwoceng yang dimanfaatkan adalah bagian akar, karena setelah diteliti lebih lanjut akar purwoceng ternyata mengandung turunan dari senyawa sterol, saponin, dan alkaloida (Caropeboka dan Lubis, 1985)
Pembahasan
Purwoceng biasa di manfaatkan oleh masyarakat dengan menjadikan s ebagai bahan utama jamu tradisional dan langsung dikonsumsi dengan cara diminum. Namun selain itu, tanaman ini dapat juga diolah sebagai obat dalam bentuk lain yaitu dengan dibuat menjadi pil obat ataupun obat dari serbuk akar. Bagian tanaman purwoceng yang digunakan sebagai bahan dasar das ar pembuatan obat ini yaitu bagian akar. Bagian akar pada tanaman purwoceng telah diketahui mengandung senyawa sterol, saponin, dan alkaloida yang berkhasiat obat bagi manusia. Hernani dan Rostiana (2004) melaporkan pula adanya senyawa kimia yang teridentifikasi secara kualitatif, yaitu bergapten, marmesin, 4hidroksi kumarin, umbeliferon, dan psoralen. Produk tanaman obat yang berasal dari akar pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua golongan menurut asal dan jenis tanamannya, yaitu akar lunak dan akar keras. Akar lunak biasanya banyak mengandung air lebih dari 60%, misalnya akar purwoceng. Sedangkan Sedangkan akar keras biasanya memiliki kandungan serat yang tinggi, tinggi, misalnya akar trengguli. Adanya perbedaan sifat tersebut,tentu dibutuhkan penanganan dan pengolahan yang berbeda. Akar yang mengandung men gandung banyak arair
pengeringannya pengeringannya dilakukan secara perlahan untuk menghindari proses pembusukan dan fermentasi.
Gambar 2. Diagram Alir Pembuatan Obat dari akar tanaman purwoceng. (sumber: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, 2011)
Tahapan proses pengolahan tanaman purwoceng yang berasal dari akar adalah pencucian secara baik dan benar, karena b anyak tanah yang melekat diselasela akar tersebut. Bentuk akar yang tidak beraturan kadang-kadang sedikit menyulitkan dalam proses pencucian. Akar tanaman harus dibersihkan secara hatihati, karena merupakan bagian bagian yang langsung bersinggungan dengan tanah. Selain itu, kemungkinan adanya bakteri yang akan terikut karena sulit dibersihkan. Akar purwoceng sebaiknya dicuci menggunakan air yang bertekanan atau dilakukan perendaman terlebih dahulu untuk beberapa beberapa saat agar pencucian akan menjadi lebih mudah. Untuk lebih bersih bisa menggunakan sikat halus dan menyikatnya secara perlahan agar kulitnya tidak terkelupas. Setelah ditiriskan dan air mengering, bahan akar bisa dikecilkan ukurannya dengan cara dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan menggunakan pisau stainless steel. Akar purwoceng dapat diiris secara memanjang atau melintang dengan ketebalan sekitar 4-5 mm. Dalam proses pengeringan, sebaiknya bahan
dihamparkan pada wadah atau alas penjemur dan ditebarkan tidak terlalu te bal. Hal ini untuk mencegah kerusakan pada bahan serta memudahkan panas cepat menyerap kedalam bahan yang akan dikeringkan. Pengeringan langsung dengan sinar matahari, membutuhkan waktu sedikit lebih lama dibandingkan bila menggunakan alat pengering mekanik. Bila cuaca tidak memungkinkan, biasanya bahan akan mudah sekali rusak karena berjamur. Untuk itu, akan lebih baik bila bahan dikeringkan dengan dengan menggunakan alat pengering mekanik. mekanik. Setelah dikeringkan, bahan bisa langsung digunakan sebagai obat dari simplisia akar ataupun bisa langsung masuk kedalam proses penggilingan akar. Penggilingan akar akan membentuk serbuk akar dan kemudian dapat digunakan sebagai obat dari serbuk akar. Sedengkan untuk pembuatan tablet atau kapsul, akar bisa diekstraksi untuk kemudian dapat digunakan sebagai bahan pembuatan kapsul akar purwoceng dan dapat digunakan oleh manusia (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, 2011)
Kesimpulan
Kesimpulan dari teknologi pasca panen dari purwoceng ini adalah : 1.
Pengolahan akar purwoceng dapat dilakukan dengan sortasi, pencucian, pengecilan ukuran akar, pengeringan, serta pembuatan obat dari simplisia akar, serbuk akar, atau dibuat dalam bentuk tablet, kapsul atau pil
2.
Pembuatan bentuk lain dari obat ini dapat membantu masyarakat dalam mengkonsumsi purwoceng sebagai obat dalam kehidupan sehari-hari.
Saran
Produksi obat dari tanaman purwaceng dapat menjadi salah satu pil ihan untuk meningkatkan nilai jual dari tanaman purwoceng. Namun sebelum itu, perlu dilakukan adanya budidaya yang tepat agar dapat memproduksi tanaman purwoceng yang dapat dapat memenuhi kebutuhan pembuatan obat. obat.
Daftar Pustaka
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2011. Teknologi Pascapanen Tanaman Obat. http://pascapanen.litbang.pertanian.go.id/ diakses pada 31 Oktober 2017 pukul 19.35 WIB. Caropeboka, A.M. 1985. Pengaruh ekstrak akar Pimpinella alpina Koord. terhadap sistem reproduksi tikus. Tesis. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dawarti, Ireng dan Ika Roostika. 2008. Status Penelitian Purwoceng ( Pimpinella ( Pimpinella alpina Molk.) alpina Molk.) di Indonesia. Buletin Indonesia. Buletin Plasma Nutfah Vol.12(1) Nutfah Vol.12(1) Hernani dan O. Rostiana. 2004. Analisis kimia akar purwoceng ( Pimpinella ( Pimpinella pruatjan). pruatjan). Makalah disampaikan pada Seminar Indonesian Biopharmaca and Excibition Conference. Yogyakarta, 14-15 Juli. Perdana, Anita Citra. 2012. Budidaya Purwoceng ( Pimpinelle ( Pimpinelle alpine Molk) di PT. INDMIRA Yogyakarta. Tugas Akhir. BUDIDAYA-PURWOCENG-Pimpinelle-alpinehttps://digilib.uns.ac.id/...=/BUDIDAYA-PURWOCENG-Pimpinelle-alpineMolk-DI-PTINDMIRA-YOGYAKARTA diakses pada 31 Oktober 2017 pukul 19.41 WIB Rahardjo, M. 2003. Purwoceng tanaman obat aprodisiak yang langka. Warta Penelitian dan Pengembangan Pengembangan Tanaman Industri Industri 9(2):4-7 Syahid, S.F., O. Rostiana, dan M. Rohmah. 2004. Pengaruh NAA dan IBA terhadap perakaran purwoceng ( Pimpinella alpina alpina Molk.) in vitro. Makalah poster pada Indonesian Biopharmaca Excibition and Conference. Yogyakarta, 1419 Juli.