NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS
I.
PENDAHULUAN
Permasalahan kanker serviks di Indonesia masih seperti penyakit kanker yang lain, yaitu lebih dari 70% kasus ditemukan pada stadium lanjut. Kondisi ini terjadi pula di beberapa negara berkembang.Untuk memperoleh hasil pengobatan kanker serviks yang baik, salah satu faktor utama adalah penemuan stadium secara dini. Jika ditemukan pada tahap lesi prakanker, diharapkan tingkat penyembuhannya tinggi, hampir 100%, dan kematian kema tian akibat kanker serviks dapat dihindari. Dengan ditemukan pada stadium dini maka pengobatan kanker serviks akan memberikan hasil yang lebih baik, rata-rata penyembuhan berkisar antara 66,3% sampai 95,1%. Sedangkan pada stadium lanjut memberikan hasil yang kurang memuaskan, dengan angka harapan hidup yang rendah, berkisar antara 9,4 – 63,5%, – 63,5%, serta biaya yang tinggi. 1 Di Indonesia, kanker serviks merupakan keganasan yang paling banyak ditemukan dan merupakan penyebab kematian utama pada perempuan dalam tiga dasawarsa terakhir dan sekitar 50-80% wanita akan terinfeksi oleh HPV sepanjang masa hidupnya. Data patologi patologi dari 12 12 pusat patologi patologi menunjukkan menunjukkan bahwa kanker serviks menduduki urutan pertama dari 10 jenis kanker terbanyak yang ditemukan di Indonesia. 2 Sebagaimana lazimnya pencegahan terhadap sesuatu jenis penyakit, perlu diwaspadai adanya faktor risiko dan ketersediaan sarana diagnostik serta penatalaksanaan kasus sedini mungkin. Lesi prakanker serviks yang sangat dini ini dikenal sebagai neoplasia intraepitelial serviks (NIS), yang ditandai dengan adanya perubahan displastik epitel serviks. Sebagian kecil kasus NIS, jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi kanker serviks. Infeksi oleh human papillomavirus (HPV), terutama HPV risiko tinggi (HR-HPV) tipe 16 atau tipe t ipe 18, adalah penyebab utama dari NIS. Menurut standar pementasan penyakit, CIN dapat dibagi menjadi 2 kategori: lesi derajat rendah (NIS 1) dan lesi derajat tinggi (NIS 2 dan NIS 3). Perlakuan segera NIS 2 dan NIS 3 biasanya diperlukan karena
1
tingkat regresi spontan pada tahap ini adalah rendah (32-43%) dan jika tidak diobati, risiko pengembangan menjadi kanker invasif akan meningkat secara substansial sekitar 5-22 %. 1,3 Sampai saat ini, pemeriksaan sitologi dengan test Pap masih merupakan pemeriksaan standar untuk deteksi dini keganasan serviks. Meskipun test Pap merupakan metode yang cukup sederhana, dibutuhkan tahapan-tahapan untuk mendapatkan hasil yang baik. Pada 1985, WHO merekomendasikan suatu pendekatan alternatif alt ernatif bagi negara yang sedang berkembang dengan konsep down staging terhadap kanker serviks. Konsep ini dimaksudkan untuk deteksi penyakit pada stadium dini, salah satunya dengan cara inspeksi visual dengan asam asetat.1 Kematian akibat penyakit ini dapat dicegah bila program skrining dan pelayanan kesehatan diperbaiki. Hampir 80% kasus berada di negara berkembang. Sebelum 1930, kanker serviks ini masih merupakan penyebab utama kematian perempuan dan kasusnya turun secara drastis semenjak diperkenalkan teknik skrining Papsmear oleh Papanicolauo. 1
II.
DEFINISI
Neoplasia intraepitelial serviks
(NIS) adalah lesi premaligna yang
terbentuk dari transformasi sel skuamosa pada permukaan serviks. NIS biasanya dapat disembuhkan pada sebagian kasus NIS yang stabil atau dieliminasi oleh sistem kekebalan tubuh. Namun, sebagian kecil kasus NIS, jika tidak diobati, dapat berkembang menjadi kanker serviks.3
III.
ANATOMI DAN HISTOLOGI
Organ Genitalia Eksterna
Organ genitalia eksterna terdiri dari labia mayor dan minor, klitoris, ostium uretra, introitus vagina. Area antara vagina dan anus adalah perineum, dan kelenjar bartolini adalah dua kelenjar pada masing -masing sisi introitus vagina.4
2
Gambar 1: Organ genitalia eksterna (Dikutip dari kepustakaan 4) Organ Genitalia Interna
Gambar 2: Organ genitalia interna (Dikutip dari kepustakaan 4) Vagina dan uterus terletak di belakang-bawah os pubis dalam pelvis. Kantong kemih dan uretra terletak di depan vagina dan uterus, dan rektum dibelakangnya. 4
3
Vagina
Vagina adalah sebuah saluran (tube) fibromuscular elastis dari introitus sampai ke serviks; dindingnya berbentuk lipatan-lipatan yang memungkinkan vagina mengembang/melebar saat aktivitas seksual dan saat melahirkan bayi. Bagian bawah dari serviks (ektoserviks) menonjol ke ujung dalam dari vagina dan area vagina melingkari bagian tersebut membentuk forniks anterior, posterior dan lateral.4 Uterus dan Serviks
Uterus atau rahim adalah organ berdinding tebal, berbentuk buah pir, organ berlubang dan terbentuk dari otot polos. Uterus disokong oleh beberapa struktur jaringan ikat yaitu: ligamentum transversal, ligamentum uterosakral, ligamentum latum, ligamentum kardinale, dan ligamentum ovarii proprii. 1 Rongga uterus dilapisi oleh endometrium (sebuah epitel berkelenjar yang mengalami perubahan pada siklus menstruasi). Ukuran uterus normal saat tidak ada kehamilan atau tumor adalah sekitar 10 cm diukur dari fundus sampai batas bawah serviks.4 Serviks merupakan sebuah area 1/3 bagian bawah dari uterus yang tebal, merupakan jaringan fibromuskular yang dilapisi oleh dua tipe epitel. Serviks berukuran panjang sekitar 3 cm dengan diameter sekitar 2,5 cm. Bagian bawah serviks (ektoserviks) berhubungan langsung dengan vagina dan bisa dilihat melalui spekulkum. Kanalis serviks menghubungkan ostium uteri eksternum dengan ostium uteri internum yang terletak ditengah dari serviks. 4
4
Gambar 3: Bagian uterus dan Serviks (Dikutip dari kepustakaan 4) Epitel Serviks
Permukaan serviks dilapisi oleh dua tipe epitel, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar.
Gambar 4 : epitel serviks (Dikutip dari kepustakaan 4)
Epitel
skuamosa
adalah
epitel
berlapis-lapis
yang
terus-menerus
membelah. Secara normal, epitel ini menutupi sebagian besar dari ektoserviks dan vagina, dan pada wanita premenopause tampak berwarna merah muda dan tidak tembus cahaya (buram). Lapisan terbawah dari epitel ini disusun oleh sel berbentuk bulat, yang melekat ke membran basal, yang memisahkan epitel dari stroma fibromuskular di bawahnya. Pada wanita post menopause, epitel skuamosa
5
memiliki lapisan yang lebih sedikit, tampak berwarna pink-keputih-putihan, dan rentan terhadap trauma, yang kadang terlihat seperti bintik-bintik perdarahan kecil atau peteki. 4 Epitel kolumnar membentuk kanalis servikal dan meluas keluar ke bagian porsio dari ektoserviks. Epitel ini terdiri dari lapis tunggal sel yang tinggi dan menempel diatas membrane basal (basement membrane).
Lapisan ini lebih tipis
daripada lapisan epitel skuamosa pada ektoserviks. Pada saat dilihat dengan speculum endoservikal, tampak mengkilap berwarna merah. Hubungan antara epitel skuama dan epitel kolumnar ( squamocolumnar junction) tampak seperti garis yang lebih tinggi ( sharp line) diantaranya. Lokasi dari squamocolumnar junction berbeda-beda pada wanita ini tergantung dari umur, status hormonal, riwayat trauma, status kehamilan, dan penggunaan kontrasepsi oral. 4
Gambar 5 : zona transformasi dari serviks (Dikutip dari kepustakaan 4)
IV.
INSIDENS
Kanker serviks adalah penyebab kematian kedua terbanyak akibat keganasan pada perempuan di dunia. Di Amerika, kanker serviks menempati urutan ke 13 penyebab kematian akibat kanker dengan estimasi jumlah kasus baru sebanyak 13.000 kasus per tahun, dengan jumlah kematian sebesar 4000 kasus. Di Indonesia, berdasarkan data patologi dari 12
5
pusat patologi
menunjukkan bahwa kanker serviks menduduki urutan pertama dari 10 jenis kanker terbanyak yang ditemukan di Indonesia.2
6
V.
ETIOLOGI
Human papillomavirus (HPV) merupakan penyebab utama neoplasia intraepitelial serviks (NIS). Lesi NIS bersifat dinamis dan dapat bertahan atau berkembang menjadi kanker invasif, sementara sekitar 6-50% dari semua NIS 2-3 akan mengalami regresi spontan. Bila tidak diobati, sekitar 31% dari CIN3 akan berkembang menjadi karsinoma skuamosa invasif, dan jika mendapat terapi maka hanya sekitar 0,7% yang berkembang menjadi karsinoma invasif . 6 Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sekitar 50-75% dari wanita yang aktif secara seksual terinfeksi HPV. Namun, distribusi dan prevalensi tingkat infeksi HPV bervariasi di seluruh dunia, Hal ini mungkin sebagai akibat dari berbagai faktor resiko yang terkait dengan infeksi HPV. Meskipun lebih dari 180 jenis HPV telah dijelaskan 15 di antaranya memiliki hubungan yang dekat dengan keganasan. Tipe HPV yang sering ditemukan dan beresiko tinggi untuk menjadi kanker yaitu (HPV-16, -18, -31, -33, -45, -58). 7 Faktor risiko penting untuk terjadinya kanker serviks adalah koinfeksi, Koinfeksi didefinisikan sebagai infeksi dengan lebih dari satu jenis HPV. Telah ditetapkan bahwa ada hubungan penting antara jumlah jenis virus pada tempat infeksi dan keparahan dari neoplasia intraepitelial serviks . Dari total jumlah perempuan yang terinfeksi HPV, sekitar 20-50% diyakini terinfeksi dengan lebih dari satu jenis virus HPV.7 Faktor-faktor lain yang berkontribusi terhadap risiko terkena kanker serviks yaitu usia, jumlah pasangan seksual seumur hidup, merokok, penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi hormonal dan kehamilan. 7
VI.
PATOFISIOLOGI KANKER SERVIKS
Kanker serviks invasif berkembang dari keadaan preinvasive dan disebut sebagai neoplasia intraepitelial serviks (NIS). NIS 1 merupakan displasia ringan dan diklasifikasikan sebagai lesi derajat rendah, NIS 2 dan 3 merupakan dysplasia moderat sampai berat.5
7
1. Genetik
Wanita yang memiliki saudara yang terkena kanker serviks memiliki risiko 2 kali lipat untuk menderita kanker serviks dibandingkan dengan wanita yang tidak memiliki saudara dengan kanker serviks.
8
Perubahan genetik dalam beberapa kelas gen telah dikaitkan dengan kanker serviks. Tumor necrosis factor (TNF) yang terlibat dalam proses apoptosis sel, dan gen TNFa-8, TNFa-572, TNFa-857, TNFa-863, dan TNF G-308A telah dikaitkan dengan insiden yang pada kanker serviks. Polimorfisme dalam gen lain yang terlibat dalam apoptosis dan perbaikan gen, TP53, telah dikaitkan dengan tingginya peningkatan infeksi HPV untuk menjadi kanker serviks.
8
Ada beberapa anomali gen HLA yang dikaitkan dengan peningkatan risiko infeksi HPV berkembang menjadi kanker dan juga yang memberi efek perlindungan. Reseptor-2 kemokin (CCR2) pada kromosom 3p21 dan gen pada kromosom 10q24.1 juga dapat mempengaruhi kerentanan genetik terhadap kanker serviks, dengan mengganggu respon kekebalan terhadap HPV. Gen CASP8 (juga dikenal sebagai FLICE atau MCH5) memiliki polimorfisme di wilayah promotor yang telah dikaitkan dengan penurunan risiko kanker serviks. 8
2. HPV (Human Papilloma Virus)
Berbagai jenis protein diekspresikan oleh HPV yang pada dasarnya merupakan pendukung siklus hidup alami virus tersebut. Protein tersebut adalah E1, E2, E4, E5, E6, dan E7.
8
Pada infeksi fase laten, terjadi terjadi ekspresi E1 dan E2 yang menstimulus ekspresi terutama terutama L1 selain L2 yang berfungsi pada replikasi dan perakitan virus baru. Virus baru tersebut menginfeksi kembali sel epitel serviks. Di samping itu, pada infeksi fase laten ini muncul reaksi imun tipe lambat dengan terbentuknya antibodi E1 dan E2 yang mengakibatkan penurunan ekspresi E1 dan E2. Penurunan ekspresi E1 dan E2 dan jumlah HPV lebih dari ± 50.000 virion per sel dapat mendorong terjadinya integrasi antara DNA virus dengan DNA sel penjamu untuk kemudian infeksi HPV memasuki fase aktif.
8
Ekspresi E1 dan E2 rendah hilang pada pos integrasi ini menstimulus ekspresi onkoprotein E6 dan E7. 9,10 Selain itu, dalam karsinogenesis kanker serviks terinfeksi HPV, protein 53 (p53) sebagai supresor tumor diduga paling banyak berperan. Fungsi p53 wild type sebagai negative control cell cycle dan guardian of genom mengalami degradasi karena membentuk kompleks p53-E6 atau mutasi p53. Kompleks p53E6 dan p53 mutan adalah stabil, sedangkan p53 wild type adalah labil dan hanya bertahan 20-30 menit. Apabila terjadi degradasi fungsi p53 maka proses karsinogenesis berjalan tanpa kontrol oleh p53. Oleh karena itu, p53 juga dapat dipakai sebagai indikator prognosis molekuler untuk menilai baik perkembangan lesi prakanker maupun keberhasilan terapi kanker serviks. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa pada kanker serviks terinfeksi HPV terjadi peningkatan kompleks p53-E6. Dengan pernyataan lain, terjadi penurunan p53 pada kanker serviks terinfeksi HPV dan seharusnya p53 dapat dipakai indikator molekuler untuk menentukan prognosis kanker serviks. 9
3. HIV
Patogenesis kanker serviks dalam hubungannya dengan HIV tidak sepenuhnya dipahami. Namun, infeksi HIV bekerja dengan menekan tingkat imunitas yang telah terlebih dahulu dipengaruhi oleh virus HPV. 8 Kanker serviks setidaknya 5 kali lebih sering terjadi pada perempuan yang terinfeksi HIV, dan ini peningkatan ini tetap tidak berubah meskipun dengan penggunaan terapi antiretroviral. Penelitian telah menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi pada penderita yang terinfeksi HPV dengan
HIV-seropositif
dibandingkan dengan wanita dengan HIV-seronegatif. Prevalensi HPV adalah berbanding lurus dengan kadar CD4 + T-sel yang rendah. 8
VII.
GEJALA DAN TANDA
Tidak ada gejala dan tanda yang spesifik dari neoplasia intraepitelial serviks. Diagnosis hanya dapat dibuat jika telah dilakukan pemeriksaan sitologi. Semua lesi yang abnormal yang terlihat di serviks perlu dibiopsi. Jika telah terjadi
9
kanker maka dapat timbul gejala metrorrhagia, pendarahan pasca senggama, ulserasi serviks. Dapat juga ditemukan cairan yang berbau, purulent. Gejala lanjutan dapat terjadi gangguan BAB dan BAK ataupun fistula.
11
VIII. KLASIFIKASI NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS
Tabel berikut menunjukkan klasifikasi neoplasia intraepitelial serviks:
Ket : CIN/NIS: cervical intraepithelial neoplasia/neoplasia intraepitelial servikalis; LSIL: low-grade squamous intraepithelial lesion; HSIL: high-grade squamous intraepithelial lesion; ASC-US: atypical squamous cells of undetermined significance; ASC-H: atypical squamous cells: cannot exclude a high-grade squamous epithelial lesion.4 Keterangan:
1. Negatif (Kelas I): hasil apusan negatif tanpa adanya sel abnormal atau tidak dapat terlihat. Hasil apusan bersih dan tidak terdapat sel inflamasi dan tidak memiliki bukti keganasan (kanker). 12 2. Atipikal (Kelas II): Hal ini lebih lanjut dibagi menjadi dua istilah: sel Atypical squamous cells, cannot exclude high grade lesions (ASC-H) dan atypical squamous cells of uncertain significance (ASC-US).
10
Kriteria sitologi untuk diagnosis ASCUS termasuk pembesaran nukleus ukuran 2,5-3 kali lipat dari sel intermediate dengan sedikit peningkatan rasio nukleus / sitoplasma, terdapat variasi ringan dalam ukuran nukleus dan kontur, dan sedikit hyperkromasia dengan kromatin. Kriteria sitology untuk ASC-H yaitu sel skuamosa dengan inti membesar dan kurang sitoplasma dengan kontur nuklir tidak teratur. Mungkin ada bukti regenerasi sel-sel pada serviks atau perubahan sel yang berhubungan dengan infeksi atau trauma persalinan. Tergantung pada deskripsi lain ahli patologi mungkin diperlukan pengobatan untuk infeksi, pengecekan ulang pap smear, tes DNA, observasi, atau tes diagnostik dengan kolposkopi. 12,13 3. Low-grade squamous intraepithelial lesion(Kelas III, displasia ringan): Klasifikasi ini untuk sel-sel abnormal, yang dapat dianggap sebagai displasia ringan atau dengan ringan potensial "premaligna". Displasia adalah perubahan prakanker, dan temuan ini membutuhkan evaluasi lebih lanjut. Jika dibiarkan saja, perubahan ini mungkin kembali ke normal, mungkin tetap sama, atau bisa berkembang menjadi keganasan selama periode tahunan. Interval untuk pengembangan keganasan dari displasia adalah dari 3 sampai selama 10 tahun. Kolposkopi, menggunakan mikroskop untuk melihat serviks, mungkin akan dir ekomendasikan. Biopsi juga dapat dilakukan. Jika hanya perubahan ringan yang dikonfirmasi, biasanya tidak ada perawatan yang diperlukan. Dalam beberapa kasus lesi besar atau perubahan terus-menerus, pengobatan akan direkomendasikan. 4. High-grade squamous intraepithelial lesion (Kelas III, IV): Klasifikasi ini merupakan indikasi dari perubahan tingkat tinggi prakanker. Evaluasi dilakukan
dengan
menggunakan
kolposkopi.
Pengobatan
dengan
pembekuan atau eksisi biasanya diperlukan.12 5. Kanker (Kelas V): Klasifikasi ini menunjukkan probabilitas tinggi kanker dan diperlukan evaluasi lengkap untuk menentukan sejauh mana lesi kanker. Sebuah rencana perawatan untuk hasil terbaik dapat ditentukan. 12
11
IX.
DIAGNOSIS
A. Pemeriksaan Sitologi
Skrining harus dimulai dalam 3 tahun setelah melakukan aktivitas seksual atau ketika umur 21 tahun. Pemeriksaan perlu dilakukan setiap 3 tahun jika tidak ada kelainan yang didapat. Setelah usia 65-70 tahun, jika tidak didapatkan kelainan maka skrining dapat dihentikan. Jika menggunakan sitiologi cairan maka interval pemeriksaannya setiap 2 tahun sekali. Spesimen yang diambil yaitu dari dari sel serviks bagian luar (ectocervix) dan
kanalis
servikalis
(endocervix)
yang
menggunakan
prosedur
pewarnaan sel vagina dan servikal untuk memberikan gambaran yang jelas jelas
dari
kromatin
nucleus sehingga dapat ditentukan apakah ada
perubahan sel-sel serviks yang mengarah pada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal dalam serviks.11
Gambar 5. Pemeriksaan Sitologi (Dikutip dari kepustakaan no14)
12
Gambar 6. Pemeriksaan Histologi (Dikutip dari kepustakaan no14) 2. Kolposkopi
Pada perempuan dengan ASC-US dan skrining HPV negatif, maka pemeriksaan dengan kolposkopi perlu dilakukan. Dengan melihat serviks pada pembesaran 10-20x maka dapat terlihat ukuran dan margin dari lesi abnormal pada permukaan serviks. . Pada kolposkopi, serviks dioles dengan larutan asam asetat 3-5% atau lugol untuk membersihkan lendir yang meliputi permukaan serviks. Perubahan yang dapat terjadi yaitu adanya bercak putih dan vaskuler yang atipik yang menandakan adanya aktivitas selular yang hebat.
11
13
Gambar 7. Epitel squamous dan epitel columnar pada serviks (Dikutip dari kepustakaan no.14)
14
Gambar 8. Gambar serviks abnormal (Dikutip dari kepustakaan no.14) Berikut kategori kolposkopi abnormal: 14 Tabel : Kategori kolposkopi abnormal Kategori
Temuan
Tidak signifikan
Gambaran acetowhite epitel selalu mengkilap atau semitransparan. Batas jelas, dengan atau tanpa caliber pembuluh darah ( fine punctuation/fine mosaic), dengan pola yang teratur dan jarak antara kapiler dekat. Tidak ada pembuluh darah atipikal.
Signifikan
Acetowhite epitel yang tebal atau tidak tembus cahaya
15
dan memiliki batas yang tidak jelas. Terdapat pelebaran kaliber, bentuk tidak beraturan (coarse punctuation/mosaic). Terdapat pembuluh darah atipikal dan terkadang permukaannya ireguler.
Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan
inspeksi
visual
dengan
asam
asetat
(IVA)
adalah
pemeriksaan yang pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati le her rahim yang telah diberi asam asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang. 15,16 Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%.Pemberian asam asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih, disebut juga epitel putih (acetowhite). Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi protein lebih banyak. Jika makin putih dan makin jelas, main tinggi derajat kelainan jaringannya. Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim yang diberi 5 % larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih (mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan
16
asam asetat bukan merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia, biasanya disebabkan oleh proses keratosis. 15,17 Prinsip metode IVA adalah melihat perubahan warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih lengkap. Perempuan yang sudah menopause tidak direkomendasikan menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoserviks rahim dalam kanalis servikalis sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.15 Perempuan yang akan diskrining berada dalam posisi litotomi, kemudian dengan spekulum dan penerangan yang cukup, dilakukan inspeksi terhadap kondisi leher rahimnya. Setiap abnormalitas yang ditemukan, bila ada, dicatat. Kemudian leher rahim dioles dengan larutan asam asetat 3-5% dan didiamkan selama kurang lebih 1-2 menit. Setelah itu dilihat hasilnya. Leher rahim yang normal akan tetap berwarna merah muda, sementara hasil positif bila ditemukan area, plak atau ulkus yang berwarna putih.Lesi prakanker ringan/jinak (NIS 1) menunjukkan lesi putih pucat yang bisa berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar . Lesi yang lebih parah (NIS 2-3 seterusnya) menunjukkan lesi putih tebal dengan batas yang tegas, dimana salah satu tepinya selalu berbatasan dengan sambungan skuamokolumnar (SSK) . Beberapa kategori temuan IVA tampak seperti tabel berikut : 15
17
Baku emas untuk penegakan diagnosis lesi prakanker leher rahim adalah biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Apabila hasil skrining positif, perempuan yang diskrining menjalani prosedur selanjutnya yaitu konfirmasi untuk penegakan diagnosis melalui biopsi yang dipandu oleh kolposkopi. Setelah itu baru dilakukan pengobatan lesi prakanker. Ada beberapa cara yang dapat digunakan yaitu kuretase endoservikal, krioterapi, atau loop electrosurgical excision procedure (LEEP), laser, konisasi, sampai histerektomi simpel.15
Metode Inspeksi Visual dengan Iodium Lugol (IVIL/VILI)
Metode ini dikenal juga dengan
Schiller’s test ,
dengan menggunakan
cairan iodium sebagai pengganti asam asetat. Epitel skuamosa mengandung glikogen, dimana lesi prakanker dan lesi invasif mengandung sedikit atau tidak ada glikogen. Iodium adalah zat glycophilic dan diserap oleh epitel skuamosa, sehingga memberi warna coklat atau hitam. Epitel kolumnar tidak mengalami perubahan warna karena tidak mengandung glikogen. Metaplasia imatur dan lesi inflamasi hanya mengandung sedikit glikogen dan ketika diberikan pewarnaan
18
dengan iodium, tampak seperti bergaris, dan area dengan batas tidak jelas. Lesi prakanker dan lesi invasif tidak menyerap iodium (karena tidak mengandung glikogen) sehingga tampak berbatas tegas, tebal, area berwarna kuning sampai jingga.18
Kategori temuan IVIL :18 Kategori IVIL Tes Negatif
Temuan Klinik
Epitel
skuamosa
berwarna
coklat
dan
epitel
kolumnar tidak menunjukkan perubahan warna; atau tidak beraturan, sebagian atau tidak ada area yang menyerap iodium. Tes Positif
Berbatas jelas, area yang tidak menyerap iodium yang berwarna kuning terang bersentuhan dengan squamocolumnar junction ( SCJ) atau mentupi jika SCJ tidak kelihatan.
Suspek kanker
Secara
klinik
terlihat
ulserasi,
pertumbuhan
cauliflower atau ulkus; mengeluarkan dan/atau berdarah jika disentuh.
19
IVIL Negatif
IVIL Positif
Suspek Kanker
Gambar 9 : Hasil pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Iodium Lugol (IVIL) ( Dikutip dari kepustakaan 18) Terapi untuk hasil IVIL positif yang dilakukan sedini mungkin (tanpa menggunakan colposkopi atau biopsy) dikenal dengan test-and-treat atau singlevisit approach.18
20
X.
PENCEGAHAN KANKER SERVIKS
Vaksin HPV penting karena dapat mencegah sebagian besar kasus kanker serviks pada wanita, jika diberikan sebelum seseorang terkena virus. Perlindungan dari vaksin HPV diharapkan akan tahan lama. Tapi vaksinasi bukanlah pengganti untuk skrining kanker serviks. Perempuan masih harus mendapatkan Pap Smear secara teratur. 19 Vaksin HPV direkomendasikan untuk anak perempuan berusia 11 atau 12 tahun. Vaksin dapat juga diberikan kepada anak perempuan dimulai pada usia 9. Vaksin ini juga dianjurkan untuk anak perempuan dan wanita 13 sampai 26 tahun.. Vaksin HPV diberikan dalam 3 seri: 1. Dosis awal : Hari pertama 2. Dosis kedua: 1 sampai 2 bulan setelah Dosis 1 3. Dosis ketiga: 6 bulan setelah Dosis 1 Beberapa efek samping dapat terjadi setelah vaksinasi mulai dari ringan sampai sedang. Reaksi yang dapat terjadi yaitu nyeri (pada 9 dari 10 orang), kemerahan atau pembengkakan (pada 1 dari 2 orang), Reaksi ringan lain yaitu demam 99,5 ° F atau lebih tinggi (pada 1 dari 8 orang), s akit kepala atau kelelahan (pada 1 dari 2 orang), mual, muntah, diare, atau sakit perut (pada 1 dari 4 orang) , nyeri otot dan sendi (pada 1 dari 2 orang). XI.
19
TERAPI PADA NEOPLASIA INTRAEPITELIAL SERVIKS
Banyak modalitas yang dimiliki dalam usaha melakukan pengobatan terhadap NIS. Laser ablation dan krioterapi biasa digunakan untuk displasia ringan dan cold knife, konisasi, atau laser konisasi biasa digunakan untuk displasia moderat. Di samping modalitas terapi destruksi, didapatkan terapi eksisi seperti LEEP, LLETZ, konisasi, sampai histerektomi. 1
21
1. Krioterapi
Merupakan salah satu terapi destruksi untuk pengelolaan lesi prakanker, dengan mendinginkan serviks sampai temperatur mencapai 50oC di bawah nol yang akan menyebabkan kematian sel. Akibat dari proses pendinginan tersebut, sel-sel jaringan akan mengalami nekrosis. Proses nekrosis ini melalui perubahan tingkat vaskular dan seluler, yaitu: 1. Sel mengalami dehidrasi dan mengerut. 2. Konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu. 3. Syok termal dan denaturasi kompleks lipid protein. 4. Statis umum mikrovaskular. Efek terapi dari krioterapi ini mencapai 80% dibandingkan dengan 95% menggunakan CO2 laser.
1
Keuntungan Prosedur Krioterapi
Di samping dapat mengakibatkan nekrosis jaringan mencapai kedalaman 7 mm, krioterapi merupakan metode pengelolaan lesi prakanker yang relatif s edikit komplikasi dan relatif murah dibandingkan metode destruksi lainnya. Di samping itu, jika dilakukan secara tepat, insiden rekurensi displasia cukup rendah (0,41 – 0,44 %). Meskipun demikian, semua masih tergantung dari besar lesi dan kedalamannya. Dengan kata lain, krioterapi lebih tepat digunakan untuk lesi risiko rendah yang persisten. Jadi, sebenarnya efektivitas dari krioterapi ditentukan oleh temperatur yang ditimbulkan, waktu pendinginan, tipe dari probe, perluasan pembentukan bunga es dari probe, serta ukuran dan grading dari lesi. Dibandingkan dengan jaringan lain, jaringan epidermal dan lemak mempunyai kemampuan yang lebih baik dalam merespons pendinginan pada kondisi -90o C sampai -25o C.1 Kerugian Prosedur Krioterapi
Prosedur krioterapi ini hanya mengakibatkan nekrosis jaringan dengan kedalaman 5 – 6 mm, dengan maksimum kedalaman 7,8 mm. Dengan demikian, jika lesi melibatkan glandula serviks, belum tentu dapat dicapai dengan metode ini. Di samping itu, sambungan skuamo-kolumner akan tertarik ke dalam kanalis endoserviks sesudah krioterapi. Hal ini akan menyulitkan saat dilakukan
22
kolposkopi dan evauasi Papsmear. Keadaan ini tidak terjadi jika dilakukan dengan CO2 laser. Diketahui bahwa proses re-epitelisasi sering dimulai dari sambungan skuamokolumner. Kerugian lain adalah jika proses NIS tidak seluruhnya dapat tercapai oleh metode krio, proses akan berlanjut ke dalam menjadi lebih progresif dan tidak terdeteksi oleh kolposkopi atau sitologi. Untuk lesi besar dan luas mencapai lebih dari 30 mm, lesi displasia moderat, dan karsinoma in situ, krioterapi tidak menguntungkan dibanding dengan laser. Jika dibandingkan dengan laser ablasi, kegagalan krioterapi lebih besar, 25% untuk krioterapi dan 7,7% untuk laser ablasi.1
2. Carbon Dioxide Laser
Ini merupakan suatu metode penyinaran dengan energi tinggi secara langsung ke target jaringan. Pada saat penyinaran itu, cairan intrasel akan mendidih dan menguap dari sel. Seluruh daerah transformasi dan bagian yang dicurigai diharapkan akan terjadi perubahan karena dirusak. Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intrasel mendidih, sedangkan jaringan di bawahnya mengalami nekrosisi. Penyembuhan luka juga cepat dan komplikasi yang terjadi tidak lebih berat dibanding krioterapi atau konisasi. Keberhasilan laser terapi ini tergantung pada kekuatan dan lamanya penyinaran. Laser terapi ini dapat mencapai pengobatan pada semua tingkat displasia hingga mencapai 95%. Untuk NIS I dan II dapat mencapai tingkat kesembuhan 84%, sedangkan angka kegagalan terapi hanya 6% dibanding 29% krioterapi. Untuk lesi kurang dari 30 mm, kegagalan terapi hampir sama jika dibandingkan dengan krioterapi. Tetapi, jika lesi lebih dari 30 mm, kegagalan terapi 8% dibanding dengan krioterapi yang mencapai 38%. Keuntungan penggunaan laser dalam pengelolaan NIS ini antara lain: a. Kerusakan jaringan dapat ditentukan dengan tepat, baik luas maupun kedalamannya. b. Penyembuhan luka lebih cepat. c. Tidak mengubah SSK. d. Keluhan yang ditimbulkan sedikit.
23
e. Dapat digunakan pada lesi di vagina karena tidak menimbulkan jaringan parut. 1
3. Elektrokauter
Diketahui bahwa elektrosurgeri mempunyai 3 fungsi, yaitu diseksi, fulgurasi, dan desikasi. Elektrokauter merupakan teknik destruksi jaringan dengan menggunakan panas antara 400 o F sampai 1500 o F. Elektrokauter ini juga efektif untuk 2/3 CIN 3, lesi yang melibatkan multipel kuadran dari serviks serta lesi yang mencapai kanalis endoserviks. Tetapi, elektrokauter ini lebih efektif digunakan pada lesi CIN 1, terutama sewaktu melakukan pemeriksaan kolposkopi. Elektrokauter ini tidak efektif untuk lesi dengan kedalaman lebih dari 3 mm. 1
4. Elektrokoagulasi
Pada NIS 1-2 dapat dilakukan meskipun lesi luas dan telah mencapai kanalis servikalis. Hal inilah yang membedakannya dengan penggunaan krioterapi. Sedangkan pada NIS III dilakukan bila ada kontraindikasi operasi, serta dapat dilakukan pada lesi luas dan telah mencapai kanalis servikalis. Laser dan elektrosurgeri mempunyai prinsip efek biologi yang sama, di mana cairan seluler mendapat pengaruh panas yang hebat dan mengakibatkan membran sel pecah. Proses ini terjadi pada saat cutting, sedangkan pada proses koagulasi terjadi proses dehidrasi yang lebih lambat.1
XII.
KESIMPULAN
1. Neoplasia intraepitelial serviks
(NIS) adalah lesi premaligna yang
terbentuk dari transformasi sel skuamosa pada permukaan serviks. Di Indonesia, kanker serviks menduduki urutan pertama dari 10 jenis kanker terbanyak yang ditemukan di Indonesia. 2. Penyebab dari kanker serviks yaitu oleh infeksi oleh HPV (Human Papillomavirus). Faktor-faktor lain yang juga berkontribusi terhadap risiko terkena kanker serviks yaitu usia, jumlah pasangan seksual seumur hidup,
24
merokok, penggunaan jangka panjang dari kontrasepsi hormonal dan kehamilan. 3. Pada stadium awal, biasanya tidak didapatkan gejala yang spesifik. Gejala baru dirasakan jika telah terjadi kanker. Gejala yang dapat timbul yaitu metrorrhagia, pendarahan pasca senggama, ulserasi serviks. Dapat juga ditemukan cairan yang berbau, purulent. 4. Terdapat beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan untuk deteksi dini kanker serviks yaitu dengan pemeriksaan sitologi, kolposkopi, metode inspeksi visual dengan asam asetat (IVA), dan metode inspeksi visual dengan iodium lugol (IVIL/VILI) 5. Pencegahan pada kanker serviks dapat berupa vaksinasi, dan juga melalui metode skrining 6. Terapi pada NIS I dan II berupa krioterapi, elektrokoagulasi, laser, dan eksisi diatermi loop, sedangkan pada NIS III dilakukan eksisi konisasi histerektomi. 7. Prognosis pada kasus ini, pada stadium dini pengobatan kanker serviks akan memberikan hasil yang lebih baik, rata-rata penyembuhan berkisar antara 66,3% sampai 95,1%. Sedangkan pada stadium lanjut memberikan hasil yang kurang memuaskan, dengan angka harapan hidup yang rendah, berkisar antara 9,4 – 63,5%, serta biaya yang tinggi.
XIII. SARAN
1. Agar melakukan skrining kanker serviks, jangan sampai menunggu adanya keluhan. 2. Agar pada usia 11 atau 12 tahun dapat dilakukan vaksinasi terhadap virus HPV, agar dapat menurunkan angka kejadian kanker serviks 3. Datanglah ke tempat periksa untuk dilakukan pemeriksaan PAP SMEAR/IVA. 4. Jika ditemukan kelainan pra kanker maka diperlukan pengobatan,dan pengobatannya tidak boleh ditunda. Karena pada tahap ini tingkat kesembuhannya hampir 100%.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Iskandar TM. Pengelolaan Lesi Prakanker Serviks. Indonesian Journal of Cancer. 2009:97-102 2. Goedadi A. Kebijakan dan Strategi Program Kesehatan Reproduksi. Indonesia: BKKBN; 2012: 80-90. 3. Cheng X, Feng Y, Wang X, et al. The effectiveness of conization treatment
for
post-menopausal
women
with
high-grade
cervical
intraepithelial neoplasia. 2012:185-188 4. World Health Organitation. Comprehensive Cervical Cancer Control. Geneva: WHO; 2006: 28-32,39 5. Jin XW. Cervical Cancer Screening and Prevention. Center for Continuing Education
[cited
on
22
January
2013].
2010.
Available
from:
http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/wom ens-health/cervical-cancer/#top
6. Munk AC, Gudlaugsson E, Malpica A, et al. Consistent Condom Use Increases the Regression Rate of Cervical Intraepithelial Neoplasia 2 – 3. 2012:1-5 7. Leon SS, Camargo M, Sanchez R. Distribution Patterns of Infection with Multiple Types of Human Papillomaviruses and Their Association with Risk Factors. 2011:1-7 8. Boardman C. Cervical Cancer [cited on 22 January 2013]. 2012. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/253513-
overview#aw2aab6b2b3 9. Gomez DT, Santos JL. Human papillomavirus infection and cervical cancer: pathogenesis and epidemiology. 2007:680-688 10. Liverani CA, Ciavattini A, Monti E, et al. High risk HPV DNA subtypes and E6/E7 mRNA expression in a cohort of colposcopy patients from Northern Italy with high-grade histologically verified cervical lesions. 2012:452-457
26
11. Mackay HT. Gynecologic Disorder. Current Medical Diagnosis and Treatment. New York: McGrawHill; 2009:661-663 12. Pfenninger J. Pap Smear Information. [cited on 18 Februari 2013].2011. Available from: http://www.mpcenter.net/patient_ed/pap_smear_info.html 13. Tewari L, Chaudary C. Atypical Squamous Cell of Undetermined Significance: A Follow Up Study. 2010: 225-227 14. Sankaranarayanan R, Sellors JW.An Introduction to Cervical Intraepitelial Neoplasia.Colposcopy and Treatment of Cervical Intraepithelial Neoplasia: A
Beginners’
Manual.
New
York:
World
Health
Organization:
International Agency for Research on Cancer. 2003:13-19, 45-54, 60-67 15. Depkes RI. Skrining Kanker Leher Rahim dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA). 2008:24-27 16. Robles S, Ferreccio C, Gage J. Visual Inspection Of The Uterine Cervix With Acetic Acid (VIA). Pan American Health Organization. 2005:39-51 17. Goel A, Gandhi G, Batra S, et al. Visual Inspection of the Cervix with Acetic Acid for Cervical Intraepithelial Lesions. 2005:25-30 18. Parkin MD, Sankaranarayanan R, Chithrathara K. Visual Inspection With Lugol’s Iodine (VILI): Evidence to date. New York: Alliance for Cervical Cancer Prevention (ACCP). [cited on 23 Januari 2012]. 2004. Available from: www.alliance-cxca.org. 19. CDC. Human Papilloma Virus (HPV). [cited on 8 Februari 2013]. 2011. Available from: www.immunize.org/vis.
27