Modul Pajak Penghasilan Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul Pajak Penghasilan Orang Pribadi. Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang Pribadi untuk mempermudah pemahaman PPh secara umum Agar kita Iebih mudah dan urut dalam memahami PPh Badan, terlebih dahulu kita akan membahas siapa saja badan-badan yang dikenakan PPh dan penghasilan apa saja yang dikenakan ataupun tidak dikenakan PPh. Setelah itu kita akan belajar bagaimana menghitung PPh Badan.
Subjek PPh Badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN, BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan d an bentuk badan Iainnya. Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri Subjek Pajak Badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia. 2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri. Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT maupun tidak melalui BUT. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan. Sedangkan berakhirnya adalah pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (Pasal 2 ayat (5) UU PPh No 36 Tahun 2008). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri tetapi pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif PPh Pasal 26 ayat (4). Contoh : Misalnya BundesGesselshaft Gmbh Jerman mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti BundesGesselshaft Gmbh merupakan merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
1
Pajak Penghasilan Badan
Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut. BundesGesselshaft Gmbh dikenakan BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, untuk menjalankan usaha atau a tau melakukan kegiatan di Indonesia. Contoh : Misalnya Mr. Xie tinggal di Hongkong tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka Mr. Xie dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia. Indonesia.
1)
Beberapa Badan yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah : a. kantor perwakilan negara asing; b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Keuangan. Pengecualian subjek pajak diatur dalam Pasal 3 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PPh jo. PMK No 215/PMK.03/2008 jo PMK 15/PMK.03/2010.
Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa satu sama lain. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena: 1. kepemilikan atau penyertaan modal; 2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. 3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat Hubungan istimewa tersebut secara lengkap berbentuk sebagai berikut : Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal Iangsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
2
Pajak Penghasilan Badan
Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut. BundesGesselshaft Gmbh dikenakan BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, untuk menjalankan usaha atau a tau melakukan kegiatan di Indonesia. Contoh : Misalnya Mr. Xie tinggal di Hongkong tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka Mr. Xie dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia. Indonesia.
1)
Beberapa Badan yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah : a. kantor perwakilan negara asing; b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat: 1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan 2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota; d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada angka (1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. Keuangan. Pengecualian subjek pajak diatur dalam Pasal 3 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PPh jo. PMK No 215/PMK.03/2008 jo PMK 15/PMK.03/2010.
Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa satu sama lain. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena: 1. kepemilikan atau penyertaan modal; 2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi. 3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau kesamping satu derajat Hubungan istimewa tersebut secara lengkap berbentuk sebagai berikut : Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal Iangsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir. Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
2
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa. istimewa. Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan badan. Hubungan istimewa karena pengusaan timbul jika Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya, atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada dalam penguasaan yang sama tersebut. Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi-orang pribadi pemegang saham perusahaan yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat (Pasal 18 ayat (4) UU PPh). Yang dimaksud dengan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat yaitu : Hubungan sedarah ayah, ibu, dan anak (garis keturunan lurus satu derajat), saudara kandung atau saudara tiri (garis keturunan ke samping satu derajat). Keluarga semenda Mertua dan anak tiri (garis keturunan lurus satu derajat), ipar (garis keturunan ke samping satu derajat). Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada 4 hal yaitu : 1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan istimewa dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya. Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam transaksi normal (arm-length transaction) (Pasal 10 ayat (1)) UU PPh; Ketentuan ini bertujuan untuk menghin dari jual beli secara tidak wajar. 2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3)) UU PPh; 3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa istimewa (Pasal 18 ayat (3a) UU PPh); 4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang pribadi atau badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh).
3
Pajak Penghasilan Badan
Contoh Kasus : Won Han Construction Ltd. adalah perusahaan yang berdomisili di suatu negara asing. Pada bulan Juni 2007 memenangkan tender membangun gedung di Jakarta. Untuk melaksanakan proyek tersebut Won Han Construction Ltd. memiliki tiga pilihan bentuk usaha yaitu : 1. Membuka Won Han Construction Ltd. cabang Jakarta; 2. Membentuk PT Won Han Construction Indonesia yang berstatus Penanaman Modal Asing (PMA); 3. Tidak membentuk badan apapun di Indonesia. Semua persiapan pekerjaan konstruksi dilakukan di negara domisilinya. Begitu datang ke Indonesia langsung melaksanakan proyek seefisien mungkin. Begitu selesai dan dibayar langsung balik lagi ke negara domisilinya.
Bentuk usaha seperti apa yang dipilih dan apa konsekuensi pajaknya?
4
Bentuk usaha no.3 yaitu tidak membuat badan apapun di Indonesia adalah bentuk paling ideal karena resiko pajaknya paling kecil. Tetapi UU PPh pasal 2 ayat (5) huruf i menyatakan bahwa bentuk usaha tetap jasa konstruksi langsung muncul pada hari pertama proyek dilaksanakan. Apabila proyek konstruksi adalah 1 tahun berarti Won Han Construction Ltd langsung menjadi subjek pajak luar negeri dengan BUT pada hari pertama. Jadi, pengenaan pajak sama dengan WP DN. Bentuk usaha cabang berdasarkan pasal 2 ayat (5) huruf b adalah bentuk usaha tetap sehingga konsekuensi pajaknya sama seperti pilihan no. 3 Pilihan no.2, yaitu menjadi PMA berarti langsung menjadi subjek pajak dalam negeri, karena PMA berdomisili / berkedudukan di Indonesia.
Pada prinsipnya Objek PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan menjadi dua yaitu : 1. Penghasilan Badan Dalam Negeri Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak PenghasiIan. 2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT). Penghasilan WP Badan Luar Negeri ada 2 macam yaitu : a. Penghasilan WP Badan Luar Negeri BUT Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT yaitu : 1) penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai; 2) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan oleh BUT di Indonesia; 3) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh, yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut. b. Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah penghasilan-penghasilan yang diterima atau diperoleh Badan Luar Negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal (passive income). Contohnya adalah penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain .
Objek Pajak Badan diatur dalam Pasal 4 UU PPh. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh diatur penghasilan-penghasilan yang menjadi objek pajak. Dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya ditetapkan secara final. Selain itu dalam Pasal 4 ayat (3) ditetapkan jenis-jenis penghasilan tertentu yang bukan merupakan objek pajak. Dari semua jenis penghasilan di Indonesia dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu : A. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh tidak bersifat Final (Pasal 4 ayat (1)); B. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3)). C. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Final (Pasal 4 ayat (2));
5
Pajak Penghasilan Badan
pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat dikelompokkan manjadi 3 macam yaitu : a. b. c. d. a.
b. c. d. e.
a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.
laba usaha; premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi); iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan); keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk : 1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya; 3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun; 4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan 5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan; bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang; dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; royalti atau imbalan atas penggunaan hak; sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
hadiah dari undian; penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak penghasilan dari usaha berbasis syariah; imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan surplus Bank Indonesia.
Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) jo. dapat dikelompokkan menjadi beberapa kriterita/alasan yaitu :
6
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan titik pemajakan adalah: a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; 2) harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; Penghasilan-penghasilan diatas bukan merupakan objek pajak karena titik pemajakan atas penghasilan tersebut bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang memberikan penghasilan. Pihak yang menyerahkan penghasilan dikenakan pajak dengan cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Dengan demikian pajak atas sumbangan, bantuan dan penggantian dalam bentuk natura dikenakan bukan pada pihak yang menerima sumbangan, bantuan atau natura tetapi pada pihak yang memberikan penghasilan tersebut. Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan saat pemajakan adalah iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai. Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat pengenaannya, yaitu pada saat menerima pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun dibebaskan dari pengenaan pajak (bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta yang iuran pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan). Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan insentif investasi adalah: a. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut. b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan; PMK-234/PMK.03/2009. c. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha; d. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan; dan
7
Pajak Penghasilan Badan
2)
e.
sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; Selanjutnya PP yang dimaksud adalah PP No. 130 Tahun 2000 tanggal 15 Desember 2000 yang mengatur bahwa yang dapat dibebaskan dari PPh adalah utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350 juta, termasuk : Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera); KUT (Kredit Usaha Tani); KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana); KUK (Kredit Usaha Kecil); Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur). Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang ditetapkan BPPN diatur dalam KEP-237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 jo. KEP563/Pj./2001 tanggal 8 Agustus 2001 yang menetapkan bahwa Wajib Pajak tersebut dapat memilih pengakuan penghasilan : sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang; dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar (20% per tahun); Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah disediakan, selambatIambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus; Sedangkan pengakuan penghapusan piutang dapat diakui oleh kreditur secara sekaligus pada tahun penghapusan piutang.
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan penegasan standar akuntasi adalah : a. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; b. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
Dibawah ini adalah Daftar Objek Pajak Badan yang dikenakan pajak bersifat final 1.
8
Penghasilan transaksi penjualan saham di bursa efek: - untuk semua transaksi semua saham - untuk transaksi penjualan saham sendiri
0,1% x Ph Bruto (0,1% x PPh Bruto) + (0,5% x nilai saham pada saat IPO)
PP No. 41/1994 jo. PP No. 14/1997 jo. KMK282/KMK.04/1997 SE-06/Pj.04/1997
2.
Penghasilan berupa hadiah undian
25% X Ph Bruto
PP No. 132/2000
3.
Penghasilan bunga deposito, termasuk simpanan pada bank DN yang memiliki cabang di LN
20% x Ph Bruto
PP No. 131/2000
jo
4.
Penghasilan bunga tabungan, jasa, giro, dan diskonto
20% x Ph Bruto
5.
Penghasilan dari sewa tanah dan/atau bangunan Penghasilan perusahaan ventura dari transaksi penjualan saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha (syarat :merupakan pengusaha kecil dan sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia) Penghasilan yang diterima WP perusahaan pelayaran DN
10 % x Ph Bruto
Penghasilan yang diterima WP perusahaan pelayaran LN dan/atau penerbangan LN Penghasilan yang diterima/diperoleh berupa bunga atau diskonto obligasi yang dijual di bursa efek : Diterima WP DN Diterima WP LN
2,64 % x Ph bruto
10.
Penghasilan berupa selisih lebih karena revaluasi aktiva tetap
10% x selisih dari nilai appraisal dan NSBF
11.
Pungutan PPh atas penyerahan premium, solar, premix kepada : SPBU Pertamina SPBU Swasta Pungutan PPh oleh Pertamina dan Badan Usaha selain Pertamina atas penyerahan minyak tanah, gas LPG, dan pelumas Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia yang diterima WP LN selain BUT di Indonesia Dan premi asuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di LN
6.
7.
8.
9.
12.
13.
14.
15.
16.
Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi pajak dari suatu BUT di Indonesia (kecuali penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia) Penghasilan yang diterima /diperoleh WP LN atas penghasilan yang bersumber dari Indonesia berupa : dividen bunga, termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta hadiah dan penghargaan banyaknya
PP No. 5/2002
0,1 % x Ph bruto
PP No.4/1995
1,2 % X Ph bruto
15 % x Ph Bruto 20 % x Ph Bruto
KMK416/KMK.04/1996 SE-29/PJ.04/1996
jo.
KMK-417/KMK.04/ 1996 PP No. 139/2000 KMK558/KMK.04/2000 PP No. 6/2002 PMK256/PMK.03/2008 KMK486/KMK.03/2002
0,25 % x penjualan 0,30 % x penjualan 0,30 % x penjualan
20 % x perkiraan Ph bruto atau sesuai tarif Tax Treaty 20 % x perkiraan Ph bruto atau sesuai tarif Tax Treaty
Pasal 26 UU PPh
Pasal 26 UU PPh
20 % x perkiraan Ph bruto atau sesuai tarif Tax Treaty
Pasal 26 UU PPh
9
Pajak Penghasilan Badan
Penghitungan PPh terutang dapat dilihat dalam Pasal 16 UU PPh. Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya yang berkaitan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto. Untuk mencari PPh yang terutang, penghasilan neto yang merupakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dikalikan tarif pasal 17 UU PPh.
Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh sebagai berikut :
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
10 % (sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000
15 % (lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00
30 % (tiga puluh persen)
Contoh : Penghasilan Kena Pajak PPh terutang 10% x 50.000.000 15% x 20.000.000 Jumlah PPh terutang
Rp 70.000.000,00 Rp. 5.000.000,00 Rp. 3.000.000,00 Rp 8.000.000,00
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen) Pasal 17. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) Pasal 31E. Contoh : Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Penghitungan pajak yang terutang: Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00 Contoh: Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang: 1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas: (Rp4.800.000.000,00:Rp30.000.000.000,00)xRp3.000.000.000,00= Rp480.000.000,00 2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas: 10
Rp 3.000.000.000,00 – Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00 Pajak Penghasilan yang terutang: (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+) Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00
PT Indo Wood adalah sebuah perusahaan plywood. Dengan terjadinya krisis ekonomi maka omzet plywood menurun drastis karena selama ini tidak mengekspor dan hanya menjual produknya dalam negeri. PT IndoWood mengalami kerugian untuk tahun pajak 2005 dan 2006. Karena PT IndoWood banyak mendapat kredit dari bank maka dengan adanya krisis, kredit tersebut macet dan PT IndoWood masuk program BPPN. BPPN merestrukturisasi hutang PT IndoWood dengan skema pembebasan sebagian hutang dan penjadwalan kembali pembayaran hutang. Mulai tahun 2007 PT IndoWood melakukan ekspor plywood. Untuk memperkuat permodalan, maka PT Indo Wood berniat menjual sahamnya di bursa efek. Agar nilai saham meningkat pada saat penawaran saham perdana, aktiva tetap PT IndoWood di-revaluasi dan kemudian PT IndoWood dimerger dengan PT Woodindo, suatu perusahaan yang masih satu group. Untuk menambah modal kerja dan karena ingin berkonsentrasi ke usaha inti, PT IndoWood telah menjual investasi-investasi saham di bursa efek segera setelah saham-saham tersebut memberikan dividen. Selain pendapatan penjualan plywood, penghasilan-penghasilan apa saja yang menjadi objek pajak PT IndoWood dalam kasus diatas? Pendapatan PT Indowood yang menjadi objek pajak sebagai berikut : ) 1. pendapatan berupa pembebasan hutang sebesar jumlah hutang yang dibebaskan 2. selisih lebih antara harga pasar dengan nilai sisa buku pada ssat penggabungan (merger) 3. keuntungan selisih kurs karena PT Indowwod sudah bertransaksi ekspor 4. pendapatan dividen saham. Diasumsikan PT Indowood berinvestasi saham untuk memanfaatkan dana menganggur saja sehingga kepemilikan kurang dari 25 %
) 1. selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebesar selisih, antara nilai pasar dan nilai buku aktiva yang direvaluasi. Selisih lebih revaluasi ini dikenakan PPh Final 10 % dari nilai selisih lebih revaluasi. 2. hasil penjualan saham dibursaefek (tidak memandang untung atau rugi), dikenakan PPh Final sebesar 0,1 % dari nilai penjualan.
KASUS 2 PT Indo Garment telah mengubah divisi distribusinya menjadi perusahaan tersendiri karena ada pemodal baru, PT Investor, yang mau bergabung. Kepemilikan modal di perusahaan tersebut 76% oleh PT Indo Garment dan 24% oleh PT Investor. Kedua pihak sepakat menyetorkan modal berupa uang tunai maupun Aktiva Tetap senilai @ 1 miliar. PT baru tersebut diberi nama PT Distributindo. PT Indo Garment juga menghibahkan 2 buah mobil box bekas dengan nilai pasar 100 juta. RUPS PT Distributindo memutuskan untuk tahun 2007 membagikan dividen senilai Rp 100 juta (Rp 24 juta untuk PT Investor dan Rp 76 juta untuk PT Indo Garment). Selain itu RUPS juga memutuskan untuk membeli garment dari PT Indo Garment dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar agar laba PT Indo Garment menurun sehingga jumlah pajak PT Indo Garment lebih kecil.
11
Pajak Penghasilan Badan
1. 2.
Berdasarkan kasus diatas, identifikasikan penghasilan-penghasilan PT Indo Garment yang menjadi objek Pajak, selain hasil penjualan garmen ! Identifikasi juga penghasilan PT Distributindo dan PT Investor yang menjadi objek pajak
Selisih antara harga pasar garmen dengan harga jual garmen ke PT Distributindo merupakan objek pajak. Seharusnya (anak perusahaan) sesuai dengan harga wajar dan tidak melakukan transfer pricing. Transfer pricing pada saat PT Distributindo masih merupakan divisi distribusi PT Indogarment tidak menimbulkan efek pajak, tetapi bila transfer pricing terjadi antar perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka ada konsekuensi pajaknya
Penghasilan dividen dari PT Distributindo sebesar Rp. 76 jt karena kepemilikan saham lebih dari 25 %
Pendapatan dari hibah 2 mobil box dengan nilai pasar Rp. 100 jt
Penyetoran modal sebesar Rp. 1 M
Penghasilan dividen dari PT Distributindo sebesar Rp. 24 jt karena kepemilikan saham kurang dari 25 %
Di pertengahan tahun 2013, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 (PP 46 2013), selanjutnya terbit pula peraturan pelaksananya PMK-107/PMK.011/2013, SE42/PJ/2013. Peraturan ini mengatur pengenaan tarif pajak 1% sebagai berikut: Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto tertentu dikenai PPh bersifat Final. WP dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut: a. WP Orang Pribadi atau Badan, tidak termasuk BUT; dan b. Menerima penghasilan dari usaha, , dengan peredaran bruto tidak melebih 4.800.000.000,dalam 1 (satu) tahun pajak. Peredaran bruto yang tidak melebihi 4.800.000.000 pada huruf b diatas ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran bruto dari: a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (WP OP) b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri c. Usaha yang atas penghsilannya telah dikenai PPh Final d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak
12
Tidak termasuk WP Badan (dalam pengenaan PP 46) adalah: a. WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau b. WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 milyar PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha. Pengenaan PPh berdasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam setahun dari tahun Pajak sebelumnya. Contoh: PT.Jon Bersaudara, diketahui melalui SPT PPh Badan tahun 2012 memiliki peredaran Bruto sebesar 3.500.000.000. dan pada bulan Juli, Agustus 2013 peredaran bruto sebesar 200.000.000 dan 300.000.000. maka sejak masa Juli 2013 (mulai berlaku ketentuan PP 46) PT.Jon Bersaudara dikenai PPh Final 1% sebagai berikut: Masa Juli 2013
: 1% x 200.000.000
= 2.000.000
Masa Agustus 2013
: 1% x 300.000.000
= 3.000.000
13
Pajak Penghasilan Badan
Dari pembahasan pada modul PPh Orang Pribadi, kita dapat memahami bahwa PPh terutang dapat dihitung dengan 2 cara yaitu menggunakan norma serta dengan pembukuan. Penghitungan dengan norma relatif sederhana tetapi hanya usaha berskala kecil milik Orang Pribadi saja yang diperbolehkan menggunakannya. Pengetahuan tentang perpajakan serta kebutuhan akan tenaga perpajakan lebih banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang harus menggunakan pembukuan dalam penghitungan pajak. Dalam menghitung PPh terutang, Orang Pribadi yang mengadakan pembukuan atau perusahaan tetap mendasarkan diri dari laporan keuangan yang dibuat oleh Orang Pribadi/perusahaan secara komersial. Dari laporan keuangan komersial tersebut selanjutnya dilakukan Rekonsiliasi Fiskal yaitu suatu mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara komersial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan laba/rugi fiskal. Rekonsiliasi Fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya. Secara ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal : Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun) karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban pembayaran pajaknya sudah selesai. Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi kredit pajak. Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan Jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut harus dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi) karena sudah dipotong PPh final oleh bank. Apabila WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan tersebut harus juga direkonsiliasi karena WP tidak perlu membayar PPh atas penghasilan tersebut. Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak perusahaan sebesar Rp 100 juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45 %. Penerimaan dividen tersebut tidak perlu diperhitungkan sebagai penghasilan dalam menghitung PPh terutang perusahaan tersebut pada akhir tahun karena bukan merupakan obyek pajak.
Apabila WP mengeluarkan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan maka biaya tersebut tidak bisa diperhitungkan dalam menghitung PPh terhutang pada akhir
14
tahun (direkonsiliasi). Perlakuan yang berbeda atas biaya jenis ini menimbulkan adanya Beda Tetap yaitu perbedaan yang benar-benar riil serta bersifat pasti dan tetap karena antara SAK dan UU PPh terjadi pengaturan yang berbeda. Atas beda tetap ini Wajib Pajak harus mengoreksi perbedaan yang timbul. Contoh beda tetap : Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan menurut PSAK adalah biaya sedangkan menurut pajak bukan biaya Kerugian usaha di luar negeri menurut PSAK boleh dikurangkan sedangkan menurut pajak tidak boleh Sanksi administrasi perpajakan menurut PSAK boleh menjadi biaya sedangkan menurut pajak tidak boleh.
Apabila WP mengeluarkan biaya yang metode pengakuannya diatur tersendiri oleh ketentuan pajak maka besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang juga harus disesuaikan dengan ketentuan pajak. Contoh : Truk seharga 100 juta secara akuntansi dapat saja disusutkan selama 5 tahun. Tetapi menurut pajak truk tersebut harus disusutkan selama 8 tahun. Akibatnya akan terjadi selisih biaya penyusutan setiap tahunnya. Selisih yang timbul akibat perbedaan metode pengakuan biaya antara SAK dan PPh disebut beda waktu. Pada prinsipnya jumlah pembebanan antara laporan komersial dan fiskal akan menemui jumlah kumulatif yang sama. Jadi yang membedakan hanyalah alokasi pada periode berjalan.
Apabila WP mengeluarkan biaya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak, maka biaya tersebut harus direkonsiliasi seluruhnya. Adalah hal yang logis bila suatu penghasilan direkonsiliasi maka biaya yang benar-benar terkait untuk mendapatkan penghasilan tersebut juga ikut direkonsiliasi. Tetapi jika biaya tersebut digunakan untuk mendapatkan semua jenis penghasilan, misalnya biaya penyusutan gedung, maka biaya yang boleh menjadi pengurang penghasilan harus dihitung secara proporsional. Contoh : Dana Pensiun XYZ memiliki penghasilan sebagai berikut : · penghasilan yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3h) Rp. 100.000.000,00 · penghasilan bruto lainnya (Objek Pajak) Rp. 300.000.000,00 Jumlah penghasilan bruto Rp. 400.000.000,00 Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar ¾ x Rp 200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
15
Pajak Penghasilan Badan
Peredaran usaha (tidak final) Biaya usaha (deductible expense) Biaya piknik (non deductible) Laba operasi Penghasilan bunga, jasa giro (final) Laba bersih
Rp. 1.000.000.000,-
-
Rp. 1.000.000.000,-
Rp. 800.000.000,-
-
Rp. 800.000.000,-
Rp. 50.000.000,-
Rp. 50.000.000,-
Rp. 0,-
Rp. 150.000.000,-
Rp. 50.000.000,-
Rp. 200.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
Rp. 10.000.000,-
Rp. 0,-
Rp. 160.000.000,-
Rp. 40.000.000,-
Rp. 200.000.000,-
Jika Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian dalam tahun-tahun sebelumnya maka kerugian fiskalnya dapat dikompensasi selama 5 (lima) tahun sejak dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat (2) UU PPh). Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan. Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian fiskal yang telah terjadi untuk tahun pajak 5 (lima) tahun. Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian fiskal maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun berturut-turut di mulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatkannya kerugian tersebut. Contoh : PT ABC dalam tahun 2008 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Periode 5 tahun berikutnya rugi laba fiskal PT ABC sebagai berikut : Tahun 2009, laba fiskal = Rp. 200.000.000,00 Tahun 2010, rugi fiskal = (Rp. 300.000.000,00) Tahun 2011, laba fiskal = NIHIL Tahun 2012, laba fiskal = Rp. 100.000.000,00 Tahun 2013, laba fiskal = Rp. 800.000.000,00 Kompensasi kerugian sebagai berikut : Rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.200.000.000,00) Laba fiskal tahun 2009 = Rp. 200.000.000,00 (-) Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00) Rugi fiskal tahun 2010 = Rp. 300.000.000,00 Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00) Laba fiskal tahun 2011 = NIHIL Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00) Laba fiskal tahun 2012 = Rp. 100.000.000,00 (-) Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 900.000.000,00) Laba fiskal tahun 2013 = Rp. 800.000.000,00 (-) Sisa rugi fiskal tahun 2008 sebesar Rp. 100 juta tersebut sudah tidak bisa lagi dikompensasikan karena jangka waktu kompensasi selama lima tahun sudah kadaluwarsa.
Dana Pensiun XYZ adalah dana pensiun yang didirikan oleh PT BUMN untuk mengelola iuran pensiun para karyawannya. Hasil iuran pensiun yang terkumpul setiap bulannya diinvestasikan dalam bentuk deposito. Karena suku bunga deposito yang cenderung menurun maka manager investasi Dana Pensiun XYZ ingin berinvestasi di saham-saham serta obligasi di bursa efek yang memberikan hasil yang lebih besar. Penghasilan dari investasi saham di bursa ada 2 macam
16
yaitu laba jual beli saham (capital gain) dan penghasilan berupa dividen sedangkan penghasilan investasi di obligasi berupa bunga / diskonto obligasi. Mulai tahun 2008 direksi PT BUMN mengusulkan agar iuran pensiun yang terkumpul diinvestasikan dalam bentuk penyertaan modal dengan prosentase kepemilikan sebesar 20% serta pinjaman kepada PT PUTRA BUMN, anak perusahaan PT BUMN, karena PT PUTRA BUMN sedang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya. Perincian penghasilan dan biaya tahun 2008 sebagai berikut : Penghasilan : Bunga deposito Rp. 1.000.000.000 Bunga obligasi di bursa Rp. 1.500.000.000 Dividen saham di bursa Rp. 200.000.000 Capital gain jual beli saham di bursa Rp. 2.000.000.000 Bunga pinjaman ke PT Putra BUMN Rp. 500.000.000 Dividen dari PT Putra BUMN Rp. 100.000.000 Jumlah Total Penghasilan Rp. 5.300.000.000 Biaya : Biaya transaksi saham di bursa saham efek Rp. 150.000.000 Biaya transaksi obligasi di bursa saham efek Rp. 200.000.000 Biaya operasional kantor ( joint cost ) Rp. 2.000.000.000 Manajer investasi Dana Pensiun XYZ bertanya kepada anda penghasilan apa saja yang menjadi objek pajak Dana Pensiun tersebut dan biaya-biaya apa saja yang dapat menjadi pengurang penghasilan. Lebih jauh lagi ia bertanya bagaimana cara menghitung pajak dana pensiun.
Bunga deposito diterima Dana Pensiun Bunga obligasi di bursa diterima Dana Pensiun Dividen saham di bursa diterima Dana Pensiun Capital gain jual beli saham di bursa Bunga pinjaman dari PT Putra BUMN Dividen dari PT Putra BUMN
Biaya transaksi saham di bursa saham efek Biaya transaksi obligasi di bursa saham efek
1. biaya transaksi saham di bursa saham efek 2. biaya transaksi obligasi di bursa saham efek
Rp.1.000.000.000
Rp. 1.000.000.000
Rp.1.500.000.000
Rp. 1.500.000.000
Rp. 200.000.000
Rp. 200.000.000
Rp.2.000.000.000
Rp. 2.000.000.000
Rp. 500.000.000
Rp. 500.000.000
Rp. 100.000.000
Rp. 100.000.000
Rp. 150.000.000
Rp. 150.000.000
Rp. 200.000.000
Rp. 200.000.000
Rp. 150.000.000 Rp. 200.000.000
17
Pajak Penghasilan Badan 1. bagian dari join cost secara proporsional menurut perbandingan penghasilan objek pajak tidak final dengan total penghasilan 600.000 x Rp. 2M 5.300.000 Rp.2.950.000.000
Rp. 226.415.000
Rp. 754.716.981
Rp. 1.018.867.925
Rp. 373.585.000
Rp. 1.095. 283.019
Rp. 1.679.132.075
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh, iuran yang diterima Dana Pensiun bukan merupakan objek pajak. Sedangkan berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh jo KMK651/KMK.04/1994 jo SE-16/PJ.4/1995 jo. hasil investasi Dana Pensiun dalam bentuk bunga deposito, bunga obligasi dan pasar modal serta dividen saham, bukan objek pajak. Penghasilan berupa capital gain / biaya berupa capital loss direkonsiliasi karena transaksi di bursa dikenakan PPh final 0,1% Penghasilan bunga dividen dan bunga dari PT PUTRA BUMN tidak terdapat dalam daftar penghasilan yang bukan objek pajak dan tidak pula tercantum dalam daftar penghasilan yang dikenakan dari PPh final sehingga merupakan objek pajak. Biaya yang terkait Iangsung dengan penghasilan bukan objek pajak dan penghasilan final tidak boleh menjadi pengurang. Yang diperbolehkan adalah biaya yang terkait langsung dengan penghasilan yang termasuk objek pajak. Jika terdapat biaya yang digunakan secara bersamasama untuk mendapatkan semua jenis penghasilan diatas maka biaya yang diakui sebagai pengurang penghasilan dihitung secara proporsional.
18
Kita sudah pernah belajar bahwa untuk mendapatkan laba fiskal kita harus melakukan rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal ini dilakukan atas semua pendapatan dan biaya perusahaan. Rekonsiliasi atas pendapatan dilakukan terhadap pendapatan-pendapatan yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (3)) serta penghasilan-penghasilan yang telah dikenakan PPh Final pasal 4 ayat (2). Sedangkan biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah : a. biaya-biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh. b. biaya yang dikeluarkan untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang bukan Objek Pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh. c. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang bersifat final yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan aturan pelaksanaannya. d. biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar) e. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak menggunakan bukti, daftar nominatif, dan tanpa dokumen) f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria : a) Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat, kecuali dapat dibuktikan bahwa atas Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP. b) Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal 9 ayat (1) UU PPh. g. Biaya untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana yang tercantum dalam pasal 15 UU PPh dan aturan pelaksanaannya. Apabila terdapat biaya-biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan penghasilan yang merupakan objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun penghasilan yang bukan merupakan objek pajak ( Joint Cost ), maka besarnya biaya yang dapat dikurangkan dihitung berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan objek pajak dengan jumlah pendapatan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang bukan objek pajak (penjelasan Pasal 6 UU PPh)
Biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk menjalankan usaha/kegiatannya tidak seluruhnya diakui oleh pajak sebagai pengurang. Pada prinsipnya biaya tersebut dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :
a.
Beban atau biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh). Contohnya : biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk
19
Pajak Penghasilan Badan
b.
a.
uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; Kerugian dan selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh)
Beban penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyi manfaat lebih dari 1 tahun (pasal 6 ayat (2)). Syarat : Harta berwujud yang penyusutannya dapat dibiayakan atau harta tidak berwujud yang dapat amortisasinya dapat dibiayakan adalah harta yang dimiliki dan digunakan (syarat kumulatif) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 A ayat (1)); b. Iuran kepada dana pensiun (Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh). Syarat : Dana Pensiun yang menerima iuran pensiun tersebut pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan; c. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta (Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh). Syarat : Harta yang dijual atau dialihkan dimiliki dan digunakan (syarat kumulatif) dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; d. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh). Syarat : Penelitian tersebut dilakukan di Indonesia; e. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh); Syarat : Berkaitan dengan kepentingan perusahaan; f. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh) Syarat : memenuhi 4 syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo PMK57/PMK.03/2010yaitu : 1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial; 2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan 3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu; 4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU PPh g. Sumbangan dalam rangka penanganan bencana nasional h. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia i. Biaya pembangunan infrastruktur sosial j. Sumbangan fasilitas pendidikan k. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga Syarat untuk point g, h, i, j, k berdasarkan PP 93 tahun 2010 1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan Tahun Pajak Sebelumnya 2. Pemberian subangan dan/atau tidak menyebabkan kerugian pada tahun pajak Sumbangan dan/atau biaya diberikan. 3. Didikung oleh bbukti yang sah; dan
20
4.
Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam UndangUndang Pajak Penghasilan.
Khusus untuk biaya pembangunan infrastuktur soisla atau ada syarat tambahan yaitu: 1. Besarnya biaya yang dapat dikurangkan untuk 1 (satu) tahun tidak melebihi 5% (lima persen) dari penghasilan neto Fiskal tahun pajak sebelumnya, 2. Diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
Jenis-jenis biaya yang tidak bisa dikurangkan berdasarkan Pasal 9 UU PPh dapat dikelompokkan menjadi beberapa kriteria/alasan yaitu : Titik pemajakan atas pengeluaran-pengeluaran dibawah ini bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang melakukan pengeluaran. Pihak yang melakukan pengeluaran dikenakan pajak dengan cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Pengalihan titik pemajakan dilakukan karena Iebih mudah mengenakan pajak kepada WP Badan yang mengeluarkan biaya daripada mengenakan pajak kepada pihak yang menerima penghasilan. Biaya-biaya yang masuk kategori non deductable karena alasan pengalihan titik pemajakan adalah: a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau anggota. (Pasal 9 ayat (1) huruf b); dan b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya. (Pasal 9 ayat (1) huruf i) Pengeluaran semacam ini dapat juga berbentuk pengeluaran dalam jumlah yang melebihi kewajaran untuk kepentingan pihak yang memiliki hubungan istimewa dan keluarganya yang Iebih merupakan dividen terselubung. Contoh : Pengeluaran untuk biaya sekolah anak direksi/pemegang saham, biaya perbaikan rumah direksi/pemegang saham, biaya perawatan mobil pribadi direksi/pemegang saham dan lain-lain. WP Badan yang melakukan pengeluaran kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa atau orang yang menjadi tanggungannya dikenakan pajak dengan cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. c. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah ((pasal 9 ayat (1) huruf g). Contoh : Induk Perusahaan menghibahkan sebagian assetnya untuk anak perusahaan. Induk perusahaan dikenakan pajak dengan cara harta yang dihibahkan tersebut tidak boleh menjadi pengurang penghasilan. d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai secara bersama-sama di tempat usaha atau pekerjaan, serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan. (pasal 9 ayat (1) huruf e).
21
Pajak Penghasilan Badan
Contoh : Pemberian pakaian seragam yang tidak berhubungan dengan keselamatan kerja pegawai, pemberian parcel untuk pegawai dan biaya catering yang hanya diberikan kepada direksi tidak dapat dijadikan biaya menurut pajak. Perusahaan yang memberikan natura/fasilitas dikenakan pajak dengan cara tidak boleh membebankan natura/fasilitas sebagai pengurang. Saat pemajakan atas biaya-biaya berupa premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi tidak bisa dijadikan biaya, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9 ayat (1) huruf d) Contoh : Pegawai mengikuti program Jamsostek, dimana sebagian dibayar oleh perusahaan dan sebagian lagi dibayar sendiri oleh pegawai. Pembayaran iuran Jamsostek yang dibayar sendiri oleh pegawai tidak boleh menjadi biaya perusahaan (dikenakan pajak saat diawal karena pada saat menerima klaim tidak dikenakan pajak) Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak bisa dijadikan biaya kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi , cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat (1) huruf c). Ketentuan ini merupakan insentive investasi bagi usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, untuk usaha asuransi, dan usaha pertambangan. Alasan lain adalah prinsip realisasi yang dianut pajak dalam pembebanan piutang tidak tertagih dimana piutang tak tertagih tersebut harus benar-benar tidak tertagih dengan memenuhi 4 syarat sebagaimana tercantum dalam UU PPh No 36 Tahun 2008. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak bisa dijadikan biaya untuk membina kepatuhan Wajib Pajak . (pasal 9 ayat (1) huruf k) Contoh : Sanksi berupa denda STP, bunga penagihan, bunga terlambat bayar dan sanksi perpajakan lain tidak boleh menjadi biaya perusahaan agar WP berusaha menghindari sanksi adininistrasi. Pajak Penghasilan; Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9 ayat (1) huruf h) Contoh : Pembayaran angsuran PPh pasal 25 serta pembayaran PPh pasal 29 akhir tahun tidak boleh mengurangi penghasilan. Apabila PPh dijadikan pengurang maka perhitungan pajaknya menjadi berulang sampai ke titik nihil. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham (pasal 9 ayat (1) huruf j) Contoh : Gaji bagi anggota firma dan CV bukanlah biaya karena firma dan CV bukan merupakan entitas harta yang terpisah dari pemiliknya. Pembayaran gaji tersebut juga bukan merupakan dividen karena bukan merupakan pembagian laba Firma atau CV. Jadi anggota Firma atau CV membayar pajak melalui Firma atau CV tersebut. Apabila
22
penghasilan anggota firma atau CV semata-mata berasal dari gaji yang dibayar oleh Firma atau CV, maka ia tidak lagi berkewajiban membayar PPh atas nama pribadinya.
Terdapat beberapa biaya yang harus memenuhi syarat-syarat khusus agar dapat dibebankan sebagai biaya secara fiskal. Biaya-biaya tersebut dibahas secara mendetail dibawah ini. Pembentukan cadangan yang diperbolehkan adalah yang berdasarkan PMK 81/PMK.03/2009. Pembentukan Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu :
5. cadangan piutang tak tertagih untuk: a) bank umum umum yang yang melaksanakan melaksanakan kegiatan usaha secara secara konvensional; konvensional; b) bank umum umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan berdasarkan prinsip syariah; c) bank perkreditan perkreditan rakyat yang melaksanakan melaksanakan kegiatan usaha usaha secara konvensional; konvensional; d) bank perkreditan perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan kegiatan usaha berdasarkan berdasarkan prinsip syariah; 6. cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan kredit, yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang meliputi : a. Koperasi simpan pinjam; dan b. PT Permodalan Nasional Madani (Persero); 7. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease); 8. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara angsuran; 9. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut; 1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan asuransi kerugian; 2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa; , yaitu cadangan penjaminan untuk lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya; , yaitu cadangan biaya untuk kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya; , yaitu cadangan biaya penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas
23
Pajak Penghasilan Badan
hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu; dan , yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan, pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan hasil pengolahan limbah industri. Besarnya cadangan untuk masing-masing item dapat Anda lihat di PMK 81/PMK.03/2009 jo PMK- 219/PMK.011/2012
Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 Tanggal 5 Agustus 2003 ketentuan ―penyediaan makanan dan minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerj a‖ tidak mutlak harus seluruh pegawai perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi, dan dinas luar lainnya), maka hal tersebut tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip tersebut di atas. Berdasarkan KEP-163/PJ./2003 KEP-163/PJ./2003 tanggal 10 Juni 2003 Wajib Pajak yang melakukan pengurangan pengurangan zakat atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang telah dilegalisir oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat penerima setoran zakat yang bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat atas penghasilan tersebut. Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagal bukti sekurang-kurangnya harus memuat: a. Nama Iengkap Wajib Pajak; b. Alamat jelas Wajib Pajak; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya; e. Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tahÿÿ pÿÿolehÿÿnya; pÿÿolehÿÿnya; f. Besarnya penghasilan; g. Besarnya zakat atas penghasilan. Berdasarkan SE-02/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002, semua pengeluaran untuk PDRD harus langsung dibiayakan di tahun berjalan kecuali sanksi Bunga, Denda atau Kenaikan yang harus dikapitalisasi. Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 tentang Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002 diatur hal-hal sbb : a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50%nya dicatat sebagai pembelian aktiva tetap kelompok I dan dijadikan biaya melalui penyusutan; b. Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya perusahaan; c. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure ) atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan; 24
d. e.
f. g. h. i. j.
Biaya servis rutin atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya; Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) expenditure) atas sedan atau sejenis yang dimiliki & digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50 %-nya sebagai pembelian aktiva tetap golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan; penyusutan; Biaya servis rutin atas sedan sedan atau sejenis yang dimiliki & digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat dicatat 50%-nya sebagai sebagai biaya; Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas bukan penghasilan pegawai; Termasuk kategori ponsel adalah pager; Termasuk kategori sedan adalah minibus ( Kijang dan sejenisnya); Termasuk kategori kategori biaya pemeliharaan pemeliharaan adalah biaya bahan bahan bakar.
Berdasarkan KEP-316/PJ./2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan upgrade software diatur hal-hal sebagai berikut a. Perlakuan PPh atas software umum Software umum adalah software yang digunakan oleh users umum; Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure expenditure dan diakui pada saat pengeluaran; Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya perolehannya dikapitalisasi bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1; b. Perlakuan PPh atas software khusus Software khusus adalah program yang dirancang untuk keperluan otomatisasi kegiatan tertentu; Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan diamortisasi selama 4 tahun; Bila software khusus di-upgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada NSBF software yang bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan. bersangkutan. Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang perlakuan PPh untuk PBB dan BPHTB maka : c. Biaya PBB harus langsung dibiayakan pada tahun berjalan; d. Biaya BPHTB untuk pembelian tanah dicatat sebagai aktiva tidak berwujud dan diamortisasi sesuai pasal 11 A sesuai masa hak atas tanah; e. Biaya BPHTB untuk pembelian bangunan dikapitalisasi ke nilai bangunan dan didepresiasi sesuai pasal 11; PT Aneka adalah perusahaan milik keluarga Tn. Hernowo. Kantornya menempati sebagian ruangan rumahnya. PT Aneka adalah supplier alat-alat bagi kantor-kantor seperti ATK, meja, kursi, filling cabinet, AC,Komputer dll. Karena perusahaan keluarga maka dana untuk keperluan keluarga Tn. Hernowo juga diambil dari kas perusahaan, misalnya untuk keperluan berobat Tn. Hernowo biaya sekolah sekolah anak-anak Tn Hernowo, Hernowo, pembayaran pembayaran cicilan rumah dll. Bila Tn. Hernowo sedang membutuhkan dana untuk keperluan proyek, ia sering menggunakan uang tabungan pendidikan anaknya & tabungan pribadi juga tabungan hajinya. Setelah proyek selesai, tabungan tersebut diisi lagi ditambah sejumlah ―komisi‖. Tn. Hernowo merasa bahwa manajemen keuangannya keuangannya seperti diatas sudah cukup baik selama ini, terbukti ia tidak perlu berhutang ke bank untuk melaksanakan proyek-proyeknya dan membayar gaji keponakannya yang membantu administrasi setiap bulannya.
25
Pajak Penghasilan Badan
Akhir bulan lalu PT Aneka diperiksa oleh Kantor Pajak dan terkena SKPKB yang cukup besar karena dianggap pembukuannya selama ini salah. Kira-kira dimana kesalahannya ? Tn Hernowo merasa yakin sudah dipotong pajak terutama saat menjual barang ke kantor-kantor pemerintah. Ia meminta anda menjelaskan kesalahannya !
Kesalahan utama pembukuan PT Aneka adalah tidak memisahkan biaya-biaya perusahaan dengan biaya untuk keperluan pribadi pemegang saham sehingga banyak biaya-biaya perusahaan yang tidak diakui secara fiskal. Selain itu banyak biaya-biaya yang seharusnya dibebankan melalui pembebanan penyusutan ternyata dibebankan sekaligus pada tahun berjalan.
26
Pada waktu kita belajar tentang penghasilan yang menjadi obyek pajak disebutkan bahwa salah satu obyek pajak adalah keuntungan atas pengalihan harta yaitu selisih harga pasar wajar harta tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang-kadang harga pasar wajar suatu harta susah ditentukan karena jual beli dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul masalah dalam penentuan berapa laba atau rugi pengalihan harta. Disamping itu timbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat harga perolehan harta tersebut. Bagi pembeli masalah penilaian harta menentukan biaya penyusutan atas harta tersebut. Agar tidak terjadi perdebatan antara petugas pajak dengan Wajib Pajak tentang masalah ini maka Fiskus menetapkan ketentuan tentang penilaian harta. Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tata cara penilaian harta milik Wajib Pajak seperti aktiva tetap dan persediaan. Selain itu diuraikan juga cara menghitung penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta dalam perusahaan, cara menghitung keuntungan atau kerugian apabila terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan cara penghitungan penghasilan dan penjualan barang dagangan. (pasal 10 UU PPh)
Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan penilaian hartaharta menurut ketentuan pajak : 1. Persediaan Barang Dagangan Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah FIFO dan ratarata dengan mendasarkan diri pada historical cost (harga perolehan) persediaan tersebut. Metode yang lain seperti LIFO tidak diperkenankan. (Berdasarkan pasal 10 ayat (6)) 2. Aktiva Tetap (Bangunan, Mesin dan Kendaraan) Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya angkut, dan biaya pemasangan. ( Berdasarkan pasal 10 ayat (1)). Contoh : Mesin diimpor dengan harga (Nilai Impor) Rp. 100 juta. Biaya pengangkutan dari pelabuhan ke pabrik, biaya pemasangan, pengetesan dan lain-lain sampai mesin tersebut siap digunakan sebesar Rp. 20 juta. Maka sebesar Rp. 20 juta tersebut dikapitalisasikan ke harga mesin sehingga nilai perolehan mesin menjadi Rp. 120 juta. 3. Tanah Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasikan dalam harga tanah. (Berdasarkan pasal 10 Ayat (1) dan (2)). Contoh :
27
Pajak Penghasilan Badan
Tanah dibeli seharga Rp. 1 miliar. Untuk pengurusan status dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikeluarkan biaya sebesar Rp. 200 juta. Maka sebesar Rp. 200 juta dikapitalisasikan ke harga perolehan tanah sehingga harga tanah tercatat sebesar Rp. 1.200 juta.
4.
Biaya Pra Operasi Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. (Berdasarkan pasal 11 ayat (6)). Contoh : Biaya studi kelayakan, biaya produksi percobaan, biaya untuk mendapatkan izin usaha dari instansi berwenang dan biaya pendirian perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan. Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi Biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor Iainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun pengeluaran.
Beberapa transaksi akan mempengaruhi harga perolehan suatu aktiva, diantaranya : Suatu transaksi jual beli mungkin dipengaruhi oleh hubungan istimewa dan mungkin juga tidak. Dalam hal jual beli dipengaruhi hubungan istimewa (kepemilikan maupun hubungan. darah) maka penentuan harga bagi penjual dan pembeli adalah : bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang seharusnya dibayar bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima Sedangkan bila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga jual beli : bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang sesungguhnya dibayar bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang sesungguhnya diterima Contoh : Tuan A adalah pemegang saham utama PT X. Tuan A memasok bahan baku produksi PT X. PT X membeli bahan baku dari Tuan A seharga Rp. 1.500.000,- per unit padahal harga bahan baku yang sama di pasar bebas hanya sebesar Rp. 1.000.000,- Karena transaksi tersebut adalah transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa maka PT X harus mencatat nilai perolehan bahan baku sebesar Rp.1.000.000,-, bukan Rp. 1.500.000,Adanya hubungan istimewa menyebabkan harga perolehan menjadi Iebih besar/Iebih kecil dari harga pasar wajar. OIeh karena itu perlu dikoreksi untuk mendekatkan pada kondisi riil pasar. Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. (Berdasarkan pasal 10 ayat (2) UU PPh ) Contoh Tuan A ingin menukarkan mesin yang dimilikinya dengan mobil yang dimiliki Tuan B. Harga pasar mesin tersebut adalah Rp 5.000.000 dengan NiIai Sisa Buku Fiskal (NSBF) sebesar Rp 1.000.000. Mobil Tuan B sendiri memiliki harga pasar Rp 6.000.000 dengan NSBF sebesar Rp 3.000.000. Berapa keuntungan yang didapat dan transaksi tersebut? Jawaban
28
Selisih Iebih harga pasar dan NSBF adalah keuntungan yang dikenakan pajak. Keuntungan Tuan A sebesar selisih Harga Pasar mobil yang diterima (Rp.6.000.000,00)dengan NSBF mesin yang diserahkan (Rp.1.000.000)= 5.000.000 dan keuntungan Tuan B adalah sebesar selisih Harga Pasar mesin yang diterima (Rp. 5.000.000,-) dengan NSBF mobil yang diserahkan (Rp. 3.000.000) = 2.000.000,
Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan pada tahun terjadinya penjualan dan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan atau kerugian karena pengalihan harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut. Apabila suatu harta terbakar, maka penggantian asuransinya ( kalau ada) dibukukan sebagai penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Contoh Sebuah mesin semi konduktor milik PT Electron terbakar karena terjadi konslet pada tanggal 10 Januari 2009. Mesin tersebut dibeli tahun 2006 seharga Rp. 1 miliar. Nilai Sisa Buku Fiskal ( NSBF ) pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp. 625 juta. Penggantian asuransi yang didapat sebesar Rp. 500 juta. NSBF sebesar Rp. 625 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2006 sedangkan penggantian asuransi sebesar Rp. 500 juta dicatat sebagai penghasilan. Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut. Pada prinsipnya pengalihan harta dalam bentuk apapun (jual beli, setoran modal, tukar menukar, dan lain- lain), penilaian hartanya didasarkan pada harga pasar. Contoh Tuan A ingin menambah modalnya di PT X dengan menyerahkan sebuah gudang. Nilai sisa buku Fiskal gudang sebelum penyerahan adalah Rp. 500 juta sedangkan harga pasarnya Rp. 1 miliar. Maka PT X mencatat setoran modal berupa gudang dari Tuan A sebesar Rp. 1 miliar sedangkan Tuan A harus mengakui keuntungan pengalihan harta sebesar harga pasar gudang ( Rp. 1 miliar) dikurangi NSBF-nya ( Rp. 500 juta) = Rp. 500 juta.
(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku. (2) Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha. (3) Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang lebih kecil. (4) Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru. (5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku adalah:
29
Pajak Penghasilan Badan
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering). (6) Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan yang memenuhi pasal 4 ayat 3 huruf a dan b ( yang menyerahkan adalah orang pribadi dan yang menerima adalah anggota keluarga sedarah lurus satu derajat atau badan sosial ) dicatat sebesar nilai buku harta yang dihibahkan oleh penerima. Sedangkan pemberi hibah dan sumbangan tidak boleh mencatat kerugian atas penyerahan harta tersebut. Contoh Tuan A berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing kepada PT X dan kepada sebuah badan sosial yang ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke badan sosial, Tuan A mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi atas hibah gedung kepada PT X, Tuan A harus mencatat hibah tersebut sebesar harga pasar dan harus laba/rugi. Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar Nilai Buku Fiskal menjadi sebesar harga pasar. Nilai harta setelah dilakukan revaluasi adalah sebesar nilai yang disetujui oleh Ditjen Pajak. Untuk dapat disetujui oleh Ditjen Pajak, atas selisih antara nilai buku sebelum revaluasi dan nilai buku setelah revaluasi WP dikenakan PPh Final sebesar 10 %. Setelah revaluasi disetujui, WP dapat menyusutkan harta dengan dasar penyusutan yang baru (sebesar nilai harta yang disetujui Ditjen PaJak). Berdasarkan PMK 79/PMK.03/2008. Contoh NSBF suatu mesin sebelum revaluasi adalah Rp. 100 juta. Harga pasar wajar tersebut adalah Rp. 500 juta. Dengan persetujuan Ditjen Pajak, NSBF mesin tersebut dapat diubah menjadi sebesar harga pasarnya ( Rp. 500 juta). Setelah itu WP dapat menyusutkan mesin dengan dasar penyusutan yang baru
30
Setelah kita belajar tentang nilai perolehan harta perusahaan, sekarang kita belajar tentang penyusutan atas harta tersebut. Biaya penyusutan suatu harta sangat dipengaruhi oleh nilai harta tersebut pada saat perolehannya. Hal lain yang berpengaruh adalah umur ekonomis, metode penyusutan serta nilai sisa harta tersebut setelah berakhirnya umur ekonomis. Dalam akuntansi komersial pengusaha bebas menentukan metode penyusutan, umur ekonomis serta nilai sisa suatu harta. Tetapi hal tersebut akan menimbulkan biaya penyusutan serta beban pajak yang tidak seragam diantara wajib pajak. Selain itu dalam audit pajak juga akan timbul perdebatan antara wajib pajak dan pemeriksa tentang masalah diatas. Agar tidak terjadi perdebatan antara pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak maka pemerintah menganggap perlu adanya keseragaman metode penyusutan atas suatu harta. Bab ini akan membahas masalah metode penyusutan atas suatu harta menurut ketentuan pajak.
Hal-hal yang menentukan besarnya biaya penyusutan adalah nilai perolehan, umur ekonomis, metode penyusutan serta nilai sisa harta. Biaya penyusutan per tahun dihitung dengan rumus: Biaya Penyusutan per tahun = Nilai perolehan Harta - Nilai Sisa Umur Ekonomis Pembahasan tentang nilai perolehan telah dijelaskan pada Bab V. Disini akan difokuskan pada umur ekonomis, metode penyusutan, nilai sisa serta tarif penyusutan. Menurut ketentuan pajak, umur ekonomis I masa manfaat suatu aktiva ditentukan berdasarkan kelompok-kelompok aktiva sebagai berikut :
I. Bukan bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak Permanen
4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun 20 tahun 10 tahun
Dalam rangka memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak, Menteri Keuangan telah menetapkan jenis-jenis harta yang termasuk dalam setiap kelompok masa manfaat yang harus diikuti oleh Wajib Pajak. Daftar Harta tersebut selengkapnya dapat dilihat pada lampiran.
31
Pajak Penghasilan Badan
(Peraturan Menteri Keuangan 96/PMK.03/2009 tentang Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan). Contoh : Apapun jenis usaha Wajib Pajak, harta berupa komputer, printer dan scanner ditentukan termasuk golongan 1 sehingga dianggap berumur 4 tahun. Padahal bisa saja secara akuntansi komputer tersebut dianggap berumur hanya 2 tahun. Metode penyusutan yang dibolehkan secara fiskal adalah: yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang ditetapkan bagi harta tersebut. Contoh : Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya 20 (dua puluh) tahun, maka penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00 (Rp 100.000.000,00 : 20). yaitu penyusutan dalam bagian-bagian yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa buku. Jika Wajib Pajak memilih menggunakan metode saldo menurun, nilai sisa buku pada akhir masa manfaat harus disusutkan sekaligus. Contoh : Sepeda motor 15 buah yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Januari 2004 dengan harga perolehan sebesar Rp 150.000.000,00. Masa manfaat dari sepeda motor berdasarkan PMK 96/PMK.03/2009 adalah 4 (empat) tahun. Tarif penyusutan untuk golongan I dengan metode saldo menurun ditetapkan 50% (lima puluh persen), penghitungan penyusutannya adalah sebagai berikut :
Tahun
Tarif
2004
50 %
2005
Penyusutan
Rp
Akm. Penyusutan
Nilai Sisa Buku Fiskal
75.000.000
Rp. 75.000.000
Rp. 75.000.000
50 %
Rp. 125.000.000
Rp. 112.500.000
Rp. 37.5000.000
2006
50 %
Rp. 18.750.000
Rp. 131.250.000
Rp. 18.750.000
2007
-
Rp. 18.750.000
Rp. 150.000.000
-
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan secara taat azas. Menurut ketentuan pajak, nilai sisa suatu aktiva setelah berakhirnya umur ekonomis adalah nihil. Jadi, pajak tidak mengenal nilai sisa/nilai residu sehingga semua nilai perolehan harta harus habis disusutkan. Tarif penyusutan ditentukan berdasarkan metode serta umur ekonomis harta. Bila suatu harta ditentukan masuk kelompok I maka umur ekonomisnya dianggap 4 tahun. Bila metode penyusutan yang dipilih atas harta tersebut adalah metode garis lurus maka tarif penyusutannya adalah 100% umur ekonomis atau sama dengan 100% : 4 = 25%. Bila metode penyusutan yang dipilih adalah metode saldo menurun maka tarif penyusutannya adalah 2 kali
32
tarif metode garis lurus. Jadi, bila suatu harta masuk kelompok I (umur 4 tahun) dan metode yang dipilih adalah saldo menurun maka tarif penyusutannya adalah 2 x 100% : 4 = 50% atau 2 x 25% = 50%. Dibawah ini tercantum daftar selengkapnya dari tarif penyusutan. Perhatikan bahwa tarif penyusutan ditentukan berdasarkan kelompok harta dan tarif untuk metode saldo menurun adalah 2 kali tarif garis lurus.
I. Bukan bangunan Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4 II. Bangunan Permanen Tidak permanen
4 tahun 8 tahun 16 tahun 20 tahun
2,5 % 12,5 % 6,25 % 5%
20 tahun 10 tahun
5% 10 %
50 % 25 % 12,5 % 10 %
Bangunan tidak permanen didefinisikan sebagai bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun. Misalnya, barak atau asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan. Harta berwujud berupa bangunan hanya dapat disusutkan dengan metode garis lurus. Harta berwujud selain bangunan dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode saldo menurun. Sesuai dengan pembukuan Wajib Pajak, alat-alat kecil (small tools) yang sama atau sejenis dapat disusutkan dalam satu kelompok. Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan. Contoh 1 : Pengeluaran untuk pembangunan sebuah gedung adalah sebesar Rp 100.000.000,00. Pembangunan dimulai pada bulan Oktober 2008 dan selesai untuk digunakan pada bulan Maret 2009. Penyusutan atas harga perolehan bangunan gedung tersebut dimulai pada bulan Maret tahun pajak 2009. Contoh 2 : Sebuah mesin yang dibeli dan ditempatkan pada bulan Juli 2008 dengan harga perolehan sebesar Rp100.000.000,00. Masa manfaat dari mesin tersebut adalah 4 (empat) tahun. Metode penyusutannya adalah saldo menurun sehinggga tarif penyusutannya 50% (lima puluh persen). Penghitungan penyusutannya adalah sebagal berikut:
Rp. 100.000.000 2012
6/12 X 50%
Rp. 25.000.000
Rp. 25.000.000
Rp. 75.000.000
33
Pajak Penghasilan Badan
2013
50%
Rp. 37.500.000
Rp. 62.500.000
Rp. 37.250.000
2014
50%
Rp. 18.750.000
Rp. 81.250.000
Rp. 18.750.000
2015
50%
Rp. 9.375.000
Rp. 90.625.000
Rp. 9.375.000
Rp. 9.375.000
Rp. 100.000.000
0
2016
Contoh 3. PT X yang bergerak di bidang perkebunan membeli traktor pada tahun 2008. Perkebunan tersebut mulai menghasilkan (panen) pada tahun 2009. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, penyusutan traktor tersebut dapat dilakukan mulai tahun 2009. Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak milik, termasuk tanah berstatus hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh disusutkan (dikapitalisasikan dalam harga tanah). Contohnya harga perolehan tanah serta pengurusan hakhak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya. Biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai diamortisasikan selama jangka waktu hak-hak tersebut. Contoh : Biaya perpanjangan Hak Guna Bangunan selama 4 tahun adalah sebesar Rp. 40 juta. Maka biaya perpanjangan tersebut diamortisasikan selama 4 tahun. Apabila tanah tersebut dipergunakan untuk memperoleh penghasilan dan nilai tanah tersebut berkurang karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan, maka tanah tersebut harus disusutkan. Contoh : Tanah yang dipergunakan untuk perusahaan genteng, perusahaan keramik, atau perusahaan batu bata harus disusutkan untuk mencerminkan nilai tanah yang sebenarnya. Penyusutan dilakukan dengan memperkirakan masa manfaat tanah sampai berakhirnya masa penggunaan tanah untuk bahan baku genteng, keramik atau batu bata. Adapun peraturan baru tentang penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang usaha tertentu yang diatur dalam PMK-249/PMK.03/2008 jo PMK-126/PMK.011/2012 dimana WP yang bergerak dalam bidang usaha tertentu dapat melakukan penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah ditentukan bagi harta tersebut. Bidang usaha tertentu yang dimaksud meliputi : a.b bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, dan hasil yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun; a.c bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun; a.d bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sakurang-kurangnya 1 (satu) tahun. Harta berwujud yang dimaksud berupa aktiva tetap yang dimiliki dan digunakan serta merupakan komoditas pokok dalam bidang usaha tertentu, yaitu : a. bidang usaha kehutanan, meliputi tanaman kehutanan kayu b. bidang usaha industri perkebunan tanaman keras, meliputi tanaman keras
34
c. bidang usaha peternakan meliputi ternak, termasuk ternak sapi pejantan Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dimulai pada bulan produksi komersial, dimana bulan penjualan mulai dilakukan
Sebagaimana halnya dengan aktiva tetap berwujud, aktiva tidak berwujud juga disusutkan (diamortisasikan) dengan memperhatikan 5 hal yaitu nilai perolehan, masa manfaat, nilai sisa, metode penyusutan (amortisasi) serta tarif amortisasi. Ketentuan pajak atas amortisasi aktiva tidak berwujud hampir sama dengan ketentuan penyusutan aktiva tetap. Perbedaan hanya terletak pada tidak dikenalnya pengelompokan aktiva berupa bangunan permanen dan tidak permanen. Ketentuan amortisasi tentang pengelompokan jenis aktiva, penentuan masa manfaat, metode amortisasi, tarif serta nilai sisa sama dengan ketentuan penyusutan. Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif amortisasi ditetapkan sebagai berikut:
Kelompok 1
4 tahun
25 %
50 %
Kelompok 2
8 tahun
12,5 %
25 %
Kelompok 3
16 tahun
6,25 %
12,5 %
Kelompok 4
20 tahun
5%
10 %
Perhatikan daftar amortisasi diatas. Daftar tersebut sama persis dengan daftar penyusutan baik dalam penentuan kelompok aktiva tidak berwujud, masa manfaat, metode amortisasi maupun tarif amortisasi. Karena aktiva tidak berwujud tidak mengenal kelompok bangunan maka ketentuan penyusutan bangunan tidak dicantumkan. Untuk harta tidak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka Wajib Pajak menggunakan masa manfaat yang terdekat. Misalnya harta tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya 6 (enam) tahun dapat menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun atau 8 (delapan) tahun. Dalam hal masa manfaat yang sebenarnya 5 (lima) tahun, maka harta tak berwujud tersebut diamortisasi dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 (empat) tahun. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak bidang penambangan migas dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi. Metode satuan produksi adalah perbandingan antara realisasi penambangan migas pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan migas di lokasi tersebut yang dapat diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya Iebih kecil dari yang diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang bersangkutan. Contoh : Pengeluaran untuk memperoleh Hak Penambangan Migas dengan potensi 10 juta barel, adalah sebesar Rp 50 miliar. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata
35
Pajak Penghasilan Badan
jumlah produksi mencapai 3 juta barel yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, maka besarnya amortisasi yang diperkenankan pada tahun tersebut adalah 30% dari pengeluaran atau Rp 15 miliar.
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, atau hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan jumlah setinggi-tingginya 20 % (dua puluh persen) setahun. Contoh Pengeluaran untuk memperoleh HPH dengan potensi 10 juta ton kayu, adalah sebesar Rp 50 miliar. Pengeluaran tersebut diamortisasi sesuai dengan persentase satuan produksi yang direalisasikan dalam tahun yang bersangkutan. Jika dalam satu tahun pajak ternyata jumlah produksi mencapal 3 juta ton yang berarti 30% dari potensi yang tersedia, maka walaupun jumlah produksi pada tahun tersebut mencapai 30 % dan jumlah potensi yang tersedia, besarnya amortisasi yang diperkenankan pada tahun tersebut adalah 20 % dari pengeluaran atau Rp 10 miliar. Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut dibebankan sebagal kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun tenjadinya pengalihan tersebut. Contoh: PT X mengeluarkan biaya perolehan hak penambangan migas sebesar Rp 500 miliar. Taksiran jumlah kandungan minyak di daerah tersebut adalah 200 juta barel. Setelah produksi minyak mencapai 100 juta barel ( 50 %), PT X menjual hak penambangan tersebut kepada pihak lain dengan harga Rp 300 miliar. Penghitungan laba rugi dan penjualan hak tersebut sebagai berikut: Harga perolehan Rp 500M Amortisasi yang telah dilakukan 100.000.000 X 50 % RP 250M 200.000.000 Nilai buku harta Rp 250M Harga jual harta Rp 300M Laba pengalihan harta Rp 50M Apabila pengalihan harta diatas memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b (sumbangan atau hibah yang bukan obyek pajak), maka jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugian pihak yang mengalihkan. Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produk komersial, bulan dimana penjualan mulai dilakukan Bidang usaha tertentu sebagaimana dimaksud dalam PMK-248/PMK.03/2008 meliputi : a. bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, dan hasil yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun; b. bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun; c. bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sakurang-kurangnya 1 (satu) tahun.
36
Bayangkan Anda adalah pengusaha yang ingin berekspansi ke luar negeri. Anda memiliki 2 pilihan untuk membuka usaha di luar negeri yaitu, dengan cara mendirikan perusahaan baru di sana atau cukup berbentuk cabang saja. Apabila anda mendirikan perusahaan baru, maka anda harus datang ke notaris dan Departemen Kehakiman di luar negeri dan selanjutnya perusahaan Anda akan berstatus WP Dalam Negeri di negara tersebut. Tetapi bila anda lebih suka usaha Anda disana berbentuk cabang, maka cabang perusahaan anda di luar negeri berstatus sebagai Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) di negara tersebut. Perlakuan yang sama juga diterapkan kepada pengusaha dari luar negeri yang ingin membuka usaha di Indonesia. Bagaimana halnya jika usaha anda di luar negeri hanya bersifat sementara? Misalnya anda mendapat proyek pembangunan gedung dengan jangka waktu hanya 6 bulan, anda tentu tidak ingin repot dengan membuka cabang. Yang ingin anda lakukan hanyalah menyelesaikan proyek tersebut IaIu pulang ke Indonesia. Bagaimanakah pengenaan pajak atas proyek tersebut? Apakah pajaknya harus dipotong di luar negeri oleh pemilik proyek atau cukup dibayar di dalam negeri? Untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas, anda sebaiknya membaca pembahasan tentang Bentuk Usaha Tetap (Permanent Establishment) di bawah ini.
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia (Pasal 2 ayat (5) UU PPh). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar Negeri tetapi pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif PPh pasal 26 ayat (4). Suatu badan asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia dengan Bentuk Usaha Tetap yang dapat berupa (Pasal 2 ayat (5)): a. tempat kedudukan manajemen; b. cabang perusahaan; c. kantor perwakilan (Representative Office) ; d. gedung kantor; e. pabrik; f. bengkel; g. pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan; h. perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan; i. proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; Contoh: Misalnya F, Ltd Hongkong mempunyal kantor perwakilan ( Representative Office ) di Indonesia berarti F, Ltd merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia tetapi
37
Pajak Penghasilan Badan
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia. F, Ltd dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut.
BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Orang asing dapat menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indoÿÿsia dengan Bentuk Usaha Tetap yang dapat berupa (Pasal 2 ayat (5)): a. pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh orang lain, sepanjang dilakukan Iebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; b. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas; c. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia. Contoh : Misalnya Mr. A berdomisili di Singapura tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa kantor cabang maka Mr. A dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia. Pengertian BUT mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau badan yang tidak bertempat kedudukan di Indonesia. Tapi jika orang pribadi atau badan tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia menggunakan agen, broker, atau perantara yang mempunyai kedudukan bebas (bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri) maka tidak dapat dianggap mempunyai BUT di Indonesia. Khusus untuk perusahaan asuransi asing, BUT atas asuransi asing sudah dianggap ada apabila perusahaan asuransi tersebut menerima pembayaran premi asuransi di Indonesia atau menanggung risiko di Indonesia melalui pegawai, perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung risiko di Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan risiko tersebut terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia. Contoh : Perusahaan asuransi Z, Ltd tidak memiliki cabang di Indonesia tapi menerima pembayaran premi asuransi kapal tanker inilik perusahaan Indonesia. Premi tersebut diperoleh dari sebuah agen asuransi di Indonesia. Walaupun perusahaan asuransi serta obyek asuransi (kapal tanker) berada di luar Indonesia tetapi karena pihak tertanggung bertempat tinggal, berada, atau bertempat kedudukan di Indonesia maka Z, Ltd dianggap memiliki BUT di Indonesia.
Dari penjelasan tentang definisi BUT diatas kelihatan bahwa UU PPh Indonesia sangat mudah mengenakan pajak terhadap perusahaan asing di Indonesia. Contohnya definisi BUT yang menyatakan bahwa proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan dianggap sebagai BUT tanpa memandang batas waktu. Jadi walaupun proyek tersebut hanya berlangsung 1K maka kontraktor proyek tersebut sudah dianggap BUT dan harus melaksanakan semua kewajiban pajak sebagaimana halnya suatu WP Badan Dalam Negeri. Padahal kontraktor asing tersebut juga sudah dipajaki di negaranya masing-masing. Akibatnya timbul pengenaan pajak berganda. Agar tidak terjadi pengenaan pajak berganda, terutama untuk WP Luar Negeri yang jangka waktu usahanya berlangsung sebentar maka digunakan metode batas waktu ( time test ) untuk menentukan apakah suatu WP LN berhak dipajaki di Indonesia atau hanya membayar pajak di negaranya masing-masing. Contohnya pemberian jasa dalam bentuk apapun (selain jasa konstruksi) oleh perusahaan asing, tidak akan dikenakan pajak di Indonesia sepanjang dilakukan kurang dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan. Jangka waktu 60 hari disini adalah time
38
test untuk menentukan apakah suatu usaha jasa WP LN selain jasa konstruksi bisa dianggap BUT atau belum. Bagi jasa konstruksi asing UU PPh Indonesia tidak memberikan time test . Apakah time test seperti diatas berlaku untuk semua WP LN dan semua negara? Sepanjang suatu negara belum mengadakan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ( Tax Treaty ) dengan Indonesia, time test diatas berlaku. Sedangkan bagi negara yang sudah memiliki Tax Treaty dengan Indonesia time test -nya diatur dalam Tax Treaty masing-masing. Contoh: Tax Treaty antara Indonesia dengan Thailand menyatakan bahwa Time Test untuk penentuan BUT jasa konstruksi maupun jasa lainnya adalah 183 hari. Jadi jika WP LN dari Thailand memberikan jasa di Indonesia kurang dari 183 hari, maka tidak dikenakan pajak di Indonesia. Demikian pula sebaliknya.
Apabila suatu usaha WP LN sudah melebihi time test dan menjadi BUT maka BUT tersebut harus melaksanakan kewajiban sebagaimana WP Badan Dalam Negeri seperti membayar PPh Pasal 25/29, memotong PPh Pasal 21/23, memungut PPN dan lain-lain. Khusus untuk penghitungan PPh pasal 25/29, penghasilan BUT meliputi penghasilan dari usaha atau kegiatan di Indonesia ditambah dengan: a. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau pemberian jasa (active income ) di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh BUT di Indonesia; b. Penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain ( passive income ) yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Ketentuan yang mengharuskan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari usaha sejenis serta penghasilan passive income diterapkan untuk menghindari penghindaran pajak oleh Kantor Pusat BUT. Seringkali terjadi Kantor Pusat BUT bertransaksi langsung dengan customer di Indonesia tanpa melalui BUT-nya di Indonesia agar penghasilan BUT tetap kecil. Laba setelah Pajak dari BUT dikenakan PPh sebesar 20%, kecuali laba setelah pajak tersebut ditanamkan kembali di Indonesia. (Pasal 26 ayat (4)). Tarif PPh sebesar 20% atas laba setelah pajak BUT (Branch Profit Tax ) dikenakan terhadap BUT dari negara yang belum memiliki Tax Treaty dengan Indonesia. Apabila sudah ada Tax Treaty, biasanya tarif Branch Profit Tax menjadi lebih kecil. Contohnya Branch Profit Tax atas BUT dari Taiwan adalah 5%.
Pada prinsipnya biaya yang dapat dikurangkan adalah biaya yang dapat pula dikurangkan pada badan yang menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri sebagaimana Pasal 6 ayat (1) UU PPh. Selain itu sebagai konsekuensi dari ketentuan ditambahkannya penghasilan Kantor Pusat BUT dari usaha sejenis di Indonesia ke dalam penghasilan BUT, maka dalam menentukan besarnya laba suatu BUT biaya administrasi Kantor Pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan BUT dapat menjadi pengurang laba BUT. Tetapi biaya administrasi Kantor Pusat yang dapat dibebankan ke BUT tidak boleh melebihi perbandingan antara peredaran usaha BUT di Indonesia dengan peredaran usaha di seluruh dunia (KEP-62/PJ./1995 tanggal 24 Juli 1995). Perlakuan perpajakan BUT dipersamakan dengan mekanisme perpajakan Wajib Pajak Dalam Negeri sehingga biaya yang tidak dapat dikurangkan juga mengacu pada pasal 9 UU PPh beserta ketentuan lainnya. Selain itu terdapat pembayaran kepada Kantor Pusat yang tidak dapat dikurangkan dalam menghitung laba BUT yaitu: 1) royalti atau imbalan lainnya sehubungan penggunaan harta, paten, atau hak-hak lainnya; 2) imbalan sehubungan dengan jasa manajemen dan jasa lainnya; 3) bunga, kecuali bunga yang berkenaan dengan usaha perbankan;
39
Pajak Penghasilan Badan
Pada dasarnya BUT merupakan satu kesatuan dengan kantor pusatnya, sehingga pembayaran oleh BUT kepada kantor pusatnya, seperti royalti atas penggunaan harta kantor pusat, merupakan perputaran dana dalam satu perusahaan. Oleh karena itu, berdasarkan ketentuan ini pembayaran BUT kepada kantor pusatnya berupa royalti, imbalan jasa, dan bunga tidak boleh dikurangkan dari penghasilan BUT. Namun apabila kantor pusat dan BUT-nya bergerak dalam bidang usaha perbankan, maka pembayaran berupa bunga pinjaman dapat dibebankan sebagai biaya. Sebagai konsekuensi dari perlakuan tersebut, pembayaran-pembayaran yang sejenis yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya tidak dianggap sebagai Obyek Pajak, kecuali bunga yang diterima oleh BUT dari kantor pusatnya yang berkenaan dengan usaha perbankan.
Pada Bab I telah disinggung masalah hubungan istimewa. Hubungan istimewa menurut pajak terjadi jika Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain. Hubungan istimewa dapat juga teriadi karena penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendatipun tidak terdapat hubungan kepemilikan. Dari definisi diatas maka hubungan antara BUT dengan Kantor Pusatnya adalah hubungan istimewa karena suatu BUT 100% dimiliki oleh Kantor Pusatnya. Transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki hubungan istimewa sangat mungkin tidak mencerminkan harga pasar yang wajar (transfer pricing ). Oleh karena itu dalam Tax Treaty biasanya disebutkan bahwa dalam penentuan laba, suatu BUT dianggap sebagai perusahaan lain yang terpisah dari Kantor Pusatnya dan melakukan transaksi yang sepenuhnya bebas dan berdiri sendiri. Untuk menghindari transaksi-transaksi yang tidak mencerminkan harga pasar wajar maka telah diatur beberapa ketentuan sebagai berikut : Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perJanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihakpihak yang mempunyai hubungan istimewa yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir ( Pasal 18 ayat 3 a).Kesepakatan harga transfer (Advance Pricing Agreement/APA) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktek penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multi nasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti, dan lain-lain tergantung pada kesepakatan. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. APA dapat bersifat unilateral yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya. Dengan semakin berkembangnya globalisasi ekonomi, dapat terjadi bahwa Wajib Pajak dalam negeri menanam modal di luar negeri. Untuk mengurangi kemungkinan penghindaran pajak, maka terhadap penanaman modal di luar negeri selain pada badan usaha yang sudah go publik di LN, Menteri Keuangan berwenang untuk menentukan saat diperolehnya dividen. Penentuan saat perolehan dividen ini diatur khusus karena bisa saja WP melaporkan bahwa ia
40
tidak pernah memperoleh dividen dari penanaman modalnya di LN dan fiskus akan kesulitan mengecek hal tersebut mengingat perusahaan di LN belum go publik. Ketentuan besarnya penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, sebagal berikut: paling rendah 50 % (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor; atau secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor. Contoh: PT A dan PT B masing-masing memiliki saham sebesar 40 % dan 20% pada X Ltd. yang berkedudukan di negara Q. Saham X Ltd. tersebut tidak diperdagangkan di bursa efek. Dalam tahun 2012 X Ltd. memperoleh laba setelah pajak sejumlah Rp 100.000.000,00. Dalam hal demikian, Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnyasesual dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa (Pasal 18 ayat 3). Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dan semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan/atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan/atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi iaba berdasar fungsi atau peran serta dan Wajib Pajak yang mempunyal hubungan istimewa dan indikasi serta data Iainnya. Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung, dengan menyatakan penyertaan modal tersebut sebagal utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalul indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim tenjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya. Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak.
41
Pajak Penghasilan Badan
Pernahkah Anda menjumpai neraca suatu perusahaan yang menunjukkan bahwa pada saat yang sama perusahaan tersebut memiliki Deposito di sisi aktiva serta Hutang Bank di sisi pasiva? Pernah, atau bahkan mungkin seringkali kita menjumpai komposisi neraca seperti itu. Menurut pendapat anda wajarkah kondisi tersebut? Mungkin anda berpendapat wajar-wajar saja suatu perusahaan pada saat yang sama memiliki Deposito serta Hutang Bank sekaligus. Tetapi tidak demikian halnya dengan pihak Pajak! Pajak mempermasalahkan komposisi Deposito serta Hutang Bank sekaligus karena mengasumsikan bahwa Deposito tersebut pasti berasal dari Hutang Bank. Dari penanaman dana Deposito, Wajib Pajak memperoleh pendapatan bunga yang dikenakan PPh Final sedangkan atas Hutang Bank, wajib pajak mengeluarkan biaya bunga bank yang akan menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expense ). Dengan asumsi Deposito berasal dari Hutang Bank maka tidak semua biaya bunga bank boleh menjadi biaya karena ada sebagian biaya bunga bank yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan bunga deposito yang telah dikenakan PPh Final. OIeh karena itu harus dilakukan Rekonsiliasi Fiskal atas biaya bunga bank. Seberapa besarkah biaya bunga bank yang harus direkonsiliasi? Seluruhnya atau sebagian? Lalu bagaimana jika jumlah hutang bank maupun jumlah deposito berfluktuasi sepanjang tahun? Agar lebih jelas, bab ini akan mengupas perlakuan PPh atas Bunga Pinjaman Bank.
Bunga pinjaman adalah bunga yang menjadi beban sehubungan dengan pinjaman uang sepanjang pinjaman tersebut digunakan untuk usaha. Tetapi tidak semua biaya bunga boleh dibebankan sebagai biaya. Biaya bunga yang tidak dapat menjadi biaya ( Non Deductible Expense ) adalah : a. bunga pinjaman sehubungan dengan penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat final dan/atau penghasilan yang tidak termasuk objek pajak b. bunga pinjaman yang harus dikapitalisasi atau merupakan unsur harga pokok, seperti : -
bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham yang sudah beredar
-
bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli tanah bagi perusahaan real estate
-
bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk pembangunan selama masa konstruksi
Atas penghasilan berupa bunga deposito, tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dipotong PPh final (PP No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010).
42
Hal ini berimplikasi bahwa atas penghasilan tersebut tidak digabungkan dalam penghitungan PPh terutang akhir tahun. Selanjutnya diatur bahwa atas biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final maka atas biaya tersebut tidak dapat dikurangkan dari penghasilan Wajib Pajak untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak. (PP No. 94 Tahun 2010 tanggal 30 Desember 2010). Dapat terjadi bahwa dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan Iainnya, langsung atau tidak Iangsung berasal dari pinjaman atau dana yang berasal dan pihak ketiga yang dibebani biaya bunga. Apabila hal tersebut terjadi, Wajib Pajak dapat memperkecil Penghasilan Kena Pajak secara tidak wajar karena bunga yang terutang atau dibayar atas pinjaman tersebut dikurangkan sebagai biaya. Sedangkan bunga yang diterima atau diperoleh yang berasal dari penempatan dana dalam bentuk deposito berjangka atau tabungan Iainnya tidak ditambahkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak karena telah dikenakan PPh yang bersifat final yaitu 20%. Sehubungan dengan hal tersebut diterbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE46/PJ.4/1995 tanggal 5 Oktober 1995 yang memberikan penegasan sebagai berikut: 1.
Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya sama dengan atau Iebih kecil dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan lainnya, maka biaya bunga yang dibayar atau terutang atas pinjaman tersebut seluruhnya tidak dapat dibebankan sebagai biaya.
2.
Apabila jumlah rata-rata pinjaman Iebih besar dari jumlah rata-rata dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya, maka biaya bunga atas pinjaman yang boleh dibebankan sebagai biaya adalah bunga yang dibayar atau terutang atas rata-rata pinjaman yang melebihi rata-rata dana yang ditempatkan sebagai deposito berjangka atau tabungan Iainnya. (selisih rata-rata pinjaman dengan rata-rata deposito) Walaupun begitu tidak semua biaya bunga yang telah dibebankan oleh perusahaan pasti
dikoreksi secara fiskal. Ada beberapa pengecualian sehingga biaya bunga pinjaman dapat dibebankan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak : a.
dana pinjaman tersebut disimpan atau ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas jasanya dikenakan PPh yang bersifat final.
b.
ada keharusan bagi Wajib Pajak untuk menempatkan danan dalam jumlah tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku sepanjang jumlah deposito dan tabungan tersebut semata-mata untuk memenuhi keharusan tersebu. Misalnya cadangan biaya reklamasi yang harus ditempatkan dalam bentuk deposito atau tabungan di Bank Pemerintah.
c.
dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito atau tabungan tersebut dananya berasal dari tambahan modal dan sisalaba tersebut kena pajak. Seringkali perusahaan juga memperoleh pinjaman dalam bentuk valuta asing. Dengan
berjalannya waktu pastilah akan timbul rugi/laba selisih kurs atau jumlah pinjaman yang dimiliki oleh Wajib Pajak. Apakah kerugian yang ditimbulkan akibat pembebanan bunga pinjaman dalam bantuk valas dapat dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak. Dijelaskan dalam SE43
Pajak Penghasilan Badan
46/PJ.4/1995 tersebut hanya mengatur mengenai pembebanan biaya bunga pinjaman. Sehingga dalam hal Wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bungan deposito atau tabungan lainnya, kerugian akibat selisih kurs bukanlah unsur yang perlu dikoreksi. Pada tahun 2012 PT X mendapatkan pinjaman dari Bank Mandiri dengan batas maksimum sebesar Rp 200.000.000,00 dan tingkat bunga pinjaman adalah 20%. Dari jumlah tersebut telah diambil pada bulan Februari sebesar Rp 125.000.000,00 , pada bulan Juni diambil lagi sebesar Rp 25.000.000,00 dan sisanya (Rp 50.000.000,00) diambil pada bulan Agustus 2012. Disamping itu PT X mempunyai dana yang ditempatkan dalam bentuk deposito dengan perincian sebagai berikut : -
bulan Februari s.d. Maret sebesar Rp 25.000.000,00
-
bulan April s.d. Agustus sebesar Rp 46.000.000,00
-
bulan September s.d. Desember sebesar Rp 50.000.000,00 Dengan demikian berapa bunga pinjaman yang dapat dibebankan sebagai biaya? Pertama,
cari rata-rata pinjaman dan rata-rata deposito yang dimiliki PT X. Pinjaman Bulan Januari
0
Jangka Waktu
Jumlah
1 bulan
0,00
Bulan Februari s.d Mei
125.000.000,00
4 bulan
500.000.000,00
Bulan Juni s.d Juli
150.000.000,00
2 bulan
300.000.000,00
Bulan Agustus s.d Desember
200.000.000,00
5 bulan
1.000.000.000,00
JUMLAH
1.800.000.000,00
Sehingga rata-rata pinjaman per bulan Rp 1.800.000.000 :12 = Rp 150.000.000,00
Deposito Bulan Januari
0
Jangka Waktu
Jumlah
1 bulan
0,00
Bulan Februari s.d Maret
25.000.000,00
2 bulan
50.000.000,00
Bulan April s.d Agustus
46.000.000,00
5 bulan
230.000.000,00
Bulan September s.d Desember
50.000.000,00
4 bulan
200.000.000,00
JUMLAH
480.000.000,00
Sehingga rata-rata deposito per bulan Rp 480.000.000 :12 = Rp 40.000.000,00 Bunga yang dapat dibebankan sebagai biaya = 20% x (150.000.000 - 40.000.000 ) = Rp. 22.000.000,00
44
Dewasa ini banyak perusahaan yang membiayai pengadaan barang modalnya dengan bantuan perusahaan leasing. Perusahaan tersebut meminta perusahaan leasing membelikan barang modal dan kemudian membayarnya secara mengangsur kepada perusahaan leasing. Pada akhir masa leasing, barang modal bukan lagi milik perusahaan leasing (lessor) tetapi akan menjadi milik pengguna leasing (lessee). Leasing seperti ini lazim disebut sebagai Sewa Guna Usaha dengan hak opsi (Finance Lease). Hak opsi disini maksudnya adalah opsi/pilihan bagi pengguna leasing (lessee) untuk memiliki barang setelah selesainya periode leasing ataupun memperpanjang jangka waktu perjanjian Sewa Guna Usaha. Bagi perusahaan yang tidak berniat untuk meiniliki barang modal biasanya merasa cukup dengan menyewa untuk jangka waktu tertentu. Transaksi sewa menyewa seperti ini sering disebut Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease). Periode leasing dapat meliputi jangka waktu beberapa tahun. Masa pertama kali kontrak leasing ditandatangani disebut periode leasing pertama. Baik Finance Lease maupun Operating Lease dapat diperbaharui kontraknya pada akhir masa leasing sehingga timbul leasing periode kedua, leasing periode ketiga dan seterusnya. Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi (Finance Lease) adalah kegiatan jasa pembiayaan berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lessee). Penghasilan bagi perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima bersama dengan angsuran pelunasan hutang leasing oleh pengguna leasing (lessee). Sedangkan kegiatan SGU tanpa hak opsi (Operating lease) pada dasarnya adalah jasa penyewaan barang. Penghasilan bagi perusahaan penyewa adalah pendapatan sewa. Perbedaan jenis kegiatan ini menimbulkan perbedaan perlakuan perpajakan yang sangat mendasar. Bab ini akan membahas perlakuan perpajakan atas transaksi leasing, baik Finance Lease maupun Operating Lease.
Suatu Sewa Guna Usaha digolongkan sebagai Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease) apabila memenuhi semua kriteria berikut : a. Jumlah pembayaran Sewa Guna Usaha selama masa Sewa Guna Usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang di-Sewa Guna Usaha-kan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor; b. Perjanjian Sewa Guna Usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee Kedua syarat diatas mengisyaratkan bahwa ketentuan Pajak menggolongkan suatu SGU sebagai Operating Lease jika lessor benar-benar tidak berniat menjual barang dan hanya ingin menyewakan saja. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima lebih kecil dari harga pokok barang plus laba serta tidak termuatnya opsi pemilikan barang pada akhir periode leasing. Jadi Operating Lease adalah transaksi sewa menyewa biasa. Karena hanya transaksi sewa menyewa biasa,
45
Pajak Penghasilan Badan
maka kepemilikan barang masih berada di tangan pihak yang menyewakan ( lessor ) sehingga yang berhak menyusutkan barang adalah Lessor. Perlakuan perpajakan bagi yang menyewakan (Lessor): a. Seluruh pembayaran sewa yang diterima/diperoleh oleh lessor, merupakan objek PPh pasal 23 b. Lessor berhak menyusutkan barang modal yang di-SGU-kan karena kepemilikan barang ada ditangan lessor. c. Lessor memungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jasa sewa yang diberikan. Sedangkan perlakuan perpajakan bagi penyewa (Lessee): a. Jumlah biaya sewa yang dibayar/terutang pada tahun tersebut boleh menjadi pengurang penghasilan (Deductible Expense ). b. Lessee tidak boleh menyusutkan barang modal karena barang masih milik lessor c. Lessee memotong PPh Pasal. 23 setiap kali membayar sewa kepada lessor dengan tarif 6% jika barang modal yang disewakan selain tanah dan bangunan, 3 % jika yang disewakan adalah kendaraan serta 10% jika barang modalnya berupa tanah dan bangunan Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II dengan harga pokok Rp.200.000.000,- kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 24 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tidak tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode SGU.. Pembayaran per bulan Rp. 8.000.000,-. Perlakuan Pajaknya sebagai berikut: Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp. 8.000.000 X 24 bulan = Rp. 192.000.000,-. Jumlah tersebut lebih kecil dan harga pokok mesin sebesar Rp. 200.000.000,-. Selain itu tidak ada klausula pilihan bagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut pada akhir periode leasing. Oleh karena itu SGU ini tergolong SGU tanpa hak opsi (Operating Lease) atau sewa menyewa biasa.
Menerima pendapatan sewa setiap bln= Rp. 8.000.000
Membayar sewa
= Rp. 8.000.000
Memungut PPN 10%
= Rp.
Membayar PPN
= Rp. 800.000
Dipotong PPh 23 6%
= (Rp. 480.000)
Memotong PPh 23 6%
=(Rp. 480.000)
Dibayar ke Lessor
= Rp. 8.320.000
800.000
Diterima lessee
Rp. 8.320.000
Menyusutkan mesin sebesar per thn
Rp. 50.000.000
Menurut ketentuan pajak kegiatan SGU akan digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi (Finance Lease) (PMK-255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009) apabila memenuhi kriteria berikut : a. Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor; b. Masa Sewa Guna Usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal Golongan I, 3 tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 tahun untuk Golongan Bangunan; Dalam hal Lessor dan Lessee membuat perjanjian Sewa Guna Usaha dengan opsi (Finance Lease) namun masanya tidak memenuhi ketentuan tersebut di atas, maka perlakuan Pajak Pertambahan Nilai yang diberikan terhadap perjanjian tersebut sama dengan perlakuan Pajak Pertambahan Nilai terhadap perjanjian Sewa Guna Usaha tanpa hak opsi (Operating Lease).
46
c.
Perjanjian Sewa Guna Usaha memuat ketentuan mengenal opsi bagi lessee (KMK No. 1169/KMK.01/1991 Tanggal 7 November 1991 serta SE-10/PJ.42/1994 tanggal 22 Maret 1994.) Ketiga syarat diatas harus dipenuhi seluruhnya agar suatu SGU dapat digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi (Capital Lease). Ketiga syarat diatas menunjukkan bahwa ketentuan Pajak menggolongkan suatu SGU sebagai Finance Lease jika lessor sebenarnya berniat menjual barang. Hal itu ditunjukkan dengan jumlah seluruh angsuran yang diterima pada periode leasing pertama lebih besar dari harga pokok barang plus laba dan harus adanya opsi pada akhir periode leasing. Selain itu terdapat batas minimal jangka waktu leasing yang lamanya tergantung golongan barang. Persyaratan jangka waktu minimal ini semakin menguatkan karakter Finance Lease bahwa Finance Lease lebih bertujuan kepada pengalihan kepemilikan barang. Pada dasarnya kegiatan SGU dengan hak opsi ( Finance Lease ) adalah kegiatan jasa pembiayaan (berupa penyediakan kredit bagi penggguna leasing (lesse) oleh lessor) maka penghasilan bagi perusahaan leasing (lessor) adalah bunga yang diterima pada saat angsuran pelunasan hutang leasing. Karena pada dasarnya Finance Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak menganggap bahwa sebelum selesainya periode leasing, barang bukan milik lesse maupun lessor sehingga baik lesse maupun lessor sama-sama tidak boleh menyusutkan barang. 1.
2.
3.
4.
5.
Penghasilan. lessor yang menjadi objek PPh adakah seluruh pembayaran SGU — angsuran pokok. (bunga + administration fee). Dalam hal SGU Sindikasi yaitu SGU yang dibiayai oleh bebarapa perusahaan leasing, imbalan jasa bagi masing-masing anggota dihitung secara proporsional sesuai perjanjian antar anggota yang bersangkutan. Penghasilan tersebut tidak dipotong PPh 23 oleh lessee. Pengenaan pajaknya dilakukan dengan penghitungan akhir tahun dalam SPT Tahunan Lessor tidak boleh menyusutkan barang modal yang di SGU- kan. Sejak berlakunya KMK No. 1169/KMK.01/1991 Pajak menganut aliran bahwa tidak ada yang memiliki barang leasing sampai berakhirnya periode leasing dan diketahui dengan pasti siapa pemilik barang terssebut. Bila Lessee menggunakan hak opsinya, maka barang tersebut menjadi milik lessee sedangkan bila tidak maka barang tersebut menjadi milik lessor. Akibatnya selama periode leasing barang modal tersebut tidak boleh disusutkan baik oleh lessor maupun oleh lesse. Lessor dapat membentuk Cadangan Piutang Ragu-Ragu sebesar 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang SGU. Karena Financial Lease adalah transaksi pembiayaan maka pajak memperbolehkan lessor untuk membuat cadangan piutang ragu-ragu dan besarnya 2,5% dari rata-rata saldo awal dan akhir piutang SGU. Pencadangan tersebut dilakukan dengan mendebet biaya penyisihan piutang serta mengkredit akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang. Biaya Penyisihan Piutang tersebut dapat mengurangi penghasilan (Deductible Expenses) Kerugian piutang SGU yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada akun Akumulasi Cadangan Penghapusan Piutang tahun yang bersangkutan. Apabila besarnya kerugian piutang yang nyata-nyata tidak tertagih lebih besar dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya dapat menjadi biaya (Deductible Expense). Sebaliknya jika besarnya kerugian piutang yang nyatanyata tidak tertagih lebih kecil dari penyisihan yang dibuat maka selisihnya harus diakui sebagai penghasilan. Besarnya Angsuran PPh Ps. 25 bagi lessor dihitung berdasarkan laporan triwulan yang disetahunkan. Perusahaan Leasing, sebagaimana usaha pembiayaan lainnya (Bank, Asuransi,
47
Pajak Penghasilan Badan
6.
dll) diwajibkan membuat laporan keuangan triwulanan yang harus disampaikan ke lembaga pemerintah terkait (BI dan Depkeu). Besarnya PPh 25 harus dihitung ulang setiap 3 bulan berdasarkan laba rugi triwulan bersangkutan yang disetahunkan. Jasa pembiayaan SGU dengan hak opsi tidak terutang PPN. Tetapi penyerahan barang dari lessor ke lesse terutang PPN.
1.
Lesse tidak boleh menyusutkan barang modal yang diterima Dengan alasan yang sama seperti alasan mengapa lessor tidak boleh menyusutkan barang leasing, lessee-pun tidak boleh menyusutkan barang leasing. 2. Seluruh pembayaran leasing (angsuran plus bunga dan biaya administrasi) boleh menjadi pengurang (Deductible Expense ). 3. Lesse tidak boleh memotong PPh 23 atas pembayaran angsuran leasing kepada lessor. Contoh Kasus: Lessor PT. XYZ meng-SGU-kan mesin golongan II (masa manfaat 8 tahun) dengan harga pokok Rp.200.000.000,- kepada PT. ABC (lessee). Jangka waktu leasing 36 bulan dan nilai sisa barang setelah periode leasing adalah nihil. Dalam kontrak SGU tercantum klausula pilihan bagi lesse untuk membeli mesin tersebut dengan harga murah pada akhir periode SGU. Pembayaran per bulan Rp. 8.000.000,-. terdiri dari pelunasan pokok hutang leasing sebesar Rp. 5.555.555,- dan bunga Rp. 2.444.445,Perlakuan Pajaknya sebagai berikut: Jumlah seluruh pembayaran yang akan diterima lessor PT XYZ sebesar Rp. 8.000.000,- X 36 bulan = Rp.288.000.000,-. Jumlah tersebut dapat menutupi harga pokok mesin sebesar Rp. 200.000.000,-. dan nilai sisa barang setelah periode leasing. Selain itu terdapat klausula pilihan bagi penyewa untuk memiliki mesin tersebut. Jangka waktu leasing adalah 3 tahun (36 bulan) sedangkan barang termasuk golongan II. Hal ini memenuhi syarat Finance Lease karena untuk barang golongan II jangka waktu leasing minimal 3 tahun. Oleh karena ke-3 syarat terpenuhi maka SGU ini tergolong SGU dengan hak opsi (Finance Le ase). Mencatat Piutang Leasing sebesar = Rp. 288.000.000,Menerima pendapatan bunga/bulan = Rp. 2.444.445,Menerima pelunasan pokok/bulan = Rp. 5.555.555, Jumlah yang diterima = Rp. 8.000.000,Tidak menyusutkan mesin Mendebet Biaya Penyisihan Piutang Leasing 2,5% dari saldo piutang leasing. (Deductible Expense )
48
*Membayar biaya leasing Rp.8 jt *Tidak menyusutkan mesin *Tidak memungut PPh 23
Anda mungkin pernah mendengar tentang Kurs Menteri Keuangan yang biasanya diumumkan seminggu sekali. Mengapa Menteri Keuangan harus menentukan kurs tersendiri, yang nilainya sering berbeda dengan kurs Bank Indonesia ? Apa gunanya Kurs Menteri Keuangan ? Apakah untuk menghitung laba / rugi selisih kurs menurut pajak harus menggunakan kurs Menteri Keuangan? Bab ini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sering muncul dari wajib pajak tentang selisih kurs dan kurs Menteri Keuangan.
Terdapat berbagai jenis kurs valuta asing yang sering digunakan. Kurs-kurs valuta asing meliputi : Kurs Menteri Keuangan adalah kurs yang ditetapkan oleh Menteni Keuangan. Mulal 1 Oktober 1997 kurs Menteri Keuangan ditetapkan tiap minggu. Kurs realisasi yaitu kurs yang sebenarnya terjadi pada waktu perusahaan merupiahkan valas atau pada waktu perusahaan membeli valas. Kurs BI digunakan untuk mencatat hutang piutang serta transaksi dalam valuta asing. Kurs BI terdiri dan kurs beli Bank dan kurs jual Bank. Kurs BI yang digunakan sebagai dasar pembukuan yaitu kurs tengahnya yang merupakan rata-rata antara kurs jual dan kurs beli BI.
Pajak-pajak yang terutang dalam valuta asing harus terlebih dahulu dinilai ke dalam mata uang rupiah. Untuk kepentingan tersebut, perlu ditetapkan keputusan tentang nilai kurs sebagai dasar pelunasan. OIeh karena itu, Kurs Menteri Keuangan digunakan untuk : a. Perhitungan pelunasan Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN-Import, PPh pasal 22 sesuai dengan tanggal PIB. b. Perhitungan PPN dan PPn BM sesuai tanggal Faktur Pajak, apablia pembayaran, Harga Jual atau Nilai Penggantian dilakukan dengan mata uang asing (pasal 14 PP No.1/2012) c. Perhitungan PPh pasal 21 atau PPh pasal 26 apabila penghasilan diterima dalam mata uang asing. d. Perhitungan Pajak Ekspor. e. Perhitungan Pajak-Pajak Final yang dibayarkan dalam valuta asing. Contoh : Pada tanggal 30 Juni 2013 PT. X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT. Y (PKP) seharga $ 10.000 belum termasuk PPN. Faktur Pajak Standar dibuat tanggal 31 Juli 2012 dan dilunasi tanggal
49
Pajak Penghasilan Badan
13 Agustus 2012. Kurs Menteri Keuangan, periode 25 Juni s.d. 30 Juni 2013 Rp. 10.000, periode 29 Juli s.d 4 Agustus Rp. 10.100 dan Periode 11 Agustus s.d. 16 Agustus 2013 Rp. 10.200. Kurs manakah yang digunakan untuk menghitung PPn terutang dan berapakah jumlah PP terutang ?
Jawab : Faktur Pajak dibuat pada tanggal 31 Juli 2013. Saat itu kurs Menteri Keuangan adalah Rp.10.100 maka PPN dihitung sebesar 10% x $ 10.000 x 10.100 = Rp.10.100.000, Kurs Tengah BI digunakan oleh perusahaan yang pembukuannya dengan rupiah untuk membukukan transaksi — transaksi yang nilainya dalam valuta asing. Perbedaan selisih kurs BI yang terjadi pada saat membukukan hutang piutang valas dengan kurs BI pada saat realisasi menimbulkan laba atau rugi selisih kurs. Contoh 1: Sama seperti contoh 2, pada tanggal 30 Juni 2008 PT. X (PKP) menjual barang secara kredit kepada PT. Y (PKP) seharga $ 10.000 belum termasuk PPN. Penjualan tersebut dilunasi tanggal 13 Agustus 2008. Kurs Tengah BI 30 Juni 2008 Rp. 10.200 dan kurs realisasi tanggal 13 Agustus 2008 Rp. 10.300. Pertanyaannya, berapakah laba rugi selisih kurs, kurs manakah yang digunakan dan bagaimana jurnalnya ? Jawab Penjualan PT X = $10.000 x Rp. 10.200( kurs BI 30 Juni) Rp. 102.000.000,Jumlah yang dibayar PT. Y Rp. 103.000.000,Selisih kurs = $10.000 x (Rp. 10.300 - Rp. 10.200) Rp. 1.000.000,-
30/06
Piutang dagang
102.000.000
Penjualan 13/08
Kas/Bank
102.000.000 103.000.000
Piutang Dagang
102.000.000
Laba selisih kurs
1.000.000
Pembelian
102.000.000
Utang Dagang 102.000.000 Utang Dagang Rugi selisih kurs Kas/Bank
102.000.000 1.000.000 103.000.000
Contoh 2 : Pada tanggal 30 April 2008 PT. A mendepositokan uangnya $10.000,- dengan kurs jual BI Rp. 12.457,- atau dikeluarkan uang Rp 124.570.000,- dalam jangka waktu 6 bulan, jatuh tempo 31 Oktober 2008, pada saat pencairan kurs beli bank misalnya Rp. 13.200,- perhitungan keuntungan selisih kurs Rupiah yang dikeluarkan ( $10.000 x Rp. 12.457) = Rp.124.570.000,Rupiah diterima ( $10.000 x Rp. 13.200) = Rp.132.000.000, Keuntungan selisih kurs $10.000 x (Rp. 13.200 - Rp. 12.457) = Rp.7.430.000,-
PSAK mensyaratkan hutang piutang dalam valuta asing pada akhir tahun harus dinyatakan dalam kurs per tanggal 31 Desember. Pajak memberikan pilihan bagi wajib pajak baik untuk menyesuaikan nilai hutang piutang valas pada akhir tahun (berdasarkan kurs BI) maupun tidak, asalkan dilaksanakan secara taat asas/ konsisten. Apabila WP tidak menyesuaikan nilai hutang piutang valas sesuai kurs pada akhir tahun berarti WP menggunakan sistem kurs tetap. Contoh 3 :
50
Pada tanggal 15 November 2008 PT. KLM mendapat pinjaman USD 1.000.000,- dalam jangka waktu 2 tahun atau jatuh tempo 14 November 2010. kurs tengah BI 15-11-2008Rp. 12.000,00 31-12-2008Rp 11.000,00 31-12-2009Rp 13.000,00 14-11-2010Rp 12.000,00
Jawab a. Pembukuan berdasarkan Kurs Tetap. Pembebanan selisih kurs dilakukan pada saat terjadinya pembayaran utang valas, tiap-tiap akhir tahun (31 Desember) tidak mengakui adanya selisih kurs. 15-11-2008 Pembukuan utang valas Rp. 12.000.000.000,00 14-11-2010 Pembayaran Rp. 12.000.000.000,00 b.
Pembukuan berdasarkan Kurs Tengah BI. Pada tiap-tiap akhir tahun dapat mengakui rugi selisih kurs. 15-11-2008 Pembukuan utang valas Rp.12.000.000.000,00 31-12-2008 Utang valas menjadi Rp. 11.000.000.000,00 Laba selisih kurs Rp. 1.000.000.000,00 31-12-2008 Utang valas Rp. 11.000.000.000,00 31-12-2009 Utang valas menjadi Rp. 13.000.000.000,00 Rugi selisih kurs Rp. 2.000.000.000,00 31-12-2010 Utang Valas Rp. 13.000.000.000,00 14-11-2010 Utang Valas Rp. 12.000.000.000,00 14-11-2010 Laba selisih kurs Rp. 1.000.000.000,00
Perhatikan bahwa sebenarnya pembukuan berdasarkan kurs tetap maupun kurs tengah BI pada akhirnya menghasilan jumlah laba atau rugi selisih kurs yang sama. Laba dan rugi selisih kurs yang terjadi akibat mengunakan kurs tengah BI pada contoh diatas bila dijumlahkan adalah nihil. Hasil nihil tersebut sama dengan hasil bila menggunakan kurs tetap. Tetapi mengingat PSAK mengharuskan penyesuaian kurs valas pada akhir tahun maka disarankan WP menggunakan sistem kurs tengah BI agar pembukuan komersial dan pembukuan fiskal tidak jauh berbeda.
51
Pajak Penghasilan Badan
Terdapat kesamaan antara PSAK dan Pajak dalam hal pencatatan aktiva tetap. Keduanya menganut prinsip Historical Cost , yaitu mencatat aktiva sebesar harga perolehan. Aktiva yang dibeli seharga 10 juta akan tetap tercatat seharga 10 juta walaupun harga pasarnya sudah 10 milyar. Paragraf 66 PSAK 16 dan Pasal 19 ayat (1) UU PPh mengijinkan aktiva tetap diganti nilainya menjadi sesuai dengan harga pasar ( direvaluasi) jika sudah membayar PPh Final atas revaluasi sebesar 10 % dari selisih antara harga pasar dengan nilai buku aktiva. Jadi jika ingin merubah nilai aktiva di neraca dari 10 juta menjadi 10 milyar harus membayar PPh sebesar 10 % x (10 milyar - 10 juta) = Rp. 999 juta. Ternyata ada banyak perusahaan yang rela membayar PPh sebesar itu hanya untuk merubah angka aktiva tetap neraca! Kenapa perusahaan melakukan revaluasi ? Apa untung ruginya revaluasi ? Apakah hanya sekedar berubahnya angka di neraca sesuai harga pasar ? Jika memang perusahaan ingin melakukan revaluasi, bagaimana caranya ? Silakan anda mengikuti pembahasan dibawah ini.
Ketentuan revaluasi diatur khusus akibat terjadi devaluasi serta depresiasi rupiah yang menyebabkan distorsi nilai aktiva serta nilai transaksi yang dicatat dalam laporan keuangan. Dalam perkembangannya, Wajib Pajak memiliki alasan lain dalam melakukan revaluasi yaitu : 1. Meningkatkan nilai perusahaan (mark-up) sehingga memudahkan perusahaan dalam proses pencarian dana, baik melalui pinjaman bank maupun penjualan saham (go publik) 2. Meningkatkan biaya penyusutan aktiva tetap dimasa datang sehingga deductible expense dimasa datang semakin besar dan beban pajak semakin kecil. 3. Meningkatkan keakuratan perhitungan penghasilan maupun biaya sehingga menceriminkan kemampuan perusahaan yang sebenarnya dalam menghasilkan laba. 4. Agar neraca perusahaan menunjukkan posisi kekayaan perusahaan yang sebenarnya.
Ketentuan PPh atas Revaluasi aktiva tetap diatur dalam PMK-79/PMK.03/2008. Wajib Pajak yang berhak melakukan revaluasi (subyek revaluasi) adalah WP Badan dalam negeri yang menggunakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang dolar Amerika Serikat. Contohnya PT, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN/BUMD dengan nama dan dalam bentuk apapun, persekutuan, perkumpulan, firma, kongsi, koperasi, yayasan, atau organisasi yang sejenis, lembaga, dana pensiun, dan bentuk usaha lainnya. WP orang pribadi dalam negeri, walaupun menggunakan pembukuan, tidak berhak melakukan revaluasi karena tidak terjadi pemisahan harta antara harta pribadi dan harta perusahaan. BUT serta WP Luar Negeni juga tidak termasuk WP yang dapat melakukan revaluasi karena relatif tidak terkena dampak depresiasi rupiah. WP Badan dalam negeri diijinkan melakukan revaluasi jika telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum dilakukan revaluasi. Contohnya melaporkan SPT Masa PPh dan PPN, dan membayar semua tunggakan pajak (STP dan SKPKB maupun SPPT PBB). 52
Aktiva Tetap yang dapat direvaluasi adalah semua aktiva tetap berwujud (tanah, kelompok bangunan dan non bangunan ) yang tidak dimaksudkan untuk dijual. yang dipakai untuk menagih, mendapatkan dan memeliharan penghasilan yang merupakan obyek PPh. Aktiva lancar ( piutang, persediaan) maupun aktiva tidak berwujud (goodwill, patent) tidak dapat direvaluasi. Demikian juga dengan aktiva leasing Finance Lease. Lessor maupun lesse boleh melakukan revaluasi setelah periode leasing berakhir saat lesse menggunakan hak opsi atau saat lessor mengambil kembali aktiva leasing. Revaluasi dapat dilakukan untuk seluruh aktiva ataupun hanya untuk aktiva-aktiva tertentu yang dianggap menguntungkan jika direvaluasi. Dengan demikian manfaat revaluasi menjadi lebih besar serta biaya jasa penilai (Appraisal) menjadi berkurang.
Untuk mendapatkan persetujuan atas revaluasi, Wajib Pajak harus menyampaikan pemberitahuan revaluasi ke KPP tempat WP terdaftar (dengan formulir khusus) dengan melampirkan a. Laporan Penilaian Aktiva Tetap dari Penilai (Appraisal) yang diakui pemerintah b. Laporan Keuangan untuk tahun baku terakhir sebelum revaluasi c. Penghitungan selisih lebih revaluasi dan besarnya PPh terutang yang dirinci dalam Daftar Penilaian kembali Aktiva Tetap dengan formulir khusus d. SSP atas pembayaran PPh terutang dibayar setelah revaluasi disetujui e. Fotocopy izin usaha appraisal yang dilegalisir penerbit. Dalam jangka waktu 1 bulan setelah tanggal pelaporan Wajib Pajak diterima lengkap, Kakanwil DJP yang membawahi KPP domisili WP yang bersangkutan wajib menerbitkan pengesahan atau penolakan perhitungan revaluasi.(KMK-486/KMK.03/2002). Oleh karenanya, hal-hal yang perlu dilakukan wajib pajak adalah a. Meminta appraisal yang diakui pemerintah untuk menilai kembali aktiva-aktiva tetap yang ingin direvaluasi dalam bentuk Laporan Penilaian. b. Meminta Akuntan Publik untuk mengaudit laporan keuangan wajib pajak, terutama neraca sebelum dan sesudah revaluasi. Dan laporan audit tersebut dihitung juga selisih penilaian kembali. c. Menginventarisir semua hutang pajak yang belum dibayar. Bila perlu mengkonfirmasikan hal tersebut ke KPP d. Membayar semua hutang pajak serta PPh Final atas revaluasi. Wajib Pajak harus cermat dalam menjalankan Iangkah-langkah diatas karena WP harus mengeluarkan uang untuk membayar PPh.
Selisih lebih revaluasi dihitung dengan mengurangkan nilai pasar aktiva (hasil penilaian) dengan Nilai Sisa Buku Fiskal aktiva tersebut. PPh yang harus dibayar adalah 10 % x selisih lebih Revaluasi dan bersifat final. Apabila ada kompensasi kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan, maka selisih revaluasi terlebih dahulu wajib dikompensasikan dengan urutan sebagaimana urutan kompensasi sesuai pasal 6 ayat (2) UU PPh. Selisih lebih penilaian aktiva setelah kompensasi kerugian dibukukan ke perkiraan ―Selisih Penilaian Kembali Aktiva‖ dalam perkiraan modal. Bila PPh terutang atas revaluasi sampai dengan 2 Triliun, PPh Final 10 % dapat dibayar dengan mengangsur maksimal 12 bulan, tidak harus prorata. Harus prorata tiap tahun jika : a. 2 triliun s/d 4 triliun, masa angsuran 2 tahun b. 4 triliun s/d 6 triliun, masa angsuran 3 tahun c. 6 triliun s/d 8 triliun, masa angsuran 4 tahun d. 8 triliun, masa angsuran 5 tahun
53
Pajak Penghasilan Badan
Aktiva tetap setelah direvaluasi akan memiliki nilai buku sesuai dengan harga pasar. Harga pasar tersebut merupakan dasar penyusutan yang baru dan mulai berlaku pada tahun pajak dilakukannya revaluasi. Penyusutan atas aktiva tetap yang telah ndirevaluasi dimulai pada bulan dilakukannya revaluasi. Masa manfaat aktiva menjadi kembali mulai nol tahun atau seolah-olah belum pernah disusutkan. Tambahan masa manfaat menurut penilai akan menentukan kelompok dan tarif penyusutan yang baru. Aktiva yang telah direvaluasi tersebut tidak boleh dialihkan sebelum berakhirnya masa manfaat yang baru (nilai sisa buku fiskal menjadi nihil), kecuali dalam hal (Pasal8 ayat (2) UU PPh jo. PMK-79/PMK.03/2008) : a. pengalihan aktiva tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan pemerintah atau keputusan pengadilan b. pengalihan aktiva tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan c. penarikan aktiva tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi apabila terjadi pengalihan (di luar yang dikecualikan), maka akan dikenakan sanksi tambahan 20% tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun sebelumnya dan terutang pada saat pengalihan dilakukan. Aturan ini diterapkan mengingat aktiva yang sudah direvaluasi sangat berpotensial menyebabkan kerugian jika dijual (karena nilai bukunya sudah disamakan dengan harga pasar). Kerugian karena pengalihan aktiva tetap adalah deductible expense yang akan mengurangi PPh terutang pihak penjual. Pada tanggal 1 Januari tahun 2008 PT X melakukan penilaian kembali beberapa aktiva perusahaannya. Posisi aktiva perusahaan pada tanggal tersebut adalah sebagai berikut Tanah Bangunan Mesin
2.000 juta 2.500 juta 500 juta 200 juta 450 juta 250 juta 1.000 iuta 8.000 juta 7.000 iuta 3.200 juta 10.950 juta 7.750 juta Untuk tahun 2008 PT memperoleh laba sebesar Rp. 200 juta. Tahun-tahun sebelumnya PT X mencatatkan kerugian sebagal berikut : 2002 rugi 3.000 juta 2005 rugi 200 juta 2003 rugi 250 juta 2006 rugi 100 juta 2004 rugi 2.000 juta
Berapakah PPh Final atas revaluasi aktiva tetap yang harus dibayar ? Terlebih dahulu PT X mengkompensasikan laba tahun 2008 sebesar 200 juta dengan rugi tahun 2003 sebesar 300 juta sehingga sisa rugi tahun 2003 adalah Rp. 2.800 juta. Kemudian selisih revaluasi di kompensasikan dengan urutan sebagai berikut : Rp. 7.750juta Rp. 4.950 juta Rp. 4.700 juta Rp. 2.700 juta Rp. 2.500 juta PPh Revaluasi aktiva tetap
Rp.2800 juta Rp. 4.950juta Rp. 250 juta Rp. 4.700 juta Rp. 2.000 juta Rp. 2.700 juta Rp. 200 juta Rp. 2.500 juta Rp. 100 juta Rp. 2.400 juta = 10% x 2.400 juta = Rp 240 juta (Final) Apabila Revaluasi tersebut dilakukan dalam rangka pengabungan usaha (merger atau konsolidasi) maka PPh Final sebesar Rp. 300 juta dapat diangsur sampai 5 tahun minimal 20 % per tahun
54
Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006
Pada bab Revaluasi Aktiva Tetap telah dibahas salah satu cara untuk meningkatkan nilai perusahaan yaitu dengan meningkatkan nilai buku aktiva tetap. Langkah revaluasi biasanya akan dilanjutkan dengan Restrukturisasi perusahaan melalui penggabungan usaha (merger atau konsolidasi) atau pemekaran usaha. Apabila perusahaan peserta merger atau konsolidasi terlebih dahulu direvaluasi maka perusahaan baru hasil merger atau konsolidasi akan memiliki nilai aset yang jauh lebih besar dibandingkan jika tidak direvaluasi terlebih dahulu. Kombinasi 2 langkah tersebut didukung sepenuhnya oleh pajak dengan berbagai fasilitas perpajakan. Fasilitas perpajakan tersebut hanya diberikan bagi perusahaan yang melakukan merger atau konsolidasi yang terlebih dahulu melakukan revaluasi. Apakah fasilitas-fasilitas perpajakan tersebut? Bagi anda yang berminat merestrukturisasi perusahaan sebaiknya mengikuti pembahasan dibawah ini terlebih dahulu.
Dikenal 3 macam bentuk restrukturisasi perusahaan yaitu 1. Penggabungan Usaha (Merger: A + B = A) Merupakan penggabungan usaha dimana satu perusahaan tetap berdirinya dan melikuidasi badan usaha lain yang ikut menggabungkan diri Contoh Bank Duta dimerger dengan Bank Danamon kemudian Bank Duta dilikuidasi 2. Peleburan Usaha (Konsolidasi: A + B = C) Merupakan penggabungan usaha dengan cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang bergabung Contoh PT Bank Exim, PT Bapindo, dli melakukan konsolidasi membentuk badan baru yaitu PT Bank Mandiri 3. Pemekaran Usaha (A = A + B) Pemisahan satu badan usaha menjadi dua badan usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru tanpa melakukan likuidasi badan usaha lama. Contoh Divisi Distribusi PT Kalbe Farma menjadi perusahaan sendiri yaitu PT Enseval. Pada dasarnya merger, konsolidasi atau pemekaran usaha adalah pengalihan harta dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Tetapi harta yang dialihkan bukan hanya 1 atau 2 buah melainkan seluruh harta dan hutang perusahaan (aktiva bersih). Nilai perolehan harta yang dialihkan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha harus dicatat berdasarkan Harga Pasar. Selisih antara Harga Pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan merupakan penghasilan (capital gain ). Tetapi apabila nilai perolehan harta yang dialihkan dicatat berdasarkan Nilai Buku maka selisih antara Harga Pasar dengan nilai sisa buku harta yang dialihkan besarnya nihil. Oleh karena itu akuntansi mengenal 2 macam metode pencatatan nilai perolehan harta dalam rangka restrukturisasi yaitu a. Metode Pembelian ( Purchase method) Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dimana nilai perolehan harta dicatat berdasarkan Harga Pasar. b. Metode Penyatuan kepemilikan (Pooling of Interest) Yaitu metode penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dimana nilai perolehan harta dicatat berdasarkan Nilai Buku 55
Pajak Penghasilan Badan
Pada bab Penilaian Harta Perusahaan dibahas bahwa nilai perolehan harta yang dialihkan dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan Harga Pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan (pasal 10 ayat 3 UU PPh). Pengecualian tersebut dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan yang menyatakan bahwa penggabungan usaha dengan nilai buku (metode Pooling of Interest) dapat digunakan untuk kepentingan pajak dalam hal a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering); atau b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering). Peraturan Menteri Keuangan yang dimaksud diatas adalah PMK-43/PMK.03/2008 Untuk dapat menggunakan nilai buku dalam kedua hal diatas, Wajib Pajak harus mengikuti prosedur yang telah ditentukan. Apabila WP tidak dapat memenuhi prosedur, maka pengalihan harta untuk 2 (dua) tujuan diatas harus tetap menggunakan nilai pasar. Pengalihan harta selain untuk kedua tujuan diatas tetap harus menggunakan nilai pasar (metode purchase). Contohnya pengalihan harta dalam rangka likuidasi atau pengambil-alihan usaha (akuisisi) harus menggunakan nilai pasar serta mengakui capital gain. Khusus untuk WP yang melakukan pengalihan harta dalam rangka pemekaran usaha dalam rangka ―Go Public‖, dalam jangka waktu 1 tahun setelah pemekaran sudah harus menyerahkan pernyataan pendaftaran efektif dari Bapepam dan dalam waktu 3 tahun sudah harus melakukan penjualan saham perdana (Initial Public Offering). Apabila jangka waktu tersebut dilampaui maka pengalihan harta harus menggunakan nilal pasar. Dalam rangka IPO, Wajib Pajak yang telah menerima pengalihan harta dengan nilai buku dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha tanpa melakukan revaluasi aktiva tetap, dapat menerima pengalihan rugi fiskal dari Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dan melakukan kompensasi rugi fiskal, setelah terlebih dahulu mendapat izin Menteri Keuangan dan melakukan revaluasi atas seluruh aktiva tetap dengan harga pasar saat penggabungan/peleburan.
Diperbolehkannya penggunaan nilai buku (metode pooling of interest) merupakan fasilitas perpajakan dari pemerintah karena dengan metode ini tidak akan ada capital gain (dalam bentuk negative goodwill ) sehingga Wajib Pajak tidak dikenakan tambahan pajak. Selain itu masih terdapat fasilitas perpajakan lain yang dapat dinikmati bila penggabungan atau pemekaran usaha memenuhi syarat yaitu a. Pemekaran usaha dengan pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama (PMK-43/PMK.03/2008) b. Atas permohonan WP, Dirjen Pajak dapat memberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sebesar 50 % atas pengalihan tanah dan atau bangunan dalam rangka merger (KEP-221/PJ.2002). c. WP yang mengalihkan harta berupa tanah dan/atau bangunan dibebaskan dan PPh atas pengalihan tanah dan/atau bangunan berdasarkan PP 48 tahun 1994 Jo PP 27 tahun 1996 Jo PP 79 tahun 1999 jo PP 71 Tahun 2009 (SE-21/PJ.42/1999 tanggal 26 Mei 1999) d. Hak-hak WP yang mengalihkan harta akan dilimpahkan ke WP yang menerima pengalihan harta. Contohnya permohonan restitusi, fasilitas-fasilitas pajak serta kredit pajak-kredit pajak WP yang mengalihkan harta menjadi hak WP yang menerima pengalihan harta. Namun untuk pengalihan
56
fasilitas pajak, WP yang menerima pengalihan harus mengajukan permohonan pengalihan fasilitas ke DitJen Pajak.
Untuk dapat melakukan restrukturisasi menggunakan nilai buku, WP harus memenuhi serangkaian prosedur dibawah ini. Mengingat kegagalan memenuhi prosedur ini akan mengakibatkan pengalihan harta harus dinilai dengan Harga Pasar dan keuntungan yang diperoeh dikenakan PPh, maka sebaiknya prosedur dibawah ini anda pahami. a. Mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP yang membawahi KPP tempat pemohon terdaftar, selambat-Iambatnya 6 bulan sesudah proses penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha dilakukan. dalam hal penggabungan atau peleburan usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta. dalam hal pemekaran usaha, permohonan diajukan oleh Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. b. Melunasi seluruh utang pajak dan tiap badan usaha yang terkait, termasuk cabang/perwakilan yang terdaftar di KPP-KPP lokasi c. Laporan Keuangan Wajib Pajak, khususnya untuk tahun pajak dilakukannya pengalihan harta, harus diaudit oleh Akuntan Publik. d. Apabila permohonan Wajib Pajak sudah Iengkap, Kakanwil DJP menerbitkan surat keputusan persetujuan atau penolakan selambat-lambatnya 1 bulan sejak diterimanya permohonan secara lengkap. Jika batas waktu 1 bulan telah lewat maka permohonan Wajib Pajak dianggap diterima dan kepadanya diterbitkan surat keputusan persetujuan. Setelah permohonan penggabungan atau pemekaran usaha dengan menggunakan nilai buku disetujui, maka berlaku ketentuan-ketentuan dibawah ini : Penyusutan dan amortisasi atas harta yang dialihkan untuk tahun buku dimana pengalihan harta tadi dilakukan secara prorata (penghitungan bulanan) berdasarkan masa manfaat yang tersisa sebagaimana yang tercantum dalam pembukuan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta. Apabila penggabungan, peleburan, pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan : a. PPh pasal 25 Wajib Pajak yang baru, tidak boleh lebih kecil dan jumlah PPh pasal 25 dan pihakpihak yang mengalihkan. b. Pembayaran, pemungutan, dan pemotongan PPh yang telah dilakukan sebelumnya, dapat dipindahkan bukukan menjadi pembayaran, pemungutan/pemotongan PPh dan Wajib Pajak yang menerima pengalihan. Dalam hal penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha dilakukan dalam tahun berjalan, maka : a. kewajiban formal penyampaian SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan harta dalam rangka penggabungan atau peleburan usaha, berakhir sampai dengan Masa Pajak/Bagian Tahun Pajak dilakukannya penggabungan atau peleburan usaha. b. kewajiban formal penyampajan SPT Masa/Tahunan PPh bagi Wajib Pajak yang menerima pengalihan harta dalam rangka peleburan dan pemekaran usaha, dimulai sejak Wajib Pajak terdaftar di KPP setelah pendirian badan usaha baru.
57
Pajak Penghasilan Badan
Dimungkinkan warga negara Indonesia mempunyal usaha dan penghasilan dari luar negeri (Investasi, bunga, istri bekeria di luar negeri dan sebagainya). Penghasilan dari luar negeri tersebut dilaporkan dengan cara : 1.
Melaporkan rincian penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri dan penghitungan kredit pajak luar negeri dari Wajib Pajak sendiri, istri dan anak/anak angkat yang belum dewasa dalam Tahun Pajak yang bersangkutan, kecuali penghasilan
2.
a.
Istri yang telah hidup berpisah
b.
Istri yang mengadakan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan;
Mengajukan permohonan kredit pajak luar negeri. (Pasal 24, 4 UU PPh jo Kep.Men.Keu.No.640/KMK.04/1994 tanggal 29 Desember 1994 jo KMK-164/KMK.03/2002) Permohonan kredit pajak luar negeri harus dilampiri dengan a.
Laporan Keuangan dan penghasilan yang berasal dan hasil usaha negeri diluar Negeri,
b.
Fotokopi surat pemberitahuan pajak yang disampaikan di luar negeri,
c.
Fotokopi dokumen pembayaran pajak di luar negeri.
Penghasilan yang telah dipotong Pajak Penghasilan di luar negeri tersebut dapat dikreditkan (dikurangkan dari PPh terutang) melalui mekanisme pengkreditan PPh Pasal 24 yaitu dengan cara memilih antara penghasilan yang telah dipotong di luar negeri dengan kredit pajak yang dihitung dari penghasilan neto. Yang diperbolehkan dikreditkan adalah yang paling kecil antara PPh yang telah dipotong di luar negeri dengan perhitungan dari penghasilan neto luar negeri dibandingkan dengan total penghasilan tersebut (Lihat contoh soal). Jika ada kompensasi kerugian yang masih dapat dikurangkan maka perhitungan penghasilan neto adalah setelah kompensasi kerugian tersebut. Dalam hal penghasilan dalam negeri lebih kecil dan penghasilan luar negeri maka maksimal kredit pajak luar negeri yang dapat dikreditkan adalah sebesar pajak atas Penghasilan Kena Pajak. Contoh : Penghasilan Dalam Negeri menyatakan Rugi Rp. 400 juta sedangkan penghasilan luar negeri menyatakan untung Rp. 500 juta. Pajak yang telah dibayar diluar negeri sebesar Rp. 150 juta. Penghitungan PPh 24 yang dapat dikreditkan Jawab Penghitungan PPh terutang Penghasilan Dalam Negeri Rugi
(Rp.
Penghasilan Luar Negeri untung
Rp.500 juta
Penghasilan Kena Pajak
Rp.100 juta
58
400 juta)
PPh Terutang
10 % x Rp. 50 juta
Rp.
15 % X Rp. 50 juta
= Rp.
7,5 juta
= Rp.
12,5 juta
Jumlah
5
juta
Kredit Pajak PPh 24 yang dapat dikreditkan Rumus umum PPh pasal 24 yang dapat dikreditkan = penghasilan LN X PPh Terutang pengh. kena pajak = Rp. 500.000.000 x Rp. 12.500.000 Rp. 100.000.000 = Rp. 62.500.000 Tetapi karena Penghasilan Luar Negeri Iebih besar dari penghasilan dalam negeri, maka maksimal PPh 24 yang dapat dikreditkan adalah sebesar PPh atas Penghasilan Kena Pajak yaitu Rp. 12.500.000,(Bandingkan dengan PPh yang sebenarnya dipotong sebesar Rp.150.000.000)
59
Pajak Penghasilan Badan
Sistem perpajakan kita menganut asas convenience to pay yang berarti bahwa Wajib Pajak diharapkan membayar pada saat yang paling menguntungkan dirinya. Prinsip ini mengandung arti bahwa pembayaran pajak dapatlah mencapai win-win solution baik bagi negara maupun bagi Wajib Pajak. Dengan adanya pembayaran pajak dimuka maka Wajib Pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak yang terutang pada akhir tahun dan sebaliknya bagi pemerintah akan ada cash inflow untuk pembiayaan negara. Pelunasan pajak dalam Tahun Pajak berjalan merupakan angsuran pembayaran pajak yang nantinya boleh diperhitungkan dengan cara mengkreditkan terhadap PPh yang. terutang untuk Tahun Pajak yang bersangkutan. Untuk pelunasan pajak yang bersifat final tidak dapat dikreditkan dengan PPh terutang.
Pada prinsipnya besarnya angsuran bulanan dalam tahun berjalan didasarkan pada SPT Tahunan PPh tahun yang lalu. Perhitungan masih mempertimbangkan prinsip penghitungan angsuran PPh 25 sebagaimana diulas dalam Modul PPh Orang Pribadi dengan menggunakan lapisan tarif pasal 17 UU PPh tahun 2000. Namun demikian dengan pertimbangan lainnya ditetapkan bahwa angsuran Wajib Pajak Tertentu ditetapkan oleh Menteri Keuangan dalam KMK No. 522/ KMK. 04/2000 jo. KMK-394/KMK.03/2001 jo. KMK-84/KMK.03/2002 jo. . Berikut ini beberapa mekanisme penghitungan angsuran PPh 25 : 1.
Wajib Pajak Baru Wajib Pajak baru adalah badan yang baru pertama kali memperoleh penghasilan dari usaha atau pekerjaan bebas dalam tahun pajak berjalan. Besarnya angsuran PPh pasal 25-nya ditetapkan sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas penghasilan netto sebulan yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas). Penghasilan netto tersebut diperoleh dari a.
dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan maka penghasilan netonya dihitung berdasarkan pembukuannya.
b.
dalam hal Wajib Pajak menyelenggarakan pencatatan dan tidak menyelenggarakan pembukuan, maka penghasilan nettonya dihitung berdasarkan Norma Penghitungan.
60
2.
Wajib Pajak Bank dan SGU dengan Hak Opsi. Besarnya angsuran PPh pasal 25 dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas aba rugi fiskal menurut laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dikurangi PPh pasal 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun yang laIu, dibagi 12 (dua belas). Dalam hal Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi tersebut merupakan Wajib Pajak baru, maka besarnya angsuran PPh pasal 25 untuk triwulan pertama adalah jumlah PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas perkiraan laba/rugi fiskal triwulan pertama yang disetahunkan, dibagi 12 (dua belas).
3.
Wajib Pajak BUMN dan BUMD, kecuali Wajib Pajak Bank dan SGU dengan hak opsi besarnya angsuran PPh pasal 25 adalah sebesar PPh yang dihitung berdasarkan penerapan tarif umum atas laba/rugi fiskal menurut Rencana Kerja dan Anggaran Pendapatan (RKAP) tahun pajak yang bersangkutan yang telah disahkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikurangi pemotongan dan pemungutan PPh 22, 23, serta 24 yang dibayar atau terutang di luar negeri tahun pajak yang laIu, dibagi 12 (dua belas). Dalam hal RKAP belum disahkan, maka angsuran PPh pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum bulan pengesahan adalah sama dengan angsuran PPh pasal 25 bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
Sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-537/PJ./2000, ada beberapa hal tertentu yang mempengaruhi penghitungan besarnya angsuran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan. Hal-hal tertentu itu antara lain Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan, Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU No. 7 Tahun 1983 stdd UU No. 17 Tahun 2000 sttdd UU No 36 Tahun 2008. 1.
Apabila jumlah sisa kerugian habis dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan atau Tahun Pajak yang bersangkutan merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi kerugian, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak berikutnya dihitung atas dasar penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan. a. Kerugian habis dikompensasi dengan Penghasilan Neto Contoh 1 : Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2012 Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00 Kompensasi atas kerugian tahun 2011 Rp. 20.000.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 88.000.000,00 b. Sisa Kerugian tidak bisa dikompensasi untuk tahun berikutnya Contoh 2 : Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00 Sisa kerugian tahun 2003 Rp. 150.000.000,00 dikompensasi Rp. 100.000.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi NIHIL
61
Pajak Penghasilan Badan
Catatan Masih terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2003 setelah dikompensasi sebesar Rp 50.000.000,00, maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasi dengan penghasilan Neto Tahun Pajak 2009 karena telah lewat waktu 5 (lima) tahun. Apabila Jumlah Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 tahun pajak 2008 Rp 3.250.000,00, maka perhitungan PPh Pasal 25 tahun Pajak 2009 untuk contoh 1 dan 2 adalah sebagai berikut : Penghasilan Neto Tahun Pajak 2012 Rp 100.000.000,00 Kompensasi kerugian tahun sebelumnya Rp. 0,00 Penghasilan Kena Pajak Rp. 100.000.000,00 PPh Terutang (asumsi tarif tanpa fasilitas (tarif 25%) = 25% x 100.000.000 Rp. 25.000.000
2.
3.
62
Pajak Penghasilan Pasal 21,22,23, dan 24 Rp 3.250.000,00 Pajak Penghasilan Kurang (Lebih) Bayar Rp 21.750.000 Angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak 2013: 1/12 x Rp 25.000.000 = Rp. 2.083.000,00 Apabila jumlah sisa kerugian tidak habis dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan dan Tahun Pajak yang bersangkutan tidak merupakan Tahun Pajak terakhir untuk dapat melakukan kompensasi, sehingga masih terdapat sisa kerugian yang dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak yang bersangkutan dikurangi dengan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya. Apabila penghasilan neto Tahun Pajak yang bersangkutan Iebih kecil dan sisa kerugian yang masih dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak berikutnya, maka angsuran bulanan Pajak Penghasilan Pasal 25 Tahun Pajak benikutya adalah NIHIL. Contoh: Menurut SPT PPh Tahun Pajak 2010 Penghasilan Neto Rp. 100.000.000,00 Kerugian thn ’06 Rp. 250.000.000,00 dikompensasi Rp. 100.000.000,00 Penghasilan Neto seteiah kompensasi NIHIL Catatan : Misal terdapat sisa kerugian Tahun Pajak 2006 yang belum dikompensasi sebesar Rp 200.000.000 Maka atas sisa kerugian tersebut dapat dikompensasi dengan penghasilan neto Tahun Pajak 2011. Penghitungan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2011 adalah sebagai berikut : Penghasilan Neto Tahun Pajak 2010 Rp 100.000.000,00 Sisa kerugian Tahun Pajak 2006 yang masih dapat dikompensasi Rp 100.000.000,00 Penghasilan Neto setelah kompensasi Rp 0,00 Penghasilan Kena Pajak Rp. 0,00 PPh Terutang Rp. 0,00 PPh yang harus dibayar sendiri Rp 0,00 Angsuran bulanan PPh Pasal 25 Tahun Pajak 2009 1/12 x Rp. 0,00 NIHIL
Yang termasuk penghasilan tidak teratur adalah keuntungan selisih kurs dan utang/piutang dalam mata uang asing (pokok utang piutangnya saja dan digabung antara keuntungan selisih kurs dan kerugian selisih kurs) serta keuntungan dan pengalihan harta (capital gain) sepanjang bukan merupakan penghasilan dan kegiatan usaha pokok, serta penghasilan Iainnya yang bersifat insidentil.
Apabila SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang IaIu disampaikan Wajib Pajak setelah lewat batas waktu yang ditentukan, maka besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan mulal batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan bulan sebelum disampaikannya SPT Tahunan tersebut adalah sama dengan besarnya Pajak Penghasilan bulan terakhir tahun pajak yang IaIu dan bersifat sementara.
Dalam kondisi ini besarnya PPh Pasal 25 adalah sama dengan besarnya PPh Pasal 25 yang dihitung berdasarkan SPT Tahunan sementara yang disampaikan Wajib Pajak pada saat mengajukan permohonan ijin perpanjangan. Besanya PPh pasal 25 mulai bulan batas waktu penyampalan SPT Tahunan PPh sampai dengan bulan disampaikannya SPT Tahunan yang bersangkutan adalah sama besarnya dengan PPh pasal 25 menurut perhitungan sementara yang disampaikan WP pada saat penyampaian SPT Tahunan Sementara. Setelah WP menyampaikan SPT Tahunan, besarnya angsuran dihitung sebagai berikut : a.
Berdasarkan perhitungan menurut SPT yang disampaikan dikurangi dengan PPh Pemotongan Pemungutan dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam tahun pajak yang bersangkutan.
b.
Dalam hal WP berhak atas kompensasi kerugian atau penghasilan tidak teratur, PPh 25 dihitung menurut contoh-contoh diatas.
c.
Apabila perhitungan menurut SPT Tahunan tersebut menghasilkan angsuran PPh pasal 25 yang lebih besar, maka kekurangannya disetor lagi dengan ditambah bunga 2 % sebulan terhitung mulai dan bulan batas terakhir penyampaian SPT Tahunan sampai bulan disampaikannya SPT Tahunan tersebut.
Contoh SPT Tahunan Sementara PPh tahun 2011 disampaikan pada tanggal 19 Februari 2012, dengan menyampaikan perhitungan sebagai berikut : Penghasilan Kena Pajak Rp 400.000.000 PPh Terutang (tanpa fasilitas) Rp 100.000.000 PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000 PPh yang dibayar sendiri Rp 57.500.000
63
Pajak Penghasilan Badan
WP diberikan izin perpanjangan penyampalan SPT Tahunan 2011 sampai tanggal 30 Juni 212, dan diketahui angsuran PPh Pasal 25 bulan Desember 2011 adalah Rp. 4.000.000. Pada tanggal 5 Juni 2012, WP menyampaikan SPTTahunan dengan perhitungan sebagai berikut : Penghasilan Kena Pajak Rp 500.000.000 PPh Terutang (Tarif Pasal 17) Rp 125.000.000 PPh Pasal 22,23,24 Rp 42.500.000 PPh yang dibayar sendiri Rp 82.500.000 Maka Perhitungan Angsuran PPh Pasal 25 tahun 2012 adalah sebagai berikut a. Bulan Januari dan Februari 2009 besarnya adalah Rp. 4.000.000.
b. c.
d.
Bulan Maret s.d. April 2009 besar angsuran masing-masing adalah (1/12 x Rp 57.500.000= Rp. 4.791.667) Besar angsuran PPh Pasal 25 bulan Maret s.d. Desember 2012 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan yang disampaikan tanggal 5 Juni 2010, yaitu (1/12 X Rp. 82.500.000 = Rp. 6.875.000) Atas kekurangan setor angsuran bulan Maret s.d. April 2012 yang masing-masing sebesar Rp. 2.083.333 harus disetor lagi dan terutang 2%
Besarnya Pajak Penghasilan Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Tahunan pembetulan tersebut dan berlaku surut mulai bulan batas waktu penyampaian SPT Tahunan. Apabila wajib pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan PPh-nya maka berlaku ketentuan sebagai berikut : a. PPh pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku surut mulai batas waktu penyampaian SPTTahunan tersebut b. Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian SPT harus disetor dan terutng bunga 2 % per bulan dihitung sejak jatuh tempo penyetoran PPh pasal 25 masing-masing bulan sampai dengan tanggal penyetoran (akan ditagih dengan STP) c. Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyempaian SPT tersebut dapat diperhitungkan sebagai angsuran bulan berikutnya, dengan cara pemindahbukuan Yang dimaksud dengan perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak adalah penurunan atau peningkatan usaha. Contoh : PT ANDI yang bergerak di bidang produksi benang pada tahun 2009 membayar angsuran bulanan sebesar Rp. 18.000.000,-. Dalam bulan Juli 2009 pabrik milik PT ANDI terbakar sehingga Ditjen Pajak mengeluarkan keputusan bahwa mulal Juli 2009 angsuran PPh-nya disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp. 18.000.000,-. Sebaliknya bila PT ANDI mengalami peningkatan usaha misalnya ada peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya melebihi 150 % dibanding tahun
64
sebelumnya, maka angsuran PPh pasal 25-nya juga harus disesuaikan dengan ketentuan sebagai berikut: 1. Apabila setelah 3 ( tiga ) bulan atau Iebih dalam satu tahun pajak WP dapat menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun tersebut kurang dan 75% PPh yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, WP dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh pasal 25 kepada Kepala KPP setempat 2. Permohonan diajukan secara tertulis 3. Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan perkiraan penghasilan yang diterima/diperoleh dan besarnya PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dan tahun pajak yang bersangkutan 4. Kepala KPP yang bersangkutan akan memberikan keputusan dalam jangka waktu 1 ( satu) bulan sejak permohonan diterima secara Iengkap. Apabila dalam jangka waktu satu bulan belum diberikan keputusan berarti permohonan dikabulkan. 5. Apabila dalam suatu tahun pajak WP mengalami peningkatan usaha dan diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut Iebih dari 150 dari PPh yang menjadi dasar perhitungan PPh pasal 25, maka PPh pasal 25 untuk bulan-bulan yang tersisa dalam tahun pajak yang bersangkutan dihitung kembali berdasarkan perkiraan PPh yang terutang di tahun tersebut Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu adalah WP Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha di bidang perdagangan grosir atau eceran barang-barang yang dijual Iangsung ke konsumen akhir melalui tempat usaha/gerai (outlet) yang tersebar di beberapa lokasi tidak termasuk perdagangan kendaraan bermotor dan restoran. Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung sebesar 0,75% dari jumlah peredaran per bulan dan masing-masing tempat usaha Wajib Pajak (KMK No. 84/KMK.03/2002 jo. KEP171/PJ./2002 jo PMK 255/PMK.03/2008 jo PMK 208/PMK.03/2009 ). Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak untuk tahun pajak yang IaIu, maka angsuran PPh dihitung berdasarkan Surat Ketetapan Tersebut, dimana perubahan angsuran berlaku mufai bulan berikutnya setelah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak. Contoh Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2008 yang disampaikan bulan Maret 2009, perhitungan angsuran PPh yang harus dibayar adalah Rp. 1.480.000,-. Dalam bulan Juli 2009 diterbitkan surat ketetapan pajak yang menghasilkan besaran angsuran PPh pasal 25 setiap bulan menjadi sebesar Rp. 2.500.000,-. Berdasarkan perhitungan tersebut, besarnya angsuran PPh pasal 25 mulai bulan Agustus 2007 adalah Rp. 2.500.000. Penetapan besarnya angsuran PPh berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama, Iebih besar atau Iebih kecil dan angsuran sebelumnya berdasarkan SPT Tahunan.
65
Pajak Penghasilan Badan
Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Badan pada prinsipnya ada dua yaitu SPT masa dan SPT Tahunan, dimana SPT masa (PPh 25) hanyalah berbentuk SSP yang dipersamakan sebagai SPT. Yang wajib mengisi dan menyampaikan SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan bentuk umum (formulir 1771) adalah Wajib Pajak Badan yang meliputi PT, CV, perseroan Iainnya, BUMN, koperasi, yayasan, dll. Selain itu ada pihak-pihak tertentu yang diwajibkan pula untuk mengisi SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan adalah : a.
Orang pribadi yang berstatus sebagai BUT
b.
Wajib Pajak Badan yang memperoleh atau menerima penghasilan semata-mata dan penghasilan yang telah dikenakan pajak yang bersifat final.
c.
Wajib Pajak Kontrak Investasi Kolektif (KIK)
d.
Wajib Pajak Badan Iainnya. Mulai Tahun Pajak 2000 diperkenalkan bentuk SPT baru yaitu SPT Tahunan Wajib Pajak
Badan (formulir 1771-$), yaitu SPT yang diperuntukkan bagi Wajib Pajak Badan dalam rangka Penanaman Modal Asing, Kontrak Karya, Kontrak Bagi Hasil, Bentuk Usaha Tetap, dan Wajib Pajak yang berafiliasi dengan perusahaan induk di luar negeri, yang diizinkan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
PT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (formulir 1771) dan SPT Tahunan PPh bagi Wajib Pajk Badan yang diizinkan menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat (formulir 1771/$) terdiri dan Induk SPT dan lampiran-lampiran yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah.
1.
1771
1771/$
SPT Tahunan PPh bagi WP Badan
Induk SPT
2.
1771-I
1771-I/$
Penghitungan Penghasilan Neto Fiskal
Lampiran I
3.
1771-II
1771-II/$
Lampiran II
4.
1771-III
1771-III/$
Perincian Harga Produksi, biaya usaha lainnya dan biaya dari luar usaha Kredit Pajak DN
5.
1771-IV
1771-IV/$
6.
1771-V
1771-V/$
66
PPh Final dan penghasilan bukan objek pajak Daftar pemegang saham/pemilik modal dan
Lampiran III Lampiran IV Lampiran V
7.
a.
b.
1771-VI
1771-VI/$
jumlah deviden yang dibagikan, Daftar Susunan Pengurus dan Komisaris Daftar penyerahan modal pada perusahaan Afiliasi, Daftar Pinjaman dari/kepada Pemegang Saham dan/atau Perusahaan Afiliasi
Lampiran VI
Sesuai dengan pasal 3 ayat (6) UU KUP, SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Badan (formulir) 1771) yang disampaikan kepada KPP/Kapenpa dinyatakan lengkap apabila telah dilampiri dengan : 1) Seluruh lampiran yang telah dibakukan (yaitu formulir 1771-I s.d. 1771-VI) harus diisi walaupun nihil. 2) Neraca dan Laporan Rugi Laba tahun pajak yang bersangkutan. 3) Penghitungan angsuran PPh pasal 25 tahun pajak berikutnya untuk Wajib Pajak tertentu 4) SSP lembar ke-3 tahun pajak yang bersangkutan apabila SPT menunjukkan kurang bayar. 5) Surat kuasa khusus dalam hal SPT ditandatangani oleh bukan pengurus atau bukan direksi. 6) Daftar penghitungan penyusutan/amortisasi. 7) Penghitungan Objek PPh pasal 26 ayat (4) bagi Wajib Pajak BUT yang penghasilannya telah dikenakan PPh yang bersifat final. 8) lampiran lainnya yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Wajib Pajak dapat menyampaikan lampiran-lampiran lainnya yang dianggap perlu untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak
PT. INTl LOGGING dengan NPWP : 01.937.654.2. 031.000, JI. S. Parman Kav. 26 Jakarta Barat, bergerak di bidang perkayuan. WP memiliki kerugian fiskal yang masih dapat kompensasi sebesar Rp. 159 juta. Data-data pembukuan tahun 2011 adalah sbb : Penjualan bersih Rp. 23.200.000.000,00 Harga Pokok Penjualan Rp 17.900.000.000,00 Biaya Operasi: Gaji dan upah PPh 21 dibayar perusahaan Biaya penyusutan Biaya rekreasi/piknik pegawai Biaya HP Biaya Astek/Jamsostek Biaya penyisihan piutang ragu-ragu Biaya perjalanan dinas Biaya bunga bank Biaya bunga leasing Biaya royalti Biaya pemeliharaan inventaris Biaya representasi Biaya PPN Biaya makan minum dan seragam Biaya alat tulis kantor Biaya Listrik, Telpon, Air Biaya perawatan forklift dan dump-truck
Rp. 1.256.400.000,00 56.600.000,00 1.285.000.000,00 22.600.000,00 24.000.000,00 60.600.000,00 98.600.000,00 301.000.000,00 180.000.000,00 20.000.000,00 125.000.000,00 230.400.000,00 132.500.000,00 9.500.000,00 400.000.000,00 163.800.000,00 36.000.000,00 10.000.000,00
67
Pajak Penghasilan Badan
Biaya Fiskal LN Biaya Profesional fee Biaya lain-lain Bunga deposito Laba penjualan gudang Pendapatan Sewa Forklift & dump-truck Laba Selisih kurs Rugi Penjualan wisma Laba anak Perusahaan a.
b.
c.
d. e. f.
g.
h.
I.
j.
k. I.
68
21.000.000,00 59.700.000,00 25.800.000,00 Rp. 10.000.000,00 100.000.000,00 150.000.000,00 99.200.000,00 (80.000.000,00) 200.000.000,00
PT INTl LOGGING memiliki kebijakan untuk menanggung PPh 21 semua karyawannya berapapun jumlahnya dalam bentuk PPh 21 ditanggung perusahaan, bukan berbentuk tunjangan PPh (gross-up). Biaya penyusutan untuk fiskal dan komersial dihitung dengan cara yang sama oleh WP yaitu sebesar Rp.1.285.000.000,00 ( metode garis lurus ). Demikian juga dengan penentuan masa manfaat dan nilai sisa. Tetapi WP belum menyesuaikan penghitungan biaya penyusutan HP dinas sebesar Rp. 4.000.000,- per tahun dan biaya penyusutan mobil sedan dinas sebesar Rp. 50.000.000,- per tahun dengan KEP-220/PJ./2002. Dalam biaya penyusutan termasuk juga biaya penyusutan atas aktiva finance lease sebesar Rp. 150.000.000,- dan biaya penyusutan wisma sampai saat wisma tersebut dijual sebesar Rp. 10.000.000,Biaya HP adalah pengeluaran untuk pembayaran pulsa HP para direksi. Biaya Astek /Jamsostek adalah biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk pembayaran premi asuransi kecelakaan kerja karyawan. Dalam perjalanan dinas, para Direksi sesekali membawa keluarga mereka, ternyata setelah diperinci terdapat sejumlah Rp. 55.000.000,00 yang merupakan pengeluaran untuk keperluan keluarga direksi. Disamping itu terdapat juga biaya pemberian tiket pesawat terbang untuk para pejabat sejumlah Rp. 64.000.000,00 Biaya bunga bank sebesar Rp. 180.000.000,- terjadi karena hutang PT.INTI LOGGING kepada Bank Buana Indonesia sebesar rata-rata setahun Rp. l.000.000.000,- dengan tingkat bunga pinjaman rata-rata 18 % p.a. Perusahaan menyewa alat-alat berat dan United Tractor secara Finance Lease dengan pembayaran SGU tiap bulan Januari dan Juli sebesar Rp.100.000.000,- dengan perincian bunga tetap Rp. 10.000.000 dan cicilan pokok leasing Rp. 90.000.000. Selama tahun 2004 perusahaan telah membayar cicilan leasing 2 kali yang terdiri dan pembayaran bunga Rp. 20.000.000 dan pembayaran pokok Rp. 180.000.000,Perusahaan membayar biaya royalti teknologi pemotretan udara ke Blitz Gmbh Germany sebesar Rp. 125.000.000,-. Jumlah tersebut termasuk Rp. 25 juta yang merupakan PPh pasal 26 yang ditanggung oleh PT Inti Logging Dalam biaya Perbaikan/reparasi terdapat biaya perbaikan mobil sedan perusahaan yang digunakan oleh Direktur Utama PT. INTl LOGGING sejumlah Rp. 18.000.000,00 dan biaya perawatan wisma perusahaan di Puncak sebesar Rp. 10.000.000,Biaya jamuan untuk relasi yang lengkap dengan perincian ( daftar nominatif) dan buktibuktinya ada hanya sejumlah Rp. 101.000.000,00 Biaya PPN adalah PPN Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan karena faktur pajak yang diterima dan penjual cacat.
m.
n. o. p.
q.
r.
s.
t.
u.
v.
w. x.
Perusahaan menanggung makan minum dan seragam seluruh pegawainya dengan menyediakan kantin di kantor dan di lokasi HPH serta membelikan seragam. Total biaya makan minum Rp.360 juta sedangkan biaya seragam sebesar Rp.40 juta. Biaya perawatan forklift dan dump-truck adalah biaya perawatan forklift dan dumptruck yang disewakan. Biaya Fiskal Luar Negeri adalah pembayaran Fiskal Luar Negeri atas nama perusahaan untuk kepergian para direktur ke Amerika dan Singapura dalam rangka dinas. Biaya Profesional fee adalah biaya jasa audit dan appraisal. Dari total biaya tersebut sebesar Rp. 19.700.000,- adalah biaya audit anak perusahaan yaitu PT NUSANTARA PLYWOOD Perincian biaya lain-lain adalah : · Bantuan bea siswa dalam rangka GN-OTA sebesar Rp. 12.500.000,00 · Sumbangan Amal Bhakti Muslim Pancasila Rp. 3.300.000,00 · Iuran keanggotaan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rp. 10.000.000 Penghasilan bunga deposito adalah bunga deposito Bank Mandiri sebesar Rp.10.000.000,dan telah dipotong pajak sebesar 20% yaitu Rp. 2.000.000,-. Rata-rata besarnya deposito PT. INTI LOGGING di bank tersebut selama setahun adalah Rp.100.000.000,Perusahaan menjual gudang dengan nilai sisa buku sebesar Rp.900.000.000,- seharga Rp.1.000.000.000,- Atas penjualan gudang ini perusahaan telah membayar PPh atas pengalihan tanah sebesar 5% yaitu Rp. 50.000.000,Perusahaan juga menyewakan forklift serta dump-trucknya kepada perusahaan sesama pemegang HPH yaitu PT HUTRINDO di lokasi usaha. Atas jasa sewa ini perusahaan telah dipotong pajak sebesar 6% yaitu Rp. 9.000.000,Pada akhir tahun 2010 perusahaan menjual wisma perusahaan di Puncak dengan harga Rp. 400.000.000.- karena kesulitan likuiditas. Nilai buku wisma tersebut pada saat dijual adalah Rp. 480.000.000. Perusahaan telah membayar PPh atas pengalihan tanah sebesar 5% yaitu Rp. 20.000.000,-. Sebelum dijual wisma tersebut beberapa kali disewakan dengan penghasilan sewa setahun Rp. 50.000.000 dan telah dipotong PPh oleh penyewa Rp. 5.000.000, PT Inti Logging memiliki anak perusahaan yang bergerak dibidang kayu lapis yaitu PT NUSANTARA PLYWOOD (kepemilikan 40%). Selama tahun 2008 PT NUSANTARA PLYWOOD mengumumkan laba setelah pajak sebesar Rp. 500 juta tapi tidak membagi deviden. PT Inti Logging mengakuinya dengan mencatat kenaikan nilai investasi dan laba dari anak perusahaan sebesar Rp. 200 juta. Perusahaan mengimpor alat-alat berat (truk, traktor dll) dan telah dipotong pajak PPh 22 oleh Ditjen Bea Cukai sebesar Rp. 46.000.000, Selama tahun 2010 perusahaan telah membayar PPh pasal 25 Rp. 209.000.000
Diminta 1. Buatlah rekonsiliasi fiskal yang diperlukan guna menghitung Penghasilan Kena Pajak dan Pajak Penghasilan terutang tahun 2008 dan PT. INTI LOGGING. 2. Masukkan hasil rekonsiliasi fiskal tersebut ke dalam SPT tahunan PPh Badan. 3. Hitung angsuran PPh 25 tahun 2009
69
Pajak Penghasilan Badan
1
Penjualan
23.200.000
-
-
23.200.000
2
Harga pokok penjualan
17.900.000
-
-
17.900.000
3
Laba bruto
4
Biaya operasi
5
Gaji dan upah
6
PPh 21 dibayar Perusahaan
7
Biaya penyusutan
8
5.300.000 1.256.400
5.300.000 -
1.256.400
56.600
56.600
-
1.285.000
187.000
1.098.000
Biaya rekreasi/piknik peawai
22.600
22.600
-
9
Biaya HP
24.000
12.000
12.000
10
Biaya Askes/Jamsostek
60.600
-
60.600
11
Biaya penyisihan piutang ragu-
98.600
98.600
-
ragu
70
12
Biaya perjalanan dinas
301.100
119.000
182.100
13
Biaya bunga Bank
180.000
18.000
162.000
14
Biaya bunga Leasing
20.000
-
20.000
15
Biaya angsuran Leasing
16
Biaya royalty
125.000
25.000
100.000
17
Biaya pemeliharaan inventaris
230.400
19.000
211.400
18
Biaya representasi
132.500
31.500
101.000
19
Biaya PPN
20
-
180.000
180.000
9.500
-
9.500
Biaya makan dan minum
400.000
-
400.000
21
Biaya alat tulis kantor
163.800
-
163.800
22
Biaya listrik, air dan telepon
36.000
-
36.000
23
Biaya forklif dan dump truck
10.000
-
10.000
24
Biaya Profesional fee
59.700
19.700
40.000
25
Biaya lain-lain
25.800
3.300
22.500
26
Jumlah biaya operasi
27
Laba operasi
28
Penghasilan/beban lain-lain
29
Bunga deposito
30
Laba penjualan gudang
100.000
100.000
31
Pendapatan forklift dan truck
150.000
150.000
32
Laba kurs
99.200
99.200
33
Rugi penjualan wisma
34
Pendapatan sewa wisma
35 36
4.497.600
633.300
180.000
802.400
1.396.700
10.000
(80.000)
3.903.300
10.000
(80.000)
-
-
50.000
50.000
-
Laba anak perusahaan
200.000
200.000
-
Jumlah penghasilan/beban lain
529.200
349.200
37
Laba bersih
38
Kompensasi kerugian
39
Penghasilan kena pajak
40
PPh terutang
41
Kredit pajak dipotong pihak
1.331.600
1.745.900
159.000
159.000 1.586.900 355.684
lain 42
PPh pasal 22
46.000
43
PPh pasal 23
3.000
45
Kredit pajak yg dibayar sendiri
46
Pasal 25
47
PPh kurang bayar
209.000 97.684
Soal Latihan:
PT. SR adalah Wajib Pajak yang mempunyai usaha sebagai pabrikan sepatu, pada tahun pajak 2011 mempunyai data-data sebagai berikut : 1. Peredaran bruto Rp 53.000.000.000 Harga pokok (Rp 49.500.000.000) Rp 3.500.000.000 Biaya Operasional (Rp 2.300.000.000) Penghasilan neto fiskal Rp 1.200.000.000 2. Kompensasi kerugian (tahun 2009 dan 2010) Rp 700.000.000 3. Pajak yang telah dipotong/dipungut pihak lain a. PPh pasal 22 Rp 42.000.000 b. PPh pasal 23 Rp 67.500.000 c. PPh pasal 4(2) Rp 12.000.000 4. Pajak yang telah dibayar sendiri a. PPh pasal 25 Rp 19.000.000 b. STP PPh pasal 25 (pokok) Rp 2.400.000 c. Pajak Pengalihan atas Tanah dan Bangunan Rp 3.000.000
1. Hitung PPh Kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan Hitung PPh pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya ! 2. Hitung PPh kurang/lebih dibayar untuk tahun pajak 2011 dan hitung PPh pasal 25 untuk tahun pajak berikutnya apabila kompensasi kerugian untuk tahun pajak 2009 dan 2010 menjadi Rp1.500.000.000 .
PT. YMA adalah Wajib Pajak yang masuk dalam kategori sebagai pengusaha mikro, kecil dan menengah. Pada tahun pajak 2011 mempunyai data-data sebagai berikut :
71
Pajak Penghasilan Badan
Peredaran usaha (fiskal) Harga Pokok Penjualan (fiskal) Biaya-biaya (fiskal)
Rp 8.000.000.000 Rp 4.700.000.000 Rp 2.000.000.000
Pajak-pajak 1. PPh pasal 21 yang telah dipotong dan disetor oleh Wajib Pajak Rp 19.400.000 2. PPh pasal 22 atas impor yang dipotong oleh Bea cukai Rp 31.200.000 3. PPh pasal 25 yang telah dibayar oleh Wajib Pajak Rp 120.000.000
1. Berapa PPh yang kurang/lebih dibayar 2. Berapa PPh pasal 25 untuk tahun pajak
72
1
Semua jenis usaha
a. b. c. d. e. f. g.
2
Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung, duplikator, mesin fotokopi, mesin akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner dan sejenisnya. Perlengkapan lainnya seperti amplifier, tape/cassette, video recorder, televisi dan sejenisnya. Sepeda motor, sepeda dan becak. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa yang bersangkutan. Dies, jigs, dan mould. Alat-alat komunikasi seperti pesawat telepon, faksimile, telepon seluler dan sejenisnya.
7
Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin seperti cangkul, peternakan, perikanan, garu kehutanan, dan lain-lain. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh, minuman pengering, pallet, dan sejenisnya. Transportasi dan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai angkutan umum. Pergudangan Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test system, elimination (PE8-1), pose checker. Jasa Persewaan Peralatan Anchor, Anchor Chains, Polyester Rope, Steel Buoys, Steel Wire Ropes, Mooring Tambat Air Dalam Accessoris. Jasa telekomunikasi selular Base Station Controller
1
Semua jenis usaha
3 4 5 6
a.
b. c. 2
3
Pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan
a.
Industri makanan dan minuman
a.
b.
Mebel dan peralatan dari logam termasuk meja, bangku, kursi, lemari dan sejenisnya yang bukan merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya. Mobil, bus, truk, speed boat dan sejenisnya. Container dan sejenisnya. Mesin pertanian/perkebunan seperti traktor dan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar benih dan sejenisnya. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan.
Mesin yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu, pengalengan ikan . b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin, penggilingan kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras, gandum, tapioka. c. Mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis. d. Mesin yang menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan segala
73
Pajak Penghasilan Badan jenis. 4
Industri mesin
5
Perkayuan, kehutanan
6 7
Konstruksi Transportasi Pergudangan
8
Telekomunikasi
9
Industri konduktor
10
11
1
2
3
4
74
Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin ringan (misalnya mesin jahit, pompa air). a. b.
Mesin dan peralatan penebangan kayu. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau memproduksi bahan atau barang kehutanan.
Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump truck, crane buldozer dan sejenisnya. dan a. Truk kerja untuk pengangkutan dan bongkar muat, truk peron, truck ngangkang, dan sejenisnya; b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat untuk pengangkutan barang tertentu (misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan 100 DWT; d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai berat sampai dengan 250 DWT; e. Kapal balon. a. b.
Perangkat pesawat telepon; Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.
semi Auto frame loader, automatic logic handler, baking oven, ball shear tester, bipolar test handler (automatic), cleaning machine, coating machine, curing oven, cutting press, dambar cut machine, dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic test handler, eliminator (PGE-01), full automatic handler, full automatic mark, hand maker, individual mark, inserter remover machine, laser marker (FUM A-01), logic test system, marker (mark), memory test system, molding, mounter, MPS automatic, MPS manual, O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut press, trimming/forming machine, wire bonder, wire pull tester. Jasa Persewaan Spoolling Machines, Metocean Data Collector Peralatan Tambat Air Dalam Jasa Telekomunikasi Mobile Switching Center, Home Location Register, Visitor Location Register. Authentication Seluler Centre, Equipment Identity Register, Intelligent Network Service Control Point, intelligent Network Service Managemen Point, Radio Base Station, Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antena
Pertambangan Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan, termasuk mesin-mesin yang mengolah selain minyak dan produk pelikan. gas Permintalan, a. Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk tekstil (misalnya kain katun, pertenunan dan sutra, serat-serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani, kainpencelupan kain bulu, tule). b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing, printing, finishing, texturing, packaging dan sejenisnya. Perkayuan
Industri kimia
a. b.
Mesin yang mengolah/menghasilkan produk-produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput dan bahan anyaman lainnya. Mesin dan peralatan penggergajian kayu.
a.
Mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan produk industri kimia dan industri