BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembayaran pajak merupakan perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Wajib Pajak Pajak untuk untuk secara secara langsun langsung g dan bersama bersama-sam -samaa melaks melaksanak anakan an kewajib kewajiban an perpajakan perpajakan untuk pembiayaan pembiayaan negara dan pembanguna pembangunan n nasional. nasional. Sesuai falsafah undangundang perpajakan, membayar pajak bukan hanya merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan pembiayaan negara dan pembanguna pembangunan n nasional. nasional. Tanggung Tanggung jawab atas kewajiban kewajiban pembayaran pembayaran pajak, sebagai sebagai pencerminan pencerminan kewajiban kewajiban kenegaraan kenegaraan di bidang bidang perpajakan perpajakan berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi memenuhi kewajiban tersebut. Hal tersebut sesuai sesuai dengan dengan sistem sistem self assessme assessment nt yang yang dianut dianut dalam dalam Sistem Sistem Perpaja Perpajakan kan Indone Indonesia. sia. Eksis Eksiste tensi nsi pajak pajak meru merupak pakan an sumb sumber er penda pendapat patan an utam utamaa sebuah sebuah nega negara, ra, karen karenaa itu merupakan isu strategis yang selalu menjadi pantauan masyarakat. Apalagi sekarang telah dilakukanUU Pajak yang baru yang akan menggantikan UU No. 16/2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Urgensi pajak bagi kelangsungan pembangunan tak lagi disangsikan. Karena itu waja wajarr jika jika peme pemeri rint ntah ah teru teruss beru berupa paya ya meng mengg gali ali berb berbag agai ai pote potens nsii tax tax cove covera rage ge (lingku (lingkup/cak p/cakupa upan n pajak) pajak) sekalig sekaligus us menek menekanka ankan n tax complia compliance nce (kepatu (kepatuhan han pajak) pajak) dari dari masyarakat. Namun demikian, kepatuhan pajak yang bersumber dari kesadaran masyarakat terhadap penunaian kewajiban membayar pajak itu tentu bukan sesuatu yang berdiri sendiri. Berbagai persoalan perpajakan yang kerap muncul, baik yang bersumber dari wajib pajak (masyarakat), aparatur pajak (fiscus), maupun yang bersumber dari sistem perpajakan itu sendiri menunjukkan bahwa persoalan pajak merupakan hal yang kompleks. Oleh karena itu, penanganannya perlu diupayakan secara sinergis dan komprehensif.Dengan sendirinya, berbagai berbagai upaya untuk menciptakan masyarakat masyarakat agar memiliki apresiasi yang baik terhadap terhadap kew kewajib ajiban an memb membay ayar ar paja pajak k tida tidak k terp terpak aku u pad pada wajib ajib paja pajak k bela belaka ka,, tapi tapi perl perlu u memper mempertimb timbang angkan kan aspek-a aspek-aspek spek lainnya lainnya secara secara korelat korelatif. if. Dengan Dengan pertimb pertimbang angan an yang yang simultan, solusi alternatif yang signifikan akan lebih memungkinkan. Dari begitu banyak dan keanekaragaman hak dan kewajiban wajib pajak, salah satunya adalah wajib pajak
orang pribadi yaitu yaitu orang yang memperoleh penghasilan. Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.
Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang
dipu dipung ngut ut atas atas peng penghas hasila ilan n dari dari semu semuaa oran orang g yang yang berad beradaa di wilay wilayah ah Repu Republ blik ik Indonesia. Pajak penghasilan terkait terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
2.
Pph pasal 21
Pph pasal 22
Pph pasal 23
Pph pasal 24
Ppa pasal 25
Pph pasal 26 dan,
Pph pasal 4 ayat 2
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, perusahaan, maupun maupun pemerintah pemerintah yang mengkonsum mengkonsumsi si Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. 3.
PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-
barang kena pajak pajak tertentu tertentu yang tergolong tergolong mewah, mewah, juga juga dikenakan dikenakan PPn BM. BM. 4.
Bea Mete Meterai rai adala adalah h pajak pajak yang yang dike dikenak nakan an atas atas doku dokume men, n, deng dengan an Bea Meterai Meterai Bea menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri
atas tanah dan bangunan (property tax). 6.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang
dikenak dikenakan an atas peroleha perolehan n hak atas tanah tanah dan atau banguna bangunan. n. Seperti Seperti halnya halnya PBB, PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB
orang pribadi yaitu yaitu orang yang memperoleh penghasilan. Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak – Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Beberapa jenis pajak dapat dibagi menjadi :
1.
Pajak Penghasilan (PPh) : PPH adalah pajak langsung dari pemerintah pusat yang
dipu dipung ngut ut atas atas peng penghas hasila ilan n dari dari semu semuaa oran orang g yang yang berad beradaa di wilay wilayah ah Repu Republ blik ik Indonesia. Pajak penghasilan terkait terdapat dalam pasal-pasal sebagai berikut:
2.
Pph pasal 21
Pph pasal 22
Pph pasal 23
Pph pasal 24
Ppa pasal 25
Pph pasal 26 dan,
Pph pasal 4 ayat 2
Pajak Pertambahan Nilai (PPN)PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, perusahaan, maupun maupun pemerintah pemerintah yang mengkonsum mengkonsumsi si Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. 3.
PajakPenjualan atas Barang Mewah (PPn BM) Selain dikenakan PPN, atas barang-
barang kena pajak pajak tertentu tertentu yang tergolong tergolong mewah, mewah, juga juga dikenakan dikenakan PPn BM. BM. 4.
Bea Mete Meterai rai adala adalah h pajak pajak yang yang dike dikenak nakan an atas atas doku dokume men, n, deng dengan an Bea Meterai Meterai Bea menggunakan benda materai atau benda lainya contohnya dengan menggunakan mesin teraan, pemeteraian, kemudian dan surat setoran pajak bentuk KPU 35 Kode 006.
5.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) PBB adalah atas harta tak bergerak yang terdiri
atas tanah dan bangunan (property tax). 6.
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) BPHTB adalah pajak yang
dikenak dikenakan an atas peroleha perolehan n hak atas tanah tanah dan atau banguna bangunan. n. Seperti Seperti halnya halnya PBB, PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB
selu seluru ruhn hnya ya
dise disera rahk hkan an
kepa kepada da
Peme Pemeri rint ntah ah
Daera aerah h
baik baik
Propi ropins nsii
maupu aupun n
Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.
Pajak Penghasilan merupakan pajak yang dipungut setiap akhir tahun atau setelah tahun tahun pajak pajak berak berakhir hir.. Pajak Pajak peng pengha hasil silan an diatu diaturr dalam dalam unda undang ng-u -und ndan ang g diant diantara arany nyaa adalahUndang-undang nomor:42 tahun 2009 tentang perubahan ketiga atas undang0undang nomor 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai barang dan jasa dan pajak penjualan atas barang mewah dan undang-undang nomor 28 tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribus retribusii dearah. dearah.Me Menyik nyikapi api kewajib kewajiban an pajak pajak berdasa berdasarkan rkan undang-u undang-unda ndang ng ini,
Dalam Dalam
konteks konteks itulah makalah ini ditulis. Makalah ini akan membahas tentang"pajak tentang"pajak penghasilan pasal 4 ayat ayat 2 dan dan badan". badan".
B. Rumu Rumusa san n Masa Masala lah h 1. Bagaimana Bagaimana pembahasa pembahasan n dari pph pasal 4 ayat 2 dan pph badan. badan. 2. Bagaima Bagaimana na wajib wajib pajak pajak yang terke terkena na pph pasal pasal 4 ayat 2 (final) (final) 3. Bagaimana Bagaimana badan badan usaha yang yang dikenakan dikenakan pph badan, badan, baik baik badan badan usaha dalam dalam negeri negeri maupun luar negeri.
C. Tujuan 1. Untuk mengetahui mengetahui pembahasan pembahasan dari pph pph pasal 4 ayat 2 dan pph pph badan. badan. 2. Untuk mengetahui mengetahui wajib wajib pajak yang terkena pph pasal 4 ayat 2 (final) 3. Untuk mengetahui badan usaha yang dikenakan pph badan, baik badan usaha dalam
negeri maupun luar negeri.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 PPH PASAL 4 AYAT 2 (PPH FINAL) A. PAJAK PENGHASILAN PASAL 4 AYAT 2 (PPh BERSIFAT FINAL) SECARA UMUM
PPh Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu bahwa setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Pajak jenis ini dapat dikenakan terhadap jenis penghasilan, transaksi atau usaha tertentu. Laba Akuntansi adalah laba atau rugi bersih. Pasal 4 ayat 2 undang-undang pajak penghasilan menyebutkan bahwa : “atas penghasilan berupa bunga deposito, dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penghasilan yang termasuk penghasilan pasal 4 ayat (2) perlu diberikan perlakuan
tersendiri
dalam
pengenaan
pajaknya
berdasarkan
beberapa
pertimbangan-pertimbangan diantaranya adalah kesederhanaan dalam pemungutan pajak, mengurangi administrative costs dan salah satu komponen compliance costs,
pemerataan pengenaan pajak dan sesuai dengan perkembangan ekonomi dan moneter.
B. JENIS PENGHASILAN TERTENTU YANG PENGENAAN PAJAKNYA
BERSIFAT FINAL DALAM PPh PASAL 4 AYAT 2
Pengenaan pajak atas penghasilan tertentu tidak didasarkan atas ketentuan umum penghitungan Penghasilan Kena Pajak maupun penerapan Norma Penghitungan, melainkan berdasarkan penerapan tarif efektif atas peredaran atau penghasilan bruto atau dasar pengenaan pajak lainnya ( presumptive tax ) yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Jenis penghasilan tertentu yang pengenaan PPh-nya diatur dengan Peraturan Pemerintah untuk memudahkan proses pemungutannya dan bersifat final (atas penghasilannya tidak digunggungkan lagi dalam menghitung PPh terutang setahun dan PPh yang telah dipotong tidak dapat dikreditkan lagi) adalah sebagai berikut : 1.
PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia
(SBI). Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan serta diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI) diatur dengan peraturan Pemerintah No. 13 tahun 2000. Menurut PP No.131 tahun 2000, atas penghasilan berupa bunga yang berasal dari deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima oleh wajib pajak dalam negeri dab BUT dikenakan pajak dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Besarnya PPh yang dipotong adalah 20% dari jumlah bruto. a.
Subjek Pajak : Nasabah.
b.
Pemotong Pajak : Bank dan Bank Indonesia.
c.
Objek PPh : Bunga deposito/tabungan, Jasa Giro, dan Diskonto SBI.
d.
Pengecualian :
1) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI sepanjang jumlah pokok deposito dan tabungan serta SBI nya tidak melebihi Rp.7.500.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah; 2) Bunga dan diskonto yang diterima atau diperoleh bank yang didirikan di
Indonesia atau cabang Bank luar negeri di Indonesia; 3) Bunga deposito dan tabungan serta diskonto SBI yang diterima atau
diperoleh Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan sepanjang dananya diperoleh dari sumber pendapatan sbb: •
iuran pemberi kerja;
•
iuran peserta;
•
hasil investasi; dan
•
pengalihan dari Dana Pensiun lain.
4) Bunga tabungan pada bank yang ditunjuk pemerintah dalam rangka pemilikan rumah sederhana dan sangat sederhana, kaveling siap bangun untuk rumah sederhana dan sangat sederhana, atau rumah susun sederhana sesuai dengan ketentuan yang berlaku, untuk dihuni sendiri. e.
Tarif PPh :
∼
20% dari Penghasilan Bruto (untuk WP dalam negeri dan BUT)
∼
20% dari Penghasilan Bruto atau tarif berdasarkan perjanjian penghindaran pajak berganda yang disebut juga Tax Treaty (untuk WP luar negeri).
2.
PPh atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan berupa bunga atau diskonto
obligasi yang dijual di bursa efek diatur dengan peraturan pemerintah no. 6 tahun 2002. Menurut PP No. 6 tahun 2002, atas penghasilan yang diterima wajib pajak berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan/atau dilaporkan di bursa efek dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final.
a.
Subjek Pajak : Wajib Pajak penerima bunga atau diskonto obligasi,
Wajib pajak penjual obligasi. b.
Pemotong Pajak : Penerbit obligasi (emiten) atau kustodian yang ditunjuk selaku agen pembayaran, atas bunga yang diterima atau diperoleh pemegang obligasi dengan kupon pada saat jatuh tempo bunga/obligasi, dan atas diskonto yang diterima atau diperoleh pemegang obligasi dengan kupon/obligasi tanpa bunga pada saat jatuh tempo obligasi.
Perusahaan efek (broker0 atau bank selaku pedagang perantara (dealer), atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
Perusahaan Efek (broker), bank, dana pensiun, dan reksadana, selaku pembeli obligasi langsung tanpa melalui pedagang perantara, atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh penjual obligasi pada saat transaksi.
c.
Objek PPh : Penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak
berupa bunga dan diskonto obligasi yang diperdagangkan dan atau dilaporkan perdagangannya di bursa efek. d.
Tarif PPh :
1) Atas bunga obligasi dengan kupon (interest bearing bond ) sebesar : o
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
o
20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku bagi wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari jumlah bruto bunga sesuai dengan masa kepemilikan (holding period ) obligasi.
2) Atas diskonto obligasi dengan kupon sebesar : ∗
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
∗
20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih lebih harga jual pada
saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas harga perolehan obligasi, tidak termasuk bunga berjalan (accured interest ). 3) Atas diskonto obligasi tanpa bunga ( zero coupon bond ) sebesar :
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
20% atau Tarif sesuai Tax Treaty yang berlaku, bagi wajib pajak penduduk/berkedudukan di luar negeri, dari selisih lebih harga jual pada saat transaksi atau nilai nominal pada saat jatuh tempo obligasi di atas harga perolehan obligasi.
e.
Pengecualian : 1) Atas bunga dan diskonto obligasi yang diterima atau diperoleh wajib
pajak: ∼
Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia
∼
Dana Pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disyahkan menteri keuangan
∼
Reksadana yang terdaftar pada Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM), selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
2) Tidak dikenakan pemotongan PPh
Pemotongan PPh atas atas bunga dan diskonto obligasi yang diperoleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri yang seluruh penghasilannya termasuk penghasilan bunga dan diskonto obligasi tersebut dalam satu tahun pajak tidak melebihi jumlah PTKP, tidak bersifat final. Wajib pajak orang pribadi tersebut dapat mengajukan permohonan restitusi atas PPh yang telah dipotong ke Kantor Pelayanan Pajak.
Obligasi
yang
tidak
diperdagangkan
dan
tidak
dilaporkan
perdagangannya di bursa efek, pemotongan PPh oleh para pemotong pajaknya dilakukan berdasarkan ketentuan pasal 23 atau pasal 26 UUPPh.
3. PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
a.
Subjek Pajak : Penjual atau pihak yang mengalihkan hak selaku
penerima penghasilan. b.
Pemotong Pajak : Pembeli atau pihak yang menerima pengalihan hak.
c.
Objek PPh : Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau
bangunan (penjualan, tukar-menukar, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah, atau cara lain yang disepakati dengan pihak lain atau dengan pemerintah). d. o
Pengecualian : Transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan oleh WP Badan termasuk Koperasi yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan (perusahaan real estate) tidak dikenakan PPh yang bersifat final melainkan PPh dengan ketentuan umum.
o
Orang Pribadi atau badan yang melakukan pengalihan tanah dan atau bangunan sehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan/ pendidikan/ sosial/ pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
o
Orang Pribadi yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan yang jumlah brutonya kurang dari Rp.60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
o
Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan kepada pemerintah guna pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus seperti pembebasan tanah oleh pemerintah untuk proyek jalan umum, saluran pembuangan air, waduk, saluran irigrasi, pelabuhan laut, Bandar udara, tanggul, dan fasilitas ABRI;
o
e.
Pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan sehubungan dengan warisan. Tarif PPh : 5% dari jumlah bruto nilai pengalihan (nilai yang tertinggi
antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Obyek Pajak) hak atas tanah dan atau bangunan.
4. PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan
a.
Subjek Pajak : Pihak yang menyewakan sebagai penerima penghasilan.
b.
Pelunasan Pajak :
Pemotongan oleh penyewa (jika pihak penyewa Badan Pemerintah, Subjek
−
Pajak Badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, KSO, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan Orang Pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak; Penyetoran sendiri oleh yang menyewakan dalam hal penyewa adalah Orang
−
Pribadi dan Subjek Pajak lainnya. c.
Objek PPh : Penghasilan dari persewaan tanah dan atau bangunan.
d.
Tarif PPh : 10% dari jumlah bruto nilai persewaan (semua jumlah
yang dibayarkan atau terutang oleh pihak yang menyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun yang berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa, termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan dengan perjanjian persewaan yang bersangkutan). Contoh : PT. ABC menyewa sebuah ruko dari Tuan Wibawa untuk dijadikan kantor dengan nilai sewa sebesar Rp 40.000.00,00. PPh pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT. ABC adalah: 10% x Rp 40.000.000,00 = Rp 4.000.000,00
5. PPh atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi Pengenaan pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi diatur dengan peraturan pemerintah No. 51 tahun 2008. Berikut ini adalah beberapa pengertian menurut PP No. 51 tahun 2008 :
Jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultasi perencanaan pekerjaan
konstruksi, layanan jasa konsultasi pengawasan pekerjaan pekerjaan konstruksi.
Pekerjaan konstruksi adalah keseluruhan atau sebagian rangkaian
kegiatan perencanaan dan/atau pelaksanaan beserta pengawasan yang mencakup pekerjaan arsitektural, sipil, mekanikal, elektrikal, dan tata lingkungan masingmasing beserta kelengkapannya untuk mewujudkan suatu bangunan atau bentuk fisik lain.
Perencanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu mewujudkan pekerjaan dalam bentuk dokumen perencanaan bangunan fisik lain.
Pelaksanaan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi pribadi
atau badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang perencanaan jasa konstruksi yang mampu menyelenggarakan kegiatannya untuk mewujudkan suatu hasil perencanaan menjadi bentuk bangunan atau bentuk fisik lain, termasuk di dalamnya pekerjaan konstruksi terintegrasi yaitu penggabungan fungsi layanan dalam model penggabungan, perencanaan, pengadaan, dan pembangunan (engineering, procurement and construstion).
Pengawasan konstruksi adalah pemberian jasa oleh orang pribadi atau
badan yang dinyatakan ahli yang profesional di bidang pengawasan jasa konstruksi, yang mampu melaksanakan pekerjaan pengawasan sejak awal pelaksanaan pekerjaan konstruksi sampai selesai dan diserahterimakan.
Penyedia jasa adalah orang pribadi atau badan termasuk bentuk usaha
tetap, yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi, pelaksana konstruksi dan pengawas konstruksi maupun sub-subnya. Atas penghasilan dari usaha jasa konstruksi dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dan berikut ini adalah ketentuan dari PPh final atas penghasilan usaha jasa konstruksi : a.
Subjek Pajak : Kontraktor Kecil (yang memenuhi kualifikasi sebagai
usaha kecil berdasarkan sertifikat yang dikeluarkan oleh Lembaga yang berwenang,
serta
yang
mempunyai
nilai
pengadaan
sampai
dengan
Rp.1.000.000.000,00. b.
Pelunasan Pajak : ∗
Pemotongan oleh pengguna jasa (jika pihak pengguna jasa Badan
Pemerintah, Subjek Pajak Badan dalam negeri, BUT, atau Orang Pribadi sebagai WP dalam negeri yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak); ∗
Penyetoran sendiri oleh penyedia jasa dalam hal pemberi penghasilan
adalah pengguna jasa selain yang disebutkan di atas. c.
Objek PPh : Penghasilan yang diterima penyedia jasa konstruksi.
d.
Pengecualian : Untuk kontraktor besar (dengan nilai pengadaan lebih
dari Rp.1.000.000.000,00) tidak terkena PPh bersifat final melainkan PPh Pasal 23. e.
Tarif PPh Terutang :
2% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
yang memilki kualifikasi usaha kecil : PPh Final = 2% x Jumlah Jasa
4% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
yang tidak memiliki kualifikasi usaha : PPh (final) = 4% x jumlah usaha
3% untuk pelaksanaan konstruksi yang dilakukan oleh penyedia jasa
sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2. PPh (final) = 3% x jumlah jasa
4% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang memiliki kuaifikasi usaha. PPh (final) = 4% x jumlah jasa
6% untuk perencanaan konstruksi atau pengawasan konstruksi yang
dilakukan oleh penyedia jasa yang tidak memiliki kualifikasi usaha. PPh (final) = 6% x jumlah jasa
Pajak penghasilan atas jasa konstruksi : ∼
Dipotong oleh pengguna jasa pada saat pembayaran, dalam hal pengguna jasa merupakan pemotong pajak.
∼
Disetor sendiri oleh penyedia jasa, dalam hal pengguna jasa bukan merupakan pemotong pajak.
6.
PPh atas Penghasilan tertentu berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara
(SPN) a.
Subjek Pajak : Wajib pajak yang menerima penghasilan berupa diskonto
SPN b.
Pemotong Pajak : - Penerbit SPN (emiten) atau custodian yang ditunjuk
selaku agen pembayar, atas diskonto SPN yang diterima pemegang SPN saat jatuh tempo
c.
Objek PPh : Diskonto SPN.
d.
Tarif PPh :
20% bagi wajib pajak dalam negeri dan BUT
20% atau tarif sesuai Tax Treaty (P3B) yang berlaku bagi wajib pajak
penduduk/berkedudukan di luar negeri. e.
Pengecualian : −
Tidak dikenakan terhadap diskonto SPN yang diterima atau diperoleh
wajib pajak : Bank yang didirikan di Indonesia atau cabang bank luar negeri di Indonesia −
Dana pensiun yang pendirian/pembentukannya telah disyahkan oleh
menteri keuangan −
Reksadana yang terdaftar pada BAPEPAM-LK selama 5 (lima) tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha.
7. Bunga Simpanan Koperasi a.
Subjek Pajak : Anggota koperasi penerima bunga simpanan koperasi
b.
Pemotong Pajak : Koperasi
c.
Objek PPh : Bunga simpanan koperasi di atas Rp. 240.000,-
d.
Tarif PPh : 10% dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan bunga
simpanan lebih dari Rp. 240.000,-
8. PPh atas Hadiah Undian Pengenaan pajak penghasilan berupa hadiah undian diatur dalam peraturan pemerintah no. 132 tahun 2000. Menurut ketentuan peraturan tersebut penghasilan berupa undian dengan nama dan dalam bentuk apapun dipotong atau dipungut pajak penghasilan yang bersifat final. Besarnya pajak penghasilan yang wajib dipotong atau dipungut adalah sebesar 25% dari jumlah bruto undian. Berikut adalah ketentuannya : a.
Subjek Pajak : Penerima Undian.
b.
Pemotong Pajak : Penyelenggara Undian.
c.
Objek PPh : Hadiah Undian (diundi didepan notaris).
d.
Tarif PPh Terutang : 25% dari jumlah bruto hadiah undian atau nilai
pasar apabila
hadiah tersebut diserahkan dalam bentuk natura. PPh (final) = 25% x Bruto Contoh : PT. CINTA dalam rangka mempromosikan produk barunya menyelenggarakan undian dengan hadiah berupa uang tunai senilai Rp 100.000.000,00. PPh Pasal 4 ayat 2 yang dipotong oleh PT.CINTA adalah : 25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00
2.2 PPH BADAN Badan yaitu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penghasilan Badan dalam negeri dan penghasilan Badan luar negeri (BUT maupun tidak). Pada prinsipnya Objek PPh adalah penghasilan itu sendiri yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur: dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan. Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT yaitu : 1. Penghasilan dan usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai 2. Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa Di Indonesia yang sejenisnya dengan yang dilakukan atau dijalankon oleh BUT di Indonesia 3. Penghasilan dari penjualan harta di Indonesia dan premi asuransi (posal 26 ayat
(2)), yang diterima atau diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
Tidak semua penghasilan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak adalah Objek PPh. Pasal 4 ayat (3) UU No. 17 Tahun 2000 mengatur penghasilan yang tidak menjadi objek pajak, antara lain: 1. Bantuan, sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para\penerima zakat yang berhak. 2. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai Wajib Pajak Dalam Negeri, koperasi, BUMN, atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: a.
deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan
b.
bagi PT, BUMN, dan BUMD yang menerima deviden, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah yang disetor dan harus mempunyai usaha efektif di luar kepemilikan saham tersebut. 3. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha. a.
keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; b.
Selanjutnya PP yang dimaksud adalah PP No. 130 Tahun 2000 tanggal
15 Desember 2000 yang mengatur bahwa yang dapat dibebaskan dari PPh adalah utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350 juta, termasuk:
•
•
Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera
•
KUT( Kredit Usaha Tani)
•
KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana)
•
KUK( Kredit Usaha Kecil)
Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah kumulatif dari satu atau beberapa bank/ kreditur).
Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang ditetapkan INDRA, IBRA, dan Prakarsa Jakarta diatur dalam KEP 28/PJ/1999, SE-
05/PJ.42/1999, SE 2.2/PJ-42/2000 yang menetapkan bahwaWajib Pajak tersebut dapar memilih pengakuan penghasilan : o
sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang
o
dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar (20 %
per tahun) o
Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah disediakan,
selambatlambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus.
A.
Laba komersial vs laba kena pajak
Laba komersial (accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis baik untuk kepentingan pasar modal (bursa efek), perbankan, Rapat Umum Pemegang Saham, dan kepentingan lainnya. Laba komersial ini dihitung berdasarkan standar akuntansil yang berlaku. Sejak tahun 1995 standar akuntansi yang berlaku di Indonesia adalah Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Penghitungan laba komersial bertumpu pada prinsip matching cost against revenue (persandingan antara pendapatan dengan biaya-biaya yang terkait). Dalam salah satu prinsip tersebut terdapat konsep bahwa pengeluaran perusahaan yang tidak mempunyai manfaat untuk masa yang akan datang, bukanlah merupakan aset sehingga harus dibebankan sebagai biaya. Dengan demikian dalam akuntansi seluruh pengeluaran/beban perusahaan sepanjang memang harus dikeluarkan oleh perusahaan diakui sebagai biaya/beban. Laba Kena Pajak/Penghasilan Kena Pajak (Taxable Income] merupakan laba yang dihitung berdasarkan peraturan perpajakan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah UU No. 7/1983 yang diubah dengan UU No. 10/1994 dan diubah terakhir dengan UU No. 17/2000 mengenai Pajak Penghasilan, beserta peraturan pelaksanaannya. Penghitungan laba kena pajak dalam kaitannya dengan karyawan didasarkan atas prinsip umum taxability deductibility. Dengan prinsip ini, biaya-biaya baru dapat dikurangkan dari penghasilan bruto apabila pihak/orang yang menerima pengeluaran uang atas biaya perusahaan tersebut melaporkannya sebagai penghasilan dan penghasilan tersebut dikenakan pajak (taxable). Dengan demikian akan selalu ada pihak dapat dikenakan pajak sebagaimana dijelaskan di atas.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa laba komersial yang lazim digunakan dalam dunia bisnis berbeda dengan laba kena pajak. Banyak sekali biaya-biaya yang diakui oleh akuntansi tetapi tidak diakui oleh perpajakan, seperti: sumbangan, pemberian natura kepada karyawan, biaya representasi tertentu, biaya kelancaran dan sebagainya. Agar dapat melakukan penghitungan PhKP dengan benar dan tepat, Wajib Pajak perlu memahami: 1. Penghasilan yang menjadi obyek (taxable) dan bukan obyek pajak (non
taxable). 2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan secara final. 3. Biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (deductible expenses). 4. Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto (non deductible
exepneses).
1. Penghasilan yang menjadi obyek dan bukan obyek pajak
Penghasilan yang menjadi obyek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat 1 UU No. 17/2000 yang pada prinsipnya merupakan setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk konsumsi atau menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk: a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini; b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. laba usaha; d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk: 1)
keuntungan
karena
pengalihan
harta
kepada
perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal; 2)
keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan
lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota; 3)
keuntungan
karena
likuidasi,
penggabungan,
pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
peleburan,
4)
keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau
sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak pihak yang bersangkutan; e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai
biaya; f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan
pengembalian utang; g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; h. royalti; i.
sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala; k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah
tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah; l.
keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva; n. premi asuransi; o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang
terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum
dikenakan pajak.
Penghasilan yang bukan obyek pajak (diatur dalam Pasal 4 ayat 3): a.
(1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak; (2) harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan
sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang
tidak
ada
hubungan
dengan
usaha,
pekerjaan,
kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b.
warisan;
c.
harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d.
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah; e.
pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan
dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa; f.
dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas
sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, BUMN/P, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat: 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan 2) bagi perseroan terbatas, BUMN/D yang menerima dividen, kepemilikan
saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut; g.
iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai; h.
penghasilan
dari
modal
yang
ditanamkan
oleh
dana
pensiun
sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan (KMK); i.
bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi; bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
j.
penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura
berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut: 1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan
kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan KMK; dan 2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
2. Penghasilan yang pajaknya dikenakan PPh bersifat final
(lihat penjelasan mengenai PPh Final Pasal 4 ayat 2 dan PPh Pasal 15) 3. Biaya-biaya yang boleh dikurangkan (Deductible Expenses)
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto, diatur pada Pasal 6 UU No. 17/2000 antara lain sebagai berikut: a.
biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan,
termasuk biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi, biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan; b.
penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan
amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun; c.
iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh
Menkeu; d.
kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan
digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan; e.
kerugian dari selisih kurs mata uang asing;
f.
biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di
Indonesia; g.
biaya bea siswa, magang, dan pelatihan;
h.
piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih, dengan syarat : 1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau
BUPLN
atau
adanya
perjanjian
tertulis
mengenai
penghapusan
piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; 3) telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; dan 4) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada, Direktorat Jenderal Pajak, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Apabila penghasilan bruto setelah dikurangi biaya fiskal didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun. 4. Biaya yang tidak boleh dikurangkan (Non Deductible Expenses)
Biaya yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto diatur dalam Pasal 9 UU No.17/2000 sebagai berikut: a.
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi; b.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham, sekutu, atau anggota; c.
pembentukan atau pemupukan dana cadangan kecuali cadangan piutang
tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan KMK; d.
premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi
dwiguna, dan asuransi bea siswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan; e.
penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang
diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan KMK; f.
jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang
saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan;
g.
harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah; h.
Pajak Penghasilan;
i.
biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya; j.
gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham; k.
sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan l.
Pengeluaran yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun tidak
boleh dibebankan sekaligus melainkan dibebankan melalui penyusutan dan amortisasi; m.
Biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bukan merupakan Objek Pajak; n.
Biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
pengenaan pajaknya bersifat final; o.
Pajak Penghasilan yang ditanggung oleh pemberi penghasilan, kecuali
PPh Pasal 26 ayat (1) UU PPh tetapi tidak termasuk dividen sepanjang Pajak Penghasilan tersebut ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak;
B. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak 1. Perhitungan penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak Badan
Penghasilan
kena pajak
dari wajib
pajak
badan
dihitung hanya
menggunakan pembukuan, yaitu dengan memperhitungan penghasilan neto dengan koreksi fiskal. Koreksi fiskal adalah koreksi yang terjadi karena adanya perbedaan
antara perhitungan, pengakuan, metode akuntansi, dasar penggunaan, dalam perhitungan pada pembukuan secara komersial dengan secara fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial/pembukuan dengan laba/rugi menurut SPT Tahunan. Perbedaan pada koreksi fiskal dapat dibedakan menjadi seperti berikut : a.
Koreksi karena perbedaan waktu
Koreksi beda waktu timbul karena perbedaan metode perhitungan pendapatan dan/atau biaya antara komersial dengan fiskal. Dengan demikian total biaya atau pendapatan menurut komersial dan fiskal adalah saran besar, yang berbeda adalah lamanya waktu pengalokasian pendapatan dan atau biaya tersebut. Contoh koreksi beda waktu : •
Biaya penyusutan dan amortisasi, kecuali untuk aktiva yang termasuk
kriteria pemberian natura, hibah, sumbangan atau kenikmatan •
b.
Penilaian persediaan Koreksi karena perbedaan tetap
Koreksi beda tetap timbul karena adanya perbedaan pengakuan pendapatan antara komersial dan fiscal serta adanya perbedaan pengakuan besarnya waktu secara akuntansi komersial dibanding dengan secara fiskal, misalnya dalam ketentuan masa manfaat dari aktiva yang akan dilakukan penyusutan atau amortisasi. Beda tetap terjadi apabila terdapat transaksi yang diakui oleh wajib pajak sebagai penghasilan atau sebagai biaya dalam akuntansi secara komersial yang diatur dalam SAK, namun demikian berdasarkan ketentuan peraturan perpajakan, atas transaksi tersebut bukan merupakan penghasilan atau bukan merupakan biaya, atau sebagian merupakan penghasilan atau sebagian merupakan biaya. Koreksi beda tetap terdiri dari: a. Beda tetap atas penghasilan yang bukan obyek PPh
Seperti bantuan, sumbangan, harta hibahan yang diterima sepanjang tidak ada hubungan usaha dengan pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan dan dari pemerintah. b. Beda tetap murni yaitu: ∗
Biaya
yang dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih,
memeliha penghasilan yang bukan obyek pajak.
∗
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan/jasa
yang diberikan dalam bentuk natura/kenikmatan. ∗
Sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan. PPh
Pasal 23/26 yang ditanggung oleh perusahaan. c. Beda tetap yang disebabkan tidak dipenuhinya syarat-syarat khusus
yaitu: ∼
Berhubungan dengan kegiatan langsung perusahaan.
∼
Adanya bukti pendukung yang kuat.
∼
Karena lokasi.
Penggunaan praktek -praktek akuntansi yang tidak sehat.
c.
Koreksi karena pengenaan pajak final
Koreksi ini terdiri dari : •
Pendapatan yang telah dipotong pajak final oleh pihak yang
membayarkan penghasilan seperti pendapatan bunga deposito, pendapatan jasa giro, penghasilan sewa tanah dan atau bangunan, pendapatan karena pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan •
bagi orang pribadi dan yayasan (khusus untuk Wajib Pajak badan (selain
yayasan) tidak bersifat final). •
Biaya untuk mendapatkan, memelihara, menagih penghasilan yang telah
dikenakan PPh final seperti biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari sewa tanah dan atau bangunan, biaya yang berhubungan dengan penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan.
Apabila dilihat akibat dari terjadinya koreksi fiskal, maka koreksi fiskal juga dapat dibedakan menjadi : •
Koreksi Positif Koreksi positif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya
pengurangan biaya yang diakui dalam laporan laba rugi komersial menjadi semakin kecil, atau yang berakibat adanya penambahan penghasilan. Beberapa transaksi yang dapat mengakibatkan adanya koreksi fiskal positif antara lain transaksi yang berkaitan dengan kegiatan berikut :
-
Biaya yang tidak berkaitan langsung dengan kegiatan usaha perusahaan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara pendapatan. -
Biaya yang tidak diperkenankan sebagai pengurang penghasilan kena
pajak. -
Biaya yang diakui lebih kecil.
-
Biaya yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek
pajak. -
Biaya yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan pph final. Koreksi Negatif
•
Koreksi negatif adalah koreksi fiskal yang mengakibatkan adanya penambahan biaya yang telah diakui dalam laporam laba rugi komersial yang semakin besar, atau yang mengakibatkan adanya pengurangan penghasilan. Beberapa transaksi yang dapat mengakibatkan adanya koreksi fiskal negatif antara lain mengenai : a. Biaya yang diakui lebih besar. b. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang bukan merupakan objek pajak. c. Penghasilan yang didapat dari penghasilan yang sudah dikenakan pph final.
Bentuk kertas kerja rekonsiliasi fiskal
Sampai saat ini belum ada bentuk baku kertas kerja rekonsiliasi fiskal. Di bawah ini disajikan bentuk kertas kerja yang sering digunakan dalam bentuk sehari-hari: PT FORMASI Rekonsiliasi komersial – fiskal
Laba komersial sebelum pajak Ditambah koreksi positif:
XX
Sumbangan
X
Iklan dan promosi
XX
Kenikmatan
X
Biaya dalam bentuk natura
XX
Biaya pemeliharaan gedung yang disewakan
X
Biaya penyusutan
XX
Biaya penyisihan kerugian piutang
X
Dikurangi koreksi negatif:
XX
Biaya penyusutan
X
Pendapatan sewa gedung
XX
Pendapatan dividen
X
Pendapatan bunga deposito
XX
Pendapatan jasa giro
X
Laba/rugi fiskal sebelum pajak
XX
Bentuk lain dari Rekonsiliasi Fiskal : Uraian
I/R
Beda
Beda
Obyek
L/K
tetap
waktu
PPh final
Pendapatan usaha
Komersial (1000)
fiskal (1000)
Pendapatan bukan obyek PPh
(150)
(150)
50
50
Biaya berkaitan dengan
penghasilan bukan obyek PPh
(350)
(350)
pendapatan obyek PPh final Gross profit on sales Personel expenses
350
350
1. Gaji
20
20
2. Bonus
30
30
3. Biaya pengobatan
10
4. Tunjangan transportasi
10
10
5. Asuransi kesehatan, kecelakaan kerja
10
10
6. Konsumsi rutin
10
10
7. Seragam
10
10
8. Kesejahteraan lainnya
10
9. Premi asuransi (JHT/THT)
10
Total personal expenses Building expenses
120
10. Pajak bumi & bangunan
10
Pendapatan obyek PPh final
Biaya berkaitan dengan (1100)
(100)
-
(1000)
10
10 10 20
100 10
11. Perbaikan & pemeliharaan
10
10
12. Asuransi bangunan Building expenses total Motor car expenses
10 30
10 30
13. Kendaraan operasioanal
10
10
14. Kendaraan non operasional Motor cars expenses total Selling expenses
10 20
15. Marketing/iklan
50
50
16. Penelitian & pengembangan Produk
50
50
17. Sewa gedung Selling expenses total General administration expenses
70 170
70 170
18. Stationeries/Office supllies
20
20
19. Lawyer, Accountant & Consultant
10
10
20. Represaentasi & entertainment
10
10
21. Asuransi peralatan kantor
10
10
22. Listrik dan telephone General adm expenses total Depreciation & amotization 23. Total penyusutan dan amortisasi Profit on sales Other income
10 70
.
10 60
-
10 (125)
20 70
5 5
-
-
-
10
-
35
10 10
-
24. Bunga giro
(10)
25. Deviden, kepemi'ikan > 25 %
(10)
26. Bunga deposito
(10)
(10)
27. Sewa ruangan gedung
(10)
(10)
28. Sewa peralatan kantor
(20)
29. Laba selisih kurs Other income total Non operating expense 30. B.aya bunga
(20) (80)
31. Rug: sslisih kurs Non operating exoenses total Special income and Losses
30 60
32. Rugi ( laba ) Penjualan aktiva tetap Special income and losses total Net profit before tax
(10) (10) (100)
5 15
(10) (10)
(20) (20)
(110)
.
(30)
(40)
-
.
60
25
. (30)
(10) (115)
30
10
Corporate income tax
10% x 50 = 5 15% x 50 = 7.5 30% x 15 = 4.5 17
Corporate income tax previous year PPh pasal 22
2
PPh Pasal 23
2
PPh Pasal 25 .
2. 6 .11
Keterangan: 3 Sepanjang dibayarakan langsung ke rumah sakit 7 Sepanjang karena diharuskan dalam pekerjaan/kemanan dan keselamatan bekerja 8 Kecuali jika disajikan untuk seluruh pegawai dan dilakukan secara bersama - sama 20 Sepanjang berhubungan dengan usaha dan didukung oleh daftar bukti nominatif 23 hanya bagi aktiva yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha.
Biaya Fiskal
Prinsip biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah : Biaya-biaya sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1) UU PPh: 1. biaya tersebut dikeluarkan untuk 3M. ( mendapatkan, menagih, dan memelihara )
penghasilan yang bukan Objek Pajak. 2. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
yang bersifat final 3. biaya yang biasa diterapkan di luar praktek akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar) 4. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak meniggunakan
bukti, daftar nominatif, dan tanpa dokumen) 5. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria:
a. Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat kecuali
dapat dibuktikan bahwa atas Pajak Masukan. tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP. b. Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal
9 ayat (1) UU PPh 6. Biaya untuk 3M penghasilan yang dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan
Penghasilan Netto dan Norma Penghitungan Khusus 7. Kerugian dari harta atau utang yang dimiliki dan tidak dipergunakan untuk 3M Objek
Pajak. 8. PPh ditanggung pemberi kerja, tidak termasuk deviden sepanjang PPh tersebut
ditambahkan dalam penghitungan dasar untuk pemotongan pajak.
Terdapat beberapa point penting/perubahan yang diatur dalam UU PPh yang baru, khususnya yang berkaitan dengan biaya yang dapat dikurangkan untuk menghitung Penghasilan Kena Pajak, seperti : a. Pemasukan kriteria piutang yang tidak dapat ditagih yang diberlakukan sebagai biaya,
(pasal 6 ayat (1) huruf h UU No. 17 Tahun 2000 ) yaitu: 1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan R/L komersial. 2) telah diserahkan perkara penagihannya kepada pengadilan negeri atau BUPLN
atau adanya perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antar debitur dan kreditur yang bersangkutan. 3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus 4) Wajib Pajak .harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
DJP, yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan Kep Dirjen. b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali cadangan piutang tak tertagih
untuk usaha. Bank dan SGU dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Contoh perhitungan penghasilan kena pajak wajib badan
Contoh1 : PT. Baruna Taqwa Idaman memperoleh penghasilan pada tahun2009 sebagai berikut : Penjualan
Rp 8.000.000.000,00
HPP
Rp 4.800.000.000,00
Laba Kotor
Rp 3.200.000.000,00
Biaya Usaha : Gaji,tunjangan,THR Biaya Administrasi kantor
Rp 1.280.000.000,00 Rp
100.000.000,00
Biaya telepon,listrik,air
Rp
50.000.000,00
Perawatan mesin
Rp
30.000.000,00
Penyusutan
Rp
250.000.000,00
Sewa bangunan
Rp
30.000.000,00
Sewa kendaraan
Rp
150.000.000,00
Zakat
Rp
10.000.000,00
Setoran modal PT.Dewa-dewi
Rp
500.000.000,00
Hibah ke Masjid Alfalah
Rp
100.000.000,00
Penelitian
Rp
100.000.000,00
Sumbangan sosial
Rp
100.000.000,00
Promosi
Rp
50.000.000,00
Jumlah biaya
Rp 2.700.000.000,00
Laba Bersih Usaha
Rp
500.000.000,00
Penghasilan lain-lain : Laba penjualan harta
Rp
45.000.000,00
Laba hibah
Rp
100.000.000,00
Laba selisih kurs
Rp
100.000.000,00
Pajak diterima kembali
Rp
10.000.000,00
Laba pertukaran harta
Rp
20.000.000,00
Sewa mesin
Rp
260.000.000,00
Diskonto obligasi
Rp
10.000.000,00
Bunga obligasi
Rp
100.000.000,00
Jumlah penghasilan lain
Rp
645.000.000,00
BUT di Singapura
Rp
800.000.000,00
Dividen Arcorito
Rp
200.000.000,00
Dividen Yasindo
Rp
75.000.000,00
Bunga Zaricho
Rp
100.000.000,00
Penghasilan luar negeri :
Rp 1.175.000.000,00
Total Laba Bersih
Rp 2.320.000.000,00
Contoh2 : PT. Baruna Taqwa Idaman, sesuai contoh1, mempunyai penghasilan neto sebesar Rp 2.320.000.000,00. Terdapat beberapa penjelasan berkaitan dengan penghasilan dan biaya yang diakui, yaitu sebagai berikut : Diskonto dan bunga obligasi sudah terkena PPh final dan penghasilan dari luar negeri sudah dipotong tax income masing-masing 15%, 20%, 25%, dan 30%. Besarnya penghasilan kena pajak dihitung seperti berikut ini : Penghasilan neto
Rp 2.320.000.000,00
Koreksi positif : Setoran modal PT.Dewa-dewi
Rp 500.000.000,00
Hibah ke Masjid Alfalah
Rp 100.000.000,00
Sumbangan sosial
Rp
50.000.000,00
Jumlah koresi positif
Rp 650.000.000,00
Koreksi negatif : Diskonto Obligasi
Rp
10.000.000,00
Bunga Obligasi
Rp 100.000.000,00
Jumlah koreksi negatif
Rp
110.000.000,00
Penghasilan kena Pajak
Rp 2.860.000.000,00
2. Penghasilan Kena Pajak pada Bentuk Usaha Tetap
Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. BUT dapat berupa : 1. Tempat kedudukan manajemen 2. Cabang perusahaan 3. Kantor perwakilan 4. Gedung kantor 5. Pabrik 6. Bengkel
7. Gudang 8. Ruang untuk promosi dan penjualan 9. Pertambangan dan penggalian sumber alam 10. Wilayah kerja pertmanbangan minyak dan gas bumi 11. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan 12. Proyek konstruks, instalasi, atau proyek perakitan 13. Pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan 14. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas 15. Agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung resiko di Indonesia, dan 16. Computer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
Bentuk Usaha Tetap (BUT) dikenakan pajak atas penghasilan baik yang berasal dari usaha atau kegiatan, maupun yang berasal dari harta yang dimiliki atau dikuasainnya. Dengan demikian semua penghasilan tersebut dikenakan pajak penghasilan di Indonesia. Penghasilan kena pajak bagi wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan dari penghasilan dengan biaya – biaya. Penghasilan pada BUT, antara lain dapat berasal dari : •
Usaha atau kegiatan dan dari harta yang dimiliki atau dikuasai.
Contoh, Communitel Ltd. yang bergerak dalam usaha penjualan satelit komunikasi mempunyai cabang di Jakarta dengan nama Communitel Indonesia. Apabila Communitel Indonesia memperoleh laba melalui usaha penjualan satelit komunikasi, maka atas laba penjualan tersebut dikenakan pajak penghasilan sebagai pajak atas penghasilan wajib pajak BUT. •
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang dilakukan oleh bentuk usaha tetap di Indonesia. Contoh, NewYork Bank mempunyai cabang di Jakarta (NewYork Bank-Indonesia). Apabila NewYork Bank memperoleh penghasilan berupa bunga atas pinjaman yang
diberikan tanpa melalui NewYork Bank-Indonesia, maka penghasilan bunga tersebut tetap dianggap sebagai penghasilan BUT (NewYork Bank-Indonesia). Penghasilan sebagaimana tersebut dalam pasal 26 yang diterima atau diperoleh
•
kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara bentuk usaha tetap dengan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan dimaksud. Contoh, Foodz Inc. membuat perjanjian dengan PT.Lezzat untuk menggunakan merek dagang Foodz Inc. Atas penggunaan hak tersebut Foodz Inc. menerima imbalan berupa royalty dari PT.Lezzat. Dalam rangka pemasaran produk, Foodz Inc. juga memberikan jasa manajemen kepada PT.Lezzat melalui Foodz-Indonesia (BUTnya di Indonesia). Dalam hal demikian, pengguanaan merek dagang oleh PT.Lezzat mempunyai hubungan efektif dengan BUT di Indonesia. Oleh karena itu, penghasilan Foodz Inc. yang berupa royalty diperlukan sebagai penghasilan BUT (Foodz-Indonesia). Biaya yang diperkenankan sebagai pengurang penghasilan pada BUT antara lain biaya-biaya seperti berikut : •
Biaya-biaya berkenaan dengan penghasilan kantor pusat yang diakuinya
•
Biaya administrasi kantor pusat yang berkaitan dengan usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap.
•
Biaya-biaya dan kerugian seperti yang diakui wajib pajak pada wajib pajak dalam negeri.
Contoh : Frenlin sebagai BUT yang kantor pusatnya ada di Singapura mempunyai kegiatan usaha penjualan alat-alat berat. Pada tahun 2006 peredaran usahanya sebesar Rp 1.000.000.000,00 dengan biaya usaha sebesar Rp 700.000.000,00, penghasilan bunga bank yang sudah dikenakan PPh final sebesar Rp 10.000.000,00. Penjualan langsung barang yang sejenis dari Frenlin International pusat sebesar Rp 500.000.000,00 dengan biaya usaha sebesar Rp 350.000.000,00 dividen dari kantor pusat yang punya hubungan efektif sebesar Rp 5.000.000,00 dan biaya administrasi ke kantor pusat sebesar Rp 10.000.000,00. Perhitungan penghasilan kena pajak : Peredaran bruto
Rp 1.000.000.000,00
Biaya yang diperkenankan
Rp
700.000.000,00
Laba usaha
Rp
300.000.000,00
Penghasilan bunga
Rp
0,00
Penjualan langsung barang oleh kantor
Rp
500.000.000,00
Biaya penjualan kantor pusat
Rp
350.000.000,00
Laba penjualan kantor pusat
Rp
150.000.000,00
Dividen yang diperoleh dari kantor pusat
Rp
5.000.000,00
Rp 460.000.000,00 Biaya administrasi kantor pusat
Rp
10.000.000,00
Penghasilan Kena Pajak
Rp 445.000.000,00
3. Penghasilan Kena Pajak Orang Pribadi
Penghasilan kena pajak orang pribadi, baik yang diperoleh dari pekerjaan bebas atau dari satu dari pemberi kerja, dihitung dari penghasilan neto dalam negeri maupun luar negeri, yang diperoleh dirinya maupun keluarganya serta dari kegiatan usaha usaha utamanya maupun usaha lainnya dikurangi dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Contoh 7.4.2 Bambang mempunyai usaha dagang eceran dan pada tahun 2006 mempunyai laba neto sebesar Rp 57.504.000, dan Pph pasal 25 setahun adalah Rp 1.819.200. Tanggungan keluarga pasangan tersebut adalah 3 orang anak kandung. Perhitungan Pph pasal 21-nya adalah sebagai berikut : Penghasilan neto Bambang
Rp 57.504.000
PTKP untuk dirinya :
Rp 15.840.000
Status kawin
Rp 1.320.000
Tanggungan
Rp 3.960.000 Rp 21.120.000
Penghasilan kena pajak
Penghasilan istri dari satu pemberi kerja
Rp 36.384.000
Karyawati kawin yang bekerja pada satu pemberi kerja yang sudah dipotong pajak, dan yang berhubungan dengan pekerjaan bebas suami atau keluarganya, maka penghasilan netonya digabungkan dengan penghasilan suami. Besarnya PTKP untuk menghitung besarnya Pph pasal 21 atas penghasilan suami dan istri tersebut adalah untuk suami ditambah dengan status kawin,dan tanggungannya,serta ditambah status istri yang bekerja. Contoh 7.5: Esti Winarsih bekerja pada PT.Bontang Transporindo dengan gaji Rp 2.000.000 dengan membayar iuran pension sebesar Rp 50.000 per bulan pada dana pension yang diakui oleh menteri keuangan. Rizki, suami Esti, adalah pemilik PT.Bontang Transporindo dimana Esti bekerja. Pada tahun 2006, PT.Bontang Transporindo mempunyai laba neto sebesar Rp 57.504.000 dan Pph pasal 25 setahun adalah Rp 1.369.200. tanggungan keluarga pasangan tersebut adalah 3 orang anak kandung. Perhitungan pasal 21-nya adalah sebagai berikut: Pph pasal 21 Esti Penghasilan kotor sebulan
Rp 2.000.000
Pengurang : Biaya jabatan 5% x Rp 2.000.000
Rp
100.000
Iuran pensiun
Rp
50.000
Rp
150.000
Penghasilan neto sebulan
Rp 1.850.000
Penghasilan neto setahun 12x Rp 1.850.000
Rp 22.200.000
PTKP untuk dirinya
Rp 15.840.000
Penghasilan kena pajak
Rp 6.360.000
Pph terutang setahun (dipotong) 5%x Rp 6.360.000
Rp
318.000
Pph pasal 21 Rizki dan Esti Penghasilan neto Rizki
Rp 57.504.000
Penghasilan neto Esti
Rp 22.200.000
Penghasilan neto suami istri setahun
Rp 79.704.000
PTKP untuk dirinya
Rp 15.840.000
Status kawin
Rp 1.320.000
Tanggungan
Rp 3.960.000
Istri kerja
Rp 15.840.000 Rp 36.960.000
Penghasilan kena pajak
Rp 42.744.000
Pph terutang setahun (dipotong) 5%x Rp 42.744.000 = Rp 2.137.200
Pph dikreditkan: Esti
Rp
318.000
Rizki
Rp 1.369.200 Rp 1.687.200
Pph kurang dibayar
Penghasilan Tidak Kena Pajak
Rp
450.000
Penghasilan tidak kena pajak (PTKP) adalah batasan penghasilan bagi wajib pajak orang pribadi yang menentukan perlu tidaknya atas penghasilan wajib pajak perseorangan dikenakan pajak penghasilan. Besarnya PTKP selalu diadakan pembaharuan, sesuai dengan perkembangan ekonomi, terutama berkaitan dengan besarnya penghasilan dan besarnya biaya minimum dari wajib pajak. Menteri keuangan sejak awal 2006 telah mengubah besarnya PTKP menjadi sebagai berikut : Tabel PTKP
No
Status
PTKP
No
Status
PTKP
1
TK/0
15.840.000
7
K/2
19.800.000
2
TK/1
17.160.000
8
K/3
21.120.000
3
TK/2
18.480.000
9
K/I/0
33.000.000
4
TK/3
19.800.000
10
K/I/1
34.320.000
5
K/0
17.160.000
11
K/I/2
35.640.000
6
K/1
18.480.000
12
K/I/3
36.960.000
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Dari makalah yang kami buat mengenai pph pasal 4 ayat 2 dan pph badan dapat kami simpulkan bahwa PPh Final adalah pajak penghasilan yang bersifat final, yaitu setelah pelunasannya, kewajiban pajak telah selesai dan penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan final tidak digabungkan dengan jenis penghasilan lain yang terkena pajak penghasilan yang bersifat tidak final. Pengenaan pajak atas penghasilan tertentu tidak didasarkan atas ketentuan umum penghitungan penghasilan kena pajak maupun penerapan norma penghitungan, melainkan berdasarkan penerapan tarif efektif atas peredaran atau penghasilan bruto atau dasar pengenaan pajak lainnya ( presumptive tax ) yang diatur tersendiri dengan Peraturan Pemerintah. Jenis penghasilan yang dikenakan pph final: 1. PPh atas Bunga Deposito, Tabungan, dan Diskonto Sertifikat Bank Indonesia (SBI). 2. PPh atas Bunga dan Diskonto Obligasi yang diperdagangkan di Bursa Efek 3. PPh atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan 4. PPh atas Penghasilan dari Persewaan Tanah dan atau Bangunan 5.
PPh atas Penghasilan dari Usaha Jasa Konstruksi
6. PPh atas Penghasilan tertentu berupa Diskonto Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 7. Bunga Simpanan Koperasi 8.
PPh atas Hadiah Undian
Pph badan yaitu sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu penghasilan Badan dalam negeri dan penghasilan Badan luar negeri (BUT maupun tidak). Laba komersial (accounting income) merupakan pengukuran laba yang lazim digunakan dalam dunia bisnis