KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan laporan kasus kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Dalam di RSUD Kota Cilegon yang berjudul HEPATITIS C. Tujuan dari penyusunan laporan kasus ini adalah untuk memenuhi tugas yang didapat saat kepaniteraan di RSUD Cilegon. Dari laporan kasus ini saya mendapat banyak hal dan dapat lebih memahami terapi dan keadaan pasien. Dalam menyusun laporan kasus ini tentunya tidak lepas dari pihak-pihak yang membantu saya. Saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Didiet Pratignyo, SpPDFINASIM atas bimbingan, saran, kritik dan masukannya dalam men yusun laporan kasus ini. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada orangtua yang selalu mendoakan dan teman-teman serta pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu me mbantu dalam pembuatan laporan kasus ini. Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya. Saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk membuat laporan kasus ini lebih baik. Terima kasih.
Cilegon, November 2015
Penulis
1
DAFTAR ISI Kata Pengantar ........................................................................................................ 1 Daftar isi................................................................................................................... 2 Laporan kasus
1. Identitas ..................................................... ...................................................................................................... ................................................. 3 2. Anamnesis..................................................................................................
3
3. Pemeriksaan fisik.......................................................... .............................
7
4. Pemeriksaan penunjang.................................. ............................................
9
5. Diagnosis....................................................................................................
11
6. Diagnosis banding.............................. ...................................................... ........................................................ ..
13
7. Terapi.........................................................................................................
14
8. Prognosis....................................................................................................
14
9. Follow up.............................................. .....................................................
15
Analisa kasus........................................................................................................
19
………………...…………………………………… …………………………………… .. BAB I PENDAHULUAN ………………...
26
1. Pendahuluan............................. ................................................... ..............
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. Hepatitis C…………………………………… C……………………………………... ...………………… …………………....... .......
27
2.1. Definisi……................................................................................. Definisi…….................................................................................
27
2.2. Epidemiologi………… Epidemiologi…………................................................................. .................................................................
27
2.3. Etiologi….. Etiologi…....................................................................................... .....................................................................................
28
2.4. Patogenesis......................................................... ............................
29
2.5. Manifestasi Klinis.............................................................. ............
33
2.6. Diagnosis………………………………………………… Diagnosis…………………………………………………..……..
36
2.7. Penatalaksanaan…………………………………………………
40
2.8. Komplikasi………………………………… Komplikasi…………………………………... ...…………………. ………………….
45
2.9. Pencegahan................................. ...................................................
45
2.10. Prognosis………………………………………………………. Prognosis……………………………………………………….
46
BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................
47
BAB IV KESIMPULAN ......................................................................................
48
Daftar Pustaka ....................................................................................................... 49 2
PRESENTASI KASUS KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CILEGON FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
Topik
: Hepatitis C
Penyusun
: Ovienanda Kristi Purbasari
I. Identitas Pasien
Nama
: Tn. Y
Usia
: 46 tahun
Pekerjaan
: Karyawan Swasta
Agama
: Islam
Alamat
: Link. Langun Indah
Pendidikan
: SMP
No. CM
: 849***
Pembiayaan
: BPJS
Tanggal Berobat
: 28 Oktober 2015
Ruangan
: Anggrek RSUD Cilegon
II. Anamnesa
Dilakukan secara auto-anamnesa pada tanggal 31 Oktober 2015 di 2015 di IGD RSUD Cilegon pukul 13.00 WIB.
o
Keluhan Utama:
Nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas sejak ± 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. o
Keluhan Tambahan:
Lemas, pusing, demam dan mual.
3
o
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 02.00 WIB dengan keluhan nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas sejak ± 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing, demam dan mual. Saat datang ke IGD tekanan darah pasien 160/ 80 mmHg. Pasien mengaku sering merasa kelelahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini dan riwayat sakit kuning sebelumnya. Pasien juga mengaku memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, dengan frekuensi lebih dari 2x dalam seminggu dan lebih dari 1 botol. Pasien sering melakukan kegiatan donor darah dan tidak pernah melakukan transfusi darah. Riwayat melakukan free sex juga disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan tidak ada riwayat BAB berwarna hitam namun BAB dirasakan keras dan BAK dalam batas normal. Riwayat Penyakit Dahulu:
o
Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama disangkal. Riwayat penyakit jantung disangkal. Riwayat TB Paru sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit DM disangkal. Riwayat penyakit hipertensi disangkal. Riwayat asma dan alergi disangkal. o
Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang mengeluh keluhan yang sama dengan pasien Riwayat DM pada keluarga disangkal Riwayat TB paru pada keluarga disangkal Riwayat asma dan alergi pada keluarga disangkal Riwayat penyakit hipertensi pada keluarga disangkal o
Anamnesis Sistem:
Tanda checklist (+) menandakan keluhan pada sistem tersebut. Tanda strip (-) menandakan keluhan di sistem tersebut disangkal oleh pasien. Kulit (-)
Bisul
(-)
Rambut
(-)
Keringat malam
(-)
Kuku
(-)
Ikterus
(-)
Sianosis
(-)
Lain-lain 4
Kepala (-)
Trauma
(+)
Nyeri kepala
(-)
Sinkop
(-)
Nyeri sinus
(-)
Nyeri
(-)
Sekret
(-)
Radang
(-)
Gangguan penglihatan
(-)
Sklera Ikterus
(-)
Penurunan ketajaman penglihatan
(-)
Congjungtiva Anemis
Mata
Telinga (-)
Nyeri
(-)
Tinitus
(-)
Sekret
(-)
Gangguan pendengaran
(-)
Kehilangan pendengaran
Hidung (-)
Trauma
(-)
Gejala penyumbatan
(-)
Nyeri
(-)
Gangguan penciuman
(-)
Sekret
(-)
Pilek
(-)
Epistaksis
Mulut (-)
Bibir
(-)
Lidah
(-)
Gusi
(-)
Gangguan pengecapan
(-)
Selaput
(-)
Stomatitis
(-)
Perubahan suara
Tenggorokan (-)
Nyeri tenggorok
Leher 5
(-)
Benjolan/ massa
(-)
Nyeri leher
Jantung/ Paru (-)
Nyeri dada
(+)
Sesak nafas
(-)
Berdebar-debar
(-)
Batuk darah
(-)
Ortopnoe
(-)
Batuk
Abdomen (Lambung / Usus) (-)
Rasa kembung
(-)
Perut membesar
(+)
Mual
(-)
Wasir
(-)
Muntah
(-)
Mencret
(-)
Muntah darah
(-)
Melena
(-)
Sukar menelan
(-)
Tinja berwarna dempul
(+)
Nyeri perut
(-)
Benjolan
Saluran Kemih / Alat Kelamin (-)
Disuria
(-)
Kencing nanah
(-)
Stranguri
(-)
Kolik
(-)
Poliuria
(-)
Oliguria
(-)
Polakisuria
(-)
Anuria
(-)
Hematuria
(-)
Retensi urin
(-)
Batu ginjal
(-)
Kencing menetes
(-)
Ngompol
(-)
Kencing seperti air teh
(-)
Perdarahan
(-)
Sukar menggigit
Katamenis (-)
Leukore
(-)
Lain-lain
Otot dan Syaraf (-)
Anestesi
6
(-)
Parestesi
(-)
Ataksia
(-)
Otot lemah
(-)
Hipo/hiper-estesi
(-)
Kejang
(-)
Pingsan / syncope
(-)
Afasia
(-)
Kedutan (tick)
(-)
Amnesis
(-)
Pusing (Vertigo)
(-)
Lain-lain
(-)
Gangguan bicara (disartri)
Ekstremitas (-)
Bengkak (Kedua Kaki)
(-)
Deformitas
(-)
Nyeri sendi
(-)
Sianosis
III. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2015 pukul 13.00 WIB VITAL SIGNS: - Kesadaran
: Compos mentis
- Keadaan Umum : Sakit Sedang - Tekanan Darah
: 120/80 mmHg (160/80)
- Nadi
: 80 kali/menit (92x)
- Respirasi
: 20x kali/menit
- Suhu
: 36,00C
- BB/TB
: tidak ditanyakan
STATUS GENERALIS: - Kulit
: Berwarna coklat muda, suhu normal, dan turgor kulit baik.
- Kepala
: Bentuk oval, simetris, ekspresi wajah terlihat normal.
- Rambut
: Hitam, lebat, tidak rontok.
- Alis
: Hitam, tumbuh lebat, tidak mudah dicabut.
- Mata
: Tidak exophthalmus, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil bulat dan isokor, tidak terdapat benda asing, pergerakan bola mata baik.
7
- Hidung
: Tidak terdapat nafas cuping hidung, tidak deviasi septum, tidak ada sekret, dan tidak hiperemis.
- Telinga
: Bentuk normal, liang telinga luas, tidak ada sekret, tidak ada darah, tidak ada tanda radang, membran timpani intak.
- Mulut
: Bibir tidak sianosis, gigi geligilengkap, gusi tidak hipertropi, lidah tidak kotor, mukosa mulut basah, tonsil T1-T1 tidak hiperemis.
- Leher
:Tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening pada submentalis, subklavikula, pre-aurikula, post-aurikula, oksipital, sternokleidomastoideus, dan supraklavikula. Tidak terdapat pembesaran tiroid, trakea tidak deviasi.
- Thoraks
: Normal, Simetris kiri dan kanan, tidak terlihat pelebaran vena, tak terdapat spider nevy.
Paru-paru Inspeksi
: Pergerakan dinding dada simetris kanan dan kiri pada saat statis dan dinamis, perbandingan trasversal : antero posterior = 2:1, tidak terdapat retraksi dan pelebaran sela iga.
Palpasi
:
Tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas, tidak terdengar adanya krepitasi, fremitus taktil dan vokal kiri simetri kanan dan kiri.
Perkusi
:Sonor pada seluruh lapangan paru dan terdapat peranjakan paru hati pada sela iga VI.
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba di ICS IV linea midklavikula sinistra, dan tidak terdapat thrill
Perkusi
: Batas jantung kanan pada ICS IV linea para sternalis dextra, batas jantung kiri pada ICS V linea midklavikula sinistra, pinggang jantung pada ICS 3 parasternal sinistra.
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II normal, tidak terdapat murmur dan gallop.
8
- Abdomen Inspeksi
: Tampak simetris, tidak tegang, tidak terdapat kelainan kulit, tidak ditemukan adanya spider nevy. tidak terlihat massa, tidak pelebaran vena, tidak terdapat caput medusa.
Auskultasi
: Bising usus(+), bising aorta abdominalis tidak terdengar.
Palpasi
: Supel, turgor baik, terdapat nyeri tekan pada epigastik dan hipokondrium kiri. Tidak teraba massa, hepatomegaly (-) splenomegaly (-), Ballotement (-), Undulasi (-).
Perkusi
: Suara timpani di semua lapang abdomen, terdapat nyeri ketuk pada epigastrium, shifting dullness (-).
- Genitalia
: Tidak dilakukan pemeriksaan
5 5
- Ekstremitas : Akral hangat, cappilary refill kurang dari 2 detik, kekuatan otot Tidak terdapat edema pada kedua tungkai, tidak terdapat palmar
5 5
eritem, tidak terdapat clubbing finger. - Refleks fisiologis dan patologis : tidak dilakukan pemeriksaan.
IV. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : PEMERIKSAAN
28 Oktober
30 Oktober
NORMAL
Hematologi
Hemoglobin
13,1
14 – 18 gr/dl
Hematokrit
38,9
40 – 48 %
6.810
5.000 – 10.000 /uL
Trombosit
135.000
150.000 – 450.000/uL
GDS
83
<200 mg/dl
Leukosit
Fungsi Hati
9
SGPT
114
0 – 37 U/l
SGOT
79
0 – 41 U/l
Natrium
143,6
135-155 mmol/l
Kalium
3,54
3,6-5,5 mmol/l
Klorida
104,1
97-107 mmol/l
Elektrolit
Imuno Serologi
HBsAg
Negative
(-)
Anti HAV
Negative
(-)
Anti HCV
Positive
(-)
Fungsi ginjal
Ureum
15
17-43 mg/dl
Creatinin
0,8
0,7 -1,1
Pemeriksaan Penunjang:
-
USG Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
-
EKG
10
Irama
: Sinus
Axis
: Normal
HR
: 57x/menit reguler
V. Diagnosis Diagnosis Kerja : Sindroma Dispepsia, Hipertensi, Hepatitis C Dasar diagnosis : Anamnesis
Pasien datang ke IGD RSUD Cilegon pada tanggal 28 Oktober 2015 pukul 02.00 WIB dengan keluhan nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas sejak ± 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing, demam dan mual. Saat datang ke IGD tekanan
11
darah pasien 160/ 80 mmHg. Pasien mengaku sering merasa kelelahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini dan riwayat sakit kuning sebelumnya. Pasien juga mengaku memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, dengan frekuensi lebih dari 2x dalam seminggu dan lebih dari 1 botol. Pasien sering melakukan kegiatan donor darah dan tidak pernah melakukan transfusi darah. Riwayat melakukan free sex juga disangkal oleh pasien. Pasien mengatakan tidak ada riwayat BAB berwarna hitam namun BAB dirasakan keras dan BAK dalam batas normal. Pemeriksaan fisik :
-
Didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium dan daerah hipokondrium sinistra.
Pemeriksaan lab :
Laboratorium : 28 Oktober
30 Oktober
NORMAL
Hemoglobin
13,1
5,8
14 – 18 gr/dl
Hematokrit
38,9
19,8
40 – 48 %
6.810
4.240
5.000 – 10.000 /uL
Trombosit
135.000
107.000
150.000 – 450.000/uL
GDS
83
<200 mg/dl
SGPT
114
0 – 37 U/l
SGOT
79
0 – 41 U/l
143,6
135-155 mmol/l
PEMERIKSAAN Hematologi
Leukosit
Fungsi Hati
Elektrolit
Natrium
12
Kalium
3,54
3,6-5,5 mmol/l
Klorida
104,1
97-107 mmol/l
Imuno Serologi
HBsAg
Negative
(-)
Anti HAV
Negative
(-)
Anti HCV
Positive
(-)
Fungsi ginjal
Ureum
15
17-43 mg/dl
Creatinin
0,8
0,7 -1,1
Pemeriksaan Penunjang:
-
USG Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
VI. Diagnosis Banding
- Alcoholic Hepatitis -
Cholangitis
-
Hemochromatosis
-
Hepatitis A, B, D, E
-
Hepatoseluler Karsinoma
-
Wilson Disease
VII. Pemeriksaan yang Dianjurkan
-
USG Abdomen/CT Scan/MRI EKG Elektrolit Fungsi hati Ureum / kreatinin 13
-
Cek kolestrol total, HDL, LDL, TG Pemeriksaan albumin, globulin PT, APTT Pemeriksaan serologi A, B,C Urin lengkap
VIII. Terapi yang diberikan
IGD
ANGGREK
IVFD RL
20 tpm
IVFD RL 20 tpm
Curcuma
3x1 tab
Ranitidin 2x1 amp
Amlodipin
1x5 mg
Amlodipin 1x5 mg
KSR
2x1 tab
Curcuma 3x1 tab
Ranitidin
1 amp
KSR 3x1
Ketorolac
1 amp
Asam Mefenamat 3x1 tab
Laxadin 2x1 C
IX. Prognosis
- Quo ad vitam
: ad malam
- Quo ad functionam : ad malam - Quo ad sanactionam : ad malam
14
FOLLOW UP
1. Rabu, 28 Oktober 2015 TD: 100/70 mmHg N: 84x/menit S: Pasien mengeluhkan nyeri perut, mual, dan pusing.
O: KU: TSS KS: CM Kepala: Normocephale Mata: CA (-/-) SI (-/-) THT: dbn Cor: BJI-BJII regular, G(-), M(-) Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (-/-) Abd: Supel, pelebaran vena (), BU (+), aorta abdominalis tidak terdengar, shifting dullness (-), splenomegaly (-), hepatomegaly (-), undulasi (-), NT (+) epigastrik. Eks: Edema kedua tungkai (-), akral hangat.
R: 20x/menit S: 36,0 ̊C A: Sindroma dispepsia, Hipertensi, Hepatitis C
P: IVFD RL 20 tpm Inj. Ranitidin 1 amp Inj. Ketorolac 1 amp Amlodipin 1x 5mg Curcuma 3x1 tab KSR 3x1 Ranitidin 2x1 tab
15
2. Kamis, 29 Oktober 2015 TD: 120/80 mmHg N: 88x/menit S: Pasien mengatakan demam naik turun, pusing sudah berkurang, dan nyeri ulu hati berkurang.
O: KU: TSS KS: CM Kepala: Normocephale Mata: CA (-/-) SI (-/-) THT: dbn Cor: BJI-BJII regular, G(-), M(-) Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (/-) Abd: Supel, pelebaran vena (-), BU (+), aorta abdominalis tidak terdengar, shifting dullness (-), splenomegaly (-), hepatomegaly (-), undulasi (-), NT (+) epigastrik. Eks: Edema kedua tungkai (-), akral hangat.
R: 20x/menit S: 36,2̊ C A: Sindroma dispepsia, Hipertensi, Hepatitis C
P: IVFD RL 20 tpm Ranitidin 2x1 tab Curcuma 3x1 Amlodipin 1x5mg Asam Mefenamat 3x1 EKG
16
3. Jumat, 30 Oktober 2015 TD: 110/70 mmHg N: 80x/menit S: Pasien mengatakan pusing, dan nyeri perut ulu hati.
-
O: KU: TSS KS: CM Kepala: Normocephale Mata: CA (-/-) SI (-/-) THT: dbn Cor: BJI-BJII regular, G(-), M(-) Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (/-) Abd: Supel, pelebaran vena (-), BU (+), aorta abdominalis tidak terdengar, shifting dullness (-), splenomegaly (-), hepatomegaly (-), undulasi (), NT (+) epigastrik. Eks: Edema kedua tungkai (-), akral hangat.
R: 20x/menit S: 36,2 ̊C A: Sindroma dispepsia, Hipertensi, Hepatitis C
P: IVFD RL 20 tpm Ranitidin 2x1 tab Curcuma 3x1 Amlodipin 1x5mg Asam Mefenamat 3x1 Laxadin 2x1C
USG Abdomen (2 November 2015) : Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
17
4. Sabtu, 31 Oktober 2015 TD: 120/90 mmHg N: 78x/menit S: Pasien mengatakan nyeri perut ulu hati, BAK dan BAB dalam batas normal.
O: KU: TSS KS: CM Kepala: Normocephale Mata: CA (-/-) SI (-/-) THT: dbn Cor: BJI-BJII regular, G(-), M(-) Pulmo: SNV, rh (-/-), wh (/-) Abd: Supel, pelebaran vena (-), BU (+), aorta abdominalis tidak terdengar, shifting dullness (-), splenomegaly (-), hepatomegaly (-), undulasi (-), NT (+) epigastrik. Eks: Edema kedua tungkai (-), akral hangat.
R: 22x/menit S: 36,5 ̊C A: Sindroma dispepsia, Hipertensi, Hepatitis C
P: IVFD RL 20 tpm Ranitidin 2x1 tab Curcuma 3x1 Amlodipin 1x5mg Asam Mefenamat 3x1 Laxadin 2x1C
18
ANALISA KASUS 1. Apakah penegakan diagnosis akhir pada pasien ini sudah benar?
Ya. Berdasarkan anamnesis didapatkan keluhan nyeri perut daerah ulu hati dan kiri atas sejak ± 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing, demam dan mual. Saat datang ke IGD tekanan darah pasien 160/ 80 mmHg. Os juga memiliki kebiasaan minum alkohol. Pasien sering melakukan kegiatan donor darah dan tidak pernah melakukan transfusi darah. TTV (31 Oktober 2015) : - Kesadaran : Compos mentis - Keadaan Umum : Sakit Sedang - Tekanan Darah : 120/80 mmHg - Nadi : 80 kali/menit - Respirasi : 20x kali/menit - suhu : 36,00C - BB/TB : tidak ditanyakan
-
Pemeriksaan Fisik : Didapatkan nyeri tekan pada daerah epigastrium dan daerah hipokondrium sinistra. Pemeriksaan Penunjang: Laboratorium :
PEMERIKSAAN
28 Oktober
30 Oktober
NORMAL
Hematologi
Hemoglobin
13,1
14 – 18 gr/dl
Hematokrit
38,9
40 – 48 %
6.810
5.000 – 10.000 /uL
Trombosit
135.000
150.000 – 450.000/uL
GDS
83
<200 mg/dl
114
0 – 37 U/l
Leukosit
Fungsi Hati
SGPT
19
SGOT
79
0 – 41 U/l
Natrium
143,6
135-155 mmol/l
Kalium
3,54
3,6-5,5 mmol/l
Klorida
104,1
97-107 mmol/l
Elektrolit
Imuno Serologi
HBsAg
Negative
(-)
Anti HAV
Negative
(-)
Anti HCV
Positive
(-)
Fungsi ginjal
Ureum
15
17-43 mg/dl
Creatinin
0,8
0,7 -1,1
Pemeriksaan Radiologi:
-
USG: Kesan: Struktur hepar, kandung empedu, pankreas, lien, ginjal dan vu baik.
20
Menurut Teori:
2. Apakah penatalaksanaan pada pasien ini sudah adekuat?
Pada pasien ini tatalaksana yang diberikan sudah tepat. Pada kasus ini pasien mengalami hepatitis C kronik, sehingga pemberian interferon tidak diperlukan karena dikhawatirkan terjadi resistensi. Menurut teori, pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada kelompok pasien ini 21
interferon dapat digunakan secara monoterapi tanpa ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan. 3. Bagaimana cara penularan Hepatitis C pada pasien ini dan bagaimana perjalanan penyakit tersebut?
Pada pasien ini cara penularan virus hepatitis C tidak diketahui, karena saat pasien dianamnesis tentang faktor risiko penularan HCV, tidak didapatkan pencetus penularan HCV terhadap pasien. Penularan Hepatitis C biasanya melalui kontak langsung dengan darah atau produknya dan jarum atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi. Dalam kegiatan sehari-hari banyak resiko terinfeksi Hepatitis C seperti berdarah karena terpotong atau mimisan, atau darah menstruasi. Perlengkapan pribadi yang terkena kontak oleh penderita dapat menularkan virus Hepatitis C (seperti sikat gigi, alat cukur atau alat manicure). Resiko terinfeksi Hepatitis C melalui hubungan seksual lebih tinggi pada orang yang mempunyai lebih dari satu pasangan. Penularan Hepatitis C jarang terjadi dari ibu yang terinfeksi Hepatitis C ke bayi yang baru lahir atau anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, jika sang ibu juga penderita HIV positif, resiko menularkan Hepatitis C sangat lebih memungkinkan. Menyusui tidak menularkan Hepatitis C. Jika anda penderita Hepatitis C, anda tidak dapat menularkan Hepatitis C ke orang lain melalui pelukan, jabat tangan, bersin, batuk, berbagi alat makan dan minum, kontak biasa, atau kontak lainnya yang tidak terpapar oleh darah. S eorang yang terinfeksi. Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati, hepatitis C kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling berbahaya dan dalam waktu lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati, penyakit hati terutama hepa titis C penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Saat hati menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki sendiri membentuk fibrosis, yang menunjukkan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis.
22
4. Apakah prognosis pada pasien ini?
Prognosis pada pasien ini quo ad vitam adalah dubia ad bonam karena pada dasarnya penyakit pada hepatitis C tidak mengancam nyawa. Untuk quo ad functionam adalah dubia ad bonam karena dari pemeriksaan USG didapatkan kesan struktur hepar baik namun pasien harus tetap melakukan fibroscan atau biopsi hepar untuk mengetahui seberapa besar kerusakan hati. Untuk quo ad sanactionam dubia ad malam karena proses penyakit hepatitis C pasien sudah menajadi masuk ketahap kronis sehingga besar kemungkinan untuk menjadi sirosis hepar. 5. Bagaimana pathogenesis terjadinya Hepatitis C?
HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan CD8 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar hepatosit. Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat bahan-bahan untuk proses reproduksi. Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian 23
menbajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak. RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi masal poliprotein (proses translasi). Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA asli. Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan kopi identik materi genetik virus. Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C. Setiap kopi virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus baru. Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah menembus membran sel. 6. Kapan pasien dengan Hepatitis C diberikan terapi antivirus?
Pengobatan lebih efektif bila diberikan selama infeksi akut. Orang dengan penyakit hati yang ringan tidak memerlukan pengobatan segera. Pengobatan harus ditawarkan kepada orang-orang dengan kerusakan hati sedang, karena mereka berada pada risiko sirosis. Orang dengan sirosis kompensasi dapat diobati, tetapi pengobatan mungkin kurang efektif, dan efek samping mungkin lebih buruk. Pemantauan hati-hati diperlukan. Orang dengan sirosis dekompensasi tidak aman untuk pengobatan hepatitis C dan transplantasi hati adalah satu-satunya pilihan.
7. Edukasi yang disampaikan kepada pasien? Edukasi
Istirahat yang cukup
Atur pola makan Hindari makanan yang dapat menyebabkan penimbunan gas dalam lambung (ubi, singkong, kacangm erah, kol, sawi, lobak, nangka, durian)
Hindari makanan yang telah di awetkan (hamburger, sosis, ikan asin, kornet)
Pilih bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak (daging tidak berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit)
Pilih sayuran rendah serat (bayam, wortel, bit, labu siam, kacang panjang muda, buncismuda, kangkung)
Hindaribumbu-bumbumasakan yang terlalubanyakdandalambatas normal
Hindaribahanmakanan yang terlaluberlemak (daging, usus, otak, sumsum, santankental)
24
Diet seimbang kalori 35-40 kkal/KgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/kgBB/hari Rendah garam 5.2g atau 90mmol/hari
Hindari mengkonsumsi alcohol dan merokok
Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot
Kontrol Jika BAB berwarna hitam (melena)
Kontrol jika badan atau mata berwarna kuning (ikterik)
Kontrol jika terjadi bengkak (edema)
Kontrol jika perut terasa kembung (asites)
Pasien diharapkan segara datang kembali apabila ada penurunan kesadaran (koma hepatikum)
25
BAB I PENDAHULUAN
1. Pendahuluan Hepatitis virus akut merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hati. Hampir semua kasus hepatitis akut disebabkan oleh salah satu dari lima jenis virus meliputi virus hepatitis A (HAV), virus hepatitis B (HBV), virus hepatitis C (HCV), virus hepatitis D (HDV) dan virus hepatitis E (HEV). Semua virus tersebut merupakan virus RNA kecuali virus hepatitis B. Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada donor darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara 0,5%-3,37%. Sedangkan prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan kedua setelah hepatitis A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%25,9%).
Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah terinfeksi virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi meng enai infeksi VHC, namun menurut laporan lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi populasi umum di Jakarta prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak adalah berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan dengan status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksi dari ibu ke anak juga dilaporkan sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi. Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC melalui tindakan-tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis maupun operasi. Selain itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang didapatkan di Indonesia adalah genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3. Prevalensi yang tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien dialysis (70%). Pada saliva juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC melalui saliva dan kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk terjadinya infeksi dan transmisi VHC.
26
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. Hepatitis C 2.1. Definisi
Hepatitis C adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus hepatitis C yang dapat menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel – sel hati. Virus ini dapat mengakibatkan infeksi seumur hidup, sirosis hari, kanker hati dan kematian. Belum ada vaksin yang dapat melindungi terhadap HCV, dan diperkirakan 3% masyarakat Indonesia terinfeksi virus ini. 2.2. Epidemiologi
Hepatitis viral akut merupakan urutan pertama dari berbagai penyakit hati di seluruh dunia. Penyakit tersebut atau gejala sisanya bertanggung jawab atas 1-2 juta kematian setiap tahunnya. Di Indonesia, prevalensi anti-HCV pada dono r darah di beberapa tempat di Indonesia menunjukkan angka diantara 0,5%-3,37%. Sedan gkan prevalensi anti-HCV pada hepatitis virus akut menunjukkan bahwa hepatitis C (15,5%-46,4%) menempati urutan ke dua setelah hepatitis A (39,8%-68,3%) sedangkan urutan ketiga ditempati oleh hepatitis B (6,4%-25,9%). Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah terinfeksi virus ini. Di Indonesia belum terdapat laporan resmi men genai infeksi VHC, namun menurut laporan lembaga tranfusi darah didapatkan sekitar 2% positif terinfeksi. Pada studi populasi umum di Jakarta prevalensi VHC sekitar 4%. Pada umumnya transmisi terbanyak adalah berhubungan dengan tranfusi darah terutama yang dilakukan sebelum penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi VHC juga dihubungkan dengan status ekonomi yang rendah, pendidikan kurang dan perilaku seksual yang berisiko tinggi. Infeksid ari ibu ke anak juga dilaporkan sangat jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang menderita HIV karena jumlah VHC dikalangan ibu yang menderita HIV tinggi. Beberapa laporan juga menyebutkan bahwa dapat terjadi infeksi VHC melalui tindakan-tindakan medic seperti endoskopi, perawatan gigi, dialysis maupun operasi. Selain itu, VHC juga dapat ditransmisikan melalui luka tusukan jarum. Pada umumnya, genotip yang didapatkan di Indonesia adalah genotip 1 (sekitar 60-70%) diikuti oleh genotype 2 dan 3. Prevalensi yang tinggi didapatkan pada pasien pengguna narkotika suntik (>80%) dan pasien dialysis (70%). Pada saliva juga didapatkan VHC akan tetapi infeksi VHC melalui saliva dan kontak-kontak lain dalam rumah tangga diketahui sangat tidak efisien untuk terjadinya infeksi dan transmisi VHC.
27
2.3. Etiologi
Penyebab hepatitis C adalah Virus hepatitis C yang temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus dan memiliki selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal.
Target VHC adalah sel-sel hati dan mungkin juga limfosit B melalui reseptor yang mungkin sekali serupa dengan CD81 yang terdapat di sel hati maupun limfosit B atau reseptor LDL. Setelah berada dalam sitoplasma hati, VHC akan melepaskan selubung virusnya dan RNA virus siap untuk melakukan translasi protein dan kemudian replica RNA. Struktur gen VHC adalah sebuah RNA rantai tunggal, sepanjang kira-kira 10.000 pasang basa dengan daerah open reading frame (ORF) diapit susunan nukleotida yang tidak ditranslasikan. Kedua ujung VHC ini sangat terpelihara sehingga saat ini dipakai untuk identifikasi adanya infeksi VHC. Transalasi protein VHC dilakukan oleh ribosom sel hati yang akan membaca RNA VHC dari satu bagian spesifik tersebut. Penularan Hepatitis C biasanya melalui kontak langsung dengan darah atau produknya dan jarum atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi. Dalam kegiatan sehari-hari banyak resiko terinfeksi Hepatitis C seperti berdarah karena terpotong atau mimisan, atau darah menstruasi. Perlengkapan pribadi yang terkena kontak oleh penderita dapat menularkan virus Hepatitis C (seperti sikat gigi, alat cukur atau alat manicure). Resiko terinfeksi Hepatitis C melalui hubungan seksual lebih tinggi pada orang yang mempunyai lebih dari satu pasangan.
28
Penularan Hepatitis C jarang terjadi dari ibu yang terinfeksi Hepatitis C ke bayi yang baru lahir atau anggota keluarga lainnya. Walaupun demikian, jika sang ibu juga penderita HIV positif, resiko menularkan Hepatitis C sangat lebih memungkinkan. Menyusui tidak menularkan Hepatitis C. Jika anda penderita Hepatitis C, anda tidak dapat menularkan Hepatitis C ke orang lain melalui pelukan, jabat tangan, bersin, batuk, berbagi alat makan dan minum, kontak biasa, atau kontak lainnya yang tidak terpapar oleh dara h. Seorang yang terinfeksi. Pada umumnya cara penularan HCV adalah parental. Semula penularan HCV dihubungkan dengan transfusi darah atau produk darah, melalui jarum suntik. Tetapi setelah ditemukan bentuk virus dari hepatitis, makin banyak laporan mengenai cara penularan lainnya, yang umumnya mirip dengan cara penularan HBV, yaitu:3,4 1. Penularan horizontal Penularan HCV terjadi terutama melalui cara parental, yaitu tranfusi darah atau komponen produk darah, hemodialisa, dan penyuntikan obat secara intravena. 2.Penularan vertikal Penularan vertikal adalah penularan dari seseorang ibu pengidap atau penderita Hepatitis C kepada bayinya sebelum persalinan, pada saat persalinan atau beberapa saat persalinan.
2.4 Patogenesis
Studi mengenai mekanisme kerusakan sel hati karena VHC masih sulit dilakukan karena terbatasnya kultur sel untuk VHC dan tidak adanya hewan model kecuali simpanse yang dilindungi. Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih belum jelas. Namun beberapa bukti menunjukan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan kerusakan sel sel hati. Protein core misalnya ditenggarai dapat menimbulkan 29
reaksi pelepasan radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mempengaruhi proses signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi imunologik dan apoptosis, adanya bukti bukti ini men yebabkan kontroversi apakah VHC bersifat sitotoksik atau tidak, terus berlangsung. Reaksi cytokine T cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relative lemah masih mampu merusak sel sel hati dan melibatkan proses inflamasi di hati tetapi tidak bias menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetic VHC sehingga kerusakan sel hati berjalan terus menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivasi limfosit sel T helper (TH) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2 berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respon CTL. Reaksi yang dilibatkan melaluai sitokin sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α, TGF-β1, akan menyebabkan reksutmen sel sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivitas sel sel Stelata diruang disse hati. Sel-sel yang khas ini yang sebelumnya dalam keadaan “tenang” (quicent) kemudian berpoliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblast, yang dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam menghasilkan sitokin-sitokin pro-inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus menerus karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin banyak dan sel sel yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosi hati Pada gambaran histopatologis hepatitis kronik dapat ditemukan proses inflamasi berupa neksosis gergit, maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobules hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging fibrosis/nekrosis) gambaran yang khas untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobules hati namun tidak didapatkan pada semua kasus inflamasi akibat VHC Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam proses keberhasilan terapi dan prognosis. Secara histopatologis dapat dilakukan scoring untuk inflamasi dan fibrosis dihati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi pasien maupun komunikasi antara ahli patologi. Saat ini sistem scoring yang mempunyai variasi intra dan interoobserver yang baik diantaranya adalah METAVIR dan ISHAK. Sistem skoring Metavir digunakan untuk menilai pasien dengan h epatitis C. Tingkatan tersebut berdasarkan derajat inflamasi yang terjadi pada hepar antara lain: 0 1 2 3 4
: yaitu tidak ada luka : luka yang minimal : luka yang terjadi dan meluas ke area dari hepar termasuk pembuluh darah : fibrosis sudah mulai menyebar dan menghubungkan dengan area lain : sirosis dengan luka tingkat lanjut
30
Jika masuk ke dalam darah maka HCV akan segera mencari hepatosit (sel hati) dan kemungkinan sel limfosit B. Hanya dalam sel hati HCV bisa berkembang biak. Sulitnya membiakkan HCV pada kultur, juga tidak adanya model binatang non-primata telah memperlambat lajunya riset HCV. Namun daur hidup HCV telah dapat d ikemukakan seperti penjelasan dibawah ini:
Melalui gambar skematis di atas, proses siklus kehidupan HCV digambarkan secara alur skematis. 1.
HCV masuk ke dalam hepatosit dengan mengikat suatu reseptor permukaan sel yang spesifik. Reseptor ini belum teridentifikasi secara jelas, namun protein permukaan CD8 adalah suatu HCV binding protein yang memainkan peranan dalam masuknya virus. Salah satu protein khusus virus yang dikenal sebagai protein E2 menempel pada reseptor site di bagian luar hepatosit.
2.
Kemudian protein inti dari virus menembus dinding sel dengan suatu proses kimiawi dimana selaput lemak bergabung dengan dinding sel dan selanjutnya dinding sel akan melingkupi dan menelan virus serta membawanya ke dalam hepatosit. Di dalam hepatosit, selaput virus (nukleokapsid) melarut dalam sitoplasma dan keluarlah RNA virus (virus uncoating) yang selanjutnya mengambil alih peran bagian dari ribosom hepatosit dalam membuat bahan bahan untuk proses reproduksi.
3.
Virus dapat membuat sel hati memperlakukan RNA virus seperti miliknya sendiri. Selama proses ini virus menutup fungsi normal hepatosit atau membuat lebih banyak lagi hepatosit yang terinfeksi kemudian menbajak mekanisme sintesis protein hepatosit dalam memproduksi protein yang dibutuhkannya untuk berfungsi dan berkembang biak. 31
4.
RNA virus dipergunakan sebagai cetakan (template) untuk memproduksi masal poliprotein (proses translasi).
5.
Poliprotein dipecah dalam unit-unit protein yang lebih kecil. Protein ini ada 2 jenis yaitu protein struktural dan regulatori. Protein regulatori memulai sintesis kopi virus RNA asli.
6.
Sekarang RNA virus mengopi dirinya sendiri dalam jumlah besar (miliaran kali) untuk menghasilkan bahan dalam membentuk virus baru. Hasil kopi ini adalah bayangan cermin RNA orisinil dan dinamai RNA negatif. RNA negatif lalu bertindak sebagai cetakan (template) untuk memproduksi serta RNA positif yang sangat banyak yang merupakan kopi identik materi genetik virus.
7.
Proses ini berlangsung terus dan memberikan kesempatan untuk terjadinya mutasi genetik yang menghasilkan RNA untuk strain baru virus dan subtipe virus hepatitis C. Setiap copy virus baru akan berinteraksi dengan protein struktural, yang kemudian akan membentuk nukleokapsid dan kemudian inti virus baru. Amplop protein kemudian akan melapisi inti virus b aru.
8.
Virus dewasa kemudian dikeluarkan dari dalam hepatosit menuju ke pembuluh darah menembus membran sel.
Keluaran dan derajat keparahan dari infeksi virus hepatitis bergantung pada jenis v irus, jumlah virus dan faktor dari host. Perjalanan Alamiah Hepatitis C
Perjalanan alamiah infeksi HCV dimulai sejak virus hepatitis C masuk ke dalam darah dan terus beredar dalam darah menuju hati, menembus dinding sel dan masuk ke dalam sel, lalu berkembang biak. Hati menjadi meradang dan sel hati mengalami kerusakan dan terjadi gangguan fungsi hati dan mulailah perjalanan infeksi virus hepatitis C yang panjang. Ada 2 mekanisme bagaimana badan menyerang virus. Mekanisme pertama melalui pembentukan antibodi yang menghancurkan virus dengan menempel pada protein bagian luar virus. Antibodi ini sangat efektif untuk hepatitis A dan B. tetapi sebaliknya antibodi yang diproduksi imun tubuh terhadap HCV tidak bek erja sama sekali. Sekitar 15 % pasien yang terinfeksi virus hepatitis C dapat menghilangkan virus tersebut dari tubuhnya secara spontan sayangnya, mayoritas penderita penyakit ini menjadi kronis. Dienstag telah meneliti 189 kasus hepatitis NANB ternyata dari jumlah tersebut 34% penderita hepatitis kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif dan 18% penderita hepatitis kronik pensisten atau hepatitis kronik lobuler, 40% hepatitis kronik aktif dan 18% penderita sirosis hati. Salah satu konsekuensi paling berat pada hepatitis adalah kanker hati, hepatitis C kronis merupakan salah satu bentuk penyakit hepatitis paling berbahaya dan dalam waktu lain dapat terjadi komplikasi. Penderita hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati, penyakit hati terutama hepa titis C penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Saat hati menjadi rusak, hati tersebut memperbaiki sendiri membentuk fibrosis, yang menunjukkan semakin parahnya penyakit, sehingga hati menjadi sirosis. 32
Hampir semua mortalitas hepatitis C berhubungan d engan komplikasi sirosis hati dan kanker. Sepertiga dari pasien terinfeksi hepatitis kronik tidak pernah menjadi sirosis. Sepertiga dari kasus hepatitis kronik menjadi sirosis dalam waktu 30 tahun dan sebagian dapat berkembang menjadi kanker hati. Sedangkan sepertiga lagi dalam waktu 20 tahun.
2.5. Manifestasi Klinis
Sering kali orang yang menderita hepatitis C tidak menunjukkan gejala walaupun infeksi telah terjadi bertahun-tahun lamanya. Gejala-gejala di bawah ini mungkin samar, misalnya lelah, perasaan tidak enak pada perut kanan atas, hilang selera makan, sakit perut, mual, muntah ,pemeriksaan fisik seperti normal atau menunjukan pembesaran hepar sedikit. Beberapa pasien didapatkan spidernevi, atau eritema Palmaris. Hasil laboratorium yang menyolok adalah peninggian SGOT dan SGPT yang terjadi pada kurun waktu 2 sampai 26 minggu setelah tertular. Masa inkubasinya diantara hepatitis akut A dan hepatitis B, dengan puncaknya diantara 7 sampai 8 minggu setelah terkena infeksi. Penderita infeksi HCV biasanya berjalan sublinik, hanya 10% penderita yang dilaporkan mengalami kondisi akut dengan ikterus. Infeksi HCV jarang menimbulkan hepatitis fulminan, namun infeksi HCV akut yang berat pernah dilaporkan pada penderita resipien transplantasi hati, penderita dengan dasar penyakit hati menahun dan penderita dengan koinfeksi HBV. 33
Meskipun kondisi akutnya ringan sebagian besar akan berkembang menjadi penyakit hati menahun. Infeksi HCV dinyatakan kronik jika deteksi RNA HCV dalam darah menetap sekurang-kurangnya 6 bulan. Secara klinik hepatitis C mirip dengan infeksi hepatitis B. Gejala awal tidak spesifik dengan gejala gastrointestinal diikuti dengan ikterus dan kemudian diikuti perbaikan pada kebanyakan kasus. Infeksi kronik hepatitis C menunjukan dampak klinik yang jauh lebih berat dibanding infeksi hepatitis B. Kedua infeksi virus ini dapat menimbulkan gangguan kualitas hidup, meskipun masih dalam stadium presirotik dan sering mengakibatkan komplikasi ekstra hepatik. Pasien dengan hepatitis C kronik dengan manifestasi gejala ekstrahepatik yang biasanya disebabkan respon imun seperti gejala rematoid, keratoconjungtivitis sicca, lichen planus, glomerulonefritis, limfoma dan krioglobulinemia esensial campuran. Krioglobulin telah dideteksi pada serum sekitar separuh pasien d engan hepatitis C kronik. Gambaran klinis hepatitis virus sangat bervariasi yang dibagi dalam empat tahap yaitu: 1. Fase Inkubasi Fase inkubasi merupakan waktu diantara masuknya virus dan saat timbulnya gejala atau ikterus. Fase ini berbeda-beda lamanya tiap hepatitis virus tergantung pada dosis inokulan yang ditularkan dan jalur penularan. Makin besar dosis inokulan makin pendek fase inkubasinya. 2. Fase Prodormal (Pre Ikterik) Fase diantara timbulnya keluhan pertama dan gejala timbulnya ikterus. Biasanya ditandai dengan malaise umum, mialgia, atralgia, mudah lelah, gejala saluran napas atas dana anoreksia. Mual, muntah dan anoreksia berhubungan dengan perubahan penghidu dan rasa kecap. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau epigastrium yang kadang diperberat dengan aktivitas. 3. Fase Ikterus Ikterus muncul setelah 5-10 hari timbunya gejala atau dapat bersamaan dengan munculnya gejala. Pada banyak kasus fase ini tidak terdeteksi. Setelah timbulnya ikterus jarang terjadi perburukan gejala prodormal dan justru akan terjadi perbaikan klinis yang nyata. 4. Fase Konvalesen Fase yang diawali dengan menghilangnya gejala dan ikterus, tetapi hepatomegali dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Keadaan akut biasanya akan membaik dalam 2-3 minggu. Pada 5%-10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditanganim hanya kurang dari 1% yang menjadi fulminan. Pada umumnya infeksi akut VHC tidak memberikan gejala atau bergejala minimal. Hanya 20-30% yang menunjukkan tanda-tanda hepatitis akut 7-8 minggu setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenali karena pada umumnya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan penyakit akibat infeksi HCV.
34
Beberapa laporan menyatakan bahwa pada infeksi hepatitis C akut didapatkan adanya gejala malaise, mual dan ikterus seperti halnya hepatitis akut karena virus lain. Hepatitis fulminan sangat jarang terjadi. ALT meningkat sampai beberapa kali di atas batas normal tetapi umumnya tidak melebihi 1000U/ liter. Sekitar 70-80% orang yang terinfeksi HCV menjadi carrier kronis dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan serta merupakan penyebab utama sirosis hati, penyakit hati stadium akhir dan kanker hati. Sering kali proses ini tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangya VHC setelah h epatitis kronis sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu sekitar 20-30 tahun untuk terjadi sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronis. Sekitar 15-25% dari orang yang terinfeksi dapat sembuh tanpa pengobatan dengan alasan yang tidak diketahui. Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik maupun labaratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien dimana ALT selalu normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati bermakna, sedangkan diantara pasien d engan peningkatan ALT, hamper semua sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai berat. Progesivitas hepatitis kronis menjadi sirosis tergantung beberapa faktor antara lain asupan alcohol, koinfeksi dengan hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki dan usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya. Kanker hati dapat terjadi tanpa melalui sirosis hati walaupun kondisi seperti ini jarang terjadi. Koinfeksi HCV dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula mempercepat penurunan sistem kekebalan tubuh. Adanya koinfeksi tersebut juga mempersulit pengobatan dengan antiretrovirus karena memperbesar porsi pasien yang menderita gangguan fungsi hati dibandingkan dengan pasien tanpa koinfeksi HIV. Di Indonesia, kasus ini sering terjadi pada pengguna jarum suntik yang menggunakan alat suntik bergantian. Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatic antara lain crioglobunemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan, vaskulitis, purpura dan atralgia), sicca syndrome, lichen planus dan porphyria cutanea tarda. Patofisiologi manifestasi gejala ekstra hepatic belum diketahui dengan jelas namun dihubungkan dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu respon sistem imunologis. Sel-sel limfoid yang terinfeksi dapat berubah sifatnya menjadi ganas karena dilaporkan tingginya kejadian limfoma non Hodgin pada pasien dengan infeksi HCV. Infeksi Kronis
Infeksi akan menjadi kronik pada 70 – 90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Adapun kriteria dari hepatitis kronis adalah naiknya kadar transaminase serum lebih dari 2 kali nilai normal, yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Hilangnya HCV setelah terjadinya hepatitis kronis sangat jarang terjadi. 4 Jangka waktu dimana berbagai tahap penyakit hati berkembang sangat bervariasi. Diperlukan waktu 20 – 30 tahun untuk terjadinya sirosis hati yang sering tejadi 35
pada 15 – 20% pasien hepatitis C kronis.5 Progresivitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati tergantung beberapa faktor resiko yaitu: asupan al kohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau Human Immunodeficiency Virus (HIV), jenis kelamin laki-laki, usia tua saat terjadinya infeksi dan kadar CD4 yang sangat rendah.1,11 Bila telah terjadinya sirosis, maka risiko terjadinya karsinoma hepatoselular adalah sekitar 1-4% pertahun. Karsinoma hepatoseluler dapat terjadi tanpa diawali dengan sirosis, namun hal ini jarang terjadi. Hepatitis C Fulminan
Hepatitis fulminan jarang terjadi. ALT (alanine amino-transferase) meninggi sampai beberapa kali diatas batas atas normal tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L. Manifestasi Ekstrahepatik Selain memiliki manifestasi hepatik, ada beberapa manifestasi ektrahepatik HCV yang penting. 1.
Mixed Cryoglobulinaemic vasculitis
Pada 50% pasien HCV umumnya terdeteksi cryoglobulin pada serum darah, dancryoprecipitates biasanya mengandung sejumlah besar antigen dan antibodi HCV, namun hanya sebagian kecil pasien (10-15%) yang memiliki gejala. Gejala-gejala biasanya terkait dengan vaskulitis, yaitu lemah, atralgia dan purpura. 2.
Membranoproliferative glomerulonephritis
Pada kasus ini, telah terjadi peranan dari persarafan dan otak sehingga gejala yang timbul lebih berat. 3.
Poliarteritis Nodosa
4.
Papular Acrodermatitis (Gianotti syndrome)
2.6. Diagnosis
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasikan dengan memeriksa antibodi yang dibentuk tubuh terhadap VHC bila virus menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat menghilangkan infeksi VHC pada infeksi akut, namun antibodi terhadap VHC masih terus bertahan bertahun tahun (18-20 tahun). Deteksi antibodi terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme immune assay (EIA). Antigen yang digunakan untuk deteksi dengan cara ini adalah antigen C-100 dan beberapa antigen non-struktural (ns 3,4 dan 5) sehingga tes ini menggunakan poliantigen dari VHC. Dikenal beberapa generasi pemeriksaan antibodi VHC ini dimana antigen yang digunakan semakin banyak sehingga saat ini generasi III mempunyai sensitivitas dan spesivitas yang sangat tinggi antibodi terhadap VHC dapat dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan sensivitas mencapai 99% dan spesivitas 90%. Negatif palsu dapat terjadi terrhadap pasien dengan difesiensi sistem kekebalan tubuh seperti pada 36
pasien HIV, gagal ginjal. Immunobolt assay dulu digunakan untuk tes konfirmasi pada meraka dengan anti HCV positif dengan EIA. Saat ini dengan tingkat spesifitas dan sensivitas EIA yang sudah sedemikian tinggi, tes konfirmasi ini tidak diragukan la gi. Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adan ya virus ini dalam tubuh pasien terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC dalam serum maupun dalam hati relative sangat ke cilsehingga diperlukan teknik amplifikasi agar terdeteksi. Teknik polymerase chain reaction (PHC) dimana gen VHC digandakan oleh enzyme polymerase digunakan sejak ditemukan virus ini dan sat ini umumnya digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun untuk mengetahui jumlah virus VHC (secara kuantitatif). Teknik ini juga dipakai dalam menentukan genotip VHC.teknik lain adalah dengan menggadakan signal yang didapat dari gen VHC yang terikat pada probe RNA sehingga dapat dihitung jumlah kuantitativ VHC . hasil kedua pemeriksaan ini sulit dibandingkan satu dengan yang lainnya walupun saat ini ada standarisasi dalam satuan pemeriksaan sehingga dimasa datang diharapkan satu pemeriksaan dapat diikuti atau dilakukan pemeriksaan ulang dengan pemeriksaan lain dengan hasil yang dapat dibandingkan. Untuk menentukan genotip VHC selain dengan teknik VCR, juga digunakan teknik hibridasi atau dengan melakukan sequencing gen VHC. Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC dilakukan pada penapisan darah untuk tranfusi darah. Umumnya unit transfusi darah menggunakan deteksi anti VHC dengan EIA maupun dengan cara imunokomotrografi, namun hasil terdapat kasus kasus pasien yang terinfeksi oleh VHC maupun deteksi VHC sudah dinyatakan negatif. Teknik deteksi nukleotida lebih sensitif daripada deteksi anti VHC karna itu di dunia saat ini telah dikembangkan teknik menggunakan real time PCR yang dapat mendeteksi RNA VHC dalam jumlah yang sangat kecil (kurang dari 50 kopi/ml). selain itu, tekhnologi menggunakan teknik transcripted mediated amplification (TMA) juga telah dikembangkan untuk meningkatkan sensitivitas deteksi VHC. Teknik yang sangat sensitif ini berguna untuk mendeteksi infeksi VHC dikalangan pasien maupun dikalangan masyarakat umum untuk tranfusi darah. Test yang dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap virus seperti Enzyme Immuno Assay (EIA), yang mengandung antigen HCV dari gen inti dan non struktural, dan Assay Imunoblot Recombinan (RIBA). Teknik Polymerasi Chain Reaction (PCR) atau Transcription – Mediated Amplification (TMA) sebagai test kualitatif untuk HCV RNA, sementara amplifikasi target (PCR) dan teknik amplifikasi sinyal( Branched DNA) dapat dipakai untuk mengukur muatan virus. Pendekatan paling baik untuk diagnosa hepatitis C adalah test HCV RNA yang merupakan tes yang sensitive seperti Polimerase Chain Reaction (PCR) atau Transcription Mediated Amplification (TMA). Dengan adanya HCV RNA diserum menandakan infeksi aktif. Test untuk HCV RNA adalah membantu pasien pasien yang dengan test EIA dengan hasil anti HCV nya tidak dapat dipercaya, misalnya pasien dengan gangguan imun yang mana hasil anti HCV nya negative, sebab mereka tidak cukup memproduksi antibody. Pasien-pasien dengan akut hepatitis C, test anti HCV negative karena antibody baru muncul setelah satu bulan fase akut.
37
Test HCV RNA dibagi dua yaitu kuantitatif dan kualitatif. Test kualitatif menggunakan PCR/ Polymerase Chain Reaction, test ini dapat mendeteksi HCV RNA yang dilakukan untuk konfirmasi viremia dan untuk menilai respon terapi. Test kuantitatif dibagi dua yaitu: metode dengan teknik Branched Chain DNA dan teknik Reverse Transcription PCR.Test kuantitatif ini berguna untuk menilai derajat perkembangan penyakit. Pada test kuantitatif ini pula dapat diketahui derajat viremia. Sesuai dengan rekomendasi konsensus penatalaksanaan HCV di Indonesia : 1. Pemeriksaan HCV RNA yang positif, dapat memastikan diagnosis 2. Bila HCV – RNA tidak dapat diperiksa, maka ALT/SGPT > 2N, dengan anti HCV (+) 3. Pemeriksaan genotip tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosis. 4. Pemeriksaan HCV RNA kuantitatif diperlukan pada anak dan dewasa untuk penentuan pengobatan. 5. Pemeriksaan genotip diperlukan untuk menentukan lamanya terapi. 6. Pemeriksaan HCV RNA diperlukan sebelum terapi dan 6 bulan paska terapi. 7. Pemeriksaan HCV RNA 12 minggu sejak awal terapi dilakukan pada pasien genotip 1 dengan pegylated interferon untuk penilaian apakah terapi dilanjutkan atau dihentikan. Test faal hati rutin untuk skrining HCV kronik memiliki keterbatasan, karena sekitar 50% penderita yang terinfeksi HCV mempunyai nilai transaminase normal. Meskipun test faal hatinya normal , penderita ini ternyata menunjukkan kelainan histologypenyakit hati berupa nekroinflamasi denganatau tanpa sirosis. Pemantauan dengan menggunakan kadar transaminase sifatnya terbatas, karena kadarnya dapat berfluktuasi dari kadar normal sampai ke abnormal dengan perjalanan waktu. Biopsi hati biasanya dikerjakan sebelum dimulai pengobatan anti virus dan tetap merupakan pemeriksaan paling akurat untuk mengetahui perkembangan penyakit hati. Biopsi hati biasanya dikerjakan pada penderita dengan infeksi kronik HCV. Dengan transaminase abnormal yang direncanakan pengobatan antiviral, pemeriksaan histologi juga dibutuhkan bila ada dugaan diagnosis penyakit hati akibat alkohol. Biopsi hati menjadi sumber informasi untuk penilaian fibrosis dan histologi. Biopsis hati memberikan informasi tentang kontribusi besi, steatosis dan penyakit penyerta hati alkoholik terhadap perjalanan hepatitis C kronik menuju sirosis. Informasi yang didapat pad a biopsi hati memungkinkan pasien mengambil keputusan tentang penundaan atau dimulainya pemberian terapi antivirus, karena mengingat efek samping pengobatan.
38
Jika seseorang sudah didiagnosis terkena infeksi Hepatitis C kronis, harus dilakukan pemeriksaan terhadap tingkat kerusakan hati yang telah terjadi (fibrosis dan sirosis). Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan: • Biopsi hati Suatu prosedur diagnostik menggunakan jarum yang sangat halus untuk memperoleh sedikit jaringan hati, yang dapat diperiksa di bawah mikroskop untuk membantu mengidentifikasi penyebab maupun stadium dari penyakit hati. • Pemeriksaan Transient Elastography (Fibroscan) Pemeriksaan ini dapat secara akurat membedakan antara tahap fibrosis ringan dengan sirosis. Sebagai tambahan, diperlukan juga pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi genotipe dari virus Hepatitis C yang diderita.
39
2.7. Penatalaksanaan
Saat ini obat Hepatitis C standar adalah kombinasi I nterf eron dengan Ribavirin . Kombinasi obat Hepatitis C ini akan memberikan hasil b erupa sustained virologic response (respon virus menetap) yang tinggi. Response ini sering disingkat dengan SVR . Obat Hepatitis C Pegylated interferon alfa dibuat dengan menggabungkan suatu molekul besar yang larut air yang disebut “polyethylene glycol” (PEG) dengan molekul interferon alfa. Penggabungan dengan PEG memperbesar ukuran interferon alfa sehingga dapat bertahan dalam tubuh lebih lama. Hal itu juga dapat memproteksi molekul interferon terpecah oleh 40
enzim tubuh. Keuntungan lainnya adalah waktu di dalam tubuh obat Hepatitis C ini lebih lama (waktu paruh) sehingga obat Hepatitis C tidak perlu sering-sering dikonsumsi. Interferon alfa standar biasa disuntikkan tiga kali dalam seminggu tetapi pegylated interferon alfa cukup satu kali dalam seminggu. Pengobatan hepatitis C kronik telah berkembang sejak interferon alfa pertama kali disetujui untuk dipakai pada penyakit ini lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Pada waktu itu obat ini diberikan 24 sampai 48 minggu sebagai kombinasi Pegylated alfa interferon dan Ribavirin. Pegylated alfa interferon (penginterferon) adalah modifikasi kimia dengan penambahan molekul dari polyethylene glycol. Penginterferon dap at diberikan satu kali per minggu dan keuntungannya kadarnya konstan di dalam darah. Ribavirin adalah suatu obat antivirus yang mempunyai efek sedikit pada virus hepatitis C, tetapi penambahan Ribavirin dengan interferon menambah respon 2 – 3 kali lipat. Kombinasi terapi ini dianjurkan untuk pengobatan hepatitis C. Terapi dengan Interferon 3 juta unit 3x perminggu selama 12-18 bulan, yang diberikan kepada pasien dengan aminotransferase tinggi, biopsi menunjukkan kronik hepatitis berat atau lanjut, HCV RNA, 50% mengalami remisi atau perbaikan 50% pasien kembali diantara 12 bulan pengobatan dan perlu mengulang pengobatan kembali. Respon yang baik yaitu hilangnya HCV RNA yang tinggi pada genotip HCV 1a dan 1b. lebih menguntungkan dengan penambahan ribavirin. Kriteria yang harus dipenuhi sebelum pemberian terapi Interferon: 1. Anti HCV [+] dengan informasi stadium dan aktivitas penyakit, HCV RNA [+], genotip virus, biopsi. 2. Ada / tidaknya manifestasi ekstra hepatic. 3. Kadar SGOT/ SGPT berfluktuasi diatas normal. 4. Tidak ada dekompensasi hati. 5. Pemeriksaan laboratorium: a. Granulosit > 3000/ cmm b. Hb > 12 g/dl c. Trombosit > 50000/ cmm. d. Bilirubin total < 2 mg/ dl e. Protrombin time < 3 menit. Berdasarkan rekomendasi konsensus FKUI – PPHI: 1. Terapi antivirus diberikan bila ALT >2 N 2. Untuk pengobatan hepatitis C diberikan kombinasi Interferon dengan Ribavirin 3. Ribavirin diberikan tiap hari, tergantung berat badan selama pemberian interferon dengan dosis: a. < 55 kg diberikan 800 mg/hari b. 56 – 75 kg diberikan 1000 mg/hari c. > 75 kg diberikan 1200 mg/hari 4. Dosis Interferon konvensional 3,41/2,5 MU seminggu 3 kali, tergantung kondisi pasien. 5. Pegylated Intenferon Alfa 2a diberikan 180 ug seminggu sekali selama 12 bulan pada genotipe 1&4, dan 6 bulan pada genotipe 2 d an 3. pada Pegylated Interferon Alfa 2b diberikan dengan dosis 1,5ug/kg BB/kali selama 12 bulan atau 6 bulan tergantung genotip 41
6. Dosis Ribavirin sedapat mungkin dipertahankan. Bila terjadi efek samping anemia, dapat diberikan enitropoitin.
42
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10 g/dL, lekousit darah <2500/uL, trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak diindikasikan untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjaljuga tidak diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi.Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian. Interferon yang telah diikat dengan poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-Interferon, diberikan setiap minggu dengan dosis 1,5 ug/kg BB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 180 ug (untuk Peg-Interferon 40 KD). Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dnegan dosis pada pasien dengan berat badan <50 kg 800 mg setiap hari, 50-70kg 1000 mg setiap hari, dan >70kg 1200mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.5 Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan RNA HCV secara kualitatif untuk mengetahui apakah HCV resisten terhadap pengobatan dengan interferon dan tidak memerlukan pemeriksaan RNA HCV 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai 6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan memeriksa RNA HCV kualitatif. Bila RNA HCV tetap negatif, maka pasien dianggap mempunyai respons virologik yang menetap ( sustained virological response atau SVR) dan RNA HCV kembali positif, pasien dianggap kambuh (relapser ). Mereka yang tergolong kambuh ini dapat kembali diberikan Interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila sebelumnya menggunakan Interferon konvensional, Peg Interferon mungkin akan bermanfaat. Beberapa peneliti menganjurkan pemeriksaan RNA HCV kuantitatif 12 minggu setelah terapi dimulai untuk menentukan prognosis keberhasilan terapi dimana prognosis dikatakan baik bila RNA HCV turun >2 log.1 Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya), depresi dan gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari normal, depresi sumsum tulang, hiperurisemia, kadang-kadang timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek asmping tersebut, pemantauan pasien mutlak dilakukan. Pada awal pemberian interferon dan ribavirin dilakukan pemantauan klinis, laboratories (Hb, lekousit, trombosit, asam urat dan ALT) setiap 2 minggu yang kemudian dapat dilakukan setiap bulan. Terapi tidak boleh dilanjutkan bila Hb<8 gr/dL, lekousit <1500/uL atau kadar neutrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan anti depresi, atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.9 Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi HCV lebih kurang 60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan genotype 1 hanya 40% pasien yang berhail dieradikasi sedangkan untuk genotype lain, tingkat keberhasilan terapi dapat mencapai lebih dari 70%. Peg Interferon dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan terapi yang lebih baik daripada interferon konvensional. Hal lain yang juga berpengaruh dalam kurangnya keberhasilan respons terapi dengan interferon adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis kelamin laki-laki, berat badan berlebih (obesitas), dan tingkat fibrosis hati yang berat.2 Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien pasien hepatitis C kronik hingga mencapai 100%. Pada kelompok pasien ini interferon dapat 43
digunakan secara monoterapi tanpa ribavirin dan lama terapi pada satu laporan hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menentukan infeksi akut HCV karena tidak adanya gejala akibat infeksi virus ini sehingga umunya tidak diketahui waktu yang pasti adanya infeksi. Apabila jelas infeksi akut enjadi tersebut terjadi misalnya pada tenaga medis yang secara rutin dilakukan anti HCV dengan hasil negatif dan kemudian setelah tertusuk jarum anti-HCV menjadi positif maka monoterapi dengan interferon dapat diberikan. Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi dengan interferon dan ribavirin dapat diberikan bila jumlah CD4 pasien ini <200 sel/mL. bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respons terapi sangat tidak memuaskan. Untuk pasien dengan ko-infeksi HCV-HBV, dosis pemberian interferon untuk HCV sudah sekaligus mencukupi untuk terapi HBV sehingga kedua virus dapat diterpai bersama-sama sehingga tidak diperlukan nukleosida analog yang khusus untuk HBV.
Edukasi
Istirahat yang cukup
Atur pola makan Hindari makanan yang dapat menyebabkan penimbunan gas dalam lambung (ubi, singkong, kacangm erah, kol, sawi, lobak, nangka, durian)
Hindari makanan yang telah di awetkan (hamburger, sosis, ikan asin, kornet)
Pilih bahan makanan yang kandungan lemaknya tidak banyak (daging tidak berlemak, ikan segar, ayam tanpa kulit)
Pilih sayuran rendah serat (bayam, wortel, bit, labu siam, kacang panjang muda, buncismuda, kangkung)
Hindaribumbu-bumbumasakan yang terlalubanyakdandalambatas normal
Hindaribahanmakanan yang terlaluberlemak (daging, usus, otak, sumsum, santankental)
Diet seimbang kalori 35-40 kkal/KgBB ideal dengan protein 1,2-1,5 g/kgBB/hari Rendah garam 5.2g atau 90mmol/hari
Hindari mengkonsumsi alcohol dan merokok
Aktivitas fisik untuk mencegah inaktivitas dan atrofi otot
Kontrol Jika BAB berwarna hitam (melena)
Kontrol jika badan atau mata berwarna kuning (ikterik)
Kontrol jika terjadi bengkak (edema)
Kontrol jika perut terasa kembung (asites)
Pasien diharapkan segara datang kembali apabila ada penurunan kesadaran (koma hepatikum)
44
2.8. Komplikasi
-
Sirosis Hepatis
Penderita Hepatitis kronis beresiko menjadi penyakit hati tahap akhir dan kanker hati. Sedikit dari penderita Hepatitis kronis, hatinya menjadi rusak dan perlu dilakukan transplantasi hati. Kenyataannya, penyakit hati terutama Hepatitis C penyebab utama pada transplantasi hati sekarang ini. Sekitar sepertiga kanker hati disebabkan oleh Hepatitis C. Hepatitis C yang menjadi kanker hati terus meningkat di seluruh dunia karena banyak orang terinfeksi Hepatitis C tiap tahunnya.
Walaupun Hepatitis C tidak menunjukkan gejala, kerusakan hati terus berlanjut dan menjadi parah seiring waktu. Saat hati menjadi rusak (sebagai contoh, karena Hepatitis C) hati tersebut akan memperbaiki sendiri yang membentuk parut. Bentuk parut ini sering disebut fibrosis . Semakin banyak parut menunjukkan semakin parahnya penyakit. Sehingga, hati bisa menjadi sirosis ( penuh dengan parut ). -
Hepatoseluler Karsinoma Kanker hati yang merupakan penyebab tersering transplantasi hati, terjadi pada 1-5 persen penderita hepatitis C kronik dalam waktu 20-30 tahun.
2.9. Pencegahan
Hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah hepatitis C tetapi ada beberapa cara untuk mencegah penularan hepatitis C dengan cara jarum suntik harus steril. Melakukan kehidupan sex yang aman. Bila memiliki pasangan yang lebih dari satu atau berhubungan dengan orang banyak harus memproteksi diri misalnya dengan pemakaian kondom. Jangan pernah berbagi alat seperti jarum , alat cukur, sikat gigi dan gunting kuku. Bila melakukan manicure, pedicure, tattoo ataupun tindik pastikan alat yang dipakai steril. Orang yang terpapar darah dalam pekerjaannya [misalnya dokter, perawat, perugas laboratorium] harus hati-hati agar tidak terpapar darah yang terkontaminasi, dengan cara memakai sarung tangan, jika ada tetesan darah meskipun sedikit segera dibersihkan. Jika mengalami luka karena jarum suntik maka harus melakukan test ELISA atau R NA HCV setelah 4 sampai 6 bulan terjadinya luka untuk memastikan tidak terinfeksi penyakit hepatitis C. Pernah sembuh dari salah satu penyakit hepatitis, tidak mencegah penularan penyakit 45
hepatitis lainnya. Dengan demikian dokter sangat merekomendasikan penderita hepatitis C juga melakukan vaksinasi hepatitis A dan hepatitis B. Untuk pasien Hepatitis C kronis, sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut pada hati dimana sirosis lebih buruk. Selain itu, jika anda penderita penyakit Hepatitis C hindari alkohol secara total. Juga jangan minum alkohol dengan acetaminophen (merupakan kandungan obat sakit kepala dan flu), karena bila dikonsumsi berbarengan dapat menyebabkan kondisi "hepatitis fulminant" , yang dapat menyebabkan fungsi hati rusak total. 2.10. Prognosis
Prognosis memberikan gambaran tentang kemungkinan dari penyakit - yaitu, kesempatan bahwa pasien akan sembuh. Untuk hepatitis C, banyak faktor yang mempengaruhi prognosis seseorang. Beberapa faktor yang paling penting adalah: 1. Jumlah virus dalam tubuh (lihat Hepatitis C Viral Load) 2. Genotipe (lihat Hepatitis C Genotipe) 3. Berapa lama Anda telah memiliki hepatitis C 4. Berapa banyak kerusakan hati telah dilakukan 5. Kondisi medis lain yang mungkin Anda miliki. Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi hepatitis C prognosis seseorang termasuk orang yang: 1. Usia 2. Etnis 3. Kesehatan umum 4. Respon terhadap pengobatan. Hepatitis C prognosis menguntungkan jika virus hepatitis C merespon dengan baik terhadap pengobatan.
46
BAB III PEMBAHASAN
Pada kasus tersebut dapat diketahui bahwa keluhan utama nyeri perut daerah ulu hati sejak ± 1 bulan SMRS. Keluhan tersebut disertai dengan rasa lemas seluruh badan, pusing, demam dan mual. Pasien mengaku sering merasa kelelahan sejak ± 1 bulan yang lalu. Pasien tidak pernah mengalami sakit seperti ini dan riwayat sakit kuning sebelumnya. Pasien mengatakan tidak ada riwayat BAB berwarna hitam namun BAB dirasakan keras dan BAK dalam batas normal. Pasien menyangkal pernah menjalani transfusi darah, namun sering melakukan kegiatan donor darah. Riwayat melakukan free sex juga disangkal oleh pasien. Pasien juga mengaku memiliki kebiasaan merokok dan minum alkohol, dengan frekuensi lebih dari 2x dalam seminggu dan lebih dari 1 botol. Manifestasi klinis pada pasien ini cukup jelas mengarah ke hepattitis C kronis. Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan sklera ikterik dan hepato maupun spleenomegali. Pemeriksaan darah lengkap didapatkan anti HCV positif yang menunjukan bahwa pasien menderita hepatitis C. Pemeriksaan tes fungsi hati didapatkan kenaikan kurang dari 3 kali dari batas normal SGOT dan SGPT yang menunjukan tanda kronis. Pemeriksaan ultrasonografi dilakukan untuk mengetahui kondisi hepar secara detail, ternyata didapatkan gambaran struktur hepar dalam keadaan baik, sehingga untuk dapat mengetahui perjalanan penyakit hepatitis C pada pasien ini diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yakni biopsi hepar untuk mengetahui seberapa besar kerusakan pada hati. Konsensus penanganan hepatitis Eropa dan Amerika menekankan untuk perlunya dilakukan biopsi hati karena ALT pada pasien hepatitis C kronis bisa sangat fluktuatif dan adanya fibrosis signifikan tidak bisa diketahui tanpa dilakukan biopsi hati. Biopsi hati diperlukan untuk menentukan prognosis seiring dengan terjadinya sirosis hati ataupun penyakit hati lanjut. Terapi pada kasus ini lebih cenderung terapi simptomatik. Pemberian curcuma ditujukan untuk mengurangi inflamasi pada hepar dan asam mefenamat ditujukan untuk meminimalisir rasa nyeri yang dirasakan pasien. Sedangkan KSR diberikan untuk meningkatkan kalium dalam darah, amlodipin diberikan untuk menurunkan tekanan darah, ranitidine untuk melindungi organ lambung berguna untuk melancarkan BAB pasien.
47
BAB IV KESIMPULAN
1. Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia, dilaporkan sekitar 170 juta orang telah terinfeksi virus ini. 2. Virus hepatitis C temasuk kelas Flaviviridae genus hepacivirus yang memiliki selubung glikoprotein dengan RNA rantai tunggal 3. Gambaran klinis hepatitis virus meliputi fase prodormal, fase ikterus, fase ikterus dan fase konvalosen. 4. Hepatitis kronis dibedakan menjadi hepatitis kronis persisten, hepatitis kronis lobular dan hepatitis kronis aktif. 5. Pemeriksaan EIA, anti HCV dan PCR dapat dilakukan untuk mendiagnosis hepatitis C 6. Terapi menggunakan interferon dan ribavirin pada hepatitis C kondisi lanjut atau yang berkembang kearah kronis. 7. Penatalaksanaan awal pada pasien dengan mengatasi perdarahan saluran cerna berupa melena untuk mencegah anemia berat.
48