BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sejarah penyalahgunaan obat narkotika dan obat berbahaya (narkoba) telah menjadi permasalahan besar di Indonesia. Di Indonesia, narkoba menjadi salah satu permasalahan terbesar dalam membentuk generasi penerus bangsa. Hal ini selaras dengan pertambahan penggunaa maupun pengedar narkoba di Indonesia.
Narkoba yang kian melalang buana mendasari sebuah dilemma di masyarakat. Narkoba seakan tak bisa lenyap dari sistem masyarakat di Indonesia dan mengharuskan adanya tindakan keras dalam menanggapi permasalahan ini.
Berdasarkan Pasal 113 ayat (2) Undang Undang No. 35 Tahun 2009 ayat (2) yang mana berbunyi; 'Dalam hal perbuatan, memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi (5) lima batang pohon atau dala bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).'
Dari dasar undang – undang tersebut, maka hukuman mati menjadi salah satu hukuman bagi tersangka tindak pidana narkotika di Indonesia. Hal tersebut bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945 yang mana terdapat pada Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 menegaskan ; 'Hak untuk hidup, hak untuk disiksa, hak kemderdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hokum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurang dalam keadaan apa pun.'
Inilah yang menjadi polemik permasalahan, kontroversi hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dan Psikotropika.
Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan permasalahan sebagai berikut;
Apa yang mendasari hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dan psikotropika ?
Mengapa hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dan psikotropika dipermasalahkan ?
Apakah hukuman mati melanggar hak asasi manusia ?
Tujuan
Tujuan adanya makalah ini yaitu untuk mengkaji lebih dalam permasalahan pengambilan hukuman mati bagi tindak pidana narkotika.
BAB II
ISI
Pengertian
Definisi Narkoba dan Psikotropika
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. (Pasal 1 angka 1 UU No. 22. / Tahun 1997). Pengertian zat adiktif adalah bahan yang penggunaannya dapat menimbulkan ketergantungan psikis, (Pasal 1 angka 12 UU No. 23. Th. 1992). Selanjutnya pengamanan penggunaan produksi dan peredarannya diatur dalam Pasal 44 Undang – Undang tersebut.
Menurut Smith Kline dan French Clinical Staff (1968) membuat definisi sebagai berikut ;"Narcotics are drugs which produce insensibility or stupor due to their depressant effect on the central nervous system. Included in this definition are opium, opium derivates (morphine, codein, heroin) and synthetic opiates (meperidine, methodone)".
Sedangkan definisi lainnya dari Biro Bea dan Cukai Amerika Serikat dalam buku "Narcotic Identification Manual" (1973) antara lain mengatakan; Bahwa yang dimaksud dengan narkotika ialah candu, ganja, cocaine, zat – zat, obat – obat yang tergolong dalam Hallucinogen, Depressant dan Stimulant.
Definisi Hukuman Mati
Hukuman mati atau Death Penalty adalah suatu hukuman atau vonis yang dijatuhkan pengadilan (atau tanpa pengadilan) sebagai bentuk hukuman terberat yang dijatuhkan atas seseorang akibat perbuatannya.
Saat ini terdapat 68 negara yang masih menerapkan praktik pidana mati, termasuk Indonesia. Sedangkan negara yang menghapuskan pidana mati untuk seluruh jenis kejahatan adalah sebanyak 75 negara. Selain itu, terdapat 14 negara yang menghapuskan pidana mati untuk kategori kejahatan de facto tidak menerapkan pidana mati walaupun terdapat ketentuan mati.
Menurut keputusan MK No. 2-3 /PUU-V/2007 menyatakan di masa yang akan datang perumusan, penerapan, maupun pelaksaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal penting. Pertama, pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana bersifat khusus dan alternative. Kedua, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Ketiga, pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak – anak yang belum dewasa. Keempat, eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit jika ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana yang sakit jiwa sembuh.
Tindak Pidana Narkotika di Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus narkoba yang melalang buana. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai sasaran empuk pengedar narkoba dalam menjalankan bisnisnya.
Berikut adalah data kasus pidana narkotika dan obat – obatan terlarang di Indonesia pada tahun 2001 – 2005;
No.
Kasus
Tahun
Jumlah Total
Rata – Rata Per Tahun
2001
2002
2003
2004
2005
1.
Narkotika
1.907
2.040
3.929
3.874
8.171
19.921
3.984
2.
Psikotropika
1.648
1.632
2.590
3.887
6.733
16.490
3.398
3.
Bahan Adiktif
62
79
621
648
1.348
2.758
552
Jumlah
3.617
3.751
7.140
8.409
16.252
39.169
7.834
% Kenaikan
-
3.7
90.3
17.8
93.3
205
51.3
Dari tabel di atas adalah setelah dikeluarkan UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika yang mana telah ada tindak pidana mati yang terdapat di Pasal 82 ayat (1) huruf a yang mana berbunyi; 'Barang siapa tanpa hak dan melawan hukum: mengimpor, mengekspor, menawarkan untuk menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, atau menukar Narkotika golongan I, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah).' T telah terjadi lonjakan tajam sejak diterapkannya UU No. 22 Tahun 1997 yang kemudian direvisi di tahun 2009 dalam UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang bertujuan untuk mengurangi dan membatasi peredaran bebas narkotika di masyarakat.
Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia
Indonesia adalah satu negara yang masih menerapkan hukuman mati di dunia. Beberapa data yang telah dihimpun yaitu menunjukkan jumlah eksekusi hukuman mati di Indonesia yaitu
Terpidana Mati yang telah dieksekusi
No.
Kasus
Jumlah
1.
Narkotika dan Psikotropika
66 Kasus
2.
Pembunuhan
33 Kasus
3.
Terorisme
12 Kasus
Jumlah
111 Kasus
Jumlah orang yang divonis mati berdasarkan tahun
No.
Tahun
Jumlah
1.
1998
5 Orang
2.
2000
10 Orang
3.
2001
17 Orang
4.
2002
9 Orang
5.
2003
12 Orang
6.
2004
10 Orang
7.
2005
9 Orang
8.
2006
15 Orang
9.
2007
10 Orang
10.
November 2008
8 Orang
Jumlah
105 Orang
Warga Negara Asing yang Divonis Mati
No.
Negara
Jumlah
Nigeria
10 orang
2.
Australia
7 orang
3.
Nepal
6 orang
4.
China
5 oramh
5.
Malawi
2 orang
6.
Zimbabwe
2 orang
7.
Pakistan
2 orang
8.
Thailand
2 orang
9.
Brazil
2 orang
10.
Belanda
2 orang
11.
Angola
1 orang
12.
Malaysia
1 orang
13.
Afrika Selatan
1 orang
14.
Siere Leone
1 orang
15.
Ghana
1 orang
16.
Senegal
1 orang
17.
India
1 orang
18.
Perancis
1 orang
Jumlah
48 Orang
Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa Indonesia menerapkan eksekusi mati terbanyak pada tindak pidana narkotika dan psikotropika.
Kontroversi Hukuman Mati
Hukuman mati menjadi salah satu ganjaran atau hukuman yang telah diterapkan di Indonesia. Hal ini menimbulkan perdebatan di masyarakat, adanya pro untuk tetap menerapkan hukuman mati dan juga kontra terhadap hukuman mati.
Dalam konteks Indonesia, perdebatan hukuman mati memiliki makna tersendiri mengingat posisi Indonesia sebagai negara demokrasi muslim terbesar di dunia. Dalam hal ini, hukum sebagai bentuk norma masyarakat serta hukuman dalam arti keputusan hukum. Von Savigny mengatakan bahwa hukum adalah bagian dari budaya masyarakat, tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di jiwa masyarakat. Hukum berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity) yang merupakan produk dari kesadaran sejarah masyarakatnya.
Kesadaran sejarah senantiasa berkembang dengan perubahan sosial dan munculnya pemikiran – pemikiran baru. Hal itu juga dilakukan dengan perubahan norma hukum. Oleh karena itu, kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum menerima adanya penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak hidup, pelanggaran tersebut dibenarkan sebagai hukuman atau tindak pidana tertentu. (Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.)
Dasar dilakukannya hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dan psikotropika adalah pada UU No. 35 Tahun 2009. Pasal 113 ayat (2) berbunyi ; 'Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya melebihi 1 (satu) kilogram atau melebihi 5 (lima) batang pohon atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya melebihi 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).'
Pasal 118 ayat (2) berbunyi; 'Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya melebih 5 (lima) gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidahan penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditambah 1/3 (sepertiga).'
Dalam hal ini ada 3 golongan yang terlampir dalam UU No. 35 Tahun 2009 yaitu sebagai berikut;
Narkotika golongan I adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan daam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan / atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Narkotika Golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan / atau tujuan pengembangan ilmu pengetauan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan (Penjelasan Pasal 2 UU No. 22 / Th. 1997)
Dalam kedua Pasal tersebut dengan jelaskan tertera tentang Pidana Mati yang mana hingga saat ini masih diperdebatkan tentang pro dan kontra dengan hak asasi manusia yang dilanggar atau tidak. Hal ini bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (2) tentang hak untuk hidup yang merupakan non-derogable rights atau hak yang tidak bisa diganggu gugat dan pembatasannya dalam Pasal 28 J ayat (2).
Hal ini secara eksplisit timbullah permasalahan dalam UU ini untuk dasar tindak pidana mati. Di mana berdasarkan UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi Pasal 10 ayat (1) huruf (a) mengatakan; 'Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk; menguji undang – undang terhadap Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,…'
Ada sejumlah alasan kontra dalam hukuman mati yaitu;
Adanya ketentuan umum dalam traktat – traktat hak asasi manusia (human rights treaties) bahwa dalam keadaan darurat negara dapat mengurangi kewajibannya (untuk memajukan atau melindungi hak asasi) yang diatur berdasarkan traktat – traktat tersebut. Namun, hal ini tidk dapat diterapkan pada semua jenis hak asasi. Ada sejumlah hak asasi yang sangat penting yang tidak diizinkan dilakukan pengurangan kewajiban dalam keadaan darurat sekalipun. Hak tersebut dikenal dengan istilah non-derogable rights.
Hak – hak asasi yang digolongkan sebagai non-derogable rights menurut Pasal 4 ayat (2) ICCPR sangat mirip dengan hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yaitu; hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku.
Pemerintah yang walaupun mengetahui tentang kelemahan sistem hukum pidana dan irreversibilitas dari hukuman mati, namun tidak mengambil tindakan untuk menghapus hukuman mati (dan misalnya menggantikkannya dengan hukuman seumur hidup) dapat dianggap melanggar Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan: 'perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.'
Menurut Prof. Jeffrey Fagan (Guru besar bidang hukum dan kesehatan masyarakat di Universitas Columbia, Amerika Serikat) yaitu tingkat kesalahan dalam hukuman mati sedemikian tingginya- antara 41 persen hingga 68 persen – hingga tidak dapat diterima dan keadaan ini meningkatkan resiko eksekusi orang yang bersalah, tidak terdapat bukti di manapun bahwa hukuman mati itu menjerakan peredaran narkoba ataupun kejahatan narkoba lainnya dan beban biaya keuangan dari hukuman mati sangatlah tinggi.
Ada sejumlah alasan pro dalam hukuman mati yaitu;
Narkotika, Korupsi dan Teroris masuk ke dalam kategori kejahatan luar biasa yang perlu diambil langkah hukum eksra luar biasa. Karena keadaan negara Indonesia yang menerapkan urgensi penting pada kasus Narkoba untuk generasi bangsa.
Kejahatan narkoba merupakan kejahatan luar biasa yang menistakan perikemanusiaan Kejahatan narkoba merupakan kejahatan kemanusiaan yang merengut hak hidup tidak hanya satu orang, melainkan banyak manusia.
Narkoba meruapakan bentuk perampasan hak asasi untuk mendapatkan kehidupan normal. Karena efek dari penggunaan narkoba akan tetap ada walaupun telah direhabilitasi dan tak dapat sembuh 100% sehingga berdampak pada kehidupan selanjutnya bagi pengguna.
Dari catatan amnesty internasional dan PBB melakukan survey efek jera dari hukuman mati dampaknya lebih buruk daripada hukuman seumur hidup.
Pemerintah dan BNN mengemukakan bahwa pidana mati memiliki daya tangkal terhadap pelaku kejahatan dan sangat dibutuhkan untuk menegah semakin merajalelanya kejahatan narkoba, yang telah membawa korban yang besar jumlahnya, serta membahanyakan masa depan bangsa.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Hukuman mati bagi tindak pidana narkoba memiliki kontroversional Pro dan Kontranya. Di mana dari kedua sisi mereka mengunggulkan kedua alasan mereka.
Dalam pihak Pro, narkoba dianggap sebagai suatu permasalahan hak asasi manusia yang mana merengut banyak jiwa manusia dan merusak generasi penerus bangsa sehingga memerlukan sebuah tindakan tegas untuk memberantas kejahatan narkoba.
Dalam pihak kontra, hukuman mati akan melanggar hak asasi manusia untuk hidup di mana pemerintah tidak dapat menganggu gugat non-derogable rights yang telah ada pada DUHAM dan bahkan UUD 1945.
Saran
Hukuman mati akan tetap menjadi pro dan kontra selama masih ada perbedaan – perbedaan pendapat. Kita tidak dapat memilih salah satu mana yang baik sehingga dalam menentukan apakah seseorang layak dihukum mati harus mempertimbangkan segala aspek yang harus dilihat baik bagi terdakwa maupun pihak keadilannya sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Lubis, Todung Mulya, Alexander Lay.2009.Kontroversi Hukuman Mati.Jakarta: Kompas
Sasangka, Hari.2003.Narkotika dan Psikotropika dalam Hukum Pidana untuk Mahasiswa dan Praktisi serta Penyuluhan Masalah Narkoba.Bandung:Penerbit Mandar Maju
setkab.go.id/pro-kontra-hukuman-mati-bagi-pelaku-kejahatan-narkoba/
m.hukumonline.com/berita/baca/It548e9fcb51d1d/penerapan-hukuman-mati-dinilai-tidak-melanggar-konstitusi
5