CASE RE PORT PORT SESSI ON *Program Studi Profesi Dokter/ G1A216096/ Agustus 2018 ** Pembimbing/dr. Alfian Taher, Sp.THT-KL**
RHINOSINUSITIS KRONIS + POLIP NASI GRADE III Rts Wahyu Rizky A, S.Ked*, dr. Alfian Taher, Sp.THT-KL**
KEPANITERAAN KLINIK SENIOR BAGIAN THT-KL RSUD RADEN MATTAHER JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2018
LEMBAR PENGESAHAN RHINOSINUSITIS KRONIS + POLIP NASI GRADE III
Oleh : Rts Wahyu Rizky, S. Ked
Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian THT-KL Kedokteran Universitas Jambi RSUD Raden Mattaher Jambi
Jambi,
Agustus 2018
Pembimbing,
dr. Alfian Taher, Sp.THT-KL NIP. 196101281990111001 196101281990111001
LEMBAR PENGESAHAN RHINOSINUSITIS KRONIS + POLIP NASI GRADE III
Oleh : Rts Wahyu Rizky, S. Ked
Sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Senior Bagian THT-KL Kedokteran Universitas Jambi RSUD Raden Mattaher Jambi
Jambi,
Agustus 2018
Pembimbing,
dr. Alfian Taher, Sp.THT-KL NIP. 196101281990111001 196101281990111001
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena denga rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas pada Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit THT yang berjudul “Rhinosinusitis “Rhin osinusitis Kronis dan Polip Nasi Grade III”. Tugas ini bertujuan agar penulis dapat memahami lebih dalam teori-teori yang diberikan selama menjalani Kepaniteraan Klinik Senior Bagian Ilmu Penyakit THT, dan melihat penerapannya secara langsung di lapangan. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada dr.Lusiana Herawati Yamin, Sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk untuk membimbing penulis. Penulis menyadari bahwa pemulisan tugas ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak yang membacanya. Semoga tugas ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.
Jambi, Agustus 2018
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman Judul
i
Kata Pengantar
ii
DaftarIsi
iii
BAB I Pendahuluan
5
BAB II Laporan Kasus
7
2.1 Identitas Pasien
7
2.2 Anamnesis
7
2.3 Pemeriksaan Fisik
8
2.3 Pemeriksaan Penunjan
13
2.5 Diagnosis Banding
13
2.6 Diagnosis
13
2.6 Penatalaksanaan
13
2.7 KIE
14
BAB III Tinjauan Pustaka 3.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal
15
3.2 Rhinosinusitis
22
3.2.1 Definisi Rhinosinusitis
22
3.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
23
3.2.4 Epidemiologi
23
3.2.4 Klasifikasi
24
3.2.5 Patofisiologi
25
3.2.6 Manifestasi Klinis
25
3.2.7 Diagnosis
26
3.2.6 Diagnosis Banding
29
3.2.7 Penatalaksanaan
29
3.2.8 Komplikasi
34
3.2.9 Prognosis
34
3.3 Polip Nasi
36
3.3.1 Definisi
36
3.3.2 Epidemiologi
36
3.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko
36
3.3.4 Patogenesis
36
3.3.5 Makroskopis
36
3.3.6 Mikroskopis
37
3.3.7 Diagnosis
37
3.3.8 Penatalaksaan
38
BAB IV Analisa Kasus
41
BAB V Kesimpulan
43
Daftar Pustaka
44
BAB I PENDAHULUAN
Sinusitis adalah peradangan pada salah satu atau lebih mukosa sinus paranasal. Sinusitis juga dapat disebut rhinosinusitis, menurut hasil beberapa diskusi pakar yang dipublikasikan di European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) menggunakan istilah rhinosinusitis menggantikan sinusitis. Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi mukosa yang melapisi hidung dan sinus paranasal. Peradangan ini sering bermula dari infeksi virus, yang karena keadaan tertentu berkembang menjadi infeksi bakterial dengan penyebab bakteri patogen yang terdapat di saluran napas bagian atas. Penyebab lain adalah infeksi jamur, infeksi gigi, dan dapat pula terjadi akibat fraktur dan tumor.1,2 Rhinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia. Konsensus Internasional 2004 membagi rhinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan.2 Rhinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi. Diperkirakan sebanyak 13,4-25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan rhinosinusitis atau akibatnya. Di Eropa, rhinosinusitis diperkirakan mengenai 10% – 30% populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah mengalami episode rhinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan menderita RSK. 3 Data dari DEPKES RI tahun 2003 menyebutkan bahwa penyakit hidung dan sinus berada pada urutan ke-25 dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817 penderita rawat jalan di rumah sakit. Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran 1996 yang diadakan oleh Binkesmas bekerja sama dengan PERHATI dan Bagian THT RSCM mendapatkan data penyakit hidung dari 7 propinsi. Data dari Divisi Rinologi Departemen THT RSCM Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada kurun waktu tersebut adalah 435 pasien, 69%nya adalah sinusitis. Dari jumlah tersebut 30% mempunyai indikasi operasi BSEF (Bedah sinus endoskopik fungsional).4 Gejala rhinosinusitis kronik tidak jelas. Selama eksaserbasi akut, gejala mirip dengan gejala rhinosinusitis akut; namun, diluar masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Diagnosis dapat
ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik rinoskopi anterior, nasoendoskopi maupun tomografi komputer. 5 Secara umum komplikasi pada sinusitis terbagi atas tiga jenis, yaitu lokal (osseus), orbital dan komplikasi intrakranial. Komplikasi terbanyak yaitu pada bagian orbital (6075%), intracranial (15-20%) dan lokal (5-10%). 6
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Umur
: 46 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
No. RM
: 890891
Pendidikan
: SMA
Alamat
: Jl. Bawal RT. 06 Tungkal
Tanggal MRS
: 18 Agustus 2018
2.2 ANAMNESA
a. Keluhan Utama Hidung tersumbat yang semakin memberat sejak ± 3 bulan yang lalu b. Riwayat Penyakit Sekarang Os datang ke RSUD Raden Mattaher dengan keluhan hidung tersumbat yang semakin memberat sejak
± 3 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan terus menerus hingga
mengganggu tidur pasien. Keluhan ini membuat os menjadi sulit bernafas sehingga os bernafas melalui mulut. Sebelumnya os sudah merasakan hidung tersumbat sejak ± 1 tahun yang lalu. Selain itu, os juga mengeluhkan adanya nyeri pada dahi, pangkal hidung dan belakang mata, serta keluarnya cairan jernih dari hidung yang awalnya hanya dirasakan saat cuaca dingin saja dan sekarang cairan tersebut berubah warna menjadi kekuningan yang berbau sehingga os sulit bernafas dan penciumannya terganggu. Os juga mengeluhkan keluarnya cairan yang mengalir dari belakang hidungnya menuju tenggorokkannya. Os menyatakan masih merasakan hidung kirinya tersumbat dan nyeri pada kepalanya hingga saat ini. c. Riwayat Pengobatan
± 1 minggu yang lalu os memeriksakan diri ke dokter di RS Tungkal dan telah diberi obat semprot hidung.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Asma (+)
Menurut pengakuan os, os sering bersin-bersin dan keluar cairan berwarna jernih dari hidungnya saat pagi hari dan ketika berada dilingkungan yang berdebu.
e. Riwayat penyakit keluarga Tidak ada keluarga pasien yang mengalami hal serupa dan penyakit keturunan disangkal. f. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga. Telinga
Hidung
Tenggorokan
Laring
Kanan/Kiri
Kanan/Kiri
Gatal
: -/-
Rinore
: +/+
Sukar Menelan : -
Parau
Korek
: +/+
Buntu
: +/+
Sakit Menelan : -
Afonia : -
Bengkak : -/-
Bersin
: +/+
Trismus
:-
Sesak
:-
Nyeri
Dingin : +/+
Ptyalismus
:-
Sakit
:-
Bengkak : -/-
Debu
Rasa ganjal
:-
Rasa Ganjal : -
Otore
: -/-
Berbau : +/+
Rasa Berlendir : -
Tuli
: -/-
Mimisan : -
Rasa Kering
Tinitus
: -/-
Nyeri
: -/-
Vertigo : Mual
: +/+
:-
Sengau : +/+
:-
Muntah : -
2.3 PEMERIKSAAN FISIK Tanda Vital
Keadaan Umum
: Tampak sakit ringan
Kesadaran
: Compos Mentis
Tekanan Darah
: 120/80 mmHg
Nadi
: 75 kali/menit
Respiration Rate
: 24 kali/menit
Suhu
: 36,5 C
Anemia
:-
Sianosis
:-
Stridor Inspirasi
:-
Retraksi Suprasternal : -
:+
:-
Retraksi intercostal
:-
Retraksi epigastrial
:-
PEMERIKSAAN TELINGA
Kanan
Kiri
Daun Telinga -
Anotia/mikrotia/makrotia
Normotia
Normotia
-
Keloid
-
-
-
Perikondritis
-
-
-
Kista
-
-
-
Fistel
-
-
-
Ott Hematoma
-
-
Liang Telinga -
Atresia
-
-
-
Serumen Prop
+
+
-
Epidermis Prop
+
+
-
Korpus Alineum
-
-
-
Jaringan Granulasi
-
-
-
Exocytosis
-
-
-
Osteoma
-
-
-
Furunkel
-
-
Membran Timpani -
Hiperemis
-
-
-
Retraksi
-
-
-
Bulging
-
-
-
Atropi
-
-
-
Perforasi
-
-
-
Bula
-
-
-
Secret
-
-
Retroaurikular -
Fistel
-
-
-
Kista
-
-
-
Abses
-
-
Preaurikular -
Fistel
-
-
-
Kista
-
-
-
Abses
-
Tuba Eustachii : Valsava test/Politzer
RINOSKOPI ANTERIOR
-
Vestibulum Nasi
-
Kavum Nasi
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Kanan
Kiri
Hiperemis(-)
Hiperemis(-)
Sekret (-),
Sekret (+),
Hiperemis(-)
Hiperemis(-)
DBN
DBN
Deviasi (-)
Deviasi (-)
DBN
DBN
-
Selaput Lendir
-
Septum Nasi
-
Lantai+Dasar Hidung
-
Konka Inferior
Sulit dinilai
Sulit dinilai
-
Meatus Inferior
Sulit dinilai
Sulit dinilai
-
Konka Media
Sulit dinilai
Sulit dinilai
-
Korpus Alineum
-
-
-
Massa
(+)
(+)
Kanan
Kiri
Sekret (-)
Sekret (-)
DBN
DBN
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Deviasi (-)
Deviasi (-)
Hipertrofi(-)
Hipertrofi (-)
Massa (+)
Massa (+)
DBN
DBN
-
-
RINOSKOPI POSTERIOR
-
Kavum Nasi
-
Selaput Lendir
-
Koana
-
Septum Nasi
-
Konka Superior
-
Meatus Nasi Media
-
Muara Tuba
-
Adenoid
-
Massa
(+)
(+)
TRANSILUMINASI
Kanan
Kiri
-
Sinus Maxilarris
DBN
DBN
-
Sinus Frontalis
DBN
DBN
MULUT
-
Selaput Lendir
DBN
-
Bibir
Laserasi (-)
-
Lidah Gigi
DBN
-
Kelenjar Ludah
DBN
FARING
-
Uvula
Berada ditengah
-
Palatum Mole
Hiperemis (-), Benjolan(-)
-
Palatum Durum
Hiperemis (-), Benjolan(-)
-
Plika Anterior
-
Tonsil
Hiperemis(-) T1-T1, Hiperemis(-/-), kripta tidak melebar, detritus (-)
-
Plika Posterior
-
Mukosa Orofaring
Hiperemis(-) Hiperemis(-), Granula(-)
LARINGOSKOPI INDIREK
-
Pangkal Lidah
Normal
-
Epiglottis
-
Plika Ventrikularis
Hiperemis (-) edema (-)
-
Plika Vokalis
Hiperemis (-) edema (-)
-
Komisura Anterior
Hiperemis (-) edema (-)
-
Massa Tumor
-
Trakea
Hiperemis (-)
DBN
KELENJAR GETAH BENING
a.
Regio I :
b.
Regio II :
c. Regio III : d. Regio IV : e. Regio V : f. Regio VI : g. Area Parotid : h. Area Postaurikular : i.
Area Occipital :
j.
Area Supraklavikula :
Tidak ada massa/benjolan, nyeri tekan (-).
Foto Massa pada hidung pasien 18/8/2018 Kanan
Kiri
PEMERIKSAAN NERVUS CRANIALIS :
I.
Nervus Olfactory
: Terganggu, Hiposmia
II.
Nervus Opticus
: Normal
III.
Nervus Occulomotorius : Normal
IV.
Nervus Trochlearis
: Normal
V.
Nervus Trigeminus
: Normal
VI.
Nervus Abducent
: Normal
VII.
Nervus Facialis
: Normal
VIII. Nervus Vestibularis
: Normal
IX.
Nervus Glosopharyngeus : Normal
X.
Nervus Vagus
: Normal
XI.
Nervus Accesorius
: Normal
XII.
Nervus Hypoglossus
: Normal
PEMERIKSAAN AUDIOLOGI
-
Tes Berisik
:
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Tes Rinne
:
+
+
-
Tes Weber
:
Tidak ada lateralisasi
Tidak ada lateralisasi
-
Tes Schwabah
: Normal
Normal
-
Tes Barany
:
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Tes Auropalpebra Reflek :
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
-
Audiogram
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
:
Kesimpulan : PEMERIKSAAN VESTIBULAR :
Tidak ada kelainan pada Kedua Telinga Tidak Dilakukan
2.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
:-
b. Nasoendoskopi (18-8-2018) : Terdapat massa pada cavum nasi dextra dan sinistra Meatus Medius : tertutup massa +/+ Nasofaring : Massa + Sekret + c. Patologi/No/Tgl
:-
d. Kultur Bakteri
:-
2.5 DIAGNOSIS BANDING
-
Rhinosinusitis Kronik
-
Rhinosinusitis Akut
-
Polip Nasi
-
Tumor Hidung
2.6 DIAGNOSIS
Rhinosinusitis Kronik + Polip Nasi bilateral grade III 2.7 PENATALAKSANAAN Diagnostik
Biopsi CT-Scan Kultur Mikrobiologi Terapi
Doksisiklin 1 x 100 gr Metilprednisolon : Hari I-III
: 4 x 8 mg
Hari IV-VI
: 4 x 4 mg
Hari VII-IX
: 2 x 4 mg
Hari X-XII
: 1 x 4 mg
Cuci Hidung dengan NaCl 0,9 % Semprot Hidung Fluticasone Furoate 1 x 55 mcg Rencana Operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional
KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi)
-
Menjelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai penyakitnya.
-
Menjelaskan tujuan dan manfaat dari pengobatan kepada pasien dan keluarga.
-
Memberitahu kepada pasien akan pentingnya follow up secara rutin
-
Memberitahukan untuk menghindari hal-hal yang dapat membuat hidung pasien makin tersumbat
-
Menyarankan untuk banyak minum air putih
-
Meningkatkan konsumsi makanan yang banyak mengandung vitamin A, C dan E
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3. 1 Anatomi dan Fisiolgi Hidung dan Sinus Paranasal 3.1.1 Anatomi Hidung
Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah, pangkal hidung (bridge), batang hidung (dorsum nasi), puncak hdung (tip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior). Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oeh kulit, jaringan ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang hidung, kerangka tulang terdiri atas: tulang hidung(os nasal), prosesus frontalis os maksila dan prosesus nasalis os frontal. Sedangkan kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung, yaitu sepasang kartilago nasalis lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan tepi anterior kartilago septum. 7 Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi kavum nasi kiri dan kanan. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepat dibelakang nares anterior disebut vestibulum. Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise. 7 Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior. Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan tulang rawan. Bagian tulang adalah lamina perpendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os maksila, krista nasalis os palatina. Bagian tulang adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela. Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. 7 Pada dinding lateral terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil ialah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior, sedangkan yang terkecil disebut konka suprema. Konka suprema ini biasanya rudimenter.7 Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, medius dan
superior. Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pda meatus inferior terdapat muara duktus lakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontaal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid. 7
Gambar 3.1 Anatomi Hidung bagian luar
Gambar 3.2 Anatomi Hidung bagian dalam a. Kompleks Ostiomeatal
Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus medius, ada muaramuara saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit
dan
sempit
dan
dinamakan
kompleks
ostio-meatal
(KOM),
terdiri
dari
infundibulum etmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus frontalis, bula etmoid dan sel-sel etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.8
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus terkait.8 b. Pendarahan Hidung
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika, sedangkan a.oftalmika berasal dari a.karotis interna.7 Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a. maksilaris interna, diantaranya ialah ujung a.palatina mayor dan a. sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media.7 Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.. sfenopalatina, a. etmoid, a. labialis superior, a. palatina mayor, yang disebut pleksus
Kiessebach( Little’s
area)
letaknya
superfisial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epitaksis (perdarahan hidung), terutama pada anak.7 Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.7
Gambar 3.3 Pendarahan Hidung
c. Persarafan Hidung Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V -1).7 Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina.Ganglion sfenopalatina, selain memberikan persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris dari n.maksila (n.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut-serabut simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. 7 Nervus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribrosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. 7 d. Mukosa Hidung
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa olfaktorius).Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu ( pseudostratified columnar epithelium) yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel-sel goblet.Pada bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang terjadi metaplasia, menjadi epitel skuamosa. 7 Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir (mucous blanket ) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel goblet. 7 Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. 7 Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental dan obat-obatan. 7 Di bawah epitel terdapat tunika propria yang banyak mengandung pembuluh darah, kelenjar mukosa dan jaringan limfoid. 7 Pembuluh darah pada mukosa hidung mempuyai susunan yang khas. Arteriol terletak pada bagian yang lebih dalam dari tunika propria dan tersusun secara pararel dan
longitudinal. Arteriol ini memberikan pendarahan pada anyaman kapiler periglanduler dan subepitel. Pembuluh eferen dari anyaman kapiler ini membuka ke rongga sinusoid vena yang besar yang dindingnya dilapisi oleh jaringan elastis dan otot polos. Pada bagian ujungnya sinusoid ini mempuyai sfingter otot. Selanjutnya sinusoid akan mengalirkan darahnya ke pleksus vena yang lebih dalam lalu ke venula. Dengan susunan demikian mukosa hidung menyerupai sesuatu jaringan kavernosus yang erektil, yang mudah mengembang dan mengerut. Vasodilatasi dan Vasokonstriksi pembuluh darah ini dipengaruhi oleh saraf otonom.7 Pada bagian bawah, mukosa melekat erat pada periostium atau perikondrium.Mukosa sinus paranasal berhubungan langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan pembuluh darahnya juga lebih sedikit. Tidak ditemukan rongga-rongga vaskuler yang besar. Sel-sel goblet dan kelenjar juga lebih sedikit dan terutama ditemukan dekat ostium. Palut lendir di dalam sinus dibersihkan oleh silia dengan gerakan menyerupai spiral ke arah ostium. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia ( pseusostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan. 7 3.1.2 Anatomi Sinus Paranasal a. Sinus Frontalis Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi, dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus pasangannya. Ukuran rata-rata sinus frontal yaitu tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm dan isi rata-rata 6-7 ml. Dinding depan sinus frontal hampir selalu diploik, terutama pada bagian luar atau sudut infero-lateral dan pada sulkus superior tempat pertemuan dinding anterior dan posterior. 9 Dinding medial sinus merupakan septum sinus tulang interfrontalis yang biasanya berada dekat garis tengah, tetapi biasanya berdeviasi pada penjalarannya ke posterior, sehingga sinus yang satu bisa lebih besar daripada yang lain. Sinus frontalis bermuara ke dalam meatus medius melalui duktus nasofrontalis. Kadang-kadang kedua sinus frontalis tidak terbentuk atau yang lebih lazim tidak terbentuk salah satu sinus.10 b. Sinus Maksilaris
Sinus maksilaris disebut juga antrum Highmore, yang telah ada saat lahir. Saat lahir sinus bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai
ukuran maksimal yaitu 15 ml saat dewasa. Merupakan sinus terbesar dan terletak di maksila pada pipi yang berbentuk segitiga. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksilaris yang disebut fosa kanina,dinding posteriornya adalah permukaan infratemporal maksilaris, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksilaris berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Sinus maksilaris ini sering terinfeksi oleh karena merupakan sinus paranasalis yang terbesar, letak ostiumnya yang lebih tinggi dari dasar sehingga aliran sekret dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, dasar dari anatomi sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu P1 dan P2 dan M1, M2 dan M3, kadangkadang juga gigi caninus, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis dan karena ostium sinus maksila terletak di meatus medius, di sekitar hiatus semilunaris yang sempit sehingga mudah tersumbat.11 c. Sinus Etmoidalis
Sinus etmoid pada orang dewasa berbentuk seperti piramid dengan dasarnya pada bagian posterior. Ukurannya dari anterior ke posterior adalah 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebarnya 0,5 cm di anterior sedangkan di bagian posterior 1,5 cm. 11 Sinus etmoidalis berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior dengan perlekatan konka media. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya sinus ostium sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.11 d. Sinus Sfenoidalis
Sinus sfenoid terletak di os sfenoid, di belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang jarang terletak di tengah disebut septum intersfenoid. 11
Ukuran sinus ini kira-kira pada saat usia 1 tahun 2,5 x 2,5 x 1,5, pada usia 9 tahun 15 x 12 x 10,5 mm. Isi rata-rata sekitar 7,5 ml (0,05-30 ml). 9 Batas-batasnya ialah sebelah superior terdapat fossa serebri dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus dan arteri karotis interna dan di sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di daerah pons.
Gambar 3.4 Lokasi Sinus 3.1.3 Fisiologi Sinus Paranasal
Ada beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi dari sinus paranasal, namun belum ada bukti yang sesuai yang dapat mebuktikan teori-teori tersebut. Beberapa teori yang dikemukakan antara lain:8 a. Sebagai pengatur kondisi udara Sinus berfungsi sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah karena ternyata tidak didapati pertukaran udara yang defenitif antara sinus dan rongga hidung. b. Sebagai penahan suhu Sinus paranasal berfungsi sebagai penahan (buffer) panas, melindungi orbita dan fosa serebri dari rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungi. c. Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi, bila udara dalam sinus diganti dengan tulang, hanya akan memberikan pertambahan berat sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini tidak dianggap bermakna. d. Membantu resonansi suara
Sinus mungkin berfungsi sebagai rongga untuk menambah resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan tetapi ada yang berpendapat, posisi sinus dan ostiumnya tidak memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonansi yang efektif. e. Sebagai peredam perubahan tekanan udara Fungsi ini akan berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak, misalnya pada waktu bersin dan beringus. f. Membantu produksi mukus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk dalam udara.
3.2 Rhinosinusitis 3.2.1 Definisi
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai
atau
dipicu oleh
rinitis
sehingga sering disebut
rhinosinusitis. Penyebab
utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri.2 Menurut The European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps (EPOS), Rhinosinusitis merupakan inflamasi pada organ hidung dan sinus paranasal, yang karakteristiknya ditandai oleh dua faktor mayor atau kombinasi dari satu faktor mayor dan dua faktor minor. Faktor mayor termasuk obstruksi nasal, nyeri di daerah wajah, nasal discharge/purulance/discolored postnasal drainage, hyposmia/anosmia. Faktor minor ialah nyeri kepala, demam, halitosis, sakit gigi, batuk dan nyeri di telinga/terasa penuh pada telinga.1 3.2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
a. Virus Virus
yang
biasanya
menyebabkan
rhinosinusitis
adalah
rhinovirus,
virus
parainfluenza, respiratory syncitial virus (RSV) dan virus influenza. Tiap-tiap virus mempunyai banyak serotype, yang mana semuanya berpotensi untuk memperparah infeksi tersebut. Rhinovirus merupakan penyebab tersering pada orang dewasa dan memuncak pada musim gugur. RSV dan virus influenza lebih merusak silia pernafasan pada saat musim dingin dan di awal musim semi. 15 b. Bakteri
Bakteri patogen yang paling sering menyebabkan rhinosinusitis bakteri akut yaitu S. pneumoniae dan H. influenzae. Patogen ini telah menyebabkan rhinosinusitis sejak pertama kali dilakukan penelitian dan menjadi organisme penyebab yang paling utama. Sedangkan patogen yang sering muncul pada rhinosinusitis bakteri kronis adalah S. aureus, staphylococcus koagulase negatif, bakteri anaerob dan bakteri gram negatif. 15 c. Jamur Aspergilosis merupakan salah satu jamur yang paling banyak ditemui pada infeksi sinus paranasal dengan ciri khas sekret mukopurulen yang bewarna hijau kecoklatan. Mukormikosis merupakan infeksi oportunistik yang ganas yang dapat menjadi patogenik pada manusia yang menderita asidosis diabetik dan imunosupresi. Dijumpai sekret yang berwarna pekat, gelap, berdarah dan gambaran konka yang berwana hitam atau merah bata. Kandida bersama histoplasmosis, koksidiomilosis, sporotrikosis, serokosporamikosis dan blastomikosis jarang yang mengenai hidung. 15 d. Alergi Rinitis merupakan suatu reaksi alergi yang diperantarai oleh imunoglobulin. Reaksi ini melibatkan suatu antibodi, biasanya IgE, yang mana bagian Fc antibodi melekat pada suatu sel yang mengandung mediator atau prekursornya (sel mast, basofil, eosinofil, makrofag). Bagian Fab dari antibodi ini berinteraksi dengan alergen spesifik dan akibatnya terjadi aktivasi beberapa enzim membran. Hasil pembelahan enzimatik menyebabkan pelepasan mediator seperti histamin, prostaglandin dan leukotrien. Mediator ini menyebabkan suatu reaksi tipe segera yang timbul , misalnya edema. Selain itu juga akan terjadi reaksi lambat yang selanjutnya cenderung terjadi akibat pelepasan mediator dari sel mast dan demikian pula eosinofil, makrofag dan trombosit. 15 e. Kelainan struktur dan anatomi hidung Kelainan anatomi hidung dan sinus juga dapat mengganggu fungsi mukosiliar secara lokal. Jika permukaan mukosa yang saling berhadapan menjadi lebih mendekat atau bertemu satu sama lain, maka aktivitas silia akan terhenti. Deviasi septum, polip, konka bulosa atau kelainan struktur lain di daerah kompleks osteomeatal dan ostium sinus dapat menghalangi transportasi mukosiliar.1 f. Lingkungan Apabila terpapar oleh lingkungan yang berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok yang lama, hal tersebut akan menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.2
3.2.3 Epidemiologi
Insidensi Rhinosinusitis akut sangatlah tinggi, diperkirakan terdapat 2-5 episode pada orang dewasa per tahun dan sekitar 7-10 episode per tahun pada anak usia sekolah. Sekitar 0,5-2% dari ISPA akan menjadi infeksi bakteri. Pada tahun 2002 sekitar 18 kasus sinusitis terjadi per 1000 anak dalam rentang usia 12-17 tahun yang terjadi tiap tahunnya, 2 kasus pada rentang usia 0-4 tahun, dan 7 kasus pada usia 5-11 tahun.12 Sangat sedikit data epidemiologi insidensi dan prevalensi Rhinosinusitis Kronik dengan polip atau tanpa polip di negara-negara eropa. Namun, berdasarkan data yang ada kira-kira terdapat 5-15% populasi yang mengalami rhinosinusitis kronik di eropa dan Amerika. Sedangkan prevalensi rhinosinusitis kronis yang didiagnosa oleh dokter sebanyak 2-4%.12 3.2.4 Klasifikasi
Menurut Konsensus 2004 secara klinis sinusitis dibagi atas 2: a. Sinusitis akut
: batas waktu ≤ 4 minggu.
b. Sinusitis subakut
: antara 4 minggu sampai 3 bulan
c. Sinusitis Kronis
: ≥ 3 bulan.
Sedangkan berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi 2: 2 a. Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis. b. Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar). Menurut European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012,
berdasarkan waktunya rhinosinusitis dapat terbagi atas:12 1. Rhinosinusitis akut
: gejala berlangsung < 12 minggu
2. Rhinosinusitis kronik
: gejala berlangsung > 12 minggu tanpa resolusi lengkap
Berdasarkan beratnya penyakit, rhinosinusitis dapat dibagi menjadi ringan, sedang dan berat berdasarkan total skor visual analogue scale (VAS) (0-10) : 12 1. Ringan = VAS 0-3 2. Sedang = VAS >3-7 3. Berat = VAS >7-10 3.2.5 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya klirens mukosiliar (mucocilliary clearance) di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi
antimikrobial dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman yang masuk bersama udara pernafasan. 12 Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan jika terjadi edema, mukosa yang saling berhdapan akan bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadinya tekanan negatif di dalam rongga sinnus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non baketrial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan.12 Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. 12 Jika terapi tidak berhasil (misalnya jika ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar dan sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan kist a. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tidakan operasi.12 3.2.6 Manifestasi Klinis
Dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran pernafasan atas (terutama pada anak kecil), berupa pilek dan batuk yang lama, lebih dari 7 hari. Gejala subjektif terdiri dari gejala sistemik, yaitu demam dan rasa lesu, serta gejala lokal yaitu hidung tersumbat, ingus kental yang kadang berbau dan mengalir ke nasofaring ( post nasal drip), halitosis, sakit kepala yang lebih berat pada pagi hari, nyeri di daerah sinus yang terkena, serta kadang nyeri alih ke tempat lain. Pada sinusitis maksila, nyeri terasa dibawah kelopak mata dan kadang menyebar ke alveolus, hingga terasa di gigi. Nyeri alih terasa di dahi dan depan telinga. Pada sinusitis etmoid, nyeri di pangkal hidung dan kantus medius, kadang-kadang nyeri di bola mata atau belakangnya, terutama bila mata digerakkan. Nyeri alih di pelipis. Pada sinusitis frontal, nyeri terlokalisasi di dahi atau di seluruh kepala. Pada sinusitis sfenoid, rasa nyeri di verteks, oksipital, retro orbital, dan di sfenoid. Sinusitis dapat dicurigai bila ditemukan 2 kriteria mayor + 1 minor atau 1 mayor + 2 minor.13
Tabel 3.1 Karakteristik Mayor dan Minor Sinusitis Kriteria Mayor
Kriteria Minor
Nyeri wajah/nyeri wajah saat ditekan
Sakit kepala
Kongesti/rasa penuh di wajah
Demam dan lemas
Sumbatan hidung
Halitosis
Sekret nasal purulen/aliran post nasal berubah warna
Sakit gigi
Hiposmia/anosmia
Batuk
Demam (akut)
Nyeri, rasa tertekan, penuh pada telinga
Gejala objektif, tampak pembengkakan di daerah muka. Pada sinusitis maksila terlihat di pipi dan kelopak mata bawah, pada sinusitis frontal terlihat di dahi dan kelopak mata atas, pada sinusitis etmoid jarang bengkak, kecuali bila ada komplikasi. Pada rinoskopi anterior tampak mukosa konka hiperemis dan edema. Pada sinusitis maksila, frontal, dan etmoid anterior tampak mukopus di meatus medius. Pada sinusitis etmoid posterior dan pada sfenoid, tampak nanah keluar dari meatus superior. Pada rinoskopi posterior tampak mukpus di nasofaring (post nasal drip). Pada anak dengan demam tinggi (>39 oC), ingus purulen, dan sebelumnya menderita infeksi saluran nafas atas, patut dicurigai adanya sinusitis akut, terutama jika tampak edema periorbital yang ringan. Khusus pada anak-anak, gejala batuk jauh lebih hebat pada siang hari tetapi terasa sangat mengganggu pada malam hari, kadang disertai serangan mengi. Keluhan sinusitis akut pada anak kurang spesifik dibandingkan dewasa. Anak sering tidak mengeluh sakit kepala dan nyeri muka. Biasaya yang terlibat hanya sinus ma ksila dan etmoid. 13 3.2.7 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.11 1. Gambaran Klinis
Kriteria rhinosinusitis akut dan kronik pada penderita dewasa dan anak berdasarkan gambaran klinik, yaitu:
Tabel 3.2 Kriteria Rhinosinusitis Akut dan Kronik pada Anak dan Dewasa menurut I nternational
No.
1.
2.
Conference on Sinus D isease 1993 & 2004.
Kriteria
Rhinosinusitis Akut
Rhinosinusitis Kronik
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Lama Gejala dan
<12
<12
≥12
≥12
Tanda
minggu
minggu
minggu
minggu
<4
<6
≥4
≥6
kali/tahun
kali/tahun
kali/tahun
kali/tahun
Jumlah
episode
serangan
akut,
masing-masing berlangsung
10
hari Reverbilitas Mukosa 3.
Dapat sembuh sempurna
Tidak
dengan
sempurna
medikamentosa
pengobatan
dapat
sembuh dengan
pengobatan medikamentosa
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior, pemeriksaan nasoendoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas adalah adanya pus di meatus medius atau di daerah meatus superior. 2. Rinoskopi anterior Rinoskopi anterior adalah alat dasar untuk pemeriksaan fisik yang paling spesifik yang berkaitan dengan keadaan patologis pada daerah sinunasal. Ia adalah pemeriksaan yang tepat untuk mengevaluasi pasien sebelum dan sesudah pemakaian dekongestan topikal. Sebelum dekongesti, pemeriksa mengevaluasi permukaaan anterior nasal. Biasanya hanya setelah dekongesti, middle turbinate dapat divisualisasi secara jelas. 3. Transiluminasi Sinus Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas kegunaannya. 2
4. Endoskopi nasal Di samping memainkan peranan yang penting dalam mendiagnosa rhinosinusitis, endoskopi nasal juga dapat membantu dalam pemberian terapi yang tepat. Sebilangan besar dokter menggunakan menggunakan endoskopi nasal karena alasan yang berikut : Gejala-gejala pasien saja tidak dapat menjadi patokan untuk mendiagnosa. Endoskopi merupakan fasilitas diagnostik yang lebih baik dan dapat mendeteksi kelainan yang tidak diketemukan pada saat anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan pencitraan. Perubahan warna hijau kekuningan tampak pada permukaan nasal. Kultur endoskopik berguna untuk organisme yang menyebabkan rhinosinusitis. 14 5. Pemeriksaan mikrobiologi Biakan dari hasil yang berasal dari hidung bagian posterior dan nasofa ring biasanya lebih akurat dibandingkan dengan biakan hidung bagian anterior. Namun demikian, pengambilan biakan hidung bagian posterior juga lebih sulit. Biakan bakteri spesifik pada sinusitis dilakukan dengan mengaspirasi pus dari sinus yang terkena. Pemeriksaan ini sering dilakukan untuk mencari antibiotik yang sesuai untuk membasmi mikroorganisme penyebab penyakit ini.14 6. Foto polos kavitas nasal dan sinus paranasal Rhinosinusitis menunjukkan gambaran berupa : - Penebalan mukosa - Opasifikasi sinus (berkurangnya pneumatisasi) - Gambaran air fluid level yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto waters. Foto polos posisi Waters, PA dan Lateral umumnya hanya mampu menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal.2,14 7. CT csan CT scan merupakan gold standard akan diagnosis sinusitis dan dapat memberikan gambaran paling baik akan adanya kelainan pada mukosa dan variasi antominya tulang yang relevan untuk mendiagnosis sinusitis kronis maupun akut. Dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau praoperasi sebagai panduan operator saat melakukan operasi sinus. Walaupun demikian, harus diingat bahwa CT scan menggunakan dosis radiasi yang sangat besar, yang berbahaya bagi mata.2,14
3.2.8 Diagnosis Banding
Diagnosis banding sinusitis adalah luas, karena tanda dan gejala sinusitis tidak sensitif dan spesifik. Infeksi saluran nafas atas, polip nasal, penyalahgunaan kokain, rinitis alergika, rinitis vasomotor, dan rinitis medikamentosa dapat datang dengan gejala pilek dan kongesti nasal. Rhinorhea cairan serebrospinal harus dipertimbangkan pada pasien dengan riwayat cedera kepala. Pilek persisten unilateral dengan epistaksis dapat mengarah kepada neoplasma atau benda asing nasal. Tension headache, cluster headache, migren, dan sakit gigi adalah diagnosis alternatif pada pasien dengan sefalgia atau nyeri wajah.15 Pasien dengan demam memerlukan perhatian khusus, karena demam dapat merupakan manifestasi sinusitis saja atau infeksi sistem saraf pusat yang berat, seperti meningitis atau abses intrakranial.15 3.2.9 Penatalaksanaan
Tujuan terapi sinusitis adalah mempercepat penyembuhan, mencegah komplikasi, dan mencegah perubahan menjadi kronik. Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.11 Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilinklavulanat atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis antibiotic diberikan selama 1014 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. 11 Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob. Selain dekongestan oral dan topical, terapi lain dapat diberikan jika diperlukan, seperti analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan secret menjadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2. Irigasi sinus maksila atau Proetz displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika pasien menderita kelainan alergi yang berat.11 Tindakan operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF) merupakan operasi terkini untuk rhinosinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. 11
Penatalaksanaan untuk rhinosinusitis dapat dilihat melalui skema yang telah ditetapkan oleh The European position paper on rhinosinusitis and nasal polyps (EPOS). 1
Skema 3.1 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer.1
Skema 3.2 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut Pada Dewasa dan Anak Untuk Dokter Spesialis THT.1
Skema 3.3 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Akut Pada Anak Untuk Pelayanan Kesehatan Primer.
Skema 3.4 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronis Pada Dewasa Untuk Pelayanan Kesehatan Primer dan bukan dokter spesialis THT. 1
Skema 3.5 Penatalaksanaan Rhinosinusitis KronisTanpa Polip Nasi Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT1
Skema 3.6 Penatalaksanaan Rhinosinusitis Kronis dengan Polip Nasi Pada Dewasa Untuk Dokter Spesialis THT.1
Skema 3.7 Penatalaksanaan Rhinosinusitis KronisTanpa Polip Nasi Anak-anak Untuk Dokter Spesialis THT.1 3.2.10 Komplikasi
Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata setelah ditemukannya antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita dan intrakranial.
15
1. Komplikasi Orbita. Disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata (orbita). Yang paing sering ialah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Terdapat lima tahapan pada komplikasi maksila.15 a.
Peradangan atau reaksi edema yang ringan.terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini.
b.
Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk.
c.
Abses subperiosteal. Pus terkumpul diantra periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis.
d.
Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita. Disertai gejala sisa neritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasan gerak otot ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah.
e.
Trombosis sinus kavernosus. Merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus dimana selanjutnya terbentuk suatu trombofeblitis septik.
2. Komplikasi Intrakranial15 a.
Meningitis Akut Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanajang saluran vena atau langsung dari sinus yang berekatan, seperti lewat dinding posterior sinus frontalis atau melalui lamina kribiformis di dekat sistem udara etmoidalis.
b. Abses Dura Abses dura adalah kumpulan pus diantara dura dan tabula interna kranium. Seringkali mengikuti sinus frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien hanya mengeluhkan sakit kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu meningkakan tekanan intrakranial yang memadai, mungkin tidak terdapat gejala neurologik lain. Abses subdural adalah kumpulan pus diantara durameter dan araknoid atau permukaan otak. Gejala-gejala kondisi ini serupa dengan abses dura yaitu nyeri kepala yang membandel dan dengan demam tinggi dengan tanda-tanda rangsanganmeningen. Gejala utama tidak timbul sebelum intrakranial meningkat atau sebelum abses memecah ke dalam ruang subaraknoid. c. Abses Otak Abses otak biasanya terjadi melalui tromboflebitis yang meluas secara langsung. Dengan demikian lokasi abses yang sering adalah pada ujung vena yang pecah, meluas menembus dura dan araknoid hingga ke perbatasan antara substansia alba dan grisea korteks serebri. Pada ttitik inilah akhir saluran vena permukaan otak bergabung dengan akhir saluran vena serebralis bagian sentral. 3. Osteomielitis dan abses subperiosteal Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anakanak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral atau fistula pada pipi.11 4. Kelainan Paru
Seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusiti snya disembuhkan. 11 3.2.11 Prognosis
Sinusitis
tidak
menyebabkan
kematian
yang
signifikan
dengan
sendirinya.
Namun, sinusitis yang berkomplikasi dapat menyebabkan morbiditas dan dalam kasus yang jarang dapat menyebabkan kematian. Sekitar 40 % kasus sinusitis akut membaik secara spontan tanpa antibiotik. Perbaikan spontan pada sinusitis virus adalah 98 %.Pasien dengan sinusitis akut, jika diobati dengan antibiotik yang tepat, biasanya menunjukkan perbaikan yang cepat. Tingkat kekambuhan setelah pengobatan yang sukses adalah kurang dari 5 %. Jika tidak adanya respon dalam waktu 48 jam atau memburuknya gejala, pasien dievaluasi kembali.16 Sinusitis kronik dihubungkan denganeksaserbasi asma dan komplikasi serius lainnya seperti abses otak dan meningitis yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas dari sinusitis. Penatalaksanaan secara dini dalam menangani sinusitis kronik dapat menurunkan mortilitas dan morbiditas. FESS dapat memperbaiki konisi sinus dan 80-90% gejala dapat komplit atau moderate dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. 17 3.3 Polip Nasi 3.3.1 Definisi
Polip hidung ialah massa lunak yang mengandung banyak cairan didalam rongga hidung, berwarna putih keabu-abuan, yang terjadi akibat inflamasi mukosa. 18 3.3.2 Epidemiologi
Polip dapat timbul pada penderita laki-laki maupun perempuan, dari usia anak-anak sampai usia lanjut.bila ada polip pada anak dibawah usia 2 tahun, harus disingkirkan kemungkinan meningokel atau meningoensefalokel. 18 3.3.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Dulu diduga predisposisi timbulnya polip nasi ialah adanya rinitis alergi atau penyakit atopi, tetapi makin banyak penelitian yang mengemukakan berbagai teori dan para ahli saat ini menyatakan bahwa etiologi polip nasi masih belum diketahui secara pasti. 3.3.4 Patogenesis
18
Pembentukan polip sering diasosiasikan dengan inflamasi kronik, disfungsi saraf otonom serta predisposisi genetik. Menurut teori Brenstein, terjadi perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang bertubulensi, terutama di daerah sempit di kompleks ostiomeatal. Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan pen yerapan natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga terbentuk polip. 18 Teori lain mengatakan karena ketidak seimbangan saraf vasomotor, terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi vascular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast, yang akan menyebabkan edema dan lama kelamaan menjadi polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab semakin membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung dengan membentuk tangkai. 18 3.3.5 Makroskopis
Secara makroskopik polip merupakan massa bertangkai dengan permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multiple, dan tidak sensitive (bila ditekan/ditusuk tidak terasa sakit). Warna polip yang pucat tersebut disebabkan karena mengandung banyak cairan dan sedikitnya aliran darah ke polip. Bila terjadi iritasi kronis atau proses peradangan warna polip dapat berubah menjadi kemerah-merahan dan polip yang sudah menahun warnanya dapat menjadi kekuning-kuningan karena banyak mengandung jaringan epitel. 18 Tempat asal tumbuhnya polip terutama dari kompleks osteomeatal di meatus medius dan sinus etmoid. Bila ada fasilitas pemeriksaan dengan endoskopi, mungkin tempat asal tangkai polip dapat dilihat. Ada polip yang tunbuh ke arah belakang dan membesar di arah nasofaring, disebut polip koana. Polip koana kebanyakan berasal dari dalam sinus maksila dan disebut juga polip anterokoana. Ada juga sebagian kecil polip koana yang berasal dari sinus etmoid.18 3.3.6 Mikroskopis
Secara mikroskopis tampak epitel pada mukosa polip serupa dengan mukosa hidung normal. Yang itu epitel bertingkat semu bersilia dengan submukosa yang sembab. Sel-selnya terdiri dari limpofisl, sel plasma, eosinofil, neutrofil, dan makrofag. Mukosa mengandung selsel goblet. Pembuluh darah, saraf dan kelenjar sangat sedikit. Polip yang sudah lama dapat mengalami metaplasia epitel karena sering terkena aliran udara, menjadi epitel transisional, kubik atau gepeng berlapis tanpa keratinisasi. 18
Berdasarkan jenis sel peradangannya, polip dikelompokkan menjadi dua yaitu polip tipe eosinofilik dan neutrofilik. 18 3.3.7 Diagnosis 1. Anamnesis
Keluhan utama penderita polip nasi ialah hidung rasa tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala daerah frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah bernafas melalui mulut,
suara sengau, halitosis, gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup.Dapat menyebabkan gejala pada saluran napas bawah, berupa batuk kronik dan mengi, terutama pada penderita polip nasi dengan asma.Selain itu harus ditanyakan riwayat rhinitis alergi, asma, intoleransi terhadap aspirin dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.18 2. Pemeriksaan fisik
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior terlihat sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan.18 Pembagian stadium
polip menurut Mackay dan Lund (1997), stadium 1: polip masih
terbatas di meatus medius, stadium 2: polip sudah keluar dari meatus medius, tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi rongga hidung, stadium 3: polip yang masif .18 3. Pemeriksaan Penunjang a. Naso-Endoskopi
Adanya fasilitas endoskop (teleskop) akan sangat membantu diagnosis kasus polip yang baru. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksaan nasoendoskopi. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.Untuk melihat polip yang masih kecil dan belum keluar dari kompleks osteomeatal. 18 b.Radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi waters, AP, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara cairan di dalam sinus, tetapi
kurang bermamfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi komputer (TK, CT scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks ostiomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diobati dengan terapi medikantosa, jika ada komplikasi dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama bedah endoskopi.18 3.3.8 Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan kasus polip nasi ialah menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah rekurensi polip. 18 Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip nasi disebut juga polipektomi medikamentosa. Dapat diberikan topical atau sistemik. Polip tipe eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik.18 Kasus polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip yang sangat masih dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat dilakukan ekstraksi polip (polipektomi) menggunakan senar polip atau cunam dengan analgesi local, etmoidektomi intranasal atau etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Caldwell-Luc untuk sinus maksila. Yang terbaik ialah bila tersedia fasilitas endoskop maka dapat dilakukan tindakan BSEF (Bedah Sinus Endoskopi Fungsional). 18
BAB IV ANALISA KASUS
Ny. S, usia 46 tahun, datang ke RSUD Raden Mattaher pada tanggal 18 A gustus 2018 dengan keluhan hidung tersumbat yang semakin memberat sejak
± 3 bulan yang lalu.
Keluhan dirasakan terus menerus hingga mengganggu tidur pasien. Keluhan ini membuat os menjadi sulit bernafas sehingga os bernafas melalui mulut. Sebelumnya os sudah merasakan hidung tersumbat sejak ± 1 tahun yang lalu. Selain itu, os juga mengeluhkan adanya nyeri pada dahi, pangkal hidung dan belakang mata, serta keluarnya cairan jernih dari hidung yang awalnya hanya dirasakan saat cuaca dingin saja dan sekarang cairan tersebut berubah warna menjadi kekuningan yang berbau sehingga os sulit bernafas dan penciumannya terganggu. Os juga
mengeluhkan keluarnya cairan yang mengalir dari belakang hidungnya menuju
tenggorokkannya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit ringan, kesadaran compos mentis, pada pemeriksaan otoskop telinga kanan dan kiri dalam batas normal. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan kavum nasi sebelah kanan dan kiri masih luas, terdapat sekret di hidung kiri, konka media kiri dan kanan sulit dinilai karena tertutup massa, meatus media kiri dan kanan sulit dinilai karena tertutup massa, dan terdapat massa pada hidung sebelah kiri dan kanan. Pada pemeriksaan nervus olfaktorius, didapatkan penurunan fungsi penghidu sebelah kiri berupa hiposmia. Pada pemeriksaan penunjang berupa hasil nasoendoskopi didapatkan massa pada cavum nasi dextra dan sinistra, dan terlihat massa pada meatus media dextra dan sinistra, serta ditemukannya sekret yang mukopurulent di daerah nasofaring. Keluhan pasien sesuai dengan gejala rhinosinusitis yaitu nyeri pada daerah sinus yang terkena dan dapat disertai dengan referred pain, terdapat sekret/ingus yang turun ke tenggorokkan ( post nasal drip), berkurangnya fungsi penciuman, dan disertai gejala lainnya seperti hidung tersumbat. Pada kriteria mayor ditemukan 3 kriteria pada os yaitu sumbatan hidung, sekret nasal purulen/aliran post nasal berubah warna, dan hiposmia sedangkan pada kriteria minor ditemukan 2 gejala pada pasien yaitu sakit kepala dan halitosis. Dikatakan rhinosinusitis kronis berdasarkan konsensus tahun 2004 gejala dirasakan pasien lebih dari 12 minggu. Sedangkan keluhan hidung tersumbat sesuai dengan teori keluhan polip hidung dan pada pemeriksaan rhinoskopi anterior juga ditemukan adanya massa dengan permukaan licin
berbentuk bulat yang telah keluar dari meatus medius dan menutupi kavum nasi. Didukung dengan pemeriksaan nasoendoskopi ditemukan massa translusen berwarna putih, konsistensi kenyal di meatus nasi media dextra dan sinistra. Maka dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diatas didapatkan diagnosis rhinosinusitis kronis dan polip hidung sinistra grade III. Untuk lebih menegakkan diagnosisnya pasien sebaiknya dilakukan pemeriksaan foto polos sinus paranasal posisi Waters, AP dan Lateral, serta dilakukan CT-Scan tanpa kontras, dan apabila sudah ditemukan letak sinus yang infeksi maka perlu dilakukan kultur bakteri agar dapat diberikan antibiotik yang tepat dan uji resistensi bakteri untuk mempercepat penyembuhan. Penatalaksanaan pada pasien ini bertujuan untuk mengatasi obstruksi pada sinus serta mengangkat massa pada kedua cavum nasi pasien. Maka pasien direncanakan akan dilakukan operasi Bedah Sinus Endoskopi Fungsional (BSEF). Namun pada pasien ini diberikan terlebih dahulu penatalaksanaan medikamentosa berupa antibiotik, antihistamin dan kortikosteroid.
BAB V KESIMPULAN
Rhinosinusitis adalah suatu peradangan pada sinus yang terjadi karena alergi atau infeksi virus, bakteri maupun jamur. Terdapat 4 sinus disekitar hidung yaitu sinus maksilaris, sinus ethmoidalis, sinus frontalis dan sinus sphenoidalis.Penyebab utama sinusitis adalah infeksi virus, diikuti oleh infeksi bakteri. Secara epidemiologi yang paling sering terkena adalah sinus ethmoid dan maksilaris. Gejala umum rhinosinusitis yaitu hidung tersumbat diserai dengan nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulent, yang seringkali turun ke tenggorol ( post nasal drip). Klasifikasi dari sinusitis berdasarkan klinis yatu sinusitis akut, subakut dan kronik, sedangkan klasifikasi menurut penyebabnya adalah sinusitis rhinogenik dan dentogenik. Bahaya dari sinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intracranial. Tatalaksana berupa terapi antibiotic diberikan pada awalnya dan jika telah terjadi hipertrofi, mukosa polipoid dan atau terbentuknya polip atau kista maka dibutuhkan tindakan operasi. Tatalaksana yang adekuat dan pengetahuan dini mengenai sinusitis dapat memberikan prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Fokkens W, Lund V, Mullol J. And et all. European Position Paper on Nasal Polyps. 2012. 2. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. Hal: 127-130 3. Bubun J, Aziz A, Akil A, And et all. Hubungan gejala dan tanda rhinosinusitis kronik dengan gambaran CT scan berdasarkan skor Lund-Mackay. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. 2009. 4. Arivalagan, Privina. The Picture Of Chronic Rhinosinusitis in RSUP Haji Adam Malik in Year 2011.E – Jurnal FK-USU Volume 1 No. 1 Tahun 2013 5. Budiman BJ, Azani S. Rhinosinusitis Kronis Dengan Variasi Anatomi Kavum Nasi. Jurnal Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.2013 6. Chaiyasate S. The Complications of Sinusitis in a Tertiary Care Hospital:Types, Patient Characteristics, and Outcomes. Hindawi Journal. 2015. Diunduh dari URL : https://www.hindawi.com/journals/ijoto/2015/709302/ 22 juli pada 2018 7. Damayanti S. Endang M. Retno SW.Hidung. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal. 96-100 8. Damayanti dan Endang. Sinus Paranasal. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2012. Hal. 122-126 9. Ballenger, J.J., 2009. Hidung dan Sinus Paranasal. Dalam: Ballenger JJ, Snow JB. Penyakit Telinga, Hidung,Tenggorokan, Kepala, dan Leher; jilid I. Tangerang: Bina Rupa Aksara, 4-243 10. Hilger, 1997. Anatomi dan Fisiologi Terapan Hidung dan Sinus Paranasalis. Dalam: Peter, A., (eds). 1997. Buku Ajar Penyakit THT, BOIES, alih bahasa oleh Wijaya, Caroline, Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 11. Mangkunkusumo, E., Soetjipto, D., 2007. Sinusitis. Dalam: Soepardi, E.A., Iskandar, N., (eds). 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorak Kepala Leher. Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 473-479.