MAKALAH
PERBEDAAN MENDASAR PARADIGMA PENDIDIKAN IPA DAN NON-IPA I.
PENDAHULUAN
Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan salah satu pilar yang harus
dikokohkan jika suatu negara ingin maju. Pada saat dunia memasuki milenium
ketiga, semua bangsa maju sepakat bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) merupakan prasyarat untuk meraih kemakmuran (prosperity) dalam kancah pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, dapat dimengerti jika para ilmuwan sejagat sekarang tengah berlomba-lomba melakukan penelitian, pengembangan dan perekayasaan untuk meningkatkan korpus pengetahuan. Hasil
semua ini diharapkan dapat dijadikan modal untuk membangun masyarakat berbasis pengetahuan (Zuhal, 2000).
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan kualitas Sumber
Daya Manusia.
Hal ini belum sepenuhnya disadari oleh seluruh komponen
Bangsa Indonesia. Namun demikian, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
pernah mengatakan bahwa Bangsa yang maju adalah bangsa yang baik
pendidikannya dan bangsa yang jelek pendidikannya tidak akan pernah menjadi bangsa yang maju (Rusfidra, 2006).
Dengan pernyataan ini setidaknya ada
keinginan dan tekad para pemimpin kita untuk memperbaiki kualitas pendidikan kita.
Jika kita ingin memajukan sains dan teknologi di Indonesia, langkah
awal yang harus diambil adalah reformasi sistem pendidikan sains dan matematika di sekolah: sains seharusnya diajarkan agar siswa suka mengamati
fenomena/realita alam dan terlatih untuk jeli dan mengambil kesimpulan dari realita yang ia lihat. Namun dalam prakteknya sains sering diajarkan sebagai
hapalan rumus belaka. Jika sains diajarkan secara benar, maka akan terbentuk generasi yang berpikir rasional dan terlatih untuk jeli mengamati realita serta mengambil kesimpulan awal dari realita yang ia amati.
1
Pendidikan sains atau IPA di sekolah seringkali dianggap mata pelajaran
yang sulit dan rumit, sehingga bagi sebagian siswa, IPA dianggap mata pelajaran yang abstrak dan menakutkan.
Padahal IPA tidak seperti itu, malah IPA
merupakan pelajaran yang erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari.
Kesalahan cara pandang ini dapat terjadi karena kesalahan paradigma dari
sebagian pengajar IPA yang masih menganggap IPA adalah kumpulan pengetahuan dan dalam proses pembelajarannya guru mentransfer atau memindahkan pengetahuan itu kepada siswanya bagaikan mengisi botol kosong dengan air.
Secara sederhana, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) memiliki arti yang
sangat luas, meliputi pengetahuan tentang fenomena kehidupan, makhluk hidup,
benda-benda dan energi yang ada di alam semesta. Namun ada sebagian ahli yang
mengelompokkan sains ke dalam sains murni atau sains alam, yang kita sebut dengan IPA itu sendiri, dan sains sosial atau ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu yang termasuk ke dalam sains alam diantaranya adalah fisika, kimia, biologi, geologi
dan astronomi. Sedangkan yang termasuk ilmu-ilmu sosial diantaranya adalah ekonomi, sejarah, sosiologi dan antropologi. Pengelompokkan
Ilmu
Pengetahuan
didasarkan
pada
cara
memperolehnya, namun cara pandang para ahli di setiap ilmu dipengaruhi oleh cara
pandang
pendahulunya.
atau
paradigma
yang
dibangun
oleh
ilmuwan-ilmuwan
Ilmu pengetahuan sebagai sebagai komponen pembangun
peradaban dan budaya suatu bangsa, akan terus berkembang tanpa henti hingga
akhir zaman. Tiada alasan yang konkrit para ilmuwan mengelompokkan ilmuilmu tersebut namun pada kenyataannya, semakin ahli atau pakar seorang ilmuwan maka semakin spesifik bidang keahliannya.
Makalah ini sedikit akan membahas mengenai kedudukan ilmu
pengetahuan alam atau sains dengan ilmu-ilmu lain dan perbedaan paradigmanya yang menyebabkan ilmu ini dikelompokkan tersendiri. Penulis ingin menyelidiki
benarkah perbedaannya terletak pada penggunaan metode ilmiah dalam mengungkap fakta-fakta, konsep-konsep hingga teori dan hukum yang ada pada IPA atau sains ini.
2
II. PEMBAHASAN A. Pengertian Ilmu Pengetahuan Alam
Tidak bisa kita sangkal bahwa pada hakikatnya sumber dari segala
sumber ilmu pengetahuan adalah berasal dari Tuhan yang turun melalui wahyu
kepada Rasulnya. Pengertian dari pengetahuan adalah semua yang diketahui. Dilihat dari segi motif, pengetahuan diperoleh dengan dua cara.
Pertama,
pengetahuan yang diperoleh begitu saja, tanpa niat, tanpa motif, tanpa
keingintahuan dan tanpa usaha. Kedua, pengetahuan yang didasari motif ingin tahu dan diperoleh karena diusahakan, biasanya karena belajar.
Sedangkan
pengetahuan sains adalah pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris (Tafsir, 2004).
Lalu berdasarkan landasan berfikir kita selanjutnya, kita bisa membagi
ilmu pengetahuan menjadi ilmu agama dan filsafat.
Mengutip Suriasumantri
(1990), bahwa apabila kita hendak membicarakan agama dan filsafat, hendaklah landasan berfikir kita berdasarkan dua kapling yang berbeda yaitu kapling agama dan kafling filsafat. Kita tidak boleh mencampur adukkan keduanya. Perbedaan
mendasar dari keduanya adalah, landasan ilmu agama adalah iman. Kita harus yakin terlebih dahulu akan kebenaran apa yang diwahyukan Allah.
Lalu
selanjutnya kita bisa mempelajari lebih dalam ilmu-ilmu agama seperti Al qur’an, Hadits, Tauhid, Ushuluddin, Syariah, dan lain-lain dengan menggunakan dalil Naqli yaitu dalil yang bukan merupakan hasil olah pikir kita sebagai manusia
melainkan dalil ke-Ilahian. Dalil dimana otak kita tidak akan mampu menembus kedalamannya dan hanya mampu menginterpretasikannya. Sedangkan landasan
filsafat adalah olah pikir manusia dari rasa ingin tahu yang mendalam akan hakikat sesuatu. Jadi, jelaslah dalil yang digunakan adalah dalil Aqli (Bakhtiar, 2005).
Pada diri manusia terdapat akal sehingga bisa memikirkan alam
sekitarnya.
Dari proses inilah lahir ilmu pengetahuan maupun filsafat yang
menjadikan manusia tahu sehingga lahirlah kreativitas sains dan teknologi yang menjadi faktor penting bagi kemajuan dan pembangunan. Pembangunan
3
seharusnya banyak memfokuskan kepada pembentukan sumber daya manusia
(SDM) yang berkualitas. Dari sini lahir manusia-manusia handal sehingga pembangunan bisa terealisasi dengan hasil yang maksimal.
Dalam berfilsafat, jika yang menjadi pusat perhatian adalah alam
semesta, maka berarti mencari tahu inti alam semesta secara mendalam dengan menggunakan kemampuan berpikir. Selanjutnya dari kajian-kajian filsafat alam
semesta ini melahirkan Sains seperti Biologi, Fisika, Kimia, Astronomi, maupun Geologi. Sedangkan jika yang menjadi pusat perhatian adalah manusia sebagai salah satu isi alam semesta, maka berarti mengkaji secara mendalam bagaimana
hubungan manusia dengan segala isi alam semesta lainnya. Kajian-kajian tersebut disebut filsafat moral dan selanjutnya melahirkan ilmu-ilmu Sosial seperti, Pendidikan, Hukum, Ekonomi, Politik, Sosiologi, Sejarah, dll.
Sebelum lebih jauh kita membahas ilmu pengetahuan-ilmu pengetahuan
yang bersifat filosofis, ada baiknya kita perjelas dahulu kedudukan agama dan filsafat. Agar kaum Muslim tidak mengalami lagi kemunduran dan kehilangan
gairah dalam kegiatan penyelidikan ilmiah sebagaimana hal itu terjadi setelah mengalami masa kejayaannya selama beberapa abad pertama hijrah (Qadir, 1995),
sebaiknya kita merespon hubungan agama dan filsafat dalam bentuk social phsycology seperti dinyatakan oleh M. Quraish Shihab (Membumikan Alqur’an,
1992: 141). Artinya keduanya bersifat terbuka dan berkarakter dialogis. Bukankah Alqur’an
sangat
merenungkannya?
menekankan
pentingnya
mengamati
gejala
alam
dan
Kata ilmu berasal dari bahasa Arab, ‘alama yang berarti pengetahuan.
Kata ini sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris yang juga artinya pengetahuan. Athhur Thomson dalam Sumarna (2006) mendefinisikan
ilmu sebagai susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitian dan percobaan dari fakta-fakta. Sedangkan menurut Bakhtiar (2005),
Pada mulanya ilmu dan sains memiliki arti yang tidak berbeda, namun setelah abad ke-19 sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau inderawi. Adapun perbedaan antara ilmu dan pengetahuan ilmu adalah bagian dari pengetahuan yang
terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara
4
empiris. Jadi ilmu dalam arti science merupakan bagian dari ilmu dalam arti ‘alama (pengetahuan). Kata science diterjemahkan sebagai sains saja.
Suriasumantri (1990) mendefinisikan sains sebagai pengetahuan yang
sistematis atau tersusun secara teratur, berlaku umum, dan berupa kumpulan data hasil observasi dan eksperimen.
Sains terbagi atas ilmu-ilmu alam (Ilmu
Pengetahuan Alam) dan ilmu-ilmu sosial (IPS, Ilmu Pengetahuan sosial). Dalam
sains, terdapat tiga unsur utama, yaitu sikap manusia, proses atau metodologi, dan hasil yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Sikap manusia yang selalu ingin
tahu tentang benda-benda, makhluk hidup, dan hubungan sebab-akibatnya akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang selalu ingin dipecahkan dengan
prosedur yang benar. Prosedur tersebut meliputi metode ilmiah. Metode ilmiah mencakup
perumusan
hipotesis,
perancangan
percobaan,
evaluasi
pengukuran, dan akhirnya menghasilkan produk berupa fakta-fakta,
atau
prinsip-
prinsip, teori, hukum, dan sebagainya. Sikap ini, yang biasa kita sebut sikap ilmiah, sangat dibutuhkan dalam membangun sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. empiris.
Hakikat pengetahuan sains adalah pengetahuan yang rasional dan Kerasionalan sains tercermin pada saat penyusunan hipotesis sebab
hipotesis haruslah rasional. Jadi, jika seorang ilmuwan mengajukan hipotesis, maka hipotesisnya sudah benar secara rasio, hanya perlu pembuktian empiris.
Hipotesis tersebut harus diuji kebenarannya mengikuti metode ilmiah. Objek kajian sains haruslah objek-objek yang empiris berdasarkan pengalaman indra
manusia. Cara memperoleh kebenaran dalam sains adalah dengan metode ilmiah.
Sedangkan kegunaan sains adalah untuk menjelaskan suatu fenomena, menemukan penyebabnya, memprediksikan suatu kejadian dan sebagai alat pengontrol.
Dengan demikian sains merupakan alat untuk menyelesaikan
masalah-masalah baru yang selalu timbul seiring berkembangnya teori-teori sains (Tafsir, 2004).
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), yang merupakan salah satu bagian dari
sains, adalah ilmu yang pokok bahasannya adalah alam dengan segala isinya. Hal
yang dipelajari dalam IPA adalah sebab-akibat, hubungan kausal dari kejadian-
5
kejadian yang terjadi di alam. Aktivitas dalam IPA selalu berhubungan dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan dan kerajinan.
Secara
sederhana, IPA dapat juga didefinisikan sebagai apa yang dilakukan oleh para ilmuwan. Dengan demikian, IPA bukan hanya kumpulan pengetahuan tentang benda atau makhluk hidup, tetapi menyangkut cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah.
Ilmuwan selalu tertarik dan memperhatikan peristiwa
alam, selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang suatu gejala alam dan hubungan kausalnya.
Dalam pelaksanaan pendidikan di Indonesia, terdapat kerancuan dalam
penggunaan istilah sains dan ilmu pengetahuan alam atau IPA.
Istilah sains
seringkali digunakan untuk menggantikan kata IPA, seperti penggunaannya dalam menamai mata pelajaran IPA SD san SMP seringkali digunakan istilah sains.
Dengan demikian dalam konteks pendidikan di Indonesia dan dalam pembahasan
makalah ini, penggunaan kata sains dan IPA disamakan pengertiannya. Hanya
dalam makalah ini sedikit disinggung perbedaan mendasarnya berdasarkan kajian filsafat ilmu.
Menurut Bakhtiar (2005), pada dasarnya setiap ilmu memiliki dua
macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, sedangkan objek formal adalah
metode untuk memahami objek material tersebut. Ilmu pengetahuan alam akan berbeda objek materialnya dengan geografi, ekonomi ataupun antropologi, yaitu
tentang alam semesta beserta isinya, sedangkan objek formalnya adalah metode ilmiah.
Tafsir (2004) menyebut Ilmu Pengetahuan Alam dengan sains kealaman.
Ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya diantaranya adalah biologi, fisika, kimia, astronomi, paleontologi dan geologi. Dengan demikian dapat dikatakan yang dipelajari dalam IPA adalah mengenai 1) makhluk hidup dan proses kehidupan,
utamanya dipelajari dalam biologi; 2) benda-benda/zat dengan sifat-sifatnya,
dipelajari dalam fisika dan kimia; 3) energi dan perubahannya, juga dibahas dalam
kimia dan fisika; serta tentang 4) bumi dan alam semesta, yang banyak dibahas
6
dalam fisika, astronomi dan geologi. Namun keempat objek kajian IPA tersebut saling terkait dan membentuk suatu kesatuan. B. Paradigma Pendidikan IPA
Paradigma secara bahasa diartikan sebagai model, teori, persepsi, asumsi
atau kerangka acuan.
Dalam pengertian lain, paradigma adalah sebuah teori
tentang bagaimana cara manusia (khususnya ilmuwan) melihat dunia.
Pada
akhirnya paradigma dalam perspektif keilmuan didefinisikan sebagai sebuah teori, penjelasan atau model tertentu untuk sesuatu yang berbau ilmiah (Sumarna, 2005).
Paradigma pendidikan IPA berbeda dengan ilmu-ilmu lain. Dalam IPA
yang patut dikuasai tidak hanya mengenai fakta-fakta pengetahuannya saja,
melainkan juga penguasaan keterampilan metode ilmiah dan sikap ilmiah. Oleh sebab itu, dalam pelaksanaan pendidikan IPA ditekankan agar peserta didik menguasai keterampilan dan sikap ilmiah tersebut seakan-akan seluruh peserta didik disiapkan untuk menjadi ilmuwan-ilmuwan yang menguasai IPA. Dengan
cara ini, untuk memperoleh fakta-fakta sebagai produk IPA dilakukan dengan cara
yang sama dengan ilmuwan yang pertama kali mengemukakan fakta tersebut, atau
disebut learning science as science is done (belajar sains seperti saat sains ditemukan).
Pada dasarnya seluruh ilmu yang termasuk sains memiliki kesamaan
dalam proses penemuan dan pengembangan ilmunya. Namun perbedaan dengan
Ilmu-Ilmu sosial, terletak pada objek kajian dan pada penguasaan fakta-fakta lebih menonjol ketimbang metode dan sikap ilmiahnya. Objek kajian dalam IPS lebih
mengarah pada perilaku dan hasil karya manusia yang nilai keempirisannya lebih rendah.
Sejalan dengan perkembangan iptek yang pesat dan perubahan
masyarakat yang dinamis, perlu disiapkan warganegara Indonesia yang mampu
bersaing bebas dan memiliki ketangguhan dalam berpikir, bersikap dan bertindak berdasarkan pemahaman tentang konsep-konsep dan prinsip-prinsip sains. Hal ini
perlu dilakukan apalagi jika mengingat abad ke-21 sebagai abad sains dan
7
teknologi yang memberikan wawasan berpikir dan proses bersistem yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat (awam maupun ilmiah).
Dari sekian banyak permasalahan pendidikan saat ini, setidaknya ada
tiga permasalahan menonjol di pendidikan IPA.
Pertama, pembelajaran IPA
masih terpengaruh oleh paradigma pendidikan lama, yaitu yang menempatkan
guru sebagai pusat dan siswa sebagai "gelas kosong" yang harus siap diisi sesuai
kemampuan guru. Permasalahan ini biasanya satu paket dengan permasalahah kedua, yaitu masih berlangsungnya pematematikaan IPA.
Dalam proses
pembelajaran, biasanya siswa duduk dengan manis, mendengarkan dan mencatat
konsep konsep abstrak yang disampaikan guru, tanpa bisa mengkritisi apa arti konsep itu.
Lalu, konsep itu yang biasanya sudah dalam bentuk persamaan
matematika, diterapkan pada kasus kasus khusus. Saat latihan, mereka mungkin bisa mengerjakan soal-soal yang setipe dengan yang dicontohkan guru. Namun,
pada saat ada soal yang membutuhkan pemahaman konsep, mereka pun kesulitan dalam menyelesaikannya. Ini karena mereka bukan belajar memahami konsep, tetapi mencatat konsep.
Konsekuensi lanjutannya adalah terjadinya proses alienasi siswa dari
lingkungannya. Siswa tidak paham untuk apa IPA itu dipelajari, karena konsep
konsep IPA yang mereka pelajari tidak bisa mereka terapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Dengan demikian, mempelajari IPA merupakan beban bagi
mereka dan akhirnya siswa pun merasa IPA merupakan momok yang menakutkan dalam pembelajarannya. Banyak guru yang mematematikakan IPA beralasan
pembelajaran yang mengedepankan aspek induktif membutuhkan waktu banyak dan terkadang muncul hal-hal yang di luar dugaan semula. Padahal, mestilah
disadari bahwa dari hal-hal yang tidak terduga itu biasanya pemahaman kita akan alam menjadi lebih komprehensif.
Padahal, semestinya proses pembelajaran IPA dimulai dari mengamati
fenomena-fenomena alam secara terstruktur. fenomena-fenomena alam tersebut.
Lalu menyimpulkan penyebab
Setelah itu, barulah memprediksikan
fenomena alam yang akan terjadi berdasarkan simpulan tadi. Dengan kata lain,
8
proses pembelajaran yang bersifat induktiflah yang ditekankan di sini, walaupun sifat deduktif tidak diabaikan
IPA merupakan suatu kebutuhan yang dicari manusia karena
memberikan suatu cara berpikir sebagai suatu struktur pengetahuan yang utuh.
Secara khusus, IPA menggunakan suatu pendekatan empiris untuk mencari penjelasan alami tentang fenomena yang diamati di alam semesta. Meskipun studi tentang IPA dipecah menjadi beberapa disiplin, namun inti dari masingmasingnya terletak pada metode dan mempertanyakan hasilnya secara
berkesinambungan. Mendidik melalui IPA dan mendidik dalam IPA merupakan suatu wahana dalam mempersiapkan anggota masyarakat agar dapat berpartisipasi
dalam memenuhi kebutuhan dan menentukan arah penerapannya. Sebagai bagian
dari pendidikan umum, peserta didik seyogianya berpartisipasi dan menilai sendiri
pencapaian ilmiahnya, termasuk juga bertindak berdasarkan temuan mereka sendiri.
Bekerja secara ilmiah tidak sekedar mengumpulkan fakta, teori, atau
proses mental dan keterampilan manipulatif. Tetapi IPA merupakan cara-cara
memahami gejala alam yang terus berkembang. IPA merupakan produk dari keinginan manusia untuk berimajinasi. Hal ini sangatlah menantang dan menarik, terutama bagi manusia Indonesia muda usia untuk ber”IPA”.
Keberadaan
manusia dan makhluk hidup lainnya di alam sangatlah bergantung pada perilaku manusia di alam, khususnya di bumi yang hanya satu ini. IPA
merupakan
wahana
untuk
meningkatkan
pengetahuan,
keterampilan, sikap, dan nilai serta tanggungjawab sebagai seorang warga negara yang bertanggungjawab kepada lingkungan, masyarakat, bangsa, negara yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. IPA berkaitan dengan cara
mencari tahu dan memahami tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-
konsep, prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan.
Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi siswa untuk mempelajari dirinya sendiri dan alam sekitarnya.
9
Pendidikan IPA menekankan pada pemberian pengalaman secara
langsung.
Karena itu, siswa perlu dibantu untuk mengembangkan sejumlah
keterampilan proses supaya mereka mampu menjelajahi dan memahami alam sekitar.
Keterampilan proses ini meliputi
keterampilan
mengamati dengan
seluruh indera, mengajukan hipotesis, menggunakan alat dan bahan secara benar dengan selalu mempertimbangkan keselamatan kerja, mengajukan pertanyaan, menggolongkan, menafsirkan data dan mengkomunikasikan hasil temuan secara
beragam, menggali dan memilah informasi faktual yang relevan untuk menguji gagasan-gagasan atau memecahkan masalah sehari-hari.
Pada dasarnya,
pembelajaran IPA berupaya untuk membekali siswa dengan berbagai kemampuan
tentang cara “mengetahui” dan cara “mengerjakan” yang dapat membantu siswa untuk memahami alam sekitar secara mendalam.
Sesuai hakikatnya, IPA adalah ilmu pengetahuan yang terdiri dari
sekumpulan konsep, prinsip, hukum, dan teori yang dibentuk melalui proses
kreatif yang sistematis melalui inkuiri yang dilanjutkan dengan proses observasi
(empiris) secara terus menerus. IPA menggambarkan upaya manusia yang meliputi aspek mental, keterampilan, dan strategi memanipulasi dan menghitung,
yang dapat diuji kembali kebenarannya, serta dilandasi oleh sikap keingintahuan
(curiosity), keteguhan hati (courage), dan ketekunan (persistence) yang dilakukan oleh individu untuk menyingkap rahasia alam semesta.
Pokok bahasan IPA adalah alam dengan segala isinya; hal–hal yang
dipelajari adalah sebab-akibat, atau hubungan kausal dari kejadian-kejadian yang
terjadi di alam. Karena aktivitas dalam IPA selalu berhubungan dengan percobaan-percobaan yang membutuhkan keterampilan, kerajinan dan ketekunan,
maka materi dalam mata pelajaran ini tidak cukup diberikan sebagai kumpulan pengetahuan tentang benda tak hidup dan makhluk hidup saja, tetapi menyangkut
cara kerja, cara berpikir, dan cara memecahkan masalah. Sebagaimana para
ilmuwan IPA, siswa yang belajar IPA diharapkan dapat menjadi tertarik untuk memperhatikan dan mempelajari gejala dan peristiwa alam dengan selalu ingin mengetahui apa, bagaimana, dan mengapa tentang gejala dan peristiwa tersebut, berikut hubungan kausalnya.
10
Pembelajaran IPA adalah aktivitas kegiatan belajar mengajar dalam
mengembangkan kemampuan bernalar, berpikir sistematis, dan kerja ilmiah,
selain kemampuan deklaratif yang selama ini dikembangkan. Hal ini berarti, belajar IPA tidak hanya belajar dalam wujud pengetahuan deklaratif berupa fakta,
konsep, prinsip, hukum, tetapi juga belajar tentang pengetahuan prosedural berupa cara memperoleh informasi, cara IPA dan teknologi bekerja, kebiasaan bekerja
ilmiah, dan keterampilan berpikir. Belajar IPA memfokuskan kegiatan pada penemuan dan pengolahan informasi melalui kegiatan mengamati, mengukur, mengajukan pertanyaan, mengklasifikasi, memecahkan masalah, dan sebagainya.
Ciri utama yang membedakan pelajaran IPA dengan kebanyakan mata pelajaran
yang lain adalah sifatnya yang menuntut siswa untuk terlibat di dalam kegiatan metode ilmiah, dan dengan demikian mengembangkan sikap ilmiah.
Esensi
pembelajaran IPA adalah keterampilan proses. Jelas bahwa hal ini menuntut
perlunya pelajaran IPA didukung oleh kegiatan-kegiatan percobaan dan pengamatan benda dan gejala alam yang dapat memperjelas konsep-konsep yang ingin disampaikan.
Saat ini terdapat 3 hal pokok yang perlu diperhatikan dalam
pengembangan program dan pelaksanaan pembelajaran IPA, yaitu:
a. Pengembangan IPA menjadikan siswa menguasai kecakapan hidup secara luas, bukan sekedar menyerap produk ilmu pengetahuan alam.
b. Proses pembelajaran IPA adalah penyediaan kesempatan pengalaman belajar kepada siswa untuk membangun sendiri kompetensi-kompetensi yang mendukung tercapainya penguasaan kecakapan hidup (life skills).
c. Pembelajaran IPA dirancang agar siswa mengeksplorasi isu-isu ‘salingtemas’ di lingkungan kehidupan nyata.
Berdasarkan ketiga hal di atas implementasi pembelajaran IPA dapat
menggunakan pembelajaran
metodologi
konstruktivis
pembelajaran dan
yang
kontekstual.
sekarang
popular
Pembelajaran
yaitu
kontekstual
memandang siswa belajar untuk membangun kecakapannya dalam konteks kehidupan nyata. Sebagai metodologi, karena pembelajaran kontekstual juga mengimplementasikan metode-metode tertentu.
11
Menurut teori kontekstual, pembelajaran terjadi hanya apabila para siswa
memproses informasi atau pengetahuan sedemikian rupa sehingga informasi itu bermakna bagi mereka dalam kerangka acuan mereka sendiri.
Kerangka itu
bersangkut paut dengan dunia memori, pengalaman dan respon. Kontekstual
berlangsung bila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan mengacu pada permasalahan riil yang bersangkut paut dengan peran dan tanggung
jawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa maupun pekerja. Pendekatan kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan suatu
konsep belajar dimana guru menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya
dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, sementara siswa memperoleh pengetahuan dan keterampilan dari konteks yang terbatas sedikit-
demi sedikit, dan dari proses mengkonstruksi sendiri, sebagai bekal untuk memecahkan masalah dalam kehidupannya sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
Pendidikan berbasis kontekstual adalah pendidikan yang berbasis
kehidupan
nyata.
Berdasarkan
konsep
tersebut
dapat
diartikan
bahwa
pembelajaran IPA yang berbasis kontekstual adalah pembelajaran IPA yang
berada pada konteks kehidupan alam nyata siswa. Pada konsep tersebut dapat dikembangkan beberapa prinsip yang perlu diikuti dalam proses pembelajaran IPA (Susanto, 2004), yaitu; 1.
2. 3.
Pembelajaran IPA erat kaitannya dengan pengalaman alam kehidupan nyata.
Pada pembelajaran IPA siswa memecahkan masalah secara riil dan otentik, artinya materi itu ada dan terjangkau oleh pengalaman nyata siswa.
Pada pendidikan IPA guru perlu menghubungkan bahan ajar/kegiatan belajar mengajar (KBM) dengan situasi nyata.
Pada pendidikan IPA pengetahuan yang diajarkan hendaknya berhubungan erat dengan pengalaman siswa yang sesungguhnya.
Konsep-konsep materi pelajaran dalam pendidikan IPA seharusnya
ditemukan sendiri oleh siswa melalui kegiatan mereka dalam proses
pembelajaran. Dengan kegiatan ini, siswa mendapatkan pengalaman dan
12
penghayatan terhadap konsep-konsep yang diajarkan oleh guru. Selain untuk membuktikan fakta dan konsep, hal ini juga mendorong rasa ingin tahu siswa
secara lebih mendalam sehingga cenderung untuk membangkitkan siswa mengadakan penelitian untuk mendapatkan pengamatan dan pengalaman dalam proses ilmiah.
Selain itu, konsep-konsep materi dalam pembelajaran IPA seharusnya
ditekankan pada peranannya bagi kehidupan manusia yang sehari-hari
bersinggungan dengan kehidupan siswa. Misalnya, untuk mempelajari kehidupan jamur siswa diminta untuk mengamati proses pembuatan tempe, budidaya jamur merang dan lain-lain. Selain untuk menumbuhkan rasa penasaran siswa, juga dapat menumbuhkan jiwa wirausaha. Dengan mempelajarinya siswa paling tidak
memiliki keterampilan mengenai usaha yang mungkin akan berguna di masa yang
akan datang saat siswa itu telah lulus. Dia tidak perlu lagi mengemis/mencari pekerjaan, melainkan dapat berwirausaha membuka usaha sendiri. Contoh lain,
misalnya ketika mempelajari kerusakan lingkungan, siswa diminta untuk mengumpulkan informasi tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di lingkungannya baik dengan mengamati langsung ataupun dari media massa.
Setelah itu, dibuat dalam bentuk laporan tertulis dan dipresentasikan di depan kelas.
Dari satu kegiatan ini, siswa dapat memiliki banyak keterampilan
sekaligus, yaitu peka terhadap perubahan lingkungan, mengamati, melaporkan, menulis, dan berkomunikasi lisan.
Oleh karena itu didalam proses belajar mengajar perlu adanya interaksi
aktif dari guru dan siswa dalam memahami suatu pengetahuan dan salah satu bentuk interaksi tersebut yaitu dengan diterapkannya
“Learning Cycle“ atau
siklus pembelajaran Sains. “Learning Cycle“ atau siklus pembelajaran merupakan suatu proses/metode pembelajaran yang bertujuan secara tetap dengan tidak
mengubah secara spontan cara pandang seseorang terhadap suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang secara reflek mengetahui bagaimana cara pembelajaran yang efektif tanpa menimbulkan berbagai kebingungan dan kekhawatiran dan hal
inilah yang ditemukan didalam ‘siklus pembelajaran’, untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan mereka. Melalui siklus pembelajaran seseorang
13
dituntut untuk dapat melakukan eksplorasi, pengenalan suatu konsep dan dapat menerapkan dan mengaplikasikan konsep ilmu pengetahuan secara utuh. Siklus
pembelajaran merupakan suatu proses pembelajaran yang berpijak pada
teori/pengetahuan yang sudah diyakini oleh siswa sebelumnya untuk menemukan teori/pengetahuan yang baru dicapai dalam unit yang dimaksud.
Teori
/pengetahuan yang baru ini akan menjadi dasar /pijakan bagi proses/siklus belajar berikutnya sehingga proses ini membentuk siklus spiral yang terus menerus.
Di dalam siklus pembelajaran IPA, siswa harus benar-benar diberi
kesempatan untuk mengeksplorasi suatu pengetahuan melalui pemahaman konsep yang diketahui sebelumnya dan siswa diharapkan dapat menerapkan sikap ilmiahnya
dengan
melaksanakan
serangkaian
percobaan
atau
kegiatan
laboratorium sehingga mereka dapat menemukan/membuktikan konsep dan istilah yang diperkenalkan oleh guru secara utuh.
Melalui pendekatan inquiri dan eksperimen maka dapat memotivasi
siswa untuk melaksanakan penelitian ilmiah dan pendekatan ini juga cukup efektif
diterapkan untuk siswa yang kurang berpengalaman dalam melaksanakan penelitian ilmiah. Melalui pendekatan tersebut maka dapat menambah pengalaman siswa dan guru hanya sedikit memberikan arahan atau instruksi tentang variable yang akan diteliti, selebihnya siswa yang mencari jawaban atas
konsep yang diperkenalkan sehingga siswa dapat berpikir tentang apa yang
mereka lakukan dan siswa harus dapat merumuskan tujuan dan membuat suatu keputusan tentang konsep dan dapat mengaplikasikan konsep tersebut.
14
III. KESIMPULAN Dari pembahasan yang telah disampaikan di depan dapat disimpulkan
bahwa pada dasarnya ilmu pengetahuan alam atau IPA memiliki arti yang berbeda
dengan sains. Namun dalam penggunaanya di Indonesia keduanya dapat saling menggantikan yang berarti memiliki arti yang sama. Keduanya digunakan untuk
menyebut ilmu yang mempelajari alam semesta beserta isinya dan interaksi antar komponennya.
IPA mengkaji tentang makhluk hidup dan proses kehidupan, benda dan
sifat-sifatnya, energi dan perubahannya serta bumi dengan alam semesta. Namun IPA tidak hanya berisikan fakta-fakta, prinsip-prinsip, teori ataupun hukum saja, melainkan mencakup juga keterampilan ilmiah atau metode ilmiah.
Selain
disebabkan fakta-fakta, prinsip-prinsip, teori-teori ataupun hukum-hukum dalam IPA diperoleh melalui langkah-langkah metode ilmiah, juga diharapkan para ilmuwan menguasai langkah-langkah ini dalam rangka mendukung perkembangan
ilmu pengetahuan alam sendiri. Sehingga sifat ilmu yang tidak statis dan selalu berkembang untuk menemukan kebenaran sejati dapat terpenuhi.
Dalam konteks pendidikan, proses pembelajaran IPA bertujuan agar
peserta didik dapat menjadi ilmuwan IPA yang sesungguhnya dalam rangka
meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu menguasai iptek. Oleh sebab itu proses pengajaran IPA di sekolah harus diubah dari paradigma lama
yang menempatkan guru sebagai pusat segala ilmu dan peserta didik sebagai “gelas kosong” yang harus diisi dengan fakta-fakta dan konsep-konsep IPA yang
sudah jadi, dengan paradigma baru yaitu dengan proses menemukan sendiri dengan langkah-langkah metode ilmiah dengan pendekatan inquiry dan konstruktivisme.
15
DAFTAR PUSTAKA Bakhtiar, A. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta. Penerbit PT RajaGrafindo Persada. Rusfidra, S. 2006. Penerapan Model Pembelajaran Jarak Jauh untuk Meningkatkan Kompetensi Guru IPA. Prosiding Seminar Nasional Model-Model Pembelajaran untuk Meningkatkan Kompetensi Guru IPA, FPMIPA UPI Bandung, 16 September 2006. Sumarna, C. 2005. Rekonstruksi Ilmu: dari Empirik-Rasional Ateistik ke Empirik Rasional Teistik. Bandung. Penerbit Benang Merah. __________. 2006. Filsafat Ilmu: Dari Hakikat Menuju Nilai. Penerbit Pustaka Bani Quraisy.
Bandung.
Suriasumantri, J.S. 1990. Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer. Jakarta. Penerbit Pustaka Sinar harapan. Susanto, P. 2004. Pembelajaran Konstruktivis dan Kontekstual sebagai Pendekatan dan Metodologi Pembelajaran Sains dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Seminar dan Workshop Calon Fasilitator Kolaborasi FMIPA UM-MGMP MIPA Kota Malang. Malang Tafsir, A. 2004. Filsafat Ilmu. Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung. Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Zuhal. 2000. Visi Iptek Memasuki Milenium Ketiga. Jakarta. Penerbit UI Press.
16