4 Mei 2017 DIPLOMA III PERPAJAKAN RMK Bab XIII Tata Cara Perhitungan PPN dan PPnBM & Penyusutan SPT Masa PPN dan PPnBM
Oleh : Kelompok 6 I Kadek Budhyasa
28
Cokorda Gede Budha Hary Baskara
02
I Nyoman Satria Wiradarma
11
I Komang Edo Indra Yoga
32
Mechteldis Qimanto Kushin Ryu
40
Program Diploma III Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana 2017
13.1
PPN Keluaran Atas Penjualan ke PKP, Pemerintah, dan ke bonded zone area
Pajak Keluaran (PK) adalah : Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10 persen. Dalam pengenaan pajak terhadap subjek pajak tersebut, terdapat dua kategori. Yaitu, pajak keluaran dan pajak masukan. Dalam hal ini, subjek pajak yang dimaksud adalah pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan transaksi jual beli barang. Artinya, PKP mengambil atau memungut rupiah yang dihasilkan dari penjualan barang kena pajak (BKP) miliknya yang dibeli konsumen. Kemudian, nantinya dapat berfungsi menjadi kredit atau pengurang pajak. Menjadi kredit atau pengurang pajak karena sebelumnya sang PKP telah dikenai tarif pajak yang sama atas pembelian barang tersebut yang d kemudian hari dijual olehnya. Jadi, PPN dalam hal ini hanya terjadi pelimpahan beban. Adapun batas waktu untuk melakukan pengkreditan pajak keluaran tersebut adalah tiga bulan setelah masa pajak berakhir sehingga PKP memiliki waktu yang cukup leluasa untuk melakukan pengkreditan pajaknya. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak. Contoh : PT.ABC melakukan penjualan komputer dengan perincian sebagai berikut : Harga Jual Komputer
10.000.000
PPN
1.000.000 (+)
Harga Jual Komputer dan PPN
11.000.000
Maka PPN sebesar 1.000.000 merupakan Pajak Keluaran bagi PT.ABC. a) PPN Keluaran atas Penjualan ke PKP Khusus PPN Keluaran pada akhir bulan dilakukan kompensasi dengan PPN Masukan dan pembelian Barang Kena Pajak (BKP) yang berkaitan dengan usaha atau barang modal. Apabila jumlah PPN Keluaran lebih besar dari PPN Masukan, maka selisihnya disebut PPN kurang bayar (PPN-KB) yang harus dilunasi paling lambat 15 bulan takwin berikutnya. Sedangkan apabila PPN Keluaran lebih kecil dari PPN Masukan, maka selisihnya disebut PPN lebih bayar (PPN-LB) yang dapat direstitusikan atau dikreditkan dengan PPN-KB bulan berikutnya. Khusus PPn-BM tidak dapat dikreditkan tetapi harus dilunasi paling lambat tanggal 15 bulan takwin berikutnya bersama-sama dengan Surat Setoran Pajak (SSP) PPN Kurang Bayar.
Contoh 1: Penjualan Tunai dan Kredit
PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian: 100 krat kecap ABCmenjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian: 100 krat kecap ABC Rp.5.000.000 200 krat sambal ABC Rp.6.000.000 Jumlah harga jual Rp.11.000.000 PPN 10% x Rp. 11.000.000 Rp.1.100.000 Total Faktur Rp.12.100.000 Jurnal Penjualan Tunai Kas
Rp. 12.100.000
Penjualan PPN Keluaran
Rp. 11.000.000 Rp. 1.100.000
Jurnal Penjualan Kredit Piutang Dagang
Rp. 12.100.000
Penjualan PPN Keluaran
Rp. 11.000.000 Rp. 1.100.000
Contoh 2: Penjualan dengan Pembayaran Sebagian PKP PT Bintang menjual barang dagang kepada PT Matahari dengan perincian sebagai berikut: 100 krat kecap ABC Rp. 5.000.000 200 krat sambal ABC Rp. 6.000.000 Jumlah harga jual Rp. 11.000.000 PPN 10% x Rp. 11.000.000 Rp. 1.100.000 Total Faktur Rp. 12.100.000 Dibayar tunai Rp. 4.000.000 Sisa tagihan Rp. 8.100.000 Jurnal Pembayaran Sebagian: Kas Rp. 4.000.000 Piutang Dagang Rp.8.100.000 Penjualan Rp.11.000.000 PPN Keluaran Rp. 1.100.000
Contoh 3: Penjualan atas Barang Mewah PKP PT.ABC menjual barang dagang kepada PT.Matahar sebagai berikut:
100 krat kecap ABC 200 krat sambal ABC Jumlah harga jual PPN 10% x Rp.11.000.000 PPn-BM 20% x Rp.11.000.000 Total Faktur
Rp. 5.000.000 Rp. 6.000.000 Rp. 11.000.000 Rp. 1.100.000 Rp. 2.200.000 Rp. 14.300.000
Jurnal Penjualan Kredit: Piutang dagang
Rp. 14.300.000
Penjualan
Rp. 11.000.000
PPn Keluaran
Rp. 1.100.000
Hutang PPn-BM
Rp. 2.200.000
b) PPN Keluaran Atas Penjualan ke Pemerintah Contoh : Penjualan kepada Pemungut PPN dan PPh 22 (Instansi Pemerintah)
PT. Bunda Cemerlang menjual alat tulis kantor kepada Pemda TK 2 Tangeran dengan perincian sebagai berikut: Kertas HVS 200 rim
Rp. 4.000.000
Tinta Printer 10 Unit
Rp. 5.000.000
Jumlah Harga
Rp. 9.000.000
PPN 10% x Rp 9.000.000
Rp.
Jumlah Faktur
Rp. 9.900.000
900.000
Dipungut PPN dan PPh 22 oleh Perum Pegadaian PPh Pasal 22: (1.5% x Rp. 9.000.000)
Rp.135.000
PPN 10% x Rp.9.000.000
Rp.900.000
Jumlah Pungutan Jumlah Pembayaran yang diterima Jurnal
Rp. 1.035.000 Rp. 8.865.000
Kas
Rp. 8.865.000
Uang muka PPh Pasal 22
Rp.
135.000
PPn Keluaran
Rp.
900.000
Penjualan PPN Keluaran
Rp.9.000.000 Rp. 900.000
c) PPN Keluaran Atas Penjualan ke Bonded Zone Area
KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47/KMK.01/1987
TENTANG
PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN/PEMASUKAN/ PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK DARI/KE/DI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE) DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM DAN PULAU- PULAU DISEKITARNYA YANG DINYATAKAN SEBAGAI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE)
MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa dipandang perlu menetapkan pengaturan secara khusus tentang pelaksanaan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan pulau-pulau di sekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone) dengan Keputusan Menteri Keuangan. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata cara Perpajakan (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3262);
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3264); 3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3287); 4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1986 tentang Kawasan Berikat (Bonded Zone) (Lembaran Negara Tahun 1986 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3334); 5. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 1978 tentang Tata Cara pemasukan dan pengeluaran serta pemindahan barang ke dalam dan keluar wilayah Bonded Warehouse; 6. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1978 tentang Tata Cara pemasukan dan pengeluaran serta pemindahan barang ke dalam dan keluar wilayah usaha Bonded Warehouse di daerah industri Pulau Batam; 7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah Usaha Bonded Warehouse; 8. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 1984 tentang Penambahan Wilayah Kerja daerah industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse.
MEMUTUSKAN : Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PELAKSANAAN PEMUNGUTAN PAJAK PERTAMBAHAN NILAI DAN PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH ATAS PENGELUARAN/PEMASUKAN/ PENYERAHAN BARANG KENA PAJAK ATAU JASA KENA PAJAK DARI/KE/DI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE) DAERAH INDUSTRI PULAU BATAM DAN PULAU-PULAU DISEKITARNYA YANG DINYATAKAN SEBAGAI KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONE) Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : a. Kawasan Berikat (Bonded Zone) adalah daerah industri Pulau Batam dan pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan yang berlaku;
b. Pajak adalah Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor : 8 Tahun 1983. Pasal 2 (1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat belum dianggap sebagai impor. (2) Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak terhutang pajak. Pasal 3 (1) Pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat keluar daerah pabean merupakan ekspor. (2) Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). (3) Pajak yang telah dibayar atas pembelian dan impor Barang Kena Pajak dan Penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Pasal 4 (1) Pemasukan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat adalah penyerahan dalam negeri dan bukan merupakan ekspor (2) Atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhutang pajak sesuai Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. (3) Pengusaha didalam Kawasan Berikat yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dapat diberikan penangguhan pembayaran pajak atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2). (4) Tata cara penangguhan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak. Pasal 5 (1) Pengeluaran Barang Kena Pajak yang berasal dari luar negeri dari Kawasan Berikat kedalam daerah pabean Indonesia dianggap sebagai impor. (2) Atas pengeluaran Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas impor. (3) Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang dipungut sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan Pajak Masukan bagi Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3). (4) Disamping dipungut pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) juga atas pengeluaran Barang Kena Pajak yang telah mengalami proses pengolahan di Kawasan Berikat ke dalam Daerah Pabean Indonesia Pengusaha Kena Pajak tersebut wajib mengenakan pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dalam negeri sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a dan b serta Pasal 5 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984.
(5) Pajak yang dipungut atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) merupakan Pajak Keluaran bagi Pengusaha di Kawasan Berikat. Pasal 6 (1) Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di Kawasan Berikat tidak terhutang pajak. (2) Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Berikat, Pengusaha dapat memilih dikenakan pajak. (3) Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dapat dikreditkan, sedangkan Pajak Masukan yang telah dibayar oleh Pengusaha atas penyerahan kepada Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikreditkan. Pasal 7 Pengusaha Kena Pajak yang dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai wajib melaksanakan kewajiban perpajakan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Pasal 8 (1) Atas impor atau penyerahan, yang dilakukan sebelum tanggal 1 Januari 1987 dan yang merupakan : a. Pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tidak terhutang pajak; b. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat kedalam daerah pabean Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) tidak terhutang pajak. (2) Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memilih dikenakan pajak. (3) Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh dikreditkan sedangkan Pajak Masukan yang telah dibayar atas penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapat dikreditkan. (4) Kekurangan/kelebihan pajak sebagai akibat pelaksanaan ketentuan ayat (1), (2) dan (3) dapat dibetulkan dengan cara memasukkan/mengoreksi Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai. (5) Kekurangan pajak sebagai akibat pelaksanaan ketentuan ayat (4) harus dibayar tanpa dikenakan sanksi perpajakan. Pasal 9 Pelaksanaan ketentuan ini diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 10 Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut terhitung sejak tanggal 1 Januari 1987. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengumuman Keputusan ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Januari 1987 MENTERI KEUANGAN, ttd RADIUS PRAWIRO
Dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2007 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, maka sejak tanggal 20 Agustus 2007 Batam merupakan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas hingga tujuh puluh tahun ke depan. Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean, sehingga bebas dari pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah, dan Cukai. Oleh karena itu, sejak 20 Agustus 2007 semestinya sudah tidak ada lagi pungutan PPN dan PPn.BM. Di pihak lain, saat ini masih berlaku Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam yang memberikan kemudahan berupa PPN dan/atau PPn.BM tidak dipungut terbatas hanya atas impor dan/atau penyerahan BKP kepada PKP sepanjang BKP tersebut digunakan untuk menghasilkan BKP yang diekspor. Sebelum memberikan pendapat mengenai kebijakan yang tepat yang sebaiknya diterapkan di Batam, ada baiknya kita lihat kronologis perlakuan PPN dan PPn.BM. Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Indonesia pertama kali berlandaskan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang mulai berlaku efektif sejak tanggal 1 April 1985. Seiring dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1978 tentang Penetapan seluruh daerah industri Pulau Batam sebagai wilayah Usaha Bonded Warehouse, maka Menteri Keuangan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1987 tanggal 26 Januari 1987 menetapkan Pelaksanaan Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah Atas Pengeluaran/Pemasukan/Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dari/ke/di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan Pulau-pulau di Sekitarnya yang Dinyatakan Sebagai Kawasan Berikat (Bonded Zone).
Dalam Keputusan Menteri Keuangan tersebut diatur bahwa Kawasan Berikat (Bonded Zone) adalah daerah industri Pulau Batam dan pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan yang berlaku. Pemasukan Barang Kena Pajak dari luar daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat belum dianggap sebagai impor, sehingga tidak terutang PPN dan PPn.BM. Sebaliknya, pengeluaran Barang Kena Pajak dari Kawasan Berikat keluar daerah pabean merupakan ekspor, sehingga dikenakan tarif 0% dan pajak yang telah dibayar atas pembelian dan impor Barang Kena Pajak dan Penerimaan Jasa Kena Pajak dapat dikreditkan atau diminta kembali sesuai dengan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984. Hal-hal lain yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan ini adalah: Pemasukan Barang Kena Pajak dari dalam daerah pabean Indonesia ke dalam Kawasan Berikat adalah penyerahan dalam negeri dan bukan merupakan ekspor, sehingga terutang PPN dan/atau PPn.BM. Pengusaha didalam Kawasan Berikat yang telah dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak dapat diberikan penangguhan pembayaran pajak atas pemasukan atau penyerahan Barang Kena Pajak tersebut di atas. Pengeluaran Barang Kena Pajak yang berasal dari luar negeri dari Kawasan Berikat ke dalam daerah pabean Indonesia dianggap sebagai impor, sehingga dipungut Pajak Pertambahan Nilai atas impor yang merupakan Pajak Masukan. Atas Penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di Kawasan Berikat tidak terhutang pajak. Atas penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha Kena Pajak di Kawasan Berikat, Pengusaha dapat memilih dikenakan pajak. Keputusan Menteri Keuangan ini disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/1994 tanggal 7 November 1994. Pada tahun 1998 Pemerintah Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1998 Tentang Perlakuan PPN dan PPn.BM di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. Latar belakang dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah dalam rangka mendorong ekspor yang merupakan prioritas nasional. Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam adalah Daerah Industri Pulau Batam dan pulau-pulau disekitarnya yang dinyatakan sebagai Kawasan Berikat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan PP yang ditetapkan pada tanggal 9 Maret 1998 ini diatur bahwa Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas : a. penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor; b. impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor;
c. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tidak berwujud tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang dieskpor; dan d. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Pengusaha sepanjang Jasa Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor. Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, impor Barang Kena Pajak, pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam selain yang disebutkan di atas, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Seharusnya PP 39 Tahun 1998 tersebut mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, yaitu tanggal 9 Maret 1998, tetapi Pemerintah menunda pemberlakuannya bahkan sampai lima (5) kali. Pertama kali dengan mengeluarkan PP 45 Tahun 2000 yang menunda hingga tanggal 1 Januari 2001. Kemudian dengan alasan bahwa dalam rangka mempersiapkan status Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, terbitlah PP 13 Tahun 2001 yang menunda kembali sampai dengan tanggal 31 Desember 2001. Sebelum tahun 2001 berakhir, kembali Pemerintah mengeluarkan PP 85 Tahun 2001 yang menunda berlakunya PP 39 Tahun 1998 sampai dengan 30 Juni 2002. Lagi-lagi Pemerintah menerbitkan PP 40 Tahun 2002 untuk menunda yang keempat kalinya sampai dengan tanggal 31 Maret 2003. Dalam rangka pengharmonisan, pembulatan dan pemantapan konsepsi Rancangan Undang-Undang tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Pemerintah mengeluarkan PP 20 Tahun 2003 dengan melakukan penundaan lagi berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1998 hingga tanggal 31 Desember 2003. Sebagai pelaksanaan dari PP 39 Tahun 1998, maka dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 192/KMK.04/1998 yang juga secara resmi mencabut Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1987 sebagaiman telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/1994. Berhubung PP 39 Tahun 1998 mengalami penundaan beberapa kali, maka Dirjen Pajak mengeluarkan Surat Edaran Nomor SE-764/PJ./2001 tanggal 31 Desember 2001 yang menegaskan bahwa dalam periode penundaan tersebut perlakuan PPN di Kawasan Berikat Daerah Industri Pulau Batam berlaku ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 47/KMK.01/1987 sebagaiman telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 548/KMK.04/1994. Pada tanggal 31 Desember 2003 Pemerintah akhirnya mengundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. Dengan mencabut PP 39 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah ini mengatur bahwa dalam rangka menunjang ekspor, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas: Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor Impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor.
Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau impor Barang Kena Pajak selain yang dimaksud di atas dan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di/ke/dari Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah, yang pengenaannya dilakukan secara bertahap, yaitu: 1. Untuk tahap pertama, terhitung mulai 1 Januari 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa: a. Kendaraan Bermotor, berupa segala jenis kendaraan bermotor baik beroda 2 (dua) atau lebih; b. Rokok dan hasil tembakau lainnya; dan c. Minuman yang beralkohol. 2. Untuk tahap kedua, terhitung mulai tanggal 1 Maret 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa barang-barang elektronik, berupa segala jenis barang elektronik yang menggunakan tenaga baterai maupun listrik. 3. Untuk tahap selanjutnya, penetapan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah selain Barang Kena Pajak sebagaiaman dimaksud pada angka 1 dan angka 2 di atas, dilakukan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama setiap 6 (enam) bulan.
Pada tanggal 19 Juli 2005 Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam. Dengan perubahan PP ini, maka atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Impor Barang Kena Pajak selain untuk menghasilkan BKP yang diekspor dan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di/ke Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang pengenaannya dilakukan secara bertahap yang tahapannya adalah: 1. Untuk tahap pertama terhitung mulai tanggal 1 Januari 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan atas: impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa : § kendaraan bermotor, berupa segala jenis kendaraan bermotor baik beroda 2 (dua) atau lebih § rokok dan hasil tembakau lainnya; dan § minuman yang beralkohol. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan/atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri pulau Batam. 2. Untuk tahap kedua, terhitung mulai tanggal 1 Maret 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena
Pajak berupa barang barang elektronik, berupa segala jenis barang elektronik yang menggunakan tenaga baterai maupun listrik. 3. Untuk tahap selanjutnya, penetapan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah selain Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama setiap 6 (enam) bulan. Dalam perkembangan selanjutnya tidak pernah dilakukan penambahan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah atas impor dan/atau penyerahannya di/ke/dari Kawasan Batam. Kesimpulan: Dengan berubahnya status Batam yang semula sebagai Kawasan Berikat menjadi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, sudah semestinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah yang baru yang menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2003 Tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2005.
13.2
PPN Masukan yang Dapat Dikreditkan, Perhitungan Kembali PPN Masukan
Pajak pertambahan nilai
PPN atau Pajak Pertambahan Nilai merupakan jenis pajak tidak langsung untuk disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan merupakan penanggung pajak (konsumen akhir). Prinsip dasarnya adalah suatu pajak yang harus dikenakan pada setiap proses produksi dan distribusi, tetapi jumlah pajak yang terutang dibebankan kepada konsumen akhir yang memakai produk tersebut. Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan PPN ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan PPN yang harus disetor oleh PKP, dikenal istilah pajak keluaran dan pajak masukan. Pajak keluaran adalah PPN yang dipungut ketika PKP menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah PPN yang dibayar ketika PKP membeli, memperoleh, atau membuat produknya. Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk PPN, yaitu sebesar 10%. Dasar hukum utama yang digunakan untuk penerapan PPN di Indonesia adalah Undang-Undang No. 8/1983 berikut revisinya, yaitu Undang-Undang No. 11/1994 dan Undang-Undang No. 18/2000.
Karakteristik Pajak tidak langsung, maksudnya pemikul beban pajak dan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke kantor pelayanan pajak adalah subjek yang berbeda. Multitahap, maksudnya pajak dikenakan di tiap mata rantai produksi dan distribusi. Pajak objektif, maksudnya pengenaan pajak didasarkan pada objek pajak. Menghindari pengenaan pajak berganda. Dihitung dengan metode pengurangan tidak langsung (indirect subtraction), yaitu dengan memperhitungkan besaran pajak masukan dan pajak keluaran.
Perkecualian Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan barang kena pajak dan jasa kena pajak, sehingga dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kecuali jenis barang dan jenis jasa sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4A Undang-Undang No. 8/1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 18/2000 tidak dikenakan PPN, yaitu:
Barang tidak kena PPN Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, meliputi:
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Minyak mentah. Gas bumi. Panas bumi. Pasir dan kerikil. Batu bara sebelum diproses menjadi briket batu bara. Bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, bijih perak, dan bijih bauksit. Barang-barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, meliputi:
Segala jenis beras dan gabah, seperti beras putih, beras merah, beras ketan hitam, atau beras ketan putih dalam bentuk: 1. 2. 3. 4. 5.
Beras berkulit (padi atau gabah) selain untuk b enih. Gilingan. Beras setengah giling atau digiling seluruhnya, disosoh, dikilapkan maupun tidak. Beras pecah. Menir ( groats) beras.
Segala jenis jagung, seperti jagung putih, jagung kuning, jagung kuning kemerahan, atau berondong jagung, dalam bentuk: 1. Jagung yang telah dikupas maupun belum. 2. Jagung tongkol dan biji jagung atau jagung pipilan. 3. Menir ( groats) atau beras jagung, sepanjang masih dalam bentuk butiran. Sagu, dalam bentuk: 1. Empulur sagu. 2. Tepung, tepung kasar, dan bubuk sagu. Segala jenis kedelai, seperti kedelai putih, kedelai hijau, kedelai kuning, atau kedelai hitam, pecah maupun utuh. Garam, baik yang beriodium maupun tidak beriodium, termasuk: 1. Garam meja. 2. Garam dalam bentuk curah atau kemasan 50 kilogram atau lebih, dengan kadar NaCl 94,7%.
Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak; tidak termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha katering atau usaha jasa boga.
Jasa tidak kena PPN Jasa di bidang pelayanan kesehatan, meliputi:
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jasa dokter umum, dokter spesialis, dan dokter gigi. Jasa dokter hewan. Jasa ahli kesehatan, seperti akupunktur, fisioterapis, ahli gizi, dan ahli gigi. Jasa kebidanan dan dukun bayi. Jasa paramedis dan perawat. Jasa rumah sakit, rumah bersalin, klinik kesehatan, laboratorium kesehatan, dan sanatorium. Jasa di bidang pelayanan sosial, meliputi:
1. 2. 3. 4.
Jasa pelayanan panti asuhan dan panti jompo. Jasa pemadam kebakaran, kecuali yang bersifat komersial. Jasa pemberian pertolongan pada kecelakaan. Jasa lembaga rehabilitasi, kecuali yang bersifat komersial.
5. Jasa pemakaman, termasuk krematorium. 6. Jasa di bidang olahraga, kecuali yang bersifat komersial. 7. Jasa pelayanan sosial lainnya, kecuali yang bersifat komersial. Jasa di bidang pengiriman surat dengan perangko yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero). Jasa di bidang perbankan, asuransi, dan sewa guna usaha dengan hak opsi, meliputi: 1. Jasa perbankan, kecuali jasa penyediaan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga, jasa penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan surat kontrak (perjanjian), serta anjak piutang. 2. Jasa asuransi, tidak termasuk broker asuransi. 3. Jasa sewa guna usaha dengan hak opsi. Jasa di bidang keagamaan, meliputi: 1. Jasa pelayanan rumah ibadah. 2. Jasa pemberian khotbah atau dakwah. 3. Jasa lainnya di bidang keagamaan. Jasa di bidang pendidikan, meliputi: 1. Jasa penyelenggaraan pendidikan sekolah, seperti jasa penyelenggaraan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan profesi. 2. Jasa penyelenggaraan pendidikan luar sekolah, seperti kursus. Jasa di bidang kesenian dan hiburan yang telah dikenakan pajak tontonan termasuk jasa di bidang kesenian yang tidak bersifat komersial, seperti pementasan kesenian tradisional yang diselenggarakan secara cuma-cuma. Jasa di bidang penyiaran yang bukan bersifat iklan seperti jasa penyiaran radio atau televisi, baik yang dilakukan oleh instansi pemerintah maupun swasta, yang bukan bersifat iklan dan tidak dibiayai oleh sponsor yang bertujuan komersial. Jasa di bidang angkutan umum di darat dan air, meliputi jasa angkutan umum di darat, laut, danau maupun sungai yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh swasta. Jasa di bidang tenaga kerja, meliputi: 1. Jasa tenaga kerja. 2. Jasa penyediaan tenaga kerja sepanjang pengusaha penyedia tenaga kerja tidak bertanggungjawab atas hasil kerja dari tenaga kerja tersebut. 3. Jasa penyelenggaraan pelatihan bagi tenaga kerja.
Jasa di bidang perhotelan, meliputi: 1. Jasa persewaan kamar termasuk tambahannya di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, hostel, serta fasilitas yang terkait dengan kegiatan perhotelan untuk tamu yang menginap. 2. Jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel, rumah penginapan, motel, losmen, dan hostel. Jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, meliputi jenis-jenis jasa yang dilaksanakan oleh instansi pemerintah seperti pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Usaha Perdagangan (IUP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Menghitung Pajak Pertambahan Nilai yang Harus Dibayar dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Objek Pajak Pertambahan Nilai Apabila ditinjau dari jenis penyerahan yang menjadi objek PPN, maka terdapat 6 (enam) jenis PPN. Dari keenam jenis PPN, 2 (dua) jenis di antaranya dibatasi dengan unsur untuk dapat mengenakan PPN, yaitu PPN Barang dan PPN Jasa. Unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikenakan PPN adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
adanya penyerahan; yang diserahkan adalah Barang Kena Pajak (BKP); yang menyerahkan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP); penyerahannya harus di Daerah Pabean, yaitu daerah Republik Indonesia; PKP yang menyerahkan harus dalam lingkungan perusahaan /pekerjaannya terhadap barang yang dihasilkan.
Penyerahan yang dikenakan PPN meliputi: 1. 2. 3. 4. 5.
penyerahan hak karena suatu perjanjian; pengalihan barang karena suatu perjanjian sewa-beli dan perjanjian leasing; penyerahan kepada pedagang perantara atau melalui juru lelang; pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma; penyerahan likuidasi atas aktiva yang tujuan semula tidak untuk diperjuabelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran, sepanjang PPN sewaktu memperoleh aktiva dapat dikreditkan menurut perundang-undangan perpajakan yang bersangkutan; 6. penyerahan dari cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke caban g atau sebaliknya; 7. penyerahan secara konsinyasi. Penyerahan yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: 1. penyerahan kepada Makelar; 2. penyerahan untuk jaminan utang-piutang;
3. penyerahan cabang ke cabang lainnya, atau dari pusat ke cabang atau sebaliknya yang telah mendapat izin pemusatan pembayaran pajak; 4. penyerahan dalam rangka perubahan bentuk usaha, atau penggabungan usaha, atau pengalihan seluruh aktiva perusahaan yang diikuti dengan perubahan pihak yang berhak atas barang kena pajak. Barang kena pajak dimungkinkan berbentuk: 1. barang berwujud dan bergerak; 2. barang berwujud dan tidak bergerak; 3. barang tidak berwujud yang dimanfaatkan di Indonesia. Barang yang dikecualikan dari pengenaan PPN adalah: barang hasil pertanian, barang hasil perkebunan; barang hasil kehutanan; barang hasil peternakan; barang hasil perburuan; barang hasil penangkaran; barang hasil perikanan; barang hasil budidaya; barang hasil pertambangan dan barang-barang kebutuhan pokok sehari-hari. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha, baik berbentuk orang pribadi maupun badan termasuk BUT yang dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar negeri, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan jasa dari luar negeri, yang melakukan penyerahan BKP, kecuali pengusaha kecil. Daerah Pabean adalah daerah Republik Indonesia. PKP yang melakukan penyerahan tersebut harus dalam lingkungan perusahaan/pekerjaannya. Subjek Pajak Pertambahan Nilai Kalau dalam objek Pajak Pertambahan Nilai yang ditekankan adalah adanya penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, maka dalam subjek Pajak Pertambahan Nilai yang dibahas adalah siapa yang melakukan penyerahan BKP dan atau JKP. Adapun yang menyerahkan adalah Pengusaha kena pajak (PKP) yang dapat berupa Orang Pribadi atau juga Badan. Pengertian badan dirumuskan dalam Pasal 1 angka 13 UU PPN 1984 sebagai berikut: Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan, melakukan atau tidak melakukan usaha. Badan dapat terdiri dari 1. 2. 3. 4. 5.
PT, CV, Perseroan lainnya; BUMN/BUMD; Firma, Kongsi, Koperasi; Dana Pensiun; Persekutuan, Perkumpulan;
6. Yayasan; 7. Ormas, orsospol, organisasi lainnya; 8. Lembaga; 9. Bentuk Usaha lainnya; 10. Bentuk Badan Lainnya. Subjek Pajak Pertambahan Nilai, adalah Pengusaha Kena Pajak 1. Pengusaha yang melakukan atau sejak semula bermaksud melakukan penyerahan BKP/JKP. 2. Bentuk Kerja sama Operasi. Bukan Pengusaha Kena Pajak 1. Orang Pribadi/Badan yang mengimpor Barang Kena Pajak (BKP). 2. Orang pribadi yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud/Jasa Kena pajak (JKP) dari luar Daerah Pabean. 3. Orang Pribadi/Badan yang membangun sendiri di luar kegiatan usaha/pekerjaannya. 4. Jasa di bidang perhotelan.
Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai
Untuk menghitung besarnya PPN terutang, harus dipahami terlebih dahulu tentang Dasar Perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN. Dasar perhitungan PPN adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
untuk PPN Barang adalah harga jual; untuk PPN Jasa adalah penggantian; untuk PPN Impor adalah Nilai Impor; untuk PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar negeri adalah jumlah yang dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan BKPTB atau JKP; 5. untuk PPN atas pemakaian sendiri, pemberian cuma-cuma, penyerahan media rekaman suara/gambar, penyerahan film, persediaan BKP tersisa (likuidasi), aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual dan Jasa Pengiriman Paket, adalah Nilai Lain; 6. untuk PPN Ekspor adalah Nilai Ekspor. Pengertian harga jual pun dipengaruhi oleh perjanjian penyerahan BKP, apakah loco gudang atau franco gudang. Pengertian Harga Jual dan Penggantian tidak termasuk PPN, potongan harga yang dicantumkan dalam faktur pajak dan barang retur. Pengertian DPP dengan nilai lain, adalah:
1. untuk pemakaian sendiri dan pemberian cuma-cuma adalah harga jual/penggantian tidak termasuk laba kotor; 2. untuk penyerahan media rekaman suara/gambar adalah perkiraan harga jual rata-rata; 3. untuk persediaan tersisa (likuidasi) dan aktiva yang tujuan semula tidak untuk dijual adalah harga pasar wajar; 4. untuk jasa pengiriman paket adalah 1% (satu persen) dari Tagihan atau seharusnya dibayar.
Saat dan Tempat Pajak Terutang
Untuk menghitung PPN harus dipahami pengertian Dasar Perhitungan, saat terutangnya dan tarif PPN. Tentang pengertian dari Dasar Perhitungan telah diuraikan pada Kegiatan Belajar 1, sedangkan pada Kegiatan Belajar 2 ini diuraikan tentang saat terutang pajak dan tempat pajak terutang. Uraian tentang saat terutangnya PPN meliputi PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud dan bergerak, PPN atas penyerahan BKP berbentuk barang berwujud tidak bergerak, PPN JKP, PPN atas pemanfaatan BKP Tidak Berwujud dari luar negeri, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, PPN Impor, PPN Ekspor dan PPN Bendaharawan termasuk badan-badan tertentu yang ditunjuk. Ketentuan tempat pajak terutang juga dibahas, dengan memberi contoh PKP yang memiliki cabang-cabang.
Tarif dan Menghitung PPN
Setelah memahami dasar perhitungan PPN (DPP), saat terutangnya PPN dan tarif PPN, maka dengan mudah dapat menghitung PPN terutang secara benar dan cepat. Tarif PPN menerapkan tarif yang proporsional dan tunggal, sebagai sarana dalam rangka memudahkan melakukan kredit pajak. Di samping itu juga diuraikan tentang tarif efektif termasuk asal-usul tarif efektif. Dalam menghitung PPN terutang diberikan beberapa contoh menghitung, termasuk menghitung PPN dengan dasar perhitungan nilai lain, seperti PPN atas pemberian cuma-cuma, PPN pemakaian sendiri, PPN atas penyerahan kaset rekaman lagu dan gambar, PPN atas pemanfaatan BKP tidak berwujud, PPN atas pemanfaatan JKP dari luar negeri, dan PPN jasa pengiriman Paket. Tidak ketinggalan adalah PPN Bendaharawan, baik saat terutangnya pajak maupun pembayaran Menghitung PPN Pajak Masukan Sasaran Pajak Pertambahan Nilai bukan harga jual atau penggantian, atau nilai impor, atau nilai ekspor, melainkan nilai tambah atas penyerahan BKP, atau pemberian JKP dan seterusnya. Tetapi untuk mencari nilai tambah tidak semudah diduga, bahkan sulit, karena antara barang yang dibeli tidak harus sama dengan barang yang dijual dan faktor lainnya. Untuk
memudahkan dalam perhitungannya maka yang ditunjuk sebagai dasar pengenaan adalah harga jual untuk PPN Barang, penggantian untuk PPN Jasa, Nilai Impor untuk impor barang dan sebagainya. Tetapi pelaksanaannya menimbulkan pajak berganda. Untuk menghindari pemungutan pajak berganda dapat dilakukan beberapa cara, yaitu: 1. menerapkan kredit PPN atas bahan baku atau bahan pembantu termasuk faktor produksi lainnya; 2. mencari nilai tambah pada setiap produksi; 3. menerapkan tarif yang berbeda-beda dengan memperhatikan tingkat tahapan produksi seperti barang jadi, barang setengah jadi dan barang esensial; 4. menentukan dasar pengenaan dengan memperhatikan pertambahan nilainya; 5. menerapkan pemungutan sekali. Baik pada UU No. 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM maupun UU No. 18 Tahun 2000 yang menggantikannya sama-sama menerapkan kredit PPS atas bahan baku, bahan pembantu dan faktor produksi lainnya, dengan menerapkan tarif Pajak yang proporsional dan tunggal. Pajak yang dikreditkan disebut dengan Pajak Masukan, sedangkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang disebut dengan Pajak Keluaran. Agar sistem kredit pajak Pajak Masukan ini tidak disalahgunakan maka diberi batasan tentang Pajak Masukan yang dapat dikreditkan dan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, dengan beberapa contoh.
Mengkredit Pajak Masukan
Yang melatarbelakangi sistem kredit pajak adalah upaya untuk menghindari pengenaan pajak berganda, sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai bahwa sasaran pengenaannya adalah pertambahan nilai. Sedangkan untuk menghitung besarnya pertambahan nilai untuk setiap unit produksi adalah sulit sekali. Oleh karena itu, untuk memudahkan (menyederhanakan) cara perhitungan pajaknya maka ditetapkan harga jual sebagai dasar pengenaan, dengan ketentuan bahwa PPN yang terutang dan telah dibayar sewaktu membeli Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikreditkan dari PPN yang akan dibayar sewaktu melakukan penjualan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak. Meskipun demikian, agar tercegah adanya pengkreditan pajak yang tidak semestinya, maka tidak setiap pajak masukan dapat dikreditkan, melainkan terbatas yang telah memenuhi persyaratan. Melalui sistem pengkreditan pajak masukan tersebut, akan menghasilkan 3 (tiga) alternatif: 1. masih harus membayar PPN, dalam hal pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan; 2. terjadi kelebihan pembayaran pajak, dalam hal Pajak Keluaran lebih kecil daripada Pajak Masukan;
3. tidak kurang bayar dan tidak terjadi kelebihan pembayaran PPN, dalam Pajak Keluaran sama dengan Pajak Masukan. Pengkreditan Pajak Masukan oleh PKP atas Penyerahan sebagai BKP dan PKP Norma Penghitungan Tidak setiap Pajak Masukan dapat dikreditkan dari pembelian BKP atau JKP. Sedangkan Pajak Masukan tertuang dalam satu Faktur Pajak Masukan, baik atas pembelian BKP atau bukan BKP. Demikian pula Pajak Masukan karena penggunaan Barang Modal, yang boleh dikreditkan terbatas pada Pajak Masukan atas Barang Modal yang digunakan untuk kegiatan usaha yang menghasilkan BKP. Oleh karena itu, setiap pengkreditan Pajak Masukan terselip Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan. Untuk itu disusun dan ditetapkan rumus dalam menghitung Pajak Masukan yang harus dibayar kembali. Rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan dibedakan antara rumus untuk Barang Modal dan Bukan Barang Modal, disamping rumus menghitung Pajak Masukan yang harus dikembalikan berkenaan penggunaan Barang Modal bukan untuk menghasilkan BKP. Pajak Masukan bagi PKP yang Menggunakan Norma Penghitungan Pemungutan pajak dapat dikatakan adil, baik pada tingkat horisontal maupun vertikal, yang besarnya pajak terutang sesuai dengan objek yang diterima atau diperoleh wajib pajak. Untuk mendapat pemungutan pajak yang adil tersebut diperlukan data yang akurat. Salah satu sumber data sekaligus sebagai pencerminan tingkat partisipasi wajib pajak adalah angka-angka dalam pembukuan. Melalui Pasal 28 ayat (1) UU No. 9 Tahun 1994, UU mewajibkan kepada setiap wajib pajak untuk menyelenggarakan pembukuan, yang isinya dapat menggambarkan perusahaan, modal perusahaan, utang perusahaan dan seterusnya, yang dapat mendukung dalam menghitung pajak terutang, baik Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan lain-lain jenis pajak. Pembukuan harus disusun di Indonesia, dalam bahasa Indonesia, huruf latin, dan angka arab, serta menerapkan prinsip taat asas, baik Tahun pembukuan, metode penyusutan, maupun metode penilaian persediaan dan sebagainya. Yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan tersebut adalah: 1. wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas yang oleh UU diperkenankan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan; 2. wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. 3. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas yang peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00 dan wajib pajak orang pribadi yang
tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dikecualikan dari penyelenggaraan pembukuan. Oleh karena itu, untuk menghitung penghasilan netonya diperkenankan dengan menggunakan Norma Penghitungan. 4. Wajib pajak orang pribadi yang diperkenankan menggunakan norma penghitungan dalam menghitung penghasilan neto sebagaimana disebut pada Pasal 14 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2000, dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan diperkenankan menggunakan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana ditentukan pada Pasal 9 ayat (7) UU No. 18 Tahun 2000. Besarnya Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah sebagai berikut: 1. untuk penyerahan BKP adalah sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran; 2. untuk penyerahan JKP adalah sebesar 40% (empat puluh persen) dari jumlah Pajak Keluaran. Untuk keperluan pelaksanaan ketentuan tersebut PKP wajib membuat catatan nilai peredaran bruto yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak. Dalam hal PKP disamping melakukan penyerahan BKP juga bukan BKP, catatan dimaksud agar dipisah antara penyerahan yang terutang pajak dengan penyerahan yang tidak terutang pajak pertambahan nilai. Dalam hal terjadi perubahan, sejak masa pajak pada permulaan Tahun buku berikutnya PKP tidak lagi diperkenankan menggunakan pedoman pengkreditan Pajak Masukan. Ketentuan ini tidak berlaku bagi PKP pedagang eceran dengan nilai sebagai dasar pengenaan pajak.
Administrasi Penggunaan Norma Penghitungan
Tidak semua wajib pajak yang tidak menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan Norma Penghitungan dalam menghitung Penghasilan Neto, melainkan terbatas pada wajib pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan peredaran brutonya seTahun kurang dari Rp600.000.000,00. Selain itu, wajib pajak yang bersangkutan wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak, dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan Pajak dalam waktu 3 (tiga) bulan pertama dari Tahun pajak yang bersangkutan. Meskipun demikian, wajib pajak yang bersangkutan masih wajib membuat catatan peredaran bruto atau penerimaan penghasilan. Wajib pajak tersebut, dalam hal sebagai Pengusaha Kena Pajak dalam menghitung Pajak Masukan yang dapat dikreditkan menggunakan pedoman penghitungan pengkreditan. Baik Petunjuk Norma Penghitungan Penghasilan Neto maupun Pedoman Penghitungan Pengkreditan Pajak Masukan ditetapkan melalui keputusan Direktur Jenderal Pajak. Penggunaan Norma Penghitungan dan Pedoman Pengkreditan Pajak Masukan, di samping memudahkan wajib pajak, juga menghilangkan kesempatan wajib pajak untuk dapat kompensasi, restitusi dan hak-hak lainnya. Latar Belakang Diberlakukannya Pajak Penjualan atas Barang Mewah
Setiap pemungutan pajak termasuk pemungutan Pajak Pertambahan Nilai diharapkan mencerminkan keadilan baik secara horizontal maupun vertikal. Untuk mencapai sasaran agar pemungutan Pajak Pertambahan Nilai mencerminkan keadilan tersebut maka diberlakukan pemungutan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), di samping diberlakukan tarif proporsional dan progresif. Dengan diberikan contoh penghitungannya, ternyata tingkat progresivitas PPnBM bersama-sama dengan PPN, menunjukkan lebih tajam daripada PPnBM yang menggantikan PPn sebagaimana tertuang pada UU PPn 1951. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa Pajak Penjualan atas Barang Mewah diberlakukan bersama-sama dengan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai. Menghitung Pajak Penjualan atas Barang Mewah Non-Kendaraan Bermotor Sebagai pelaksanaan pemungutan tambahan pada pemungutan PPN dalam rangka menciptakan pemungutan yang adil di bidang pajak atas penyerahan barang, maka diberlakukan pemungutan PPnBM. Agar supaya lebih memantapkan tingkat keadilan vertikalnya maka diterapkan tarif proporsional yang progresif, dimana tarif pajak PPn BM yang minimal 10% dan maksimal 50% dibagi dalam 3 (tiga) kelompok, yaitu kelompok dengan tarif 10%, kelompok dengan tarif 20% dan kelompok dengan tarif 35%. Akhirnya dapat dihitung besarnya PPnBM atas penyerahan barang berupa kendaraan bermotor dan besarnya PPnBM atas impor kendaraan bermotor dengan unsur-unsurnya. Walaupun cara pemungutannya sama sebagaimana PPnBM atas penyerahan BKP, namun pelaksanaan pemungutannya dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, bersama-sama memungut Bea Masuk.
13.3
PPN Membangun Sendiri
Pajak Pertambahan Nilai Atas Kegiatan Membangun Sendiri
Kegiatan Membangun Sendiri itu terutang Pajak Pertambahan Nilai (PPN), hal tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 1 dan Pajak Pertambahan Nilai tersebut terutang bagi badan maupun orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Definisi Kegiatan Membangun Sendiri
Sebelum memulai membahas lebih jauh mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri tersebut, tentunya kita harus memahami terlebih dahulu tentang apa yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut sehingga kita dapat mengetahui apakah pembangunan yang mungkin sedang kita rencanakan atau lakukan itu termasuk dalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
Definisi Kegiatan Membangun Sendiri yang dikutip dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 adalah “Kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain”.
Kemudian dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 dijelaskan mengenai bangunan yang dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 yaitu bangunan tersebut berupa satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria sebagai berikut: a.Konstruksi utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja b.Diperuntukan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha c.Luas keseluruhan paling sedikit 200m2 (dua ratus meter persegi). Jadi kegiatan membangun sendiri akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila memenuhi definisi dan kriteria sebagaimana yang dijelaskan diatas. Sebagai contoh, apabila kita sebagai orang pribadi membangun rumah baik dilakukan secara pribadi, baik dengan mempekerjakan pekerja atau buruh bangunan dimana rumah yang dibangun itu untuk ditempati secara pribadi atau oleh anggota keluarga lain misalkan anak, apakah termasuk kedalam kategori kegiatan membangun sendiri yang dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atasnya? Jika hanya melihat secara definisi, kasus pembangunan rumah pribadi diatas dapat memenuhi definisi kegiatan membangun sendiri yang dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 3 karena pembangunan rumah yang dilakukan dalam kasus ini tidak berkaitan dengan kegiatan usaha serta untuk dimanfaatkan atau digunakan sebagai keperluan pribadi, namun untuk menentukan apakah terhadap pembangunan rumah tersebut dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau tidak, kita tidak cukup hanya dengan melihat definisi saja, kita harus melihat terlebih dahulu, apakah bangunan yang kita bangun (dalam kasus ini rumah) itu memenuhi kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 2 Ayat 4 sebagaimana telah dijelaskan diatas. Jika memang kegiatan membangun sendiri yang kita lakukan itu sesuai dengan penjelasan definisi serta kriteria bangunan yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 maka kita wajib menyetorkan PPN yang terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. Setelah memahami yang dimaksud dengan kegiatan membangun sendiri, mari kita bahas lebih lanjut mengenai pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atasnya.
Tarif Dan Dasar Pengenaan Pajak PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 1 dan 2, diatur bahwa: 1. Kegiatan membangun sendiri akan dikenakan PPN dengan tarif sebesar 10 % (sepuluh persen) dari Dasar Pengenaan Pajak.
2. Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
Perhitungan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri
Jadi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 3 yang disebutkan diatas, perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri adalah sebagai berikut : PPN = Tarif x DPP
PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan)
Berikut ini adalah contoh sederhana untuk perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas kegiatan membangun sendiri: Contoh: Pada Bulan Desember 2012 Bapak Andi memulai membangun sebuah rumah untuk tempat tinggal pribadinya. Luas keseluruhan dari rumah tersebut adalah sebesar 200 m2, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Bapak Andi dalam upaya membangun rumah tersebut sampai dengan selesainya bangunan tersebut adalah sebagai berikut: pembelian tanah sebesar Rp 200.000.000, pembelian bahan baku bangunan keseluruhan Rp 180.000.000, biaya upah mandor dan pekerja bangunan Rp. 70.000.000. Maka berapakah Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas pembangunan rumah tersebut? Jawab: Sesuai dengan PMK No. 163/PMK.03/2012 tarif PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah: = 10% X DPP = 10% X(20% X Total biaya Pembangunan) = 10% X (20% X (Rp 180.000.000 + Rp 70.000.000) Sehingga PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang terhutang adalah = 10% X 20% X Rp 250.000.000 = Rp 5.000.000 Yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak atas perhitungan PPN Kegiatan Membangun Sendiri diatas hanyalah pembelian bahan baku material bangunan dan biaya upah pekerja dalam rangka pembangunan rumah tersebut, hal ini sesuai dengan Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor
163/PMK.03/2012 Pasal 3 ayat 2 yang menyebutkan bahwa “Dasar Pengenaan Pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 20% (dua puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah”.
Saat Dan Tempat dimana PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri Terutang
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 4 ditentukan bahwa: 1. Saat yang menentukan PPN terutang adalah saat mulai dibangunnya bangunan. 2. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 (dua) tahun. 3. Tempat pajak terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan tersebut didirikan.
Penyetoran Dan Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5, 7 dan 8 diatur bahwa: * Pembayaran Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri dilakukan setiap bulan sebesar 10% (sepuluh persen) dikalikan dengan 20% (dua puluh persen) dikalikan dengan jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan pada setiap bulannya *Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri wajib disetor ke kas negara seluruhnya dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atas nama orang pribadi atau badan yang melaksanakan kegiatan membangun sendiri melalui Kantor Pos atau Bank Persepsi paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak. *Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang tersebut ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dengan mempergunakan lembar ketiga Surat Setoran Pajak paling lama akhir bulan berikutnya setelah berakhirnya masa pajak.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyetoran PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 5,7, dan 8 terdapat hal yang harus diperhatikan dalam penyetoran PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu: *Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, kolom NPWP yang tercantum pada Surat Setoran Pajak diisi dengan NPWP orang pribadi atau badan tersebut. *Dalam hal tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri terdaftar, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut : a. Kolom NPWP diisi dengan :
1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan 3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. b. Pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan NPWP orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri *Dalam hal orang pribadi yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Surat Setoran Pajak diisi dengan ketentuan sebagai berikut : a. Kolom NPWP diisi dengan : 1. angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama; 2. angka kode Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut didirikan pada 3 (tiga) digit berikutnya; dan 3. angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. b. pada kotak "Wajib Pajak/Penyetor" diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri.
Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan Dalam Pelaporan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri
Mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 8 terdapat hal yang harus diperhatikan dalam proses pelaporan PPN atas kegiatan membangun sendiri yaitu: *Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan lembar ketiga Surat Setoran Pajak. *membangun sendiri telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan tempat bangunan didirikan berada di wilayah kerja Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berbeda dengan Kantor Pelayanan Pajak tempat orang pribadi atau badan tersebut terdaftar, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak. *Dalam hal Pengusaha Kena Pajak terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Madya, Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Wajib Pajak Besar, atau Kantor Pelayanan Pajak di lingkungan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Pengusaha Kena Pajak tersebut selain wajib melaporkan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1), wajib melaporkan kegiatan membangun sendiri dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dengan melampirkan fotokopi lembar ketiga Surat Setoran Pajak.
Hal-Hal Lain Yang Perlu Diperhatikan
1.Dalam hal bangunan sebagai hasil kegiatan membangun sendiri digunakan oleh pihak lain sebagai tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri wajib menyerahkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri kepada pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut; 2. Dalam hal orang pribadi atau badan yang membangun sendiri bangunan untuk digunakan pihak lain tidak dapat menunjukkan bukti Surat Setoran Pajak asli Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri, pihak lain yang menggunakan bangunan tersebut bertanggung jawab secara renteng atas pembayaran Pajak Pertambahan Nilai yang terutang. 3. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak melakukan kewajiban penyetoran Pajak Pertambahan Nilai terutang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan/atau kewajiban pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan atau Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar dapat mengeluarkan surat teguran sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012. 4. Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah melakukan penyetoran atau pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan membangun sendiri namun berdasarkan data yang dimiliki dan diperoleh oleh Direktorat Jenderal Pajak diyakini terdapat indikasi penyetoran atau pelaporan yang tidak wajar, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menerbitkan surat himbauan sesuai contoh format sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari dari Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012. 5.Apabila dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak diterbitkannya surat teguran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau surat himbauan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), orang pribadi atau badan belum menyetor dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan didirikan dapat melakukan verifikasi atau pemeriksaan untuk menetapkan besarnya Pajak Pertambahan Nilai terutang atas kegiatan membangun sendiri tersebut. 6. Berdasarkan hasil verifikasi atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas kegiatan membangun sendiri. 7.Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri belum memiliki NPWP, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. 8.Dalam hal orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri telah memiliki NPWP namun berbeda dengan tempat bangunan didirikan, Kepala Kantor Pelayanan Pajak Pratama secara jabatan menerbitkan NPWP sebagai cabang sesuai ketentuan perundangundangan di bidang perpajakan
Penetapan Secara Jabatan Untuk PPN terutang atas Kegiatan Membangun Sendiri
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 163/PMK.03/2012 Pasal 6 disebutkan bahwa: *Apabila orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri tidak atau kurang menyetorkan Pajak Pertambahan Nilai terutang ke kas negara, Direktorat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi. *Selanjutnya, jika berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri : 1. tidak memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan; atau 2. memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, Maka jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri dapat ditetapkan secara jabatan oleh Direktur Jenderal Pajak. Penetapan secara jabatan untuk jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka kegiatan membangun sendiri ini diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 yang merupakan Perubahan Atas Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-23/PJ/2012. Dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2012 tersebut diatur bahwa: *Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan dalam rangka membangun sendiri ditetapkan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) masing-masing daerah sesuai Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Bangunan Gedung Negara dan perubahannya. *Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan atau verifikasi, orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri memberikan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, namun tidak benar atau tidak lengkap, sehingga: 1. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih rendah dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) tersebut; atau 2. jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan lebih tinggi dari nilai terendah data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN), maka penetapan secara jabatan dihitung berdasarkan data atau bukti pendukung biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan. *Penetapan secara jabatan berdasarkan nilai terendah dari data Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) huruf a mengacu pada Pedoman Penggunaan Harga Satuan Bangunan Gedung Negara (HSBGN) Dalam Rangka Penetapan Secara Jabatan Jumlah Biaya yang Dikeluarkan dan/atau yang Dibayarkan untuk
Membangun Bangunan yang Digunakan untuk Menghitung Kewajiban Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri sebagaimana terdapat dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini. Jadi Cara Perhitungan PPN atas Kegiatan Membangun Sendiri yang ditentukan secara jabatan adalah sebagai berikut : PPN = Tarif x DPP
Tarif = 10% DPP = 20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan PPN = 10% x (20% x Jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau dibayarkan untuk membangun bangunan)
13.4
PPN Atas Penjualan Asset
Pasal 16D UU No. 11 tahun 1994 berbunyi : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan aktiva oleh Pengusaha Kena Pajak yang menurut tujuan semula aktiva tersebut tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.” Adapun dalam penjelasan dikatakan : “Penyerahan mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau aktiva lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, dikenakan pajak sepanjang memenuhi persyaratan, yaitu bahwa Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada saat perolehannya, sesuai ketentuan Undang-undang ini, dapat dikreditkan. Dengan demikian, penyerahan aktiva tersebut tidak dikenakan pajak apabila Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar pada waktu perolehannya tidak dapat dikreditkan berdasarkan ketentuan dalam Undang-undang ini, kecuali jika tidak dapat dikreditkannya Pajak Pertambahan Nilai tersebut karena bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5). Berdasarkan bunyi pasal 16 D UU No. 11 tahun 1994 beserta penjelasannya dapat disarikan sebagai berikut : 1. Penyerahan Aktiva harus harus berupa Barang Kena Pajak (BKP) 2. Yang melakukan penjualan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)
3. Pada waktu pembelian PPN telah dibayar, artinya jika pada saat pembelian tidak membayar PPN misalnya karena pembelian dari non PKP, pembeliannya sebelum UU PPN 1984 diberlakukan maka atas penjualan tidak terutang PPN. 4. Semua penjualan aktiva yang pajak masukannya “dapat” dikreditkan dikenakan PPN, Pengertian “dapat” bukan berarti secara nyata telah dikreditkan, walaupun tidak dikreditkan tapi kalau pajak masukannya “Boleh” dikreditkan mak a sudah termasuk dalam pengertian “dapat” dikreditkan 5. Semua penjualan aktiva yang pajak masukannya tidak dapat dikreditkan tidak dikenakan PPN kecuali penjualan aktiva yang pajak masukkannya tidak boleh dikreditkan karena : Bukti pengkreditannya tidak memenuhi persyaratan administratif, misalnya Faktur Pajaknya tidak diisi lengkap sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5). Setelah 1 April 2010
Pengenaan PPN terkait aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan diperluas melalui UU PPN No 42 tahun 2009. Pasal 16D UU PPN No 42 tahun 2009 berbunyi : “Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak, kecuali atas penyerahan aktiva yang Pajak Masukannya tidak dapat dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c.” Adapun dalam penjelasan dikatakan : “Penyerahan Barang Kena Pajak, antara lain, berupa mesin, bangunan, peralatan, perabotan atau Barang Kena Pajak lain yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan oleh Pengusaha Kena Pajak dikenai pajak.Namun, Pajak Pertambahan Nilai tidak dikenakan atas pengalihan Barang Kena Pajak yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha dan pengalihan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yaitu kendaran bermotor berupa sedan dan station wagon, yang menurut ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf b dan huruf c Pajak Masukan atas perolehan aktiva tersebut tidak dapat dikreditkan.” Berdasarkan bunyi pasal 16D UU PPN No 42 tahun 2009 beserta penjelasannya dapat disarikan sebagai berikut : 1. Penyerahan Aktiva harus harus berupa Barang Kena Pajak (BKP) 2. Yang melakukan penjualan adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP) 3. Pada waktu pembelian PPN telah dibayar, artinya jika pada saat pembelian tidak membayar PPN misalnya karena pembelian dari non PKP, pembeliannya sebelum UU PPN 1984 diberlakukan maka atas penjualan tidak terutang PPN. 4. Semua penjualan aktiva yang ada pajak masukannya dikenakan PPN kecuali penjualan aktiva yang pajak masukkannya tidak boleh dikreditkan karena : a). Berupa sedan dan station wagon (yg keduanya bukan untuk barang dagangan/ disewakan), b). Aktiva yang tidak memiliki hubungan langsung dengan kegiatan usaha. 13.5
PPN Ekspor
Dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 ditetapkan objek pajak PPN yang berkaitan dengan ekspor, meliputi : 1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. 2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak. 3. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak. Salah satu kegiatan transaksi yang dikenakan PPN adalah atas ekspor Jasa Kena Pajak (JKP) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Hal ini sesuai yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf h UU Nomor 42 Tahun 2009. Lebih lanjut dalam Pasal 4 ayat (2) ditegaskan bahwa ketentuan mengenai batasan kegiatan dan jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN akan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan. Untuk menindaklanjuti ketentuan ini, maka diterbitkanlah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 70/PMK.03/2010 tanggal 31 Maret 2010 tentang Batasan Kegiatan dan Jenis Jasa Kena Pajak yang atas Ekspornya Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Pada prinsipnya kegiatan Kegiatan Ekspor Barang dan Jasa dikenai PPN 10%. Namun dalam rangka mendorong perkembangan dunia usaha Indonesia dan meningkatkan daya saing kita, maka Pemerintah menetapkan fasilitas PPN 0% atas kegiatan ekspor. Namun fasilitas ini hanya diberikan bagi Pengusaha yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Yang dimaksud dengan ”Barang Kena Pajak Tidak Berwujud”
1. Penggunaan atau hak menggunakan hak cipta di bidang kesusastraan, kesenian atau karya ilmiah, paten, desain atau model,rencana, formula atau proses rahasia, merek dagang, atau bentuk hak kekayaan intelektual/industrial atau hak serupa lainnya. 2. Penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan industrial, komersial, atau ilmiah. 3. Pemberian pengetahuan atau informasi di bidang ilmiah, teknikal, industrial, atau komersial. 4. Pemberian bantuan tambahan atau pelengkap sehubungan dengan penggunaan atau hak menggunakan hak-hak tersebutpada angka 1, penggunaan atau hak menggunakan peralatan/perlengkapan tersebut pada angka 2, atau pemberian pengetahuan atau informasi tersebut pada angka 3, berupa: a) Penerimaan atau hak menerima rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, yang disalurkan kepada masyarakat melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa. b) Penggunaan atau hak menggunakan rekaman gambar atau rekaman suara atau keduanya, untuk siaran televisi atau radio yang disiarkan/dipancarkan melalui satelit, kabel, serat optik, atau teknologi yang serupa. c) Penggunaan atau hak menggunakan sebagian atau seluruh spektrum radiokomunikasi. 5. Penggunaan atau hak menggunakan filmgambar hidup (motion picture films), film atau pita video untuk siaran televisi, atau pita suara untuk siaran radio. 6. Pelepasan seluruhnya atau sebagian hak yang berkenaan dengan penggunaan atau pemberian hak kekayaan intelektual/industrial atau hak-hak lainnya sebagaimana tersebut di atas.
Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenakan PPN 0%.
Sebagaimana yang diatur dalam PMK-70/PMK.03/2010 Batasan Kegiatan dan Jenis JKP yang atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% meliputi : 1. Jasa Maklon, yaitu pemberian jasa dalam rangka proses penyelesaian suatu barang tertentu yang proses pengerjaannya dilakukan oleh pihak pemberi jasa (disubkontrakkan), dan pengguna jasa menetapkan spesifikasi, serta menyediakan bahan baku dan/atau barang setengah jadi dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses sebagian atau seluruhnya, dengan kepemilikan atas barang jadi berada pada pengguna jasa. Jasa Maklon yang batasan kegiatannya memenuhi syarat berikut: a) Pemesan atau penerima JKP berada di Luar Daerah Pabean dan merupakan Wajib Pajak Luar Negeri (WPLN) serta tidak mempunyai Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. b) Spesifikasi dan bahan disediakan oleh pemesan atau Penerima JKP. c) Bahan adalah bahan baku, bahan setengah jadi, dan/atau bahan penolong/pembantu yang akan diproses menjadi BKP yang dihasilkan. d) Kepemilikan atas barang jadi berada pada pemesan atau penerima JKP. e) Pengusaha Jasa Maklon mengirim barang hasil pekerjaannya berdasarkan permintaan pemesan atau penerima JKP ke luar daerah Pabean. 2. Jasa Perbaikan dan perawatan yang batasan kegiatannya memenuhi syarat: Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang bergerak yang dimanfaatkan di luar Daerah Pabean. 3. Jasa Konstruksi, yaitu layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan konstruksi, yang batasan kegiatannya memenuhi syarat: Jasa yang melekat pada atau jasa untuk barang tidak bergerak yang terletak di luar Daerah Pabean.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Ekspor
Tarif PPN sebesar 0% diterapkan atas Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak. 13.6
PPN Import
Dasar Pengenaan Pajak atas impor Barang Kena Pajak adalah Nilai Impor, yaitu nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan pabean. Rumus umum: Nilai Impor = Harga Impor (CIF) + Bea Masuk Dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-358/PJ.32/1990 tanggal 2 November 1990, ditegaskan bahwa dapat terjadi Harga Impor yang berbeda antara: 1) Harga Impor menurut Laporan Pemeriksaan Surveyor (LPS) yang dibuat oleh Surveyor tanpa terikat pada harga menurut invoice; 2) Harga Impor menurut PIUD yang ditentukan sesuai den gan syarat penyerahan (CIF); 3) Harga Impor yang dipengaruhi oleh praktik under invoicing.
Dalam hal terjadi kasus seperti ini, maka Nilai Impor yang digunakan sebagai Dasar Pengenaan Pajak, adalah: a) Nilai Impor yang dihitung berdasarkan LPS; atau b) Nilai Impor yang tercantum dalam PIUD, apabila Nilai Impor menurut PIUD lebih besar daripada Nilai Impor yang dihitungberdasarkan LPS, yang dibuktikan dengan jumlah PPN/PPnBM yang disetor meurut SSP-nya. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-35/PJ.322/1990 tanggal 15 November 1990 tersebut di atas , ditegaskan bahwa dalam hal terjadi under invoicing atas impor, Dasar pengenaan pajak akan dikoreksi berdasarkan Harga Pasar wajar yang diminta oleh Importir atau Distributor, yang pada umumnya akan diketahui pada mata rantai jalur distribusi berikutnya. PPN/PPnBM yang kurang dibayar akibat dari praktik under invoicing dapat ditagih setiap mata rantai jalur distribusi yang melakukan praktik un der invoicing tersebut.
PPN yang Dibebaskan atas Impor
Perlu diketahui bahwa tidak semua barang yang dibeli atau dijual dikenakan PPN, dan PPN yang dibebaskan atas Impor itu sendiri tidak bisa dikreditkan. Sebagaimana yang telah diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 370/KMK/2003 Tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa: 1. Barang Kena Pajak Tertentu adalah: a) Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya. b) Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). c) Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN). d) Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama. e) Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia. f) Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan. g) Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana. h) Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia. i) Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional. j) Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
2. Jasa Kena Pajak Tertentu adalah: a) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan penangkapan ikan nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi: i. Jasa persewaan kapal. ii. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh. iii. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal. b) Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi: i. Jasa pesewaan pesawat udara. ii. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara. c) Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia. d) Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf j dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah. e) Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana. f) Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.
Peraturan Menteri Keuangan Terbaru
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 35/PMK.010/2016 tanggal 3 Maret 2016, tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.011/2011 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 248/PMK.010/2015 tanggal 28 Desember 2015, tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah kpada Perwakilan Negara Asing dan Badan Internasional serta Pejabatnya. 3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.010/2015 tanggal 24 Juli 2015, tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 231/KMK.03/2001 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Impor Barang Kena Pajak Yang Dibebaskan Dari Pungutan Bea Masuk. 4. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 37/PMK.03/2015 tanggal 4 Maret 2015, tentang Penunjukan Badan Usaha Tertentu untuk Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta Tata Cara Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporannya.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Impor
Tarif PPN adalah 10%. Dikenakan atas setiap penyerahan BKP di dalam daerah pabean/impor BKP/penyerahan JKP di dalam daerah pabean/pemanfaatan BKP tidak berwujud
dari luar daerah pabean di dalam pabean/pemanfaatan JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tersebut dapat diubah menjadi paling rendah 5% dan paling tinggi 15% yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Hal ini dapat disebabkan berbagai faktor, misalnya pertimbangan perkembangan perekonomian Indonesia, sehingga tarif PPN bisa diturunkan. Sebaliknya, misalnya jika Pemerintah membutuhkan penerimaan pajak yang besar, sehingga tarif PPN bisa dinaikkan. 13.7
Penjualan yang Tidak Terutang PPN
Saat penyerahan barang, pengakuan terutang PPN, dan tanggal pembuatan faktur pajak sering membingungkan bagi para pengusaha kena pajak (PKP), terutama untuk penjualan barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP) dengan kondisi penyerahan (term of delivery) tertentu. Menjadi agak rumit ketika tanggal pengiriman berbeda dengan tanggal barang diterima oleh si pembeli (karena jarak tempuh). Belum lagi jika invoice (faktur penjualan) diterbitkan pada tanggal yang berbeda lagi. Misalnya: PT. JAK adalah PKP yang berlokasi di Tangerang, menjual 3 unit peralatan tambang kepada PT. Lestari yang berlokasi Makassar-Sulawesi, dengan kondisi penyerahan (term of delivery) “Franco gudang PT. Lestari”. JAK mengirimkan barang pada tanggal 20 Agustus 2011 via sea freight (kapal laut), dan barang tiba di gudang PT. Lestari pada tanggal 27 Agustus 2011. PT. JAK menerbitkan invoice tertanggal 29 Agustus 2011. Pertanyaannya: Tanggal berapa seharusnya PT. JAK mengakui terutang PPN? Tanggal berapa Faktur Pajak Keluaran seharusnya diterbitkan? Dan, kapan seharusnya PPN dibayar dan dilaporkan? Bagaimana, jika misalnya PT. JAK sudah menerima pembayaran pada tanggal 19 Agustus 2011 (sebelum barang dikirimkan)?
Ini hanya salah satu contoh kasus penjualan dengan satu jenis penyerahan saja, dan kebetulan berupa barang kena pajak yang tergolong bergerak (dikirimkan). Pada prakteknya, penyerahan atau penjualan barang kena pajak itu bisa berupa: (a) barang bergerak atau dikirimkan seperti contoh kasus di atas; (b) bisa berupa barang tidak bergerak — misalnya: penjualan rumah; (c) bisa jadi berupa penjualan jasa (services), dengan berbagai macam kondisi penyerahan (term of delivery). Jika melihat Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, pada pasal 11 ayat (1) huruf a dan huruf c, disebutkan bahwa: Terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak dan pada saat penyerahan Jasa Kena Pajak.
Dalam memori penjelasannya ditegaskan bahwa: Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah menganut prinsip akrual”. Artinya terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima. Kembali contoh kasus di atas. Jika merujuk pada bunyi undang-undang seharusnya terutang PPN terjadi pada saat dirimkan yaitu 20 Agustus 2011. Masalahnya: Mungkinkah melakukan pengakuan terutang PPN pada tanggal 20 Agustus sementara PT. JAK baru menerbitkan invoice (mengakui penjualan) pada tanggal 29 Agustus 2011? Bisa saja dipaksakan supaya sesuai dengan undang-undang PPN, tapi buku komersialnya akan sangat kacau. Karena jika merujuk ke teori akuntansi — termasuk kelaziman praktek bisnis, PT. JAK baru akan mengakui penjualan, paling cepat saat barang tiba di gudangnya PT. Lestari (ingat term of delivery-nya adalah ‘Franco Gudang PT. Lestari’), yaitu pada tanggal 27 Agustus 2011. Dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum (PABU), penyerahan dianggap telah terjadi apabila risiko dan manfaat kepemilikan barang telah berpindah ke tangan pembeli dan jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan handal. Dan pengakuan penjualan, pendapatan, serta piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan yang sekaligus menjadi dokumen sumber sebagai dasar pencatatan pengakuan. Penasaran dengan kasus ini, saya mencoba menulusri peraturan-peraturan terkait dengan PPN. Beruntung saya menemukan Surat Edaran Ditjend Pajak No. SE-50/PJ/2011 (tertanggal 3 Agustus 2011). Di sana dijabarkan mengenai: Saat Penyerahan Barang Kena Pajak 1) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat: (a) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli; (b) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan secara langsung kepada penerima barang, untuk pemberian cuma-cuma, pemakaian sendiri, dan penyerahan dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan/atau penyerahan antarcabang; (c) Barang Kena Pajak berwujud tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan; atau (d) harga atas penyerahan Barang Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh
Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten. 2) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang tidak bergerak, terjadi pada saat penyerahan hak untuk menggunakan atau menguasai Barang Kena Pajak berwujud tersebut, secara hukum atau secara nyata, kepada pihak pembeli. 3) Untuk penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud, terjadi pada saat: (a) harga atas penyerahan Barang Kena Pajak tidak berwujud diakui sebagai piutang atau penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten; atau (b) kontrak atau perjanjian ditandatangani atau saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, sebagian atau seluruhnya, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada huruf (a) tidak diketahui. Saat Penyerahan Jasa Kena Pajak 1) terjadi pada saat harga atas penyerahan Jasa Kena Pajak diakui sebagai piutang atau penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh Pengusaha Kena Pajak sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkansecara konsisten; 2) terjadi pada saat kontrak atau perjanjian ditandatangani, dalam hal saat sebagaimana dimaksud pada angka 1) tidak diketahui; atau 3) terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya, dalam hal pemberian cuma-cuma atau pemakaian sendiri Jasa Kena Pajak. Saat Penerbitan (Tanggal) Faktur Pajak Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak pada saat:
Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak. Penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak.
Lebih jauh, juga diatur untuk bentuk-bentuk penyerahan khusus yang saat penerbitan (tanggal) faktur pajaknya terjadi:
pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan, sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang
diselesaikan dalam suatu masa tertentu, misalnya penyerahan jasa pemborong bangunan; atau
pada saat Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah menyampaikan tagihan, sehubungan dengan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak kepada Pemungut PPN Bendahara Pemerintah.
Dalam hal satu faktur penjualan diterbitkan untuk mencatat atau mengakui beberapa kali pengiriman barang yang sesuai dengan dokumen pengiriman barang (delivery order), atas penyerahan barang tersebut dapat diterbitkan satu Faktur Pajak, baik dalam bentuk Faktur Pajak atau faktur penjualan (dalam hal faktur penjualan berfungsi sebagai Faktur Pajak). Penerbitan faktur penjualan tersebut adalah sebagai dasar pengakuan piutang atau pencatatan penghasilan bagi Pengusaha Kena Pajak Penjual dan harus dilakukan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan dilakukan secara konsisten.
13.8
PPnBM Terhutang
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang tergolong mewah yang dilakukan oleh produsen (pengusaha) untuk menghasilkan atau mengimpor barang tersebut dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dasar HukumDasar hukum PPnBM yaitu : Pasal 5, Pasal 8 dan Pasal 10 UU PPN PP Nomor 145 Tahun 2000 KMK-569/2000 sttd PMK-355/2003 KMK-570/2000 diganti dgn PMK-620/04 PMK-35/2008
1. Latar Belakang Pengenaan PPn BM PPnBM dikenakan karena di latar belakangi oleh : 1. 2. 3. 4.
PPN yang bersifat regresif Mengurangi pola Konsumsi yang kontra produktif Sarana untuk melindungi produsen kecil dan tradisional; Menambah penerimaan negara
2.Karakteristik PPnBM
PPn BM merupakan pungutan tambahan di samping PPN. PPn BM hanya dikenakan satu kali (yaitu ; pada saat impor atau pada saat penyerahan BKPMewah oleh Pengusaha Kena Pajak Pabrikan).
PPn BM tidak dapat dikreditkan, sehingga diperlakukan sebagai biaya. Dalam hal BKP Mewah diekspor, PPn BM yang dibayar pada saat perolehannya dapatdiminta kembali/direstitusi.
BKP yang tergolong mewah BKP yang tergolong mewah berarti : 1. barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau 2. barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau 3. pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan tinggi;atau 4. barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau 5. apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat serta menggangguketertiban masyarakat seperti minuman beralkohol.
3.Saat PPnBM Terutang
Saat penyerahan BKP yang tergolong mewah oleh pabrikan Saat impor BKP yang tergolong mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)dihitung sebesar tarif PPnBM dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP yang dimaksud dapat berupa harga jual, niai impor, nilai pengganti, nilai ekspor, atau nilai lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Secara matematis, PPnBM yang terutang diformulasikan sebagai berikut: PPnBMyang terutang= Tarif PPnBM xDasar Pengenaan Pajak Contoh: Produsen PKP Perdana melakukan penyerahan Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah (tarif 30%) dengan harga Rp140.000.000 (dalam harga tersebut tidak termasuk PPN dan PPnBM) PPnBM yang terutang
=30% x Rp140.000.000
= Rp42.000.000
PPN yang terutang
= 10% x Rp14.000.000
= Rp14.000.000
Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah kepada pembeli tertentu, harga jual atau nilai pengganti yang ditawarkan telah termasuk PPN dan PPnBM, maka Dasar Pengenaan Pajak dihitung sebagai berikut: 1. Menghitung Dasar Pengenaan Pajak, Dasar Pengenaan Pajak =
100 (110 + tarif PPnBM)
x Harga Jual (nilai pengganti)
2. Menghitung PPnBM yang terutang, PPnBMyang terutang = Tarif PPnBM x Dasar Pengenaan Pajak Contoh: Produsen PKP Perdana melakukan Penyerahan Barang Kena Pajakyang Tergolong Mewah (tarif 30%) dengan harga Rp140.000.000 (dalam harga termasuk PPN dan PPnBM). Dasar Pengenaan Pajak = 100 x Rp140.000.000 (110 + 30) = Rp100.000.000 PPnBMyang terutang = 30% x Rp100.000.000 = Rp30.000.000
13.9
Formulir SPT PPN
13.10
SPT Masa PPN & PPnBM
PT. Cangcimen adalah sebuah pabrikan peralatan elektronik yang berkedudukan di Jl. Sumenep No. 999, No. Telepon 7946335, Jakarta. Produk yang dipasarkan adalah AC, Pesawat Televisi, OHP, VCD/LD Player dan lain-lain. Penyerahan produk tersebut disamping terutang PPN 10% juga terutang PPnBM 10%. Perusahaan ini telah terdaftar dan memiliki NPWP: 02.003.456.4.132.000 serta telah dikukuhkan sebagai PKP sejak tanggal 12 April 1994. Sdangkan No KLU: 54321. Merk yang digunakan untuk produknya adalah „AWET‟. Dalam bulan Januari 2011, dapat dipetik transaksi yang tercatat dalam pembukuan adalah sebagai berikut: PENJUALAN / PENYERAHAN : 1. 5 Januari 2011 Diekspor sejumlah produk elektronik ke Kukirakurakura PLc.Jepang dengan nilai ekspor Rp. 1.500.000.000. PEB No.00028-1-11 2. 7 Januari 2011 Diterima pembayaran dari PT. Indosayur NPWP02.003.454.6.133.000atas penyerahan sejumlah pesawat TV berwarna 32” padatanggal 12 Desember 2010 dengan harga jual Rp 175.000.000. Dibuatkan Faktur Pajak Standar Nomor Seri : 010.000-11-00000001. 3. 8 Januari 2011 Diserahkan televisi seharga Rp 650.000.000 kepada PT.Hambar perusahaan elektronik selaku Kawasan Berikat, NPWP : 02.003.454.6.135.000. Mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut. Dibuatkan Faktur Pajak Standar No Seri : 070.000-11-0000002. Pembayaran dilakukan pada saat itu juga. 4. 10 Januari 2011 Menyampaikan surat tagihan kepada Pimpro DEPKOMINFO sehubungan dengan penyerahan sejumlah alat elektronik dengan harga dalam kontrak Rp 240.000.000 termasuk PPN 10% dan PPnBM 10% yang penyerahannya dilakukan pada tanggal 2 Desember 2010 yang pembayarannya akan dilakukan melalui KPPN dengan NPWP : 00.003.456.167.000 Faktur Pajak standar dilampirkan dengan No Seri : 020.000-11-00000003. 5. 12 Januari 2011 Menyumbang Kulkas dan satu unit pesawat TV 24” kepada Panti Wreda “SEDEKAH”. Sebenarnya harga jual kedua BKP ini Rp 15.000.000 termasuk laba 20%. Terutang PPN 10% dan PPnBM 10%. Dibuatkan Faktur Pajak Sederhana. 6. 24 Januari 2011 Diserahkan 5 buah OHP kepada PT. Gunungkembar dengan NPWP 02.125.004.4.252.000 dengan harga j ual Rp 40.000.000 termasuk PPN 10% dan PPnBM 10%. Pembayarannya baru dilakukan pada tanggal 15 Maret 2011. Faktur Pajak Standar No 010.000.11.00000005. | SPT PPN 1111 (Penjualan) 7. 24 Januari 2011 Menerima pembayaran dari PT. Rancabana dengan NPWP :02.124.004.167.000 pabrikan mie instant di KBN Cakung atas penyerahan sejumlah AC dan Kulkas dengan harga jual seluruhnya Rp 180.000.000 yang penyerahannya dilakukan pada tanggal 12 Desember 2010. Faktur Paj ak Standar No 010.000. 11.00000008. | SPT PPN 1111 (Penjualan) 8. 29 Januari 2011 Diterima kembali dari PT. Jarang Rugi NPWP : 02.125.004.4.156.000 dengan nota retur : No NR-I/I/1 1 tertanggal 25 Januari 2011, peralatan listrik dengan harga jual Rp 30.000.000, yang terutang PPN 10% dan PPnBM 10%. Jawaban Kasus Penjualan/Penyerahan: 1. 5-Jan-11
FP : 5-Jan-11 DPP : Rp.1.500.000.000 SPT : 2. 7-Jan-11 FP : 7-Jan-11 DPP : Rp.175.000.000 PPN : 10% x Rp175,000,000 = Rp 17,500,000 PPnBM : 10% x Rp175,000,000 = Rp 17,500,000 SPT : 3. 8-Jan-11 FP : 8-Jan-11 DPP : Rp.650.000.000 PPN : 10% x Rp650,000,000 = Rp 65,000,000 PPnBM : 10% x Rp650,000,000 = Rp 65,000,000 SPT : 4. 10-Jan-11 FP : 10-Jan-11 DPP : 100/1 20 x Rp240,000,000 = Rp200,000,000 PPN : 10% x Rp200,000,000 = Rp 20,000,000 PPnBM : 10% x Rp 20,000,000 = Rp 2,000,000 SPT : 5. 12-Jan-11 FP : 12-Jan-11 DPP : 100/120 x Rp 15,000,000 = Rp 12,500,000 PPN : 10% x Rp 12,500,000 = Rp 1,250,000 PPnBM : 10% x Rp 12,500,000 = Rp 1,250,000 SPT : | SPT PPN 1111 (Penjualan) 6 . 2 4 -J a n - 11 SPT : 7 . 2 4 -J a n - 11 FP : 24-Jan-11 PPN : 10% x Rp180,000,000 = Rp 18,000,000 PPnBM : 10% x Rp180,000,000 = Rp 18,000,000 SPT : 8 . 29-Jan-1 1 Ket : (Retur) FP : 25-Jan-11 PPN : 10% x Rp 30,000,000 = Rp 3,000,000 PPnBM : 10% x Rp 30,000,000 = Rp 3,000,000