Borang Portofolio No.ID dan Nama Peserta: Atina Yustisia Lestari No. ID dan Nama Wahana: Rumah Sakit Umum Daerah Sampang Topik: Bell’s Palsy (Kasus Medik) Tanggal (kasus): Nama Pasien: Tn. A / 58 tahun No. RM: 112653 Tanggal Presentasi: Pendamping: dr. Yuliono, M.Kes Tempat Presentasi: Obyektif Presentasi: Keilmuan Ketrampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil Deskripsi: TN. M, 54 tahun, datang ke Poli Saraf RSUD Sampang pada tanggal 7 Agustus 2014 dengan keluhan wajah sebelah kiri mecong, dan mata kiri tidak bias ditutup. Tujuan: Mendiagnosis Bell’s Palsy dan mengetahui penatalaksanaannya Bahan Bahasan: Tinjauan Riset Kasus Audit Cara membahas:
Pustaka Diskusi
Presentasi
E-mail
Pos
dan diskusi Nama: Tn. A / 54 tahun
Data pasien No. Registrasi: 112653 Nama Klinik: Telp: Terdaftar Sejak: Data utama untuk bahan diskusi: 1. Diagnosis/Gambaran Klinis: Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Sampang pada tanggal 7 Agustus 2014 dengan keluhan wajah sebelah kiri mecong, dan mata kiri tidak bias ditutup. Keluhan ini dirasakan saat bangun tidur pagi hari. Onset kejadian mendadak, malam hari sebelumnya belum ada keluhan ini. Nyeri pada wajah dan telinga (-). Pendenganran menurun (-), gangguan pengecap (-), mata kiri perih (+) karena tidak bias ditutup. Kesulitan berbicara/ pelo (-), kelemahan ekstrimitas (-) ……….. 2. Riwayat Pengobatan: Tidak didapatkan riwayat pengobatan sebelumnya untuk keluhan saat ini 3. Riwayat kesehatan/penyakit: Riwayat sakit seperti ini sebelumnya (-), riwaya HT (+) terkontrol dengan obat, ….. 4. Riwayat keluarga: Tidak ada keluarga pasien yang sakit seperti ini 5. Riwayat pekerjaan: Pasien bekerja sebagai nelayan 6. Kondisi lingkungan sosial dan fisik: Pasien tinggal bersama keluarganya. Pekerjaan nelayan membuat pasien sering berlayar malam hari dan pulang pagi hari 7. Lain-lain: Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum: cukup GCS: 4-5-6 Vital sign Tekanan Darah : 130/80 mmHg Nadi : 96x/menit, teratur, kuat angkat Suhu : tidak dilakukan pemeriksaan Respiratory rate : 18x/menit Status Generalis Kepala : anemia (-), ikterus (-), sianosis (-), dispnea (-), pupil bulat isokor Leher Thorax Abdomen Ekstremitas
3mm/3mm, RC +/+ : PKGB (-), JVP (-) : Bentuk dada simetris (+), gerak pernapasan simetris (+) Cor : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-) Pulmo : vesikuler/vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-) : supel, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba : akral hangat, kering, dan merah, edema ekstremitas atas dan bawah
(-/-) Status Neurologis: •
GCS
: 4-5-6
•
Kaku kuduk
:–
•
Pemeriksaan Nervus Cranialis
: Parese N. VII Perifer (kelemahan wajah tanpa
kelemahan mengernyitkan kening bagian kiri, Lagoftalmus (+) •
Sistem motorik
:
tonus
: normal/menurun
involuntary movement
: tidak didapatkan
kekuatan otot
: 5/5
•
Sistem sensorik
: dalam batas normal
•
Refleks
:
Patologis •
: Babinski - /- Chaddock -/-
Fisiologis : BPR +2/+2 KPR +2/+2 Pemeriksaan Saraf Tambahan Reflek Stapeididus : -/+ Uji Lakrimasi : tidak dilakukan (keterbatasan alat) Uji Pengecapan : tidak dilakukan (keterbatasan alat)
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio Atina Yustisia Lestari, dr Dokter Internship Kabupaten Sampang Wahana RSUD Sampang Periode 2014-2015 1. Subyektif: Diagnosis/Gambaran Klinis: Pasien datang ke Poli Saraf RSUD Sampang pada tanggal 7 Agustus 2014 dengan keluhan wajah sebelah kiri mecong, dan mata kiri tidak bias ditutup. Keluhan ini dirasakan saat bangun tidur pagi hari. Onset kejadian mendadak, malam hari sebelumnya belum ada keluhan ini. Nyeri pada wajah dan telinga (-). Pendenganran menurun (-), gangguan pengecap (-), mata kiri perih (+) karena tidak bias ditutup. Kesulitan berbicara/ pelo (-), kelemahan ekstrimitas (-)………... 2. Obyektif: Pemeriksaan Fisik Keadaan umum: cukup GCS: 4-5-6 Vital sign Tekanan Darah : 130/80 mmHg Nadi : 96x/menit, teratur, kuat angkat Suhu : tidak dilakukan pemeriksaan Respiratory rate : 18x/menit Status Generalis Kepala : anemia (-), ikterus (-), sianosis (-), dispnea (-), pupil bulat Leher Thorax Abdomen Ekstremitas
isokor 3mm/3mm, RC +/+ : PKGB (-), JVP (-) : Bentuk dada simetris (+), gerak pernapasan simetris (+) Cor : S1 S2 tunggal, murmur (-), gallop (-) Pulmo : vesikuler/vesikuler, Rh (-/-), Wh (-/-) : supel, bising usus normal, hepar dan lien tidak teraba : akral hangat, kering, dan merah, edema ekstremitas atas
dan bawah (-/-) Status Neurologis: •
GCS
: 4-5-6
•
Kaku kuduk
:–
•
Pemeriksaan Nervus Cranialis
: Parese N. VII Perifer (kelemahan
wajah tanpa kelemahan mengernyitkan kening bagian kiri, Lagoftalmus (+) •
Sistem motorik
:
tonus
: normal/menurun
involuntary movement
: tidak didapatkan
kekuatan otot
: 5/5
•
Sistem sensorik
: dalam batas normal
•
Refleks
:
Patologis
: Babinski - /- Chaddock -/-
Fisiologis : BPR +2/+2 KPR +2/+2 Pemeriksaan Saraf Tambahan Reflek Stapeididus : -/+ Uji Lakrimasi : tidak dilakukan (keterbatasan alat) Uji Pengecapan : tidak dilakukan (keterbatasan alat) 3. Assessment: : Bell’s Palsy 4. Plan: •
Diagnosis: -
Terapi: M. Prednisolon 3x 16 mg, tapering off setelah satu minggu Artificial tear 6 dd gtt I OS Fisioterapi Monitoring:
Parese N.VII perifer Komplikasi yang dapat terjadi Edukasi :
Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakit ini bukan stroke, tetapi diakibatkan oleh penjepitan N.VII.
Menjelaskan pada pasien untuk mengkonsumsi obat teraptur dan melakukan fisioterapi rutin untuk mencegah kondisi permanen dari parese N.VII
Apabila mendapatkan terapi dengan benar dan cepat diawal onset penyakit, kelemahan pada N.VII perifer dapat sembuh dalam kisaran 3-4 minggu
Nama:................................................................................................................ ............................. No. ID Peserta:.............................................................................................................. ................. Dengan judul/topik: .......................................................................................................................... ..........................................................................................................................
.......................................................................................................................... .......................................................................................... No.ID dan Nama Pendamping: ............................................................................................. No.ID dan Nama Wahana
: .............................................................................................
Berita Acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pendamping
(
)
(
)
No. ID:.............................
BELL’S PALSY 1.1. Definisi Bell’s palsy adalah suatu kelumpuhan saraf fasialis perifer yang bersifat unilateral, penyebabnya tidak diketahui (idopatik), akut dan tidak disertai oleh gangguan pendengaran, kelainan neurologi lainnya atau kelainan lokal, dan diikuti perbaiki fungsi dalam 6 bulan. Sir Charles Bell (1774-1842) adalah orang pertama yang meneliti tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil
untuk diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui penyebabnya (Berg, 2009; Vtrebeg, 2006; Singhi, 2003). 1.2. Epidemiologi Bell’s palsy merupakan penyebab paralisis fasialis yang paling sering ditemukan, yaitu sekitar 75% dan seluruh paralisis fasialis. Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000 populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45 tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Insiden meningkat tiga kali lebih besar pada wanita hamil (45 kasus per 100.000). Sebanyak 5-10% kasus Bell’s palsy adalah penderita diabetes mellitus. (Finsterer 2008; Monini dkk, 2010). Bell’s palsy jarang ditemukan pada anak- anak < 2 tahun. Tidak ada perbedaan pada sisi kanan dan kiri wajah. Kadang- kadang paralisis saraf fasialis bilateral dapat terjadi dengan prevalensi 0,3- 2% (Finsterer, 2008). Resiko terjadinya rekurensi dilaporkan sekitar 8-12% kasus, dengan 36% pada sisi yang sama dan 64% pada sisi yang berlawanan (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008). Adanya riwayat keluarga positif diperkirakan pada 4-14% kasus Bell’s palsy (Kubik dkk, 2012). 1.3 Anatomi Nervus Facialis Saraf fasialis (N.VII) mengandung sekitar 10.000 serabut saraf yang terdiri dari 7.000 serabut saraf motorik untuk otot-otot wajah dan 3.000 serabut saraf lainnya membentuk saraf intermedius (Nerve of Wrisberg) yang berisikan serabut sensorik untuk pengecapan 2/3 anterior lidah dan serabut parasimpatik untuk kelenjer parotis, submandibula, sublingual dan lakrimal. Saraf fasialis terdiri dari 7 segmen yaitu (Quinn, 1996): 1. Segmen supranuklear 2. Segmen batang otak 3. Segmen meatal 4. Segmen labirin 5. Segmen timpani 6. Segmen mastoid 7. Segmen ekstra temporal Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan berjalan secara
lateral
melalui
cerebellopontine
angle
bersama
dengan
saraf
vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan perineurium (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009). Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis (fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3 segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini (rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf, paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum, memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini mendukung kelenjar lakrimal dan palatina (Ronthal dkk, 2012; Berg 2009). Korda timpani mengandung serabut- serabut sekretomotorik ke kelenjar sublingual dan submandibularis, dan serabut aferen viseral untuk pengecapan, Badan sel dari neuron gustatori unipolar terletak didalam ganglion genikulatum, dan berjalan malalui saraf intermedius ke traktus solitarius (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006). Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid. Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5 kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah, diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m. Platysma (Ronthaldkk, 2012; Berg 2009; Monkhouse 2006). Serabut saraf lainnya berjalan turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani (telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius (melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen stylomastoideus. Saraf
korda timpani merupakan cabang yang paling besar dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Ronthal dkk, 2012; Monkhouse 2006).
Gambar 1. Nukleus dan saraf facialis (Dikutip dari: Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. In: Clarke,C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology: a Queen Square textbook. Balckwell Publishing Ltd.)
Gambar 2. Perjalanan saraf facialis (Kenerva, 2008 dan Moore, 2002)
Gambar 4. Saraf intermedius dan koneksinya (Clarke, 2009). 1.3 Etiologi Ada empat teori yang dihubungkan dengan etiologi Bell’s palsy, yaitu (Berg 2009; Kanerva 2008): 1. Teori iskemik vaskuler Terjadi gangguan regulasi sirkulasi darah ke N. VII. Terjadi vasokonstriksi arteriole yang melayani N. VII sehingga terjadi iskemia, kemudian diikuti oleh dilatasi kapiler dan permeabilitas
kapiler yang meningkat dengan akibat terjadi transudasi. Cairan transudat yang keluar akan menekan dinding kapiler limfe, sehingga menutup. Selanjutnya akan meyebabkan keluarnya cairan lagi, mengakibatkan penekanan kapiler dan vena bertambah, sehingga terjadi iskemia. 2. Teori infeksi virus Bell’s palsy sering terjadi setelah penderita mengalami penyakit virus, sehingga menurut teori ini penyebab bell’s palsy adalah virus. Perjalanan klinis bell’s palsy menyerupai viral neuropati pada saraf perifer lainnya. 3. Teori herediter Penderita bell’s palsy kausanya herediter, autosomal dominan. Bell’s palsy terjadi mungkin karena kanalis facialis yang sempit pada keturunan atau keluarga tersebut, sehingga menyebabkan predisposisi untuk terjadinya paresis fasialis. 4. Teori imunologi Dikatakan bahwa bell’s palsy terjadi akibat reaksi imunologi terhadap infeksi virus yang timbul sebelumnya atau sebelum pemberian imunisasi. Berdasarkan teori ini maka penderita bell’s palsy diberikan pengobatan kortikosteroid dengan tujuan untuk mengurangi inflamasi dan edema dalam kanalis fallopii dan juga sebagai immunosupresor. 1.4 Patogensis Timbulnya bell’s palsy secara pasti masih dalam perdebatan. N. VII berjalan melalui bagian dari tulang temporal yang disebut dengan kanalis facialis. Adanya edema dan iskemia menyebabkan kompresi N.VII dalam kanalis tersebut, dan degenerasi N.VII. Infeksi virus telah sejak lama diduga sebagai agen penyebab dari bell’s palsy, utamanya kelompok virus herpes. Antigen Hepres simplex virus tipe 1 (HSV-1) ditemukan pada nervus facialis, ganglion, dan nucleus N.VII di batang otak. Melalui pemeriksaan PCR, DNA HSV-1 terditeksi pada cairan endoneural
nervus facialis dan otot auriculus posterior. Virus lainnya yang dikaitkan dengan Bell’s palsy adalah Epstein-Barr Virus dan Rubella. Studi pada pasien di midatlantik United Stated menunjukan Lyme disease merupakan penyebab yang umum (50% kasus) dari bell’s palsy (Ziel, 2005). Beberapa studi juga menyebutkan bahwa gejala bells palsy salah satu akibat dari trauma, tumor, dan otitis media (Peitersen, 2002). Setelah proses degenerasi akbiat kompresi dan iskemia N. VIIterjadi proses regenerasi yang terdiri dari tiga perubahan mayor pada akson, yaitu: (1) perubahan pada jarak antara nodus renvier (2) akson- akson yang baru terbentuk dilapisi oleh myelin yang lebih tipis daripada akson normal (3) terdapat pemecahan dan penyilangan dari akson- akson yang menginervasi kembali kelompok- kelompok otot yang denervasi tanpa perlu menyesuaikan dengan susunan badan sel- motor unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor- faktor ini, dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter (May 2000). Selain itu, terdapat juga gerakan yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction. Selain faktor- faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor- faktor ini, dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis, menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. spasme ini dapat dirasakan cukup nyeri (May 2000). 1.5 Gejala Klinis Umumnya Bell’s Palsy ditandai dengan parese wajah unilateral dengan onset tiba-tiba, yang progresif lebih dari 1-5 hari dan dapat menjadi paralisis wajah secara komplit. Bell’s Palsy sering terjadi seletah infeksi saluran napas bagian atas. Presentasi klinis dari pasien bergantung dari lokasi dari kompresi dan inflamasi dari N.VII (Ziel, 2005). Gejala dan tanda yang dihasilkan tidak hanya pada serabut motorik termasuk ke otot stapedius, tetapi juga pada inervasi otonom kelenjar lakrimal, submandibular, sensasi sebagian telinga, dan pengecapan pada
du pertiga lidah melalui korda timpani (Finsterer 2008). Lesi distal dari korda timpani hanya menyebabkan kelemahan dari wajah. Gangguan sensoris seharusnya tidak didapatkan pada pemeriksaan fisik, walaupun pasien kerap kali mengeluhkan rasa tebal di wajah ipsilateral lesi. Kompresi N.VII yang berlokasi antara korda timpani dan ganglion geniculatum menghasilkan gejala tambahan berupa berkurangnya maupun hilangnya sensori perasa dari lidah 2/3 anterior. Lesi yang melibatkan nervus stapeidius menyebabkan hiperakusis. Kerusakan pada ganglion geniculatum maupun bagian nervus proximal dari ganglion geniculatum mengakibatkan hialngnya juga fungsi lakrimasi. Gangguan fungsi pada nervus trigeminus atau vestibularis dapat terjadi, tetapi kelemahan bersamaan antara nervus facialis dan nervus abdusen, yang mengontrol gerakan horizontal otot mata atau penurunan pendengaran dengan atau tanpa vertigo mengindikasikan bahwa terjadi gangguan setinggi batang otak (Ziel,2005). 1.6 Diagnosis Anamnesis dan dan pemeriksaan fisik yang tepat merupakan kunci dalam mendiagnosis Bell’s palsy (Garg dkk, 2012). A. Anamnesis Anamnesis yang lengkap mengenai onset, durasi, dan perjalanan penyakit, ada tidaknya nyeri, dan gejala lain yang menyertai penting ditanyakan untuk membedakannya dengan penyakit lain yang menyerupai. Pada Bell’s palsy kelumpuhan yang terjadi sering unilateral pada satu sisi wajah dengan onset mendadak (akut) dalam 1-2 hari dan dengan perjalanan penyakit yang progresif, dan mencapai paralisis maksimal dalam 3 minggu atau kurang (Ronthal dkk, 2412; May dkk, 1987). B. Pemeriksaan Fisik Dari hasil pemeriksaan neurologi, didapatkan gangguan fungsi saraf fasialis perifer yang difus tanpa ada neuropati lainnya. Lesi SSP (supranuklear) juga dapat menyebabkan paralisis saraf fasialis, hanya perbedaannya dari lesi perifer tidak dijumpainya paralisis dahi pada sisi yang terlibat dan dapat menutup mata dengan baik (lagophtalmus tidak dijumpai) dan disertai dengan defisit
neurologis lainnya, sekurang-kurangnya kelumpuhan ekstremitas pada sisi yang kontralateral (gambar 6) (Tiemstra dkk, 2007). Tes topognostik (fungsi kelenjar lakrimal, aliran saliva, dan pengecapan) selain refleks stapedial, telah diteliti tidak memiliki manfaat sebagai tes diagnostik dan prognostik pada pasien dengan paralisis fasialis, sehingga jarang digunakan dalam praktek klinis. Hal ini dikarenakan: 1. Anatomi saraf fasialis dan percabangannya yang cukup bervariasi, mengizinkan untuk terbentuknya suatu jalur alternatif bagi aksonakson untuk mencapai terminalnya. 2. Lesi yang bertanggung jawab terhadap paralisis, mungkin tidak secara tajam terletak pada level tertentu, karena suatu lesi dapat mempengaruhi komponen yang berbeda dari saraf pada tingkat yang beragam dan dengan derajat keparahan yang berbeda- beda. 3. Penyembuhan dan kornponen- komponen yang bervariasi dapat terjadi pada waktu yang berbeda- beda. 4. Teknik yang digunakan untuk mengukur fungsi saraf fasialis tidak sepenuhnya dapat dipercaya (May 2000;Kanerva 2008; Ronthal dkk, 2012).
Gambar XX. Pasien dengan (A) lesi saraf fasialis perifer (B) lesi supranuklear Dikutip dari: Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s palsy; Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians. 76:997-1002 Pemeriksaan telinga perlu dilakukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang mungkin bisa menyebabkan paralisis fasialis. Bila ditemukan adanya otitis rnedia yang aktif dan massa di kelenjar parotid, kemungkinan paralisis fasialis dihubungkan dengan kelainan- kelainan tersebut, dan bukan suatu Bell’s palsy (May dkk, 1987). Umumnya pasien Bell’s palsy tidak membutuhkan pemeriksaan penunjang. Namun, bila dijumpai indikasi tertentu, pemeriksaan lanjutan berikut dapat dianjurkan, seperti: 1. Imaging: Computed tomography (CT) atau Magnetic Resonance lmaging (MRI) diindikasikan jika tanda fisiknya tidak khas, tidak ada perbaikan paralisis fasial setelah 1 bulan, adanya kehilangan perdengaran, defisit saraf kranial multipel dan tanda- tanda paralisis anggota gerak atau gangguan sensorik. Adanya riwayat suatu kedutan
pada wajah atau spasme yang mendahului kelumpuhan wajah diduga karena iritasi tumor harus dilakukan juga imaging. 2. Tes pendengaran: jika diduga adanya kehilangan pendengaran, tes audiologi dapat dilakukan untuk menyingkirkan neuroma akustikus. 3. Tes laboratorium perlu jika pasien memiliki tanda- tanda keterlibatan sistemik tanpa perbaikan lebih dari empat minggu (Garg dkk, 2012 Ronthal dkk, 2012). 1.7 Diagnosis Banding Beberapa penyakit juga memiliki gejala paralisis fasialis yang identik dengan Bell’s palsy. Penyakit ini juga memiliki gejala lainnya yang membedakannya dari Bell’s palsy (Tiemstra dkk, 2007). Penyakit- penyakit tersebut adalah: 1. Lesi struktural di dalam telinga atau kelenjar parotid (seperti cholesteatoma, tumor saliva) Pasien dengan tumor memiliki perjalanan penyakit yang panjang, dan berprogresif secara lambat dalam beberapa minggu atau bulan dan gejala sering bertahan tanpa ada penyembuhan. Terlibatnya hanya satu atau dua cabang distal dari saraf fasialis juga menduga tumor, penyakit telinga tengah yang aktif atau suatu massa di kelenjar parotid (Ronthal dkk, 2012; May dkk, 1987). 2. Guillain Barre Syndrome (GBS) Guillain Barre Syndrome merupakan suatu poliradikuloneuropati inflamasi yang bersifat akut. Gangguan berupa paralisis fasialis bilateral dapat dijumpai pada ± 50% kasus GBS. Klinis lainnya adalah kelumpuhan pada saraf motorik ekstremitas, dan pernafasan. Refleks tendon negatif pada daerah yang terlibat (May 2000). 3. Lyme disease Pasien dengan Lyme disease juga memiliki riwayat terpapar dengan kutu, adanya ruam- ruam di kulit dan arthralgia. Saraf fasialis yang sering terlibat adalah bilateral. Penyakit ini endemis di daerah tertentu, seperti di negaranegara bagian utara dan timur Amerika Serikat, di pertengahan barat (Minnesota dan Wisconsin), atau di Califomia atau Oregon selama musim
panas dan bulan- bulan pertama musim gugur. Di daerah- daerah ini merupakan lokasi geografis dimana vektor kutu ditemukan. Gangguan ini juga dikenali dengan baik di Eropa dan Australia (Tiemstra dkk, 2007; Kanerva 2008). 4. Otitis media Otitis media memiliki onset yang lebih bertahap, dengan disertai nyeri telinga dan demam (Tiemstra dkk, 2007). 5. Ramsay Hunt Syndrome (komplikasi herpes zoster) Pasien dengan Ramsay Hunt Syndrome memiliki suatu prodromal nyeri dan sering berkembang erupsi vesikel pada kanal telinga dan faring. Penyakit ini disebabkaan oleh virus herpes zoster, dengan klinis berupa paralisis fasialis, atau gangguan pendengaran atau keseimbangan (Ronthal dkk, 2012; Tiemstra dkk, 2007). 6. Sarcoidosis Pasien dengan sarcoidosis memiliki gejala paralisis fasialis bilateral dan uveitis. Sarcoidosis merupakan penyakit granulomatosa dari asal yang tidak ditentukan yang melibatkan banyak sistem organ. Diagnosis dibuat berdasarkan temuan klinis beserta dengan biopsi jaringan yang terlibat oleh sarcoid (May 2000; Tiemstra dkk, 2007).
1.8 Tatalaksana Tujuan penatalaksanaan
Bell’s palsy adalah untuk mempercepat
penyembuhan, mencegah kelum-puhan parsial menjadi kelumpuhan komplit, meningkatkan angka penyembuhan komplit, menurunkan insiden sinkinesis dan kontraktur serta mencegah kelainan pada mata. Pengobatan seharusnya dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah pengaruh psikologi pasien terhadap kelumpuhan saraf ini. Disamping itu kasus Bell’s palsy membutuhkan kontrol rutin dalam jangka waktu lama (Holland, 2008). Terapi diberikan secepatnya untuk mencegah replikasi virus dan proses yang menyebabkan kompresi nervus facialis bertambah. Terapi tersebut berupa (Holland dan Weiner, 2004):
1. Perawatan mata Perawatan mata pada pasien bell’s palsy berfokus untuk melindungi kornea dari kekeringan dan abrasi akibat gangguan menutup kelopak mata dan penurunan produksi air mata. Lubrikan tetes harus diberikan untuk mencegah komplikasi pada mata 2. Kortikosteroid Sistematik review terbaru menyimpulkan
bahwa
penggunaan
kortikosteroid dalam waktu 7 hari pertama dari onset pertama bell’s palsy memberikan terapi yang efektif. Dapat berupa prednisone secara per oral dengan dosis 1mg/kgBB/hari dan dosis maksimum 80 mg/KgBB untuk pasien tanpa kontraindikasi steroid. 3. Agen Antivirus Dasar penggunaan Aciclovir pada terapi bell’s palsy oleh karena salah satu penyebab Bell’s Palsy adalah virus herpes. Aciclovir merupakan analog nukleotida yang mengganggu polymerase ddan menghambat replikasi DNA virus herpes. Namun Aciclovir memiliki bioaviabilitas yang rendah, hanya berkisar 15-30%, sehingga dicoba beberapa obat yang memiliki bioavilibilitas lebih baik, dosis yang tidak terlalu tinggi, dan efektif pada virus herpes, obat tersebut diantaranya adalah vanciclovir (prodrug acyclovir), famciclovir (prodrug
penciclovir), dan sorivudine. Jika
dibandingkan dengan steroid, acyclovir tidak memiliki outcome lebih baik dalam terapi bell’s palsy. Oleh karena itu tidak dianjurkan hanya penggunaan acyclovir sendiri tanpa steroid pada terapi bell’s palsy. Beberapa sistematik review membuktikan apabila penggunaan acyclovir bersamaan dengan prednisone untuk terapi bell’s palsy, menghasilkan outcome yang lebih baik dibandingkan hanya menggunakan steroid. Namun studi Cochrane menyimpulkan masih dibutuhkan penelitian untuk menilai kommbinasi acyclovir-steroid dibandingkan steroid sendiri. 4. Fisioterapi Beberapa fisioterapi termasuk pijat dan olahraga wajah direkomendasikan pada pasien bell’s palsy, tetapi hanya sedikit controlled clinical trial yang membuktikan efektivitasnya. 5. Bedah 6. Surgery
Intervensi bedah bukan meruapakan langkah rutin yang dilakukan. Tujuan intervensi bedah yaitu untuk dekompresi N. VII, tetapi craniotomy memiliki beberapa resiko, diantaranya kejang, gangguan pendengaran, kebocoran CSF, dan kerusakan N.VII. 1.9 Prognosis Prognosis pasien Bell’s palsy umumnya baik, terutama pada anak-anak. Penyembuhan komplit dapat tercapai pada 85 % kasus, penyembuhan dengan asimetri otot wajah yang ringan sekitar 10% dan 5% penyembuhan dengan gejala sisa berat. Bell’s palsy biasanya dapat sembuh tanpa deformitas. Hanya 5% yang mengalami deformitas. Deformitas pada Bell’s palsy dapat berupa (Lo, 2010): A. Regenerasi motorik inkomplit Ini merupakan deformitas terbesar dari kelumpuhan saraf fasialis. Dapat terjadi akibat penekanan saraf motorik yang mensarafi otot-otot ekspresi wajah. Regenerasi saraf yang tidak maksimal dapat menyebabkan kelumpuhan semua atau beberapa otot wajah. Manifestasi dari deformitas ini dapat berupa inkompetensi oral, epifora dan hidung tersumbat. B. Regenerasi sensorik inkomplit Manifestasinya dapat berupa disgeusia, ageusia atau disesthesia. C. Regenerasi Aberrant Selama regenerasi dan perbaikan saraf fasialis, ada beberapa serabut saraf yang tidak menyambung pada jalurnya tapi menyambung dengan serabut saraf yang ada didekatnya. Regenerasi aberrant ini dapat menyebabkan terjadinya (sinkinesis).
gerakan
involunter
yang
mengikuti
gerakan
volunter
DAFTAR PUSTAKA Berg, T. 2009. Medical Treatment and Grading of Bell’s palsy. Acta Universitatis Upsalensis. Digital Comprehensive Summaries of Uppsala Dissertations from the Faculty of Medicine 460. 47 pp. Uppsala Clarke, C., Lemon, R. 2009. Nervous System Structure and Function. ln: Clarke, C., Howard, R., Rossor, M., Shorvon, S., eds. Neurology : a Queen Square texthook. Blackwell Publishing Ltd. Finsterer, J. 2008. Management of peripheral facial nerve palsy. Eur Arch Otorhinolaryngol . 265:743- 52. Garg, K.N., Gupta, K., Singh, S., Chaudhary, S. 2012. Bell’s palsy: Aetiology, Classification, Diffrential Diagnosis and Treatment
Consideration: A
Review. Available from: www.journalofdentofacialsciences.com Holland J. Bell’s palsy. BMJ Publishing. 2008; 1-8.
Holland, N.J., Weiner, G.M. 2004. Recent developments in Bell’s palsy. BMJ. 329(7465):553-557. Kanerva,M. 2008. Peripheral Facial Palsy: Grading, Etiology, and MelkerssonRosenthal Syndrome. Otolaryngology-Head and Neck Surgery, in press. Kubik, M., Robles, L., Kung, A. 2012. Familial Bell’s palsy: A Case Report and Literature Review. Hindawi Publishing Corporation. Lo B. Bell Palsy. [Update Feb 24,2010: cited Dec 21,2010]. Available from: http://www.emedicine.medscape.com/article/791311-overview May, M, Schaitkin, B.M. 2000. The facial nerve. Thieme. New York May, M., Hughes, G.B. 1987. Facial nerve disorders: update 1987. Am J Otol. 8(2): 167- 80 Monkhouse, S. 2006. Cranial Nerves: Functional Anatomy. Cambridge University Press. New York. Monini,S., Lazzarino, A.1., lacolucci,C., Buffoni, A., Barbara, M. 2010 Epidemiology of Bell’s palsy in an ltalian Health District lncidence and case- control study. Acta Otolaryngologica ltalica. 30:198-204 Moore, K.L., Agur, A.M.R. 2002. Essential Clinical Anatomy, 2 nd Edition. Lippincoft Williams & Wilkins. Baltimore. Peitersen E. Bell’s palsy: the spontaneous course of 2,500 peripheral facial nerve palsies of different etiologies. Acta Otolaryngol Suppl 2002; 549:4-30. Quinn FB. Facial Nerve Paralysis. Deparment of Otolaryngology, UTMB,Grand Rounds. 1996 Ronthal, M., Shefner, J.M., Dashe, J.F.2012. Bell’s palsy: Pathogenesis, Clinical Features, and Diagnosis in Adults. Available from: www.uptodate-com Tiemstra, D.J., Khatkhate, N. 2007. Bell’s palsy: Diagnosis and Management. American Academy of Family Physicians.76:997-1002. Ziel, 2005. Bell’s Palsy: Current Management in Child Neurology, Third Edition Ed: Bernard L. Maria. BC Decker: London.