BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Stroke adalah suatu penyakit kronis yang menyebabkan banyak komplikasi
potensial dan keterbatasan aktivitas pasien setelah mengalami stroke.
Stroke menjadi penyebab kematian terbesar kedua di seluruh dunia dan
berkontribusi dalam sebagian besar angka kesakitan global. Tingginya angka
kesakitan global ini disebabkan oleh ketidakmampuan atau kecacatan jangka
panjang akibat keterbatasan neurologis yang disebabkan oleh stroke itu
sendiri.
Data epidemiologi menyebutkan sekitar 10 % penderita yang mampu
bertahan hidup mendapatkan kesembuhan secara lengkap, 25% penderita
mengalami kesembuhan dengan keterbatasan minor, 40% mengalami keterbatasan
sedang-berat yang memerlukan perawatan khusus, dan 10 % memerlukan
perawatan pada pusat perawatan yang memiliki fasilitas jangka panjang
(Goldstein, 2009). Lebih dari 60 % penderita stroke mempunyai keterbatasan
dalam kegiatan komunitas serta memiliki peningkatan risiko jatuh dan
fraktur. Empat belas persen mengalami stroke kedua pada tahun pertama dan
tingkat rawat inap kembali lebih dari 30% (Goldstein, 2009). Pemulihan
setelah stroke tergantung pada keparahan dan juga dipengaruhi kondisi
komorbid seperti kelainan jantung, gangguan kognitif dan diabetes.
Kematian pada stroke perdarahan lebih tinggi dibandingkan dengan stroke
penyumbatan. Tingkat mortalitas perdarahan intraserebral sekitar 62% dalam
1 tahun, dan hanya sekitar 20% penderita yang bertahan hidup dapat
melakukan aktivitas kembali dalam 6 bulan. Setengah kematian akibat
perdarahan intraserebral (PIS) dalam 30 hari pertama terjadi pada 2 hari
pertama yang sebagian besar akibat herniasi serebri. Pada hari berikutnya,
mortalitas umumnya terkait komplikasi medis seperti pneumonia aspirasi atau
tromboemboli vena (Silverman, 2010).
Terdapat beberapa faktor prediktor primer untuk luaran perdarahan
intraserebral. Faktor tersebut adalah ukuran dan volume hematom yang lebih
besar 30 ml memiliki tingkat mortalitas yang lebih tinggi. Tingkat
kesadaran, pasien dengan Skala Koma Glasgow (SKG) < 9 dan hematom > 60 ml
memiliki tingkat mortalitas sebesar 90%. Komponen intraventrikular,
keterlibatan intraventrikel memprediksi tingkat mortalitas 43% pada 30 hari
dibandingkan 9% tanpa keterlibatan ventrikel. Lokasi lesi, lesi profunda
(batang otak, talamus) mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan hematom
subkortikal atau serebelum. Usia, usia lanjut > 80 tahun membawa risiko
lebih tinggi terjadinya mortalitas (Silverman, 2010).
Luaran PIS selain dipengaruhi volume dan lokasi perdarahan, perdarahan
itu sendiri memberikan dampak sekunder pada parenkim otak yang menjadi
faktor prognosis. Perdarahan intraparenkim menyebabkan terjadinya suatu
proses injuri otak sekunder yang berkontribusi secara substansial terhadap
morbiditas dan mortalitas setelah mengalami PIS. Dalam bank data stroke,
sepertiga pasien dievaluasi sekitar 12 jam setelah awitan PIS
supratentorial mengalami perburukan neurologis dan yang menjadi prediktor
paling kuat perburukan klinis tersebut adalah volume perdarahan, dan
implikasi injuri otak sekitar lesi yang disebabkan perdarahan luas sebagai
penyebab primer perburukan klinis fase lanjut setelah PIS. Perburukan ini
dapat terjadi akibat injuri jaringan primer atau akibat penekanan jaringan
otak yang terkait edema serebri. Perluasan hematoma dini yang terjadi pada
30 % pasien yang dilakukan pemeriksaan sken dalam 3 jam setelah awitan
merupakan penyebab utama perburukan klinis selama fase hiperakut PIS.
Patogenesis proses ini kurang dimengerti, namun tidak berkaitan dengan
hipertensi yang ekstrim (Mayer et al., 1998).
Studi yang dilakukan Butcher et al. pada tahun 2004 menegaskan bahwa
volume edema sekitar hematom meningkat dalam 24 jam pertama setelah
serangan. Volume edema mengalami peningkatan pada periode subakut. Analisis
multivariat mengkonfirmasi bahwa edema relatif independen terhadap volume
perdarahan dan waktu dilakukan imajing. Luaran stroke selain tergantung
pada luas perdarahan atau klinis neurologis seperti dijelaskan di atas,
juga dipengaruhi oleh parameter fisiologis.
Menurunnya kematian dini pada penderita stroke disebabkan pemantauan
dan pengendalian kelainan parameter fisiologis seperti hipotensi,
hiperglikemia, hipoksia, pireksia dan hidrasi pada fase akut. Pemantauan
parameter fisiologis akut bertujuan untuk mempertahankan homeostasis
fisiologis dan juga menurunkan perburukan neurologis sehingga mampu bekerja
sebagai neuroprotektor yang potensial dalam memperbaiki viabilitas jaringan
neuron iskemik (Bhalla et al., 2001). Penelitian tentang status hidrasi
pasien sangat sedikit dibandingkan parameter fisiologis yang lainnya.
Mekanisme pasti bagaimana status hidrasi mempengaruhi luaran klinis pasien
stroke akut tidak jelas. Hubungan antara status hidrasi dengan mortalitas
dan morbiditas masih kontroversial.
Penilaian status hidrasi menggunakan beberapa alat ukur mencakup ukuran
klinis, hematologi, urin dan bioelektrik, namun tidak ada sebagai baku
standar. Osmolaritas merupakan metode yang umum digunakan dan valid dalam
penentuan hidrasi (Rodriguez et al., 2009). Rodriguez et al. pada tahun
2009 menyatakan bahwa pasien usia lanjut yang menderita stroke iskemik akut
atau transient ischemic attack (TIA) memiliki kadar osmolalitas plasma yang
tinggi, dimana hal ini menegaskan terjadi penurunan volume plasma.
Peningkatan osmolaritas plasma ini merupakan fenomena dini dan faktor yang
memiliki peranan dalam iskemia otak. Kafri et al. pada tahun 2010
menyimpulkan bahwa dehidrasi adalah kejadian pasca stroke dini yang dapat
memprediksi status fungsional atau mortalitas saat keluar rumah sakit.
Terdapat sedikit penelitian yang memperlihatkan bahwa peningkatan
osmolaritas plasma memiliki mortalitas yang tinggi dan luaran fungsional
yang buruk. Bhalla et al. pada tahun 2000 dalam studi retrospektif
membuktikan bahwa peningkatan osmolaritas plasma lebih dari 296 mOsm/kg
saat awal secara independen berhubungan dengan mortalitas tinggi dalam
periode 3 bulan. Bertentangan dengan pernyataan tersebut, dua studi berbeda
yang dilakukan oleh Seo W dan Oh H pada tahun 2007 dan 2009 yang menghitung
osmolaritas plasma awal saat masuk rumah sakit tidak menemukan osmolaritas
sebagai prediktor fisiologis stroke perdarahan dalam aspek mortalitas,
gangguan fungsional atau gangguan kognitif. Hal serupa dikemukan juga oleh
O'Neil et al. pada tahun 1992, bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna
antara osmolaritas plasma dengan mortalitas dan angka bertahan hidup.
Pernyataan tersebut di atas menekankan sedikitnya jumlah penelitian
yang mencari hubungan osmolaritas plasma dengan luaran klinis stroke
terutama stroke perdarahan akut dan hubungan yang didapatkan dalam beberapa
penelitian masih kontroversial. Untuk itu penelitian ini bertujuan mencari
hubungan kadar osmolaritas plasma awal tinggi sebagai prediktor luaran
stroke perdarahan akut untuk mendukung hasil penelitian yang dilakukan
Bhalla et al.(2000).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah kadar osmolaritas plasma awal yang tinggi sebagai prediktor
luaran buruk stroke perdarahan intraserebral?
1.3 Tujuan Penelitian
Mengetahui kadar osmolaritas plasma awal yang tinggi sebagai prediktor
luaran buruk stroke perdarahan intraserebral
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Khusus
Penelitian ini diharapkan dapat membuktikan bahwa kadar osmolaritas
plasma awal dapat sebagai prediktor luaran klinis stroke perdarahan
intraserebral akut sehingga dapat meningkatkan pemahaman peranan
osmolaritas plasma pada patogenesis kerusakan sel neuron dan perburukan
stroke perdarahan selama perawatan, dan diharapkan dapat menjadi data dasar
untuk penelitian selanjutnya dalam rangka meningkatkan pengetahuan di
bidang neurologi
1.4.2 Manfaat Umum
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dalam
pengambilan keputusan untuk pemeriksaan, diagnostik, dan penatalaksaan
stroke pada masa depan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Prognosis dan Prediktif Pendarahan Intraserebral
Luaran stroke dipengaruhi oleh heterogenitas gejala stroke dan tingkat
keparahannya, sehingga terdapat berbagai kategori pengukuran luaran stroke.
Berdasarkan World Health Organization (WHO), skala luaran dicirikan dengan
pengukuran impairments, disabilities dan handicaps. Impairment merupakan
akibat fisik disfungsi organ spesifik, disabilities mengacu pada kesulitan
pasien menjalani aktivitas normal akibat keterbatasannya, dan handicap
merujuk pada pandangan sosial terhadap ketidakmampuan penderita atau
bagaimana stroke mempengaruhi peran sosial, profesi individu atau keluarga.
Pada stroke, impairment sering dirangkum dalam suatu skala ordinal seperti
the National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS). Disabilities
umumnya terkonsep sebagai status fungsional dan dinilai dengan basic atau
Instrumental Activities of Daily Living (IADLs) scale seperti Barthel Index
(BI). Handicap, walaupun sangat jarang dinilai pada uji klinis stroke,
sering diukur menggunakan Health-Related Quality of Life (HRQL) scales
(Goldstein, 2009).
Berdasarkan studi populasi, prognosis jangka pendek pasien dengan PIS
adalah buruk, dimana lebih dari 40% meninggal dalam bulan pertama (Warlow
et al., 2007). Beberapa studi berbasis rumah sakit berusaha mengembangkan
model untuk memprediksi prognosis berdasarkan karakteristik pasien saat
datang, namun sebagian besar tanpa kecuali tidak tervalidasi eksternal.
Suatu model prognostik yang akurat dapat secara teori membantu dalam
memutuskan terapi, khususnya dalam menyeleksi pasien yang akan mendapatkan
luaran lebih baik dengan perawatan intensif dan dapat memberikan informasi
kepada sejawat tentang kemungkinan pemulihan pasien. Tinjauan sistematika
menyeleksi 18 studi berbasis rumah sakit yang dilakukan sebelum tahun 2004
menemukan kriteria penting. Model prediktif menyimpulkan faktor yang mudah
digunakan dan dapat memperkirakan kemungkinan tinggi terjadinya kematian
atau ketergantungan pada pasien digabung dengan faktor yang memberikan
prediksi kemungkinan sangat tinggi untuk terjadinya luaran yang buruk
seperti tingkat kesadaran saat datang, usia, volume perdarahan, dan
keterlibatan ventrikel. Namun, diantara 10 model prognosis yang dapat
mengidentifikasi pasien dengan kemungkinan meninggal atau luaran buruk
lebih dari 90%, hanya dalam proporsi kecil pasien yang dalam kenyataannya
memiliki kombinasi karakteristik faktor prognosis buruk. Keakuratan
prediksi kematian dalam 30 hari juga jauh dari ideal. Karakteristik saat
datang yang jelas saja seperti digunakan dalam model prognostik dewasa ini,
tidak dapat memberikan prediksi akurat luaran pada penderita PIS. Suatu
studi yang dipublikasikan setelah dilakukan tinjauan sistematik mengklaim
bahwa kadar D-dimer atau troponin yang tinggi, kadar kolesterol atau
trigliserida yang rendah, merupakan faktor independen luaran buruk, namun
lebih jauh temuan ini masih memerlukan konfirmasi (Warlow et al., 2007).
Salah satu cara untuk memperbaiki model dalam memprediksi luaran buruk
PIS adalah dengan membatasi analisis pada subkelompok PIS, misalnya
berdasarkan lokasi atau penyebab perdarahan, meskipun tetap tidak
tervalidasi eksternal. Kemungkinan pendekatan yang akan lebih berhasil
adalah berbeda jauh dari karakteristik saat pertama kali datang dan lebih
mendasari pada perjalanan klinis dalam 24 jam pertama, karena perluasan
pendarahan terjadi dalam periode tersebut. Penentu tambahan pada perjalanan
klinis awal yang mungkin dimasukkan dalam model prognosis adalah demam dan
perkembangan edema sekitar perdarahan.
Sekarang beberapa model prognosis PIS sudah berkembang dan divalidasi.
Model prognosis tersebut menemukan beberapa karakteristik yang terkait
luaran, diukur dalam mortalitas dan luaran fungsional. Model prognosis
yang ada bervariasi dalam kompleksitasnya, mencakup derajat hidrosefalus,
perdarahan intraventrikel, kondisi neurologis, parameter klinis dan
laboratorium,serta temuan neuroimajing. Walaupun beberapa profil klinis dan
radiologis dapat memprediksi mortalitas dan ketergantungan secara
konsisten, namun studi yang melakukan validasi faktor prognostik ini hanya
berupa bukti klas III atau IV saja (Godoy et al., 2006). Diantara beberapa
variasi karakteristik seperti yang dibahas pada alinea diatas, tingkat
kesadaran saat masuk rumah sakit (dinilai dengan SKG) dan volume hematom
merupakan prediktor luaran PIS yang kuat, dengan faktor lain seperti adanya
perdarahan intraventrikel yang juga berkaitan dengan model luaran lainnya
(Hemphill et al., 2001). Penelitian yang dilakukan Broderick et al., pada
tahun 1993 menyatakan bahwa volume perdarahan intraserebral merupakan
prediktor luaran 30 hari paling kuat untuk PIS spontan pada semua lokasi.
Model mortalitas 30 hari yang menggunakan tiga kategori volume pendarahan
dan dua kategori nilai Skala Koma Glasgow (SKG), memprediksi luaran dengan
sensitivitas dan spesifisitas 97% (Broderick et al., 1993).
2.2 Volume Perdarahan sebagai Prediktor Luaran Stroke Perdarahan
Intraserebral
Volume perdarahan intraserebral merupakan prediktor luaran 30 hari
paling kuat untuk semua lokasi perdarahan intraserebral spontan. Broderick
et al., pada tahun1993 menggunakan model mortalitas 30 hari, menggunakan
tiga kategori untuk volume pendarahan (<30 cm3, 30-60 cm3, > 60 cm3) dan
dua kategori untuk nilai Skala Koma Glasgow (SKG) yaitu <8 dan >9, dapat
memprediksi secara tepat dengan sensitivitas dan spesifisitas 97%. Kesamaan
model tersebut dengan studi Tuhrim et al., mengindikasikan bahwa kedua
model dapat diaplikasikan pada populasi lain dengan PIS.
Prediktor klinis luaran stroke seharusnya mudah untuk digunakan.
Walaupun banyak CT sken yang memiliki kemampuan untuk memperlihatkan dan
mengukur area pendarahan, namun proses tersebut memakan waktu untuk
menganalisis hasil pencitraan. Untuk klinikus dalam membuat keputusan cepat
dan tepat bagi pasien dengan pendarahan intraserebral, memerlukan metode
ideal yang dapat memberikan perkiraan ukuran volume pendarahan mendekati
sebenarnya secara cepat. Oleh karena itu, Broderick et al., pada tahun 1993
membandingkan volume pendarahan yang diperkirakan menggunakan formula untuk
pendarahan elips dengan metode analisis hasil pencitraan komputerisasi.
Volume perdarahan parenkim yang letal bervariasi sesuai lokasi. Pada
penelitian Broderick et al., pada tahun 1993, semua pasien dengan
perdarahan pons lebih dari 5 cm3 atau perdarahan serebelum lebih besar dari
30 cm3 meninggal dalam 30 hari. Sebelas pasien dengan perdarahan dalam
dengan volume perdarahan awal kurang dari 30 cm3 yang meninggal, 7 orang
dengan perdarahan talamus. Jumlah yang sedikit perdarahan pada masing-
masing lokasi adalah alasan lokasi bukan merupakan prediktor mortalitas
yang bermakna pada analisis multivariat regresi logistik. Volume perdarahan
intraventrikel merupakan prediktor independen mortalitas 30 hari yang kuat.
Namun kesulitan mengukur volume darah intraventrikel secara akurat pada
gambaran CT membatasi penggunaannya sebagai prediktor praktis mortalitas
(Broderick et al., 1993).
2.2.1 Pembentukan Edema pasca Perdarahan Intraserebral
Apakah iskemia berpengaruh dalam pembentukan edema setelah perdarahan
intraserebral masih kontroversial. Percobaan menunjukkan bahwa CBF
(Cerebral Blood Flow) menurun sekitar hematom. CBF sekitar hematoma turun
mencapai 25ml/100 gr/mnt namun penurunan berlangsung 10 menit dan kembali
menuju nilai dasar dalam 3 jam. Secara umum, ambang batas CBF iskemia
adalah 15-20 ml/100 gr/mnt (Xi et al., 2001). Hasil ini mengindikasikan
bahwa bahwa tingkat kritis dan durasi hipoperfusi tidak terjadi setelah PIS
dan edema otak sekitar hematoma tidak berkaitan dengan iskemia otak.
Terdapat beberapa penelitian tentang edema perihematoma, seperti yang
dikutip Xi et al., pada tahun 2001, sebagai berikut. Wagner et al., pada
tahun 2007, mengukur kadar ATP dan phosphocreatine pada zona edema
perihematoma saat 1, 3, 5, dan 8 jam setelah PIS. Edema otak sekitar
pendarahan yang berat terjadi pada semua titik waktu, namun kadar ATP tetap
dalam jangkauan normal dan kandungan phosphocreatine otak meningkat seiring
waktu, hal ini mengindikasikan bahwa defisit energi tidak terjadi pada
daerah sekitar pendarahan.
Lokasi anatomi pendarahan intrakranial merupakan faktor utama yang
mempengaruhi CBF. Pendarahan subdural menimbulkan penurunan CBF yang
bermakna, namun PIS sendiri menyebabkan penurunan CBF ringan-sedang sekitar
perdarahan. Injuri iskemia otak terjadi pada korteks serebri setelah
perdarahan subdural, tetapi infark sekitar perdarahan (perihematom) terjadi
setelah PIS. Walaupun PIS tidak menyebabkan iskemia otak bermakna, namun
menimbulkan edema otak yang bermakna (Xi et al., 2001).
Perkembangan edema perihematom melibatkan kerusakan endotelium pembuluh
darah. Besi adalah katalis peroksidasi lipid yang kuat, dan pelepasan zat
besi (produk pemecahan hemoglobin) setelah sel darah merah mengalami lisis
berperan dalam terganggunya fungsi Sawar Darah Otak (SDO). Oksihemoglobin
dapat menyebabkan apoptosis sel endotelium, dan diduga melalui radikal
bebas yang merusak jaringan dinding endotelium pembuluh darah (Xi et al.,
2001).
Mekanisme kedua yang berperan dalam pembentukan edema setelah eritrosit
mengalami lisis adalah kerusakan langsung sel neuron dan astrosit yang
berfungsi untuk mempertahankan homeostasis ekstraseluler. Hemoglobin
menyebabkan cedera otak melalui hasil degradasinya, karena penelitian
sebelumnya menyatakan bahwa produk tersebut berperan utama dalam
pembentukan edema. Trombin juga berperan pada cedera otak dan pembentukan
edema setalah PIS. Sebagian besar perhatian lebih tertuju pada pembentukan
trombin selama proses pembekuan darah. Kenyataannya adalah proses lisis
eritrosit menyebabkan kerusakan SDO, sehingga molekul besar seperti inulin
bersama protrombin masuk kedalam otak setelah eritrosit mengalami lisis.
Ketersediaan faktor X yang berasal dari masuknya faktor X dari darah atau
melalui ekspresi faktor X oleh sel parenkim otak yang bersamaan dengan
influks protrombin akan menyebabkan pembentukan trombin di dalam otak dan
juga menimbulkan edema (Xi et al., 2001). Hal tersebut didukung percobaan
pada babi yang mengkonfirmasi bahwa heparin intrahematom dapat mencegah
pembentukan edema perihematom hiperakut (Gebel et al., 2002). Suatu
penelitian prospektif yang menganalisis efek trombositopatia dan
trombositopenia dengan PIS spontan menunjukkan adanya hubungan antara
disfungsi platelet dan atau trombositopenia dengan peningkatan volume
perdarahan (Gebel et al., 2002).
2.2.2 Perjalanan Klinis Edema Serebri pada Perdarahan Intraserebral
Suatu penelitian prospektif deskriptif analisis pertama berbasis
populasi menganalisis perjalanan klinis edema perihematom hiperakut dengan
perdarahan intraserebral spontan hiperakut. Penelitian tersebut
menyimpulkan terjadi peningkatan median volume edema relatif sebesar 75%
dan peningkatan median volume edema absolut sekitar 100% pada 24 jam
pertama setelah PIS (Gebel et al., 2002). Pasien dengan volume edema
relatif paling kecil akan mengalami peningkatan paling besar selama
pemantauan, peningkatan edema ini terjadi dari 1 sampai 20 jam setelah
awitan. Hubungan seperti itu tidak ditemukan pada volume edema absolut.
Setelah dilakukan pengendalian variabel volume perdarahan, edem perihematom
tetap konstan dalam jam pertama dan kemudian mengalami perluasan yang
bermakna selama 20 jam (Gebel et al., 2002).
Pada pasien dengan PIS spontan nonkoagulopati, pembekuan awal
perdarahan dan pembentukan edem hiperakut tidak mempengaruhi tingkat
perdarahan ulang secara bermakna. Hal ini juga menegaskan bahwa tidak
adanya edema perihematom pada gambaran CT sken awal, tidak dapat dikatakan
secara sederhana akibat pendarahan aktif karena perluasan perdarahan
mengurangi tepi edema (Gebel et al., 2002).
2.3 Cedera Neuron paska Perdarahan Intraserebral
Perdarahan akan menyebabkan terjadinya edema dan kerusakan neuron pada
parenkim sekitar perdarahan. Cairan mulai terkumpul segera pada area
sekitar hematoma dan edema umumnya menetap sampai 5 hari, walaupun dapat
terlihat lebih lama sekitar 2 minggu setelah stroke (Qureshi et al., 2001).
Aliran darah sekitar lesi perdarahan cenderung kembali normal setelah
pada awalnya mengalami penurunan ketika terbentuk edema selama 3 hari
pertama pasca perdarahan, dan perluasan edem berhubungan dengan penurunan
perfusi awal dan volume reperfusi jaringan (Mayer et al., 1998).
Perdarahan intraparenkim menyebabkan cedera otak sekunder yang berperan
penting terhadap morbiditas dan mortalitas setelah PIS. Pada Stroke Data
Bank, sepertiga pasien yang dievaluasi diperkirakan sekitar 12 jam setelah
awitan PIS supratentorial mengalami perburukan klinis neurologis. Prediktor
paling kuat perburukan klinis adalah volume perdarahan dan terjadinya
cedera otak sekitar lesi yang disebabkan perdarahan yang luas adalah
penyebab primer perburukan klinis lanjut setelah terjadi PIS. Perburukan
klinis dapat disebabkan karena cedera otak primer atau pergeseran jaringan
otak terkait edema serebri (Mayer et al., 1998).
Perluasan hematoma dini terjadi pada 30% pasien yang dilakukan
pemeriksaan CT sken 3 jam setelah awitan merupakan penyebab utama
perburukan klinis selama fase hiperakut PIS. Patogenesis kondisi ini kurang
dimengerti, namun tidak terkait dengan hipertensi yang ekstrem (Mayer et
al., 1998). Penelitian Mayer et al., pada tahun 1998, pada 5 pasien dengan
pemeriksaan CT sken dalam 3 jam sejak awitan didapatkan perluasan
perdarahan pada 1 pasien dan jelas berhubungan dengan penambahan beberapa
titik-titik pendarahan yang bertemu pada tepi pembekuan pada daerah dengan
aliran lambat di sekitar lesi. Hasil ini menegaskan bahwa perluasan
perdarahan dini terjadi akibat dari perdarahan sekunder yang menuju
jaringan nekrosis dan kongesti disekitar lesi, dibandingkan perdarahan yang
terus berlangsung pada tempat awal ruptur arteriol. Pernyataan ini didukung
dengan penelitian histopatologi yang mendapatkan hubungan antara morfologi
clot multifokal yang ireguler dengan perluasan perdarahan (Mayer et al.,
1998). Oleh karena itu, terjadinya perburukan pada fase awal atau lanjut
setelah terjadi perdarahan merupakan manifestasi cedera jaringan otak
sekitar lesi.
Penurunan CBF primer menuju tingkat iskemia terjadi pada bagian otak
yang paling dekat dengan massa lesi intraparenkim akut. Penurunan CBF awal
ini berkaitan dengan gangguan mikrovaskular akibat penekanan jaringan lokal
dan berlangsung singkat serta membaik dalam beberapa menit sampai beberapa
jam. Edema yang terjadi minimal pada tipe kerusakan ini. Daerah jaringan
nekrosis dan edema yang lebih perifer setelah PIS berkaitan dengan kongesti
jaringan, kerusakan SDO dan pendarahan sekunder dari kapiler dan venula
(Mayer et al., 1998).
Sebagian besar edema terkait PIS akibat dari bocornya protein serum dan
cairan edema vasogenik yang berasal dari gumpalan darah ke jaringan
sekitarnya . Dalam 8 jam sejak awitan edema yang terjadi berupa edema
interstisial dan sebagai akibat dari akumulasi substansi dengan osmotik
aktif dan pergerakan air melewati SDO yang intak menuju celah ekstraseluler
(Mayer et al., 1998; Qureshi et al., 2001). Dua puluh empat sampai 48 jam
kemudian, terjadi aktivasi jalur koagulasi dan menginduksi enzim
proteolitik yang memicu respons inflamasi, menyebabkan toksisitas seluler
secara langsung, rusaknya SDO, menurunnya aktivitas metabolisme dan
penurunan CBF sekunder (Mayer et al., 1998).
Aliran darah sekitar lesi mendekati nilai paling rendah selama 24 jam
pertama setelah PIS dan normal kembali ketika edema terbentuk selama 2-3
hari kemudian. Mekanisme yang mungkin dapat menjelaskan pola ini adalah 1)
mekanisme hidrostatik, perfusi menjadi normal ketika tekanan jaringan lokal
meningkat, 2) perbaikan aktivitas metabolik serebral lokal yang tertekan
disertai CBF yang kembali normal, dan 3) resolusi vasokontriksi atau
leukostasis akibat mediator inflamasi yang dilepaskan dari bekuan (clot)
darah (Mayer et al., 1998).
Edema vasogenik dan sitotoksik selanjutnya bersamaan dengan terjadi
gangguan SDO, kegagalan pompa natrium dan kematian sel. Kematian sel neuron
pada regio sekitar hematoma terutama berupa nekrosis, dengan beberapa bukti
terbaru menyatakan kematian sel terprogram (apoptosis) berkaitan dengan
ekspresi nuclear factor ҡ B pada inti sel neuron (Qureshi et al., 2001).
2.3.1 Perdarahan intraserebral menimbulkan inflamasi pada neuron
Cedera sel neuron berhubungan dengan luaran PIS. Luaran klinis semakin
buruk dengan penambahan volume ruang residu setelah PIS berkaitan dengan
konsentrasi glutamat yang tinggi pada darah dalam 24 jam pertama setelah
awitan. Luasnya hipodensitas perihematom yang berkembang pada hari ketiga
sampai keempat berhubungan dengan tingginya konsentrasi molekul
proinflamasi dalam darah (Castillo et al., 2002). Hal ini menegaskan bahwa
eksitoksisitas dan inflamasi berperan penting sebagai penyebab cedera otak
sekunder setelah tejadi PIS.
Glutamat merupakan penanda molekular eksitotoksitas terkait iskemia
serebri. Pada stroke iskemik akut, glutamat plasma dapat menggambarkan
jumlah glutamat yang dilepaskan pada jaringan otak, karena terdapat
hubungan yang sangat bermakna di liquor cerebrospinal (LCS) (Castillo et
al., 2002). Sehingga peningkatan konsentrasi glutamat setelah PIS mendukung
dugaan iskemia pada jaringan setelah PIS. Beberapa penelitian klinis dan
percobaan meragukan peranan iskemia pada patogenesis kerusakan otak
sekunder dan edema sekitar perdarahan. Penurunan aliran darah otak
disebabkan oleh penekanan kapiler dan arteriol dibawah nilai ambang batas
menimbulkan lesi iskemia pada neuron. Efek penekanan pada pembuluh darah
sekitar perdarahan bersifat sementara karena hal ini terjadi sebagai efek
proteksi sistem autoregulasi dan adanya sistem kolateral yang adekuat. Pada
penelitian Castillo et al., pada tahun 2002, didapatkan konsentrasi
glutamat pada saat masuk memperlihatkan hubungan yang sedang dengan ukuran
hematoma dan efek glutamat pada ukuran kavitas residu bersifat independen
terhadap volume awal perdarahan. Berdasarkan penelitian ini, diduga
glutamat menyebabkan cedera jaringan sekunder akibat mekanisme lain selain
iskemia.
Cedera sel neuron sekunder merupakan akibat pembentukan trombin yang
dapat meningkatkan terjadinya kerusakan eksitoksisitas, dimana kerusakan
ini dapat dihambat dengan pemberian antagonis NMDA (N-methyl-D-aspartate).
Kekuatan hubungan konsentrasi glutamat dengan ukuran kavitas residu pada
PIS lobar dikarenakan densitas neuron glutaminergik yang lebih tinggi pada
korteks dan hal ini ditunjukkan pada penelitian infark kortikal.
Hubungan kadar interleukin 6, TNF α, dan ICAM-1 yang tinggi dengan
hipodensitas sekitar hematoma mendukung dugaan edema sebagai indikator
responsi inflamasi yang dipicu oleh perdarahan. Halohipodens yang terlihat
pada CT selama minggu pertama setelah perdarahan akibat edema vasogenik,
sedangkan edema sitotoksik terbatas pada jaringan perifer. Edema
perihematom merupakan penanda besarnya kerusakan otak dini serta sebagai
faktor prognostik penting untuk terjadinya lesi sekunder setelah
perdarahan. Temuan yang menarik pada penelitian Castillo et al., pada
tahun 2002 adalah besarnya respons inflamasi independen terhadap ukuran
hipodensitas perifer dan tidak berkaitan dengan volume perdarahan,
keparahan stroke dan suhu tubuh. Hasil ini menunjukkan bahwa peningkatan
suhu tubuh merupakan bagian dari reaksi fase akut dan kaskade inflamasi,
namun bukan independen terhadap cedera neuron. Temuan ini menegaskan bahwa
sitokin proinflamasi tidak secara sederhana menggambarkan kekuatan reaksi
fase akut, namun berhubungan dengan respons inflamasi pada jaringan otak.
Suatu studi histopatoplogi menemukan adanya infiltrasi leukosit
polimorfonuklear sekitar hematoma saat 2-4 hari setelah perdarahan. Data
percobaan mengindikasikan bahwa respons inflamasi ini dipicu oleh kandungan
darah dan pelepasan enzim proteolitik (Castillo et al., 2002).
Salah satu komponen kaskade koagulasi yang berkaitan secara langsung
dengan berkembangnya proses inflamasi adalah trombin. Efek ini digambarkan
melalui hubungan yang erat antara perubahan protrombin menjadi trombin dan
intensitas pembentukan edema perihematom serta penghambatan edema tersebut
oleh obat yang menghambat pembentukan trombin seperti heparin dan
trombolitik (Castillo et al., 2002).
2.3.2 Perdarahan intraserebral menginduksi stress oksidatif
Stress oksidatif dengan cepat diinduksi pada substansia alba
perihematom setelah perdarahan yang dibuktikan dengan pembentukan karbonil
protein dan regulasi ekspresi gen heme oxygenase-1 (HO-1). Pemberian plasma
kedalam substansia alba hemisfer serebri juga menginduksi pembentukan
karbonil protein yang mengindikasikan bahwa komponen plasma sendiri dapat
memicu stress oksidatif. Hal ini berkaitan dengan beberapa mekanisme
seperti stimulasi reseptor yang terinduksi glutamat menimbulkan peningkatan
kadar kalsium intraseluler atau memungkinkan interaksi antara
halotransferin dengan trombin yang menyebabkan deposisi besi intraseluler
(Wagner, 2007). Stress oksidasi dan induksi HO juga terjadi pada substansia
grisea setelah perdarahan. Stres oksidasi ini berkaitan dengan kerusakan
DNA setelah terjadi perdarahan.
2.3.3 Perdarahan intraserebral memicu aktivasi Nuclear Factor-κ B
Beberapa bukti menunjukkan bahwa PIS menginduksi perubahan dalam
ekspresi gen yang berperan dalam proses neuropatologis dan kemungkinan juga
dalam proses neuroproteksi. Faktor transkripsi penting yang terlibat dalam
proses informasi ekstraseluler untuk mengalami transformasi menuju inti
adalah nuclear factor κ B (NF- κ B). Bukti menunjukkan bahwa aktivasi NF- κ
B terlihat pada kematian sel neuron setelah trauma, iskemia, Alzheimer dan
penyakit Parkinson. Di samping derajat aktivasi, temuan terbaru menyatakan
bahwa komposisi subunit spesifik kompleks NF- κ B terlihat menjadi penentu
penting respons seluler terhadap aktivasi reseptor. Nuclear Factor - κ B
sangat sensitif terhadap stres oksidasif dan diaktivasi dengan cepat pada
otak sekitar lesi perdarahan setelah PIS. Nuclear Factor - κ B adalah
mediator penting untuk induksi cepat dan koordinasi beberapa gen sistem
saraf pusat yang mencakup sitokin proinflamasi dan HO-1(Wagner, 2007).
Penelitian Aronowski dkk seperti dikutip Wagner menemukan setelah PIS,
terjadi aktivasi peroxisome proliferation activated receptor γ (PPAR γ),
suatu anggota superfamili reseptor hormon nuklear yang berkaitan dengan
penekanan aktivasi NF-κB. Rosiglitazone, suatu agonis PPARγ akan memicu
resolusi pendarahan, mengurangi kematian neuron dan meningkatkan perbaikan
fungsional pada tikus model PIS (Wagner,2007).
Gambar 2.1. Diagram skematik yang menunjukkan peranan penting faktor
transkripsi, NF-κB, dalam proses signaling intraseluler setelah terjadi
perdarahan intraserebral (Wagner, 2007).
2.3.4 Sitokin proinflamasi
Beberapa laporan menemukan terjadi regulasi sitokin proinflamasi
setelah PIS. Wagner menemukan regulasi dini mRNA interleukin (IL)-1β (1-2
jam) pada substansia alba sekitar hematoma. Peranan proinflamasi IL-1β pada
model cedera otak terlihat dalam neurodegenerasi, peningkatan permeabilitas
SDO dan edema. Hal ini didukung oleh suatu observasi pada ekspresi
berlebihan dari antagonis reseptor IL-1 dapat mengurangi edema yang
ditimbulkan oleh trombin. Pada tikus percobaan PIS memperlihatkan regulasi
ekspresi gen IL-1 yang berlanjut selama 24 jam. Peningkatan ekspresi gen IL-
1 menyebabkan bertambahnya ekspresi enzim sintetisnya, IL-1β converting
enzyme (caspase-1) (Wagner,2007).
2.4 Peranan Sel Neuron dalam pembentukan Edema akibat Inflamasi pada
Perdarahan Intraserebral
Aliran cairan melewati kapiler disebabkan oleh perbedaan gradien
tekanan hidrostatik dan osmosis koloid antara plasma dan interstisial.
Edema (akumulasi cairan ekstravaskuler dalam jaringan) adalah salah satu
gambaran penting adanya inflamasi dan merupakan hasil dari peningkatan
aliran cairan pada kondisi ini. Selama inflamasi terdapat peningkatan
kebocoran kapiler, namun pada awalnya terjadi penurunan dengan cepat
tekanan hidrostatis di luar kapiler dan tekanan cairan interstisial (Pif)
yang secara kuantitatif lebih penting dibandingkan peningkatan
permeabilitas kapiler sebagai tekanan pendorong pada fase awal pembentukan
edema (Svendsen et al., 2009).
Sel tidak termasuk dalam interstisial, kompartemen ekstraseluler antara
pembuluh darah dan limfatik jaringan. Dalam studi terbaru, ditemukan peran
aktif interstisial dalam pembentukan edema selama inflamasi dan juga
peranan sel (fibroblas) dalam pembentukan edema. Homeostasis cairan normal
tergantung pada fungsi integrin terikat kolagen, dan akibat dari
terganggunya fungsi integrin dapat menimbulkan edema. Svendsen et al., pada
tahun 2009 menyimpulkan bahwa terdapat peranan integrin dalam mengendalikan
volume cairan interstistial (Vif) dengan kemampuannya untuk memodulasi
tekanan dari sitoskeleton didalam sel menuju protein struktural (kolagen)
matriks ekstraseluler di luar sel. Terdapat empat integrin terikat kolagen
: α1β1, α2β1, α10β1, dan α11β1, dan dalam penelitian sebelumnya ditemukan
peranan integrin α2β1 dalam mengendalikan Vif. Integrin α11β1 serupa dengan
integrin α2β1, memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk fibroblas
dibandingkan kolagen pembentuk jaringan (Svendsen et al., 2009).
Integrin juga terlibat dalam pengaturan permeabilitas pembuluh darah
dan transmigrasi sel darah putih. Beberapa subtipe integrin, seperti
integrin terikat kolagen α1β dan α2β1 ditemukan pada sel endotel,
terekspresikan terutama pada permukaan abluminal. Kebocoran protein melalui
kapiler tergantung pada integritas endotelium pembuluh darah, dipengaruhi
oleh perbedaan kondisi fisiologis dan patologis seperti inflamasi dan
pertumbuhan tumor (Svendsen et al., 2009).
Mempertahankan volume sel merupakan mekanisme homeostatis primitif yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup dan dapat berfungsinya sebagian besar
sel. Perubahan dalam volume sel dapat memicu sejumlah perubahan dalam
fungsi sel yang mencakup eksitabilitas, perkembangan siklus sel, pengaturan
proliferasi, apoptosis dan metabolisme sel. Pengaturan volume sel merupakan
kekhususan yang sangat penting dalam sistem saraf pusat karena keterbatasan
secara fisik akibat adanya tulang tengkorak. Oleh karena itu, perubahan
kecil volume sel otak dapat mempengaruhi hubungan spasial antara neuron,
astrosit dan celah ekstraseluler. Ketika sel otak mengalami pembengkakan,
akan menyebabkan terjadi difusi lateral dan tingginya konsentrasi
neurotransmiter ekstraseluler (Fisher et al., 2010). Peningkatan volume sel
semakin besar dapat menekan pembuluh darah menimbulkan episode iskemia dan
anoksia yang akhirnya dapat menggeser parenkim otak menuju foramen magnum,
terjadiah henti nafas dan jantung.
Sel otak dapat mengalami pembengkakan akibat dari perubahan dalam
distribusi ion dan air intraseluler ( bengkak isotonik, terjadi pada stroke
atau cedera kepala) atau dapat juga akibat penurunan osmolaritas plasma
(edema hipoosmotik). Penyebab paling sering edema hiposmotik adalah
hiponatremia, berkurangnya konsentrasi Na+ dari nilai normal 136 sampai 145
meq-1. Hiponatremia merupakan kelainan elektrolit yang paling sering
ditemukan dalam praktek klinis dan dapat disebabkan oleh berbagai jenis
etiologi seperti gagal jantung kongestif, syndrome inappropriate secretion
anti diuretic hormone (SIADH), sirosis hati, polidipsi psikotik atau
kelebihan hidrasi. Pasien dengan hiponatremia ringan umumnya tanpa
menimbulkan gejala, namun penurunan osmolaritas plasma > 10% dapat
menimbulkan gejala mual dan nyeri kepala, sedangkan kejang, koma, kerusakan
otak permanen dan kematian dapat terjadi ketika osmolaritas plasma menurun
>20% secara kronis (Fisher et al., 2010).
Kandungan air dalam sel dan volume sel ditentukan oleh kandungan
substansi osmotik aktif dalam sel dan tonisitas ekstraseluler. Pada membran
sel binatang, dengan beberapa pengecualian, sangat permeabel terhadap air.
Permeabilitas osmosis air pada sel binatang lebih besar dibandingkan
permeabilitas terhadap ion Na+, K+, dan Cl-. Pada beberapa tipe sel,
permeabilitas yang tinggi terhadap air menandakan terdapat aquaporins
(AQPs) dan hal ini menunjukkan bahwa adanya AQP2 (sel duktus) atau AQP5
(sel kelenjar ludah) meningkatkan kecepatan edema awal setelah terpapar
kondisi hipotonis (Hoffmann et al., 2009).
Sel mengandung makromolekul anion polivalen yang impermeabel dan dalam
kondisi isotonis, secara konstan terancam mengalami edema osmosis koloid
dengan masuknya ion dan air secara difusi. Berdasarkan konsep "pompa dan
bocor", edema sel dan lisis dapat dihindari karena kombinasi permeabilitas
terhadap Na+ yang rendah dan ekstrusi Na+ secara aktif melalui Na+-K+-
ATPase mengubah membran plasma menjadi impermeabel terhadap Na secara
efektif (Hoffmann et al., 2009). Sebagian besar tipe sel mampu menghadapi
gangguan volume dengan mengikuti pertukaran dalam osmolaritas ekstra atau
intrasel. Sel yang membengkak mengikuti gradien osmosis melepaskan KCl,
osmolit organik nonesensial, dan air dalam sel, sehingga mengurangi volume
sel mendekati nilai besar sel awal, hal ini disebut regulatory volume
decrease (RVD). Sel yang mengkerut karena osmosis secara umum diawali
mendapatkan KCl dan air sel, sehingga meningkatkan volume sel mendekati
ukuran normal, proses ini disebut dengan regulatory volume increase (RVI).
Sebagian sel memiliki permeabilitas kebocoran yang rendah terhadap Cl- dan
osmolit organik. RVD tergantung pada peningkatan netto efluks Cl-, K+, dan
osmolit organik sedangkan RVI melibatkan aktivasi cotransport Na+-K+-2Cl-,
pertukaran Na+/H+, dan saluran kation nonselektif (Hoffmann et al., 2009).
Dalam kondisi fisiologis normal, osmolaritas cairan ekstraseluler
dijaga konstan oleh hemeostasis cairan tubuh (~285 mosmol/kgH2O), dan
volume sel seringkali mengalami gangguan oleh perubahan osmolaritas
intraseluler dibandingkan ekstraseluler. Volume sel juga mengalami
perubahan dalam kondisi patofisiologis, misalnya edema sel terjadi selama
hipoksia/iskemia, hiponatremia yang dapat terjadi pada situasi gangguan
fungsi hormon dan ginjal, hipotermia yang menghambat Na+-K+-ATPase,
peningkatan konsentrasi K+ ekstraseluler, dan asidosis intraseluler/
ketoasidosis diabetikum. Sebaliknya, penyusutan sel dapat terjadi selama
hipernatremia setelah intake Na+ berlebihan atau kehilangan air,
berkurangnya konsentrasi K+ ekstraseluler, hiperglikemia dan alkalosis
(Hoffmann et al.,2009). Kondisi patofisiologis dalam status anisotonis
terjadi lambat dan bertahap, memberikan mekanisme perbaikan volume, suatu
usaha menjaga volume sel secara berkelanjutan. Perubahan volume sel akibat
pertukaran osmolit dalam beberapa kasus merupakan suatu fenomena yang
disebut dengan regulasi volume isovolumetris. Paparan jangka panjang pada
kondisi anisosmosis menimbulkan tidak hanya perubahan dalam pengaturan
volume namun juga dalam ekspresi kadar protein transporter sensitif volume
dan enzim yang terlibat dalam sintesis/degradasi osmolit organik. Kondisi
tersebut juga berpengaruh pada mekanisme yang mengatur pertumbuhan sel,
proliferasi sel dan kematian sel. Hal serupa, gangguan fungsi protein
transpor membran sensitif volume terkait pada kondisi patofisiologis yang
berhubungan dengan pengaturan proliferasi, migrasi, invasi, dan kematian
sel (Hoffmann et al., 2009).
2.5 Tekanan osmosis
Tekanan osmosis adalah gaya hidrostatik yang bekerja untuk menyetarakan
konsentrasi air pada kedua sisi membran yang tidak permeabel terhadap
substansi terlarut dalam air. Air akan berpindah mengikuti gradien
konsentrasi. Osmolaritas menggambarkan jumlah molar (substansi terlarut)
partikel osmotik aktif per 1 liter larutan. Dalam prakteknya, osmolaritas
larutan dapat dihitung dengan menambahkan mEq beberapa konsentrasi ion
dalam larutan. Osmolalitas menggambarkan jumlah molar partikel osmotik
aktif perkilogram zat terlarut. Nilai ini diukur secara langsung dengan
menentukan titik beku atau tekanan uap larutan. Untuk sebagian besar
larutan garam terlarut, osmolalitas sama dengan atau kurang sedikit dari
osmolaritas darah (Tommasino, 2002). Osmolalitas diukur dalam miliosmol
perkilogram (mOsm/kg) air. Osmolalitas cairan tubuh dan cairan isotonis
diperkirakan 280-300 mOsm/kg (Rhoda et al., 2011). Osmolalitas sering juga
disamakan dengan tonisitas larutan pada beberapa tulisan. Tonisitas larutan
berhubungan dengan efek larutan pada volume sel. Larutan yang tidak
mengubah volume sel disebut isotonik. Larutan hipotonik menyebabkan sel
membengkak, dan larutan hipertonik menyebabkan sel menyusut (Rhoda et al.,
2011).
Pada situasi klinis, perkiraan lebih akurat osmolaritas plasma didapat
dengan mempertimbangkan peranan glukosa dan urea pada osmolaritas plasma.
Persamaan osmolaritas plasma yang sering digunakan adalah sebagai berikut
(Bhalla et al., 2000):
(1)
Konsentrasi glukosa dan urea diukur dalam unit mg/dL (dibagi 18 untuk
glukosa dan 2,8 untuk urea membuat konversi dari unit mg/dL menjadi mmol/L
dan akhirnya menjadi mOsm/kg H2O). Perkiraan osmolalitas plasma tersebut
sangat penting saat menemui pasien dengan peningkatan glukosa plasma akibat
diabetes melitus dan pasien gagal ginjal kronis dengan peningkatan urea
plasma (Bhalla et al., 2000).
2.5.1 Tekanan Onkotik Koloid/ Colloid Oncotic Pressure (COP)
Osmolaritas/osmolalitas ditentukan oleh jumlah total partikel terlarut
dalam larutan, tanpa memperhitungkan ukurannya. COP tidak melebihi tekanan
osmosis yang dibuat oleh molekul besar (seperti albumin, hetastarch,
dekstran). COP menjadi penting pada sistem biologi karena membran pembuluh
darah permeabel terhadap ion kecil namun tidak untuk partikel yang memiliki
molekul besar (Tommasino, 2002).
2.5.2 Pergerakan Cairan antara Kapiler dengan Jaringan
Dua pertiga cairan tubuh terdapat intraseluler dan sepertiga sisanya
adalah cairan ekstraseluler yang dibedakan menjadi cairan plasma dan
interstisial. Terdapat juga celah ketiga, yang dikenal sebagai cairan
transeluler, yang terdapat pada celah tubuh seperti cairan likuor dan
sinovial, cairan peritoneal dan pleura (Rhoda et al., 2011; Shepherd,
2011). Hal yang penting diingat adalah kompartmen cairan dibedakan dalam
beberapa area, air dan elektroit secara kontinu bersirkulasi antara
kompartemen. Cairan bersirkulasi antara kompartemen melalui proses difusi.
Proses ini adalah pergerakan random partikel dari area dengan konsentrasi
tinggi menuju area dengan konsentrasi rendah. Perpindahan cairan berlanjut
sampai tercapai konsentrasi yang sama pada kedua sisi. Pergerakan cairan
ini secara normal adalah proses pasif namun dapat difasilitasi oleh molekul
karier, khususnya protein khusus. Cairan juga berpindah secara osmosis,
yang didefinisikan sebagai aliran air melalui membran semipermeabel dari
larutan dengan konsentrasi zat terlarut rendah menuju larutan dengan
konsentrasi zat terlarut lebih pekat sampai stabilitas tercapai (Shepherd,
2011).
Sesuai dengan persamaan Starling, faktor utama yang mengendalikan
pergerakan cairan antara celah intravaskular dan ekstravaskular adalah
gradien hidrostatik transkapiler, gradien osmosis dan onkosis, dan
permeabilitas relatif membran kapiler yang memisahkan kedua celah tersebut.
Persamaan Starling sebagai berikut:
(2)
FM adalah fluid movement, k= koefisien filtrasi dinding kapiler, Pc =
tekanan hidrostatik pada kapiler, Pi = tekanan hidrostatik (umumnya
negatif) pada celah interstisial, dan pi dan pc adalah tekanan osmosis
untuk masing-masing interstisial dan kapiler (Tommasino, 2002).
Persamaan tersebut menerangkan secara sederhana, pergerakan cairan
sesuai dengan gradien tekanan hidrostatik dikurangi gradien osmosis melalui
dinding kapiler. Besarnya gradien osmosis akan tergantung pada
permeabilitas relatif membran. Pada perifer ( otot, paru dan bagian tubuh
lainnya), endotelium kapiler memiliki ukuran pori 65 Å dan sangat permeabel
terhadap molekul kecil dan ion-ion (Na+, Cl-), namun tidak untuk molekul
besar, seperti protein. Oleh karena itu, pergerakan air pada kapiler
perifer dikendalikan oleh konsentrasi molekul besar dalam plasma (gradien
onkosis). Apabila COP menurun, cairan akan mulai terakumulasi dalam celah
interstisial dan menimbulkan edema (Tommasino, 2002). Pada kapiler otak,
ukuran pori yang efektif hanya 7-9 Å. Ukuran pori SDO yang kecil dapat
mencegah tidak hanya pergerakan protein, namun juga ion natrium, klorida
dan kalium (Gambar 2.2). Pergerakan cairan melalui SDO ditentukan oleh
gradien osmosis total, yang dibentuk oleh ion kecil dan molekul besar.
Jumlah molekul protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah ion
nonorganik, sehingga efeknya pada osmolalitas total menjadi minimal (COP
normal 20 mmHg 1mOsm/kg). Hal tersebut di atas menyebabkan pengaruh
perubahan osmolalitas distribusi air otak sangat minimal atau bahkan tidak
ada efek pada perubahan COP. Perbedaan ini menjelaskan pemberian kristaloid
isotonis dengan volume besar, dengan penurunan COP akibat dilusi
menyebabkan edema, namun tidak meningkatkan kandungan air otak dan atau
tekanan intrakranial (TIK) (Tommasino, 2002).
Gambar 2.2. Diagram skematik membran kapiler pada jaringan perifer. (A)
Dinding pembuluh darah permeabel terhadap air (H2O) dan ion kecil, namun
tidak untuk protein (P) pada otak. (B) Sawar darah otak permeabel hanya
terhadap air.
Saat terjadi penurunan osmolalitas plasma, gradien osmosis mendorong
air memasuki jaringan otak (Shepherd, 2011). Perubahan yang minimal pada
osmolalitas plasma (>5%) meningkatkan kandungan air otak dan TIK
(Tommasino, 2002).
Penjelasan di atas menggambarkan pergerakan cairan pada kondisi SDO
yang normal. Setelah terjadi lesi otak yang sesuai dengan keparahan lesi
(trauma kepala, tumor, kejang, abses atau kerusakan lainnya), terjadi
integritas SDO dengan derajat yang berbeda, sehingga dapat menimbulkan
respons berbeda dengan perubahan osmosis/onkosis. Rusaknya SDO yang lengkap
menyebabkan tidak ada gradien osmosis. Hal yang mungkin adalah cedera yang
kurang berat pada SDO menyebabkan penyekat tersebut berfungsi serupa dengan
jaringan perifer. Umumnya terdapat bagian otak dengan SDO intak yang
bermakna. Keberadaan fungsi SDO yang intak menjadi penting jika ingin
osmoterapi yang diberikan berhasil (Tommasino, 2002).
2.6 Hubungan Luaran Stroke dengan Osmolaritas Plasma
Dehidrasi merupakan suatu fenomena yang umum terjadi setelah stroke,
khususnya pada usia lanjut. Pada fase awal stroke, dehidrasi dapat
disebabkan oleh penurunan asupan air peroral karena penurunan kesadaran
atau disfagia (Bhalla et al., 2001). Gangguan elektrolit seperti
hipernatremia, hiponatremia, atau akibat dari SIADH dapat menimbulkan
komplikasi seperti kejang atau kematian. Dehidrasi akut setelah stroke
dapat memperburuk proses iskemia yang terjadi, akibat meningkatnya
viskositas darah dan penurunan tekanan darah (Bhalla et al., 2000).
Dehidrasi juga merupakan faktor predisposisi yang penting berulangnya
stroke. Pasien stroke dengan nilai osmolalitas plasma yang tinggi saat
datang memiliki angka bertahan hidup yang rendah pada 3 bulan pertama
(Bhalla et al., 2001). Beberapa studi menunjukkan hasil bahwa hemodilusi
dapat mempengaruhi aliran darah otak dan hemodinamika serebri dengan
mengubah viskositas plasma namun tidak memperlihatkan efek menguntungkan
pada luaran stroke.
Hubungan yang bermakna antara peningkatan osmolaritas plasma dengan
mortalitas terlihat pada pasien komunitas berbaring lama dan pasien
penyakit akut, hal ini menegaskan bahwa dehidrasi dapat mempengaruhi angka
bertahan hidup (survival). Penelitian yang melibatkan pasien stroke masih
sangat terbatas. Joynt et al., seperti dikutip Bhalla et al., pada tahun
2000, memaparkan bahwa tidak ada perbedaan bermakna osmolalitas plasma saat
masuk antara pasien stroke dengan subjek kontrol. Hal serupa juga
didapatkan O'Neill et al., pada tahun 1995 yang meneliti pada 15 pasien,
tidak ditemukan perbedaan bermakna osmolalitas plasma antara pasien stroke
yang bertahan hidup dengan yang meninggal (Bhalla et al., 2000).
Pada penelitian Bhalla et al., pada tahun 2000, osmolalitas plasma
pasien stroke saat datang menunjukkan variasi sangat lebar yang
mengindikasikan varians homeostasis air yang besar, dimana hal ini
dikarenakan beberapa pasien mengalami hidrasi berlebihan atau kurang
terhidrasi. Batas atas osmolaritas plasma normal yang terukur pada
penelitian tersebut adalah 296 mOsm/kg. Studi sebelumnya menegaskan bahwa
osmolalitas plasma > 296 mOsm/kg dinyatakan dalam status hiperosmolar
(Bhalla et al., 2000). Pada satu pasien terdapat hipernatremia dengan
natrium plasma 160 mmol/L. Pasien diabetes dan stres hiperglikemik
cenderung memiliki nilai osmolaritas plasma yang meningkat setelah stroke
(Bhalla et al., 2000). Hubungan antara peningkatan osmolalitas plasma
dengan penurunan angka bertahan hidup dipengaruhi keparahan stroke, subtipe
stroke, pertambahan usia, atau adanya infeksi penyerta. Terdapat bukti yang
menyatakan bahwa lesi sekitar hipotalamus dan khususnya pendarahan
intrakranial dapat mengubah osmolaritas plasma dengan melepaskan
vasopresin. Namun, setelah mengalami penyesuaian dengan faktor usia, jenis
kelamin, subtipe dan keparahan stroke, didapatkan peningkatan osmolaritas
plasma > 296 mOsm/kg pada saat datang berhubungan independen terhadap
mortalitas (Bhalla et al., 2000).
Pada penelitian Bhalla et al., pada tahun 2000, terlihat bahwa pasien
stroke yang terhidrasi awal dengan tepat, pasien dengan nilai osmolalitas
plasma yang tinggi saat datang merupakan pasien yang mendapat hidrasi
intravena. Nilai maksimum paling tinggi dan AUC osmolalitas plasma pada
pasien terhidrasi secara intravena selama minggu pertama dapat dijelaskan
karena perbedaan keparahan stroke. Pasien yang terhidrasi secara intravena
cenderung adalah pasien dengan stroke berat. Masih terdapat kontroversial
apakah disfagia menimbulkan dehidrasi yang bermakna dan oleh karena itu,
temuan pada penelitian Bhalla et al., pada tahun 2000, tidak dapat
menjelaskan dengan pembagian yang sederhana pasien yang terhidrasi secara
intravena dengan pasien yang mendapat hidrasi peroral dapat memprediksi
luaran yang baik atau buruk. Diperkirakan terjadi penurunan osmolalitas
plasma dari saat datang sampai hari ketujuh pada individu yang terhidrasi
secara intravena dibandingkan individu yang terhidrasi peroral, diduga
individu yang mendapat cairan intravena memperoleh volume cairan yang lebih
besar, namun tidak ditemukan penurunan yang bermakna. Pengukuran asupan
cairan peroral tidak didapatkan karena merupakan kesulitan klinis dalam
mencapai pengukuran volume yang akurat. Temuan ini berbeda dengan yang
didapatkan O'Neill et al., pada tahun 1995, penurunan osmolalitas plasma
didapatkan bermakna pada pasien yang terhidrasi secara intravena
dibandingkan peroral (Bhalla et al., 2000).
Studi yang dilakukan Rodriguez et al., pada tahun 2009, mendapatkan
osmolalitas plasma semakin tinggi pada pasien usia lanjut dengan iskemia
serebri yang terjadi dalam 24 jam awitan gejala dibandingkan dengan kontrol
dari populasi umum. Hal ini mendukung dugaan tonisitas plasma yang tinggi
sebagai penanda dehidrasi merupakan faktor penentu yang potensial
terjadinya iskemia serebri. Temuan ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Bhalla et al., pada tahun 2001, yang menyatakan terdapat hubungan
antara kadar osmolalitas plasma dengan luaran buruk pada pasien stroke.
Dehidrasi berkaitan dengan stroke iskemia pada pasien yang dirawat inap
menggunakan tanda dan parameter laboratorium seperti hematokrit, urea dan
kreatinin. Suatu studi sebelumnya tidak menemukan perbedaan osmolalitas
plasma pada 17 pasien stroke dengan kontrol populasi sehat, walaupun
penelitian tersebut memeliki keterbatasan dalam jumlah sampel yang kecil
(Rodriguez et al., 2009).
Sebagian besar studi mencari efek pembatasan cairan pada individu yang
beristirahat dalam waktu 24 jam. The Food and Nutrition Board of the
Institute of Medicine merekomendasikan untuk dewasa pria dan wanita, rerata
asupan cairan yang adekuat yaitu 3,7 L perhari untuk pria dan 2,71 L
perhari untuk wanita (Rodriguez et al., 2009). Namun, sekitar 1-21L asupan
cairan harian diperlukan untuk menggantikan kehilangan dewasa istirahat
pada suhu normal. Dehidrasi dikatakan ringan saat penurunan massa tubuh 1-
2% akibat kehilangan cairan. Pada individu dengan berat 70 kg, pembatasan
cairan selama 6 jam tanpa latihan dan pada suhu normal dapat menimbulkan
defisit air sebesar 500 cc dan akhirnya menyebabkan <1% dari total massa
tubuh (Rodriguez et al., 2009).
Rodriguez et al., pada tahun 2009 juga menemukan nilai osmolaritas
plasma lebih tinggi pada subjek dengan diabetes melitus. Glukosa merupakan
substansi osmosis dan berpengaruh penting terhadap osmolaritas plasma.
Pasien dengan diabetes melitus memiliki nilai osmolaritas plasma lebih
tinggi dibandingkan pasien bukan diabetes. Diabetes melitus menjadi
predisposisi perburukan morbiditas dan hiperglikemia memperburuk stress
fisiologis yang telah terjadi. Oleh karena itu, perlu mendapat perhatian
khusus dalam mencari hubungan antara glukosa darah dengan osmolaritas
plasma pada pasien diabetes melitus dengan stroke iskemik akut. Juga,
terdapat perbedaan nilai BUN antara pasien stroke dengan kontrol yang
sehat, menyimpulkan bahwa peningkatan osmolaritas plasma pada pasien stroke
tidak dipengaruhi oleh hiperglikemia saja (Rodriguez et al., 2009).
Usia berhubungan dengan nilai osmolaritas plasma dinyatakan dalam
penelitian Rodriguez et al.(2009). Peningkatan osmolaritas plasma tercatat
pada orang lanjut usia yang sehat. Pasien usia lanjut melepaskan lebih
banyak hormon antidiuretik sebagai respons terhadap hipertonisitas, namun
retensi air tetap kurang dibandingkan pasien dengan usia lebih muda karena
berkurangnya respons organ target. Selama tujuh dekade kehidupan, terjadi
kehilangan glomerulus sebesar 30-50%, namun kehilangan massa otot rangka
seiring pertambahan usia sebanding dengan penurunan filtrasi glomerulus
sehingga konsentrasi serum kreatinin sedikit mengalami perubahan.
Penambahan usia, khususnya di atas 65 tahun akan terjadi penurunan sensasi
haus dan penurunan tingkat filtrasi glomerulus dengan perubahan kemampuan
untuk mengkonsentrasikan urin. Pengurangan asupan cairan dan keterlambatan
restorasi sering terlihat pada orang lanjut usia setelah latihan, juga
dengan pembatasan cairan atau pada lingkungan yang hangat (Rodriguez et
al., 2009).
Diuretik dapat menyebabkan berkurangnya volume intravaskular dan
peningkatan tonisitas sekunder. Studi sebelumnya, subjek dengan penggunaan
diuretika secara kronis menunjukkan tidak ada perbedaan nilai osmolaritas
plasma saat dibandingkan dengan kontrol sehat. Rodriguez et al., pada tahun
2009 mendapatkan tidak ada perbedaan nilai osmolaritas plasma dengan
kontrol sehat antara yang menggunakan diuretika dengan yang tidak
menggunakan diuretika, namun pada pasien dengan stroke iskemia atau TIA
yang memakai diuretika akan memiliki nilai osmolaritas plasma lebih tinggi
dibandingkan yang tidak menggunakan diuretika. Hal ini dapat
diinterpretasikan dalam dua mekanisme, terdapat individu yang sangat
sensitif terhadap diuretik dan mengalami dehidrasi, atau pasien yang
memakai diuretik memiliki peningkatan nilai osmolaritas plasma akibat
restorasi cairan yang lambat (pada usia tua) dan kejadian iskemia serebri
dapat terjadi pada periode dehidrasi.
Terdapat perbedaan osmolaritas plasma antara pasien berusia > 65 tahun
dengan kontrol, namun tidak ditemukan perbedaan ketika membandingkan pasien
berusia > 65 tahun dengan subtipe stroke yang berbeda dan TIA (Rodriguez et
al., 2009).
Rodriguez et al., pada tahun 2009 menyatakan hipotesis dari tiga
mekanisme yang dapat menjelaskan hubungan antara nilai osmolaritas plasma
tinggi dengan kejadian iskemia serebri. Pertama, osmolaritas tinggi
menggambarkan status dehidrasi yang dapat bermanifestasi sebagai
intoleransi ortostatik dan penurunan aliran darah serebri dengan perubahan
ortostatik. Intolerensi ortostatik berkaitan dengan defisit cairan tubuh
yang membaik dengan pergantian cairan. Walaupun ada peranan gangguan
otonom, namun mekanisme pasti intoleransi ortostatik yang terjadi pada
dehidrasi belum dimengerti dengan baik. Kepala terasa ringan dan sinkope
merupakan gejala penurunan aliran darah otak secara global yang menyertai
dehidrasi. Pada kasus dengan kelainan dasar pembuluh darah seperti
penyempitan arteri intrakranial atau arteri servikal, hipovolemia yang
terjadi dapat menyebabkan iskemia atau infark. Penurunan aliran darah otak
juga terjadi saat terdapat pengurangan volume intravaskular pada individu
yang rentan dapat menimbulkan infark serebri. Cerebral salt wasting
syndrome menyebabkan berkurangnya volume intravaskular akibat natriuresis
dan diuresis yang disertai adanya penyempitan arteri serebri dapat memicu
timbulnya iskemia, dan gejala ini dapat membaik ketika volume intravaskular
mendapat pergantian. Salah satu contoh penurunan aliran darah otak yang
ekstrim pada pendarahan mayor aktif menyebabkan hilangnya volume
intravaskular secara mendadak yang dilaporkan dapat mempercepat iskemia
serebri (Rodriguez et al., 2009). Kedua, osmolaritas tinggi menggambarkan
status dehidrasi yang menimbulkan peningkatan viskositas darah. Hematokrit
merupakan penentu utama viskositas darah dan meningkat ketika volume
intravaskular mengalami penurunan. Persamaan Hagen-Poiseuille menyatakan
bahwa viskositas tinggi menyebabkan gangguan aliran darah otak. Nilai
hematokrit yang tinggi berhubungan dengan peningkatan risiko stroke
iskemia. Peningkatan hematokrit berhubungan dengan peningkatan risiko
stroke iskemia terkait kardioemboli dan kelainan pembuluh darah besar dan
kecil. Ketiga, dalam hipotesis yang menduga dehidrasi dapat memicu kaskade
koagulasi melalui aktivasi sistem otonom simpatis. Dehidrasi juga merupakan
faktor risiko deep venous thrombosis (DVT) dan juga ditemukan berhubungan
dengan perkembangan bekuan darah intrakardia pada pasien dengan riwayat
stroke kardioemboli. Berdasarkan hasil penelitan Rodriguez et al.(2009),
pasien usia lanjut dengan stroke iskemia akut memperoleh keuntungan dari
pergantian volume saat awal gejala. Kristaloid isotonis (umumnya normal
salin) tanpa dekstrose adalah cairan pilihan pada fase awal iskemia
serebri. Cairan hipotonis seperti setengah normal salin dapat menimbulkan
perburukan edema serebri pada stroke iskemia akut. Cairan yang mengandung
glukosa memperburuk kendali hiperglikemia dan berpotensi meningkatkan
cedera serebri dan oleh karena itu harus dihindari.
2.7 Penggunaan NIHSS sebagai Prediktor Luaran Stroke
The National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan skala
defisit neurologis klinis yang pertama kali ditemukan pada tahun 1989 oleh
NIH stroke reasearch neurologist. NIHSS menilai 11 item kelainan
neurologis. NIHSS menilai tingkat kesadaran, gaze, tajam penglihatan,
kelumpuhan wajah, kekuatan lengan dan tungkai, ataksia ekstremitas,
gangguan sensoris, neglek, disartri dan afasia. Nilai NIHSS 0-42. Penilaian
awal skala yang terkonfirmasi dapat dilakukan dalam rerata waktu 6.6 menit.
Nilai kesepakatan interrater sangat baik (rerata k=0.69) dan kesepakatan
intrarater juga baik, khususnya saat rater adalah seorang neurolog
(k=0.77). Terdapat kecendrungan stroke hemisfer kiri memperoleh skor lebih
tinggi, biasanya sekitar 4 poin untuk jumlah infark yang sama, jika
dibandingkan dengan stroke hemisfer kanan (Jensen and Leyden, 2006).
Berdasarkan nilai NIHSS, derajat stroke dibedakan menjadi stroke
ringan/minor dengan skor 1-4, nilai 5-15 untuk stroke sedang, 15-20 stroke
sedang-berat, > 20 stroke sangat berat (Bautista, 2009).
Perbedaan nilai skor NIHSS yang dianggap bermakna bila didapatkan
perbedaan 4 poin atau lebih, bila skor semakin tinggi pada penghitungan ke-
2 dikatakan prediktor buruk dan begitu sebaliknya pengurangan 4 poin atau
lebih sebagai prediktor baik (Wityk et al., 1999; Bautista, 2009). NIHSS
dapat digunakan untuk memprediksi luaran pasien stroke, nilai NIHSS < 14
memiliki kecendrungan sebesar 80% mengalami luaran baik sedangkan nilai >
20 memiliki luaran baik hanya sekitar 20% (Bautista, 2009).
Studi retrospektif yang dilakukan Schlegel et al., pada tahun 2003
mendukung penggunaan NIHSS sebagai prediktor awal kondisi pasien stroke
saat keluar setelah mengalami perawatan fase akut. Khususnya, pasien dengan
nilai < 5 dapat diperkirakan pulang ke rumahnya, sedangkan pasien dengan
nilai < 13 diprediksikan memerlukan perawatan dan pasien dengan nilai yang
berada di antara kedua batas tersebut, memerlukan rehabilitasi akut.
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa NIHSS merupakan prediktor luaran
yang dinilai dalam 3 bulan setelah awitan stroke.
Pasien stroke iskemia, nilai NIHSS dasar berkaitan dengan meningkatnya
risiko terjadi komplikasi neurologis dan medis selama perawatan. Hubungan
antara nilai dasar NIHSS dengan komplikasi medis dan neurologis dapat
diaplikasikan pada stroke sirkulasi anterior dan sirkulasi posterior,
walaupun NIHSS memiliki keterbatasan pada stroke sirkulasi posterior karena
nilai NIHSS nol tidak sama dengan tidak adanya komplikasi (Boone et al.,
2012).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan tinjauan pustaka di atas dapatlah disusun suatu kerangka
berpikir. Perdarahan pada parenkim otak dapat menyebabkan kerusakan sel
neuron di sekitar perdarahan. Eritrosit mengalami lisis dan zat besi akibat
pemecahan hemoglobin menginduksi kerusakan sawar darah otak yang kemudian
menimbulkan reaksi inflamasi pada jaringan otak. Trombin berperan dalam
menyebabkan kerusakan sawar darah otak dan inflamasi jaringan, selain itu
juga dapat menimbulkan terjadinya gumpalan (clot) darah. Peningkatan
permeabilitas membran kapiler akibat reaksi inflamasi menyebabkan bocornya
protein serum. Kebocoran protein serum disertai adanya cairan edema
vasogenik yang berasal dari clot darah menimbulkan akumulasi substansi
osmosis aktif yang pada akhirnya meningkatkan osmolaritas serum
ekstravaskular. Osmolaritas plasma yang meningkat bersama dengan penurunan
tekanan hidrostatik di luar kapiler menyebabkan terjadinya edema vasogenik.
Penekanan pembuluh darah disekitar edema menyebabkan penurunan aliran darah
dan anoksia sehingga terjadi iskemia. Iskemia yang terjadi pada stroke
pendarahan dapat memperburuk luaran stroke. Kondisi stres hiperglikemik dan
diabetes melitus dapat menyebabkan terjadi peningkatan osmolaritas serum
intravaskular dan memperburuk luaran stroke. Stroke perdarahan dapat
menimbulkan terjadi penurunan kesadaran dan disfagia yang menyebabkan
penurunan asupan cairan sehingga terjadi kondisi dehidrasi. Dehidrasi dapat
menyebabkan peningkatan osmolaritas serum intravaskular, selain itu,
dehidrasi dapat menimbulkan penurunan tekanan darah serta peningkatan
viskositas darah yang mampu memperberat iskemia yang telah terjadi sehingga
memperburuk luaran stroke. Luaran stroke dinilai berdasarkan luaran
fungsional (nilai NIHSS).
Gambar 3.1 Kerangka Berpikir
3.2 Konsep Penelitian
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Berdasarkan tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, dapatlah disusun
suatu kerangka konsep penelitian.
1. Osmolaritas plasma berhubungan dengan luaran stroke perdarahan
intraserebral. Luaran stroke perdarahan dinilai berdasarkan nilai NIHSS
selama pemantauan.
2. Faktor –faktor yang mempengaruhi osmolaritas plasma seperti umur
pasien, penggunaan osmoterapi dan faktor yang berperan pada luaran stroke
seperti awitan stroke dan diabetes melitus dikendalikan pada saat analisis
hasil penelitian. Pada penelitian ini, awitan >24 jam menjadi kriteria
eksklusi
3. Faktor yang dapat menjadi variabel perancu dalam menilai luaran
stroke seperti lokasi perdarahan, volume perdarahan, riwayat stroke,
riwayat trauma, pasien stroke perdarahan yang mengalami pembedahan,
gangguan jantung, gangguan imun, gangguan faal hemostasis dikendalikan pada
tahap rancangan penelitian. Pada penelitian ini, lokasi perdarahan di luar
supratentorial dan volume perdarahan > 60 ml menjadi kriteria eksklusi.
3.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berpikir dan konsep penelitian di atas, ditetapkan
hipotesis penelitian sebagai berikut: kadar osmolaritas plasma awal yang
tinggi sebagai prediktor luaran buruk stroke perdarahan intraserebral.
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Studi ini meneliti tentang prognosis penyakit mengacu pada kemungkinan
luaran dalam perjalanan klinik suatu penyakit. Rancangan penelitian secara
observasional analitik kohort prospektif bertujuan untuk mengetahui kadar
osmolaritas plasma awal yang tinggi sebagai prediktor buruk luaran stroke
perdarahan intraserebral akut.
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Neurologi FK Universitas Udayana
(UNUD)/RSUP Sanglah, Denpasar dan RS Jejaring, mulai Juni 2014–September
2014. Pemeriksaan laboratorium dan pencitraan dilakukan di Instalasi
Laboratorium Klinik dan Radiologi RSUP Sanglah, Denpasar dan RS Jejaring.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini berada dalam ruang lingkup ilmu penyakit saraf khususnya
divisi neurovaskular.
4.4 Penentuan Sumber Data
4.4.1 Populasi target
Populasi target adalah semua penderita stroke perdarahan intraserebral akut
4.4.2 Populasi Terjangkau
Populasi terjangkau adalah penderita stroke perdarahan intraserebral akut
yang menjalani perawatan di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
4.4.3 Sampling frame
Sampel diambil dari semua penderita stroke perdarahan intraserebral akut
yang menjalani perawatan di Bagian/SMF Neurologi FK UNUD/RSUP Sanglah dan
RS Jejaring yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.4.4 Kriteria Subjek
4.4.4.1 Kriteria Inklusi:
1. Stroke perdarahan dengan awitan 24 jam
2. CT sken non kontras menunjukkan perdarahan intraserebral
supratentorial
3. Volume perdarahan <60 ml
4. Tidak ada riwayat cedera kepala dan defisit neurologis sebelumnya
5. Pasien yang menyetujui untuk ikut penelitian setelah diberikan
penjelasan
4.4.4.2 Kriteria Eksklusi:
1. Waktu antara awitan dengan kedatangan di rumah sakit lebih dari 24
jam
2. Stroke perdarahan terkait trauma, pendarahan subaraknoid, penggunaan
obat trombolisis atau gangguan faal hemostasis
3. Pasien dengan perdarahan batang otak dan serebelum
4. Pasien stroke perdarahan intraserebral yang mendapat terapi
pembedahan
5. Pasien dengan riwayat stroke sebelumnya
5. Sampel
1. Besar Sampel
Besar sampel yang dibutuhkan dihitung menurut rumus untuk jenis
penelitian analitik dengan skala pengukuran komparatif dengan
variabel kategorikal tidak berpasangan (Dahlan, 2009):
(3)
dimana :
n : besar sampel
Zα : deviat baku alfa (α= 10%, Zα = 1,64)
Zβ : deviat baku beta (β=20%, Zβ = 0.84)
P : proporsi total = ( P1+ P2 / 2)
Q : 1 – P
P1 : proporsi pada kelompok yang nilainya merupakan judgement peneliti.
Q1 : 1 – P1
P2 : proporsi pada kelompok yang sudah diketahui nilainya
Q2 : 1 – P2
P1 – P2: beda proporsi minimal yang dianggap bermakna
Penelitian terdahulu tidak ada menunjukkan proporsi sebelumnya, sehingga P1
ditentukan oleh peneliti. P1 = 0.2. OR 1,5 (Bhalla et al., 2000), P2
didapatkan 0.14.
Dengan demikian:
N1=N2= 19,8 20
Berdasarkan rumus di atas, didapatkan sampel minimal tiap kelompok sebanyak
20 orang. Sehingga jumlah sampel keseluruhan menjadi 40 orang.
2. Teknik Pengambilan Sampel
Subjek penelitian diambil dari populasi sasaran dan populasi
terjangkau. Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling
non random jenis konsekutif.
6. Variabel Penelitian
1. Identifikasi Variabel
1. Variabel tergantung: luaran klinis (nilai NIHSS) stroke
perdarahan intraserebral
2. Variabel bebas : kadar osmolaritas plasma
3. Variabel terkendali : umur, awitan, osmoterapi, diabetes melitus
4. Variabel perancu : lokasi pendarahan, riwayat stroke, riwayat
trauma, pembedahan, gangguan jantung, hepar, imunitas, gangguan faal
hemostasis.
2. Definisi Operasional Variabel
1. Stroke adalah penderita dengan gambaran klinik berupa gangguan
fungsi serebral baik fokal maupun menyeluruh (global) yang timbul
tiba-tiba dan berlangsung lebih dari 24 jam atau berakhir dengan
kematian, tanpa ditemukan penyebab lain selain gangguan vaskuler.
2. Stroke Perdarahan adalah stroke atau defisit neurologis yang
terjadi akibat ekstravasasi darah dan komponen darah keluar dari
pembuluh darah (Warlow et al., 2007).
3. Volume perdarahan: jumlah atau besar perdarahan supratentorial
pada gambaran ct sken kepala. Diukur menggunakan rumus (4)
(Divani et al., 2011).
Pada persamaan (4), A menggambarkan panjang maksimal yang terukur
pada irisan CT sken kepala dengan penampang perdarahan terluas, B
menyatakan panjang maksimal tegak lurus dengan A pada irisan yang
sama dan C adalah jumlah irisan yang menampilkan perdarahan
dikali denga ketebalan irisan CT sken kepala. Volume perdarahan
dalam cm3 (ml). Volume perdarahan dibedakan menjadi < 30 cm3, 30-
60 cm3,> 60 cm3 (Broderick et al., 1993). Volume perdarahan > 60
cm3 menjadi kriteria eksklusi pada penelitian ini.
4. Awitan stroke ditentukan berdasarkan anamnesis kepada pasien atau
keluarga pasien mengenai waktu pertama kali keluhan terjadi yang
menandai dimulainya proses perdarahan otak.
5. Lokasi perdarahan ditentukan berdasarkan gambaran CT sken kepala.
Lokasi perdarahan dibedakan menjadi supratentorial dan
infratentorial. Infratentorial meliputi perdarahan batang otak
dan serebelum. Perdarahan supratentorial meliputi subaraknoid,
epidural, subdural dan intraserebral.
6. Usia ditentukan dari tanggal atau tahun lahir sampai saat awitan
stroke akut berdasarkan kartu tanda penduduk (KTP) atau
keterangan keluarga sesuai rekam medis. Data berskala nominal.
7. Osmolaritas menggambarkan jumlah molar partikel osmotik aktif
perkilogram zat terlarut. Osmolaritas diukur dalam miliosmol
perliter (mOsm/L) air (Tommasino, 2002). Osmolaritas plasma
dihitung menggunakan rumus (1) (Bhalla et al., 2000).
(1)
Rerata osmolaritas plasma dibedakan menjadi osmolaritas tinggi (>
296 mOsm/kg) dan osmolaritas normal (< 296 mOsm/kg) (Bhalla et
al., 2000).
8. Riwayat stroke adalah adanya riwayat serangan yang ditandai
dengan timbulnya suatu gangguan fungsi neurologis akibat gangguan
pada pembuluh otak. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis
dan pemeriksaan neurologis mencari riwayat serangan stroke dan
tanda-tanda sisa stroke.
9. Gangguan jantung, hepar adalah adanya gangguan yang sifatnya akut
yang terdeteksi saat penderita menjalani perawatan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik serta penunjang, sedangkan gangguan
kronik didapatkan dari anamnesis riwayat sakit dan riwayat
pengobatan
10. Tekanan darah diukur pada kedua lengan dan tekanan darah paling
tinggi yang dicatat. Riwayat tekanan darah tinggi didapatkan
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Pemeriksaan
fisik yang menunjang adanya hipertensi: pemeriksaan retina (untuk
mengetahui retinopati hipertensi), edema pada kaki, perbesaran
batas jantung. Pemeriksaan penunjang dengan EKG 12 lead
menunjukkan adanya tanda hipertrofi ventrikel kiri. Adanya
kardiomegali pada foto toraks (Townsend and Steigerwalt, 2011 ).
Tekanan darah dikatakan tinggi selama pemeriksaan:
a. Prehipertensi tekanan darah sistolik (TDS) 120-139 mmHg atau
tekanan darah diastolik (TDD) 80-90 mmHg
b. Hipertensi stage 1apabila TDS 140-159 mmHg atau TDD 90-99 mmHg
c. Hipertensi stage 2 apabila TDS > 160 mmHg atau TDD > 100 mmHg
(James et al.,2014).
11. Riwayat trauma adalah riwayat adanya perlukaan pada jaringan
dibagi dalam kategori berikut: trauma mekanik, trauma termal,
trauma elektrik, perlukaan akibat radiasi terionisasi. Riwayat
trauma diidentifikasi saat pengambilan sampel.
12. Penyakit autoimun didefinisikan sebgai penyakit yang menyebabkan
kerusakan jaringan lokal, sampai sistemik ditandai dengan lesi di
berbagai organ dan berhubungan reaksi autoantibodi multipel atau
reaksi cell mediated terhadap banyak antigen tubuh sendiri akibat
imun respon spesifik yang terutama menyerang satu organ atau sel.
Tanda esensial dari penyakit autoimun adalah kerusakan jaringan
disebabkan reaksi imunologis organisme itu sendiri. Data
didapatkan dari riwayat penderita sebelumnya seperti penyakita
lupus sistemik yang dapat dikenali gejalanya dengan tanda sesuai
dengan kriteria dari ARA dengan, penyakit sklerosis multipel
sesuai kriteria Mc Donald. Apabila ditemukan gejala yang sesuai
akan dilanjutkan dengan pemeriksaan penunjang lainnya.
13. Diabetes Melitus: Menurut American Diabetes Association (ADA)
tahun 2010, Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya
Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa
darah. Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:1.Jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu
>200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM 2.
2.Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dL dengan adanya
keluhan klasik. 3.Tes toleransi glukosa oral (TTGO) (PERKENI,
2011).
14. Osmoterapi merupakan penggunaan agen osmosis dalam penanganan
stroke perdarahan. Agen osmosis meliputi manitol, gliserol dan
sorbitol yang diberikan secara intravena. Agen osmosis
menyebabkan ekstraksi air dari kompartmen ekstraseluler menuju
intravaskular otak (Warlow et al., 2007).
15. Indikasi pembedahan pada PIS tergantung pada tingkat kesadaran
dan volume perdarahan. Kandidat pembedahan yang paling baik
adalah SKG awal < 14 dan volume perdarahan > 40 ml (Silverman and
Rymer, 2010).
16. Derajat luaran stroke dinilai dengan menggunakan skor NIHSS yang
telah tervalidasi kemudian dilakukan penghitungan NIHSS sebanyak
dua kali. Pertama saat penderita masuk di Instalasi Rawat Darurat
dan yang kedua setelah masa akut stroke perdarahan pada hari ke
tujuh, kemudian dilakukan perbandingan antara nilai yang pertama
dan kedua, dikatakan luaran baik bila nilai awal akan menurun 4
poin atau lebih disaat akhir perawatan , dan luaran buruk bila
nilai akhir sama atau didapatkan perubahan baik meningkat atau
menurun namun tidak lebih dari 4 poin perbedaan keduanya atau
pasien meninggal selama pengamatan (mendapatkan nilai NIHSS
maksimal 42) (Wityk et al., 1999; Bautista, 2009). Hasil
akhirnya akan didapatkan data berupa 2 kelompok luaran perawatan
apakah luaran baik atau luaran buruk. Data yang digunakan
berskala kategorik.
Berdasarkan nilai NIHSS, derajat stroke dibedakan menjadi stroke
ringan/minor dengan skor 1-4, nilai 5-15 untuk stroke sedang, 15-
20 stroke sedang-berat, > 20 stroke sangat berat (Bautista,
2009).
17. Pemeriksaan glukosa dilakukan dengan menggunakan alat Beckman
Coulter CX9. Bahan dapat berupa serum atau plasma yang
dikumpulkan dalam tabung darah tanpa heparinisasi litium dan
dikirim ke laboratorium patologi klinik. Metode yang digunakan
adalah reaksi kimia glukosa yang menghasilkan NADPH. Konsentrasi
NADPH yang terbentuk sebanding dengan konsentrasi glukosa . Nilai
normal 65-95 mg/dl (Standar Pelayanan Operasional Laboratorium,
2010).
18. Pemeriksaan BUN dilakukan dengan mengambil serum pasien dengan
tabung darah tanpa heparinisasi litium dan dibawa ke laboratorium
untuk diperiksa dengan alat Beckman Coulter CX9. Menggunakan
metode kinetic dengan glutamate dehidrogenase, panjang gelombang
340nm. Prinsip pemeriksaan adalah penurunan konsentrasi NADH
sebanding dengan konsentrasi urea. Nilai normal < 50mg/dL
(Standar Pelayanan Operasional Laboratorium, 2010)
7. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan terdiri dari alat pengumpulan data berupa
kuesioner. Kuesioner dan lembar pengumpulan data digunakan untuk mencatat
data dasar karakteristik penderita, hasil pemeriksaan parameter biokimia
pasien stroke perdarahan intraserebral (natrium, glukosa darah sewaktu dan
BUN), hasil pemeriksaan CT-Sken kepala dan hasil pemeriksaan NIHSS.
8. Prosedur Penelitian dan Alur Penelitian
Gambar 4.2 Alur Penelitian
Saat datang, dilakukan penilaian klinis pasien menggunakan format
National Institute Health Stroke Scale (NIHSS). Dihitung total nilai NIHSS.
Dilakukan pemeriksaan CT Sken kepala tanpa kontras. Sampel darah diambil
pada hari pertama kedatangan pasien. Pemeriksaan rutin parameter biokimia
seperti natrium, glukosa, urea. Osmolaritas plasma dihitung menggunakan
rumus 2(Na++K+)+[gula darah /18]+[BUN/2.8]. Osmolaritas plasma dibedakan
menjadi osmolaritas plasma normal dan tinggi.Pasien dirawat inap sesuai
standar protokol terapi stroke perdarahan intraserebral.
Pada hari 7, dilakukan penilaian dengan menghitung NIHSS. Perbedaan
nilai NIHSS awal dengan nilai hari 7 dihitung, dimasukkan kedalam kategori
luaran baik dan buruk.
4.9 Analisis Statistik
Data hasil penelitian akan dianalisis secara statistik. Analisis dan
penyajian data untuk mendeskripsikan variabel-variabel sebagai berikut :
1.Analisis deskriptif digunakan untuk melihat gambaran karakteristik
sampel, umur, jenis kelamin, lokasi pendarahan, volume perdarahan, dan
osmolaritas plasma awal. Data kuantitatif dinyatakan dalam rerata (mean +
SD) bila distribusi normal, median (minimum-maksimum) bila data tidak
berdistribusi normal dan data kualitatif sebagai frekuensi (%).
2. Untuk mengetahui kadar osmolaritas plasma tinggi pada penderita stroke
perdarahan intraserebral fase akut sebagai prediktor terhadap luaran
perawatan digunakan uji Chi-Square, tingkat kemaknaan dinyatakan dengan p
dan Relative Risk (RR) dengan Confident Interval (CI) 95%. Hasil dikatakan
bermakna secara statistik bila P< 0,05 (two-tailed).
3. Untuk mengetahui hubungan antara volume perdarahan dengan luaran stroke
digunakan uji T tidak berpasangan bila data berdistribusi normal, uji Mann-
Whitney bila data tidak berdistribusi normal. Uji yang sama digunakan untuk
menguji hubungan umur dengan luaran stroke. Hubungan antara penggunaan
osmoterapi dengan luran stroke dan hubungan adanya DM dengan luaran stroke
menggunakan uji Chi-Square, tingkat kemaknaan dinyatakan dengan p dan
Relative Risk (RR) dengan Confident Interval (CI) 95%. Hasil dikatakan
bermakna secara statistik bila P< 0,05 (two-tailed).
BAB V
HASIL PENELITIAN
Dari penelitian ini didapatkan sebanyak 50 orang penderita stroke
perdarahan intraserebral yang datang di UGD dan ruang perawatan RSUP
Sanglah, RS Sanjiwani, RS Wangaya dan RS Tabanan mulai tanggal 20 Juni 2014
sampai dengan 12 September 2014. Penelitian ini menggunakan rancangan studi
kohort, untuk mengetahui kadar osmolaritas plasma awal tinggi pada
penderita stroke perdarahan intraserebral fase akut sebagai prediktor
terhadap luaran buruk digunakan uji Chi-Square.
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Penderita stroke perdarahan intraserebral yang dirawat di RSUP Sanglah,
RS Sanjiwani, RS Wangaya dan RS Tabanan berjumlah 50 orang. Sebanyak
delapan orang diekslusi sebelum pengamatan karena tiga orang dengan volume
perdarahan > 60 ml, tiga orang dengan stroke berulang, dua orang pulang
paksa. Pengamatan dilakukan pada 42 orang subjek penelitian. Selama
pengamatan dua orang dieksklusi karena menjalani pembedahan. Tiga orang
subjek meninggal selama pengamatan, dimasukkan dalam kategori luaran buruk.
Subjek penelitian yang dianalisis sebanyak 40 orang. Median osmolaritas
plasma awal 296,23 (273,61-351,63) mOsm/kg. Karakteristik subjek antar
kelompok disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
" "Osmolaritas "Osmolaritas " Total "
" "tinggi "normal "keseluruhan"
" " " "subjek "
"Karakteristik " " "(n=40) "
" " " " "
" "n (%) "n (%) "n (%) "
" " " " "
"Umur, rerata (tahun) "53,8±13.45 "57,8±13.31 "55,8±13.36 "
"Volume perdarahan, median"10,05 "13,81 "11,05 "
"(ml) "(2,51-50,0) "(3,60-54,0) "(2,5-54) "
"Jenis kelamin " " " "
"Laki-laki "15(46,88) "17(53,12) "32(100) "
"Perempuan "5(62,50) "3(37,50) "8(100) "
"Penggunaan osmoterapi " " " "
"Ya "8(57,14) "6(42,86) "14(100) "
"Tidak "12(46,15) "14(53,85) "26(100) "
"Derajat stroke saat MRS " " " "
"Ringan "4(80,00) "1(20,00) "5(100) "
"Sedang "15(46,88) "17(53,12) "32(100) "
"Sedang-berat "1(33,33) "2(66,67) "3(100) "
"Sangat berat "0(0.00) "0(0.00) "0(0.00) "
Tabel 5.1 menunjukkan proporsi data karakteristik penderita stroke
perdarahan intraserebral, dengan rerata umur subjek 55,80 tahun (SD±
13,36), proporsi jenis kelamin terbanyak pada kelompok jenis kelamin laki-
laki sebanyak 80%, sebanyak 35% menggunakan osmoterapi, subjek dengan
derajat stroke sedang terbanyak saat masuk rumah sakit 80%. Median volume
perdarahan 11,05(2,5-54) ml. Tujuh koma lima persen subjek meninggal selama
pengamatan.
5.2 Analisis Bivariat Osmolaritas Plasma Awal dengan Luaran Stroke
Untuk mengetahui osmolaritas plasma awal yang tinggi sebagai prediktor
luaran buruk stroke digunakan uji Chi-Square. Hasil analisis disajikan pada
tabel 5.2.
Tabel 5.2 Uji Komparatif Chi-Square Osmolaritas Plasma Awal dengan Luaran
Stroke
"Osmolaritas Plasma "Luaran Stroke "RR "p "IK 95% "
"Awal " " " " "
" "Baik "Buruk " " " "
" "Normal "13 "7 "5,57 "0,011 "1,42-21,86 "
" " "(65%) "(35%) " " " "
" "Tinggi "5 "15 " " " "
" " "(25%) "(75%) " " " "
Berdasarkan tabel 5.2 ditemukan sebagian besar 75% (N=15) subjek dengan
osmolaritas plasma awal tinggi mengalami luaran buruk selama perawatan.
Pada uji Chi-Square didapatkan RR (Risiko Relatif) sebesar 5,57 dengan IK
95% (1,42-21,86). Pasien dengan kadar osmolaritas plasma awal tinggi
mempunyai kemungkinan 5,57 kali untuk mengalami luaran buruk stroke selama
perawatan. Hubungan ini bermakna secara statistik (p=0,011).
Selama pengamatan ditemukan 3 orang (7,5%) subjek meninggal dunia.
Median osmolaritas plasma awal lebih tinggi pada pasien yang meninggal
306,45 (273,61-322,17) mOsm/kg dibandingkan yang bertahan hidup dengan
median 296 (274,17-351,63) mOsm/kg. Tidak ada perbedaan bermakna median
osmolaritas plasma awal pasien yang meninggal dengan yang bertahan hidup
(p=0,521).
5.3 Analisis Bivariat Faktor Lain dengan Luaran Stroke
Untuk mengetahui perbandingan atau hubungan antara beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi luaran stroke selama perawatan dilakukan uji Chi-Square.
Hasil analisis disajikan pada tabel 5.3.
Tabel 5.3 Analisis Bivariat Beberapa Faktor yang Berpengaruh pada Luaran
Stroke
"Faktor yang "Luaran Stroke "RR "p "IK 95% "
"berpengaruh " " " " "
" "Baik "Buruk " " " "
" "N (%) "N (%) " " " "
"DM " " "0,42 "0,109 "0,29-0,6"
"ya "2(100%) "0(0%) " " "1 "
"tidak "16(42,1%) "22(57,9%) " " " "
"Osmoterapi " " "1,14 "0,842 "0,31-4,2"
"ya "6(42,9%) "8(57,1%) " " "3 "
"tidak "12(46,2%) "14(53,8%) " " " "
"Volume " " "0,5 "0,114* "0,36-0,6"
"perdarahan " " " " "9 "
"< 30 ml "18(50,0%) "18(50,0%) " " " "
"30-60 ml "0 (0%) "4(100%) " " " "
"Umur subjek " " "1,38 "0,622 "0,38-5,0"
"<56 tahun "12(48.0%) "13 (52%) " " "7 "
">56 tahun "6 (40.0%) "9 (60.0%) " " " "
*Fisher exact test
Berdasarkan tabel 5.3 ditemukan sebanyak 57,9% (N=22) subjek yang tidak
mempunyai riwayat DM mengalami luaran buruk selama perawatan. Adanya DM
memiliki efek protektif 25 kali untuk terjadinya luaran stroke buruk.
Hubungan ini tidak bermakna secara stastistik (p=0,109 IK 95% 0,29-0,61).
Subjek sebanyak 57,1% (N=8) mendapat osmoterapi untuk mengatasi edema
serebri mengalami luaran buruk selama perawatan dibandingkan 53,8% subjek
tidak mendapat osmoterapi mengalami luaran buruk. Pemakaian osmoterapi
memiliki risiko 1,14 kali untuk terjadinya luaran buruk. Hubungan ini tidak
bermakna secara statistik (p=0,842; IK 95% 0,31-4,23).
Pada subjek dengan volume perdarahan > 30 ml sebanyak 4 orang (100%)
memiliki luaran buruk. Volume perdarahan > 30 ml meningkatkan risiko 0,5
kali untuk terjadinya luaran buruk. Namun hubungan tersebut tidak bermakna
secara statistik (p=0,114; IK 95% 0,36-0,69). Uji Fisher exact yang
digunakan pada analisis bivariat volume perdarahan dengan luaran stroke
karena ada satu kolom yang memiliki Expected Count kurang dari 5 .
Subjek dengan umur <56 tahun sebesar 52% (N= 13 orang) memiliki luaran
buruk. Subjek umur < 56 tahun memiliki risiko 1,38 kali untuk terjadinya
luaran buruk. Hubungan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,62; IK 95%
0,38-5,07).
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek pada penelitian ini berjumlah 40 orang yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi didapatkan dengan cara pemilihan sampel dengan cara
consecutive terhadap seluruh penderita stroke perdarahan intraserebral yang
datang dan menjalani perawatan di RSUP Sanglah, RS Sanjiwani, RS Wangaya
dan RS Tabanan.
Pada penelitian kohort ini didapatkan rerata usia subjek 55,80 ±13,36
tahun. Beberapa penelitian mendapatkan hasil serupa. Perdarahan
intraserebral umumnya terjadi pada usia lebih dari 55 tahun (Qureshi,
2001). Suatu penelitian prospektif oleh Al Mousawi et al., pada tahun 201,
pada 70 pasien dengan stroke perdarahan intraserebral mendapatkan rerata
usia pasien 63,34 ± 8,97 tahun. Nag et al., pada tahun 2012, suatu
penelitian prospektif dengan rerata umur 65,1 ± 9,9 tahun. Umur merupakan
faktor penting dalam menentukan kemungkinan penyebab khusus perdarahan
intraserebral pada individu. Malformasi arteriovena dan malformasi
kavernosus penyebab utama pada usia muda, kelainan degeneratif pembuluh
darah kecil intrakranial pada usia menengah dan usia lanjut, sedangkan
angiopati amiloid adalah penyebab penting lainnya yang perlu
dipertimbangkan pada usia lanjut (Warlow et al., 2007). Stroke perdarahan
terjadi pada jangkauan usia yang lebar. Walaupun persentase lebih tinggi
stroke perdarahan dapat terjadi pada pasien dengan usia kurang dari 40
tahun, PIS umumnya terjadi pada usia lanjut (Caplan, 2009). Kemungkinan
pada penelitian ini, PIS terjadi akibat kelainan degeneratif pembuluh darah
kecil terkait tekanan darah tinggi.
Proporsi jenis kelamin pada penelitian ini memperoleh laki-laki lebih
banyak yaitu sebesar 80%. Hasil ini sama dengan penelitian Al Mousawi et
al., pada tahun 2012 dengan persentase laki-laki 60%. Nag et al., pada
tahun 2012 juga melaporkan persentase laki-laki sebesar 62,5%.
Median osmolaritas plasma awal yang didapatkan pada penelitian ini
296,23 (273,61-351,63) mOsm/kg. Osmolaritas plasma awal ditemukan tinggi.
Bhala et al., pada tahun 2000 menemukan rerata kadar osmolarita plasma
295,2 ± 9,8 mOsm/kg. Nag et al., pada tahun 2012 mendapatkan rerata
osmolaritas plasma awal sebesar 301,9 ± 15,4 mOsm/kg. Kemungkinan pada
subjek penelitian mempunyai kadar osmolaritas plasma awal yang tinggi
disebabkan karena usia subjek sudah lanjut dan derajat stroke sedang (80%)
saat masuk rumah sakit. Usia secara bermakna berkaitan dengan osmolaritas
plasma ( koefisien 0,15 per tahun untuk penambahan usia, IK 95% 0,03-0,27
dengan p 0,02) (Bhala et al., 2000). Pada pasien stroke akut cenderung
mengalami dehidrasi akibat penurunan kesadaran atau kesulitan menelan.
Dehidrasi yang terjadi meningkatkan viskositas darah dengan mempengaruhi
osmolaritas plasma sehingga terjadi perubahan hemodinamik serebral dan
dapat mengubah aliran darah otak (Bhalla et al., 2000). Pada penelitian
ini tidak dilakukan penilaian status hidrasi yang dapat mempengaruhi luaran
stroke.
6.2 Osmolaritas Plasma Awal Tinggi sebagai Prediktor Luaran Buruk Stroke
Perdarahan intraserebral (PIS) merupakan subtipe stroke yang sangat
fatal dan sulit ditangani. Pengendalian faktor fisiologis dapat menurunkan
mortalitas dan morbiditas PIS seperti penanganan suhu, tekanan darah dan
hidrasi. Cairan parenteral dapat menurunkan kejadian dehidrasi dan
mempertahankan tekanan darah sistemik setelah terjadi stroke akut.
Osmolaritas plasma merupakan penanda hidrasi yang lebih penting
dibandingkan pengukuran biokimia konvensional seperti natrium atau urea
plasma. Untuk mengetahui apakah osmolaritas plasma awal tinggi sebagai
prediktor luaran buruk dilakukan uji chi-square. Pada penelitian ini
didapatkan osmolaritas plasma awal tinggi meningkatkan risiko memiliki
luaran buruk sebesar 5,57 kali dibandingkan dengan subjek osmolaritas
plasma awal yang rendah. Hasil ini menegaskan osmolaritas plasma awal
tinggi sebagai prediktor luaran buruk stroke perdarahan intraserebral
selama perawatan. Penelitian ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan
Bhala et al., pada tahun 2000. Osmolaritas plasma awal > 296 mOsm/kg
menunjukkan hubungan bermakna dengan mortalitas stroke setelah 3 bulan (OR
1,5, IK 95% 0,58-3,7). Hal serupa juga didapatkan oleh Nag et al., pada
tahun 2012. Penelitian tersebut menyatakan bahwa osmolaritas plasma saat
pasien datang 312 mOsm/kg berkaitan dengan kematian dini (< 7 hari) dan
stroke derajat sangat berat. Osmolaritas plasma awal secara bermakna lebih
tinggi pada pasien dengan skor NIHSS > 20 (mendekati 311 mOsm/kg)
dibandingkan pasien dengan skor NIHSS <20 (293 mOsm/kg) (Nag et al., 2012).
Lesi pada otak, sesuai dengan derajat keparahan kerusakan (trauma
kepala, tumor, kejang, abses atau kelainan otak lainnya) menyebabkan
gangguan integritas SDO, yang dapat menimbulkan reaksi berbeda terhadap
perubahan osmosis/onkotik. Jika kerusakan SDO berat, tidak terjadi
perbedaan gradien osmosis. Hal ini memungkinkan apabila terjadi kerusakan
SDO yang ringan, fungsi sawar menjadi serupa dengan kapiler jaringan
perifer (Tommasino, 2009).
Kebocoran pembuluh darah merupakan gambaran inflamasi. Berbagai
penyebab bisa meningkatkan permeabilitas vaskular yang menimbulkan
kebocoran sel darah merah, sel darah putih dan protein plasma. Protein
tersebut selanjutnya akan dipecah menjadi bagian yang lebih kecil oleh
metabolisme enzimatik. Proses pemecahan menghasilkan sejumlah osmolit
sehingga akan meningkatkan osmolaritas ekstraseluler. Kondisi hiperosmolar
menginduksi respons sitokin proinflamasi (Schwartz et al., 2009). Pada
penelitian Schwartz et al., pada tahun 2009, kultur cairan hiperosmolaritas
600 mOsm memperlihatkan umur makrofag yang memanjang dari normal 44 hari
menjadi 102 hari. Pada tingkat molekular didapatkan cairan hiperosmolar
dengan kadar ekspresi p53 dan Bax yang rendah sedangkan kadar Bcl-2 yang
tinggi. Selama proses inflamasi, terjadi influks makrofag. Berdasarkan
penelitian Schwartz et al., pada tahun 2009 dapat disimpulkan bahwa kondisi
hiperosmolar mempunyai peran penting dalam rekruitmen dan survival
makrofag. Namun inflamasi menyebabkan kematian sel yang masif.
Mikroglia, fagosit yang menempati otak, sangat banyak terdapat dalam
parenkim otak (10-15% total sel glia) dan akan menjadi teraktivasi dalam
beberapa menit setelah PIS. Mikroglia yang teraktivasi melepaskan sitokin
proinflamasi dan faktor kemosis yang membantu menarik sel inflamasi
hematogen menuju tempat lesi PIS. Proses ini ditandai dengan infiltrasi
neutrofil sementara (18 jam-4 hari) dan dalam jangka panjang terdapatnya
makrofag hematogen (1 hari- bulan) (Aronowski and Zhao, 2011). Adanya
proses inflamasi yang terjadi akan menyebabkan kerusakan sekunder pada
jaringan otak.
6.3 Faktor Lain yang Berpengaruh pada Luaran Stroke
Luaran PIS dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang ada pada
pasien, pada perjalanan perdarahan yang terjadi dan komorbiditas penyakit
yang menyertainya. Pada penelitian ini dilakukan uji beberapa faktor yang
dapat menjadi prediktor luaran selain osmolaritas plasma.
Subjek tanpa riwayat DM memiliki kemungkinan luaran stroke buruk
sebesar 57,89%. Adanya DM memiliki efek protektif 25 kali untuk terjadinya
luaran stroke buruk. Hubungan ini tidak bermakna secara statistik (p=0,109
IK 95% 0,29-0,61). Hasil ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Bhalla
et al., pada tahun 2000 menemukan pasien diabetes memiliki osmolaritas
plasma lebih tinggi (300 mOsm/kg) dibandingkan pasien tanpa riwayat
diabetes (294 mOsm/kg), dengan kemaknaan statistik p=0,01 (IK 95% -11-1,1).
Perbedaan hasil ini kemungkinan disebabkan pada penelitian ini hanya dua
subjek yang menderita DM.
Penggunaan osmoterapi dapat mempengaruhi osmolaritas plasma dan luaran
stroke. Pada penelitian ini didapatkan subjek yang tanpa menggunakan
osmoterapi kemungkinan menjadi luaran buruk sebesar 1,14 kali dibandingkan
subjek yang menggunakan osmoterapi. Namun tidak bermakna secara statistik
(p=0,842, IK 95% 0,309-4,239). Hal serupa juga didapatkan pada penelitian
Bhalla et al., pada tahun 2000. Empat puluh empat pasien yang mendapat
diuretik sebelum dirawat memiliki osmolaritas yang sama dengan 123 pasien
yang tidak mendapat diuretik (IK 95% -3,8-2,9, p=0,08). Tidak terdapat
hubungan yang bermakna dengan penggunaan diuretik sebelum perawatan dengan
osmolaritas plasma tinggi (p=0,68).
Subjek pada penelitian ini menggunakan manitol sebagai osmoterapi.
Manitol digunakan secara luas untuk menurunkan tekanan intrakranial pada
pasien dengan berbagai kelainan neurologis. Efek penggunaan manitol pada
pasien PIS dengan kelainan ginjal diuji oleh Dziedzic et al. (2003).
Terjadi peningkatan sementara kadar urea dan kreatinin selama osmoterapi
dan tidak ada pasien yang menderita oligouria atau anuria. Peningkatan
kadar urea dapat meningkatkan osmolaritas plasma dan memperberat fungsi
ginjal. Studi Dziedzic et al., pada tahun 2003 menyatakan penggunaan
manitol dalam pengawasan osmolaritas plasma lebih aman dengan pemantauan
fungsi ginjal. Pernyataan berbeda dikemukakan oleh Bereczki et al., pada
tahun 2003, pada stroke akut tidak direkomendasikan penggunaan manitol.
Penyataan ini berdasarkan penelitian yang dilakukan mendapatkan dua pertiga
pasien yang mendapatkan manitol intravena sebagai terapi rutin memiliki
case fatality 25 % dibandingkan 16% pada pasien yang tanpa mendapat manitol
(p< 0,006) pada 30 hari.
Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan penggunaan osmoterapi
dengan luaran stroke kemungkinan disebabkan karena tidak dilakukan
penghitungan osmolaritas plasma secara serial untuk mengetahui efek
penggunaan osmoterapi terutama manitol terhadap osmolaritas plasma.
Pada penelitian ini, semua subjek dengan volume perdarahan > 30 ml (N=4
orang) memiliki luaran buruk. Tidak terdapat hubungan bermakna volume > 30
ml dengan luaran buruk ( RR 0,5, IK 95% 0,36-0,69; p=0,178). Al Mousawi et
al., pada tahun 2012 menemukan hubungan yang sangat bermakna antara volume
perdarahan dengan mortalitas. Rerata ukuran hematom pada pasien yang
meninggal sekitar 80,29 ml dan 63,67 ml pada pasien yang bertahan hidup
(p=0,046). Hasil ini sesuai dengan penelitian Alexander yang dikutip Al
Mousawi et al., pada tahun 2012, mortalitas hari 7 sebesar 39,8% berkaitan
dengan volume perdarahan yang lebih besar. Jordan et al., pada tahun 2009
menemukan median volume perdarahan 20,4 ml dan median ukuran PIS sebagai
persentase total volume otak. Hanya 4 dari 22 anak PIS dengan perdarahan <
4% total volume otak memiliki luaran buruk dibandingkan 5 dari 8 anak
dengan perdarahan > 4% (p<0,03). Ukuran volume perdarahan yang besar
umumnya berkaitan dengan tekanan intrakranial yang tinggi dan efek massa.
Hal ini akan diperberat dengan adanya hidrosefalus obstruksi akibat
perdarahan intraventrikel. Selain ukuran perdarahan yang menimbulkan efek
massa, luaran buruk PIS dipengaruhi perkembangan ukuran volume perdarahan.
Ketidakbermaknaan hasil pada penelitian ini kemungkinan disebabkan karena
volume perdarahan > 60 ml dieksklusi.
6.4 Kelemahan Penelitian
Beberapa variabel lain yang kemungkinan mempengaruhi luaran stroke
tidak diteliti pada penelitian ini seperti hiperglikemia, dislipidemia dan
parameter fisiologis lainnya. Pengukuran osmolaritas plasma dan volume
perdarahan dilakukan hanya satu kali saat pertama kali dirawat.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini didapatkan simpulan sebagai berikut:
Osmolaritas plasma awal tinggi sebagai prediktor luaran buruk PIS
selama perawatan. Osmolaritas plasma awal yang tinggi meningkatkan
risiko 5,57 kali untuk terjadi luaran buruk stroke (RR 5,57; IK 95%
1,42-26,86, p=0,011).
7.2 Saran
Sebagai saran berdasarkan penelitian ini:
1. Perlu menghitung osmolaritas plasma dan pemantauan osmolaritas
plasma dalam penanganan PIS selama perawatan.
2. Dilakukan penelitian serupa dengan penghitungan osmolaritas plasma
dan volume perdarahan secara serial sebagai prediktor luaran stroke.
DAFTAR PUSTAKA
Aronowski, J., Zhao, X. 2011. Molecular pathophysiology of cerebral
hemorrhage: secondary brain injury. Stroke, 42: 1781-1786.
Al Mousawi, Z.N., Al Tameemi, K.M., Haji, G.F. 2012. Predictors of
Outcome for Spontaneous Intracerebral Hemorrhage in Iraqi Stroke Patients.
The Iraqi Postgraduate Medical Journal, 11 (4):503-509.
Bautista, C. 2009. Assesing Stroke Severity: Acute Stroke Evaluation.
Ppt. Yale-New Haven Hospital.
Bereczki, D., Mihalka, L., Szatmari, S., Fekete, K., Di Cesar, D.,
Fulesdi, B., Csika, L., Fekete, I. 2003. Manitol use in Acute Stroke.
Stroke, 34: 1730-1735.
Bhalla, A., Sankaralingam, S.,; Dundas, R.,Swaminathan, R.,Wolfe,
C.D.A., Rudd, A.G. 2000. Influence of Raised Plasma Osmolality on Clinical
Outcome After Acute Stroke. Stroke, 31:2043-2048.
Bhalla, A., Wolfe, C.D.A., Rudd, A.G. 2001.Management of Acute
Physiological Parameter after Stroke. QJMed, 94:167-172.
Boone,M., Chillon,J.M., Garcia,P.Y., Canaple, S., Lamy,C., Godefroy,O.,
Bugnicourt,J.M. 2012. NIHSS and acute complications after anterior and
posterior circulation strokes. Therapeutics and Clinical Risk Management,
8:87–93.
Broderick, J.P., Brott,T.G., Duldner,J.E., Tomsick,T., Huster, G. 1993.
Volume of intracerebral hemorrhage. A powerful and easy-to-use predictor of
30-day mortality. Stroke,24:987-993
Butcher,K.S., Baird,T., MacGregor,L., Desmond, P.,Tress, B., Davis,S.
2004. Perihematomal Edema in Primary Intracerebral Hemorrhage Is Plasma
Derived Stroke, 35:1879-1885
Caplan, L.R. 2009. Caplan's Stroke: A Clinical Aprroach. Fourth
edition. Philadelphia: Saunders. Pp 487-515.
Castillo, J., Davalos, A., Alvarez-Sabin, J., et al.. 2002. Molecular
signatures of brain injury after intracerebral hemorrhage. Neurology
,58:624-629
Dahlan, Sopiyudin. 2010. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
pp76.
Divani, A.A., Majidi, S., Luo, X., Souslian, F.G., Zhang, J., Abosch,
A., Tummala, R.P. 2011. The ABCs of Accurate Volumetric Measurement of
Cerebral Hematoma. Stroke, 42: 1569-1574.
Dziedzic,T., Szczudlik, A., Klimkowicz, A., Rog, T.M. 2003. Is Manitol
safe for patients with intracerebral hemorrhages? Renal consideration.
Clinical Neurology and Neurosurgery, 105: 87-89.
Fisher, S.K., Heacock, A.M., Keep, R.F., Foster, D.J. 2010. Receptor
regulation of osmolyte homeostasis in neural cells. J Physiol, 588(18)
:3355-3364.
Gebel,J.M., Jauch ,E.C., Brott, T.G., Khoury, J., Sauerbeck, L.,
Salisbury, S., Spilker,J., Tomsick, T.A.,Duldner, J., Broderick, J.P. 2002.
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage Relative Edema Volume Is a Predictor
of Outcome in Patients With Hyperacute Stroke, 33:2636-2641.
Gebel, J.G., Jauch, E.C., Brott, T.G., Khoury,J., Sauerbeck,L.,
Salisbury, S.,Spilker, J.,Tomsick,T.A., Duldner, J.,Broderick, J.P. 2002.
Natural History of Perihematomal Edema in Patients With Hyperacute
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage. Stroke, 33:2631-2635.
Godoy, D.A., Piñero, G., Di Napoli, M. 2006. Predicting Mortality in
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage : Can Modification to Original Score
Improve the Prediction? Stroke,37:1038-1044.
Goldstein, L.B. 2009. A Primer on Stroke Prevention Treatment: An
Overview Based on AHA/ASA Guidelines. 1st ed. Dallas : Wiley-Blackwell. pp.
1 – 64.
Hemphill III, J.C., Bonovich, D.C., Besmertis, L., Manley, G.T.,
Johnston, S.C. 2001. The ICH Score : A Simple, Reliable Grading Scale for
Intracerebral Hemorrhage Stroke,32:891-897.
Hoffmann, E.K., Lambert, A.H., Pedersen, S.F. 2009. Physiology of cell
volume regulation in vertebrates. Physiol Rev, 89: 193-277.
James, P.A., Oparil, S., Carter, B.L., Cushman, W.C., Dennison-
Himmelfarb, C.,Handler, J., et al. 2014. Evidence-Based Guideline for the
Management of High Blood Pressure in Adults: Report From the Panel Members
Appointed to the Eighth Joint National Committee (JNC 8). JAMA, 10:E1-14.
Jensen,M.B., dan Lyden,P. 2006. Stroke Scale: An Updates. National
Stroke Association,16:1-7.
Jordan, L.C., Kleinman, J.T., Hillis, A.E. 2009. Intracerebral
Hemorrhage Volume Predicts Poor Neurologic Outcome in Children Stroke,
40:1666-1671.
Kafri, M.W., Myint, P.K., Doherty, D., Wilson, A.H., Potter, J.F.,
Hooper, L. 2010. Hydration status following stroke and the relationship
between hydration and functional status at discharge. 11 EHI Grants Awards
Scheme project. European hydration institute.Abstract.
Mayer, S.A., Lignelli, A., Fink,M.E., Kessler,D.B., Thomas,C.E.,
Swarup, R.,Van Heertum, R.L. 1998. Perilesional Blood Flow and Edema
Formation in Acute Intracerebral Hemorrhage : A SPECT Study Stroke,29:1791-
1798.
Nag,C., Das, K., Ghosh, M., Khandakar, M.R. 2012. Plasma osmolality in
acute spontanious intra-cerebral hemorrhage: Does it influence hematoma
volume and clinical outcome?. Journal of Research in Medical
Sciences,17:548-551.
O'Neill, P.A., Davies, I., Fullerton, K.J., Bennett, D. 1992. Fluid
balance in elderly patients following acute stroke. Age Ageing, 21: 280-
285.
Perkeni. 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus
tipe 2 di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia.
Qureshi, A.I., Tuhrim, S., Broderick, J.P., Batjer, H.H., Hondo, H.,
Hanley, D.F. 2001. Spontaneus Intracerebral Hemorrhage. N Engl J Med, 344
(19):1450-1460.
Rhoda, K.M., Porter, M.J., Quintini, C. 2011. Fluid and Electrolyte
Management : Putting a Plan in Motion. Journal of Parenteral and Enteral
Nutrition, 35 (6): 675-685.
Rodriguez, G.J., Cordina, S.M., Vazquez, G., Suri, F.K., Kirmani, J.F.,
Ezzeddine, M.A., Qureshi, A.I. 2009. The Hydration Influence on the Risk of
Stroke (THIRST) Study. Neurocrit Care, 10:187–194.
Schwartz, L., Guais, A., Pooya,M., Abolhassani,M. 2009. Is Inflammation
a consequence of Extracelluler Hiperosmolarity?. Journal of Inflammation,
6(21):1-10
Seo W., Oh H. 2007. Acute physiologic predictors of mortality and
functional and cognitive recovery in hemorrhagic stroke : 1-,3-, and 6-
month assessments. J Stroke Cerebrovasc Dis, 16: 57-63.
Seo W., Oh H. 2009. Comparisons of acute physiological parameters
influencing outcome in patients with traumatic brain injury and hemorrhagic
stroke. Worldviews Evid Based Nur, 6: 36-43.
Shepherd A. 2001.Measuring and managing fluid balance. Nursing times,
107(28): 12-16.
Silverman, I.E.,, Rymer, M.M. 2010. An Atlas of Investigation and
Treatment Hemorrhagic Stroke. First edition. Oxford: Atlas Medical
Publishing. Pp 1-32.
Soga, Y., Pandey, D.K. 2011. The link between hypertension and stroke:
summary of observational epidemiology studies. In: Aiyagari., editors.
Hypertension and Stroke. New York: Humana Press. Pp 27-30.
Standar Pelayanan Operasional Laboratorium. 2010. Pemeriksaan Kimia
Darah. Denpasar: RSUP Sanglah.
Svendsen, O.S., Barczyk, M.M., Popova, S.N., Liden, A., Gullberg, D.,
Wiig, H. 2009. The α11β1 Integrin Has a Mechanistic Role in Control of
Interstitial Fluid Pressure and Edema Formation in Inflammation.
Arterioscler Thromb Vasc Biol, 29:1864-1870.
Tommasino, C. Fluids and the neurosurgical patient. 2002.
Anesthesiology Clin N Am, 20: 329-346.
Townsend, R.R., Steigerwalt, S.P. 2011. Blood Pressure: Definition,
Diagnosis, and Management. In: Aiyagari., editors. Hypertension and Stroke.
New York: Humana Press. Pp 3-8.
Wagner, K.R. 2007. Modeling Intracerebal Hemorrhage : Glutamate,
Nuclear Factor-kB Signaling and Cytokines. Stroke, 38:753-758.
Warlow,C., van Gijn, J., Dennis, M., Wardlaw, J., Bamford, J., Hankey,
G., Sandercock, P., Rinkel, G., Langhorne, P., Sudlow, C., Rothwell, P.
2007. Stroke Practical Management. Third edition. Oxford: Blackwell
Publishing. Ch 13, pp 703-704.
Wityk, R.J., Pessin, M.S., Caplan, R.F., Caplan, L.R. 1999. Serial
assessment of acute stroke using the NIH stroke scale. Stroke, 25: 362-365.
Xi,G., Hua, Y., Bhasin, R.R., Ennis, S.R., Keep, R.F., Hoff, J.T. 2001.
Mechanisms of Edema Formation After Intracerebral Hemorrhage : Effects of
Extravasated Red Blood Cells on Blood Flow and Blood-Brain Barrier
Integrity. Stroke, 32:2932-2938.
-----------------------
Luaran Buruk
Luaran Baik
Luaran Buruk
Luaran Baik
Osmolaritas Plasma Awal Normal
Osmolaritas Plasma Awal Tinggi
Pengamatan selama 7 hari
Pasien PIS di RSUP Sanglah
Variabel yang dikendalikan pada tahap analisis data penelitian
Variabel perancu ( dikendalikan pada tahap rancangan penelitian
Variabel yang akan diteliti
- Umur
- Awitan
- Osmoterapi
- Diabetes melitus
-Lokasi perdarahan
- Volume perdarahan
- Riwayat stroke
- Riwayat trauma
- Pembedahan
- Gangguan jantung, hepar, imun
- Gangguan faal hemostasis
Luaran Stroke
(nilai NIHSS)
Osmolaritas plasma
Stroke PIS
(4)
ABC
2
[urea]
2.8
[glucose]
18
2(Na++ K+) + +
[urea]
2.8
[glucose]
18
2(Na++ K+) + +
Dehidrasi
Bocornya protein serum
Cairan edema vasogenik
Iskemia
Edema perihematoma
-DM
- Stres hiperglikemia
- TD, osm plasma
- Viskositas darah
osmolaritas ekstravaskular & plasm
Luaran stroke
Akumulasi substansi osmosis aktif ekstravaskular
permeabilitas kapiler
Kerusakan SDO
- kesadaran
- disfagia
asupan cair
Respons inflamasi lokal
Lisis eritrosit
Pemecahan Hb (Fe)
Clot darah
Stroke
Trombin
Pendarahan
FM = k (Pc + pi – Pi- pc)