KIMIA BAHAN PANGAN
P embuatan mbuatan Rend R endang ang
“
”
Disusun Oleh :
Kelompok 4 1. Adelina Balqis
(14030654059)
2. Silvi Zuli Astutik
(14030654070)
3. Rizqika Imami Astiana
(14030654074)
4. Cesarica Oktavia Putri
(14030654078)
5. Ahmad Khoirul Aziz
(14030654084)
6. Rizka Putri Andriani
(14030654085)
PENDIDIKAN SAINS B 2014
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN IPA 2017
i
DAFAR ISI
Cover ................................................... .......................................................
i
Daftar isi .............................................. .......................................................
ii
BAB I Pendahuluan ...................................................................................
1
BAB II Isi ...................................................................................................
2
A. Pengertian Rendang .......................................................................
2
B. Proses Pembuatan Rendang ................................................. ..........
2
C. Pengaruh Kandungan Protein terhadap Perebusan Daging ............
3
D. Perubahan Sifat Kimia Protein pada Daging Selama Proses Perebusan ................................................... ....................................
4
E. Interaksi Protein pada Daging dengan Bumbu pada pembuatan Rendang..........................................................................................
7
BAB III Penutup ........................................................................................
9
A. Kesimpulan ................................................ ....................................
9
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................
10
ii
BAB I PENDAHULUAN
1
BAB II ISI
A. Pengertian Rendang
Rendang atau randang adalah masakan daging bercita rasa pedas yang menggunakan campuran dari berbagai bumbu dan rempah-rempah. Masakan ini juga merupakan salah satu contoh makanan khas daerah Sumatra yang banyak digemari oleh konsumen lokal, maupun internasional. Rendang dihasilkan dari proses memasak yang dipanaskan berulang-ulang dengan santan kelapa. Proses memasaknya memakan waktu berjam-jam (biasanya sekitar empat jam) hingga kering dan berwarna hitam pekat. Dalam suhu ruangan, rendang dapat bertahan hingga berminggu-minggu. Rendang yang dimasak dalam waktu yang lebih singkat dan santannya belum mengering disebut kalio, berwarna coklat terang keemasan.
B. Proses Pembuatan Rendang
Sebelum melakukan pembuatan rendang, diperlukan langkah untuk menentukan atau memilih bahan yang akan digunakan. Bahan utama yang digunakan dalam pembuatan rendang adalah daging. Daging merupakan produk pangan yang berasal dari hewan. Pembuatan rendang umumnya menggunakan daging sapi bagian bahu. Kualitas daging dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pada waktu hewan masih hidup maupun setelah dipotong. Faktor penentu kualitas daging pada waktu hewan hidup adalah cara pemeliharaan yang meliputi: pemberian pakan, tata laksana pemeliharaan, dan perawatan kesehatan. Kualitas daging juga dipengaruhi oleh pengeluaran darah pada waktu hewan dipotong dan kontaminasi sesudah hewan dipotong. Berikut merupakan langkah-langkah dalam pembuatan rendang: 1. Haluskan terlebih dahulu bawang merah dan putih, cabai, jahe dan lengkuas
2
2. Mulai ungkep daging sapi yang sudah dipotong-potong dengan bumbu yang dihaluskan, tunggu sampai ber uap dan daging ungkepan kering. 3. Masukan santan kental, merica bubuk, sereh, asam kandis, bunga pekak, daun jeruk, daun salam, garam dan gula pasir, kemudian aduk hingga merata, jangan lupa daun kunyit juga tapi sobek-sobek terlebih dahulu 4. Tunggu sampai santan mendidih, dan sedikit mengeluarkan minyak, kemudian kecilkan api 5. Campurkan bahan pelengkap kedalam rendang kemudian aduk lagi sampai merata 6. Usahakan terus di aduk-aduk agar rendang tidak menempel pada wajan, tunggu sampai rendang berubah warna dan mengering 7. Angkat rendang, dan siap untuk disajikan. Untuk menambah keempukan daging rendang yang kita buat usahakan daging yang sudah dipotong sebaiknya dipukul atau digeprek terlebih dahulu baru kemudian di ungkep. Dalam proses pengungkepan daging rendang yang empuk dan enak biasanya memerlukan waktu yang agak lama kurang lebih semalaman penuh atau seharian, agar bumbu yang dipakai meresap. Dalam memasak santan usahakan santan tidak pecah dan caranya dengan menggunakan gerakan memutar ke atas seperti ketika menimba.
C. Pengaruh Kandungan Protein terhadap Perebusan Daging
Proses pengolahan selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat pula menurunkan nilai gizinya. Pengolahan atau pengawetan bahan pangan berprotein yang tidak terkontrol dengan baik dapat menurunkan nilai gizi proteinnya karena protein merupakan senyawa yang reaktif. Protein dengan asam amino sebagaisisi aktif dapat bereaksi dengan komponen lain seperti gula pereduksi, polifenol, lemak, dan produk oksidasinya serta bahan kimia aditif seperti alkali, belerang oksida atau hidrogen peroksida (Muchtadi dalam Dalilah, 2006).
3
Teknik pengolahan dengan pemasakan mampu menghasilkan produk yang memiliki
cita
rasa
yang
luar
biasa
dibandingkan
dengan
teknik
lain
(Winarno,1993). Namun demikian Karmas dan Harris dalam Dalilah (2006) menyatakan bahwa pengolahan dengan panas menyebabkan gizi menurun bila dibandingkan
dengan
bahan
segarnya.
Pemanasan
selama
pemasakan
menghasilkan perubahan pada penampilan dan bahan-bahan fisik dari jaringan otot. Pemanasan membuat jaringan otot pada daging terputus sehingga semakin lama proses perebusan semakin banyak jaringan ikat pada otot yang teputus sehingga tekstur daging menjadi lebih empuk. Pemanasan diatas 60oC menyebabkan molekul nutrien seperti protein, karbohidrat, lemak, dan asam nukleat tidak stabil (Hawab dalam Dalilah, 2006). Pemasakan daging dengan suhu 50oC menyebabkan α-aktinin, protein yang paling labil menjadi tidak larut. Miosin menjadi tidak larut pada saat suhu pemasakan mencapai 55oC kemudian aktin menjadi tidak larut pada saat suhu pemanasan mencapai 70-80oC. Miosin dan troponin merupakan protein yang paling tahan panas dan menjadi insoluble pada suhu 80oC. Komponen protein dengan berat molekul 30.000Da jumlahnya meningkat selama pemanasan, hal ini kemungkinan karena terjadinya aktivasi panas dari protease calsium – activated . Kasir (1999) menyatakan bahwa pemanasan (perebusan dan penggorengan) yang dilakukan secara berlebihan atau waktu yang lama tanpa penambahan karbohidrat, mengakibatkan nilai gizi protein akan berkurang karena terbentuknya ikatan silang dalam protein. Menurut Kasir (1999) perebusan yang dilakukan pada suhu 65oC-70oC selama ± 20 menit untuk daging sapi dapat menyebabkan protein yang terkandung dalam daging keluar dan larut dalam air perebusan.
D. Perubahan Sifat Kimia Protein pada Daging Selama Proses Perebusan
Pengolahan pada bahan makanan khususnya daging proses pemanasanlah yang merupakan proses yang paling banyak diterapkan dan dipelajari di lingkungan sekitar kita ini. Menurut Purnomo (1997) pengolahan daging dengan menggunakan suhu tinggi akan menyebabkan denaturasi protein sehingga terjadi
4
koagulasi dan menurunkan solubilitas atau daya kemampuan larutnya akan menurun. Proses pemasakan cepat akan membuat daging menjadi liat karena selama pemanasan terjadi denaturasi protein dan denaturasi collagen, yang diikuti dengan penyusutan dan penegangan jaringan ikat, sehingga daging menjadi liat. Peliatan terjadi saat protein mengalami denaturasi pada suhu 50-80ºC. Denaturasi pertama terjadi pada suhu 45ºC yaitu denaturasi miosin dengan adanya pemendekan pada otot. Denaturasi maksimal terjadi pada suhu 50-55ºC atau biasa disebut Aktomiosin dan protein sarkoplasma pada 55-65ºC (Davidek et al., 1990). Dari nilai gizinya denaturasi parsial protein sering meningkatkan daya cerna dan ketersediaan biologisnya. Pemanasan yang moderat akan meningkatkan daya
cerna
protein
tanpa
menghasilkan
senyawa
toksik,
juga
dapat
menginaktivasi beberapa enzim 9 protease, lipase, lipoksigenase, amilase, polifenoloksidase,
enzim
oksidatif
dan
hidrolitik
lainnya.
Jika
gagal
menginaktivasi enzim-enzim ini maka akan mengakibatkan off flavour, ketengikan, perubahan tekstur, dan perubahan warna bahan pangan selama penyimpanan. Oleh karena itu, sering dilakukan inaktivasi enzim dengan menggunakan pemanasan sebelum penghancuran. Perlakuan panas yang moderat juga berguna untuk menginaktivasi beberapa faktor antinutrisi seperti enzim antitripsin dan pektin (Fennema, 1996). Perubahan tekstur pada daging yang memiliki jaringan ikat (collagen) yang banyak selama proses pemanasan yang diperpanjang disebabkan oleh perubahan collagen menjadi gelatin selama pemanasan. Faktor lain pada perubahan tekstur daging adalah waktu pemanasan, suhu, dan jumlah collagen yang ada pada daging. Proses pengempukan atau collagen terhidrolisa menjadi gelatin terjadi bila suhu pemasakan mencapai lebih dari 75ºC. Hal ini dapat dilihat pada steak sirloin yang kandungan jaringan ikatnya sedikit dan biasanya dimasak dengan cara dipanggang/grill akan menjadi agak liat karena waktu untuk memasaknya tidak terlalu lama sehingga suhu dimana collagen menjadi empuk tidak tercapai dan myofibriliar akan menjadi liat (Feiner, G., 2006). Selain itu Boulton & Harris (1972) menyatakan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh
5
daging dalam mengikat air selama daging mendapat pengaruh kekuatan dari luar, seperti tekanan, pemanasan, penggilingan dan pemotongan daging disebut dengan daya ikat air atau water holding capacity (WHC). Penurunan WHC pada pemanasan mencapai suhu 80°C berhubungan dengan berkurangnya grup asidik. Hilangnya grup asidik akan meningkatkan pH daging, sehingga titik isoelektrik daging berubah dan berada pada pH yang lebih tinggi. Soeparno (2005) mengemukakan bahwa daya ikat air dipengaruhi oleh bangsa, proses rigormortis, temperatur, kelembaban, pelayuan daging, tipe dan lokasi otot, fungsi otot, pakan dan lemak intramuskuler. Lama pemasakan juga mempengaruhi nilai pH daging dan menyebabkan menyebabkan
proses
denaturasi
protein
daging.
Penurunan
pH
akan
mempengaruhi sifat fisik daging. Laju penurunan pH otot yang cepat akan mengakibatkan rendahnya kapasitas mengikat air, karena meningkatnya kontraksi aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian akan memeras cairan keluar dari dalam daging. Proses pemanasan dapat mengakibatkan terjadinya denaturasi protein pada daging yang menyebabkan perubahan pada struktur daging yaitu menjadi kering, kandungan air berkurang, dan menjadi kenyal. Pemanasan dapat menyebabkan serabut protein daging menjadi liat oleh karena koagulasi dan penyusutan protein myofibrillar dan jaringan ikat. Proses pemasakan cepat akan membuat daging menjadi liat karena selama pemanasan terjadi denaturasi protein dan denaturasi collagen, yang diikuti dengan penyusutan dan penegangan jaringan ikat, sehingga daging menjadi liat. Peliatan terjadi saat protein mengalami denaturasi pada suhu 50-800C.Perubahan struktur ini tergantung pada waktu pemanasan, suhu, dan jumlah collagen yang ada pada daging. Proses pemasakan yang cukup lama hingga mencapai suhu yang melampaui suhu penyusutan collagen (60-650C), akan membuat daging menjadi empuk karena collagen diubah menjadi gelatin. Panas tersebut digunakan untuk mengacaukan ikatan hidrogen dan interaksi hidrofobik non polar. Hal ini terjadi karena suhu tinggi dapat meningkatkan energi kinetik dan menyebabkan molekul penyusun protein bergerak atau bergetar
6
sangat cepat sehingga mengacaukan ikatan molekul tersebut. Pemanasan akan membuat protein bahan terdenaturasi sehingga kemampuan mengikat airnya menurun. Hal ini terjadi karena energi panas akan mengakibatkan terputusnya interaksi non-kovalen yang ada pada struktur alami protein tapi tidak memutuskan ikatan kovalennya yang berupa ikatan peptida. Proses ini biasanya berlangsung pada kisaran suhu yang sempit.
E. Interaksi Protein pada Daging dengan Bumbu dalam pembuatan Rendang
Marinasi adalah suatu proses perendaman daging pada suatu bahan atau bumbu dalam waktu tertentu sehingga terjadi proses transport pasif dari bahan ke dalam daging secara osmosis (Nurwantoro, Legowo, & Purnomoadi, 2012). Terjadinya proses osmosis dikarenakan adanya penggunaan garam di bumbu sehingga mengakibatkan kondisi di luar daging memiliki konsentrasi yang tinggi. Hal
ini
menyebabkan
daging
mengalami
tekanan
osmosis
dan
terjadi
proses salting in. Penggunaan metode ini dalam memasak rendang dapat meningkatkan kualitas sensori seperti cita rasa, tekstur, dan memperbaiki sifat fisik daging, serta memperpanjang masa simpan. Pada proses pemasakan terjadi perubahan warna daging menjadi hitam karena terjadinya
reaksi Maillard .
Daging
memiliki
pigmen
mioglobin
yang
mengandung senyawa Fe2+ yang menghasilkan warna merah pada daging. Apabila terkena panas maka akan teroksidasi sehingga mengakibatkan perubahan Fe2+ menjadi Fe3+. Perubahan ini unsur tersebut mengakibatkan daging berwarna cokelat karena adanya pigmen metmioglobin sehingga mengakibatkan daging berwarna kecokelatan (Belitz, Grosch, & Schieberle, 2009). Selain perubahan warna, pemasakan dengan waktu yang cukup lama juga dapat mengakibatkan tekstur
daging
menjadi
empuk.
Metode
pemasakan
rendang
termasuk
dalam brasing dikarenakan menggunakan waktu yang lama dengan suhu sekitar 82-88oC (Anne & Wilson, n.d). Dengan menggunakan suhu di bawah titik didih dan waktu pemasakan yang lama, kolagen akan berubah menjadi gelatin sehingga membuat tekstur daging menjadi empuk. Hal ini tidak akan terjadi apabila
7
pemasakan dilakukan dengan menggunakan suhu tinggi. Suhu tinggi akan menyebabkan pengerutan protein miofibrilar dan akan menyebabkan tekstur daging menjadi semakin keras. Selama pemasakan juga terjadi perubahan flavor pada daging. Salah satu flavor yang terbentuk selama pembuatan rendang dikarenakan oleh adanya reaksi Maillard yang merupakan reaksi antara protein daging terhidrolisa, peptida dan asam amino dengan gula pereduksi berperan penting dalam menghasilkan flavor
daging
masak.
Selain
itu
teknik
pemasakan
yang
digunakan
yaitu braising akan menyebabkan bumbu-bumbu tidak hanya terasa pada permukaan saja namun hingga ke dalam daging. Faktor penentu flavor terakhir adalah adanya marbling pada daging. Marbling pada daging akan menyebabkan kuatnya flavor pada produk rendang yang dihasilkan.
8
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Rendang adalah masakan daging bercita rasa pedas yang menggunakan campuran dari berbagai bumbu dengan proses memasak yang dipanaskan berulang-ulang hingga kering dan berwarna hitam pekat. 2. Cara membuat rendang yaitu dengan menghaluskan rempah-rempah dasar untuk diungkep bersama dengan daging sapi. Setelah itu ditambahkan santan dan beberapa bumbu masak lain dan dimasak hingga mendidih. Selanjutnya ketika santan sudah mengeluarkan minyak ditambahkan beberapa bumbu pelengkap dan diaduk-aduk hingga rendang berubah warna dan mongering. 3. Proses pengolahan protein pada perebusan daging selain dapat meningkatkan daya cerna suatu protein dapat pula menurunkan nilai gizinya. Pemanasan selama pemasakan menghasilkan perubahan pada penampilan dan bahan bahan fisik dari jaringan otot. Pemanasan membuat jaringan otot pada daging terputus sehingga semakin lama proses perebusan semakin banyak jaringan ikat pada otot yang teputus sehingga tekstur daging menjadi lebih empuk. 4. Faktor yang mempengaruhi perubahan sifat kimia protein pada daging sehingga menghasilkan tekstur empuk yaitu waktu pemanasan, suhu, dan jumlah collagen yang ada pada daging. 5. Interaksi antara protein yang terjadi dengan bumbu rendang dapat dilihat dari proses marinasi, yaitu perendaman daging dalam bumbu dengan waktu tertentu sehingga terjadi proses transport pasif dari bahan ke dalam daging secara osmosis. Pada proses pemasakan terjadi perubahan warna daging menjadi hitam karena terjadinya reaksi Maillard . Reaksi ini juga dapat mengeluarkan aroma khas daging ketika dimasak.
9
DAFTAR PUSTAKA
Dalilah, Elih. 2006. Evauasi Gizi dan Karakteristik Protein Daging Sapi dan Hasil Olahannya. Bandung : Skripsi Institut Pertanian Bogor. Kasir, W. K. 1999. Studi banding sifat kimia dan organoleptik abon sapi, ayam, kelinci. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bo gor. Nurwantoro, V., Legowo, A., & Purnomoadi, A. (2012). Pengolahan Daging dengan Sistem
Marinasi
untuk
Meningkatkan
Keamanan
Pangan
dan
Nilai
Tambah. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner , 72-76
10