BAB 1 PENDAHULUAN
Ambulatory anesthesia mulai banyak dipertimbangkan karena sejumlah center bedah mengembangkan pelayanan pembedahan ambulatory dan semakin bervariasinya teknik bedah yang memungkinkannya. Tipe anestesi One Day Care ini dapat menekan biaya perawatan dan pengobatan serta mencegah kemungkinan infeksi nosokomial akibat lamanya masa inap di Rumah Sakit. Sejak tahun 1950, saat di Kanada terjadi problem keterbatasan kapasitas tempat tidur Rumah Sakit, mulai dikembangkan pelayanan pembedahan ambulatory, demikian pula teknik anestesinya. Metode ambulatory anesthesia sampai saat ini tidak banyak berbeda dengan teknik anestesi pada umumnya, kecuali dengan ditinggalkannya penggunaan obat dengan masa pulih sadar yang lama beralih pada pilihan obat premedikasi dan induksi baru dengan masa kerja singkat. Metode ini membutuhkan kerja sama dan ketelitian antar bidang dalam memilih dan mengevaluasi pasien prabedah, sehingga tidak timbul penyulit berat selama dan sesudah pembedahan. Contohnya di Kanada terjadi peningkatan minat dalam pembedahan ambulatory karena sebagian rumah sakit kekurangan tempat tidur dan biaya rawat inap. Operasi hernia menjadi populer untuk bedah ambulatory. Kemajuan terhadap ambulatory anestesia telah dilakukan pada tahun 1960 oleh John Dillon dan David Cohen di Universitas California, Los Angeles (UCLA) dengan mengembangkan pelayanan pembedahan ambulatory. Tidak seperti di Kanada
1
yang terstimulasi kerena kurangnya tempat tidur rawat inap, Dillon dan Cohen terdorong karena tipisnya ekonomi, secara dramatis pembedahan ambulatory lebih murah dibandingkan pembedahan rawat inap. Saat ini kebanyakan pasien yang menjalani pembedahan dan tes diagnostic tidak perlu menginap di rumah sakit. Dalam banyak kasus, pemulihan cukup dilakukan di rumah. Ambulatory anastesia (outpatient anesthesia) telah terbukti aman, praktis, biaya murah dan dapat dilakukan di berbagai fasilitas termasuk rumah sakit, freestanding surgery center dan kantor ahli bedah Diperkirakan dari seluruh pembedahan 20-40% dapat diperlakukan sebagai pembedahan pada pasien ambulatory. Ada beberapa factor yang mendorong
berkembangnya
departemen
ambulatory,
yaitu:
1.
Semakin
meningkatnya biaya perawatan (rawat inap) di rumah sakit. Adanya perawatan ambulatory biaya perawatan dan pengobatan dapat ditekan sampai 40-80%. 2. Jumlah tempat tidur penderita di rumah sakit menjadi semakin terbatas, dibanding dengan pertambahan penduduk. 3. Pengadaan rumah sakit dengan segala sarana yang memerlukan biaya besar dapat ditekan. 4. Mengurangi dan mencegah kemungkinan infeksi nasokomial. 5. Mempersingkat terpisahnya pasien (terutama anak-anak) dengan keluarga atau kenalannya. 6. Menumpuknya jadwal pembedahan.
2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Ambulatory Anesthesia
2.1.1
Definisi Ambulatory anesthesia adalah pelayanan anestesia untuk pembedahan,
yang secara medis diduga tidak akan memerlukan perawatan menginap pascabedah. Dalam bahasa Indonesia, ambulatory anesthesia disamakan dengan pengertian anastesi tanpa rawat inap atau pasien ODC (One-day Care).9,10 Tujuan utama ambulatory anesthesia adalah terlaksananya prosedur pembedahan yang lebih efektif dan lebih ekonomis sehingga memberi keuntungan terhadap pasien, rumah sakit serta pihak yang membayar (third party pays atau asuransi).13 Beberapa faktor yang mendorong perkembangannya yaitu 1.
Makin meningkatnya biaya perawatan (rawat inap) di rumah sakit. Perawatan ambulatory dapat menekan biaya perawatan dan pengobatan sampai 40-80%.
2.
Jumlah tempat tidur di rumah sakit makin terbatas, dibanding dengan pertambahan penduduk.
3.
Pengadaan rumah sakit dengan segala sarananya memerlukan biaya besar.
4.
Mengurangi dan mencegah risiko infeksi nosokomial.
5.
Mempersingkat terpisahnya pasien (terutama anak-anak) dengan keluarga atau kenalannya.
6.
Menumpuknya jadwal pembedahan. Departemen atau klinik ambulatory ini dapat merupakan satu kesatuan
(unit) tersendiri baik kamar bedah maupun ruang perawatannya di dalam satu
3
rumah sakit besar, mempunyai ruang perawatan khusus dan tersendiri tetapi masih menggunakan kamar bedah umum di dalam rumah sakit besar, atau satu klinik terpisah yang berdiri sendiri tetapi mempunyai rumah sakit besar untuk rujukan jika terjadi komplikasi.9,10 2.1.2
Keuntungan3,4,5,11
1.
Biaya lebih murah dikarenakan biaya perawatan dan pengobatan dapat ditekan sampai 40-80%.
2.
Kemudahan menjadwalkan pembedahan. Pasien dapat memilih jam yang sesuai, terutama untuk anak dan lanjut usia.
3.
Tidak tergantung kapasitas rumah sakit, tidak usah menunggu kamar kosong di rumah sakit.
4.
Mengurangi dan mencegah kemungkinan infeksi nosokomial, terutama untuk pasien imunocompromised.
5.
Berkurangnya insidens medication errors.
6.
Menjaga privasi pasien.
7.
Pasien lebih cepat kembali ke lingkungan rumah terutama untuk pasien anak dan usia lanjut.
2.1.3
Syarat Obat Ambulatory2
1.
Induksi cepat dan lancar.
2.
Analgesia dan anestesia cukup baik.
3.
Cukup dalam untuk pembedahan.
4.
Masa pulih sadar cepat.
4
5.
Komplikasi anestesia pasca bedah minimal (mual, muntah, nyeri kepala, hipoksia)
2.1.4
Syarat Bedah Ambulatory4
Tidak semua tindakan atau penderita dapat ditanggulangi secara ambulatory, demikian pula tidak semua teknik anestesi dapat diterapkan pada pasien ambulatory. Ada beberapa persyaratan pembedahan ambulatory, yaitu: Kriteria Pasien 1. Sehat termasuk status fisik ASA 1 atau ASA 2 dengan penyakit atau kelainan sistemik yang terkendali. 2. Tidak ada riwayat pascabedah atau anesthesia yang kurang baik, misalnya mual atau muntah yang lama atau nyeri pasca bedah yang sulit ditanggulangi dengan anelgetika peroral. 3. Walaupun umur tidak merupakan faktor seleksi mutlak tetapi pasien dewasa muda dan anak (kecuali bayi prematur di bawah 6 bulan) lebih dapat diterima. 4. Pasien mengerti dan memahami instruksi prabedah dan pascabedah atau anestesia. 5. Sebaiknya tempat tinggal pasien tidak jauh dari rumah sakit (tidak lebih dari satu jam perjalanan). 6. Keinginan pasien sendiri.
5
Kriteria Pembedahan Pembedahan yang dapat dilakukan secara ambulatory harus memenuhi kriteria: 1. Lama pembedahan tidak melebihi 60 menit. Pembedahan yang terlalu lama akan menimbulkan efek akumulasi anestetik sehingga masa pulih sadar pasien juga berlangsung lama. 2. Pembedahan superfisial, bukan tindakan bedah di dalam kranium, toraks, atau abdomen (kecuali laparoskopi). 3. Tidak memerlukan pelemas otot yang sempurna. 4. Tidak banyak menimbulkan perubahan fisiologis. 5. Diduga tidak menyebabkan banyak perdarahan. 6. Kemungkinan komplikasi pascabedah rendah sekali. 7. Perlu dipertimbangkan bila : operasi besar, perdarahan banyak, nyeri hebat paska operasi, waktu operasi lama. 8. Minimal nyeri setelah operasi. 9. Tidak perlu perawatan dan immobilisai yang lama. 10. Dapat kembali dengan makan dan minum biasa dengan cepat 2.1.5
Macam Tindakan Bedah Ambulatory3,4 Pembedahan yang sering dijadwalkan untuk dilakukan secara ambulatory
adalah bedah minor dan berlangsung kurang dari 60 menit. Contoh pembedahan: 1. Mata: reseksi otot-otot ekstraokular, bedah katarak, eksisi khalazion, reparasi ptosis, koreksi strabismus, pemeriksaan mata yang memerlukan anestesi, sumbatan duktus nasolakrimalis.
6
2. THT:
tonsilektomi,
adenoidektomi,
antrostomi,
mikrolaringoskopi,
miringotomi, polipektomi, nasales, rinoplasti, bronkoskopi. 3. Bedah umum: biopsi, ekstirpasi tumor superfi sial, mammoplasti, fi surektomi, hemoroidektomi, herniorafi , insisi dan drainaseabses, stripping vena varises, sigmoidoskopi, endoskopi. 4. Kebidanan: biopsi, dilatasi dan kuretase, marsupialisasi, kista Bartholini, laparoskopi. 5. Ortopedi: reposisi tertutup, eksotektomi, ganglionektomi, bedah minor di lengan dan kaki, dekompresi tunnel karpal. 6. Urologi: sirkumsisi, sistokopi, frenulektomi, meatotomi, orkhidopeksi, vasektomi. 7. Plastik: prosedur kosmetika: pengangkatan keloid, blefaroplasti, otoplasti. 2.1.6 Penatalaksanaan2 Keberhasilan pembedahan ambulatory anesthesia tergantung pada seleksi pasien, jenis pembedahan dan teknik anesthesia yang tepat. Persiapan prabedah harus sama seperti pada pasien rawat inap karena risiko anestesinya juga sama. Persiapan dilakukan 1-2 hari sebelum hari pembedahan, untuk mengetahui: 1. Keadaan umum pasien. Harus sebaik atau seoptimal mungkin untuk mengurangi komplikasi. Dapat diketahui dari aktivitas sehari-sehari pasien (kuat berjalan, berlari, olahraga). Pemeriksaan laboratorium darah dan urin rutin; jika meragukan, dilakukan pemeriksan khusus lain seperti foto toraks, EKG, dan lain-lain.
7
2. Kondisi sistem pernapasan. Riwayat penyakit bronkhitis kronik, asma bronkhial, sesak napas, kebiasaan merokok. 3. Kondisi sistem kardiovaskuler. Riwayat infark miokard akut, dekompensasi kordis, hipertensi berat. Riwayat infark miokard 6 bulan sebelumnya dianggap stabil. 4. Penyakit ginjal, hepar, dan kelainan endokrin (diabetes melitus), kalau perlu diperiksa lebih lanjut. 7.
Obat-obat yang sedang diminum, antara lain obat anti hipertensi, MAO
inhibitor, insulin, antibiotik tertentu, kortikosteroid. Persiapan pra-bedah3,4 a. Wawancara, meliputi penyakit yang diderita, pembedahan atau anestesi yang pernah dialami, pengobatan selama ini, alergi, kecenderungan mual, muntah, dan vertigo, keluhan kardiovaskuler dan pernapasan. b. Pemeriksaan fisik, meliputi: 1. sistem kardiovaskular 2. sistem pernapasan 3. sistem organ lain c. Status psikologis: pasien atau pengantar dapat memahami dan mengerti instruksi yang diberikan. Misal: puasa ± 6-8 jam, instruksi pra dan pascabedah. d. Pemeriksaan laboratorium, meliputi:
8
1. Urine rutin, Hb, leukosit, eritrosit, trombosit; syarat Hb ≥10 g%. Pada kasus yang secara klinis sehat, pemeriksaan laboratorium ini tidak mutlak. 2. Pada pasien yang mempunyai penyakit ringan (ASA II) atau tersangka mengidap penyakit atau usia lebih dari 40 tahun, dimintakan pemeriksaan laboratorium lengkap (urea, N, kreatinin, gula darah). 3. Pemeriksaan foto toraks dan EKG, terutama untuk penderita usia >40 tahun. Pemeriksaan lain yang diperlukan. Premedikasi Pada umumnya tidak diberikan premedikasi, kecuali pasien terlalu gelisah atau sulit dikendalikan. Premedikasi akan memperpanjang masa pulih. Obat premedikasi yang umum adalah sulfas atropin, terutama bila memakai eter atau ketamin yang menambah sekresi jalan napas. Narkotik tidak digunakan karena memperpanjang masa pulih dan menyebabkan mual atau muntah pascabedah.2 Obat-obat premedikasi selain harus memenuhi tujuan premedikasi juga harus bersifat “short acting” dan diberikan dalam dosis rendah. Clarke and Hurtig telah membuktikan bahwa premedikasi meperidin (petidin) 1 mg/kgBB tidak memperpanjang masa pemulihan; demikian pula dengan pemberian diazepam, untuk anak-anak dapat diberi diazepam 0,1 mg/kg BB per oral.4 antimuntah, diberi droperidol 0,25-1,5 mg IV (50-75 μg/kgBB IV) sebagai premedikasi, tidak memperpanjang masa pemulihan.4 Ranitidin, metoklopramid atau natrium sitrat dapat digunakan sebagai profilaksis aspirasi. Tidak ada keuntungan memberikan profi laksis tripel atau ganda dibandingkan pemberian antagonis H2 saja.5
9
Ranitidin dikatakan lebih poten dan spesifik mengurangi produksi asam lambung dan menurunkan volume gaster. Metoklopramid meningkatkan tonus sfingter esofagus bagian bawah yang akan memfasilitasi pengosongan gaster.5 Teknik Anestesi4 Teknik anestesi untuk pasien ambulatory harus memenuhi kriteria: a. Induksi cepat, lancar dan menyenangkan. b. Pemeliharaan anestesi cukup sempurna, aman dan menyenangkan bagi pasien dan pembedah. c. Bebas dari rasa sakit, takut, dan pemulihannya cepat tanpa komplikasi (mual, muntah, vertigo, dan lain-lain). d. Tonus simpatis atau refleks protektif cepat kembali. Teknik anestesi untuk pasien ambulatory dapat dipilih: 1. Teknik anestesia lokal (topikal, infi ltrasi, field block). a. Paling aman, sederhana dan dapat dilakukan oleh ahli bedah. b. Penderita harus kooperatif. 2. Blokade saraf. a. Sederhana dan cukup aman. b. Perlu keterampilan dan pengalaman. 3. Anestesi regional (spinal atau epidural) a. Terbatas pada beberapa kasus saja (sangat selektif ). b. Tidak disenangi oleh pasien muda. c. Kesulitan yang timbul: d. Adanya blok simpatis sampai saat-saat pemulihan (bahaya hipotensi).
10
e. Efek samping nyeri kepala sering terjadi. f. Efek samping lain (retensi urin, diplopia, gangguan keseimbangan) walau jarang terjadi. 4. Anestesi umum2,3 Pada dasarnya tidak berbeda dengan anestesia pada pembedahanpembedahan elektif. Bedanya hanya menghindari obat yang menyebabkan masa pulih sadar lama. Induksi propofol 2-2,5 mg/kgBB i.v lebih digemari dibandingkan tiopental 3-7 mg/kgBB IV karena efek samping propofol minimal dan pulih sadarnya cepat. Nyeri suntikan propofol IV dapat dikurangi atau dihilangkan dengan memberikan lidokain 10-20 mg IV sebelumnya. Pada bayi dan anak induksi pilihan ialah halotan atau sevofl uran. Rumatan dapat menggunakan inhalasi halotan, enfl uran, isofl uran, desfl uran atau sevofluran. Rumatan anestesia intravena hanya menggunakan propofol 4-12 mg/kgBB/jam dengan bantuan opioid fentanil 1 μg/kgBB. Sungkup laring sering digunakan mengingat pemasangannya tidak memerlukan pelumpuh otot, asalkan puasa pasien cukup lama. Penggunaan pelumpuh otot, jika perlu pilihannya adalah golongan nondepolarisasi kerja singkat misalnya mivakurium atau rekuronium. Adanya sungkup laring, mengurangi penggunaan pelumpuh otot dan pipa trakea. Pada penggunaan pelumpuh otot, usahakan tanpa menggunakan penawar neostigmine pada akhir operasi yang kadang-kadang menyebabkan nyeri otot.
11
2.1.7 Pemantauan2 Selama anestesia berlangsung harus selalu diawasi: 1.
Pernapasan: tanda-tanda sumbatan jalan napas: napas berbunyi, retraksi otot dada, napas paradoksal. Tanda-tanda depresi pernapasan: napas dangkal sekali.
2.
Kardiovaskuler:
hipertensi,
hipotensi,
syok,
aritmia,
bradikardia,
takikardia, tanda-tanda henti jantung. 3.
Warna: sianosis atau pucat
4.
Suhu: hipotermia, hipertermia. Hal-hal tersebut harus segera diatasi.
2.1.8 Ruang Pulih Sadar (RPS)2 Sarana ruang pulih sadar diperlukan bila jumlah pembedahan ambulatory banyak dan rutin. Perlengkapan ruang pulih sadar untuk bedah ambulatory sama dengan yang untuk bedah elektif, seperti O2, alat pengisap, obat-obat, alat-alat untuk keadaan darurat dan perawat terlatih untuk resusitasi jantung paru. Pasien dapat dikeluarkan dari ruang pulih bila: sadar penuh, kooperatif, tanda-tanda vital baik, refl eks proteksi baik dan komplikasi-komplikasi lain tidak ada, tidak ada perdarahan ulang, rasa sakit hebat, mual dan muntah. Khusus untuk pasien dengan pipa endotrakea saat anestesia perlu diawasi minimal 2 jam, karena risiko edema laring. Keluarga pasien kalau perlu boleh menunggu di RPS untuk membantu mengawasi, terutama untuk anak-anak yang akan merasa aman/tenang bila orangtua/keluarga hadir. Pada saat pasien dikeluarkan dari RPS hendaknya diberi instruksi tertulis, misalnya siapa yang
12
harus dihubungi bila ada komplikasi. Alasan rawat inap pascaambulatory anesthesia ialah5 1. Faktor pembedahan (63,2%) a. Pembedahan meluas di luar prosedur yang diantisipasi b. Komplikasi mengharuskan pembedahan ulang atau observasi lanjut c. Perdarahan banyak selama atau pascaoperasi d. Follow up pembedahan atau rencana prosedur diagnostik 2. Faktor medis (19,9%) a. Kondisi medis yang tidak terkontrol b. Membutuhkan terapi antibiotik intravena 3. Faktor anestesi (12,7%) a. Mual atau muntah terus-menerus b. Pneumonia aspirasi c. Lemah dan lesu d. Nyeri yang tidak terkontrol 4. Faktor lain (4,7%) a. Pasien menolak pulang b. Ahli bedah membutuhkan observasi semalam atau pemeriksaan tambahan c. Tidak ada orang untuk merawat pasien di rumah
13
2.1.9 Komplikasi Pasca Bedah2 Ambulatory anesthesia tidak lepas dari komplikasi meskipun tidak berat misalnya nyeri kepala, mual, muntah-muntah nyeri pada otot, nyeri tenggorok, batuk-batuk, kurang konsentrasi. Kategori Komplikasi: a. Ringan: bila berlangsung 1-2 hari. b. Sedang: bila berlangsung 2-5 hari. c. Berat: bila berlangsung lebih dari 5 hari 2.1.10 Pencegahan dan penatalaksanaan komplikasi9 Komplikasi
ringan
biasanya
tidak
memerlukan
tindakan.
Bila
kemungkinan timbulnya komplikasi tersebut sudah dijelaskan sebelum menjalani anestesi, tidak akan timbul kekhawatiran berlebihan pada keluarga pasien. Keuntungan ambulatory anesthesia lebih besar daripada potensi komplikasi ringan tersebut. Mual dan muntah dapat dicegah dengan droperidol atau hidroksizin, terutama untuk pembedahan yang cenderung menimbulkan muntah pasca bedah, seperti laparoskopi dan pembedahan strabismus. Rasa nyeri otot dapat dicegah dengan prekurarisasi sebelum pemberian suksinilkolin. Bila ada nyeri otot, dapat diberikan parasetamol atau analgetik oral lain. Pascaherniotomi dapat dilakukan blok ilioinguinal dan iliohipogastrik dengan infi ltrasi bupivakain 0,5%, dengan dosis kurang dari 2 mg/kgBB di daerah medial SIAS. Pascasirkumsisi dapat diberikan bupivakain 0,25% tanpa adrenalin 1 cm dari garis tengah (kanan dan kiri) di bawah fasia Buck. Dengan cara ini akan didapatkan analgesia selama 6 jam. Nyeri tenggorok dan croup dicegah dengan teknik intubasi yang lancar dan atraumatis. Jalan napas orofaring sebaiknya tidak dipakai. Bila sudah terjadi croup
14
sampai spasme laring, dapat diberikan doxapram 1,5 mg/kgBB intravena perlahan-lahan selama 20 detik. Ong, Palahniuk dan Cumming menemukan, pada masa praanestesia pasien ambulatory mempunyai isi lambung yang lebih banyak dengan pH yang lebih rendah, dibandingkan dengan pasien yang dirawat tinggal.Karena itu, dianjurkan pemberian antasida praanestesia untuk mencegah aspirasi isi lambung. Nyeri terlalu hebat, perdarahan, muntah berlebihan dan keadaan lain yang tidak dapat diatasi sendiri di rumah harus diatasi di rumah sakit; harus ada perjanjian dengan unit rawat tinggal untuk merawat pasien dengan penyulit berat. Keluarga pasien juga harus diberi penjelasan tertulis mengenai penyulit-penyulit yang harus segera dilaporkan/segera dibawa ke rumah sakit. 2.1.11 Rawat Inap Pasca Ambulatory Anesthesia Dalam 30 hari pascapembedahan ambulatory, didapatkan 1,3% pasien kembali ke rumah sakit yang sama, 54% kembali ke unit gawat darurat, dan 46% menjalani perawatan kembali di rawat inap maupun ambulatory. Pada sekitar 1% pembedahan ambulatory, pasien terpaksa menjalani rawat inap yang tidak diharapkan;
biasanya
berhubungan
dengan
jenis
pembedahan,
lamanya
pembedahan, penggunaan teknik anestesi umum dan usia pasien. Diperkirakan seperempat pasien yang terpaksa menjalani rawat inap pascapembedahan ambulatory berhubungan dengan teknik anestesi. Kejadiannya cenderung lebih besar pada pasien yang mendapat anestesi umum dibandingkan dengan anestesi regional, tetapi sedasi pada pasien yang mendapat anestesi regional juga meningkatkan sejumlah komplikasi. Risiko rawat inap setelah anestesi regional lebih rendah (1,2%) dibandingkan setelah anestesi umum (2,9%). Waktu
15
pemulihan kelompok anestesi regional lebih pendek dibandingkan kelompok anestesi umum (56 menit vs 95 menit) dan kejadian nyeri pascaoperasi lebih rendah pada anestesi regional.5,6 2.1.12 Kriteria Pemulangan10 1. Pasien sadar baik dan orientasi terhadap orang, tempat dan waktu baik 2. Tanda-tanda vital telah stabil dalam 30-60 menit dan respirasi baik 3. Mampu bergerak tanpa dibantu 4. Mampu diberi cairan oral (tanpa muntah) 5. Tidak ada nyeri dan perdarahan 6. Pasien nyaman dan relatif bebas nyeri 7. Pasien dengan induksi ketamin, baru boleh pulang setelah 4 jam. Sedangkan pasien dengan propofol atau pentotal, sudah boleh pulang dalam 2 jam.10 Pasien yang mendapat anestesi spinal atau epidural hanya dapat dipulangkan jika fungsi motorik, sensorik dan simpatis kembali seperti sedia kala serta mampu mengosongkan kandung kemih, artinya blok telah hilang secara komplit. Berikut ini kriteria pemulangan pasien dengan teknik anestesi spinal atau epidural: 1. resolusi komplet anestesi sensorik, 2. resolusi komplet blokade motorik, 3. tanda vital kembali ke status preanestesi, 4. status mental kembali ke status preanestesi, 5. manajemen adekuat terhadap nyeri pascaoperasi,
16
6. tidak ada mual, 7. bisa buang air kecil, dan 8. bisa jalan tanpa bantuan asisten.7 2.1.13 Keadaan tidak memungkinkan ambulatory anesthesia Keadaan yang tidak memungkinkan
dilakukan ambulatory anesthesia
misalnya seperti bayi dengan resiko tinggi, anak-anak yang membutuhkan perawatan spesialistik preoperative,
Adanya riwayat keluarga hipertermia
maligna, hemofilia dan gangguan perdarahan, Airway yang sulit, Status fisik ASA III atau IV yang tidak terkontrol dengan baik, morbid obesity dengan penyakit sistemik lain, tidak ada orang dewasa pendamping, penderita menolak rawat jalan, penderita tidak bersedia mengikuti semua instruksi dokter, pasien dengan pendarahan banyak dan akan dilakukan operasi yang besar serta pasien dengan panas, batuk – pilek, nyeri telan.12,14
17
BAB 3 KESIMPULAN
Secara medis pasien yang dioperasi dan dianestesi ambulatory, tidak memerlukan rawat inap pascabedah. Risiko ambulatory anestesia sama besarnya dengan anesthesia pasien rawat inap. Tindakan bedah pada ambulatory anesthesia umumnya tergolong bedah minor, superfisial, tidak sulit dan cepat selesai. Walaupun demikian ambulatory anestesia tidak dapat dikaitkan dengan anestesia ringan. Anestesia juga harus dalam (sama untuk bedah rawat) agar pembedahan dapat dilakukan dengan baik, tidak tergesa-gesa dan aman. Risiko anestesia pada bedah mayor juga mungkin terjadi pada bedah ambulatory anesthesia. Yang diharapkan pada kasus ambulatory adalah masa pulih sadar yang cepat, tanpa penyulit berat, selama atau pascabedah sehingga pasien dapat dipulangkan pada hari yang sama. Pelaksanaannya membutuhkan kerja sama dan ketelitian memilih dan mengevaluasi pasien prabedah. Pasien harus dapat dipulangkan dengan aman, hendaknya tindakan bedah ambulatory selain terbatas pada kelainan ang kecil juga pada keadaan umum pasien yang baik (status fisik ASA 1 dan 2). Harus dipilih obat serta teknik anestesia agar pasien dapat cepat pulih sadar kembali tanpa efek samping seperti mual, muntah, atau pusing. Banyak rumah sakit sekarang cenderung melakukan lebih banyak pembedahan ambulatory anestesia untuk keuntungan pasien dan rumah sakit. Bagi pasien dapat membantu menghemat biaya pengobatan, mengurangi risiko infeksi, mengurangi stress karena tidak perlu berpisah dengan keluarga. Bagi rumah sakit
18
pemakaian tempat tidur lebih efektif dan efisien, dan juga memperpendek daftar tunggu pasien yang akan dibedah.
19
DAFTAR PUSTAKA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Gudaityte J, Marchertiene I, Pavalkis D. Anesthesia for ambulatory anorectal surgery. Medicina. 2004;4 (2). Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif. Anestesiologi. FKUI: Jakarta. 1989. p. 135-9. Latief SA dkk. Anestesiologi. Edisi kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta 2001. Hal: 121-3. Joshi GP. Inhalational techniques in ambulatory anesthesia. Anesthesiology Clin N Am. 2003;21:263-72. Dewandre PY. Preoperative management for ambulatory anaesthesia: does the choice of drug matter? Acta Anaesth Belg Suppl. 2004.55 00-00. Deutsch N, Cristhoper L. Patient outcomes following ambulatory anesthesia. Anesthesiology Clin N Am. 2003;21: 403-15. Joshi GP. The society for ambulatory anesthesia: 20th annual meeting report. Anesth Analg. 2006;102:759-63. Posner KL. Liability profi le of ambulatory anesthesia. ASA Newsletter. 2000;64(6):10-2. White P. Anesthesia for ambulatory surgery. Mxicana de Revista Anest. 2004;27 Sup.1: 43-52. Wennervirta J, Ranta S, Hynynen M. Awareness and recall in outpatient anesthesia. Anesth Analg. 2002;95:72-7. Chakravorty NJ, Chakravorty D, Agarwal. Spinal anaesthesia in the ambulatory setting: A review. Indian J Anaesth. 2003;47(3):167-73. Bisri, T. Recovery and Discharge of The Ambulatory Patient. Anestesia dan Critical Care 2004;Vol 22, No 2, hal 206-219 Gan, T. J dan Habib, A. S. Post operative Nausea and Vomiting.In Springman, SR, ed. Ambulatory Anesthesia. Mosby-Elsevier. 2006; hal 83-95 Coyle, T. T., Helfrick, J. K., & Gonzales M. L. (2005). Office-based ambulatory anesthesia: factors that influence patient satisfaction or dissatisfaction with deep sedation/general anesthesia. J Oral Maxillofac Surg; 63: 163-172
20
21