1
'Tidak Ada Ampun Buat Terpidana Mati Narkoba', Tempo (Daring) 18 Desember 2014,< http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/18/063629393/Jokowi-Tak-Ada-Ampun-buat-Terpidana-Mati-Narkoba> Diakses pada 12 Februari 2015.
'Presiden Jokowi Dimusuhi Tiga Negara', Tempo (Daring), 18 Januari 2015, Diakses pada 15 Februari 2015
'Beberapa Alasan Komnas Ham Tak Setuju Eksekusi Mati Duo Bali Nine, Republika (Daring), 28 Februari 2015< http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/02/28/nkg5jn-beberapa-alasan-komnas-ham-tak-setuju-eksekusi-mati-duo-bali-nine> Diakses pada 15 Maret 2015
Dapat dilihat dalam < http://www.deathpenaltyworldwide.org/country-search-post.cfm?country=Indonesia >
'International Covenant on Civil and Political Rights', UN Treaties, 16 December 1966 Diakses pada 28 Februari 2015
'Peraturan UUD RI Tahun 1945', Kemenkumham Diakses pada 15 Maret 2015
International Covenant on Civil and Political Rights', UN Treaties,16 December 1966 Diakses pada 28 Februari 2015
Yang juga terkenal sebagai asas Pacta Sunt Servanda (aggrements must be kept) Pacta sunt Servanda adalah asas hukum yang menyatakan bahwa "setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pihak yang melakukan perjanjian. Asas ini menjadi dasar hukum Internasional karena termaktub dalam pasal 26 Konvensi Wina 1969 yang menyatakan bahwa "every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith" (setiap perjanjian mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik) jika telah melakukan ratifikasi diambil dari UN Conventions on the Laws of Treaties, Viena (23 May 1969), Article 26
International Bar Association, The Death Penalty Under International Law: A Background Paper to IBAHRI Resolution on the Abolition of the Death Penalty. Ibanet, London 2008 Hal 1-5
Rick Lines, The Death Penalty For Drug Offences : A Violation Of International Human Rights Law dalam Harm Reduction and Human Rights (HR2) ,International Harm Reduction Association , London 2007
Pranoto Iskandar(2012) Hukum Ham internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual , IMR Press: Cianjur Hal.6
J.V. Stein, 'International Law: Understanding Compliance and Enforcement,' The International Studies Encyclopedia, 2010
Ronald B Mitchell(2007) " Compliance Theory : Compliance, Effectiveness and Behaviour Change in international Environmental Law ". Editors : Jutta Brunee, Daniel Bodansky, Ellen Hey, Oxford University Press, Hal. 893-921.
Ronald B Mitchell , Compliance Theory ,Hal.894
Ronald B Mitchell , Compliance Theory ,Hal.894
Compliance Theory "Making law work: Environmental Compliance and SuSteinable Development" hal. 57
Hans Joachim Morgenthau, "Politics Among Nations:The Struggle fo r Power and Peace". 5th edition 1978 Hal.299
Laurence R.Hefler & Anne- Marie Slaughter. "toward a theory Effective supranational Adjudication" Yale LJ hal.107
Andrew T Gusman. (2002), A compliance-based theory of International Law, California Law Review 90, no 6
Andrew T Gusman. A compliance-based theory of International Law,Hal.1839
Andrew T Gusman. A compliance-based theory of International Law,Hal.1841
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.2
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.4
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.4
J.V. Stein International Law: Understanding Compliance and Enforcement Hal.4
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.2
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.5
Tomz, M. (2008) Reputation and the Effect of International Law on Preferences and Beliefs. Unpublished manuscript. Stanford University,
'MUI Dukung Kebijakan Presiden Tolak Grasi Terpidana Narkoba', Warta Ekonomi (Daring), 11 Februari 2015 Diakses pada 5 juni 2015
'BNN Dukung Penolakan ICCPR dan Grasi terpidana Mati Kasus Narkoba', Kriminalitas (Daring), Diakses pada 5 juni 2015
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.5
Masoed, Mohtar , Ilmu Hubungan Internasional:Disiplin dan Metodologi, PT Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 1994 Hal 38
Iskandar, Pranoto, Hukum HAM Internasional, Hal.313
Seperti yang dijelaskan Vratislav Pechota yang dirangkum oleh David Kaye (2011)State Execution of the International Covenant on Civil and Political Rights dapat diakses di< http://www.law.uci.edu/lawreview/vol3/no1/kaye.pdf >
Status of State on. International Covenant on Civil and Political Rights bisa diakses dalam
Iskandar, Pranoto, Hukum HAM Internasional, Hal.378
Adam Roberts dan Benedict Kingsburry (1997) Introduction, Hal, 5, secara umum dapat dilihat dalam S.Charnovits.Two Centuries of Participation; Ngos and International Governance 18 Mich. J Int'lL Hal.183
Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik" Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Convention on Civil and Political Rights (Konvenan International Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No 119, Hal.4 dapat diakses melalui
Kenneth S.gallant, the principle of legality in international and comparative criminal Law Cambridge University Press, New York Hal,Hal176
Pada saat merancang draft dokumen HAM disesi kedua tanggal 2-15 desember 1947, komisi HAM memutuskan bahwa term of the International bill of human rights harus digunakan pada seluruh seri dokumen HAM dalam persiapan ini, yaitu dokumen HAM, konbenan tentang HAM dan ukuran penerapan. Lihat dalam Chapter I Tenth Session General Assembly Dokument A/2929 Annotations on the text of the draft international convenan on human rights new,york, 1955 dapat diakses melalui
"Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik" dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Convenant On Civil And Political Rights (Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 119 Hal.7-9 dapat diakses dalam
Pendapat dari Professor Philip Alston, yang merupakan John Norton Pomeroy Professor of Law, New York University School of Law, dan direktur the Center for Human Rights and Global Justice yang dirangkum dalam Colman Lynch, (2009)Indonesia's Use of Capital Punishment for Drug-trafficking Crimes : Legal Obligation, Extralegal Factors, and The Bali Nine Case di Columbia Human Rights Law Review ,Columbia University of Law:New York Hal.538
D.L. Richards, K.C. Clay (2012) "Non-Derogable Rights and Declared States of Emergency" dalam An Umbrella With Holes: Respect for Non Derogable Human Rights During Declared States of Emergency, Springer Science Business Media Dordrecht 1996–2004 Hal.452
Article 6 ICCPR, ICCPR (Daring), dapat diakses dalam
Data diambil dari situs UN yang dapat diakses dalam
Amnesti Internasional,(2015), Keadilan yang Cacat Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia Index ASA 21/2434/2015, Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW Hal.17
Kasim, Ifdhal, S.H. (2007), Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM, Jakarta Hal.4
Lihat Manfred Nowak, "U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary", 2nd revised edition, N.P. Engel, Publisher, 2005.
Pembelaan hukum yang memadai termasuk keharusan seorang terdakwa didampingi pengacara dan penterjemah bila ia disidang dalam bahasa yang ia tidak mengerti. Terdakwa juga harus disediakan akses terhadap informasi yang lengkap atas persidangan tersebut.
Makarim, Mufti "Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan Relevansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia dapat di akses dalam"
De jure merujuk pada menerapkan abolisi dalam tatanan legal hukum dengan menghapuskan hukuman mati secara legal dan penerapan moratorium/penghilangan hukuman mati di urusan domestik negara
De facto merujuk pada penerapan abolisi hukuman mati dengan kebijakan menerapkan moratorium eksekusi mati walaupun dalam legal hukum negara tersebut masih menerapkan hukuman mati sebagai
William A. Schabas,(2002) The Abolition of the Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, Cambridge,. Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide Perspective, Oxford University Press, Oxford 2002
Status Negara-Negara di Dunia tentang Praktek Hukuman Mati ,Hands Off Cain (Daring) dapat diakses pada < http://kontras.org/pers/teks/Status%20Negara%20ttg%20praktik%20hukuman%20mati.pdf>
Kasim, Ifdhal, S.H, Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar, Hal.4-5
Krasner, Stephen D,(1983) International Regimes. Ithaca, New York: Cornell University Press
Yosep Adi Prasetyo (2012) Hak Sipil dan politik , Pemerkuatan Pemahaman HAM untuk Hakim seluruh Indonesia Komnas HAM Hal.3
Status of State on . International Covenant on Civil and Political Rights bisa diakses dalam
Abdul Aziz, Amir (2014)Responsibility to protect di suriah , Universitas Gajah Mada , Hal.33
Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, (2005)Introduction to International Relations, Perspectives & Themes, 2nd edition, Pearson & Longman, Chap. 7, Hal. 181-202.
Steans et al, Introduction to International Relations, Perspectives & Themes Hal.192-196
Siswo Pramono, "A Million Friends Diplomacy", The Jakarta Post Online, 13 Juni 2010.
Ziyad Falahi, (2007), Memikirkan Kembali Arti Million Friends Zero Enemy dalam Era Paradox of Plenty Global & Strategis Juli-Desember 2013 Hal. 229
Seperti yang diungkapkan oleh Dino Patti Djalal mengutip pidato presiden SBY dalam Yudhoyono, S. Bambang, (2009). Indonesia Unggul: Kumpulan Pemikiran dan Tulisan Pilihan oleh Presiden Republik Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hal. 107
Bappenas, (2007)Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia, Bappenas (Daring), dapat diakses melalui < http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/1)%20Indonesia%20dan%20isu%20global/2)%20HAM/HAM%20(Hak%20Asasi%20Manusia).pdf>
Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dapat diakses melalui < http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/1)%20Indonesia%20dan%20isu%20global/2)%20HAM/HAM%20(Hak%20Asasi%20Manusia).pdf>
Selengkapnya tentang norm life cycle dapat dilihat di dalam tulisan karya Marta Finemore dan Kathryn Sikkink, (1998), International Norm Dynamic and Political Charge, Intenational Organization vol 52 no 4 the MIT Press
Status of State on . International Covenant on Civil and Political Rights bisa diakses dalam
Institute of International Studies , (2013)Indonesia dan Misi Perdamaian PBB : Tinjauan Diplomasi dan Politik Luar Negeri ,Institute of International Studies (IIS): Yogyakarta Hal. 74
Institute of International Studies , Indonesia dan Misi Perdamaian PBB : Hal. 68
Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dapat diakses melalui < http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/1)%20Indonesia%20dan%20isu%20global/2)%20HAM/HAM%20(Hak%20Asasi%20Manusia).pdf>
Ziyad Falahi , Memikirkan Kembali Arti Million,Hal 229
Atom Ginting munthe (2006) Postur 'Rasionalis' dalam politik luar negeri indonesia pasca-suharto, Jurnal Hukum pro justisia volume 24 no 3 hal.192
Death Penalty Worldwide, Death penalty Database Cornell Law School(Daring) , 1 Oktober 2013, dapat diakses dalam
Amnesti Internasional,(2015) Keadilan yang Cacat Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia Index ASA 21/2434/2015, Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW Hal.5
Sambutan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Penanggulangan Narkoba di Jakarta, 4 Februari 2015, tersedia di: http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=8712&Itemid=26// (diakses pada 17 Agustus 2015).
Death Penalty Worldwide, Death penalty Database Cornell Law School(Daring) , 1 Oktober 2013, dapat diakses dalam
Andrew T Gusman. (2002), A compliance-based theory of International Law, California Law Review 90, no 6
Andrew T Gusman. A compliance-based theory of International Law,Hal.1839
Andrew T Gusman. A compliance-based theory of International Law,Hal.1841
Atom Ginting munthe (2006), "Postur 'Rasionalis' dalam politik luar negeri indonesia pasca-suharto"dalam Jurnal Hukum pro justisia volume 24 no 3 , hal.192
Data diambil dari laporan oleh Kontras, "Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013" , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
Data diambil dari laporan oleh Kontras, Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013 , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
ELSAM (2008) Hak Asasi Manusia tanpa dukungan politik Catatan Ham Awal tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) Hal.7
Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah, Interpol (Daring), 20 September 2003 , diakses dalam < http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/terrorisme/69-teroris-di-indonesia-dan-usaha-usaha-yang-diambil-untuk-mengalahkan-masalah>
Data diambil dari laporan oleh Kontras, Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013 , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
Data diambil dari laporan oleh Kontras, "Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013" , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
Lihat "Statement by the delegation of the Republic of Indonesia high-level panel discussion on the question of the death penalty 'regional efforts aiming at the abolition of the death penalty and challenges faced in that regard' at the 28th session of the Human Rights Council dapat diakses dalam (diakses pada 6 Juli 2015).
The Jakarta Globe, "Indonesia not Alone in Death Penalty Reticence: Ministers", The Jakarta Globe (Daring) 17 Oktober 2012, tersedia di: http://www.thejakartaglobe.com/archive/indonesia-not-alone-in-death-penalty-reticenceministers/550602/ (diakses pada 29 Juni 2015).
Aditya Revianur, Indonesia Segera Hapus Hukuman Mati, Kompas (Daring), 16 Oktober 2012 ,
Aditya Revianur. Pemerintah Indonesia Kurangi Vonis Mati,kompas (Daring), 17 Oktober 2012
Data diambil dari laporan oleh Kontras, "Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013" , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
Disampaikan oleh Direktur Program Imparsial Al Araf yang dikutip dalam Eksekusi Mati Terbanyak Terjadi pada Masa SBY , Kompas (Daring), pada Rabu, 6 Januari 2010 " 15:59 WIB.< http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/06/15594483/Eksekusi.Mati.Terbanyak.Terjadi.pada.Masa.SBY >
Data diambil dari laporan oleh Kontras, Death Penalty Log In Indonesia Updated 2015 , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam < http://www.kontras.org/data/deathlog_updated_2015.pdf>
Dalam pidato presiden Jokowi saat memberikan sambutan dalam pembukaan rakornas pemberantasan narkoba di Gedung Bidakara, Jakarta,pada Rabu (4/2/2015) yang dirangkum dalam Indonesia Gawat Darurat Narkotika ,Kompas(Daring),04 Februari 2014, dapat diakses dalam
Dalam pidato presiden Jokowi saat memberikan sambutan dalam pembukaan rakornas pemberantasan narkoba di Gedung Bidakara, Jakarta,pada Rabu (4/2/2015) yang dirangkum dalam Indonesia Gawat Darurat Narkotika ,Kompas(Daring),04 Februari 2014, dapat diakses dalam
Media Indonesia, "Hukuman Mati Bukan Soal HAM", Media Indonesia (Daring), 28April 2015, Dapat diakses dalam http://www.mediaindonesia.com/misore/read/1294/Menkumham-Pertegas-Hukuman-Mati-bukan-Soal-HAM/2015/04/28//
Pendapat Presiden RI dalam konverensi Pers yang dirangkum dalam http://www.harnas.co/2015/04/29/eksekusi-mati-bukan-eksekusi-ham//
Death Penalty Worldwide, Death penalty Database Cornell Law School(Daring) , 1 Oktober 2013, dapat diakses dalam
Eddi Maszudi ,Prospek dan Tantangan Politik LN, Suara Merdeka (Daring), 28 Oktober 2004, dapat diakses dalam
Anton Suhartono,Profil Menlu, Marty Matalegawa, Okezone(Daring), 22 Oktober 2009, dapat diakses dalam
< http://news.okezone.com/read/2009/10/22/339/268111/profil-menlu-marty-matalegawa>
Sandro Gatra,Pemberian Grasi untuk Corby Disesalkan, Kompas (Daring), 23 Mei 2012 dapat diakses dalam situs
Cassese, A dan Weiler, JH.H (1988) Change and Stability in International Law-Making, New York : De Gruyter
Abbott K.W and Snidal D (2000)Hard and Soft Law in International Governance, International Organization, Summer Hal. 454
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.4
J.V. Stein I Understanding Compliance and Enforcement, Hal.4
Hertanto Soebijoto ,Grasi Corby Salah Satu Bentuk Diplomasi Hukum, Kompas (Daring), 26 Mei 2012
J.V. Stein ,International Law: Understanding Compliance and Enforcement, Hal.5
Diutarakan oleh Henry Yosodiningrat Hasil dalam wawancara acara "Mata Najwa memutus nyawa: pro kontra hukuman mati narkoba oleh Najwa Sihab 3 Desember 2014
selengkapnya :
"Terpidana narkotika harus dihukum seumur hidup, tempat mengendalikan bisnis narkotika di indonesia adalah di narapidana oleh terpidana mati yang belum dieksekusi, dengan mengeksekusi, mengeksekusi sedikit orang terpidana narkotika ini tidak akan menghancurkan negara dengan mengeksekusi terpidana narkotika ini terlebih mereka dari negara asing, akibat untuk bangsa kita adalah hancurnya sebuah generasi, sertiap hari 50 orang anak bangsa yang meninggal, saya lebih memilih untuk menyelamatkan bangsa kita, selalu yang menjadi tameng bagi para pelaksana hukuman mati dan penggiat ham adalah bahwa indonesia adalah negara yang tidak beradab bahwa kita negara yang tertinggal, negara akan dikecam, kita indonesia punya kedaulatan, bangsa asing sama sekali tidak memiliki hak dalam mencampuri kedaulatan kita."
"Hukuman mati sebetulnya untuk memulihkan dan menyantuni keadilan di masyarakat, dalam kejahatan narkotika korbannya adalah sebuah bangsa, untuk menyelamatkan warga negara asing karena mereka tidak memperdulikan keselamatan bangsa mereka, para gerbong narkoba sekedar profit oriented, mereka menghancurkan indonesia dengan cara yang konsepsional dan sistematis, karena itu saya mendukung / mendesak kejaksaan untuk mengeksekusi terpidana mati khususnya hukuman mati.
Kita jangan menjadi bangsa yang terlalu menurut, kondisi masyarakat nya berbeda, mungkin di negara tersebut kejahatan narkotika tidak sejahat di indonesia, ini untuk menyelamatkan Indonesia".
Pranoto Iskandar, Hukum Ham internasional , Hal.6
Ratifikasi ICCPR dan Praktek Hukuman Mati di Indonesia 2005-2015
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mencapai gelar derajat sarjana S-2
Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
Diajukan Oleh:
Mohamad Dziqie Aulia Alfarauqi
/13/359889/PSP/04994
GLOBAL HUMANITARIAN DIPLOMACY
PROGRAM PASCASARJANA ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA
2015
Abstrak
Thesis ini akan menjelaskan bagaimana pola kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR dan kaitannya dengan penerapan Hukuman Mati di Indonesia. Penerapan eksekusi mati Indonesia ini berada ditengah Perkembangan norma HAM tentang penghapusan (abolisi) hukuman mati yang gencar digaungkan oleh PBB juga oleh actor non-negara seperti Amnesti internasional, Tesis ini akan memulai pembahasan dengan menganalisis proses dan alasan serta logika apa yang dipakai Indonesia dari mulai mengapa Indonesia meratifikasi ICCPR dan disisi lain tetap menerapkan Hukuman mati. Mengacu pada negara Indonesia yang telah berkomitmen dengan telah meratifikasi perjanjian ICCPR dan juga sudah melakukan legalisasi kedalam undang undang dalam negeri. Logika tersebut memunculkan pola kepatuhan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menjalankan peraturan dan kebijakan rezim internasional. Dalam thesis ini penulis melihat bahwa meskipun terdapat pola kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR tetapi Indonesia cenderung tidak patuh terhadap norma-norma ICCPR dan terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan tersebut faktor-faktor tersebut berkaitan dengan enforcement yang ada dan diterima oleh Indonesia
Kata kunci : ICCPR, HAM, Hukuman Mati ,Indonesia, kepatuhan
BAB I
PENDAHULUAN
"Manusia harus melampaui konflik dengan menemukan metode yang menolak balas dendam, agresi dan pembalasan."
-Martin Luther King Jr-
Latar Belakang Masalah
Pemerintah Indonesia Pada tanggal 18 Januari 2015, mengeksekusi enam terpidana mati kasus narkotika. Keenam terpidana yang dieksekusi itu adalah Marco Archer Cardoso (Brasil), Ang Kiem Soei alias Tommy Wijaya (Belanda), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (Cianjur, Jawa Barat), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria), dan Tran Thi Bich Hanh (Vietnam). Tidak berhenti sampai di situ, pada tanggal 29 April 2015 pemerintah Indonesia juga melakukan eksekusi Mati gelombang kedua. Eksekusi lanjutan ini terdiri dari 10 terpidana mati dari berbagai kewarganegaraan. Dari 10 terpidana mati, 8 terpidana di eksekusi dan 2 orang terpidana lain mendapatkan penundaan hukuman. Mereka adalah Martin Anderson (Ghana), Rahem agbaje Salami (Spanyol), Zaenal Abidin (Indonesia), Myuran Sukumaran alias Mark, Andrew Chan (Australia), Silvester Obiekwe Nwaolise (Nigeria), Okwudili Oyatanze (Nigeria) dan yang mendapatkan penundaan hukuman adalah Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina) dan Serge Areski Atlaoui ( Prancis).
Sikap Indonesia mengeksekusi terpidana mati ini menuai protes keras dari negara-negara asal terpidana yang telah dieksekusi mati, yakni Brasil, Belanda, dan Australia. Presiden Brasil Dilma Rousseff marah dan kecewa karena warganya, Marco Archer Cardoso, dieksekusi mati oleh pemerintah Indonesia. Rousseff menganggap bahwa eksekusi mati warganya itu akan merusak hubungan bilateral kedua negara dan memanggil pulang Duta Besar Brasil untuk Indonesia di Jakarta. Reaksi serupa berasal dari Belanda, Menteri Luar Negeri Belanda Bert Koenders juga menarik duta besarnya di Jakarta setelah Indonesia mengeksekusi mati warga mereka. Australia juga memberikan respon terhadap warga negaranya yang dieksekusi mati di Indonesia. Perdana Menteri Australia Tony Abbott bahkan mengecam Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi, Protes ini bertujuan untuk membatalkan eksekusi mati dua warga negaranya. Protes juga dilakukan oleh Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), PBB berupaya mencegah adanya pelaksanaan hukuman mati terhadap gembong narkoba dengan melakukan protes dan mengirimkan surat ke Indonesia, agar indonesia mempertimbangkan kembali untuk tidak melakukan hukupman mati terhadap terpidana narkoba karena itu melanggar Norma Ham internasional yang sudah diratifikasi Indonesia.
Rangkaian eksekusi mati pada terpidana narkotika ini tercatat merupakan rangkaian praktek eksekusi mati terbanyak yang pernah dijatuhkan dalam satu kali rangkaian eksekusi, dan ini juga merupakan yang kedua terbanyak dalam hal jumlah korban terpidana dalam satu rezim pemerintahan, setelah rezim presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dunia Internasional menganggap Indonesia telah melanggar dan tidak menghormati perjanjian internasional International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah diratifikasi Indonesia pada tahun 2005 melalui legislasi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Norma Ham ini juga telah diadopsi dalam dasar hukum Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang mengandung pasal tentang "hak untuk hidup" bagi setiap manusia. Ini terdapat di pasal 28A tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang menyebutkan bahwa: "Setiap orang memiliki hak untuk hidup, serta mempertahankan hidup dan kehidupannya" Dalam perjanjian yang diratifikasi Indonesia dalam ICCPR menyebutkan bahwa: "Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law no one shall be arbitrarly deprived of his life"
Terdapat hak-hak asasi manusia dalam jenis non-derogable, (yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak) Walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Salah satu diantaranya adalah hak untuk hidup (Rights to Life). Ini membuat Indonesia memiliki kewajiban untuk tidak melakukan hukuman mati, dengan ditandatanganinya ratifikasi itu, Indonesia harus siap mengikuti standarnya dan menjadi hukum nasional. Dengan adanya dasar hukum internasional ini, menurut masyarakat internasional, dengan mengeksekusi mati para terpidana narkoba, Indonesia telah melanggar norma HAM Internasional. Padahal dalam ruang lingkup hubungan internasional, negara memiliki kewajiban untuk melaksanakan norma-norma internasional atau menghindari melakukan pelanggaran internasional sebagai sebuah itikad baik dalam menghormati norma-norma internasional. Dengan mengeksekusi mati terpidana, Indonesia tidak hanya melanggar norma internasional yang bersifat mengikat, tetapi juga sudah tidak menghormati norma tersebut. Ketidakpatuhan inilah yang menjadi alasan banyaknya protes yang dilakukan oleh negara-negara yang warga negaranya dieksekusi di Indonesia dan juga oleh PBB.
Penerapan eksekusi mati Indonesia ini berada ditengah Perkembangan norma HAM tentang penghapusan (abolisi) hukuman mati yang gencar digaungkan oleh PBB juga oleh actor non-negara seperti Amnesti internasional, Tesis ini akan menganalisis proses dan alasan serta logika apa yang dipakai Indonesia dari mulai mengapa Indonesia meratifikasi ICCPR dan disisi lain tetap menerapkan Hukuman mati. Mengacu pada negara Indonesia yang telah berkomitmen dengan telah meratifikasi perjanjian ICCPR dan juga sudah melakukan legelisasi kedalam undang undang dalam negeri. Identifikasi tersebut memunculkan pola kepatuhan yang dilakukan oleh Indonesia dalam menjalankan peraturan dan kebijakan rezim internasional.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, pola kepatuhan Indonesia dipengaruhi kuat oleh dua indikator ini, pertama logika Kepatuhan yang kedua faktor-faktor ketidak patuhan karena itu maka untuk memudahkan pemecahan masalah dan sebagai pedoman dalam pembahasan lebih lanjut, penulis ingin memastikan beberapa hal berikut terjawab:
Bagaimanakah Logika Kepatuhan Indonesia terhadap Rezim ICCPR yang diterapkan Indonesia dalam pengaplikasian hukuman mati?
Bagaimanakah pola kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR dan apa faktor-faktor yang menyebabkannya?
Tujuan Penelitian
Tujuan utama dari penulisan ini selain memang ketertarikan penulis tentang Permasalahan HAM yang terjadi di Indonesia, juga dikarenakan diskursus yang penulis temukan mengenai hal ini masih sedikit, terlebih lagi yang mengambil studi kasus di Indonesia. Tujuan akhir dari tulisan ini dimaksudkan sebagai manifestasi dan implementasi dari penerapan teori yang pernah diperoleh penulis dibangku kuliah yang juga akan dijadikan Tesis sebagai syarat memperoleh gelar sarjana S-2 pada Jurusan Hubungan Internasional, fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
Tinjauan Pustaka
Dalam bagian Tinjauan Pustaka ini penulis mengunakan beberapa artikel dari para ahli untuk rujukan penelitian. Artikel yang yang pertama berjudul The Death Penalty under International Law: A Background Paper to IBAHRI Resolution on the Abolition of the Death Penalty oleh International Bar Association. Penulis menjadikan jurnal ini sebagai gambaran awal (outline) bagaimana status pelaksanaan hukuman mati menurut hukum internasional. Dalam artikel ini menjelaskan artikel artikel yang terkait dengan usaha masyarakat internasional untuk berkampanye bersama menghapus hukuman mati di dunia. Pembahasan jurnal ini tmenjadi penting bagi penulis karena jurnal ini membahas tentang artikel 6 ICCPR yang merupakan pangkal dari kampanye mengenai penghilangan Hukuman mati di Dunia
Penulis membutuhkan penjelasan lebih dalam tentang tidak legalnya hukuman mati terutama untuk kasus terkait narkotika menurut hukum internasional terdapat dalam referensi jurnal lain yang berjudul The Death Penalty For Drug Offences: A Violation Of International Human Rights Law oleh Rick Lines secara garis besar Lines berargumen bahwa eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba merupakan sebuah pelanggaran terhadap norma HAM Internasional. Lebih lanjut penelitian ini menjelaskan mengenai hukuman mati yang belum bisa dihapuskan sepenuhnya dalam hukum internasional, tetapi dalam pengaplikasian hukuman mati di negara yang masih melakukan eksekusi hukuman mati harus menaati pengecualian-pengecualian yang diperbolehkan oleh UN untuk melakukan eksekusi mati. Jurnal ini sangat penting untuk tesis ini karena memberikan pandangan objektif masyarakat internasional terkait eksekusi hukuman mati di negara-negara yang mengaplikasikannya.
Referensi yang dipakai selanjutnya ditulis oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya yang berjudul Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual. Penting dpahami bahwa hukum internasional merupakan sebuah platform berisi kumpulan norma, aturan, dan hukum yang dominan untuk menentukan perilaku negara-bangsa. Dan buku ini membahas mengenai penalaran hukum (legal reasoning dalam hukum HAM. Pranoto memulai asumsi dengan hubungan antara rezim hukum lokal dan internasional merupakan sebuah hal yang menjadi perhatian utama dalam studi HAM dan buku ini berupaya untuk membahas segala persoalan yang melingkupi HAM.
Berbeda dengan buku-buku hukum tradisional yang lain yang tetap berada dalam koridor 'legal' buku ini mencoba keluar dari koridor tersebut dan menangkap apa saja permasalahan yang terjadi dalam persepsi dan aplikasi negara dalam hubungannya dengan hukum internasional. Karena itu buku ini menyajikan pemahaman yang menyeluruh dan tidak parsial.Buku ini tidak bermaksud untuk memberikan gambaran utuh atas isu-isu yang ada dalam hukum HAM. Tapi buku ini dimaksudkan untuk menjadi pengantar dalam memahami HAM lebih lanjut secara utuh sesuai dengan konteks yang menyertainya. Maka pembahasan aas berbagai tema yang ada di dalam buku ini diberikan secara singkat sebagai rujukan primer yang sangat mendukung pendalaman lebih lanjut untuk tesis ini.
Pranoto membagi buku ini dalam tiga bagian, yang mana sangat berarti untuk tesis ini. Bab 1 menerangkan tentang aspek ontologis HAM. Bagian kedua buku ini membahas tentang apa yang dimaksud dengan natur dari Hak secara umum berikut konsepsi tentang HAM itu sendiri dilanjutkan dengan pembahasan pada aspek historis dari HAM dan tinjauan terhadap evolusi pemikiran HAM.kemudian dilanjutkan dengan pembahasan terahdap kontroversi HAM dalam tataran sosiologis dan antropologis. Bagian ketiga pembahasan difokuskan pada mekanisme-mekanisme maupun norma-norma baik yang ditujukan sebagai upaya perlindungan maupun promosi yang terdapat dalam hukum HAM, khususnya rezim Hukum HAM universal yang ditujukan sebagai objek pembahasan. Dilanjutkan pembahasan pada konteks yang melingkupi rezim HAM internasional, lembaga-lembaga HAM dalam PBB sebagai terdepan dalam promosi dan perlindungan dalam norma HAM universal serta 2 konvenan PBB (ICCPR dan ICESCR) berserta organ pengawasnya bersama DUHAM yang disebut sebagai International Bills of Rights. Serta pembahasan-pembahasan lain terkait isu krusial HAM yang melingkupi pembahasan kelompok-kelompok rentan di dalam isu-isu HAM dan kelompok HAM. Tetapi buku ini juga memiliki kelemahan, diantaranya analisis permasalahan terkesan menjadi melebar karena ruang lingkup pembahasannya yang luas, karena itu buku ini cocok menjadi buku panduan untuk pemahaman yang luas dalam isu hukum HAM internasional. Bukan sebagai buku yang secara spesifik membahas ICCPR dan penerapan hukuman mati seperti yang ingin disampaikan oleh tesis ini.
Kerangka Konseptual
Konsep Compliance
Untuk mengetahui alasan ketidakpatuhan Indonesia dalam ICCPR. Maka penulis menggunakan indikator kepatuhan dari konsep Compliance and Enforcement yang diajukan oleh Jana von Stein. Sebelum lebih jauh membahas tentang konsep ini, diperlukan sebuah pemahaman definitif dari konsep-konsep terkait. Kita akan memulai pembahasan kerangka konseptual dengan membahas apa pengertian dari konsep compliance dan konsep enforcement.
Konsep Compliance diartikan sebagai sebuah tingkatan penyesuaian diri sebuah negara dimana tingkah laku negara untuk menyesuaikan sebuah hukum perjanjian Internasional yang telah diproduksi melalui kesepakatan kesepakatan oleh negara-negara untuk menentukan mana hal yang dilarang dan mana yang tidak dilarang oleh perjanjian tersebut.Tetapi tingkat kepatuhan akan sebuah perjanjian internasional merujuk kepada tingkah laku negara itu sendiri. Seperti yang dijelaskan di awal, dalam pandangan hubungan internasional yang realis, spektrum yang yang anarki membuat negara melihat sebuah perjanjian internasional sebagai sebuah manifestasi akan kebijakan dalam negerinya. Dalam kaitannya dengan kepatuhan, negara mungkin dapat saja mematuhi semua aturan yang telah disepakati dari perjanjian tertentu, bagimana jika negara tidak memiliki kepentingan dalam mematuhi perjanjian tersebut, bisa saja mematuhi ataupun tidak, ini tergantung dengan apa subjektifitas sebuah negara dalam melihat seberapa penting perjanjian tersebut bagi kepentingan dalam negeri negara tersebut.
Dalam kasus penerapan hukuman mati di Indonesia, kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR memiliki pola yang berubah-ubah, guna memahami pola tersebut penulis merasa perlu untuk mengetahui terlebih dulu logika apa yang dipakai Indonesia dalam meratifikasi ICCPR dan logika apa yang dipakai Indonesia setelah indonesia meratifikasi ICCPR dan tetap menerapkan hukuman mati di Indonesia. Untuk memahami hal tersebut penulis mencoba mengarahkan diskursus dari konsep compliance von Stein untuk menggunakan logika compliance dari Ronald B. Mitchell. Pola kepatuhan yang berubah-ubah dari pemerintah Indonesia terhadap ICCPR dan logika yang digunakan Mitchell dapat menjelaskan mengenai pola kepatuhan yang dilakukan banyak negara untuk mengaplikasikan peraturan yang ditetapkan oleh legislatif tingkat atas dalam memandang permasalahan atau kasus yang menjadi kepentingan bersama.Pada teori ini lebih memfokuskan pandangan dan pemahaman terhadap perilaku yang berhubungan dengan kepatuhan suatu negara untuk menjalankan hukum baik internasional maupun domestik dan juga menjelaskan alasan–alasan dibalik perilaku tersebut. Teori ini menggambarkan aktor baik itu negara ataupun non-negara yang dipengaruhi oleh satu sistem hukum pada satu permasalahan yang dianggap memenuhi syarat untuk diberlakukan bersama. Logika ini ini fokus pada bentuk perilaku yang dapat dipahami pada permasalahan HAM dan menyebabkan diratifikasinya ICCPR. Konsep kepatuhan yang dilakukan oleh aktor baik itu pemerintah, negara maupun individu mengalami perluasan makna diakibatkan oleh sistem norma yang berlaku dalam cakupan lokal. Sistem yang diterapkan dalam norma itu langsung mengenai masyarakat atau lingkungan sekitar sehingga implementasinya sangat mudah sekali untuk dijalankan.
ICCPR ini merupakan norma yang menciptakan rezim penghapusan (abolisi) hukuman mati rezim internasional yang menangani kasus hukuman mati, secara umum ICCPR telah memberikan efek besar terhadap implementasi negara pada hukum domestik dan regulasi suatu negara. Karakteristik dan kondisi masing-masing negara memiliki perbedaan dan hukum yang dijadikan secara general. Maka pemberlakuan hukum domestik yang diikuti dengan perlakuan masing masing negara tersebutlah yang menjadi tujuan besar ICCPR merumuskan gagasan bersifat global.
Mitchell menjelaskan logika ini dengan membaginya menjadi 2, yang pertama adalah logika kepantasan (logic of appropriatenes) yang kedua adalah logika konsekuensi (logic of consequencess):
Logic of appropriateness: Dalam logika kepantasan lebih memfokuskan pada titik kekuatan aturan-aturan yang bersifat normatif, kekuatan pendekatan ide persuasif dan kewajiban yang legal, serta pada pengaruh pengetahuan terhadap pola kepentingan negara.Sehingga ini bisa dikatakan sebagai kepatuhan tanpa adanya paksaan karena kekuatan saling memiliki dan membutuhkan yang mendasari pola ini berkembang dengan baik. Teradapat indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menganalisa logika ini, indikator-indikator tersebut adalah :
Variabel
Indikator
Logic Of Appropriatness (Logika Kepatuhan)
Norms
Behaviours
Social Identities
Legal Implementation
Internationalization
Logic of consequencess : Sedangkan pada logika konsekuensi lebih menitikberatkan pada penguatan titik kesatuan, rasional, kepentingan diri sebagai aktor sehingga pemahaman ini lebih memfokuskan pada kalkulasi untung rugi dalam segala aspek pemenuhan peraturan sebelum diadopsi dan sesudah diadopsi dalam perkembangan dunia internasional. Sehingga pembagiannya sangat banyak menurut perspektif yang ada dalam kajian Hubungan Internasional. Di pembahasan ini akan dijelaskan dua perspektif dominan yakni realism dan liberalism dimana pada pandangan realism melihat hukum internasional tidak akan memiliki efek yang sangat besar untuk perkembangan kepentingan negara karena kesadaran akan power itu akan lebih memiliki pengaruh yang besar daripada menentukan hukum yang perlu dipatuhi.Sedangkan untuk liberalism memandang compliance sebagai pola yang tidak hanya negara sebagai unitary actor sehingga dia memisahkan negara dan wilayah sebagai fokus proses politik domestik. Sistem kepatuhan itu datang karena ada timbul pengaruh hukum internasional dan institusi legal dan kepentingan domestik yang mampu memobilisasi tekanan pemerintah dalam melakukan kepatuhan.
Dalam pendekatan ini nengara dipersepsikan sebagai individu yang rasional, self-interested dan menilai kalkulasi untung-rugi berdasarkan kerangka tata dunia internasional yang anarkis, setidaknya, apabila negara percaya pada hukum internasional, enfeorcement dan detterence adalah cara utama untuk membuat negara patuh pada hukum internasional. Kelompok (neo)realis melihat bahwa kepatuhan hanya sebatas ketidaksengajaan atau hasil dari kekuatan internasional yang dinamis. Patuh pada hukum internasional merupakan sebuah strategi. Memberikan efek jera penting agar negara dapat tetap patuh pada hukum internasional. Kelompok liberalisme menilai kepatuhan akan muncul apabila terdapat keuntungan bagi kepentingan domestik
Kepatuhan tersebut merupakan bentukan dari keberhasilan hukum domestik. Dimana kepatuhannya terhadap hukum internasional ditransformasikan ke hukum domestik. Teori tersebut merefleksikan alasan negara mau berperilaku dibawah koridor aturan dalam ICCPR padahal secara kenyataanya ICCPR tidak mampu memberikan pengaruh banyak terhadap negara tersebut. Proses negosiasi internasional yang dilakukan oleh Amenesti Internasional untuk mengkampanyekan ICCPR telah menggambarkan secara jelas bahwa pada dasarnya pola kepatuhan dan konsekuensi tersebut dibangun dari pondasi kesadaran masing-masing negara untuk memandang permasalahan yang nantinya akan berdampak pada negara itu sendiri, baik itu dalam aspek keberlanjutan ekonomi, kestabilan politik dan keamanan nasional.
Konsep Enforcement
Sedangkan konsep Enforcement adalah adanya sebuah sangsi atau konsekuensi yang didapat negara jikalau negara melakukan non-complience (tidak memenuhi/ melanggar perjanjian internasional) yang kebanyakan menjadi sebuah problematika di sini bukanlah permasalahan definitif dari konteks perjanjian, tetapi lebih terletak pada dimana letak enforcement sebuah perjanjian internasional yang membuat negara dapat patuh, kerena tidak ada supremasi hukum dan otoritas yang dapat memaksakan / enforce sebuah negara untuk dapat patuh dengan hukum internasional. Jana von Stein memberikan beberapa indicator yang menyebabkan kepatuhan sebuah negara the Sources of Enforcement terhadap sebuah hukum internasional yaitu: International Coercion, reputation, reciprocity, and Enforcement in domestic institutions
International Coercion (Paksaan Internasional)
The Sources of Enforcement yang pertama adalah International Coercion, sebuah negara melakukan tindakan coercion dikarenakan negara tersebut memiliki kepentingan secara substansial dalam kepatuhan negara lain. Paksaan yang dilakukan negara lain tersebut dapat implikasi negatif dan positif bagi negara yang dipaksa. Paksaan yang berimplikasi negatif akan berbentuk punishment seperti mendapatkan hukuman sangsi perdagangan, penurunan bantuan pembangunan, dan intervensi militer, sedangkan yang berimplikasi positif akan berbentuk reward seperti peningkatan bantuan, tidak adanya sangsi perdagangan dll. Aktor yang melakukan pemaksaan kepada negara yang tidak patuh pada suatu perjanjian tidak hanya negara tetapi aktornya bisa juga dari Organisasi Internasional (IO) yang berpengaruh bagi negara negara yang memiliki ketergantungan terhadap organisasi internasional tersebut. Seperti contohnya adalah ketika World Bank (Bank Dunia) mengurangi bantuan untuk negara kepada negara yang menghormati HAM ataupun intervensi militer yang kerap dilakukan oleh NATO. Permasalahan yang sering muncul adalah dalam tahapan Renegotiation: bahwa pertama jikalau Punishment terlalu beresiko untuk sebuah negara, negara pastinya tidak berkomitmen lagi untuk melakukan perjanjian tersebut. Problematika yang lain adalah keterlibatan IO dalam Enforcement. Dalam beberapa kasus IO memiliki keinginan melakukan Enforcement terhadap negara yang tidak patuh, begitu pula negara-negara lain dalam sebuah perjanjian. Tetapi terkadang negara memilih untuk bersikap acuh tak acuh (free-ride) dengan ketidakpatuhan sebuah negara.
Kebijakan hukuman mati Indonesia merupakan ketidakpatuhan Indonesia terhadap Norma HAM Internasional. Dengan meratifikasi ICCPR Indonesia memiliki iktikad untuk menghormati norma yang dibawa oleh ICCPR , tetapi indonesia tidak meratifikasi renegotiation yang berupa Second Oprional Protocol of ICCPR yang didalamnya terdapat pasal tentang Abolishing Death Penalty dikarenakan Enforcement yang diterima begitu besar dan dikarenakan indonesia belum dapat menghilangkan kebijakan hukuman mati di Indonesia.
Reciprocity (Resiprositas)
Definisi Reciprocity (resiprositas) menurut Kohane yang juga dijelaskan oleh Stein adalah :
"Pertukaran nilai kira-kira setara di mana tindakan masing-masing pihak yang bergantung pada tindakan sebelum yang lain sedemikian rupa yang baik adalah kembali untuk yang baik , dan buruk bagi buruk ."
Resiprositas merupakan sebuah pertukaran nilai timbal-balik yang setara antara para negara-negara suatu perjanjian. Apabila hubungan timbal balik yang diinginkan saling menguntungkan maka mereka menguntungkan satu sama lain begitu juga untuk yang sebaliknya pertukaran yang buruk akan menghasilkan yang buruk. Jika negara dalam sutu perjanjian memperoleh keuntungan dalam kepatuhan daripada tidah patuh maka mereka akan memilih untuk patuh. Namun apabila kepatuhan mereka tetap berada pada status quo hal tersebut menggiring para negara anggota untuk berbalik menjadi tidakpatuh dalam suatu perjanjian. Reciprocity menjadi sebuah hal yang vital dalam kepatuhan negara dalam sebuah perjanjian Internasional.Harus ada sebuah kondisi yang dijaga agar terjadi resiprositas antar negara negara. Tetapi kondisi ini sering kali tidak terjadi terhadap kasus HAM. Ini dikarenakan dikarenakan besarnya cakupan norma HAM, banyaknya negara yang terlibat dalam perjanjian, dan luasnya lintas-batas geografis negara-negara yang meratifikasinya.Salah satu contohnya bagaimana wanita diperlakukan negara di Arab mungkin membuat Swedia berang dikarenakan perbedaan standar perlakuan negara terhadap wanita berbeda dengan bagaimana Swedia memperlakukan Wanita di Swedia. Tetapi Swedia tidak bisa memaksa Arab Saudi untuk memperlakukan wanita di Arab sebagaimana Swedia memperlakukan wanita di Swedia. Seperti halnya Australia tidak dapat menyalahkan Standar eksekusi hukuman mati di Indonesia karena perbedaan standar hukuman mati antara Indonesia dan Australia. Australia tidak dapat memaksakan Resiprositas Indonesia dalam memperlakukan terpidana narkoba sama dengan bagaimana Australia memperlakukan terpidana narkoba di negaranya. Karenanya perlu adanya sikap negara yang dikondisikan agar memunculkan adanya resiprositas antar negara.
Hal lain yang menjadi poin penting dalam reciprocity (hubungan timbal balik) ini adalah the shadow of future. Secara definitif dapat diartikan sebagai sebuah kepentingan jangka panjang dari negara-negara yang melakukan perjanjian. Jikalau shadow of future nya tidak jelas dan tidak menguntungkan maka dengan komitmen negara terhadap sebuah perjanjian akan menghilang. Indonesia tidak melihat adanya the shadow of future yang menguntungkan dari adanya Second Optional Protocol of ICCPR yang didalamnya terdapat pasal tentang Abolishing Death Penalty bagi kepentingan Indonesia terkait praktek eksekusi mati terpidananya, karena itu indonesia tidak meratifikasinya.
Reputation (Reputasi)
Menurut Henkin seperti yang dijelaskan Stein dalam jurnalnya :
"Kebijakan luar negeri Setiap bangsa tergantung secara substansial [ ... ]untuk mempertahankan harapan bahwa itu akan hidup sampai adat istiadat dan kewajiban internasional ..
Negara memiliki dimensi normatif dari reputasi adalah untuk menjaga janji dan menghormati perjanjian internasional. Kenapa hal ini penting, karena pertama, dengan menjaga janji dan norma yang negara buat, negara dapat menjamin adanya kepercayaan yang berkesinambungan dari negara lain di masa depan dalam isu terkait. Begitu juga jika negara mendapatkan reputasi yang buruk dan tidak dapat dipercaya dalam isu terkait. Negara juga akan sulit mendapatkan reputasi yang baik dalam isu tersebut. Reputasi yang baik dan buruk ini akan menyebar dan berbanding lurus dengan impact yang didapat negara dari masyarakat internasional. Kedua, reputasi kepercayaan negara-negara terhadap satu negara di suatu perjanjian internasional terkadang tidak berbanding lurus dengan adanya keinginan sebuah negara tersebut untuk menaati perjanjian. Negara negara kuat seperti AS tercatat pernah diberikan tenggang waktu untuk menaati kewajiban finansialnya terhadap UN meskipun AS gagal memenuhi tenggang waktu yang ditentukan. Isu ini memberikan analisa bahwa negara negara yang melanggar perjanjian berbanding lurus dengan reputasi negara tidak berlaku. Karena negara dengan melanggar perjanjian internasional tidak berarti mereka serta merta kehilangan reputasi mereka, mereka masih dapat mempertahankan kepercayaan negara-negara lain dan menerapkan kepentingannya dalam perjanjian internasional.
Terdapat kecenderungan yang menarik dalam penelitian yang dilakukan Tomz.Dengan menggunakan mekanisme wawancara terhadap individu dan pengampu kebijakan di berbagai negara, beliau menemukan bahwa ada kecenderungan bagi kelompok ini untuk melawan kebijakan yang dapat melanggar perjanjian internasional daripada kebijakan yang sama tetapi tidak melanggar perjanjian internasional. Tetapi Tomz juga menguak batas dari mekanisme Reputation ini yaitu jikalau secara moral dan material memang harus memaksa negara untuk melakukan ketidakpatuhan terhadap hukum internasional, maka mereka lebih memilih untuk mendukung negara untuk tidak menaati peraturan internasional.
Contohnya dalam pertimbangan Indonesia dalam tidak mematuhi ICCPR dalam kebijakan eksekusi mati terpidana narkoba, Indonesia menanggap bahwa isu narkoba merupakan isu yang mendesak dan Indonesia harus mengeksekusi terpidana. Isu ini juga didukung oleh banyak institusi domestik seperti MUIdan BNN. Institusi tersebut melihat bahwa negara memerlukan hukuman mati dikarenakan tingkat urgensinya yang tinggi yang menyangkut harkat martabat masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Meskipun akhirnya indonesia melanggar perjanjian dan reputasi Indonesia memburuk di mata Internasional.
Enforcement in Domestic Institutions (Tekanan Institusi Domestik)
Tekanan dalam Institusi domestik memiliki peranan yang sangat penting dalam mempromsikan kepatuhan. Von Stein melihat adanya hubungan demokrasi yang berkembang di sebuah negara berbanding lurus dengan dengan kepatuhan negara tersebut terhadap perjanjian internasional. Ini dikarenakan di sebuah negara yang demokratis peran institusi domestik dan masyarakat sipil sangat besar dalam mempengaruhi tingkah-laku pemerintahan negara tesebut. Fungsi institusi domestik ini terfokus pada dua penekanan yaitu yang bersumber dari pemilihan langsung dan pengadilan.Fungsi dari mekanisme pemilihan ini adalah sebagai pengikat apabila suatu anggota/negara yang telah membuat komitmen namun kemudian negara tersebut mengingkarinya. Pada saat itulah letak peran domestik atau masyarakat sipil untuk menekan dan mengontrol pemerintah terkait perjanjian yang diikuti. Tekanan dari domestik bisa berupa pembikotan pemilihan langsung, aksi demonstrasi, membuat petisi dan lain sebagainya.Kemudian peran dari sistem yuridis dalam mempromosikan kepatuhan ini terletak pada obligasi internasional dalam artian seberap patuh negara-negara yang menjadi anggota dalam suatu perjanjian tersebut. Pendapat lain yang mengkritisi indikator ini. Menurut Gartzke and Gleditsch yang juga dijelaskan oleh Stein menjelaskan bahwa sebuah komitmen internasional yang tidak populer di dalam negeri sebuah negara membuat pemerintah kesulitan untuk mengabaikan sentimen publik terhadap komitmen tersebut, terutama dalam krisis internasional.
Kritik lain terkait hubungan demokrasi dan kepatuhan diutarakan Dai. Menurut Dai, dalam sebuah negara yang paling menentukan dalam kepatuhan bukanlah sistem kenegaraan tersebut,bukanlah demokratis ataupun tidak demokratisnya negara tersebut. Hal yang paling menentukan adalah the political attributes of competing interests, yaitu bagaimana pemerintah membawa isu ini ke publik. Apakah Pemerintah memberikan penghormatan terhadap hukum internasional atau tidak tergantung pada apakah kelompok yang membawa pengaruh politik dan yang memiliki keuntungan Informasi mendukung atau menentang kepatuhan terhadap Hukum Internasional. Dalam tesisnya pada tahun 1985 beliau menemukan bahwa tingkat tertinggi kepatuhan sebuah negara terhadap norma Internasional ada pada negara yang memiliki tingkat aktivis domestik yang aktif dan kritis dalam menyuarakan kritik pada pemerintahan dan juga berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan dari masyarakat terhadap problem dari perjanjian yang telah dibuat pemerintah.
Dalam merespon kebijakan eksekusi mati yang dilakukan pemerintah indonesia, sebenarnya banyak aktifis yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah, tetapi peranan aktifis tersebut terhambat dikarenakan kurangnya antusiasme masyarakat terhadap kasus ini, selain itu masih kurangnya tingkat pemahaman masyarakat terhadap apa yang sebenarnya indonesia langgar dan apakah problematika dalam kasus ini membuat pemerintah tetap dapat melaksanakan eksekusi meskipun akhirnya itu melanggar perjanjian internasional.
Argumentasi Utama
Merujuk pada pokok permasalahan dan untuk menganalisa kasus ini, penulis memiliki 2 argumentasi utama yaitu :
Logika Kepatuhan Indonesia terhadap norma HAM ICCPR dipengaruhi kuat oleh dua indikator berikut : Sikap indonesia ke luar dipengaruhi kuat oleh Variabel Indikator Logic Of Appropriatness (Logika kepantasan)dan sikap Indonesia yang masih menerapkan hukuman mati di kebijakan dalam negerinya dipengaruhi oleh Logic Of Consequences (Logika Konsekuensi)"
Alasan mengapa Indonesia tidak mematuhi ICCPR dikarenakan political will aktor dan faktor faktor domestik dominan lain yang berhubungan dengan indikator the source of enforcement
Metodologi Penelitian
Tingkatan Analisa
Penulis menganalisa kasus dengan menggunakan unit analisa / Variable dependent-nya adalah Indonesia sebagai sebuah negara sehingga level of analysis-nya adalah Aktor sebagai representasi State, dan Unit Eksplanasinya / Variable Independent-nya adalah : norma Ham Internasional sehingga unit eksplanasinya adalah Structure , karena Unit Analisa lebih tinggi tingkatannya daripada Unit eksplanasi, penulis menggunakan analisa Induksionis
Metode Penulisan
Penelitian ini disusun dengan konsep deskriptif analitis. Penulis akan memaparkan data-data dan teori yang digunakan dalam penulisan penelitian ini, kemudian dengan konsep dari teori yang telah dipaparkan, data-data tersebut akan dianalisa. Spesifikasi data yang diperlukan dalam menyusun penelitian ini antara lain
Metode Pengumpulan Data
Metode penggumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan (Library Research) yaitu dengan menerapkan pola pengolahan data yang diperoleh dari berbagai literatur, media massa, data-data dari berbagai macam website, serta dari berbagai sumber yang mempunyai keterkaitan dan mendukung permasalahan yang ada.
Jangkauan Penelitian
Batasan Masalah : Menjelaskan mengenai Pola kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR dan kaitannya dengan penerapan Hukuman Mati di Indonesia
Batasan Wilayah : Kawasan Indonesia
Batasan Waktu : Difokuskan pada tahun 2005-2015 Dimulai dari penandatanganan ICCPR oleh Indonesia sampai 2015 dimana isu ini kembali memanas
Batasan Keilmuan : Studi Hubungan Internasional dan difokuskan lagi pada studi politik Hukum Internasional
Sistematika Penulisan
BAB I: Pendahuluan
Bab pendahuluan berisi tentang struktur awal penelitian, seperti Alasan pemilihan Judul,Latar Belakang Masalah, Rumusan Permasalahan,Tujuan Penelitian ,Tinjauan Pustaka, Kerangka konseptual, Argumentasi Utama, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II: ICCPR Sebagai Rezim HAM Internasional
Bab ini akan menjelaskan mengenai sejarah ICCPR, Komite ICCPR, Standar-standar ICCPR dan fungsi ICCPR dan Hubungannnya dengan norma HAM internasional dan Hukuman Mati.
BAB III : Logika Ratifikasi ICCPR dan Penerapan Hukuman Mati di Indonesia
Bab ini menjelaskan tentang logika kepatuhan dan hubungannya dengan praktek hukuman mati di Indonesia, dalam bab ini penulis mulai menggunakan konsep logic of aproppriateness untuk menjelaskan logika ratifikasi ICCPR, paradoks dalam adanya penerapan hukuman mati di Indonesia dan logika consequencess dari adanya ratifikasi tersebut.
BAB IV: Pola Kepatuhan Indonesia yang Berubah-ubah Terhadap ICCPR dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Bab ini menjelaskan faktor-faktor yang penyebab diperlukannya hukuman mati dan alasan-alasan politis yang menyebabkan diperlukannya Eksekusi di Indonesia. faktor-faktor tersebut dipengaruhi dengan kuat oleh international cohercion, reciprocity, dan Domestic Institutions.dan akhirnya dapat ditemukan adanya sebuah pola dalam kepatuhan indonesia Terhadap ICCPR.
BAB V: Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dari bab-bab sebelumnya, Pada bagian ini juga berisikan saran saran masukan untuk pemerintah dalam kebijakan terkait kasus ini kedepannya selain itu bab ini juga merupakan penutup dari penulisan ini.
BAB II
ICCPR Sebagai Rezim Ham Internasional
ICCPR merupakan salah satu instrumen HAM internasional yang telah mendapatkan pengakuan secara luas. Bersama dengan DUHAM dan ICESCR membentuk apa yang dikenal sebagai the international Bill of Rights. the international Bill of Rights merupakan dokumen utama dalam rezim hukum HAM internasional. Dominick McGoldrick berpendapat bahwa ICCPR Sebagai turunan DUHAM.Tetapi terdapat dua perbedaan mendasar dalam DUHAM dan ICCPR. DUHAM merupakan platform awal adanya norma HAM di dunia, sedangkan ICCPR merupakan sebuah perjewantahan nilai-nilai yang sudah lebih dahulu dibahas di dalam DUHAM menjadi sebuah hukum yang mengikat negara-negara di dunia dengan melalui sebuah konvensi/perjanjian yang mengikat. Ini yang belum didapatkan dalam DUHAM yang ketika dideklarasikannya masih sebatas aksi normatif PBB guna menyebarkan norma hak asasi manusia. Dijelaskan oleh Vratislav Pechota bahwa:
"Sebuah perjanjian tidak meninggalkan keraguan tentang sifat hukum dari ketentuan yang dikandungnya, sedangkan deklarasi sering dianggap hanya menekankan pesan moral yang dibawanya."
Seperti yang telah dijelaskan diatas, DUHAM hanya merupakan sebuah deklarasi, sedangkan ICCPR merupakan sebuah perjanjian internasional yang didalamnya ada sebuah komitmen dari negara untuk menaati dan menghormati perjanjian internasional. Adapun letak pentingnya ICCPR tidak bisa dilepaskan dari ICCPR sendiri sebagai satu-satunya instrumen internasional yang memuat hak-hak sipil dan politik yang telah diakui bersama oleh masyarakat internasional. Instrumen ini pun tidak hanya berpengaruh pada negara-peserta saja tapi juga sangat berpengaruh kepada negara-negara non-peserta. Argumen ini tidak lepas dari pandangan bahwa ICCPR merupakan refleksi dari hukum kebiasaan internasional. Selain itu kenyataan menunjukkan bahwa ICCPR merupakan bagian dari prinsip-prinsip hukum umum yang telah diakui oleh negara-negara. dengan negara ratifikasi sebanyak 159 negara. Ini pun tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa ICCPR merupakan declaratory law dari piagam PBB, singkatnya semua argumen tersebut menunjukkan arti penting posisi yang dimiliki ICCPR sebagai salah satu instrumen utama dalam hukum HAM.Dalam bab ini akan dijelaskan sejarah ICCPR, pokok-pokok ICCPR, Legal standing ICCPR sebagai sebuah rezim HAM internasional.
Sejarah ICCPR
Sejarah ICCPR tidak dapat dipisahkan dari perkembangan isu HAM dalam kontestasi dunia serta pembentukan PBB sebagai sebuah lembaga supranasional. Menurut Adam Roberts dan Benedict Kingsburry, masa perang dingin dianggap sebagai masa dimana PBB merupakan organisasi yang universal secara nyata, yang mana menurut mereka ditandai dengan terdapatnya upaya PBB untuk membentuk standar interansional dalam berbagai hal, juga salah satunya, dalam pesoalan HAM.
Pada tanggal 10 Desember 1948, Majelis Umum (MU) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproklamasikan Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, untuk selanjutnya disingkat DUHAM), yang memuat pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar, dan yang dimaksudkan sebagai acuan umum hasil pencapaian untuk semua rakyat dan bangsa bagi terjaminnya pengakuan dan penghormatan hak-hak dan kebebasan dasar secara universal dan efektif, baik dikalangan rakyat negara-negara anggota PBB sendiri maupun di kalangan rakyat di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka. Masyarakat internasional menyadari perlunya penjabaran hak-hak dan kebebasan dasar yang dinyatakan oleh DUHAM ke dalam instrumen internasional yang bersifat mengikat secara hukum. Sehubungan dengan hal itu, pada tahun 1948, Majelis Umum PBB meminta Komisi Hak Asasi Manusia (KHAM) PBB yang sebelumnya telah mempersiapkan rancangan DUHAM untuk menyusun rancangan Kovenan tentang HAM beserta rancangan tindakan pelaksanaannya. Komisi tersebut mulai bekerja pada tahun 1949.
Pada tahun 1950, MU PBB mengesahkan sebuah resolusi yang menyatakan bahwa pengenyaman kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dasar di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya di lain pihak bersifat saling terkait dan saling tergantung. Setelah melalui perdebatan panjang, dalam sidangnya tahun 1951, MU PBB meminta kepada Komisi HAM PBB untuk merancang dua Kovenan tentang hak asasi manusia : (1) Kovenan mengenai hak sipil dan politik; dan (2) Kovenan mengenai hak ekonomi, sosial dan budaya. MU PBB juga menyatakan secara khusus bahwa kedua Kovenan tersebut harus memuat sebanyak mungkin ketentuan yang sama, dan harus memuat pasal yang akan menetapkan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Komisi HAM PBB berhasil menyelesaikan dua rancangan Kovenan sesuai dengan keputusan MU PBB pada 1951, masing-masing pada tahun 1953 dan 1954. Setelah membahas kedua rancangan Kovenan tersebut, pada tahun 1954 MU PBB memutuskan untuk memublikasikannya seluas mungkin agar pemerintah negara-negara dapat mempelajarinya secara mendalam dan khalayak dapat menyatakan pandangannya secara bebas. Untuk tujuan tersebut, MU PBB menyarankan agar Komite III PBB membahas rancangan naskah Kovenan itu pasal demi pasal mulai tahun 1955.
Melalui general assembly resolution no 543 (VI) tanggal 5 februari 1958, majelis umum PBB meminta komite HAM untuk membuat dua draft konvenan internasional, dimana konvenan yang satu ebrisi tentang perlindungan Hak sipil dan politik; konvenan yang satu lagi berisi tentang perlindungan hak ekonomi, sosial, dan budaya. Butuh waktu yang tidak sebetar untuk membuat dua konvenan tersebut tercapai mencaai rancangan naskah final Meskipun pembahasannya telah dimulai sesuai dengan jadwal, naskah kedua Kovenan itu baru dapat diselesaikan pada tahun 1966. Akhirnya ICCPR diadopsi oleh majelis umum PBB melalui Genenral Assembly Resolution 220 a (XXI) tanggal 16 Desember 1966, tanpa perbedaan pendapat. Tidak ada negara yang terikat dengan ICCPR sampai mereka mengadopsi Konvenan melalui pendatanganan dan ratifikasi,aksesi,suksesi negara atau proses hukum lainnya untuk mengadopsi perjanjian internasional dan sampai jumlah negara yang mengadopsi konvenan mencukupi untuk membuat ICCPR berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Karena setidaknya perlu 1/3 dari total negara di PBB yang turut meratifikasi atau setidaknya perlu keterlibatan 35 negara yang mengadopsi ICCPR untuk membuat konvenan ini berlaku. ICCPR baru berlaku pada 23 maret 1976, hampir sembilan setengah tahun setelah diadopsi oleh Majelis Umum PBB. Bersama dengan DUHAM dan Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya., ketiga instrumen tersebut sering kali disebut the international bill of rights.
Pokok-pokok isi ICCPR
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam DUHAM sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan penjabarannya mencakup pokok-pokok lain yang terkait. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 6 bab dan 53 pasal. Pembukaan kedua Kovenan tersebut mengingatkan negara-negara akan kewajibannya, menurut Piagam PBB untuk memajukan dan melindungi HAM, mengingatkan individu akan tanggung jawabnya untuk bekerja keras bagi pemajuan dan penaatan HAM yang diatur dalam Kovenan ini dalam kaitannya dengan individu lain dan masyarakatnya, dan mengakui bahwa, sesuai dengan DUHAM, cita-cita umat manusia untuk menikmati kebebasan sipil dan politik serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan hanya dapat tercapai apabila telah tercipta kondisi bagi setiap orang untuk dapat menikmati hak-hak sipil dan politiknya maupun hak-hak ekonomi, sosial dan budayanya. Pasal 1 menyatakan bahwa semua rakyat mempunyai hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan menyerukan kepada semua negara, termasuk negara-negara yang bertanggung jawab atas pemerintahan Wilayah yang Tidak Berpemerintahan Sendiri dan Wilayah Perwalian, untuk memajukan perwujudan hak tersebut. Pasal ini mempunyai arti yang sangat penting pada waktu disahkannya Kovenan ini pada tahun 1966 karena ketika itu masih banyak wilayah jajahan. Pasal 2 menetapkan kewajiban Negara Pihak untuk menghormati hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini. Pasal ini juga memastikan bahwa pelaksanaannya bagi semua individu yang berada di wilayahnya dan yang berada di bawah yurisdiksinya tanpa ada pembedaan apapun. Pasal 3 menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Pasal 4 menetapkan bahwa dalam keadaan darurat umum yang mengancam kehidupan bangsa dan keadaan itu diumumkan secara resmi, negara pihak dapat mengambil tindakan yang menyimpang dari kewajibannya menurut Kovenan ini sejauh hal itu mutlak diperlukan oleh kebutuhan situasi darurat tersebut, dengan ketentuan bahwa tindakan itu tidak mengakibatkan diskriminasi yang semata-mata didasarkan pada ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, atau asal-usul sosial. Pasal 5 menyatakan bahwa tidak ada satu ketentuanpun dalam Kovenan ini yang dapat ditafsirkan sebagai memberi hak kepada negara, kelompok, atau seseorang untuk melibatkan diri dalam kegiatan atau melakukan tindakan yang bertujuan menghancurkan hak atau kebebasan manapun yang diakui dalam Kovenan ini atau membatasinya lebih daripada yang ditetapkan dalam Kovenan ini. Pasal ini juga melarang dilakukannya pembatasan atau penyimpangan HAM mendasar yang diakui atau yang berlaku di negara pihak berdasarkan hukum, konvensi, peraturan atau kebiasaan, dengan dalih bahwa Kovenan ini tidak mengakui hak tersebut atau mengakuinya tetapi secara lebih sempit. Pasal 6 sampai dengan Pasal 27 menetapkan bahwa setiap manusia mempunyai hak hidup, bahwa hak ini dilindungi oleh hukum dan bahwa tidak seorangpun dapat dirampas hak hidupnya secara sewenang-wenang (Pasal 6); bahwa tidak seorangpun boleh dikenai siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat (Pasal 7); bahwa tidak seorangpun boleh diperbudak, bahwa perbudakan dan perdagangan budak dilarang, dan bahwa tidak seorangpun boleh diperhamba, atau diharuskan melakukan kerja paksa atau kerja wajib (Pasal 8); bahwa tidak seorangpun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang (Pasal 10); dan bahwa tidak seorangpun boleh dipenjarakan hanya atas dasar ketidakmampuannya memenuhi kewajiban kontraktualnya (Pasal 11). Selanjutnya Kovenan menetapkan kebebasan setiap orang yang berada secara sah dan di wilayah suatu negara untuk berpindah tempat dan memilih tempat tinggalnya di wilayah itu, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri, dan bahwa tidak seorangpun dapat secara sewenang-wenang dirampas haknya untuk memasuki negaranya sendiri (Pasal 12); pengaturan yang diberlakukan bagi pengusiran orang asing yang secara sah tinggal di negara pihak (Pasal 13); persamaan semua orang di depan pengadilan dan badan peradilan, hak atas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh badan peradilan yang kompeten, bebas dan tidak berpihak, hak atas praduga tak bersalah bagi setiap orang yang dijatuhi hukuman atas peninjauan kembali keputusan atau hukumannya oleh badan peradilan yang lebih tinggi (Pasal 14); pelarangan pemberlakuan secara retroaktif peraturan perundang-undangan pidana (Pasal 15); hak setiap orang untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum (Pasal 16); dan tidak boleh dicampurinya secara sewenang-wenang atau secara tidak sah privasi, keluarga, rumah atau surat menyurat seseorang (Pasal 17). Lebih lanjut Kovenan menetapkan hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut (Pasal 18); hak orang untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat (Pasal 19); pelarangan atas propaganda perang serta tindakan yang menganjurkan kebencian atas dasar kebangsaan, ras atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan tindak diskriminasi, permusuhan atau kekerasan (Pasal 20); pengakuan hak untuk berkumpul yang bersifat damai (Pasal 21); hak setiap orang atas kebebasan berserikat (Pasal 22); pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan (Pasal 23); hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak di bawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan (Pasal 24); hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih, serta mempunyai akses berdasarkan persyaratan umum yang sama pada jabatan publik di negaranya (Pasal 25); persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan hak semua orang atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi (Pasal 26); dan tindakan untuk melindungi golongan etnis, agama, atau bahasa minoritas yang mungkin ada di negara pihak (Pasal 27). Pasal 27 merupakan akhir bagian substantif Kovenan ini. Untuk mengawasi pelaksanaan hak-hak yang termaktub dalam Kovenan ini, Pasal 28 sampai dengan Pasal 45 menetapkan pembentukan sebuah komite yang bernama Human Rights Committee (Komite Hak Asasi Manusia) beserta ketentuan mengenai keanggotaan, cara pemilihan, tata tertib pertemuan, kemungkinan bagi negara pihak untuk sewaktu-waktu menyatakan bahwa negara tersebut mengakui kewenangan Komite termaksud untuk menerima dan membahas komunikasi yang menyatakan bahwa suatu negara pihak dapat mengadukan tentang tidak dipenuhinya kewajiban menurut Kovenan oleh negara pihak lain, dan cara kerja Komite dalam menangani permasalahan yang diajukan kepadanya. Kovenan kemudian menegaskan bahwa tidak ada satu ketentuanpun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi ketentuan Piagam PBB dan konstitusi badan khusus dalam hubungan dengan masalah yang diatur dalam Kovenan ini (Pasal 46); dan bahwa tidak satu ketentuanpun dalam Kovenan ini yang boleh ditafsirkan sebagai mengurangi hak melekat semua rakyat untuk menikmati dan menggunakan secara penuh dan secara bebas kekayaan dan sumber daya alamnya (Pasal 47). Kovenan ini diakhiri dengan pasal-pasal penutup yang bersifat prosedural seperti pembukaan penandatanganan, prosedur yang harus ditempuh oleh suatu negara menjadi pihak padanya, mulai berlakunya, lingkup berlakunya yang meliputi seluruh bagian negara federal tanpa pembatasan dan pengecualian, prosedur perubahannya, tugas Sekretaris Jenderal PBB sebagai lembaga penyimpan (depositary) Kovenan, dan bahasa yang dipergunakan dalam naskah otentik (Pasal 48 sampai dengan Pasal 53).
Hak untuk Hidup dalam ICCPR
Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber hukum internasional yang utama dan memegang peranan penting dalam hubungan internasional. Karena, hampir sebagian besar hasil hubungan antar negara atau hubungan internasional dituangkan dalam instrumen perjanjian internasional (treaty). Melalui perjanjian internasional mereka merumuskan hak dan kewajiban yang harus ditaati oleh negara. sehingga dengan adanya perjanjian internasional, negara dapat mengubah perilakunya agar sesuai dengan perjanjian dan meningkatkan kepatuhan. Sehingga ada mekanisme negara untuk ikut serta didalam ICCPR, juga ada konsekuensi bagi negara yang telah/akan ikut meratifikasi ICCPR, adanya ratifikasi oleh negara ini menyebabkan timbulnya kewajiban dan konsekuensi yang harus dipenuhi sebuah negara.
Karena itu ketika kita membahas ICCPR ada legal standing yang dapat kita angkat dalam hubungannya dengan negara yang berkaitan dengan isu-isu tentang HAM, terutama Perlindungan terhadap "hak untuk hidup", dalam ICCPR Pasal 6 dalam Pasal 6 (1) menyebutkan:
"Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life."Lalu pada ICCPR Pasal 6 (2) menyatakan :"that any country using the death penalty may only impose it "for the most serious crimes in accordance with the law."
Pemaknaan pasal ICCPR ini harus ditafsirkan secara internasional dan bukan oleh masing-masing negara, karena hanya dengan menggunakan standar yang "universal" ICCPR akan dapat mendapatkan makna yang holistik dan objektif. Jika terdapat kecenderungan pemaknaan dan intepretesi negara yang terlalu dominan dalam sebuah perjanjian internasional hanya akan membuat perjanjian internasional tersebut menjadi tidak efektif dan bias pelaksanaan. Karena akan memiliki nilai-nilai yang akan berbeda dengan nilai-nilai yang dijunjung dan dikedepankan pertama kali saat perjanjian internasional terbentuk.
Dalam konsepsi HAM, hak hidup merupakan HAM yang bersifat tidak dapat dibatasi (non derogable). Non-derogable rights merupakan hak asasi manusia tertentu telah dianggap begitu penting bahwa mereka tidak dapat dibatasi dalam keadaan apapun. Terdapat hanya empat hak non-derogable, yaitu: (1)hak untuk hidup, (2) hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman,(3) hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan dan (4) hak untuk bebas dari aplikasi retroaktif hukum pidana (yaitu menggunakan hukum untuk menuntut kejahatan yang terjadi sebelum undang-undang yang diperkenalkan).
Pemakaian kata "non-derogable" mengacu pada sebuah hal yang tidak dapat dikompromikan lagi. Dan hak-hak yang terkait dengan non-derogable, merupakan hak yang berkaitan dengan "hak integritas fisik" yang harus dilindungi dan tidak dapat dikompromikan pemenuhannya. Adanya hak ini ditujukan pada kepada negara sebagai institusi yang memiliki kewajiban serta kapabilitas untuk melindungi hak ini terhadap warga negaranya, sekaligus sebagai institusi yang juga memiliki kapabilitas untuk melanggar hak ini.
Hukuman Mati Melanggar Norma HAM ICCPR
Adanya hak untuk hidup yang terangkum dalam ICCPR memiliki imbas pada wacana akan adanya penghapusan praktek hukuman mati karena hal tersebut bertentangan dengan hak untuk hidup, tetapi jika menelisik kedalam sejarah praktek Hukuman mati, ini merupakan sebuah praktek yang sudah sangat kuno, mungkin sama kunonya dengan peradaban. Bahkan di era globalisasi ini, dimana norma-norma HAM menyebar pesat, masih ada juga negara-negara yang mengaplikasikan metode kuno Hukuman mati. Berdasarkan tujuan hukuman mati merupakan sebuah usaha negara untuk melindungi kedaulatan negara dan keamanan negara dari aktor-aktor yang berpotensi untuk menyebabkan ancaman. Tetapi dalam prakteknya, hukuman mati sering kali dilaksanakan dengan sewenang-wenang oleh para penguasa untuk menyebarkan ketakutan , dan mempertahankan kekuasaannya.
Jika dilihat dalam konteks hubungan internasional terutama dalam perspektif wespalian, Hukuman mati memang merupakan wewenang absolut sebuah negara untuk diaplikasikan di dalam negeri negara tersebut, urusan domestik yang seharusnya tidak dapat diintervensi dan dipengaruhi oleh norma asing, tetapi dalam perkembangannya, norma-norma HAM ICCPR mulai banyak diinternalisasi dan diadopsi untuk menghilangkan praktek hukuman mati. Meskipun persoalan hukuman mati menjadi salah satu persoalan yang masih menjadi sebuah perdebatan hangat di Dunia adalah soal eksistensi Hukuman mati. Ini dikarenakan hukuman mati merupakan sebuah hukuman yang dianggap sebagai sebagai ekspresi hukuman paling kejam dan tidak manusiawi. Selain itu sifatnya yang menghilangkan salah satu hak yang paling fundamental dalam Hak-hak asasi manusia yaitu hak untuk hidup (right to life).
Menurut norma-norma HAM ICCPR adanya praktek hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling penting, yaitu Hak fundamental yang tidak dapat dikurangi (non-derogable rights) Definisi non-derogable rights adalah Sebuah hak yang, setidaknya dalam teori, tidak dapat diambil atau dikompromikan. Dalam konvensi hak asasi manusia hak tertentu telah dianggap begitu penting bahwa mereka adalah non-derogable: hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan, dan hak untuk bebas dari aplikasi retroaktif hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai norma-norma hukum atau jus cogens norma-norma internasional. Orang mungkin membuat perbedaan antara non-derogable rights, yang tidak bisa dikompromikan (atau dikurangi). ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila seseorang menjadi narapidana. Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati dengan eksekusinya berlangsung cukup lama
Meskipun demikian, instrumen internasional yaitu Pasal 6 ICCPR, belum melarang pidana mati, tetapi memberikan batasan penerapannya. Dalam ketentuan tersebut, dinyatakan bahwa bagi negara yang belum menghapuskan pidana mati, masih dapat menerapkan hukuman mati tetapi hanya dapat diberlakukan terhadap kejahatan yang paling serius (most serious crime) dan hukuman dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang berwenang atau vice versa yaitu menyatakan pula bahwa hukuman mati adalah sewenang-wenang (arbitrarily deprived) jika itu untuk suatu pelanggaran selain the most serious crime. Memang, ICCPR masih memiliki ruang untuk hukuman mati terutama di negara-negara yang masih menjatuhkan hukuman mati pada 'the most serious crimes', terutama yang berkaitan dengan kejahatan genosida. Hanya saja kalau Pasal 6 ICCPR dibaca secara keseluruhan kita akan melihat bahwa hak untuk hidup adalah semangat yang utama yang harus terus dihormati sampai nanti ia betul-betul menjadi hak asasi yang absolut, yang sifatnya 'non-derogable' dalam keadaan apa pun.
Selain rights of life yang termaktub dalam ICCPR terdapat dua standar yang akan dibahas dalam artikel ICCPR diatas, yaitu standar no arbitrarily deprived dan standar the most serious crime dalam praktek Hukuman mati menurut standar hukum internasional. Dalam ICCPR pasal 6 :
"Every human being has the inherent right to life. This right shall be protected by law. No one shall be arbitrarily deprived of his life."
Secara harfiah No arbitrarily deprived berarti "tidak boleh diambil secara sewenang-wenang".Karena itu dalam kaitannya dengan hukum dan kebijakan domestik negara, harus ada penanganan ekstra khusus ketika sebuah negara berkepentingan untuk mengambil nyawa seseorang. Seperti contohnya dalam penerapan hukuman mati untuk seorang pidana. Seseorang tersebut haruslah sangat bersalah secara hukum dan patut dihukum mati, ataupun contoh yang lain, seseorang tersebut haruslah diperlakukan sangat adil di dalam kasusnya sebelum orang tersebut dihukum mati.
"...that any country using the death penalty may only impose it "for the most serious crimes in accordance with the law."
Pasal lanjutan ICCPR juga menegaskan bahwa untuk negara yang belum mengabolisi hukuman mati, dianjurkan untuk menekankan praktek hukuman mati hanya pada "kejahatan paling serius". Kejahatan paling serius ini merujuk pada "pembunuhan dengan sengaja" (intentional killing) seperti contohnya pembunuhan dengan sengaja dan berencana dan "terorisme".
Protokol Tambahan dalam ICCPR
ICCPR mempunyai dua protocol tambahan, pertama adalah Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights yang pada 16 desember 1966 terbit first optional protocol to international convenant on civil and political rights yang mengtur tentang mekanisme pelaporan individual untuk ICCPR. First Optional Protocol ini berlaku pada 23 meret 1976. Protokol ini memberikan komite HAM PBB sebuah kompetensi atas mekanisme komplain individu atau kelompok yang merasa hak-hak mereka yang telah terjamin dalam ICCPR telah dilanggar. Protokol Pilihan Pertama tentang Pengaduan Individual ini disahkan pada tahun 1966. Dengan adanya protokol ini, ICCPR dapat memperluas fungsi perlindungan HAM nya dengan memberikan sebuah legitimasi bagi individu/ kelompok untuk melakukan komplain terhadap kebijakan-kebijakan negara peratifikasi ICCPR jikalau negara itu melanggar norma-norma ICCPR. Mekanisme yang dapat dilakukan oleh individu untuk melaporkan pelanggaran yang dilakukan negara adalah dengan syarat-syarat seperti berikut;
Pengaduan tertulis itu harus berasal dari individu yang menyatakan diri sebagai korban;
Pengaduan tertulis itu tidak sedang dipertimbangkan melalui prosedur penyidikan atau prosedur penyelesaian internasional lain apapun;
Korban harus menunjukkan bahwa ia telah mengupayakan semua prosedur hukum yang tersedia di negaranya (exhaustion of domestic remedies);
Pengaduan tertulis itu harus didukung oleh fakta yang kuat.
Protokol kedua adalah Second Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Rights yang terbit pada 15 desember 1989 ,Second optional protocol ini memiliki kekuatan hukum dan berlaku pada 11 juli 1991.Protokol opsional kedua yang bertujuan untuk penghapusan hukuman mati. Protokol Pilihan Kedua tentang Penghapusan Hukuman Mati ini disahkan pada 1989. Dalam protokol opsional ini negara-negara yang telah meratifikasi ICCPR dapat meratifikasi protokol ini atau tidak. Dengan adanya protokol kedua tentang penghapusan hukuman mati ini, PBB menganjurkan negara-negara yang telah meratifikasi ICCPR untuk masuk kedalam arus besar abolisi hukuman mati, meskipun demikian karena sifatnya yang hanya opsional, membuat negara masih dapat melaksanakan hukuman mati di negaranya. Meskipun demikian, PBB merasa perlu untuk tetap melindungi warga negara dari ancaman hukuman mati dengan mengeluarkan sebuah panduan berjudul Jaminan Perlindungan bagi mereka yang Menghadapi Hukuman Mati (Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50, tertanggal 25 Mei 1984) atau Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty. Ketentuan ini terus diperbaharui termasuk terakhir oleh Resolusi Komisi HAM 2005/59. Panduan ini memperjelas pembatasan praktek hukuman mati menurut Kovenan Sipol. Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:
Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya hanya bisa berlaku bagi 'kejahatan yang paling serius. Definisi dari istilah 'kejahatan paling serius' ini masih kabur, dalam beberapa studi Komite HAM di beberapa laporan Negara Pihak yang masuk, ditetapkan bahwa kategori 'kejahatan paling serius' tidak boleh mencakup kategori kejahatan politik, kejahatan ekonomi, kejahatan perdata, atau segala tindak kriminal yang tidak melibatkan penggunaan kekerasan. Komite HAM juga melarang penggunaan hukuman mati sebagai suatu hukuman wajib/mandatory punishmentyang kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji.
Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini yang harus diterapkan. Hukuman mati yang bersifat wajib diterapkan (mandatory death penalty) untuk suatu kejahatan juga tidak diperbolehkan.
Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18 tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat mental atau gila.
Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta atau kejadian.
Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan hukum yang memadai.
Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat imperatif/wajib.
Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua jenis kejahatan.
Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.
Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin menimbulkan penderitaan.
Munculnya Tren Abolisi Hukuman Mati
Berawal dari protokol tambahan kedua dalam ICCPR 1989, Kecenderungan global hingga tahun 2007 menunjukan trend yang semakin positif terhadap abolisi hukuman mati. Mayoritas negara di dunia sudah menerapkan kebijakan abolisi secara de jure atau de facto, dan eksekusi terhadap terpidana mati hanya dijalankan di sedikit negara. Kecenderungan ini dianggap merupakan sebuah perkembangan yang mengejutkan dan merupakan salah satu tematik HAM yang paling progresif pasca Perang Dunia II, bahkan bila dilihat dari evolusinya di tataran hukum internasional Beberapa negara juga semakin memperketat praktek eksekusi dan hukuman mati dalam sistem hukumnya.
Banyak pihak menganggap praktek hukuman mati merupakan hal yang lazim secara universal. Pada kenyataaannya tidak. Meski menghasilkan figur di atas, kecenderungan global menunjukan arah yang positif menuju penghapusan hukuman mati. Hingga di akhir tahun 2006 mayoritas negara di dunia bergerak ke arah abolisi dengan berbagai cara. Ada yang secara formal legalistik menjamin penghapusan hukuman mati bagi seluruh jenis kejahatan. Ada yang membatasi praktek hukuman mati hanya berlaku untuk masa perang dan ini bisa dianggap sebagai sikap abolisionis. Ada negara yang melakukan praktek moratorium untuk hukuman mati. Kategori moratorium ini ditentukan oleh komitmen politik pejabat negaranya untuk tidak menggunakan hukuman mati meskipun sistem hukumnya masih mengatur penggunaannya, atau meski tidak ada pernyataan politik suatu negara selama 10 tahun tidak menjalankan eksekusi mati.
Kontras membagi negara-negara Abolisionis dan retentionis hukuman mati menjadi 4 bagian, abolisionis dalam segala jenis kejahatan, abolisionis untuk kejahatan biasa, de facto abolisionis, retensionis dengan cara moratorium, dan negara penghapus hukuman mati (retentionis) murni. Kontras mencatat dewasa ini terdapat 159 negara yang telah meratifikasi ICCPR dengan rincian sebagai berikut:
Negara Abolisionis untuk seluruh jenis kejahatan, sejumlah 100 negara negara-negara tersebut adalah:
Albania, Andorra, Angola, Argentina, Armenia, Australia, Austria, Azerbaijan, Belgium, Benin, Bermuda, Bhutan, Bolivia, Bosnia-Herzegovina, Bulgaria, Burundi, Cambodia, Canada, Cape Verde, Czech Republic, Colombia, Cook Islands, Costa Rica, Croatia, Cyprus, Denmark, Djibouti, Dominican Republic, East Timor, Ecuador, Estonia, Finland, France, Gabon, Georgia, Germany, Greece, Guinea Bissau, Haiti, Honduras, Hungary, Iceland, Ireland, Italy, Ivory Coast, Kiribati, Kyrgyzstan, Latvia, Liechtenstein, Lithuania, Luxembourg, Macedonia (The former Yugoslav Republic), Malta, Marshall Islands, Mauritius, Mexico, Micronesia (Federated States of), Moldova, Monaco, Mongolia, Montenegro, Mozambique, Namibia, Nepal, Nicaragua, Norway, Netherlands, New Zealand, Palau, Panama, Paraguay, Philippines, Poland, Portugal, Romania, Rwanda, Samoa, San Marino, Sao Tome and Principe, Senegal, Serbia, Seychelles, Slovakia, Slovenia, Solomon Islands, Spain, South Africa, Sweden, Switzerland, Togo, Turkey, Turkmenistan, Tuvalu, Ukraine, United Kingdom, Uruguay, Uzbekistan, Vanuatu, Vatican City and Venezuela.
Abolisionis untuk kejahatan biasa sejumlah 7 Negara, negara-negara tesebut adalah :
Brazil, Chile, El Salvador, Fiji, Israel, Kazakhstan and Peru.
De Facto Abolisionis (negara yang tidak melakukan eksekusi mati paling tidak selama 10 tahun terakhir) sejumlah 42 Negara, negara-negara tersebut adalah :
Antigua and Barbuda (eksekusi terakhir terjadi pada 1991), Bahamas (2000), Barbados (1984), Belize (1985), Brunei Darussalam (1957), Burkina Faso (1988), Cameroon (1988), Central African Republic (1981), Comoros (1997), Congo (1982), Dominica (1986), Eritrea (tidak ada eksekusi mati setelah merdeka pada 1993), Ghana (1993), Grenada (1978), Guinea (2001), Guyana (1997), Jamaica (1988), Kenya (1987), Laos (1989), Lesotho (1995), Liberia (2000), Madagascar (1958), Malawi (1992), Maldives (1952), Mauritania (1987), Morocco (1993), Myanmar (1988), Nauru (tidak ada eksekusi mati setelah merdeka pada 1968), Niger (tidak ada eksekusi mati setelah merdeka pada 1976), Papua New Guinea (1957), Saint Lucia (1995), Saint Vincent and the Grenadines (1995), Sierra Leone (1998), South Korea (1997), Sri Lanka (1976), Suriname (1982), Swaziland (1982), Tanzania (1994), Tonga (1982), Trinidad and Tobago (1999), Tunisia (1991) and Zambia (1997).
Kontras selanjutnya mencatat negara-negara retensionis (yang masih menerapkan hukuman mati sebagai kebijakan hukum) Sejumlah 44 Negara,negara-negara tersebut adalah :
Afghanistan, Bahrain, Bangladesh, Belarus, Botswana, Chad, China, Cuba, Democratic Republic of the Congo, Egypt, Equatorial Guinea, Ethiopia, Gambia, India, Indonesia, Iran, Iraq, Japan, Jordan, Kuwait, Lebanon, Libya, Malaysia, Nigeria, North Korea, Oman, Pakistan, Palestinian National Authority, Qatar, Saint Kitts and Nevis, Saudi Arabia, Singapore, Somalia, South Sudan, Sudan, Syria, Taiwan, Thailand, Uganda, United Arab Emirates, United States of America, Vietnam, Yemen and Zimbabwe.
Sedangkan negara retensionis (yang masih menerapkan hukuman mati sebagai kebijakan hukum) tetapi sedang menerapkan moratorium eksekusi mati sejumlah 5 negara, negara tersebut adalah :
Algeria, Guatemala, Mali, Russia and Tajikistan.
Hal ini juga sejalan dengan perkembangan ratifikasi Protokol opsional kedua (Abolisi Hukuman Mati) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang jumlahnya semakin bertambah. Hingga September 2007 tercatat sudah 59 Negara Pihak dari treaty ini dengan Negara Pihak yang baru, yaitu: Andorra, Moldova, Filipina, dan Turki.
Dalam mekanisme yang lain terdapat Resolusi Komisi HAM PBB 2005/59 yang kembali menegaskan bahwa penghapusan hukuman mati merupakan salah satu tonggak progresif dalam peradaban HAM saat ini, sambil menyerukan ratifikasi terhadap Protokol Tambahan Kedua Kovenan Sipil-Politik. Resolusi ini juga memiliki tujuan yang lebih pragmatis dengan menekankan masalah isu hukuman mati atas anak-anak di bawah 18 tahun, larangan hukuman mati bagi mereka yang dikategorikan gila, pembatasan hukuman mati bagi 'kejahatan paling serius' yang tidak boleh mencakup kejahatan ekonomi atau segala kejahatan yang bersifat non- fisik, dan seruan untuk tidak menerapkan hukuman mati sebagai hukuman wajib/mandatory death penalty untuk kejahatan tertentu.
Hal yang sama ditampilkan di Laporan Lima Tahunan PBB (UN Quinquennial Report on Capital Punishment) yang ke-7. Laporan PBB ini berisi monitoring isu hukuman mati baik di tingkatan praktek, legislasi, institusi, maupun politik. PBB sendiri merupakan lembaga yang secara tegas menolak praktek hukuman mati kepada semua terpidana, termasuk bagi para pelaku kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, atau kejahatan perang.
Komite ICCPR
Kovenan ini menciptakan badan pengawasannya sendiri (treaty-base organ), yaitu Komite Hak asasi Manusia. Komite inilah yang diserahi mandat untuk mengawasi jalanya pelaksanaan isi ICCPR pada semua Negara Pihak. Anggota Komite Hak Asasi Manusia tersebut terdiri dari 18 orang, yang dipilh dari warga negara yang menjadi Pihak pada Kovenan ini. Kualifikasi warga negara yang dapat dipilih menjadi anggota Komite tersebut harus merupakan "pribadipribadi bermoral tinggi dan dikenal memiliki keahlian dalam bidang hak asasi manusia". Pemilihan anggota Komite dilakukan setiap empat tahun sekali, yang dipilih dari caloncalon yang diusulkan oleh masing-masing Negara Pihak melalui suatu pemungutan suara secara tertutup. Meskipun anggota tersebut diajukan oleh negara, tetapi ia tidak mewakili negaranya ketika terpilih sebagai anggota Komite. Ia harus berfungsi dalam kapasitasnya sebagai pribadi. Bukan bertindak dalam kapasitas wakil dari suatu negara. Sifat pribadi dari tugas-tugas yang dijalankan oleh anggota Komite, tampak diperkuat dengan janji yang harus diucapkannya ketika dilantik, yaitu akan menjalankan fungsi mereka secara adil dan sungguh-sungguh.
Dalam menjalankan fungsi pengawasannya Komite HAM bekerja berdasarkan mekanisme yang ditetapkan dalam ICCPR dan Protokol Opsional. Setidaknya terdapat 3 mekanisme dalam komite ini, mekanisme-mekanisme tersebut adalah :
Yang pertama adalah mekanisme yang bersifat wajib, yaitu pengawasan melalui suatu sistem laporan berkala. Negara-Negara Pihak pada Kovenan ini diwajibkan menyampaikan laporan mengenai tindakan-tindakan yang telah mereka tempat dalam Kovenan, dan kemajuan yang telah dicapainya. Laporan berkala inilah yang dipelajari dengan seksama oleh Komite, dan kemudian menyampaikan komentar-komentarnya kepada Negara-Negara Pihak. Keuntungan utama mekanisme ini adalah dimungkinkannya Komite untuk mengadakan "dialog yang konstruktif" dengan Negara-Negara Pihak. Selain itu, mekanisme ini juga memungkinkan Komite menyelidiki kepatuhan Negara-Negara Pihak dengan memeriksa kelemahan-kelemahan, mengatasi keragu-raguan, dan menyoroti penggelapan fakta yang dijumpai dalam laporan. Mekanisme ini sekilas tampak sangat "lunak" tetapi sebetulnya sering juga membuat Negara-Negara Pihak marah dan gusar dengan komentar dan kritik Komite terhadap laporan mereka.
Mekanisme pengawasan yang kedua adalah pengaduan antar-negara. Mekanisme ini bersifat opsional atau fakultatif, tidak diwajibkan sebagaimana pada prosedur yang pertama, mekanisme ini mensyaratkan persetujuan setiap Negara Pihak, dan hanya dapat dipergunakan terhadap negara-negara lain yang juga telah setuju untuk terikat pada mekanisme ini. Berdasarkan mekanisme ini, suatu negara yang beranggapan bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap Kovenan ini oleh suatu negara lain, dapat meminta perhatian negara bersangkutan akan fakta tersebut. Negara yang dituding itu harus menanggapi tuduhan itu dalam jangka waktu tiga bulan. Apabila kedua negara tidak dapat menyelesaikannya perselisihan mereka dalam jangka waktu enam bulan, maka salah satu dapat mengajukan masalah ini kepada Komite. Komite kemudian menawarkan jasa baiknya dalam rangka mencapai penyelesaian secara bersahabat diantara negara-negara itu. Tetapi apabila penyelesaian yang ditawarkan Komite itu juga tidak mampu mengatasinya, maka Komite dapat mengangkat sebuah Komisi Perdamaian Ad Hoc untuk menyelesaikannya. Mekanisme pengaduan antar-negara ini merupakan mekanisme yang paling tidak memuaskan. Mekanisme ini sangat rawan dari penyalahgunaan untuk tujuan politis masing-masing negara. Penekanannya pada penyelesaian perselisihan secara bersahabat, juga menyebabkan mekanisme ini tidak banyak gunanya untuk kepentingan melindungi individu. Yang tampak ditonjolkan di sini adalah kepentingan negara-negara. Namun karena keputusankeputusan dari Komite maupun Komisi Perdamaian ad hoc dalam memutuskan perselisihan antar-negara tersebut tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka tidaklah mengherankan apabila mekanisme ini tidak pernah digunakan.
Mekanisme pengawasan yang ketiga adalah pengaduan individual (individual petition). Mekanisme ini juga bersifat opsional, artinya hanya dapat diterapkan di egara-negara Pihak yang telah meratifikasi Protokol Opsional Pertama ICCPR. Individu, melalui mekanisme ini, dapat berhubungan langsung dengan Komite. Tanpa melalui perantara negaranya lagi. Mekanisme ini dengan demikian telah menegaskan status individu dalam hukum internasional dewasa ini, yang tidak lagi sekedar sebagai incidental beneficiary. Melainkan telah diakui pula sebagai subjek hukum internasional. Melihat arti penting dari mekanisme pengaduan individual ini, dibawah ini dicoba diuraikan secara lebih memadai.
Fungsi ICCPR sebagai Rezim HAM internasional
Dijelaskan oleh Stephen Krashner bahwa Rezim adalah :" [Rezim adalah] lembaga yang memiliki norma, keputusan, aturan, dan prosedur yang membantu menyatukan harapan [semua pihak]"
Dari pengertian di atas mampu diartikan bahwa rezim merupakan bentukan dari prinsip yang bersifat eksplisit maupun implisit, norma, aturan dan prosedur pengambilan keputusan dalam ruang lingkup Hubungan Internasional. prinsip diartikan sebagai keyakinan terhadap fakta, penyebab dan kejujuran. Norma merupakan standar perilaku yang didefinisikan dalam pola hak dan kewajiban. Aturan adalah pola tertentu untuk dijalankan maupun menjadi larangan.Sedangkan prosedur pengambilan keputusan dimaknai sebagai praktek untuk membuat sebuah keputusan dan mengimplementasikan ke dalam pilihan kolektif atau diselenggarakan secara bersama-sama.
Hukum internasional dibuat untuk memberikan garis aturan bagi dunia internasional dalam memberikan arahan sehingga negara mampu berjalan sesuai dengan koridor yang ditetapkan. Hukum tersebut diciptakan agar mampu memberikan harmonisasi pada permasalahan yang dihadapi secara global. Model tersebut juga yang menarik pemerintah, industri dan individu mengkalkulasikan untung dan rugi dalam segala aspeknya untuk mematuhi peraturan. Karena pada dasarnya setelah terpenuhinya kesepakatan maka hal yang selanjutnya dilakukan adalah mengadakan perubahan birokrasi ataupun pola yang mendukung ruang gerak mereka. Hal ini yang menyebabkan adanya compliance negara memiliki kolerasi besar dengan perubahan perilaku suatu aktor yang terlibat didalamnya. Sebagai bukti bagaimana norma dapat mengubah prilaku negara dapat terlihat dalam dalam grafik dibawah yang menjelaskan bagaimana norma-norma ICCPR dapat merubah perilaku negara :
Grafik 1 :
Sumber : http://ericposner.com/category/international-law/
Karena itu sangat penting bagi setiap negara untuk mematuhi kesepakatan atas perjanjian-perjanjian internasional yang disepakatinya.ini disebabkan sebuah kesepakatan bisa sangat mempengaruhi pola actor politik yang memiliki akses terhadap kekuasaan dan sumber daya. Ketika aktor tidak menjalankan komitmen terhadap perjanjian yang diratifikasinya itu menihilkan fungsi dari ICCPR sebagai sebuah rezim itu sendiri. Karena adanya ICCPR sangat penting diperlukan untuk memberikan batasan akan perilaku negara yang meratifikasinya, sehingga negara dapat menghormati norma-norma yang dijunjung ICCPR.
BAB III
Logika Ratifikasi ICCPR dan Penerapan Hukuman Mati di Indonesia
Instrumen HAM internasional the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) disahkan oleh Indonesia pada tahun 30 Desember 2005.Ratifikasi tersebut merupakan salah satu implementasi kebijakan RANHAM tahun 2004 dan diadopsi dalam undang-undang domestik negara UU No 12 Tahun 2005 dan pada tahun 2006 indonesia melakukan Aksesi tahun 23 Februari 2006 dan juga menambahkan protokol pertama ICCPR didalamnya.Meskipun demikian Indonesia tidak meratifikasi Protokol opsional kedua dari ICCPR yang mengajak dunia untuk menghapus (Abolisi) praktek hukuman mati di dunia. Adanya nilai-nilai Rights of Life dalam ICCPR tidak sertamerta membuat indonesia menghormati norma-norma tersebut. Terbukti Indonesia tetap melaksanakan praktik hukuman mati di Indonesia. Bab ini akan menjelaskan bagaiamana motif dan logika yang mungkin dipakai oleh pemerintah Indonesia dalam ratifikasi ICCPR dan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia.
Logika Kepantasan (logic of appropriateness) Indonesia
Makna dari logic of apropriateness adalah bagaimana negara menilai dirinya dalam hubungan internasional. Pertanyaan mendasar seperti Bagaimana negara melihat sebuah norma dalam hubungan internasional, apakah negara sudah bertindak secara wajar sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat internasional akan menjadi sorotan utama. Kerangka analisis dalam logic of appropriateness adalah bahwa negara sudah menginternalisasi hukum HAM internasioanal yang berkembang dan pada akhirnya bahwa norma akan HAM dapat melekat pada negara tersebut sebagai sebuah identitas yang melekat dalam kedaulatannya.
Dalam logic of apporpiateness ini telah disampaikan bahwa negara pada akhirnya berperilaku dan berekasi sesuai dengan tata nilai dan norma yang dia yakini. Ini terlihat dalam pilihan kebijakan yang diambil indonesia terkait ICCPR, terdapat 4 indikator yang menjadi faktor determinan dalam logic of appropriateness yaitu Norms and social identities, internalization, legal implementation, dan Behaviours.Pembahasan akan dimulai dari; (1) norma dan identitas sosial yang coba dibangun indonesia pada masa pemerintahan Presiden SBY, lalu akan ada (2) Internalisasi norma-norma HAM internasional dalam Ratifiasi ICCPR, (3) Legal Implementation dalam legalisasi Undang-Undang ICCPR yang disahkan dalam uu no 12 tahun 2005, dan Behaviours dalam kebijakan luar negeri Indonesia
Norma dan identias sosial yang dibangun Indonesia
Menurut Steans at Al terdapat norma-norma mendasar dalam politik internasional.Norma-norma itu membentuk identitas dan rezim Internasional. sedangkan hal yang terpenting dalam sebuah rezim adalah proses pembelajaran sosial yang didapatkan melalui prinsip, norma, dan aturan di dalamnya. Untuk memahami norma dan identitas indonesia dalam meratifikasi ICCPR, kita harus melihat kembali kontestasi politik serta pilihan kebijakan luar negeri indonesia saat indonesia meratifikasi ICCPR pada tahun 2006.
Pada saat itu indonesia masih berada dibawah pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Gaya diplomasi yang dijalankan oleh SBY pada satu sisi memiliki kesamaan dengan Soekarno yang memiliki fokus pada masalah-masalah global yang memiliki dampak langsung terhadap Indonesia seperti krisis finansial global. Pilihan Kebijakan luar negeri indonesia pada saat itu didominasi dengan kebijakan pemerintah yang kerap mendeklarasikan persahabatan tanpa tebang pilih di dunia internasional. Indonesia pada saat itu memfokuskan diri untuk mengembangkan citra negara sebagai sebuah negara yang bersahabat dan kooperatif terhadap dunia internasional dan berupaya turut andil dalam pergolakan politik di dunia. Kebijakan luar negeri Indonesia di bawah SBY ini terkenal dengan slogan "million friend zero enemy".
Semboyan ini dimaksudkan untuk menampilkan Indonesia sebagai negara yang mampu menjalin kerjasama ke segala penjuru (all direction foreign Policy) dalam dunia yang sedang bergejolak sebagaimana dilukiskan presiden SBY lewat kiasan "navigating a turbulent ocean" (mengarungi samudera bergejolak). Dapat dintisarikan, bahwa pemerintah meyakini era sekarang mendorong perlunya sikap kerjasama tanpa menunjukkan keberpihakan. Dengan kata lain, semboyan million friends zero enemy yang dilandasi atas prinsip tanpa musuh penting untuk menjadi penekanan netralitas sikap Indonesia ditengah pusaran gejolak polaritas yang semakin kompleks.
Indonesia era presiden SBY hendak mengimajinasikan suatu dunia yang memungkinkan kerjasama antara negara-negara Utara dan Selatan. Sebagaimana diungkapkan Dino Patti Djalal :
"Filosofi kerja sama antarnegara presiden SBY ke Utara ke Selatan itu oke. Siapa pun yang pro-Indonesia, kita akan mengulurkan tangan." Dalam diskursus war on terror kontemporer, million friends zero enemy seolah ingin menunjukkan bahwa Indonesia dapat melakukan kolaborasi diantara dua nilai yang secara teoritis maupun praksis acapkali menjadi oposisi biner, yakni nilai Islam dan demokrasi. Berikut ini merupakan contoh pernyataan Presiden SBY mengenai Islam demokratis sebagai berikut: "Indonesia akan menjadi model bahwa tidak perlu ada konflik antara Islam dengan modernitas dan demokrasi. Kami harus mempertahankan Islam kami yang moderat"
Dalam konteks norma HAM Pemerintah SBY telah memulai kebijakan politiknya yang pro-HAM dari rentang tahun 2004-2009 melalui Keputusan Presiden No. 40 tahun 2004 telah mengesahkan Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) Indonesia tahun 2004–2009. RANHAM merupakan sebuah inisiatif yang dilakukan Indonesia sebagai sebuah komitmen terhadap norma HAM internasional. Indonesia mengklaim merupakan merupakan satu-satunya negara di dunia yang sudah menyusun RANHAM untuk kedua kalinya. RANHAM merupakan sebuah agenda dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009 yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2005.
RANHAM Kedua tahun 2004 – 2009 ini memiliki fungsi utama, yaitu: (1)Pembentukan dan penguatan institusi pelaksana RANHAM (2).Persiapan ratifikasi instrumen HAM internasional (3).Persiapan harmonisasi peraturan perundang-undangan (4).Diseminasi dan pendidikan HAM (5).Penerapan norma dan standar HAM (6).Pemantauan, evaluasi dan pelaporan adanya RANHAMini merupakan sebuah inisiasi atas norma-norma dan identitas yang dibangun Indonesia di dalam kontestasi internasional sebagai negara yang pro terhadap HAM
Internalisasi dalam Ratifikasi Indonesia terhadap ICCPR
Internalisasi adalah konsep untuk menggambarkan pengadopsian norma yang merupakan sebuah tahap norm life cycle. Konsep ini merupakan sebuah tahap dimana norma-norma internasional yang berkembang di dunia yang dibangun oleh aktor-aktor yang mensosialisasikan norma akhirnya dapat diterima dan diadopsi oleh negara, internalisasi ini dapat berupa ratifikasi atau penandatanganan perjanjian dan penerapan norma kedalam undang-undang dalam negeri negara tersebut dan akhirnya diimplementasikan kepada kebijakan. Dengan tujuan agar masyarakat dalam negeri tersebut akhirnya dapat menerima norma yang telah diadopsi negaranya sehingga norma tersebut menjadi norma yang dapat diterima secara global
Internalisasi Indonesia terhadap norma HAM internasional dalam rezim ICCPR dapat dilihat dalam meratifikasi Indonesia terhadap ICCPR. Instrumen HAM internasional the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) disahkan oleh Indonesia pada 30 Desember 2005. Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi terhadap pelaksanaan hak hak manusia, karena negara Indonesia telah mengikatkan diri secara hukum. Antara lain pemerintah telah melakukan kewajiban untuk mengadopsi perjanjian yang telah diratifikasi ini ke dalam perundang undangan, baik yang dirancang maupun yang telah diberlakukan sebagai UU. Yang lain adalah pemerintah memiliki kewajiban mengikat untuk mengambil berbagai langkah dan kebijakan dalam melaksanakan kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fullfil) hak hak manusia. Kewajiban ini juga diikuti dengan kewajiban pemerintah yang lain, yaitu untuk membuat laporan yang bertalian dengan penyesuaian hukum, langkah, kebijakan dan tindakan yang dilakukan. Dalam hak hak sipil dan politik, ada batas antara hak hak yang tak dapat ditangguhkan (non derogable rights) dengan hak hak yang dapat ditangguhkan. Yang termasuk dalam kategori hak hak yang tidak dapat ditangguhkan adalah hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperbudak, hak atas kebebasan berpikir dan beragama serta berkeyakinan, hak untuk diperlakukan sama di muka hukum, hak untuk tidak dipenjara karena kegagalan memenuhi kewajiban kontraktual, serta hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (retroactive).
Mengenai implementasi negara antara kedua kategori hak, baik yang non derogable maupun yang derogable terdapat batasan batasannya, yaitu pada batas mana negara tak melakukan intervensi dan pada batas mana pula intervensi harus dilakukan.Negara tak boleh melakukan intervensi dalam rangka menghormati hak hak setiap orang, terutama hak hak yang tak dapat ditangguhkan. Karena campur tangan negara justru mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas hak hak individu/kelompok. Sebaliknya, intervensi dapat dilakukan atas dua hal; pertama, dalam situasi atau alasan khusus untuk membatasi atau mengekang hak hak atau kebebasan berdasarkan UU; kedua, dalam rangka untuk menegakkan hukum atau keadilan bagi korban tindak pidana.Karena itu, dalam menghormati dan melindungi hak hak sipil dan politik, ada dua jenis pelanggaran yang bertalian dengan kewajiban negara. Pertama, negara seharusnya menghormati hak hak manusia, tapi negara justru melakukan tindakan yang dilarang atau bertentangan ICCPR melalui campur tangannya dan disebut pelanggaran melalui tindakan (violation by action). Kedua, seharusnya aktif secara terbatas untuk melindungi hak hak – melalui tindakannya – negara justru tak melakukan apa apa baik karena lalai dan lupa maupun absen, disebut pelanggaran melalui pembiaran (violation by omission). Jenis pelanggaran lainnya adalah tetap memberlakukan ketentuan hukum yang bertentangan dengan ICCPR yang disebut pelanggaran melalui hukum (violation by judicial).
Legal Implementation dalam legalisasi Undang-Undang
ICCPR diratifikasi dalam legalisasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Pasal-pasal dalam ICCPR diadopsi dan dijadikan hukum dalam negeri Indonesia. Dengan adanya dasar hukum internasional ini, menurut masyarakat internasional, membuat Indonesia memiliki kewajiban untuk tidak melakukan hukuman mati, dengan ditandatanganinya ratifikasi itu, Indonesia harus siap mengikuti standarnya dan menjadi hukum nasional.
Berikut adalah rincian dari norma yang diadopsi sebagaimana tercantum dalam UU No 12 Tahun 2005 yang merupakan ratifikasi terhadap kovenan ICCPR,lihat tabel:
Tabel 2:
Hak hak yang Dijamin dan Dilindungi UU No. 12/2005
No
Pasal
Hak Hak Sipil dan Politik
1
Pasal 6
Hak untuk hidup (tidak dibunuh/dihukum mati setidaknya bagi anak di bawah 18 tahun)
2
Pasal 7
Hak untuk tidak disiksa, diperlakukan atau dihukum secara keji, tak manusiawi atau merendahkan martabat manusia (termasuk tidak diculik/dihilangkan secara paksa, diperkosa)
3
Pasal 8
Hak untuk tidak diperbudak (larangan segela bentuk perbudakan, perdagangan orang, dan kerja paksa,)
4
Pasal 9
Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi (tidak ditangkap atau di tahan dengan sewenang wenang, didasarkan pada ketentuan hukum acara pidana)
5
Pasal 10
Hak sebagai tersangka dan terdakwa (diperlakukan manusiawi, anak dipisahkan dari orang dewasa, sistem penjara bertujuan reformasi dan rehabilitasi)
6
Pasal 11
Hak untuk tidak dipenjara atas kegagalan memenuhi kewajiban kon traktual (utang atau perjanjian lainnya)
7
Pasal 12
Hak atas kebebasan bergerak dan berdomisili (termasuk meninggalkan dan kembali ke negerinya sendiri)
8
Pasal 13
Hak sebagai orang asing (dapat diusir hanya sesuai hukum atau alasan yang meyakinkan mengenai kepentingan keamanan nasional)
9
Pasal 14
Hak atas kedudukan yang sama di muka hukum (dibuktikan kesalah annya oleh pengadilan yang berwenang dan tidak memihak, jaminan minimal, dapat ditinjau kembali, tidak diadili dua kali dalam perkara yang sama)
10
Pasal 15
Hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut (jika keluar ketentuan hukum sebelum tindak pidana, si pelaku harus menda patkan keringanannya)
11
Pasal 16
Hak sebagai subyek hukum (hak perdata setiap orang seperti kewarga negaraan)
12
Pasal 17
Hak pribadi (tidak dicampuri atau diganggu urusan pribadi seperti kera hasiaan, keluarga atau rumah tangga, kehormatan, surat menyurat atau komunikasi pribadi)
13
Pasal 18
Hak atas kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan (menganut ideologi atau orientasi politik, memeluk agama dan kepercayaan)
14
Pasal 19
Hak atas kebebasan berpendapat (termasuk mencari, menerima dan menyebarkan informasi, dalam bentuk karya seni/ekspresi atau melalui sarana lainnya)
15
Pasal 20
Hak untuk bebas dari propaganda perang dan hasutan rasial (kebencian atas dasar kebangsaan, ras, agama atau golongan)
16
Pasal 21
Hak atas kebebasan berkumpul (mengadakan pertemuan, arak arakan atau keramaian)
17
Pasal 22
Hak atas kebebasan berserikat (bergabung dalam perkumpulan, partai politik atau serikat buruh)
18
Pasal 23
Hak untuk menikah dan membentuk keluarga (tidak dipaksa, termasuk tanggung jawab atas anak)
19
Pasal 24
Hak anak untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan (setiap kela hiran anak didaftarkan dan memperoleh kewarganegaraan tanpa dis kriminasi)
20
Pasal 25
Hak untuk berpartisipasi dalam politik (termasuk memilih, dipilih dan tidak memilih)
21
Pasal 26
Hak untuk bebas dari diskriminasi dalam hukum (semua orang dilin dungi hukum tanpa diskriminasi)
22
Pasal 27
Hak kelompok minoritas (perlu mendapatkan perlindungan khusus)
Sumber : Yosep Adi Prasetyo (2012) Hak Sipil dan politik , Pemerkuatan Pemahaman HAM untuk Hakim seluruh Indonesia Komnas HAM Hal.11
Setelah ratifikasi ICCPR, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah, harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICCPR ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka ICCPR. Semua peraturan perundang undangan yang tak sesuai dengan ICCPR harus dicabut dan direvisi. Begitu juga dengan RUU yang telah dibahas dan disiapkan hingga proses ratifikasi.
Selain itu pemerintah harus melakukan sosialisasi ICCPR yang telah diratifikasi, sehingga banyak orang akan mengetahui apa saja hak hak sipil dan politik yang seharusnya dinikmati. UU No 12/2005 berlakukan secara seragam di seluruh negeri dan diharapkan tak ada yang bertentangan dengannya, termasuk yang bertalian dengan kekuatiran mengenai kelemahan otonomi daerah atau otonomi khusus. Beberapa provinsi dan ka bupaten pun telah menerapkan pelaksana an syariat Islam dalam Peraturan Daerah (Perda), bahkan ada yang mengusulkannya dalam revisi KUHP.
Dengan telah diratifikasinya ICCPR, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk mulai ikut serta menerapkan norma-norma HAM internasional dengan menghormati, melindungi, serta memenuhi norma-norma internasional yang terkandung dalam ICCPR, selain itu Indonesia berkewajiban untuk membuat laporan mengenai pelaksanaan hak hak sipil dan politik yang harus disampaikan pada Komite di PBB.
Tabel 3: Kewajiban Yang Harus Dipenuhi Negara
PENGHORMATAN
(menjamin tidak ada gangguan dalam pelaksanaan hak)
PERLINDUNGAN
(mencegah pelanggaran oleh pihak ke tiga)
PEMENUHAN (penyediaan sumberdaya dan hasil hasil kebijakan)
Hak hak sipil dan politik
Pemerintah berkewajiban membuat UU untuk melindungi dan menjamin hak setiap warganegara, meratifikasi kovenan internasional, melakukan harmonisasi hukum (UU, PP, Keppres, Permen, Perpres hingga Perda) agar tidak terjadi penggunaan hukum untuk penyiksaan, pembunuhan tanpa pengadilan, penghilangan paksa, penahanan sewenang wenang, pengadilan yang tidak adil, intimidasi pada saat pemilihan umum, pencabutan hak pilih, dll
Pemerintah harus mengupayakan tindakan untuk mencegah pelaku non negara melakukan pelanggaran seperti penyiksaan, kekerasan dan intimidasi kepada setiap warganegara
Pemerintah harus melakukan investasi , mengalokasikan anggaran, dan memberikan subsidi dalam bidang kehakiman, penjara, kepolisian, tenaga medis, serta alokasi sumberdaya dan anggaran pendidikan buat petugas agar memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam mrlaksanakan pemenuhan hak sipil politik setiap warganegara
Sumber : Yosep Adi Prasetyo, Pemerkuatan Pemahaman HAM untuk Hakim seluruh Indonesia hal.8
Behaviours yang tergambar dalam kebijakan Luar negeri Indonesia
Pendekatan konstruktivis yang dominan dalam Logic of Appropriateness membuat keterkaitan Behaviours dalam kebijakan luar negeri indonesia tidak bisa kita lihat hanya dari kalkulasi materiil dari kepentingan nasional nya saja, tapi harus kita lihat dalam basis identitas dan nilai yang menjadi landasan kepentingan nasional itu sendiri.
Indonesia menerapkan politik bebas aktif dan gaya politik ini cenderung memberi keleluasaan indonesia dalam menetapkan kebijakan luar negerinya dan berdiplomasi.Indonesia selama masa pemerintahan SBY sangat aktif berkontribusi dalam banyak agenda internasional, Indonesia telah terpilih sebagai anggota Dewan HAM dalam pemilihan oleh Majelis Umum PBB. Dalam pemilihan tersebut Indonesia memperoleh dukungan dari 165 negara anggota PBB. Dari 18 calon dari negara-negara Asia, suara dukungan yang diperoleh Indonesia tersebut merupakan perolehan kedua terbesar setelah India. Melalui proses pengundian, Indonesia bersama-sama dengan Bahrain, India dan Filipina termasuk dalam anggota Dewan HAM dari kelompok Asia untuk periode satu tahun (2006-2007). Terpilihnya Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB dengan suara yang cukup besar serta kepercayaan yang diberikan kepada Indonesia sebagai Ketua Komisi HAM ke-61 tahun 2005 merupakan bukti nyata kepercayaan masyarakat internasional terhadap komitmen Pemerintah terhadap pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.
Indonesia juga seringkali menggemban amanah untuk menjadi tuan rumah berbagai forum Internasional, sekaligus menjadikan Presiden SBY sebagai presiden yang sepanjang sejarahnya paling sering menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah forum Internasional. Posisi Indonesia dalam konstelasi global menjadi semakin krusial dengan terlibatnya Indonesia dalam G-20. Sedangkan dalam kancah regional Asia Tenggara, Indonesia didaulat menjadi ketua ASEAN tahun 2011. Bahkan Presiden SBY secara pribadi sempat menjadi salah satu kandidat peraih nobel perdamaian, serta yang terbaru diwacanakan sebagai kandidat Sekjen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Meskipun Behaviours Indonesia dalam hubungan Internasional sangat bagus, tetapi sikap indonesia tersebut terkesan normatif jika dibandingkan dengan implementasi nilai-nilai HAM yang merupakan keharusan sebuah negara setelah meratifikasi sebuah Konvensi atau perjanjian Internasional. dalam penerapan norma-norma ICCPR dalam ruang lingkup domestik,Indonesia masih sangat buruk, Namun demikian, hingga saat ini masih sering dijumpai aparat penegak hukum harus bekerja dengan infrastruktur pendukung hukum yang minim. Ini adalah sebuah tantangan. Penjara dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, peraturan perundang- undangan tidak tersedia bagi para hakim dan banyak lagi persoalan lainnya. Kebiasaan pemerintah tanpa menyediakan infrastruktur pendukung atas langkah-langkah implementasi hasil ratifikasi berbagai perjanjian hak-hak manusia dapat dipandang sebagai sikap tak mau (unwilling) atau abai untuk berbuat sesuatu, termasuk bagaimana seharusnya semua aparatur berperilaku yang dipertalikan dengan ICCPR tanpa kecuali pada lembaga-lembaga peradilan dan pengadilan, sehingga terasa kurang berefek pada pelaksanaannya. Salah satu yang menjadi konsern internasional berkaitan dengan ratifikasi ICCPR ini adalah tentang pelaksanaan hukuman mati dalam kebijakan domestik di Indonesia
Penerapan Hukuman Mati Sebagai Sebuah Paradoks terhadap Logic of Appropriateness dalam Ratifikasi ICCPR
Penerapan hukuman mati telah menjadi sebuah hal yang melanggar norma HAM internasional, kita telah membahasnya dalam bab 2 bagaimana penerapan hukuman mati tersebut merupakan sebuah aksi pelanggaran HAM yang menodai hukum HAM dan tidak menghormati trend Internasional dalam mengabolisi hukuman mati.
Setelah ratifikasi ICCPR, pemerintah Indonesia memiliki kewajiban yang mengikat secara hukum untuk melakukan beberapa hal. Antara lain negara, dalam hal ini pemerintah, harus segera melakukan reformasi hukum dengan menerjemahkan prinsip dan ketentuan yang terkandung dalam ICCPR ke dalam hukum nasional. Pemerintah juga harus segera melakukan harmonisasi hukum nasional dengan menggunakan kerangka ICCPR. Semua peraturan perundang-undangan yang tak sesuai dengan ICCPR harus dicabut dan direvisi. Meskipun demikian Indonesia seakan belum siap dalam kaitannya dengan penghormatan HAM, dan meratifikasi ICCPR merupakan sebuah aksi yang sebenarnya terkesan terburu-buru dan tidak sesuai dengan kondisi dalam negeri Indonesia. terutama dalam kaitannya dengan penghapusan Hukuman Mati dalam undang-undang pidana di Indonesia. Di bawah ini kita akan melihat bagaimana pola eksekusi mati yang dilakukan indonesia setelah indonesia meratifikasi ICCPR
1. Eksekusi Mati Pada Masa Pemerintahan SBY
Indonesia yang meratifikasi ICCPR seharusnya mengurangi praktek hukuman mati di Indonesia tetapi faktanya, hukuman mati tetap berjalan dan total kasus hukuman mati yang diterapkan pada era SBY adalah 21 kasus, lihat tabel :
Tabel 5 : Eksekusi Mati yang Ada di Indonesia 2005-2014
tahun
Nama
/
Kewarganegaraan
Kasus
2014
Moratorium Eksekusi
2013
Ademi
Malawi
Narkotika
Suryadi Swabuana
Indonesia
Pembunuhan
Jurit bin Abdullah
Indonesia
Pembunuhan
Ibrahim bin Ujang
Indonesia
Pembunuhan
2012
Moratorium Eksekusi
2011
Moratorium Eksekusi
2010
Moratorium Eksekusi
2009
Moratorium Eksekusi
2008
Amrozi bin Nurhasyim
Indonesia
Terorisme
Imam Samudra
Indonesia
Terorisme
Huda bin Abdul Haq
Indonesia
Terorisme
Rio Alex Bulo alias Rio Martil
Indonesia
Pembunuhan
Tubagus Yusuf Maulana
Indonesia
Pembunuhan
Sumiarsih
Indonesia
Pembunuhan
Sugeng
Indonesia
Pembunuhan
Ahmad Suradji
Indonesia
Pembunuhan
Samuel Iwuchukuwu Okoye
Nigeria
Narkotika
Hansen Anthony Nwaliosa
Nigeria
Narkotika
2007
Ayub Bulubili
Indonesia
Pembunuhan
2006
Fabianus Tibo
Indonesia
Pembunuhan
Marinus Riwu
Indonesia
Pembunuhan
Dominggus Dasilva
Indonesia
Pembunuhan
2005
Astini Sumiasih
Indonesia
Pembunuhan
Turmudi
Indonesia
Pembunuhan
Sumber : Laporan Praktek Hukuman mati di Indonesia.
Eksekusi Mati Pada Masa Pemerintahan Joko Widodo
Joko Widodo mulai menjabat pada Oktober 2014, saat masa kampanye dia berjanji untuk meningkatkan penghormatan terhadap HAM. Sebaliknya, dalam beberapa minggu dia membuktikan dirinya sebagai pendukung setia hukuman mati dan mengijinkan penerapannya meski melanggar hukum dan standar internasional. Meskipun ada protes nasional dan internasional terhadap eksekusi mati di bulan Januari itu, tiga bulan kemudian, pada tanggal 29 April, delapan orang lainnya yang dipidana kejahatan narkoba juga dieksekusi. Empat belas eksekusi mati tersebut merupakan langkah mundur dalam perjalanan Indonesia menuju penghapusan hukuman mati.
Pada 18 Januari 2015 Indonesia menjalankan eksekusi mati pertamanya dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang saat itu baru saja dilantik. Enam orang dieksekusi mati karena kejahatan terkait dengan narkoba (narkotika dan obat/bahan berbahaya). Mereka yang dieksekusi termasuk satu warga negara Indonesia- Rani Andriani alias Melisa Apriliadan lima warga negara asing: Daniel Enemuo (Nigeria), Ang Kim Soei (Belanda), Tran Thi Bich Hanh (Vietnam), Namaona Denis (Nigeria) dan Marco Archer Cardoso Moreira (Brazil),lihat tabel :
Tabel 6 : Eksekusi Mati yang Ada di Indonesia 2015
tahun
Nama
/
Kewarganegaraan
Kasus
2015
Ang Kiem Soei
Belanda
Narkotika
Marco Archer
Brazil
Narkotika
Daniel Enemuo
Nigeria
Narkotika
Namaona Denis
Malawi
Narkotika
Rani Andriani
Indonesia
Narkotika
Tran Bich Hanh
Vietnam
Narkotika
Martin Anderson
Nigeria
Narkotika
Raheem Agbaje Salaami
Nigeria
Narkotika
Sylvester Obiekwe Nwolise
Nigeria
Narkotika
Okwudili Oyatanze
Nigeria
Narkotika
Zainal Abidin
Indonesia
Narkotika
Rodrigo Gularte
Brazil
Narkotika
Andrew Chan
Australia
Narkotika
Myuran Sukumaran
Australia
Narkotika
Sumber : Laporan Praktek Hukuman mati di Indonesia
Adanya penerapan hukuman mati di Indonesia setelah adanya ratifikasi ICCPR menjadi sebuah hal paradoks atas norma-norma yang telah diInternalisasi di Indonesia. Adanya penerapan eksekusi mati ini juga menjadikan bukti bahwa ada indikasi lain dari adanya penerapan ICCPR oleh Indonesia, karena itu untuk mendapatkan pemahaman yang lebih berimbang maka penulis mencoba kembali merekonstruksi ratifikasi Indonesia melalui logika konsekuensi
Logika Konsekuensi (Logic of Consequences) dan kepentingan Indonesia
Indikator dalam Logic of Consequences adalah Result of Explicit Instrumental Calculation, relative Cost and Benefits and Consiciousness tetapi sangat sulit mengetahui indikator-indikator diatas jika diimplementasikan dalam kasus Hukuman mati, saya akan mencoba menggunakan deskripsi yang lebih luas yang dikemukakan oleh Brenan dan Buchanan. Brenan dan Buchanan mengidentifikasi Logic of Consequences sebagai sebuah logika yang dibuat para aktor-aktor yang self-interested yang menggunakan logika ini sebagai sebuah justifikasi kepentingan-kepentingan pribadi/kelompoknya terhadap sebuah hukum yang telah/sudah disahkan dan diratifikasi.
Dalam pendekatan ini nengara dipersepsikan sebagai individu yang rasional, self-interested dan menilai kalkulasi untung-rugi berdasarkan kerangka tata dunia internasional yang anarkis, setidaknya, apabila negara percaya pada hukum internasional, enfeorcement dan detterence adalah cara utama untuk membuat negara patuh pada hukum internasional. Kelompok (neo)realis melihat bahwa kepatuhan hanya sebatas ketidaksengajaan atau hasil dari kekuatan internasional yang dinamis. Patuh pada hukum internasional merupakan sebuah strategi. Memberikan efek jera penting agar negara dapat tetap patuh pada hukum internasional. Kelompok liberalisme menilai kepatuhan akan muncul apabila terdapat keuntungan bagi kepentingan domestik
Kita telah bahas di bab kedua tentang bagaimana penerapan Hukuman mati merupakan sebuah aksi yang melanggar ICCPR, ketika kita melihat motivasi indonesia dalam logika kepantasan, seharusnya indonesia sudah mengabolisi hukuman mati tepat setelah ICCPR diratifikasi dan diinternalisasi dalam undang-undang no 12 tahun 2005 juga amandemen Undang-undang dasar, tapi sebaliknya, Indonesia tetap saja melakukan penerapan hukuman mati meskipun telah ada upaya yang dilakukan SBY sebagai presiden saat itu untuk melakukan moratorium.
Dibalik kebijakan luar negeri SBY terkait dengan norma HAM Internasional dan ICCPR terdapat sebuah kepentingan didalamnya. ternyata adanya kebijakan ini diperlukan sebagai pemulihan nama baik negara di mata internasional. Sebenarnya kebijakan ini tidaklah baru, tercatat kebijakan-kebijakan negara indonesia paska rezim soeharto memiliki prioritas untuk memulihkan nama baik indonesia di mata internasional. Setidaknya ada tiga fungsi utama pemilihan kebijakan pencitraan indonesia di mata dunia internasional ini, yaitu : (1) kebijakan indonesia di mata internasional berfungsi untuk memperbaiki citra indonesia yang tercoreng dan dianggap sebagai negara pelanggar HAM dan negara korup (2) pemerintah berharap dapat menyelesaikan persoalan dalam negeri yang juga memiliki implikasi pada ranah regional dan internasional, seperti contohnya kasus separatisme di aceh dan papua, serta kasus terorisme di indonesia. (3) pilihan kebijakan ini bertujuan untuk memobilisasi bantuan luar negeri untuk masuk ke indonesia dan berinvestasi (4) kebiakan ini pemerintah berupaya untuk menggalang kerjasama "selatan-selatan" yang selama ini terpinggirkan oleh dominasi kerjasama negara "utara-selatan".
Posisi pengembangan citra indonesia pada masa rezim SBY ini berimplikasi positif dengan banyaknya perjanjian internasional yang diikuti indonesia, ini yang menjadi bukti bahwa adanya kebijakan luar negeri Indonesia sebenarnya tidak menempatkan norma-norma HAM di prioritas pertama, melainkan mengedepankan cara dan model kepemimpinan yang mengedepankan citra Indonesia untuk melaksanakan kepentingan dalam negeri Indonesia.Karena tidak menjadi prioritas utama, akhirnya tidak adanya usahayang serius dalam menerapkan norma HAM Intenasional dalam politik domestik Indonesia. Sehingga hukuman mati di Indonesia tetap dijalankan.
Itulah yang menjadi motif yang mendasari Indonesia dibawah SBY meratifikasi dua perjanjian internasional tentang hak-hak manusia, yaitu Kovenan Internasional tentang hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Sosial and Cultural Rights – ICESCR) dan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights – ICCPR).
Ratifikasi ICCPR berkaitan erat dengan trend Abolisi hukuman mati, dan indonesia belum dapat melaksanakan pasal-pasal ICCPR dengan baik. Seperti contohnya dalam kasus narkotika. Pelaksanaan hukuman mati menjadi sebuah hal yang melanggar norma-norma HAM dalam ICCPR,dan moratorium hukuman mati menjadi hal yang wajib dalam implementasi norma-norma ICCPR di kebijakan dalam negeri Indonesia, Tetapi dalam pelaksanaannya terdapat inkonsistensi kebijakan dalam mengabolisi hukuman mati. hukuman mati di indonesia beberapa kali dihilangkan dan dipraktekan kembali tergantung situasi dan kondisi hukum dan politik yang terjadi di Indonesia, dibawah ini adalah data-data eksekusi mati dari rentang tahun 2005 dari pertama kali ICCPR diratifikasi indonesia sampai eksekusi terakhir yang dilaksanaakan di Indonesia. ada faktor-faktor terkait enforcement yang dominan dominan dalam penerapan eksekusi mati yang masih diterapkan di Indonesia sehingga indonesia tidak dapat mematuhi ICCPR ini akan lebih jauh dibahas di bab IV
BAB IV
Pola Kepatuhan Indonesia yang Berubah-ubah Terhadap ICCPR dan Faktor-Faktor Penyebabnya
Kita sudah bahas di bab sebelumnya bagaimana eksekusi hukuman mati yang dilakukan indonesia merupakan sebuah pelanggaran HAM yang ada di ICCPR, dalam bab ini penulis ingin memfokuskan pembahasan tentang apa saja faktor-faktor yang membuat Indonesia tetap melakukan eksekusi hukuman mati yang merupakan sebuah pelanggaran dalam konteks HAM ICCPR. Penulis akan memulai dengan membagi pembahasan dengan kondisi objektif indonesia , lalu akan dijelaskan bagaimana pola kepatuhan indonesia berdasarkan periode-periode eksekusi mati indonesia,yakni pada tahun 2005-2008, pada periode moratorium hukuman mati pada tahun 2009-2012, pada periode paska moratorium pada tahun 2013-2014 serta periode tahun 2015.
Pola Kepatuhan Indonesia Terhadap ICCPR
Dibawah ini telah dirangkum pola-pola kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR dilihat dari penerapan kebijakan Indonesia. dalam data dibawah diasumsikan bahwa Indonesia patuh pada ICCPR disaat Indonesia melakukan moratorium hukuman mati atau tidak melakukan eksekusi hukuman mati pada tahun tersebut. Sedangkan indonesia diasumsikan melanggar/tidak mematuhi ICCPR disaat Indonesia menerapkan Hukuman mati pada tahun tersebut, dapat dilihat dalam grafik dibawah:
Grafik II: Pola Kepatuhan Indonesia terhadap ICCPR
Moratorium Hukuman MatiEksekusi Hukuman MatiMoratorium Hukuman MatiEksekusi Hukuman Mati
Moratorium Hukuman Mati
Eksekusi Hukuman Mati
Moratorium Hukuman Mati
Eksekusi Hukuman Mati
Terlihat diatas kepatuhan Indonesia mengalami periode pasang surut ada kondisi dimana Indonesia mematuhi ICCPR dan ada kondisi dimana Indonesia tidak mematuhi ICCPR. Pembahasan akan dibagi berdasarkan pola kepatuhan Indonesia per-periodenya. Dari tabel di atas kita dapat melihat adanya pola yang berubah-ubah dalam kepatuhan indonesia terhadap ICCPR. Adanya pola-pola tersebut tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi domestik di Indonesia. Disini penulis membagi periode tersebut menjadi 4 periode kepatuhan.
Eksekusi hukuman mati pada rentang tahun 2005-2008 (tidak patuh )
2008
Amrozi bin Nurhasyim
Indonesia
Terorisme
Imam Samudra
Indonesia
Terorisme
Huda bin Abdul Haq
Indonesia
Terorisme
Rio Alex Bulo alias Rio Martil
Indonesia
Pembunuhan
Tubagus Yusuf Maulana
Indonesia
Pembunuhan
Sumiarsih
Indonesia
Pembunuhan
Sugeng
Indonesia
Pembunuhan
Ahmad Suradji
Indonesia
Pembunuhan
Samuel Iwuchukuwu Okoye
Nigeria
Narkotika
Hansen Anthony Nwaliosa
Nigeria
Narkotika
2007
Ayub Bulubili
Indonesia
Pembunuhan
2006
Fabianus Tibo
Indonesia
Pembunuhan
Marinus Riwu
Indonesia
Pembunuhan
Dominggus Dasilva
Indonesia
Pembunuhan
2005
Astini Sumiasih
Indonesia
Pembunuhan
Turmudi
Indonesia
Pembunuhan
Sumber: Laporan Kontras Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013
Indonesia meratifikasi ICCPR pada tahun 2005. Tetapi Indonesia tetap melakukan eksekusi di rentang tahun 2005-2008.di periode tersebut Indonesia melakukan terpidana mati sebanyak 16 narapidana dengan rincian 11 terpidana pembunuhan berencana, 3 terpidana mati dan 2 terpidana narkotika
Eksekusi mati di periode ini dipengaruhi kuat oleh kurangnya implementasi undang-undang yang baik. Dijelaskan di bab tiga bahwa SBY melakukan banyak sekali ratifikasi di kancah internasional dan banyaknya ratifikasi norma HAM yang dilakukan indonesia dan implementasinya dalam legal undang-undang tidak serta merta menjadikan HAM menjadi sebuah prioritas dalam kebijakan dalam negeri indonesia. Indonesia di bawah SBY masih memiliki problem dalam level implementasi. Ini dikarenakan diperlukan waktu untuk melakukan sinkronisasi dalam kebijakan setelah ratifikasi undang-undang karena itu pada masa awal-awal ratifikasi, Indonesia masih belum dapat patuh pada ICCPR dan masih mengeksekusi terpidana narkotika. Ini berlangsung selama dua tahun kepemimpinan. Implementasi ini tidak dapat berjalan dengan lancar dikarenakan Indonesia pada tahun–tahun tersebut Indonesia masih sibuk dipusingkan dengan berbagai permasalahan dalam negeri, seperti korupsi, separatisme, dan terorisme. Ini menjadikan citra Indonesia dimata dunia memburuk dan membuat kondisi dalam negeri tidak stabil dikarenakan terorisme.
Adanya ketidakstabilan domestik di Indonesia serta corak kepemimpinan SBY yang fokus dikancah Internasional juga menjadi salah satu alasan ketidakpatuhan tersebut. Indonesia yang mendepatkan citra yang buruk akibat korupsi dan berbagai permasalahan domestik lainnya. Indonesia pada tahun 2002 dan 2005 dilanda serangan bom terorisme. Ini berimbas pada image Indonesia yang terpuruk dalam kontestasi global. Karena itu tekanan internasional dan domestik yang ada untuk mengeksekusi mati para terpidana terorisme meningkat secara massif terutama dari negara-negara yang warga negaranya menjadi korban terorisme.
Selain itu Kontras dalam laporan nya mencatat ada kecenderungan lain dalam implementasi kebijakan hukuman mati yang diterapkan oleh pemerintahan SBY. Dilihat dibawah salah satu isi laporannya :
"Tercatat, 2008 adalah tahun sebelum pemilihan Presiden. Bukan suatu kebetulan bahwa terdakwa dari kasus yang relatif menonjol, khususnya pelaku bom Bali, dikirim sebelum regu tembak pada bulan November 2008, tidak lama sebelum pemilih melakukan jajak pendapat pada tanggal 8 Juli 2009. Dan akhirnya Presiden sekarang Susilo Bambang Yudhoyono terpilih kembali untuk periode kedua-nya."
Jikalau melihat trend masyarakat Indonesia yang mayoritas mendukung hukuman mati terhadap kasus terorisme pengambilan kebijakan ini dapat dikategorikan sebagai sebuah langkah politis sebagai pembangunan citra SBY. Pemerintahan SBY memang dinilai pemerintahan yang pragmatis dalam menentukan kebijakan sehingga pemerintahan SBY memiliki kesan reaksionis. Dalam menentukan sebuah kebijakan, pemerintahan SBY cenderung memilih kebijakan yang populer di masyarakat dan menghindari kebijakan-kebijakan yang tidak populer di masyarakat. Untuk pembangunan citra tersebut SBY kembali melakukan eksekusi di akhir tahun 2013. Itu yang menjadi motif dibalik eksekusi terpidana mati terorisme pada tahun 2008 oleh pemerintah Indonesia.
Moratorium Eksekusi Pada tahun 2009-2012 (Patuh)
2012
Moratorium Eksekusi
2011
Moratorium Eksekusi
2010
Moratorium Eksekusi
2009
Moratorium Eksekusi
Sumber: Laporan Kontras Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013
Meskipun tidak dapat dipungkiri ada usaha yang dilakukan presiden SBY dalam menerapkan norma-norma ICCPR dengan melakukan "moratorium eksekusi mati secara de facto" dari rentang tahun 2009-2012. Seperti yang dijelaskan saat itu oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawayang mengtakan bahwa hal tersebut merupakan bagian dari upaya yang lebih luas untuk menjauhi penggunaan hukuman mati di Indonesia.
Kondisi domestik yang lebih bersahabat dengan norma-norma ICCPR terlihat pada periode kedua masa kepemimpinan SBY. SBY yang terpilih kembali menjadi presiden indonesia sebagai incumbent pada periode tersebut. Pada periode ini stabilitas negara Indonesia relatif stabil. Karena itu SBY mengambil langkah ini untuk kembali mencitrakan Indonesia di kancah internasional dengan ikut masuk dalam negara-negara pengabolisi hukuman mati.seperti yang diungkapkan oleh Marty Natalegawa, menteri Luar Negeri Indonesia pada saat itu :
" Pemerintah Indonesia akan segera menghapus hukuman mati. Terlebih lagi, 140 negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menandatangani moratorium penghapusan hukuman mati.Berdasarkan fakta, terdapat peningkatan tajam dari kebijakan pemerintah internasional untuk menghapuskan hukuman mati karena tidak sesuai dengan HAM.Indonesia sendiri sudah menuju ke arah sana (penghapusan hukuman mati),"
Ini juga menjadi salah satu cara indonesia untuk mencari resiprositas dari kebijakan moratorium hukuman mati. Karena pada periode ini Indonesia memiliki kebijakan luar negeri untuk menyelamatkan para warga negara Indonesia yang berada di bayang-bayang eksekusi mati di luar negeri. kebijakan ini diharapkan moratorium ini menjadi sebuah diplomasi hukum untuk menyelamatkan warga negara indonesia yang terjerat hukuman mati di luar negeri. Seperti yang dijelaskan oleh jubir kemenlu :
"Pemerintah Indonesia juga telah aktif membantu membebaskan warga negaranya dari hukuman mati di luar negeri. Saat ini, bebanyak 42 warga negara Indonesia di luar negeri yang menjadi terpidana mati dalam kasus narkotika lepas dari ancaman pidana mati. Mereka dijatuhi hukuman mati di Malaysia, Republik Rakyat China, dan Iran.
Kebijakan Indonesia untuk melakukan moratorium hukuman mati mendapatkan ujian terberatnya ketika presiden SBY memutuskan untuk memberikan grasi terhadap Corbi salah satu gembong narkoba besar dari Australia. Kebijakan presiden SBY ini mendapatkan kritik dari berbagai pihak di dalam negeri. Kritik yang diajukan sebenarnya bukan karena moratoriumnya, tetapi kritik dilakukan karena presiden SBY memberikan grasi ditengah tekanan internasional yang dilakukan Australia atas Indonesia. Sikap ini dianggap berbagai kalangan mencederai kedaulatan hukum di Indonesia.
Dinamika Eksekusi Mati pada tahun 2013-2014 (tidak patuh)
2014
Tidak Ada Eksekusi
2013
Ademi
Malawi
Narkotika
Suryadi Swabuana
Indonesia
Pembunuhan
Jurit bin Abdullah
Indonesia
Pembunuhan
Ibrahim bin Ujang
Indonesia
Pembunuhan
Sumber: Laporan Kontras Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013
Periode tahun 2013-2014 menjadi periode yang menarik untuk dibahas lebih lanjut dikarenakan terdapat inkonsistensi Indonesia dalam kebijakan Hukuman mati yang diterapkan oleh presiden SBY. Dalam 2 tahun terakhir masa kepemimpinan presiden ini indonesia mengalami naik-turun atasa pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Indonesia. Pada tahun 2013 indonesia kembali mengeksekusi mati setelah 4 tahun melakukan moratorium dari tahun 2009-2012 melakukan moratorium eksekusi mati. Jika melihat dari konferensi pers yang dilakukan jubir pemerintah adanya pengambilan kebijakan ini dikarenakan adanya kondisi dimana Indonesia membutuhkan eksekusi tersebut, seperti yang dikutip dibawah :
"Jika kami harus melanjutkan melakukan hukuman mati, ini karena kami terdorong oleh situasi yang memburuk yang mempengaruhi masyarakat akibat dari kejahatan tersebut."
Kecenderungan eksekusi yang dilakukan SBY kembali diulangi pada akhir interval kedua masa kepemimpinan SBY, adanya eksekusi mati terpidana mati tahun 2013 ini memiliki kecenderungan untuk menambah elektabilitas partai demokrat karena pada tahun depan akan dilaksanakan kembali pemilu legislatif dan pemilu Presiden di Indonesia. pada akhir tahun 2014 tercatat tidak ada eksekusi yang dilakukan, ini tidak dalam koridor kepatuhan, tetapi lebih dikarenakan tahun ini Indonesia tengah sibuk melakukan pemilihan umum.
Eksekusi Mati pada tahun 2015 (tidak patuh)
tahun
Nama
/
Kewarganegaraan
Kasus
2015
Ang Kiem Soei
Belanda
Narkotika
Marco Archer
Brazil
Narkotika
Daniel Enemuo
Nigeria
Narkotika
Namaona Denis
Malawi
Narkotika
Rani Andriani
Indonesia
Narkotika
Tran Bich Hanh
Vietnam
Narkotika
Martin Anderson
Nigeria
Narkotika
Raheem Agbaje Salaami
Nigeria
Narkotika
Sylvester Obiekwe Nwolise
Nigeria
Narkotika
Okwudili Oyatanze
Nigeria
Narkotika
Zainal Abidin
Indonesia
Narkotika
Rodrigo Gularte
Brazil
Narkotika
Andrew Chan
Australia
Narkotika
Myuran Sukumaran
Australia
Narkotika
Sumber : Laporan Kontras Death Penalty Log In Indonesia Updated 2015
Pada awal tahun 2015 kembali terjadi eksekusi hukuman mati di Indonesia, ini dikarenakan adanya pergantian rezim. berganti rezim, berganti juga fokus kebijakan dalam negeri dan juga fokus kebijakan luar negeri. Begitu pula di Indonesia, setelah 10 tahun indonesia berada dibawah kepemimpinan presiden SBY dengan corak kepemimpinan yang memfokuskan diri membawa Indonesia untuk ikut andil dalam kontestasi Global yang juga berimbas pada image dan identity Indonesia sebagai sebuah negara yang menghargai HAM berubah drastis dengan bergantinya rezim ke Presiden Jokowi yang fokus membenahi ekonomi dan politik di dalam negeri. Pergerakan keluar pun mencitrakan Indonesia bukan lagi sebagai teman, tetapi sebagai rekan kerja yang profesional dalam ruang lingkup ekonomi. Indonesia pada masa SBY memiliki upaya dalam menegakkan norma-norma HAM walaupun belum maksimal, tetapi berpindah ke presiden Jokowi, Indonesia belum sama sekali memperlihatkan image dan Identity Indonesia sebagai negara yang menghormati norma HAM internasional dan juga negara yang telah meratifikasi ICCPR.
Salah satu justifikasi indonesia pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dalam mengeksekusi hukuman mati tidak lepas dari kepentingan indonesia dan kedaulatan indonesia, perlu diingat bahwa eksekusi yang dilakukan pada era presiden Joko Widodo semuanya adalah narapinada narkotika. Karena itu terdapat kepentingan presiden Joko Widodo dalam menerapkan eksekusi mati yang berkaitan dengan penyebaran narkotika di Indonesia. Pada masa presiden Joko widodo indonesia menjustifikasi hukuman mati terhadap kepentingan indonesia dalam eksekusi mati terpidana narkotika dengan ungkapan Indonesia gawat darurat narkotika. Indonesia gawat narkoba merupakan sebuah ungkapan yang dipakai presiden Jokowi untuk menyatakan perang terhadap narkoba. Tujuan presiden adalah dengan maksud untuk mencegah peredaran narkoba di Indonesia. Ungkapan ini dimaksudkan untuk melindungi warga Negara Indonesia dari adanya ancaman peredaran narkoba yang mengancam kemanan bangsa, ini juga menjadi dasar pertimbangan presiden untuk mengeksekusi mati terpidana yang terkait kasus narkoba, dalam pidatonya:
"Ada sebuah situasi yang sudah sangat darurat. Semuanya harus kerja sama karena kondisinya menurut saya sudah sangat darurat," "Setahun meninggal 18.000 akibat narkotika, coba bayangkan! Ini bukan angka kecil, sudah darurat,"
Presiden menjelaskan ada sekitar 50 orang di Indonesia yang meninggal dunia setiap hari karena penyalahgunaan narkoba. Jika dikalkulasi dalam setahun, ada sekitar 18.000 jiwa meninggal dunia karena penggunaan narkoba. Angka itu belum termasuk 4,2 juta pengguna narkoba yang direhabilitasi dan 1,2 juta pengguna yang tidak dapat direhabilitasi. Presiden menghimbau untuk lembaga penegak hukum, kepala daerah, dan komunitas masyarakat untuk berperan aktif dan tidak menganggap remeh peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Ia memastikan tidak akan mengabulkan grasi jika kasusnya menyangkut pada pengedar narkoba.Upaya ini merupakan sebuah upaya presiden untuk sekuritisasi yang dilakukan kepala negara untuk melindungi warganya dari ancaman narkoba.
"Tidak ada yang saya beri pengampunan untuk narkoba," katanya sambil menambahkan bahwa sikapnya yang tegas untuk "tidak ada ampun untuk narkoba" juga karena alasan terapi kejut (shock therapy).
Pernyataan presiden ini disambut baik banyak pihak di dalam negeri, dari para politisi, pemuka agama dan para akademisi, salah satunya berasal dari mentri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, ia memberikan respon positif untuk kebijakan presiden terkait kasus eksekusi mati ini, ia berpendapat Indonesia memiliki kedaulatan hukum sendiri meskipun banyak negara yang warganya dihukum mati melakukan protes. Protes atas nama HAM universal pun tidak akan membuat Indonesia gentar karena semua tindakan yang melanggar hukum juga dianggap melanggar HAM.
Presiden Indonesia Joko Widodo memberikan statmen lanjutan bahwa pembelaan terhadap eksekusi mati itu lebih terkesan membela terpidana mati dan bukan melihat para korban bahaya narkoba serta mengimbau agar orang yang menentang hukuman mati untuk mendatangi tempat rehabilitasi narkoba karena di tempat rehabilitasi, bisa dilihat fakta tentang pemakai narkoba yang tersiksa karena kecanduan. :
"Pers harus menjelaskan itu. Setiap hari 50 generasi muda kita mati karena narkoba. Kalau dihitung setahun 18.000 orang. Jangan kamu jelaskan yang dieksekusi, jelasin dong nama 18.000 itu siapa aja, tulis di media. Setiap tahun meninggal siapa, siapa, dan siapa…Coba pergi ke tempat rehabilitasi dan lihat yang narkoba, yang berguling, meregang, teriak-teriak. Cari informasi tentang itu. Jangan dibandingkan satu pelaku dengan 18.000 orang yang jadi korban,"
Berbeda dengan pada masa pemerintahan SBY, justifikasi yang dilontarkan oleh Jokowi sangat tegas mengatakan bahwa Indonesia harus melakukan hukuman mati karena itu merupakan kedaulatan negara Indonesia. terdapat perbedaan cara pandang yang ada di dalam justifikasi Jokowi dengan apa yang ditawarkan dalam pasal-pasal ICCPR.
Analisisa Perbedaan Corak Kebijakan Dilihat dari Penerapan Hukuman Mati
Kita dapat melihat dalam pola kepatuhan indonesia terhadap ICCPR dipengaruhi kuat oleh adanya corak kebijakan yang berbeda yang terimplikasi di dalam eksekusi hukuman mati di Indonesia dalam dua masa kepeminpinan indonesia dibawah SBY dan Jokowi, ini dapat dilihat dari perbedaan jumlah eksekusi yang diterapkan atas warga negara Indonesia dan warga negara Asing dalam penerapan hukuman mati di Indonesia, dalam grafik dapat dilihat :
Grafik III : perbandingan jumlah WNI dan WNA dalam eksekui Mati di Indonesia
Sumber: Laporan Praktek Hukuman mati di Indonesia
Terdapat perbedaan yang signifikan yang terlihat dalam praktik hukuman mati dari dua masa presiden ini, dapat dilihat diatas bahwa pada masa pemerintahan SBY, eksekusi mati sangat banyak dilakukan terhadap warga negara indonesia dibanding dengan warga negara asing, coba kita bandingkan dengan eksekusi pada masa pemerintahan Jokowi banyak mengeksekusi mati terpidana mati yang berasal dari warga negara Asing daripada warga negara indonesia. jarak yang cukup jauh dari korban penerapan eksekusi mati di indonesia dapat dijadikan bukti adanya fokus kebijakan di dua masa pemerintahan ini.
Jika kita melihat fokus kebijakan SBY tidak bisa kita lepaskan dari pribadi SBY dan partai yang mengusungnya. Beliau merupakan presiden dari partai Demokrat. Partai ini didirikan pada 9 September 2001 dan disahkan pada 27 Agustus 2003. Pendirian partai ini erat kaitannya dengan niat untuk membawa Susilo Bambang Yudhoyono menjadi presiden yang kala itu menjadi Menteri Koordinator bidang Politik dan Keamanan di bawah Presiden Megawati. Partai Demokrat dianggap secara umum sangat terkait kuat dengan figur SBY. Pemilihan kata Demokrat dalam partai ini pun sangat berafiliasi dengan figur SBY yang cenderung bercorak teknokrat dan aktif pada isu-isu hard politik. Corak ini juga terlihat dalam pemilihan kabinet pada masa pemerintahan SBY. SBY pada masa pemerintahan pertama memilih melanjutkan masa bakti Hassan Wirajuda sebagai mentri luar negeri pada tahun 2003 karena Hassan dianggap telah banyak aktif dalam kontestasi Internasional, dan juga memilih Marti Natalagawa untuk melanjutkan tongkat estafet dalam masa pemerintahan yang kedua.Penunjukan dua ahli tersebut menjadi ujung tombak indonesia untuk melakukan politik bebas aktif Indonesia dibawah SBY dalam dunia internasional. Fokus kebijakan ke luar ini sedikit banyak mempengaruhi jumlah terpidana mati yang dieksekusi mati di Indonesia, ini dikarenakan Indonesia pada masa pemerintahan SBY sangat menjaga hubungan dengan negara lain. Bahkan pada tahun 2012 SBY dikritik keras oleh masyarakat karena memberikan grasi terhadap warga negara Australia yang terkena kasus narkotika di Indonesia.
Berbanding terbalik dengan presiden Jokowi yang mulai menjabat pada pertengahan 2014. Jokowi merupakan presiden terpilih dari partai PDIP (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) yang memiliki ideologi yang sangat nasionalis. Partai ini merupakan sebuah partai yang berafiliasi erat dengan mantan presiden Indonesia Soekarno. Pola kebijakan yang dilakukan presiden Jokowi juga terlihat sejalan dengan ideologi yang dianut partai ini, yaitu nasionalis. Terlihat presiden Jokowi tidak lagi terlalu banyak konsern di kontestasi Internasional. Kebijakan presiden Jokowi tersebut berimbas dengan berkurangnya aktifitas indonesia di luar negeri melainkan sibuk membenahi politik dan ekonomi di dalam negeri. Bahkan dalam kasus eksekusi mati terpidana narkotika Jokowi dengan tegas akan mengeksekusi mati warga negara asing maupun warga negara indonesia yang terlibat dalam perdagangan narkotika karena itu mengganggu kedaulatan dan keamanan masyarakat Indonesia. Itu berimbas pada banyaknya eksekusi warga negara asing pada masa pemerintahannya.
Faktor-Faktor Ketidakpatuhan Indonesia Terhadap ICCPR
Dari data-data diatas menunjukkan kita bahwa kepatuhan Indonesia terhadap ICPR rendah. Ini dikarekanan political will dari para elit politik di dalam negara Indonesia untuk meratifikasi ICCPR rendah, tetapi selain faktor political will aktor ada faktor-faktor lain yang dominan ada dalam kasus ini, diantaranya :
Tipologi ICCPR sebagai Soft law Membuat Indonesia Tidak Memiliki paksaan Internasional yang Berarti
Meskipun ICCPR berhasil menjadi sebuah rezim internasional yang menjadi acuan dalam perlindungan ham dunia, tetapi ICCPR memiliki tidak memiliki kekuatan memaksa power of cohercion yang kuat ketika kita berbicara dalam konteks hubungan internasional. Ini dikarenakan tipologi ICCPR yang termasuk dalam kategori soft law. Soft law merupakan istilah untuk menggambarkan sebuah instrumen hukum internasional yang memiliki tingkat kekuatan mengikat yang lemah, dikarenakan tidak adanya mekanisme paksaan yang secara eksplisit disepakati oleh para-pihak perjanjian.
Mengutip Abbot dan Sindal Tipologi mana hukum yang disebut hard law atau soft law dapat dilihat dari di tiga dimensi yaitu (i) ketepatan aturan (precision of rules), (ii) kewajiban (obligation), dan (iii) delegasi untuk pembuat keputusan pihak ketiga (delegation to a third-party decision-maker). Apabila ketiga ini lemah maka perjanjian interansional tidak dapat dikatakan hard law. Dan kenyataannya, ICCPR tidak dapat memenuhi tipologi tersebut. ICCPR memang merupakan perjanjian yang secara formal mengikat negara yang meratifikasinya sehingga sebenarnya ada ketepatan aturan dan kewajiban yang ditetapkan dan dibebankan oleh ICCPR terhadap negara terkait. Tetapi isi ICCPR cenderung tidak memiliki ketepatan aturan , masih ada norma-norma yang terlalu umum dalam ICCPR sehingga menyebabkan adanya multi intepretetif bagi para-pihak , ini berimbas pada pelaksanaan kewajiban dari negara dan membuat perjanjian tersebut lebih lunak sepanjang dimensi ketepatannya. Kedua meskipun ada pendelegasian dalam komite HAM yang dimiliki ICCPR tapi komite tersebut tidak dapat secara penuh dan mengikat negara untuk memiliki pelaksanaan dan penafsiran norma-norma yang seragam secara internasional ini menyebabkan para-pihak yang bersengketa dapat secara sepihak membenarkan tindakannya dalam argumen hukum secara lebih mudah, dan dengan sedikit konsekuensi, baik dalam hal biaya reputasi atau sanksi lainnya.Ini membuat Indonesia secara sepihak dapat melanggar aturan-aturan yang sudah diratifikasinya dalam ICCPR.
International Cohercion Cenderung Hanya Ada Ketika Ada Warga Negara Asing yang Dieksekusi di Indonesia
Telah dijenjelaskan di bab satu bahwa sebuah negara melakukan tindakan coercion dikarenakan negara tersebut memiliki kepentingan secara substansial dalam kepatuhan negara lain. Paksaan yang dilakukan negara lain tersebut dapat implikasi negatif dan positif bagi negara yang dipaksa. Paksaan yang berimplikasi negatif akan berbentuk punishment seperti mendapatkan hukuman sangsi perdagangan, penurunan bantuan pembangunan, dan intervensi militer, sedangkan yang berimplikasi positif akan berbentuk reward seperti peningkatan bantuan, tidak adanya sangsi perdagangan dll
Dalam konteks penerapan hukuman mati di Indonesia adanya paksaan internasional cenderung dilakukan oleh negara-negara yang warga negaranya terancam hukuman mati di Indonesia. Inipun hanya dilakukan oleh negara-negara yang secara power lebih unggul dari Indonesia. Kejadian ini terjadi pada periode tahun 2009-2012 dan tahun 2015 di Indonesia dimana Indonesia mendapatkan tekanan dari Australia untuk membebaskan salah satu warga negaranya yang akan dieksekusi di Indonesia. Begitu juga Belanda, Australia dan Brazil yang memberikan tekanan ketika Indonesia akan mengeksekusi warga negaranya karena kebijakan gawat darurat narkotika yang digalangkan presiden Jokowi.
Sulitnya Mendapatkan Resiprositas dalam Isu HAM Membuat Indonesia Berubah-ubah dalam Menentukan Kebijakan
Sedikit mereview yang dijelaskan von Stein di bab 1 adanya resiprositas dalam setiap perjanjian internasional merupakan salah satu poin determinan yang membuat negara tersebut tetap menaati perjanjian. Tetapi negara sebagai aktor internasional sering kali tidak mendapatkan resiprositas yang sama (equivalent) dengan negara lain. Padahal seperti yang dijelaskan Kohane :
"resiprositas merupakan sebuah pertukaran nilai timbal-balik yang setara antara para negara-negara suatu perjanjian. Apabila hubungan timbal balik yang diinginkan saling menguntungkan maka mereka menguntungkan satu sama lain begitu juga untuk yang sebaliknya pertukaran yang buruk akan menghasilkan yang buruk. Jika negara dalam sutu perjanjian memperoleh keuntungan dalam kepatuhan daripada tidah patuh maka mereka akan memilih untuk patuh."
Karena itu harus ada sebuah kondisi yang dijaga agar terjadi resiprositas antar negara negara. Permasalahannya kondisi ini sering kali tidak terjadi terhadap kasus HAM. Ini dikarenakan dikarenakan besarnya cakupan norma HAM, banyaknya negara yang terlibat dalam perjanjian, dan luasnya lintas-batas geografis negara-negara yang meratifikasinya.
Situasi ini pernah dialami oleh Indonesia, Indonesia yang telah meratifikasi ICCPR, pernah mencoba melakukan moratorium hukuman mati di tentang tahun 2009-2012 sebagai salah satu cara diplomasi hukum guna menyelamatkan warga negara indonesia yang berada di bayang-bayang eksekusi hukuman mati di luar negeri.Indonesia berharap ketika Indonesia tidak menghukum para narapidana yang mendapatkan hukuman mati di Indonesia. Indonesia dapat mendapatkan balasan yang sama guna membebaskan narapidana Indonesia di luar negeri. Tetapi Indonesia tidak bisa memaksa Arab Saudi, malaysia atau australia untuk memperlakukan narapidana negara mereka sebagaimana Indonesia memperlakukan narapidana di Indonesia. Indonesia tidak dapat memaksakan Resiprositas Indonesia dalam memperlakukan terpidana narkoba sama dengan bagaimana negara-negara tersebut memperlakukan terpidana di negaranya.
Minimnya Tekanan dalam Masyarakat dan Institusi Domestik
Indikator kepatuhan lain yang penting di suatu negara terdapat pada negara yang memiliki tingkat aktivis domestik yang aktif dan kritis dalam menyuarakan kritik pada pemerintahan dan juga berbanding lurus dengan tingkat pengetahuan dari masyarakat terhadap problem dari perjanjian yang telah dibuat pemerintah.Sayangnya kondisi ini tidak terjadi di Indonesia. ini bukan dikarenakan tidak adanya tingkat aktivis yang kritis di Indonesia , karena banyak aktivis di Indonesia yang telah menyuarakan Indonesia untuk menaati ICCPR dan menghapus praktek hukuman mati seperti yang terlihat dalam banyak kegiatan yang dilakukan Kontras , Imparsial, bahkan Komnas HAM dalam mengajak pemerintah Indonesia untuk mematuhi ICCPR dan menghapus hukuman mati. Tetapi lebih kepada masih adanya banyak perdebatan dari institusi-institusi penting dalam negara Indonesia yang memiliki pandangan yang bertabrakan terhadap isu-isu hukuman mati. Seperti contohnya dalam kasus hukuman mati terpidana narkotika, Henry Yosodiningrat yang merupakan politisi yang juga ketua Granat (gerakan nasional anti narkotika) menganggap bahwa eksekusi mati diperlukan untuk dilakukan untuk melindungi warga indonesia yang menjadi korban.dalam statemen-nya ia menyatakan bahwa indonesia harus mendahulukan kedaulatan negara-nya dibanding norma-norma internasional yang diratifikasi Indonesia.,dalam salah satu wawancaranya :
".....saya lebih memilih untuk menyelamatkan bangsa kita, selalu yang menjadi tameng bagi para pelaksana hukuman mati dan penggiat ham adalah bahwa indonesia adalah negara yang tidak beradab bahwa kita negara yang tertinggal, negara akan dikecam, kita indonesia punya kedaulatan, bangsa asing sama sekali tidak memiliki hak dalam mencampuri kedaulatan kita... Kita jangan menjadi bangsa yang terlalu menurut..."
Ini menjadi hambatan dalam bagaimana institusi-institusi yang pro akan penghapusan hukuman mati untuk menyuarakan pendapat dan memberikan tekanan pada indonesia untuk menaati ICCPR dan menghapus hukuman mati di kondisi masyarakat yang lebih memilih Indonesia untuk tetap menerapakan hukuman mati dalam sistem yudisial Indonesia
Isu penghapusan Hukuman Mati bukan Merupakan Isu yang Populer di Masyarakat
Tekanan dalam Institusi domestik memiliki peranan yang sangat penting dalam mempromsikan kepatuhan. Terutama di negara demokrasi, adanya sistem demokrasi yang berkembang di sebuah negara berbanding lurus dengan dengan kepatuhan negara tersebut terhadap perjanjian internasional. Tetapi terdapat pendapat lain yang mengkritisi indikator ini. Menurut Gartzke and Gleditsch yang juga dijelaskan oleh Stein menjelaskan bahwa sebuah komitmen internasional yang tidak populer di dalam negeri sebuah negara membuat pemerintah kesulitan untuk mengabaikan sentimen publik terhadap komitmen tersebut, terutama dalam krisis internasional.
Penghapusan hukuman mati bukanlah merupakan pilihan kebijakan yang populer di masyarakat ini dibuktikan dalam poling pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat indonesia sebenarnya juga masih tidak setuju dengan adanya hukuman mati ini. Ini ditunjukkan dengan survey yang dilakukan oleh litbang Tempo dengan melibatkan sebanyak 937 responden dari kota-kota besar di Indonesia, survey ini menanyakan perihal setuju atau tidak setujunya rakyat Indonesia terhadap penghapusan hukuman mati, dengan pertanyaan apakah kamu setuju akan adanya penghapusan hukuman mati? dan survey menunjukkan bahwa 68.3% tidak setuju berbanding 29.3% setuju dan 2.3% mengatakan tidak, selengkapnya dapat dilihat dalam grafik di bawah ini:
Grafik IV:
Sumber : Majalah tempo edisi Januari 2010
Lebih lanjut survey lain yang dilangsungkan Seputar indonesia yang melakukan poling di 6 kota besar di Indonesia dengan pertanyaan bagaimana sikap masyarakat Indonesia terkait pelaksanaan hukuman mati bagi pelaku kriminalitas di indonesia? jenis kriminalitas itu berupa pembunuhan, terorisme dan narkotika, hasilnya mengatakan bahwa pada kasus pembunuhan, sebanyak 78 orang memilih mendukung berbanding 16 orang yang tidak mendukung, lalu dalam kasus terorisme sebanyak 80 orang memilih mendukung berbanding 11 orang yang tidak mendukung serta sebanyak 59 orang memilih mendukung dibanding 32 orang yang tidak mendukung, survey ini menunjukkan bahwa sikap masyarakat indonesia dalam 3 kasus kriminalitas diatas menunjukkan bahwa hampir sebagian besar mendukung untuk dilaksanakannya hukuman mati terhadap para tersangka. Sehingga selengkapnya dapat dilihat dibawah:
Grafik V:
Sumber : Majalah Indonesia 1-5 maret 2010
Adanya bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa alasan indonesia masih belum dapat menerapkan ICCPR dengan menyeluruh dikarenakan belum adanya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya abolisi hukuman mati di indonesia.
BAB V
Penutup
Kesimpulan
Jika kita melihat timeline eksekusi mati di Indonesia pasca ratifikasi ICCPR, sebenarnya tidak ada perubahan berarti dari jumlah orang yang di eksekusi dengan tahun-tahun sebelumnya. Tetapi Instrumen HAM internasional the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) terbukti mampu memberikan dampak akan behaviours yang akhirnya memberikan dampak dalam kebijakan eksekusi mati di Indonesia. Meskipun tidak terlalu signifikan tapi ICCPR sebagai rezim internasional terbukti mampu untuk dapat mempengaruhi kebijakan indonesia yang telah diratifikasinya, terbukti pada 2009-2012 indonesia telah menghilangkan hukuman mati dari sistem yudisialnya selama 4 tahun, meskipun memang perlu adanya konsistensi kebijakan Indonesia terkait perjanjian yang telah diratifikasinya.
ICCPR diratifikasi Indonesia pada tahun 2006. ICCPR diratifikasi dalam legalisasi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik). Pasal-pasal dalam ICCPR diadopsi dan dijadikan hukum dalam negeri Indonesia, dengan adanya dasar hukum internasional ini, menurut masyarakat internasional, membuat Indonesia memiliki kewajiban untuk tidak melakukan hukuman mati, dengan ditandatanganinya ratifikasi itu, Indonesia harus siap mengikuti standarnya dan menjadi hukum nasional.
Terdapat logika kepantasan dan logika konsekuensi dalam setiap pilihan kebijakan ketika negara patuh terhadap rezim internasional, tetapi pada pelaksanaannya terkadang logika kepantasan dan logika konsekuensi berbeda, dalam Pilihan Ratifikasi ICCPR tahun 2005 yang dilaksanakan indonesia tidak dapat dipisahkan dengan pilihan kebijakan luar negeri presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang sangat aktif, karena itu adanya ratifikasi ini adalah implikasi dari paket pencitraan yang SBY lakukan pada masa pemerintahannya, meskipun pilihan kebijakan ini adalah angin segar bagi masuknya norma HAM internasional dalam amandemen undang-undang di Indonesia, tetapi dalam pelaksanaannya tetap saja indonesia menerapkan eksekusi mati yang itu bertentangan dengan norma yang dijunjung ICCPR.
Dalam logika konsekuensi ternyata terjadi beberapa pelanggaran yang dilakukan indonesia. indonesia seharusnya mengabolisi hukuman mati sebagai sebuah konsekuensi logis dalam ratifikasi ICCPR, meskipun ada upaya yang baik dari presiden SBY ketika mencoba mengubah Indonesia menjadi negara abolisi de facto ketika pada tahun 2008-2012 melakukan moratorium hukuman mati, tetapi penerapan hukuman mati di tahun selanjutnya membuktikan ternyata indonesia masih sangat kurang dalam hal konsistensi kebijakan terutama dalam kaitannya dengan kebijakan yang terkait hukum internasional seperti ICCPR.
Pergantian presiden pada awal tahun 2015 dari SBY ke presiden Jokowi juga tidak berimbas baik pada penerapan norma-norma HAM di Indonesia, presiden Jokowi dirasa sangat fokus dalam membenahi permasalahan domestik indonesia yang masih limbung seperti kondisi politik pemerintahan kabinet yang tidak kuat, pembenahan di bidang ekonomi dan infrastruktur, pembenahan kinerja aparatur negara, serta infestasi besar-besaran di bidang ekonomi. Adanya norma HAM di ICCPR agaknya tidak begitu dihiraukan oleh pak Jokowi di masa pemerintahannya, norma-norma HAM yang seharusnya menjadi sebuah platform untuk mengendalikan kebijakan negara khususnya yang berkaitan dengan hak individu manusia sepertinya akan kembali tersingkir dalam 5 tahun kepemimpinan pak Jokowi kedepan. Terlihat dari 14 orang yang dieksekusi mati pada awal pemerintahan pak Jokowi serta justifikasi pihak berwenang Indonesia menjustifikasi berlanjutnya eksekusi mati sebagai sarana untuk mengatasi "darurat narkoba nasional" yang analisisnya didasarkan pada temuan riset yang cacat serta asumsi keliru kalau hukuman mati bisa mencegah kejahatan. Bertentangan dengan hukum internasional, hukuman mati terus dijatuhkan dan diterapkan terhadap khususnya pelanggaran terkait narkoba.
Terdapat beberapa faktor dominan kenapa terdapat pola kepatuhan yang berubah-ubah di Indonesia, faktor-faktor tersebut berkaitan dengan enforcement yang ada di Indonesia dalam domestik juga dalam dunia internasional beberapa diantaranya adalah : tipologi ICCPR sebagai soft law membuat Indonesia tidak memiliki paksaan Internasional yang berarti, paksaan internasional yang ada cenderung hanya ada ketika ada warga negara asing yang dieksekusi di Indonesia, sulitnya mendapatkan resiprositas yang setara antar negara-negara peratifikasi dalam isu HAM membuat Indonesia berubah-ubah dalam menentukan kebijakan , minimnya tekanan dalam masyarakat dan institusi domestik, dan yang terakhir isu penghapusan hukuman mati bukan merupakan isu yang populer di masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Jurnal :
Abbott K.W and Snidal D (2000) Hard and Soft Law in International Governance dalam "International Organization", Summer
Cassese, A dan Weiler, JH.H (1988) Change and Stability in International Law-Making, De Gruyter:New York.
D.L. Richards, K.C. Clay (2012) Non-Derogable Rights and Declared States of Emergency Dalam buku "An Umbrella With Holes: Respect for Non Derogable Human Rights During Declared States of Emergency", Springer Science Business Media Dordrecht 1996–2004
Finemore, M. dan Sikkink, Kathryn. (1998), International Norm Dynamic and Political Charge, Intenational Organization vol 52 no 4 the MIT Press
Gusman, Andrew T. (2002), A compliance-based theory of International Law, California Law Review 90, no 6
International Bar Association. (2008) The Death Penalty Under International Law: A Background Paper to IBAHRI Resolution on the Abolition of the Death Penalty. Ibanet: London
Iskandar, Pranoto. (2012) Hukum Ham internasional : Sebuah Pengantar Kontekstual , IMR Press: Cianjur
Kaye, David.(2011) State Execution of the International Covenant on Civil and Political Rights dapat diakses di< http://www.law.uci.edu/lawreview/vol3/no1/kaye.pdf >
Kenneth S.gallant, the principle of legality in international and comparative criminal Law Cambridge University Press, New York
Laurence R.H & Slaughter AM. "toward a theory Effective supranational Adjudication" Yale LJ
Lynch, Colman. (2009) Indonesia's Use of Capital Punishment for Drug-trafficking Crimes : Legal Obligation, Extralegal Factors, and The Bali Nine Case Dalam buku "Columbia Human Rights Law Review" ,Columbia University of Law:New York
Lines , Rick. (2007) The Death Penalty For Drug Offences : A Violation Of International Human Rights Law dalam Buku Harm Reduction and Human Rights (HR2) ,International Harm Reduction Association:London
Masoed, Mohtar. (1994) Ilmu Hubungan Internasional:Disiplin dan Metodologi, PT Pustaka LP3ES Indonesia:Jakarta
Mitchell, Ronald B. (2007) Compliance Theory : Compliance, Effectiveness and Behaviour Change in international Environmental Law. Oxford University Press
Morgenthau, H, J. (1978) Politics Among Nations:The Struggle fo r Power and Peace". 5th edition
Kasim, Ifdhal, S.H. (2007), Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat ELSAM:Jakarta
Krasner, Stephen D,(1983) International Regimes. Ithaca, Cornell University Press: New York
Nowak, Manfred.(2005)"U.N. Covenant on Civil and Political Rights; CCPR Commentary", 2nd revised edition, N.P. Engel, Publisher
Roberts, A dan Kingsburry, B. (1997) Introduction, Dalam buku S.Charnovits.\Two Centuries of Participation; Ngos and International Governance 18 Mich. J Int'lL
International Studies Encyclopedia
Steans, Jill and Pettiford, Lloyd & Diez, Thomas, (2005)Introduction to International Relations, Perspectives & Themes (Chap. 7), 2nd edition, Pearson & Longman.
Steans et al, Introduction to International Relations, Perspectives & Themes
Stein, J.V. (2010) 'International Law: Understanding Compliance and Enforcement,' The
Siswo Pramono, "A Million Friends Diplomacy", The Jakarta Post Online, 13 Juni 2010.
Tomz, M. (2008) Reputation and the Effect of International Law on Preferences and Beliefs. Unpublished manuscript. Stanford University ,
William A, Schabas. (2002) The Abolition of the Death Penalty in International Law, Cambridge University Press, Cambridge Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide Perspective, Oxford University Press, Oxford
Yudhoyono, S. Bambang, (2009). Indonesia Unggul: Kumpulan Pemikiran dan Tulisan Pilihan oleh Presiden Republik Indonesia. Jakarta: Gramedia.
Ziyad Falahi, (2007), Memikirkan Kembali Arti Million Friends Zero Enemy dalam Era Paradox of Plenty Global & Strategis Juli-Desember 2013
Laporan, Publikasi dan Terbitan berkala :
International Covenant on Civil and Political Rights, UN Treaties, Diterbitkan pada tanggal 16 December 1966. Diakses pada tanggal 28 Februari 2015 dari Un.org. Website : https://treaties.un.org/pages/viewdetails.aspx?chapter=4&src=treaty&mtdsg_no=iv-4&lang=en
Peraturan UUD RI Tahun 1945, Diakses pada 15 Maret 2015 dari Kemenkumham.go.id Website : http://Ditjenpp.kemenkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html
Amnesti Internasional.(2015), Keadilan yang Cacat Peradilan yang Tidak Adil dan Hukuman Mati di Indonesia Index ASA 21/2434/2015, Peter Benenson House 1 Easton Street: London
Article 6 ICCPR, ICCPR (Daring), dapat diakses dalam
Bappenas, (2007)Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia, Bappenas (Daring), dapat diakses melalui < http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/1)%20Indonesia%20dan%20isu%20global/2)%20HAM/HAM%20(Hak%20Asasi%20Manusia).pdf>
Death Penalty Worldwide, Death penalty Database Cornell Law School(Daring) , 1 Oktober 2013, dapat diakses dalam
ELSAM (2008) Hak Asasi Manusia tanpa dukungan politik Catatan Ham Awal tahun 2008 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Kontras, "Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013" , Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
Kontras, Capital Punishment in Indonesia: Update 2012 2013 ,Kontras(Daring), Juni 2013, dapat diakses dalam
Laporan dari Unterm yang dapat diakses dri Website :
Makarim, Mufti "Beberapa Pandangan Tentang Hukuman Mati (Death Penalty) dan Relevansinya dengan Perdebatan Hukum di Indonesia Dipublikasikan oleh Elsam dapat di akses dalam
Munthe, A, G. (2006) Postur 'Rasionalis' dalam politik luar negeri indonesia pasca-suharto, Dalam Jurnal Hukum pro justisia volume 24 no 3
Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia dapat diakses melalui < http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Luar%20Negeri/1)%20Indonesia%20dan%20isu%20global/2)%20HAM/HAM%20(Hak%20Asasi%20Manusia).pdf>
Pemerkuatan Pemahaman HAM untuk Hakim seluruh Indonesia (2012). Dipublikasikan oleh Komnas HAM
Sejarah Perkembangan Lahirnya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik" Penjelasan Atas Undang-undang Republik Indonesia No 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Convention on Civil and Political Rights (Konvenan International Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 No 119, Hal.4
Tenth Session General Assembly Document A/2929 Annotations on the text of the draft international convenan on human rights (1955) (Chapter I) Dipublikasikan oleh OHCHR Newyork, dapat diakses melalui
Status Negara-Negara di Dunia tentang Praktek Hukuman Mati ,Hands Off Cain (Daring) dapat diakses pada < http://kontras.org/pers/teks/Status%20Negara%20ttg%20praktik%20hukuman%20mati.pdf>
Status of State on . International Covenant on Civil and Political Rights bisa diakses dalam
Sambutan Presiden Joko Widodo dalam pembukaan Rapat Koordinasi Penanggulangan Narkoba di Jakarta, 4 Februari 2015, tersedia di: http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=8712&Itemid=26// (diakses pada 17 Agustus 2015).
Statement by the delegation of the Republic of Indonesia high-level panel discussion on the question of the death penalty 'regional efforts aiming at the abolition of the death penalty and challenges faced in that regard' at the 28th session of the Human Rights Council dapat diakses dalam (diakses pada 6 Juli 2015).
Skripsi dan Thesis :
Abdul Aziz, Amir (2014) Responsibility to protect di suriah. Skripsi Ilmu Hubungan Internasional. Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
Indonesia dan Misi Perdamaian PBB : Tinjauan Diplomasi dan Politik Luar Negeri , (2013) Dipublikasikan oleh Institute of International Studies (IIS): Yogyakarta
Website :
Beberapa Alasan Komnas Ham Tak Setuju Eksekusi Mati Duo Bali Nine, Republika Dipublikasikan pada tanggal 28 Februari 2015. Diakses pada tanggal 15 Maret 2015 dari Republika.co.id. Website : http://m.republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/02/28/nkg5jn-beberapa-alasan-komnas-ham-tak-setuju-eksekusi-mati-duo-bali-nine
BNN Dukung Penolakan ICCPR dan Grasi terpidana Mati Kasus Narkoba. Diakses pada 5 juni 2015 dari Kriminalitas.com Website : http://kriminalitas.com/bnn-dukung-penolakaniccpr-grasi-terpidana-mati-kasus-narkoba
Eksekusi Mati Terbanyak Terjadi pada Masa SBY Dipublikasikan pada tanggal 6 Januari 2010. Diakses pada tanggal dari Kompas.com. Website: http://megapolitan.kompas.com/read/2010/01/06/15594483/Eksekusi.Mati.Terbanyak.Terjadi.pada.Masa.SBY
Grasi Corby Salah Satu Bentuk Diplomasi Hukum. Dipublikasikan pada tanggal 26 Mei 2012. Diakses pada tanggal dari kompas.com.Website : http://nasional.kompas.com/read/2012/05/26/05163035/Grasi.Corby.Salah.Satu.Bentuk.Diplomasi.Hukum
Hukuman Mati Bukan Soal HAM. Dipublikasikan pada tanggal 28 April 2015. Diakses pada tanggal dari Mediaindonesia.com Website: http://www.mediaindonesia.com/misore/read/1294/Menkumham-Pertegas-Hukuman-Mati-bukan-Soal-HAM/2015/04/28//
Indonesia Gawat Darurat Narkotika. Dipublikasikan pada tanggal 04 Februari 2014. Diakses pada tanggal dari Kompas.com Website : http://nasional.kompas.com/read/2015/02/04/10331931/Presiden.Jokowi.Indonesia.Gawat.Darurat.Narkoba
Indonesia not Alone in Death Penalty Reticence: Ministers. Dipublikasikan pada tanggal 17 Oktober 2012. Diakses pada tanggal diakses pada 29 Juni 2015 dari Thejakartaglobe.com Website: http://www.thejakartaglobe.com/archive/indonesia-not-alone-in-death-penalty-reticenceministers/550602
Indonesia Segera Hapus Hukuman Mati. Dipublikasikan pada tanggal 16 Oktober 2012. Diakses pada tanggal dari Kompas.com Website : http://internasional.kompas.com/read/2012/10/16/14593240/Indonesia.Segera.Hapus.Hukuman.Mati?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Khlwp
MUI Dukung Kebijakan Presiden Tolak Grasi Terpidana Narkoba. Dipublikasikan pada tanggal 11 Februari 2015. Diakses pada tanggal 5 juni 2015 dari Warta Ekonomi.co.id Website : http://wartaekonomi.co.id/read/2015/02/11/45218/mui-dukung-kebijakan-presiden-tolak-grasi terpidana-narkoba.html
Pemberian Grasi untuk Corby Disesalkan. Dipublikasikan pada tanggal 23 Mei 2012. Diakses pada tanggal dari , Kompas.com. Website : http://nasional.kompas.com/read/2012/05/23/11112336/Pemberian.Grasi.untuk.Corby.Disesalkan
Pemerintah Indonesia Kurangi Vonis Mati. Dipublikasikan pada tanggal 17 Oktober 2012. Diakses pada tanggal dari Kompas.com. Website: http://nasional.kompas.com/read/2012/10/17/19351697/Pemerintah.Indonesia.Kurangi.Vonis.Mati?utm_source=RD&utm_medium=inart&utm_campaign=khiprd
Presiden Jokowi Dimusuhi Tiga Negara. Dipublikasikan pada tanggal 18 Desember 2014. Diakses Diakses pada tanggal 15 Februari 2015 dari Tempo.co Website : http://nasional.tempo.co/read/news/2015/01/18/078635768/Presiden-Jokowi-Dimusuhi-Tiga-Negara
Prospek dan Tantangan Politik LN. Dipublikasikan pada tanggal 28 Oktober 2004, Diakses pada tanggal dari Suaramerdeka.com. Website: http://www.suaramerdeka.com/harian/0410/28/opi3.htm
Teroris Di Indonesia Dan Usaha-Usaha Yang Diambil Untuk Mengalahkan Masalah. Dipublikasikan pada tanggal 20 September 2003. Diakses pada tanggal dari Interpol.go.id Website:http://www.interpol.go.id/id/kejahatan-transnasional/terrorisme/69-teroris-di-indonesia-dan-usaha-usaha-yang-diambil-untuk-mengalahkan-masalah
Tidak Ada Ampun Buat Terpidana Mati Narkoba,Dipublikasikan pada tanggal 18 Desember 2014. Diakses pada tanggal 12 Februari 2015 dari Tempo.co. Website : http://nasional.tempo.co/read/news/2014/12/18/063629393/Jokowi-Tak-Ada-Ampun-buat-Terpidana-Mati-Narkoba
Wawancara :
Wawancara acara "Mata Najwa memutus nyawa: pro kontra hukuman mati narkoba oleh Najwa Sihab 3 Desember 2014