Pembahasan Pada percobaan ini dilakukan pengujian aktivitas antelmintik. Antelmintik atau obat cacing adalah obat yang digunakan untuk memberantas atau mengurangi cacing dalam lumen usus atau jaringan tubuh. Antelmintik merupakan obat untuk mengurangi atau membunuh cacing dalam tubuh manusia dan hewan. Dalam hal ini termasuk semua zat yang bekerja local menghalau cacing dari saluran cerna maupun obat-obat sistematik yang membasmi cacing dari larvanya yang menghinggapi organ dan jaringan tubuh (Tjay, 2007). Dimana salah satu mekanisme kerja antelmintik adalah menyebabkan paralisis (kelumpuhan) otot cacing dari suatu bahan uji. Pada percobaan ini dilakukan pengamatan aktivitas antelmintik secara in vitro dengan berbagai konsentrasi. Percobaan ini dilakukan pada organisme yang dibuat keadaan lingkungan yang mirip dengan keadaan aslinya atau tubuh. Pengamatan aktivitas yang dilakukan dilihat dari segi perubahan kerja saraf dan otot pada cacing. Cacing yang digunakan pada praktikum ini adalah Lumbricus sp (cacing tanah) yang merupakan hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Lumbricus sp diasumsikan sama seperti cacing gelang biasa (Ascaris lumbricoides) yang menginfeksi usus halus manusia. Tidak ada perbedaan aktivitas dan efek pada cacing jantan dan betina dalam jenis ini, karena cacing ini merupakan hewan hemafrodit yang dapat memiliki dua kelamin sekaligus (hemaprodit). Ototnya terdiri dari otot melingkar (sirkuler) dan otot memanjang (longitudinal). (Soedarto, 1991) Sistem saraf annelida adalah sistem saraf tangga tali. Ganglia otak terletak di depan faring pada anterior. Ekskresi dilakukan oleh organ ekskresi yang terdiri dari nefridia, nefrostom, dan nefrotor. Nefridia (tunggal – nefridium) nefridium) merupakan organ ekskresi yang terdiri dari saluran. Annelida umumnya bereproduksi secara seksual dengan pembantukan gamet. Namun ada juga yang bereproduksi secara fregmentasi, yang kemudian beregenerasi (Viqar Z., Loh AK, 1999).
Selain Ascaris lumbricoides digunakan juga Ascaris suum (cacing pita). Cacing Pita didefinisikan sebagai cacing berkepala, beruas-ruas, panjang dan pipih seperti
pita,
hidup
di
dalam
perut,
biasanya
dianggap
sebagai
sumber
penyakit. Anggota-anggotanya dikenal sebagai parasit vertebrata dan yang paling penting cacing ini dapat menginfeksi manusia, babi, sapi, dan kerbau. Keuntungan menggunakan cacing tanah dalam percobaan adalah tidak diperlukan dua jenis cacing dari jenis kelamin yang berbeda, karena cacing tanah merupakan cacing berkelamin ganda (hemaprodit) (Onggowaluyo, 2001). Pada percobaan ini yang diamati adalah aktivitas pirantel pamoat dan NaCl fisiologis (kontrol) sebagai pembanding terhadap aktivitas sistem saraf pusat. Pirantel Pamoat diperuntukan pada cacing gelang, cacing kremi dan cacing tambang. Mekanisme kerjanya menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi imfuls, menghambat enzim kolinesterase. Absorpsi melalui usus tidak baik, ekskresi sebagian besar bersama tinja, <15% lewat urine (Onggowaluyo, 2001). Pirantel pamoat sangat efektif terhadap Ascaris, Oxyuris dan Cacing tambang, tetapi tidak efektif terhadap trichiuris. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan penerusan impuls neuromuskuler, hingga cacing dilumpuhkan untuk kemudian dikeluarkan dari tubuh oleh gerak peristaltik usus. Cacing yang lumpuh akan mudah terbawa keluar bersama tinja. Setelah keluar dari tubuh, cacing akan segera mati. Di samping itu pirantel pamoat juga berkhasiat laksans lemah. . (Tjay dan Rhardja, 2002:193). Percobaan pertama dilakukan, aktifasi cacing pada suhu 37oC, hal ini dikarenakan cacing pita hidup didalam perut babi (pathogen pada babi) dengan keadaan sistem bersuhu 37oC. Sehingga perlu dilakukan aktivasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan aslinya. Sedangkan cacing tanah tidak perlu dilakukan aktivasi karena cacing tanah sudah aktif pada suhu ruangan (± 25oC). Setelah cacing aktif, maka yang perlu dilakukan adalah menyiapkan sediaan uji, yaitu berupa pirantel
pamoat dan sediaan kontrol berupa NaCl fisiologis dengan konsentrasi yang berbeda beda. Kemudian larutan uji dituangkan kedalam cawan petri. Kedalam cawan dimasukkan seekor cacing yang akan diujikan.
Efek
Nama Sediaan Uji 15 N
Pirantel Palmoat Ps 1,25 % Pirantel N Palmoat N 0,625 % Pirantel Pf Paloat N 0,3125 % Nacl N Fisiologis
Kelompok
30 Ps
45 Ps
Cacing Waktu (menit) 60 75 90 Ps Ps Ps
M
M
M
M
M
M
M
2
Ps
Ps
Ps
Ps
M
M
M
3
Pf
Pf
Ps
M
M
M
M
4
Ps
Ps
Ps
Ps
M
M
M
5
N
N
N
N
N
N
N
6
N
N
N
N
N
N
N
7
105 M
120 M
1
Dari hasil yang diperoleh pada percobaan pengujian aktivitas antelmintik kelompok 1,3 dan 5 menggunakan jenis cacing pita (Ascaris suum) dengan larutan uji pirantel pamoat pada konsentrasi yang berbeda 1,25 %’ 0,625% dan 0,3125 % secara berturut turut adalah : 1. Hasil yang diperoleh dari kelompok 1 dengan menggunakan pirantel pamoat 1,25% Pada 15 menit pertama, cacing yang diberikan dosis 1,25% belum memberikan aktifitas yang signifikan, maka dari itu dapat dikatagorikan sebagai normal, sedangkan pada menit ke 30-90 memberikan efek cacing yang diam tidak bergerak. Hal ini dapat dipengaruhi oleh 3 kemungkinan yang dapat terjadi (normal, paralisis atau mati). Untuk memastikan cacing tersebut, hidup, paralisis atau mati,
dapat dilakukan dengan menempatkan cacing tersebut ke dalam air yang sudah dipanaskan sampai suhunya mencapai 500C. Air dengan suhu tersebut dapat meningkatkan metabolisme cacing kembali sehingga cacing bergerak dan dapat diamati keadaannya apakah normal, paralisis atau mati. Bila cacing mengalami paralysis atau lumpuh, maka ditentukan apakah cacing tersebut paralysis spastic (kaku) atau flasid (lemas). Dan setelah hal itu dilakukan, dapat dinyatakan bahwa cacing tersebut mengalami paralisis spastik, karena ia masih mampu bergerak dalam air yang dipanaskan, namun ketika diangkat, cacing tersebut diam kembali (kaku) dengan ditunjukkannya bagian ekor yang kaku pada cacing setelah diangkat dari air panas . Pengamat tidak menyimpulkan bahwa cacing tersebut bukan mengalami paralisis flasid, karena bentuk cacing yang kaku. Sedangakan pada menit 105-120 cacing pita mengalami kematian. Pada pengamatan ini dapat diambil kesimpulan bahwa waktu yang optimal untuk larutan uji yang memiliki aktivitas antelmintik adalah pada menit ke 105 dimana pada menit tersebut cacing dalam keadaan mati. 2. Hasil yang diperoleh dari kelompok 3 dengan menggunakan pirantel pamoat 0,625% Pada 15 menit pertama, cacing yang diberikan dosis 0,625% belum memberikan aktifitas yang signifikan, maka dari itu dapat dikatagorikan sebagai normal, sedangkan pada menit ke 30-75 memberikan efek cacing yang diam tidak bergerak. Setelah dilakukan pengujian dengan cara cacing yang diuji dimasukkan kedalam air panas, dan hasil yang diperoleh menyatakan bahwa cacing tersebut mengalami paralisis spastik, karena ia masih mampu bergerak dalam air yang dipanaskan, namun ketika diangkat, cacing tersebut mengalami kekauan pada bagian ototnya ditandai dengan bagian ekor yang kaku. Sedangakan pada menit 90-120 cacing pita mengalami kematian karena tidak meberikan aktivitas apapun setelah dimasukan ke dalam air panas. Pada pengamatan ini dapat diambil kesimpulan bahwa waktu yang optimal untuk larutan uji yang memiliki aktivitas antelmintik adalah pada menit ke 90 dimana pada menit tersebut cacing dalam keadaan mati.
3. Hasil yang diperoleh dari kelompok 5 dengan menggunakan pirantel pamoat 0,3125% Pada 15 menit pertama, cacing yang diberikan dosis 0,3125% memberikan aktifitas yang signifikan, dapat dinyatakan cacing tersebut sudah dalam keadaan paralisis flasid. Dengan ditandainya otot cacing yang lemas pada saat diangkat dari air panas. Kemudian pada menit 30 hingga menit ke-75 cacing dalam keadaan paralisis spastik karena ia masih mampu bergerak dalam air yang dipanaskan, namun ketika diangkat, cacing tersebut mengalami kekauan pada bagian ototnya. Dilanjutkan menit ke-90-120 cancing dalam keadaan sudah mati. Karena pada saat ditempatkan kedalam air panas cacing tidak bergerak sama sekali. Jika dilihat dari cacing yang mengalami paralisis dengan cacing yang sudah dalam keadaan mati, memiliki jarak yang cukup jauh dari menit ke 15 (paralisis flasid) hingga menit ke 90 (cacing sudah mengalami kematian). Pada pengamatan ini dapat diambil kesimpulan bahwa waktu yang optimal untuk larutan uji yang memiliki aktivitas antelmintik adalah pada menit ke 90 dimana pada menit tersebut cacing dalam keadaan mati. Selanjutnya dilakukan pengujian aktivitas antelmintik pada jenis cacing yang berbeda namun menggunakan larutan uji dan konsentrasi yang sama dengan percobaan yang sebelumnya menggunakan cacing pita.
Namun cacing yang
digunakan pada percobaan ini adalah cacing tanah (Ascaris lumbricoides) yaitu pirantel pamoat dan control pada konsentrasi yang berbeda 1,25 %’ 0,625% dan 0,3125 % . Dari hasil yang diperoleh kelompok 2,4,6 dan 7 adalah :
4. Hasil yang diperoleh dari kelompok 2 dengan menggunakan pirantel pamoat 1,25% Pada 15 menit pertama, cacing yang diberikan dosis 1,25% awalnya sudah lemas, tidak bergerak normal tetapi masih hidup hal ini menunjukkan keadaan paralisis spastik pada otot cacing. Dengan ditandainya otot cacing yang kaku pada saat diangkat dari air panas. Kemudian pada menit 30 cancing dalam keadaan sudah
mati. Karena pada saat ditempatkan kedalam air panas cacing tidak bergerak sama sekali. Jika dilihat dari cacing yang mengalami paralisis dengan cacing yang sudah dalam keadaan mati, memiliki jarak yang dekat dari menit ke 15 (paralisis flasid) sampai menit ke-30 (cacing sudah mengalami kematian). Pada pengamatan ini dapat diambil kesimpulan bahwa waktu yang optimal untuk larutan uji yang memiliki aktivitas antelmintik adalah pada menit ke 30 dimana pada menit tersebut cacing dalam keadaan mati. 5. Hasil yang diperoleh dari kelompok 4 dengan menggunakan pirantel pamoat 0,625% Pada 15 menit pertama, cacing yang diberikan dosis 0,625% dalam keadaan normal karena cacing masih dapat bergerak normal pada saat disimpan didalam media berisi pirantel pamoat. Selanjutnya pada menit ke 30 cacing dalam keadaan diam tidak bergerak, setelah diujikan kedalam air panas cacing tersebut dalam keadaan paralisis flasid sampai pada menit ke-45. Hal ini ditandai dengan otot lemas pada cacing setelah diangkat dari air panas. Setelah menit ke 60 cacing dalam keadaan parilis spastik dengan ditandai otot yang kaku pada cacing pada saat diangkat dari air panas. Kemudian pada menit 75 sampai menit 120 cancing dalam keadaan sudah mati. Karena pada saat ditempatkan kedalam air panas cacing tidak bergerak sama sekali. Jika dilihat dari cacing yang mengalami paralisis dengan cacing yang sudah dalam keadaan mati, memiliki jarak cukup jauh dari menit ke 15 (paralisis flasid) sampai menit ke-75 (cacing sudah mengalami kematian). Pada pengamatan ini dapat diambil kesimpulan bahwa waktu yang optimal untuk larutan uji yang memiliki aktivitas antelmintik adalah pada menit ke 75 dimana pada menit tersebut cacing dalam keadaan mati. 6. Hasil yang diperoleh dari kelompok 1 dengan menggunakan pirantel pamoat 0,3125%
Pada pengujian aktivitas antelmintik menggunakan larutan uji pirantel pamoat dengan dosis 0,3125%. Pada 15 menit sampai menit ke-120 cacing dalam keadaan normal karena cacing masih dapat bergerak normal pada saat disimpan didalam media berisi pirantel pamoat. Tanpa ada perubahan sepanjang interval 15 menit selama 2 jam. 7. Hasil yang diperoleh dari kelompok 7 dengan menggunakan kelompok kontrol (NaCl) Pada pengujian aktivitas antelmintik dengan menggunakan kelompok kontrol NaCl tidak terjadi perubahan yang signifikan dapat terlihat dari hasil yang diperoleh pada menit 15 sampai dengan menit ke 120 cacing yang diujikan dalam keadaan normal. Hal ini seusuai dengan literature karena pada kelompok kontrol yang tidak diberikan larutan uji tidak akan mempengaruhi paralisis otot pada cacing. Sehingga pada kelompok control tidak akan memiliki aktivitas antelmintik. Kontrol NaCl digunakan sebagai pembanding. Jika dilihat dari kedua percobaan yang menggunakan dua jenis cacing yang berbeda yaitu Ascaris suum (cacing pita) dan Ascaris lumbricoides (cacing tanah) dengan menggunakan larutan uji pirantel pamoat dosis yang berbeda. Terdapat perbedaan parameter analisa dari kedua cacing ini diakibatkan hasil pengujian yang berbeda namun tetap memperlihatkan efek antelmintik. Pada cacing Ascaris lumbricoides, cacing mengalami paralisis selama pengujian, sedangkan pada Ascaridia suum mengalami paralisis hingga lisis. Hal ini mungkin disebabkan oleh morfologi dari kedua jenis cacing yang berbeda. Jika dilihat dari hasil yang diperoleh semakin kecil konsentrasi obat maka semakin bertahan cacing tersebut terhadap kerja obat. Dimana pirantel pamoat digunakan untuk memberantas cacing gelang, cacing kremi, dan cacing tambang. Pyrantel pada umumnya berupa garam-garam tartrat, pamoat dan embonat. Garam-garam tersebut berbentuk padat, relatif stabil dalam penyimpanan, meskipun yang berbentuk cairan bila terkena sinar matahari akan mengalami fotoisomerasi, yang tidak lagi mempunyai potensi sebagai obat cacing
(Ganiswara, 1995). Pada hewan berlambung tunggal pyrantel segera diserap setelah pemberian. Kadar puncak plasma tercapai dalam 2-3 jam. Setelah memasuki tubuh pyrantel segera dimetabolismekan dan di dalam kemih tidak ditemukan senyawa pyrantel utuh. Yang diekskresikan lewat urin mencapai 40%. Garam pamoat pyrantel sulit larut di dalam air, dan hal tersebut sangat menguntungkan untuk membunuh cacing-cacing yang hidup di bagian posterior usus (Ganiswara, 1995). Pirantel pamoat menimbulkan depolarisasi pada otot cacing dan meningkatkan frekuensi impuls, sehingga cacing lisis dalam keadaan spastis. Pirantel pamoat juga berefek menghambat enzim kolinesterase, terbukti pada askaris meningkatkan kontraksi ototnya. Mirip bila asetilkholin berlebihan diberikan kepada cacing. Kemoreseptor yang terdapat pada badan-badan karotis dan aorta, ganglionganglion otonom, kelenjar adrenal dan sambungan neuromuskuler terangsang secara terus menerus hingga akibatnya terjadi kelumpuhan (nicotine-like effect ). Efek kontraktil otot-otot cacing oleh pyrantel diperkirakan 100 kali lebih besar daripada asetilkholin. Bila efek asetilkholin bersifat reversibel, tidak demikian halnya dengan efek oleh pyrantel. Sediaan pyrantel tidak dianjurkan digunakan untuk hewan yang lemah sekali. Penggunaan pyrantel bersama dengan insektisida, tranquilizer, relaxan otot, dan depresan susunan syaraf pusat tidak merupakan halangan dalam praktek (Ganiswara, 1995). Pirantel pamoat memiliki mekanisme kerja berdasarkan perlumpuhan cacing dengan jalan menghambat penerusan impuls neuromuscular. Kemudian parasit dikeluarkan oleh peristaltic usus tanpa memerlukan laksan. Resorpsinya dari usus ringan 50% zat diekskresikan dalam keadaan utuh bersama metabolitnya melalui tinja dan lebih kurang 7% dikeluarkan melalui air seni. mampu menghambat enzim,dan merusak membran (Harborne, 1987). Terhambatnya kerja enzim dapat menyebabkan proses metabolisme pencernaan terganggu sehingga cacing akan kekurangan nutrisi pada akhirnya cacing akan mati karena kekurangan tenaga. Membran cacing yang rusak menyebabkan cacing paralisis yang akhirnya mati. Adanya kemampuan untuk
mengendapkan protein pada pirantel pamoat dengan membentuk koopolimer yang tidak larut dalam air (Harborne, 1987). Selain itu juga pirantel pamoat memiliki aktivitas ovisidal, yang dapat mengikat telur cacing yang lapisan luarnya terdiri atas protein sehingga pembelahan sel di dalam telur tidak akan berlangsung pada akhirnya larva tidak terbentuk.
Banyak antelmintika dalam dosis terapi hanya bersifat
melumpuhkan cacing, jadi tidak mematikannya. Untuk
mencegah jangan sampai
parasite menjadi aktif kembali atau sisa cacing mati dapat menimbulkan reaksi alergi, maka harus dikeluarkan segera mungkin. Biasanya diberikan suatu laksan (Tan Hoan Tjay, 2007). Pirantel pamoat memiliki sifat laksan yang cukup kuat dibandingkan dengan obat lain seperti Piperazin. Piperazin pun memiliki daya resorpsi oleh usus lebih cepat dan cepat diekskresikan lewat urine. Cacing pengifeksi disaluran pencernaan membutuhkan obat yang daya absorbsinya rendah agar zat aktifnya tidak cepat terbawa dalam aliran darah sehingga cepat diekskresikan melalui urine. Sehingga pirantel pamoat merupakan pilihan pertama yang digunakan dalam sediaan antelmintik untuk penyakit infeksi cacing Ascariasis. Selain pirantel pamoat, mebendazol dan albendazol pun pilihan utama untuk mengatasi infeksi cacing Ascaris (Tan Hoan Tjay, 2007). Dari pengamatan dan penganalisisan yang telah dilakukan, terlihat bahwa pada praktikum ini jenis obat yang diuji coba adalah jenis obat antelmintik yang bekerja pada pada otot dengan target kerja transmisi neumuscular dan reaksi penghasil energi metabolik. Selain obat-obat tersebut, terdapat pula golongan lain anntelmintika yang memiliki cara kerja dan spektrum kerja yang berbeda, yaitu antelmintika yang bekerja pada produksi energi. Pada golongan ini, antelmintik bekerja menginterferensi produksi energi metabolik sehingga target kerja antelmintik adalah enzim yang memproduksi energi (fosfofruktokinase, fosfatase, fosforilase dan fumaratreduktase) dan tahap pada produksi energi (fosforilasi oksidatif, Up-take glukosa, sintesis mikrotubule, memblok asupan oksigen dan memblok transport glukosa). Sehingga dilihat dari keragaman jenis obat-obatan cacing tersebut maka pengobatan harus didasarkan atas diagnosa jenis parasit dengan jalan penelitian mikroskopis (Tjay,2007) begitu juga pada pengobatannya antelmintik
harus diberikan secara berulang karena antelmintik tidak membunuh cacing dewasa dan telur sekaligus biasanya digunakan setiap 6 bulan sekali.
Kesimpulan Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan 1. Pirantel pamoat merupakan antelmintika yang bekerja pada otot cacing. 2. Pirantel Pamoat bersifat sebagai paralisis spastik pada cacing dengan mekanisme kerjanya melumpuhkan cacing dengan cara mendepolarisasi senyawa penghambat neuromuskuler dan mengeluarkannya dari dalam tubuh 3. Pirantel pamoat merupakan obat pilihan pertama pada antelmintik
Daftar Pustaka Harborne. 1987. Metode Fitokimia, Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Terjemahan: K. Padmawinata, I. Sudiro. Institut Teknologi Bandung, Bandung. Tjay, Tan Hoan, Rahardja, Kirana, 2002, Obat – Obat Penting , PT. Elex Media Komputindo, Jakarta