BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saat ini partisipasi masyarakat dalam bidang kesehatan masih belum menggembirakan. Berbagai program yang dilancarkan belum optimal dalam memberi efek kepada masyarakat, yakni perubahan perilaku masyarakat dalam memelihara kesehatannya secara mandiri. Gambaran perilaku masyarakat tersebut dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkannya, yakni masih tingginya angka-angka berbagai indikator yang merepresentasikan masih rendahnya kualitas kesehatan kesehatan masyarakat Indonesia
seperti masih
rendahnya status gizi (Baliwati,2006). Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi nasional status gizi penduduk umur 6-14 tahun (usia sekolah) kategori kurus menurut jenis kelamin adalah laki-laki 13,3% dan perempuan 10,9%. Bila dilihat dari konsumsi energi dan protein, secara nasional persentase rumah tangga dengan konsumsi energi rendah sebesar 59,0% dan konsumsi protein rendah sebesar 58,5%. Di provinsi Sulawesi Selatan, status gizi penduduk usia 6-14 tahun kategori kurus adalah laki-laki 15,5% dan perempuan 13,4%, lebih tinggi di atas prevalensi nasional, dan termasuk pula di antara 21 provinsi dengan persentase konsumsi energi dan protein rendah lebih tinggi di atas angka nasional, yaitu sebanyak 71,7% dan 61,7%.
1
Bila dilihat per kabupaten/kota di Sulawesi Selatan, prevalensi status gizi penduduk umur 6-14 tahun kategori kurus di atas prevalensi nasional, yaitu untuk laki-laki sebanyak 16 kabupaten/kota, termasuk kabupaten Barru, dan prevalensi anak perempuan kurus terdapat di 14 kabupaten/kota. Dilihat dari konsumsi energi dan protein, persentase RT dengan konsumsi energi rendah di atas persentasi nasional sebanyak 20 kabupaten/kota dan konsumsi protein rendah sebanyak seban yak 14 kabupaten/kota. Kabupaten Barru termasuk salah satu kabupaten dengan persentase konsumsi energi dan protein kurang di atas persentase nasional, di mana persentasi rumah tangga dengan konsumsi energi kurang sebanyak 77,9% dan protein kurang sebanyak 64,2%.6 Terdapat kaitan yang sangat erat antara status gizi dengan konsumsi makanan. Tingkat status gizi yang optimal akan tercapai apabila memenuhi kebutuhan zat gizi. Namun demikian, status gizi seseorang dalam suatu masa tidak hanya ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada saat itu, tetapi lebih banyak ditentukan oleh konsumsi zat gizi pada masa lampau, bahkan jauh sebelum masa itu. Ini berarti bahwa konsumsi zat gizi masa kanak-kanak memberi andil terhadap status gizi setelah dewasa. Posyandu merupakan salah satu Upaya Kesehatan Bersumber Daya Masyarakat (UKBM) yang paling dikenal oleh masyarakat. Kegiatan yang ada di posyandu terdapat lima kegiatan yaitu Keluarga Berencana (KB), Kesehatan Ibu dan Anak (KIA), gizi, imunisasi dan penanggulangan diare dapat digunakan sebagai upaya untuk menurunkan angka kematian bayi dan balita. Posyandu merupakan tempat pelayanan kesehatan masyarakat yang
2
dapat mencapai masyarakat dengan perekonomian yang rendah. Posyandu sebaiknya dilakukan secara rutin kembali seperti pada masa orde baru karena posyandu dapat mendeteksi permasalahan gizi dan kesehatan di berbagai daerah Indonesia. Permasalahan gizi buruk pada anak balita, kekurangan gizi, busung lapar, dan masalah kesehatan lainnya termasuk kesehatan ibu dan anak dapat dicegah apabila posyandu dapat diaktifkan kembali melalui lima program kegiatan di posyandu secara menyeluruh di berbagai daerah Indonesia (Depkes RI,2006). Dalam melaksanakan program posyandu diperlukan dukungan partisipasi
masyarakat
terutama
ibu
balita.
Partisipasi
sebagaimana
diungkapkan Adi,dkk (2008), adalah suasana dimana orang dalam ( insider ) aktif berinisiatif, merencanakan dan melaksanakan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, dan orang luar ( outsider ) lebih banyak berperan partisipasi
sebagai
pendamping
haruslah
bertujuan
dan
penasehat
karenanya
mendukung inovasi
lokal
pendekatan menghargai
perbedaan dan kesulitan pihak lain, serta mengutamakan peningkatan kemampuan lokal. Untuk dapat membentuk posyandu yang dapat bertahan kelangsungannya diperlukan juga dukungan sosial sehingga masyarakat terutama ibu balita terdorong aktif ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan dapat menikmati hasil dari program posyandu posyandu tersebut. Menurut Adi, dkk (2008) dengan adanya partisipasi masyarakat perencanaan program posyandu diupayakan menjadi lebih terarah, artinya rencana atau program yang disusun sesuai dengan yang dibutuhkan oleh
3
masyarakat, berarti dalam penyusunan program ditentukan prioritas, dengan demikian pelaksanaan program tersebut akan terlaksana secara efektif dan efisien. Salah satu indikasi pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah keaktifan kedatangan masyarakat ke pusat pelayanan kesehatan yang dalam hal ini khususnya khususnya pemanfaatan posyandu. Kehadiran ibu di posyandu posyandu dengan membawa balitanya sangat mendukung tercapainya salah satu tujuan posyandu yaitu meningkatkan meningkatkan kesehatan ibu dan balita. Tetapi kenyataannya, tidak semudah dan sesederhana seperti yang diperkirakan. Partisipasi masyarakat merupakan hal yang kompleks dan sering
sulit
diperhitungkan
karena
terlalu
banyak
faktor
yang
mempengaruhinya. Faktor sosial budaya di masyarakat kita di mana peranan bapak/suami sangat dominan dalam proses pengambilan keputusan, maka umumnya anggota keluarga lainnya sangat kecil inisiatifnya. Hal ini juga terlihat pada kader setempat agar dapat melakukan semua kegiatan di posyandu, sehingga dalam pelaksanaannya saling membantu dan dapat memberikan motivasi kepada ibu yang mempunyai balita agar senatiasa patuh/mau dalam melakukan kunjungan kunjungan ke posyandu. Menurut Buchori (1993) faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat yaitu faktor sosial yaitu dilihat dari adanya ketimpangan sosial masyarakat untuk berpartisipasi, adanya dukungan sosial terhadap individu. Menurut Kartini dkk (2005), dukungan kepada ibu balita dapat diberikan oleh keluarga/suami, kader dan petugas kesehatan dalam bentuk-bentuk dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dukungan
4
informasi dan dukungan penilaian agar ibu balita mau berpartisipasi dalam kegiatan posyandu dan dapat menikmati hasil dari program posyandu tersebut. Faktor budaya yaitu adanya kebiasaan atau adat istiadat yang bersifat tradisional statis dan tertutup terhadap perubahan. Faktor politik yaitu apabila
proses
pembangunan
yang
dilaksanakan
kurang
melibatkan
masyarakat pada awal dan akhir proses pembangunan sehingga terkendala untuk berpartisipasi dan pengambilan keputusan. Menurut Azwar (2005), dalam upaya peningkatan partisipasi masyarakat, pengetahuan dan sikap merupakan hal yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang. Menurut Hemas (2007), kenyataan beberapa tahun terakhir ini, di beberapa daerah kinerja dan partisipasi kader posyandu dirasakan menurun, hal ini disebabkan antara lain: krisis ekonomi, kejenuhan kader karena kegiatan rutin, kurang dihayati peran sebagai kader posyandu sehingga tugas di posyandu kurang menarik atau karena jarang dikunjungi ibu-ibu balita. Penurunan kinerja posyandu ini dapat dilihat dari data pada tahun 2005 dari 245.154 posyandu di Indonesia hanya 3,1 yang mandiri, pada tahun 2006 kader yang aktif hanya 43,3% dan posyandu yang buka setiap bulan dan cakupan penimbangan 43,3%. Program Posyandu Pos yandu juga kurang berkembang, hal ini disebabkan karena para petugas lapangan sebagai motivator
dari
dorongan/motivasi
program kepada
tersebut
kurang
masyarakat
atau
khususnya
tidak kepada
memberikan ibu
balita
kesehatannya secara terus menerus. Faktor dari masyarakat yaitu kader juga dapat memberikan dukungan/dorongan kepada masyarakat agar dapat
5
mempengaruhi peran serta masyarakat, apabila kader aktif mengajak ibu balita untuk ikut dalam kegiatan posyandu maka diharapkan ibu balita pun akan tertarik untuk ikut serta. Berdasarkan Riset Kesehatan Daerah tahun 2010, tingkat prevalensi gizi buruk nasional menurun dari 5,4 % tahun 2007 menjadi 4,9 % tahun 2010. Kendati demikian masih ada kesenjangan angka antar propinsi. Sebanyak 18 propinsi di Indonesia memiliki prevalensi gizi buruk yang tinggi, misalnya Sulawesi Selatan 6,4 %, Nusa Tenggara Barat 10,6 % dan Nusa Tenggara Timur 9 % (Jahari,2000). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya kasus gizi buruk. Menurut UNICEF dalam Katitira, 2008, ada dua penyebab langsung terjadinya kasus gizi buruk. Pertama, kurangnya asupan yang berasal dari makanan. Hal ini disebabkan terbatasnya jumlah makanan yang dikonsumsi atau makanannya tidak memenuhi unsur gizi yang dibutuhkan karena alasan sosial dan ekonomi yaitu kemiskinan. Kedua, akibat terjadinya penyakit yang mengakibatkan infeksi. Hal ini disebabkan oleh rusaknya beberapa fungsi organ tubuh sehingga tidak bisa menyerap zat-zat makanan secara baik. Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena status gizi mempengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja. Sudah banyak program penanggulangan gizi buruk yang dilakukan oleh pemerintah sejak krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998. Upaya intervensi dilakukan pada umumnya secara langsung. Kegiatan
6
intervensi secara langsung dilakukan dengan program suplementasi gizi seperti memberikan makanan tambahan pendamping ASI (MP-ASI) berupa PMT-lokal, pemberian susu formula, pemberian suplementasi zat gizi mikro berupa taburia dan pemberian multivitamin, disamping itu dilakukan pemeriksaan klinis dan pengobatan penyakit serta dilakukan juga asuhan perawatan. Upaya peningkatan partisipasi ibu dalam membina pertumbuhan dan perkembangan anak balita dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan kelompok bina keluarga balita (BKB). Di samping itu, kegiatan posyandu terus ditingkatkan melalui kegiatan perbaikan gizi keluarga (UPGK), dan penyuluhan tentang pentingnya imunisasi bagi balita dan pentingnya air susu ibu (ASI) bagi pertumbuhan dan perkembangan balita. Kegiatan tersebut dapat dilaksanakan antara lain melalui wadah PKK, KB, dan posyandu. Melalui gerakan PKK, wanita berperan aktif dalam membina kesejahteraan keluarganya. Posyandu hendaknya tidak hanya menjadi tempat anak untuk ditimbang, diberikan makanan tambahan dan dipulangkan. Pemberian makanan tambahan atau PMT bagi seseorang terhadap tambahan makanan
sehari – hari (suplementation) (suplementation) untuk mengurangi
kebutuhan gizinya. Dengan demikian makanan yang diberikan berbentuk jajan atau makanan kecil, jumlahnya sekelas untuk memenuhi kekurangan makanan seseorang terhadap kebutuhan yang dianjurkan. PMT sebagai s arana penyuluhan merupakan salah satu cara penyuluhan gizi, khususnya untuk
7
meningkatkan keadaan gizi anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui (Depkes,2000). Tujuan
umumnya
adalah
memberikan
pengetahuan
dan
menumbuhkan kesadaran maasyarakat ke arah perbaikan cari pembagian pemberian makanan anak balita, ibu hamil dan ibu menyusui, tujuan khususnya.Adalah memperluas jangkauan pelayanan program UPGK serta mengumumkan
kesadaran
masyarakat
untuk
menggunakan
bahan
makanan setempat dan dapat diusaahakan secara swadana. (Depkes , 2000). PMT sebagai sarana pemulihan diberikan setiap hari, sampai keadaan gizi penerima makanan tambahan TN menunjukkan perbaikan PMT sebagai sarana penyususnan diberikan setiap hari, tetapi harus secara periodik agar dapat mencapai tujuan PMT tersebut. (Depkes,2000) Disadari atau tidak, program suplementasi gizi hanya mampu mengatasi masalah dalam jangka pendek, atau ketika program itu masih berlangsung. Ketika program itu sudah berakhir, maka prevalensi gizi buruk akan kembali meningkat. Hal ini disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat akan keberlangsungan program karena menganggap bahwa program tersebut milik kesehatan. Masyarakat tidak merasa bertanggung jawab bahkan cenderung tidak meneruskan apa yang telah dirintis oleh program gizi dalam menanggulangi menanggulangi gizi buruk. Angka kunjungan ibu ke posyandu di Kecamatan Tanralili pada tahun 2013 adalah 97.7 % dan pada tahun 2014 sebesar 85,4 % meskipun menurun
8
dari tahun sebelumnya keadaan ini masih lebih tinggi dari target nasional sebesar 80 % (Profil Puskesmas Tanralili,2015). Dari data diatas memberi gambaran bahwa kunjungan ibu balita ke posyandu sudah baik. Demikian Demi kian pula program upaya perbaikan gizi keluarga di posyandu melalui pemberian makanan tambahan sudah dilaksanakan tetapi masih
terdapat
kasus
gizi
buruk
Kecamatan
Tanralili.
Atas
dasar
permasalahan tersebut penulis ingin melalukan penelitan tentang pengaruh Pemberian Makanan Tambahan Terhadap Partisipasi Ibu di Posyandu di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: Apakah ada pengaruh antara pemberian makanan tambahan penyuluhan terhadap partisipasi ibu di posyandu di Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. C. Tujuan Penelitian
Untuk
mengetahui
pengaruh
pemberian
makanan
tambahan
penyuluhan terhadap tingkat partisipasi ibu di Posyandu di Kecamatan Tanralili Kabupten Maros.
9
D. Manfaat Penelitian
1.
Sebagai masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Maros
untuk
meningkatkan cakupan program kesehatan berbasis masyarakat 2.
Sumber informasi kepada Petugas Kesehatan tentang cara meningkatkan cakupan kegiatan gizi di puskesmas melalui peningkatan partisipasi ibu ke posyandu.
3.
Penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam menambah wawasan dan menjadi rujukan untuk penelitian selanjutnya.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pemberian Makanan Tambahan (PMT) Penyuluhan
Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, karena anak yang sedang tumbuh kebutuhannya berbeda dengan orang dewasa. Kekurangan makanan yang bergizi akan menyebabkan retardasi pertumbuhan anak dan makanan yang berlebihan juga tidak baik karena menyebabkan obesitas. Kecukupan pemberian makanan pada anak sangat penting sebab kekurangan energi/zat gizi dapat mengganggu pertumbuhan yang optimal, dan dapat pula menimbulkan penyakit gangguan gizi, baik yang dapat disembuhkan ataupun tidak. Pemberian makanan pada anak tergantung dari beberapa hal sebagai berikut : pertama, jenis dan jumlah makanan yang diberikan. Jenis dan jumlah makanan tambahan yang diberikan pada anak tergantung dari kemampuan pencernaaan dan penyerapan saluran pencernaan. Kedua, kapan saat yang tepat pemberian makanan. Waktu yang tepat pemberian makanan pada anak tergantung pada beberapa faktor yaitu kemampuan pencernaan dan penyerapan saluran pencernaan serta kemampuan mengunyah dan menelan. Ketiga, umur anak pada saat makanan padat tambahan dini biasa diberikan. Pada umur berapa makanan padat tambahan biasanya diberikan kepada anak tergantung kebiasaan dan sosiokulltural masyarakat tersebut (Wiryo, 2002).
11
Makanan tambahan merupakan makanan yang diberikan kepada balita untuk memenuhi kecukupan gizi yang diperoleh balita dari makanan seharihari yang diberikan ibu. Makanan tambahan yang memenuhi syarat adalah makanan yang kaya energi, protein dan mikronutrien (terutama zat besi, zink, kalsium, vitamin A, vitamin C dan fosfat), bersih dan aman, tidak ada bahan kimia yang berbahaya, tidak ada potongan atau bagian yang keras hingga membuat anak tersedak, tidak terlalu panas, tidak pedas atau asin, mudah dimakan oleh si anak, disukai, mudah disiapkan dan harga terjangkau. Makanan tambahan diberikan mulai usia anak enam bulan, karena pada usia ini otot dan syaraf di dalam mulut anak sudah cukup berkembang untuk mengunyah, menggigit, menelan makanan dengan baik, mulai tumbuh gigi, suka memasukkan sesuatu kedalam mulutnya dan suka terhadap rasa yang baru (Wiryo, 2002). Karena kebutuhan zat gizi tidak bisa dipenuhi hanya dengan satu jenis bahan makanan. Pola hidangan yang dianjurkan dianjurkan harus mengandung tiga unsur gizi utama yakni sumber zat tenaga seperti nasi, roti, mie, bihun, jagung, singkong, tepung-tepungan, gula dan minyak. Sumber zat pertumbuhan, misalnya ikan, daging, telur, susu, kacang-kacangan, tempe dan tahu. Serta zat pengatur metabolisme, seperti sayur dan buah-buahan. Pola pemberian makanan pada bayi dan anak sangat berpengaruh pada kecukupan gizinya. Gizi yang baik akan menyebabkan anak bertumbuh dan berkembang dengan baik pula (Depkes RI, 2005).
12
Makin bertambahnya usia anak makin bertambah pula kebutuhan makanannya,
secara
kuantitas
maupun
kualitas.
Untuk
memenuhi
kebutuhannya tidak cukup dari susu saja. Di samping itu anak mulai diperkenalkan pola makanan dewasa secara bertahap dan anak mulai menjalani masa penyapihan. Adapun pola makanan orang dewasa yang diperkenalkan pada balita adalah hidangan yang bervariasi dengan menu seimbang (Waryana, 2010). Masa balita merupakan awal pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan
zat
gizi.
Konsumsi
zat
gizi
yang
berlebihan
juga
membahayakan kesehatan. Misalnya konsumsi energi dan protein yang berlebihan akan menyebabkan kegemukan sehingga beresiko terhadap penyakit. Oleh karena itu untuk mencapai kesehatan yang optimal disusun Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan (Achadi, 2007). Dasar perhitungan AKG tahun 2004 dilakukan dengan cara : (1) Menetapkan berat badan untuk berbagai golongan umur. (2) Menggunakan rujukan WHO/FAO (2002) dimana AKG untuk energi dan protein dis esuaikan dengan ukuran berat dan tinggi badan rata-rata penduduk sehat di Indonesia (Almatsier, 2009).
13
Pola makan yang diberikan yaitu menu seimbang sehari-hari, sumber zat tenaga, sumber zat pembangun dan sumber zat pengatur. Jadwal pemberian makanan bagi bayi dan balita adalah tiga kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan dua kali makanan selingan (diantara dua kali makanan utama). Berbagai kebijakan dan strategi telah diterapkan untuk mengurangi prevalensi terjadinya kekurangan gizi. Untuk itu masyarakat perlu diberi penyuluhan yaitu petunjuk dan ilmu pengetahuan tentang cara mengolah makanan dari bahan yang ada di sekitar (lokal) untuk bayi, balita, ibu hamil dan menyusui. Petunjuk tersebut harus disosialisasikan dengan lebih baik pada masyarakat (Wiryo, 2002). Di Indonesia upaya yang dilakukan pemerintah untuk menanggulangi permasalahan gizi adalah dengan program PMT. Dimana yang menjadi sasaran adalah penderita gizi kurang, baik itu balita, anak usia sekolah, ibu hamil dan pada penderita penyakit infeksi, misalnya penderita TB Paru. Dalam program ini memerlukan dana yang tidak sedikit dan sangat diperlukan kerjasama pihak terkait (lintas program dan li ntas sektor) dan yang terpenting adalah kesadaran masyarakat itu sendiri dalam melakukan upayaupaya penanggulangan masalah gizi.
14
PMT ada 2 (dua) macam yaitu PMT Pemulihan dan PMT Penyuluhan. PMT Penyuluhan diberikan satu bulan sekali di posyandu dengan tujuan disamping untuk pemberian makanan tambahan juga sekaligus memberikan contoh pemberian makanan tambahan yang baik bagi ibu balita. PMT Pemulihan adalah PMT yang diberikan selama 60 hari pada balita gizi kurang dan 90 hari pada balita gizi buruk dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi balita tersebut. Dalam hal jenis PMT yang diberikan harus juga memperhatikan kondisi balita karena balita dengan KEP berat atau gizi buruk biasanya mengalami gangguan sistim pencernaan dan kondisi umum dari balita tersebut. Program PMT bertujuan untuk pemulihan berat badan balita gizi buruk dan gizi kurang menjadi membaik dalam satu periode 60 s/d 90 hari sesuai dengan kebijakan pemerintah setempat. Pelaksana adalah Dinas Kesehatan dalam hal ini Puskesmas yang diawali dengan penimbangan berat badan balita di posyandu. Pada anak usia 6 bulan s/d 11 bulan diberi makanan makanan tambahan berupa bubur susu, pada anak usia 12 s/d 23 bulan dan pada anak usia 25 s/d 59 bulan diberi susu formula. PMT pada prinsipnya adalah untuk menambah kekurangan kalori dan protein dalam makanan si balita seharihari. Sebagai pedoman pelaksanaan distribusi asupan makan dalam kelompok umur di bawah ini ditampilkan tabel dari klasifikasi tersebut.
15
Untuk usia 6-11 bulan diberi Cerelac dimana takaran saji 5 sendok makan (50 gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 210 kkal, Lemak 4,5gr, Protein 8gr, Natrium 65mg. Untuk usia 12-24 bulan diberi SGM Eksplor dimana takaran saji 1 sendok makan (35gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 160 kkal, Lemak 5gr, Protein 6 gr, Karbohidrat 21gr. Untuk usia 25-59 bulan diberi SGM Aktif dimana takaran saji 3 sendok makan (32,5gr). Nilai gizi persajian adalah Energi Total 140 kkal, Energi dari lemak 35 kkal, Protein 5gr, Natrium 100gr dan Karbohidrat total 21gr. Pemerintah Kabupaten Maros di dalam menindak lanjuti kerawanan gizi masyarakat khususnya balita gizi kurang memanfaatkan Sistim Kewaspadaan Pangan dan Gizi (SKPG). Dalam SKPG ditekankan perlunya kerjasama dengan pemerintah pusat khususnya program yang ditujukan bagi masyarakat miskin seperti Jaminan pemeliharaan Kesehatan bagi Masyarakat miskin (Jamkesmas), antara lain : memberi pelayanan kesehatan dasar melalui Puskesmas dan Rumah Sakit sebagai pusat rujukan. Penatalaksanaan perbaikan gizi melalui pembentukan Tim Kewaspadaan Pangan dan Gizi, komitmen Pemda, peningkatan kemampuan teknis dan pemantauan. Intervensi pangan dan gizi berupa PMT bagi balita penderita gizi buruk dan gizi kurang serta Pemberian PMT penyuluhan yang dilakukan di posyandu setiap bulannya. Kegiatan PMT tersebut di atas didasarkan atas pendapat yang menyatakan bahwa penyuluhan gizi bagi golongan tidak mampu akan efektif jika disertai bantuan pangan berupa makanan tambahan. Makanan tambahan merupakan makanan bergizi yang diberikan kepada
16
seseorang untuk mencukupi kebutuhannya akan zat - zat gizi agar dapat memenuhi fungsinya di dalam tubuh manusia (Depkes R I, 2000). Untuk mencapai keberhasilan program PMT, sangat diperlukan peran serta masyarakat, agar hasil yang diperoleh dapat maksimal. Kegiatan ini memerlukan kerja sama baik antar lintas sektoral (Rumah Sakit, PKK, Dinsos, LSM dll) dan lintas program, yang sejak tahun 2006 Pemerintah Kabupaten Maros sudah melaksanakan PMT dalam penanggulangan kekurangan gizi pada balita (Profil Dinkes Kab.Maros,2012). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian makanan tambahan balita gizi buruk/kurang adalah : (a) Apabila anak belum mancapai umur 2 tahun maka ASI tetap diberikan, (b) Balita gizi buruk/kurang perlu diperhatikan dan pengamatan secara terus menerus terhadap kesehatan dan gizi antara lain dengan pemberian makanan tambahan yang sesuai, (c) Anak yang menderita gizi buruk/ kurang terkadang mempunyai masalah pada fungsi alat pencernaan, hingga pemberian makanan tambahan memerlukan perhatian khusus. Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MP-ASI) diberikan kepada bayi/anak selain sel ain ASI. MP-ASI MP -ASI diberikan mulai umur 6-24 bulan, merupakan makanan peralihan dari ASI ke makanan keluarga. Pemberian MP-ASI harus dilakukan secara bertahap baik bentuk maupun jumlah. Hal ini dimaksudkan untuk menyesuaikan kemampuan alat cerna bayi dalam menerima MP-ASI (Depkes RI, 2005).
17
Menurut Nasution (2009), dalam penelitiannya tentang PMT pada anak balita gizi kurang di Puskesmas Mandala Medan Sumatera Utara mendapatkan hasil bahwa PMT selama 90 hari memberikan hasil positif yaitu peningkatan dari status gizi kurang menjadi gizi baik sebanyak 70 %, sementara sisanya 30 % tetap bertahan di status gizi kurang. Ada dibuat suatu rekomendasi berdasarkan kesimpulan penelitian di atas agar upaya PMT terus dilakukan untuk menanggulangi masalah gizi kurang. Menurut Taopan (2005), menyatakan intervensi penanganan kasus gizi buruk yang melanda anak balita di Nusa Tenggara Timur (NTT), ternyata tern yata tidak cukup hanya dengan program PMT selama 90 hari. Alasannya adalah bahwa anak balita setelah diintervensi PMT selama 90 hari, kondisi gizi buruk anak tetap saja terjadi karena dalam keluarga tidak ada lagi makanan bergizi yang tersedia tersedi a untuk dikonsumsi. Cara efektif untuk menangani kasus gizi buruk di NTT adalah memperbaiki kondisi ketahanan pangan masyarakat dengan cara mengubah pola tanam. Gagal panen kelihatannya memiliki hubungan kuat dengan kondis gizi buruk pada balita. Ia menambahkan kalau persediaan pangan masyarakat cukup maka kemungkinan munculnya kasus gizi buruk bisa ditekan. Ini yang bisa kita harapkan, B. Partisipasi Ibu Menurut Depkes RI (2000), Partisipasi masyarakat atau sering disebut peran serta masyarakat, diartikan sebagai adanya motivasi dan keterlibatan masyarakat
secara
aktif
dan
terorganinsasi
dalam
seluruh
tahap
pembangunan, mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian,
18
monitoring dan evaluasi serta pengembangan. Perilaku masyarakat yang berpengaruh besar terhadap derajat kesehatan menuntut partisipasi aktif masyarakat menciptakan derajat kesehatan yang optimal baginya. UndangUndang nomor 9 tahun 1960 tenteng pokok – pokok pokok kesehatan, Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan juga Sistem Kesehatan Nasional (SKN) telah dinyatakan
arti
pentingya
partisipasi
masyarakat
mutlak
diperlukan
(Depkes,1985). Bentuk partisipasi masyarakat yang dikemukakan pada SKN adalah partisipasi perorangan dan keluarga, partisipasi masyarakat umum, partisipasi masyarakat penyelengara upaya kesehatan, partisipasi masyarakat profesi keshatan. Partisipasi masyarakat adalah keadaan dimana individu, keluarga maupun masyarakat umum ikut serta bertanggung jawab terhadap kesehatan diri, keluarga ataupun masyarakat lingkungannya. Tahap-tahap partisipasi masyarakat dikelompokkan menjadi (1) partisipasi dalam tahap pengenalan dan penentuan perioritas masalah; (2) Partisipasi dalam tahap penentuan cara pemecahan masalah; (3) Partisipasi dalam tahap pelaksanaan termasuk penyediaan sumber daya ; (4) Partisipasi dalam dalam tahap penilaian dan pemantapan. Suhendra (2006), partisipasi ditafsirkan sebagai pendekatan dan tekhnik-tekhnik pelibatan masyarakat dalam proses-proses pemikiran yang berlangsung selama kegiatan-kegiatan perencanaan dan pelaksanaan, serta pemantauan dan evaluasi program pembangunan pembangunan masyarakat.
19
Dalam metode partisipasi dikenal lima dasar program yaitu : a.
Penjajakan atau pengenalan program
b.
Perencanaan kegiatan
c.
Pelaksanaan atau pengorganisasian kegiatan
d.
Pemantauan kegiatan
e.
Evaluasi kegiatan Partisipasi masyarakat pada umumnya bersifat mandiri, dimana
individu dalam melakukan kegiatan diatas inisiatif dan keinginan dari yang bersangkutan,
karena
rasa
tanggung
jawab
untuk
mewujudkan
kepentingannya, ataupun kepentingan kelompoknya dan ada juga partisipasi yang dilakukan bukan karena kehendak individu sendiri, tetapi karena diminta atau digerakkan oleh orang lain atau kelompoknya. Depkes RI (2000) menyebutkan bahwa dalam kegiatan posyandu, tingkat partisipasi masyarakat disuatu wilayah dapat diukur dengan melihat perbandingan antara jumlah anak balita didaerah kerja posyandu (S) dengan jumlah balita yang ditimbang pada
setiap
kegiatan
posyandu
yang
ditentukan
(D).
Angka
D/S
menggambarkan kecakupan anak balita yang ditimbang, ini merupakan indikator tingkat partisipasi masyarakat untuk menimbangkan anak balitanya. Sedangkan anggota masyarakat yang menjadi kader, merupakan peran serta masyarakat atau partisipasi dalam kegiatan posyandu. Kader merupakan motor penggerak kegiatan posyandu. Menurut Green (1980), perilaku seseorang dipengaruhi 3 faktor utama yaitu
faktor-faktor
predisposisi
(predisposing
factors),
faktor-faktor
pemungkin (enabling factors), dan faktor-faktor penguat (reinforcing factors).
20
Faktor-faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat t erhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi dan sebagainya. Hal di atas dapat dijelaskan dengan contoh yaitu pemeriksaan kesehatan bagi ibu hamil dimana diperlukan pengetahuan dan kesadaran ibu tersebut tentang pemanfaatan pemeriksaan hamil, baik bagi kesehatan ibu sendiri dan janinnya. janinnya. Disamping itu, kadang-kadang kepercayaan, tradisi dan system nilai masyarakat juga dapat mendorong atau menghambat ibu untuk periksa kehamilan ke petugas kesehatan. Sebagai contoh perilaku ibu mengunjungi posyandu membawa anak balitanya, akan dipermudah jika ibu tahu apa manfaat membawa anak ke posyandu. Demikian juga, perilaku tersebut akan dipermudah jika ibu yang bersangkutan mempunyai sikap yang positif terhadap posyandu. Kepercayaan, tradisi sistem, nilai dimasyarakat setempat juga dapat mempermudah (positif) atau mempersulit (negatif) terjadinya perilaku seseorang (Notoatmodjo, 2005). 2005). Faktor-faktor pemungkin mencakup ketersedian sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan sampah, s ampah, tempat pembuangan tinja, ketersediaan makanan yang bergizi dan sebagainya, termasuk juga fasilitas pelayanan kesehatan seperti Puskesmas, Rumah Sakit, Poliklinik, Posyandu, Polindes, Pos Obat Desa, dokter atau bidan praktek swasta, dan sebagainya. Untuk perilaku sehat, masyarakat memerlukan sarana dan prasarana pendukung, misalnya perilaku
21
pemeriksaan kehamilan. Ibu hamil yang periksa kehamilan ke tenaga kesehatan tidak hanya karena ia tahu dan sadar manfaat pemeriksaan kehamilan saja, melainkan ibu hamil tersebut dengan mudah harus dapat memperoleh
fasilitas
atau
tempat
pemeriksaan
kehamilan,
misalnya
Puskesmas, Polindes, bidan praktek ataupun Rumah Sakit. Fasilitas ini pada hakekatnya mendukung atau memungkinkan terwujudnya perilaku kesehatan, maka faktor-faktor ini disebut faktor pendukung atau faktor pemungkin. Faktor-faktor penguat meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan dan undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan. Untuk berperilaku sehat, masyarakat kadang-kadang bukan hanya perlu pengetahuan dan sikap positif, dan dukungan fasilitas saja, melainkan diperlukan perilaku contoh dari para tokoh masyarakat, tokoh agama, para petugas terutama petugas kesehatan. Di samping itu undang-undang juga diperlukan untuk memperkuat perilaku masyarakat tersebut. Misalnya perilaku pemeriksaan kehamilan serta kemudahan memperoleh fasilitas pemeriksaan kehamilan, juga diperlukan peraturan peratura n atau perundang-undangan yang mengharuskan ibu hamil melakukan pemeriksaan kehamilan. Menurut
Suharto
(2005),
dalam
penelitiannya
yang
berjudul
“Hubungan Antara Karakteristik Ibu dan Keaktifan Menimbangkan Anak di Posyandu Desa Jendi Kecematan Selogiri Kabupaten Wonogiri”, faktor yang berhubungan dengan keaktifan ibu dalam menimbangkan anaknya di
22
posyandu adalah faktor pendidikan ibu, faktor pengetahuan ibu, faktor f aktor status pekerjaan dan faktor jumlah tanggungan keluarga. keluar ga. Menurut M enurut Supraisa (2002), dalam penelitiannya faktor yang berhubungan dengan keikutsertaan ibu balita pada kegiatan di posyandu adalah faktor umur balita, faktor jarak ke rumah ke posyandu, faktor dukungan keluarga, dan faktor f aktor dukungan tokoh masyarakat seperti kepala desa. Sedangkan faktor kelengkapan sarana posyandu dan pengetahuan ibu i bu tidak ada hubungan dengan keikutsertaan ibu ke posyandu. Menurut Wijayanti(2005) dalam faktor yang berhubungan dengan partisipasi ibu balita dalam kegiatan penimbangan di posyandu adalah faktor usia ibu, faktor pendidikan, faktor pengetahuan, faktor jumlah tanggungan keluarga dan faktor penghasilan keluarga. C. Posyandu
Posyandu merupakan salah satu bentuk UKBM yang dikelola dan diselenggarakan dari, oleh, dan untuk masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, yang berguna untuk memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar, terutama untuk mempercepat penurunan angka kematian ibu dan bayi (Depkes RI, 2000). Menurut
Briawan
(2012),
sasaran
posyandu
adalah
seluruh
masyarakat, utamanya yaitu: bayi, anak balita, ibu hamil, ibu nifas dan ibu menyusui serta Pasangan Usia Subur (PUS). Pelayanan posyandu pada hari buka dilaksanakan dengan menggunakan 5 (lima) tahapan layanan yang biasa disebut sistem 5 (lima) meja. Kelompok sasaran yang selama ini dilayani
23
dalam kegiatan yang ada di posyandu, yaitu 3 (tiga) kelompok rawan yaitu di bawah dua tahun (baduta), di bawah lima tahun (balita), ibu hamil dan ibu menyusui, dengan mempertimbangkan terhadap urgensi adanya gangguan gizi yang cukup bermakna yang umumnya terjadi pada anak baduta yang bila tidak diatasi dapat menimbulkan gangguan yang tetap, maka diberikan perhatian yang khusus bagi anak baduta agar dapat tercakup dalam pemantauan pertumbuhan di posyandu posyandu (Hartono, 2008). Menurut Agustian (2009) tujuan penyelenggaraan posyandu yaitu: 1.
menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), dan angka kematian ibu (ibu hamil, melahirkan dan nifas);
2.
membudayakan Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS);
3.
meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk
4.
mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB serta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat dan sejahtera;
5. berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera. Menurut Briawan (2012), pelaksanaan posyandu dikenal dengan sistem 5 (lima) meja yang terdiri dari: 1.
meja pertama Kader mendaftar balita dan menulis nama balita pada satu lembar kertas kecil dan diselipkan pada KMS. Peserta yang baru pertama kali datang ke posyandu, maka dituliskan namanya, kemudian diselipkan satu lembar kertas kecil yang bertuliskan nama bayi atau balita pada KMS.
24
Kader juga mendaftar ibu hamil dengan menulis nama ibu hamil pada formulir atau register ibu hamil. Ibu hamil yang datang ke posyandu, langsung menuju meja 4 sedangkan ibu hamil baru atau belum mempunyai buku KIA, maka diberikan buku KIA. 2.
meja kedua Kader melakukan penimbangan balita dengan menggunakan timbangan dacin, dan selanjutnya menuju meja 3.
3.
meja ketiga Kader mencatat hasil timbangan yang ada pada satu lembar kertas kecil dipindahkan ke dalam buku KIA atau KMS. Cara pengisian buku KIA atau KMS yaitu sesuai petunjuk petugas kesehatan.
4.
meja keempat Menjelaskan data KMS (keadaan anak) yang digambarkan dalam grafik, memberikan penyuluhan, pelayanan gizi dan kesehatan dasar. Meja 4 dilakukan rujukan ke puskesmas pada kondisi tertentu, yaitu: a. balita dengan berat badan di bawah garis merah; b. berat badan balita 2 bulan berturut-turut tidak naik; c.
sakit (diare, busung lapar, lesu, badan panas tinggi, batuk 100 hari dan sebagainya);
d.
ibu hamil (pucat, nafsu makan berkurang, gondok, bengkak di kaki, pusing terus menerus, pendarahan, sesak nafas, muntah terus menerus dan sebagainya).
25
5.
meja kelima Khusus di meja 5, yang memberi pelayanan adalah petugas kesehatan atau bidan. Pelayanan yang diberikan yaitu: imunisasi; keluarga berencana; pemeriksaan ibu hamil; dan pemberian tablet tambah darah, kapsul yodium dan lain-lain.
D. Keaktifan Ibu ke Posyandu
Menurut Mikklesen (2003), partisipasi adalah keterlibatan masyarakat secara sukarela atas diri mereka sendiri dalam membentuk perubahan yang diinginkan. Partisipasi juga dapat diartikan Mikkelsen sebagai keterlibatan masyarakat dalam upaya pembangunan lingkungan, kehidupan, dan diri mereka sendiri. Tingkat kehadiran ibu dikategorikan baik apabila garis grafik berat badan pada KMS tidak pernah putus (hadir dan ditimbang setiap bulan di posyandu), sedangkan apabila garis grafik tersambung dua bulan berturutturut, dan kurang apabila garis grafik pada KMS tidak terbentuk atau tidak hadir dan tidak ditimbang setiap bulan di posyandu (Madanijah & Triana, 2007). Setiap anak umur 12-59 bulan memperoleh pelayanan pemantauan pertumbuhan setiap bulan, minimal 8 kali dalam setahun yang tercatat di kohort anak balita dan prasekolah, buku KIA K IA atau KMS, atau buku pencatatan pencatat an dan pelaporan lainnya. Ibu dikatakan aktif ke posyandu jika ibu hadir dalam mengunjungi posyandu pos yandu sebanyak ≥ 8 kali dalam 1 tahun, sedangkan ibu
26
dikatakan tidak aktif ke posyandu jika ibu hadir dalam mengunjungi posyandu < 8 kali dalam 1 tahun (Departemen Kesehatan RI, 2008).
27
BAB III KERANGKA KONSEP
A. Dasar Penelitian Variabel yang Diteliti
Partisipasi masyarakat, diartikan sebagai adanya motivasi dan keterlibatan masyarakat secara aktif dan terorganinsasi dalam seluruh tahap pembangunan, mulai dari persiapan, perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, monitoring dan evaluasi serta pengembangan. Perilaku masyarakat yang berpengaruh besar terhadap derajat kesehatan, dalam hal ini peneliti ingin mngungkapkan
permasalahan
tentang
hubungan
pemberian
makanan
tambahan (PMT) penyluhan siap saji dengan partisipasi ibu ke posyandu di Desa Purnakaraya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros , dikarenakan partisipasi ibu
ke posyandu merupakan salah satu faktor penentu gizi
balitanya dapat terpenuhi.
B. Skema Kerangka Konsep
Berdasarkan konsep pemikiran seperti yang telah dikemukakan di atas maka di susunlah kerangka konsep variabel yang diteliti sebagai berikut :
Penilaian Status Gizi Penyuluhan Pengolahan Makanan Tambahan
Partisipasi Ibu dan anak balita di Pos andu Pelan i
Pemberian Makanan Tambahan
28
Keterangan : Variable independen Variable dependen B. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif 1. Penilaian Status Gizi
Definisi
Operasional
Penilaian
Status
gizi
adalah
suatu
keseimbangan asupan seseoarang yang merupakan suatu indikator baik tidaknya ketersedian makanan sehari hari. Kriteria Objektif a. Gzi baik bila BB/U dan TB/U Normal b. Gizi buruk bila bila BB/U dan TB/U Tidak Normal 2. Penyuluhan PMT Pemulihan
Definisi Operasional Penyuluhan PMT Pemulihan merupakan makanan tambahan disamping makanan sehari-hari, berbentuk makanan lengkap porsi kecil,. Diberikan oleh puskesmas kepada semua balita, yang merupakan keluarga miskin dan mempunyai kartu Askeskin yang mendapat PMT dari puskesmas, dalam penelitian ini peneliti menyediakan PMT penyulhan siap saji berupa makanan lengkap porsi kecil diantaranya Sup, Bubur Ayam dan Telur ayam rebus serta memberikan penyuluhann tentang bagaimana mengolah makanan tambahan yang baik.
29
3. Pemberian Makanan Tambahan (PMT)
Definisi OperasionalStatus PMT adalah Pemberian Makanan Tambahan yang berupa makanan Tinggi Kalori Tinggi Protein dengan syarat mengandung 360-430 kkal energi dan 9-11 gram protein. Kriteria Objektif dengan skala nominal yaitu yaitu : a. (0), tidak mendapat PMT yang memenuhi standar energi dan protein b. (1), mendapat PMT yang memenuhi standar energi dan protein 4. Partisipasi Ibu ke Posyandu
Definisi OperasionalPartisipasi ibu di posyandu adalah jumlah kehadiran ibu di posyandu tiap bulan untuk menimbang anak balit anya. Kriteria Objektif, dengan skala rasio: a. Dikatakan aktif bila jumlah kehadiran ibu di posyandu posyandu ≥ 3 kali dalam sebulan b. Dikatakan tidak aktif bila jumlah kehadiran ibu di posyandu≤3 posyandu≤3 kali dalam sebulan B. Hipotesis 1.
Hipotesis Null (Ho)
a.
Tidak ada hubungan status gizi balita dengan partisipasi ke posyandu Pelangi di Desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros
b.
Tidak ada
hubungan pengolahan makanan tambahan (PMT)
penyuluhan siap saji dengan partisipasi ibu ke posyandu Pelangi di Desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
30
c. Tidak ada
hubungan pemberian makanan tambahan (PMT)
penyluhan siap saji sup, telur ayam rebus dan bubur kacang hijau dengan partisipasi ibu ke posyandu Pelangi di Desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. 2. Hipotesis Alternative (Ha)
a.
Ada hubungan status gizi balita
makanan tambahan (PMT)
penyluhan siap s iap saji dengan partisipasi ke posyandu Pelangi Pela ngi di Desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros. b.
Ada hubungan pengolahan makanan tambahan (PMT) penyuluhan siap saji dengan partisipasi ibu ke posyandu Pelangi di Desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
c.
Ada hubungan pemberian makanan tambahan (PMT) penyluhan siap saji sup, telur ayam rebus dan bubur ayam dengan partisipasi ibu ke posyandu Pelangi
di
Desa
Purnakarya
Kecamatan
Tanralili
Kabupaten Maros.
31
BAB IV METODE PENELETIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif untuk mengetahui hubungan antara variabel Penyuluhan Pemberian Makanan Tambahan Tambahan (PMT) siap saji, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) serta pengetahuan ibu mengolah bahan makanan tambahan siap sajiterhadap partisipasi ibu balita dalam kegiatan kegiatan di posyandu Pelangi desa Purnakarya Purnakarya Kecamatan tanralili Kabupaten Maros. B. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian
ini
akan
dilaksanakan
di
posyandu
Pelangi
Desa
Purnakarya pada wilayah Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros pada bulan Mei 2015. C. Populasi dan Sampel a. Populasi
Keseluruhan ibu yang mempunyai
balita di wilayah kerja
posyandu Pelangi desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
b. Sampel
Dalam penelitian ini sampel yaitu seluruh ibu yang mempunyai balita di wilayah kerja posyandu Pelangi Desa Purnakarya Kecamatan Tanralili Kabupaten Maros.
32
c. Responden
Responden dalam penelitian ini adalah ibu yang membawa balita nya ke posyandu pelangi yang mendapat PMT penyuluhan siap s aji. D. Cara pengambilan sampel
Adapun teknik pengambilan sampel yang dilakukan yaitu dengan cara purposive sampling yaitu yaitu teknik menentukan sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan yang dikehendaki (Sugiyono, 2011). E. Metode pengumpulan data 1. Data primer
Data primer diperoleh dengan wawancara secara langsung dengan instrument kuisioner terhadap ibu yang membawa membawa balita nya ke posyandu untuk memperoleh PMT penyuluhan siap saji. 2. Data sekunder
Data sekunder diperoleh melalui catatan bagian gizi diwilayah kerja posyandu pelangi Desa Purnakarya Purnakarya KecamatanTanralili Kabupaten Maros. F. Instrumen Instrumen Penelitian.
1. Kuisioner 2. Timbangan Bayi G. Pengolahan data dan penyajian data 1.
Pengolahan Data
Data yang telah diperoleh dari kuisiopner kemudian diolahmenggunakan software SPSS Versi 18,0.
33
2.
Penyajian dan analisa data
Data-data yang telah diolah dan dianalisis disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan narasi dengan menggunakan uji chi-squareterutama chi-squareterutama untuk menguji hipotesis yaitu : 1.
Apabila nilai p
2.
Apabila nilai p ≤ a, maka Ho diterima; Untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu
penghasilan
orangtua
baduta
terhadap
pemberian
MP-ASI,
serta data
dimasukkan dalam table silan 2x2 kemudian dihubungkan dengan rumus chi-kuadrat pada pada a = 0,05. H. Personalia Penelitian
1.
Pembimbing I
: Prof. Dr. Ir. H. Jalil Genisa, M.S
2.
Pembimbing II
: Ir. H. Rusdi, M.Kes
3.
Peneliti
:
a. Nama
: Rosmiati
b. NIM
: 1320013
34