MEWUJUDKAN GOOD GOVERNANCE DI INDONESIA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Terjadinya krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tata cara penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dikel ola dan diatur dengan baik. Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang memburuk. Masalah-masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan munculnya konflikkonflik konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan negara Republik Indonesia. Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda reformasi. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi. Fenomena demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis). Kedua perkembangan diatas, baik demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali pemerintahan, cepat atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi yang serba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai menyadari pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), harus mulai menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi sebagai pelaku. Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Disadari, mewujudkan tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang tidak singkat dan juga upaya yang terus te rus menerus. Disamping itu, perlu juga dibangun kesepakatan serta rasa optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa yang melibatkan tiga pilar pila r berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur negara, pihak swasta dan masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dalam rangka mencapai tata pemerintahan yang baik. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas maka rumusan masalah yang akan dibahas yaitu: Apa pengertian dan latar belakang good governance? Apa prinsip-prinsip pokok good governance? Apa karateristik dasar good governance? Bagaimana konsepsi good governance? Bagaimana struktur organisasi dan menajemen menaj emen perubahan dalam good governance? Bagaimana penerapan prinsip good governance dalam pela yanan publik?
Bagaimana hubungan antara good governance dengan gerakan anti korupsi? C. Tujuan dan Manfaat Tujuan dan manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini yaitu: Dapat menambah pengetahuan mengenai good governance Mengetahui pelaksanaan atau perwujudan good governance di indonesia Mengetahui hubungan good governance dengan gerakan anti korupsi Mengetahui penerapan prinsip good governance dalam hal pelayanan publik
BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian dan latar belakang Good Governance Istilah Good Governance dapat diartikan sebagai pemerintahan yang baik. Beberapa pengertian dari Good governance diantaranya yaitu: 1. Menurut Bank Dunia (World Bank) Good Governance merupakan car a kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat. (Mardoto, 2009). 2. Menurut UNDP (United National Development Planning) Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu: Kesejahteraan rakyat (economic governance) Proses pengambilan keputusan (polotical governance) Tata laksana pelaksanaan kebijakan (adminstrative governance). (Prasetijo, 2009). 3. Menurut Masyarakat Transparasi Indonesia (MTI) kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Latar Belakang Good Governance Jika ditarik lebih jauh, lahirnya wacana good governance berakar dari penyimpangan penyimpangan yang terjadi pada praktik pemerintahan, seperti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN). Penyelenggaraan urusan publik yang bersifat sentralistis, non-partisipatif serta tidak akomodatif terhadap kepentingan publik, telah menumbuhkan rasa tidak percaya dan bahkan antipati kepada rezim pemerintahan yang ada. Masyarakat tidak puas dengan kinerja pemerintah yng selama ini dipercaya sebagai penyelenggara urusan publik. Beragam kekecewaan terhadap penyelenggaraan pemerintahan tersebut pada akhirnya melahirkan tuntutan untuk mengembalikan fungsi-fungsi pemerintahan yang ideal. Good governance tampil sebagai upaya untuk memuaskan dahaga publik atas kinerja birokrasi yang sesungguhnya. B. Prinsip-prinsip pokok Good Governance Lembaga Administrasi Negara (LAN) merumuskan sembilan aspek fundamental dalam good governance yang harus diperhatikan yaitu: 1. Partisipasi (participation)
Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik langsung maupun melalui lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan prinsip demokrasi yaitu kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat secara konstruktif. 2. Penegakan Hukum (rule of law) Partisipasi masyarakat dalam proses politik dan perumusan-perumusan kebijakan publik memerlukan sistem dan aturan-aturan hukum. Tanpa ditopang oleh sebuah aturan hukum dan penegakannya secara konsekuen, partisipasi publik dapat berubah menjadi tindakan publik yang anarkis. Santoso menegaskan bahwa proses mewujudkan cita-cita good governance, harus diimbangi dengan komitmen untuk menegakkan rule of law dengan karakter-karakter sebagai berikut : a. Supremasi hukum b. Kepastian hukum c. Hukum yang responsitif d. Penegakan hukum yang konsisten dan non diskriminatif e. Independensi peradilan 3. Transparansi (transparency) Transparansi (keterbukaan umum) adalah unsur lain yang menopang terwujudnya good governance. Akibat tidak adanya prinsip transparansi ini, menurut banyak ahli Indonesia telah terjerembab dalam kubangan korupsi yang berkepanjangan dan parah. Untuk itu, pemerintah harus menerapkan transparansi dalam proses kebijakan publik. Menurut Gaffar, terdapat 8 (delapan) aspek mekanisme pengelolaan negara yang harus dilakukan secara transparan, yaitu : a. Penetapan posisi, jabatan dan kedudukan b. Kekayaan pejabat publik c. Pemberian penghargaan d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan e. Kesehatan f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik g. Keamanan dan ketertiban h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat 4. Responsif (responsive) Affan menegaskan bahwa pemerintah harus memahami kebutuhan masyarakatmasyarakatnya, jangan menunggu mereka menyampaikan keinginannya, tetapi mereka secara proaktif mempelajari dan menganalisa kebutuhan-kebutuhan masyarakat, untuk kemudian melahirkan berbagai kebijakan strategis guna memenuhi kepentingan umum. 5. Konsesus (consesus) Prinsip ini menyatakan bahwa keputusan apapun harus dilakukan melalui proses musyawarah melalui konsesus. Model pengambilan keputusan tersebut, selain dapat memuaskan sebagian besar pihak, juga akan menjadi keputusan yang mengikat dan milik bersama, sehingga akan memiliki kekuatan memaksa bagi semua komponen yang terlibat untuk melaksanakan keputusan tersebut. 6. Kesetaraan (equity) Good governance juga harus didukung dengan asa kesetaraan, yakni kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan. Asas ini harus diperhatikan secara sungguh-sungguh oleh semua penyelenggara pemerintahan di Indonesia karena kenyatan sosiologis bangsa kita sebagai bangsa yang majemuk, baik etnis, agama, dan budaya. 7. Efektivitas dan efisiensi
Konsep efektivitas dalam sektor kegiatan-kegiatan publik memiliki makna ganda, yakni efektivitas dalam pelaksanan proses-proses pekerjaan, baik oleh pejabat publik maupun partisipasi masyarakat, dan kedua, efektivitas dalam konteks hasil, yakni mampu membrikan kesejahteraan pada sebesar-besarnya kelompok dan lapisan sosial. 8. Akuntabilitas (accountability) Asas akuntabilitas adalah pertanggung jawaban pejabat publik terhadap masyarakat yang memberinya kewenangan untuk mengurusi kepentingan mereka. Secara teoritik, akuntabilitas menyangkut dua dimensi yakni akuntabilitas vertikal yang memiliki pengertian bahwa setiap pejabat harus mempertanggung jawabkan berbagai kebijakan dan pelaksanaan tugas-tugasnya terhadap atasan yang lebih tinggi, dan yang kedua akuntabilitas horisontal yaitu pertanggungjawaban pemegang jabatan publik pada lembaga yang setara. 9. Visi Strategis Visi strategis adalah pandangan-pandangan strategis untuk menghadapi masa yang akan datang. Tidak sekedar memiliki agenda strategis untuk masa yang akan datang, seseorang yang memiliki jabatan publik atau lembaga profesional lainnya, harus memiliki kemampuan menganalisa persoalan dan tantangan yang akan dihadapi oleh lembaga yang dipimpinnya. C. Karateristik Dasar Good Governance Ada 3 karakteristik dasar good governance yaitu: 1. Diakuinya semangat pluralisme. Artinya, pluralitas telah menjadi sebuah keniscayaan yang tidak dapat dielakkan sehingga mau tidak mau pluralitas telah menjadi suatu kaidah yang abadi. Dengan kata lain pluralitas merupakan sesuatu yang kodrati ( given) dalam kehidupan. Pluralisme bertujuan mencerdaskan umat melalui perbedaan konstruktif dan dinamis, dan merupakan sumber dan motivator terwujudnya kreativitas yang terancam keberadaannya jika tidak terdapat perbedaan. Satu hal yang menjadi catatan penting bagi kita adalah sebuah peradaban yang kosmopolit akan tercipta apabila manusia memiliki sikap inklusif dan kemampuan (ability) menyesuaikan diri terhadap lingkungan sekitar. Namun, dengan catatan, identitas sejati atas parameter-parameter otentik agama tetap terjaga. 2. Tingginya sikap toleransi, baik terhadap saudara sesame agama maupun terhadap umat agama lain. Secara sederhana, toleransi dapat diartikan sebagai sikap suka mendengar dan menghargai pendapat dan pendirian orang lain. Senada dengan hal itu, Quraish Shihab (2000) menyatakan bahwa tujuan agama tidak semata-mata mempertahankan kelestariannya sebagai sebuah agama, namun juga mengakui eksistensi agama lain dengan memberinya hak hidup, berdampingan, dan saling menghormati. 3. Tegaknya prinsip demokrasi. Demokrasi bukan sekedar kebebasan dan persaingan, demokrasi juga merupakan suatu pilihan untuk bersama-sama membangun dan memperjuangkan perikehidupan warga dan masyarakat yang semakin sejahtera.
Masyarakat madani mempunyai ciri-ciri ketakwaan yang tinggi kepada Tuhan, hidup berdasarkan sains dan teknologi, berpendidikan tinggi, mengamalkan nilai hidup modern dan progresif, mengamalkan nilai kewarganegaraan, akhlak, dan moral yang baik, mempunyai pengaruh yang luas dalam proses membuat keputusan, serta menentukan nasib masa depan yang baik melalui kegiatan sosial, politik, dan lembaga masyarakat. D. Konsepsi Good Governance
Pada dasarnya pihak-pihak yang berkepentingan dalam kepemerintahan dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu:
1. Pemerintahan. Konsepsi kepemerintahan pada dasarnya adalah kegiatan kenegaraan, tetapi lebih jauh dari itu melibatkan pula sektor swasta dan kelembagaan masyarakat madani. 2. Sektor Swasta. Pelaku sektor swasta mencakup perusahaan swasta yang aktif dalam interaksi sistem pasar, seperti: industri pengelolaan perdagangan, perbankan, dan koperasi, termasuk kegiatan sektor informal. 3. Masyarakat Madani. Kelompok masyarakat dalam konteks kenegaraan pada dasarnya berada diantara atau di tengah-tengah antara pemerintah dan perorangan, yang mencakup baik perseorangan maupun kelompok masyarakat yang berinteraksi secara sosial, politik, dan ekonomi. E. Struktur Organisasi dan Menajemen Perubahan dalam Good Governance
1. Perubahan Struktur Organisasi Masalah utama dalam perubahan struktur organisasi adalah meyakinkan diri bahwa pengambilan keputusan dan akuntabilitas semua pihak yang berkepentingan terhadap organisasi mempunyai informasi dan pengetahuan yang relevan mengambil keputusan yang baik dan benar serta adanya insentif sepadan yang menggunakan informasi secara produktif dan terpercaya. Perubahan lingkungan yang berpengaruh terhadap perubahan struktur organisasi, biaya, dan manfaat langsung maupun tidak langsung harus dianalisis secara cermat dan hati-hati. Perbedaan struktur organisasi sebelum dan sesudah Good Governance dapat dilihat pada tabel berikut: Sebelum GG Struktur bersifat:
Sesudah GG Struktur bersifat :
Birokrat
Nonbirokrat, sedikit aturan
Multilevel
Lebih sedikit level
Disorganisasi dengan menajemen
Menajemen berfungsi dengan baik
Kebijakan, program, dan prosedur ruwet
Kebijakan, program, dan prosedur sederhana, tidak menimbulkan ketergantungan
Sistem:
Sistem:
Tergantung pada beberapa sistem informasi kinerja
Tergantung pada sistem informasi kinerja
Distribusi informasi terbatas pada eksekutif Pelatihan menajemen hanya pada karyawan senior Budaya organisasi:
Disrtibusi informasi luas Memberikan pelatihan pada karyawan yang membutuhkan Budaya organisasi:
Orientasi ke dalam
Orientasi ke luar
Tersentralisasi
Memberdayakan sumber daya
Lambat dalam pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan cepat
Realistis, ideologi
Terbuka dan berintegrasi
Kurang berani mengambil keputusan
Berani mengambil resiko
Dalam rangka pelaksanaan GG, maka organisasi modern dapat melakukan: 1. Kesadaran yang tinggi terhadap tingkat urgensi 2. Kerja sama tim yang baik dalam tatanan staf dan manajemen 3. Bisa menciptakan dan mengomunikasikan visi, misi, dan program dengan baik 4. Pemberdayaan semua karyawan dengan memerhatikan minat dan bakat 5. Memberikan delegasi wewenang dengan efektif 6. Mengurangi ketergantungan yang tidak perlu, dan 7. Mengembangkan budaya organisasi yang adaptif dan penggunaan analisis kinerja 2. Menajemen Perubahan dalam Good Governance Sesuai dengan pertimbangan TAP MPR RI Nomor II/MPR/1999, masalah krisis multidimensi yang melanda negara Indonesia merupakan penghambat perwujudan cita-cita dan tujuan nasional. Reformasi pada segala bidang, diharapkan dapat menjadi suatu langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan dan pengembangan pembangunan serta penguatan kepercayaan diri. Kemampuan para pemimpin penyelenggara pemerintahan dan masyarakat yang mengelola perubahan menjadi sangat krisis dan strategis, terutama sensitifitas dan responsibilitas terhadap tanda dan waktu perubahan tersebut diperlukan, khususnya dalam langkah penyelamatan, pemulihan, dan pengembangan. Ada dua hal yang perlu ditekankan dalam manajemen perubahan, yaitu mengapa ada perubahan yang berhasil dan ada yang gagal? Perubahan yang gagal disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : a. Terlalu cepat puas b. Team work yang gagal c. Merumuskan visi, misi, dan program dengan kurang tepat d. Gagal menciptakan harapan sukses kepada seluruh anggota organisasi e. Menganggap perubahan sudah selesai dan hanya sekali memerlukan perubaha f. Tidak bisa mengubah symbol, nilai, sikap dan norma organisasi dari yang lama menjadi budaya yang baru dalam organisasi. Untuk mengurangi kegagalan dalam perubahan budaya organisasi, maka harus dihilangkan atau dikurangi dampak negatif dari perubahan seperti bubarnya organisasi, kehilangan pasar dan kepuasaan pelanggan, penurunan gaji dan harus dikikis dengan menjelaskan mengapa organisasi perlu mengadakan perubahan, bagaimana tahap perubahan, bagaimana hasil akhir dari perubahan, dan bagaimana peran serta dari setiap anggota organisasi dalam perubahan. Untuk mencapai keberhasilan dalam perubahan, ada beberapa hal yang diperlukan, yaitu : 1. Menetapkan strategi, pentingnya, dan tahapan perubahan 2. Mengembangkan semangat kerja sama tim yang tinggi 3. Mengembangkan strategi komunikasi untuk menyampaikan visi, misi, program perubahan, sehingga anggota dapat termotivasi, dan 4. Memberdayakan setiap anggota organisasi sesuai dengan kompetensi minat, dan bakat. F. Penerapan Prinsip Good Governance dalam Pelayanan Publik Pengelolaan dan pengembangan pelayanan publik dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi satu tugas bagi setiap pemerintahan di daerah. Keberhasilan dalam mewujudkan praktik good governance dalam pelayanan publik mampu
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
1. 2. 3. 4.
membangkitkan dukungan dan kepercayaan masyarakat. Untuk itu pemerintah dituntut untuk lebih kreatif, inovatif, dan ceras tentang mana yang harus dilakukan dan diprioritaskan, selain juga mampu membedakan antara yang urgen dan yang tidak perlu dilakukan dengan mempertimbangkan keterbatasan sumber daya, menghemat dan menambah sumber aset publik melalui investasi publik dengan tidak membebani mereka. Menurut survei yang dilakukan Universitas Gadjah Mada pada tahun 2002, secara umum stakeholder menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun, dilihat dari sisi efisien dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan (tidak diskriminatif) masih jauh yang diharapkan dan masih memiliki beberapa kelemahan yang diantaranya adalah: Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas sampai pada tingkatan pertanggungjawaban istansi. Kurang inovatif. Berbagai macam informasi yang seharusnya disampaikan pada masyarakat menjadi terlambat atau bahkan tidak sampai. Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan jauh dari jangkauan masyarakat. Kurang koordinasi, berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan yang lainnya sangat kurang koordinasi. Birokratis (khususnya dalam masalah perizinan) Kurang mau mendengar keluhan, saran, dan aspirasi masyarakat Tidak efisien, berbagai persyaratan yang diperlukan seringkali tidak relevan. Menghadapi problem yang demikian ini maka unsur profesionalisme merupakan hal yang mutlak. Karena profesionalisme berkaitan erat dengan pelayanan, maka izin yang berbelit harus dihindarkan demi lancarnya kegiatan ekonomi di suatu daerah. Pemahaman yang mendalam terhadap hal tersebut, mau tidak mau harus diimbangi secara profesional, khususnya terhadap perilaku birokrasi yang selama ini dianggap bertele-tele. Sejak bergulirnya reformasi upaya penataan, pembaharuan, dan pembenahan budaya penyelenggaraan pemerintahan terus dilakukan. Kebijakan ini dilakukan untuk mengubah citra aparatur yang sebelumnya dipandang lamban (karena birokrasi yang panjang) dan tidak transparan. Selain mengubah citra aparatur dan dilakukannay efisiensi birokrasi, langkah berikutnya untuk mewujudkan good governance pelayanan publik adalah adanya efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Faktor-faktor yang menyumbang efektivitas organisasi dirinci dalam beberapa karateristik yaitu: Karateristik organisasi yang meliputi struktur dan teknologi Karateristik lingkungan yang meliputi kondisi lingkungan internal dan eksternal Karateristik pekerja yang meliputi keterkaitan pada organisasi dan prest asi kerja Karateristik kebijakan praktik menajemen yang meliputi penyusunan rencana strategis dan proses komunikasi. Selanjutnya, selain efektivitas hal yang kedua adalah efisiensi, karena lebih melekat pada upaya organisasi pemerintah untuk menghemat sumber daya publik yang dititipkan padanya. Efisiensi juga menunjuk pada rasio minimal antara input dan output; input yang terkecil diikuti dengan output yang besar merupakan kondisi yang diharapkan. Efisiensi adalah suatu keadaan yang menunjukkan tercapainya perbandingan terbaik antara masukan dan keluaran dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan efektivitas adalah tercapainya tujuan yang telah ditetapkan, baik dala bentuk target, sasaran jangka panjang, maupun misi organisasi. Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pelayanan publik tentunya keterlibatan dan kerja sama semua stakeholder dalam hal ini pemerintah, masyarakat dan pihak swasta harus ditumbuh-kembangkan secara
berkesinambungan, sehingga pada akhirnya diharapkan praktek pelayanan publik dapat memenuhi nilai-nilai yang diisyaratkan dalam implementasi goood governance. G. Hubungan Good Governance dengan gerakan Anti Korupsi Good governance meniscayakan adanya transparansi disegala bidang. Hal ini untuk mengikis budaya korupsi yang mengakibatkan kebocoran anggaran dalam penggunaan uang negara untuk kepentingan individu atau golongan bukan untuk kesejahteraan rak yat. Dalam menciptakan situasi perang terhadap korupsi Didin S Damanhuri menyusun grand design: Pertama, apapun kebijakan antikorupsi yang diambil, haruslah disadari bahwa kebijakan dan langkah-langkah tersebut hendaknya ditempatkan sebagai ''totok nadi'' yang strategis, berkelanjutan, dan paling bertanggung jawab di antara semua langkah total football, estafet dari semua pihak yang peduli terhadap pemberantasan korupsi, baik dari kaum agamawan, akademisi, parlemen, LSM, pers, dunia internasional, dan seterusnya. Kedua, menghindari politik belah bambu yang menggunakan KPTPK, Kejaksaan, dan Polri untuk memburu pihak-pihak yang secara politis harus dikalahkan dan membiarkan pihak pihak yang dianggap kawan politik. Ketiga, keseriusan untuk mencari solusi terbebasnya TNI dan Polri dari dunia politik dan bisnis secara tuntas. Keempat, euforia elite politik di pusat dan daerah dalam menikmati kebebasan politik, kebebasan berpendapat, dan kebebasan pers yang seharusnya semakin mendewasakan kehidupan berdemokrasi yang ujung-ujungnya juga mampu membangkitkan kembali kehidupan ekonomi dengan ukuran rakyat yang semakin sejahtera.
H. Mewujudkan Good Governance di Indonesia Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam pengelolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan hukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan (Hunja, 2009). Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor
swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangunan manusia. Good governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan mempengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban besar. Namun dengan keadaan Indonesia saat ini masih sulit untuk bisa terjadi (Efendi, 2005). Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005): 1. Integritas Pelaku Pemerintahan Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi. 2. Kondisi Politik dalam Negeri Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan. 3. Kondisi Ekonomi Masyarakat Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. 4. Kondisi Sosial Masyarakat Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. 5. Sistem Hukum Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Korupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salah satu faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik.
Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat (Hardjasoemantri, 2003). Masih banyak kasus-kasus yang ada di negeri ini yang belum terselesaikan yang tentunya sangat mengambat untuk tercapainya tujuan mewujudkan good governance di Indonesia dengan baik. Salah satu contohnya kutipan berita yang diambil dari surat kabar “SUARA MERDEKA” yang terbit Jumat, 21 Desember 2012 berikut ini:
Korupsi Dan Ancaman Negara Gagal Mentalitas pelaku korupsi yang menjadi salah satu penyebab banalisasi korupsi di Indonesia tampaknya sudah sampai tahap yang sangat mengerikan dan membahayakan bangsa ini. Tercatat 1.408 kasus korupsi yang berlangsung selama 2004-2011 telah merampok uang rakyat Rp 39,3 triliun. Tampak telanjang di depan mata bahwa korupsi telah bergerak dan beregenerasi secara masif. Tanpa komitmen jelas pemberantasan korupsi, bangsa ini dikhawatirkan makin terpuruk dan berujung pada negara gagal. Potret banalisasi korupsi juga tampak jelas dari data statistik Kemendagri yang mencatat dari 524 kepala daerah (gubernur, bupati/walikota), 173 diantaranya terlibat korupsi pada 2004-2012. Sebuah potret penyalahgunaan kekuasaan yang dipertontonkan secara kasat mata. Catatan kita bahwa praktik korupsi, seperti pernah dilontarkan sosiolog Selo Soemardjan (1995) di kalangan pemerintah, ternyata sudah tumbuh ke atas dalam hierarki, dan mendasar ke bawah menjalar ke daerah. Disitulah kita melihat bahwa korup dan bobrok sistem birokrasi. Wabah korupsi ini benar-benar berlangsung secara sistemik, bahkan beregenerasi. Persoalan serius sesungguhnya adalah modus dan operasi yang terus dan selalu mengalami pergeseran dan tren dari masa ke masa. Jika pada masa Orde Baru disebabkan oleh semangat kroniisme dan nepotisme yang begitu kuat juga pada level pusat, pada era reformasi aktoraktor korupsi meluas ke level lokal, melibatkan terutama pejabat daerah. Dalam konteks desentralisasi, otonomi daerah yang diberlakukan lebih dari satu dasa warsa ini selain memunculkan berbagai kemajuan ternyata menunjukkan salah satu kemuraman. Ada beberapa faktor yang menyebabkan mengapa korupsi pasca reformasi, khususnya pada era otonomi justru semakin menyebar. Salah satunya adalah karena belum komperhensifnya aturan legal formal dan pelembagaan penegakkan korupsi di daerah. Selain itu budaya politik patron-client masih sangat kuat dan tumbuh subur di masyarakat. Theodore M Smith (1993) mencatat ada 6 faktor utama penyebab kemunculan dan perkembangan korupsi di Indonesia. Pertama; faktor politik, yang sangat terkait dengan kemauan dan etikad baik rezim dan elite politik dalam mengurangi korupsi. Kedua; faktor yuridis, yakni terkait dengan masih lemahnya perundang-undangan dan sanksi hukum. Ketiga; faktor budaya, yang terkait dengan pandangan foedalistik, sikap ingin dilayani, dan hidup mewah di kalangan pejabat. Keempat; faktor administrasi pemerintahan. Ini berkaitan dengan kelemahan pengawasan yang akhirnya beresiko terjadi korupsi. Kelima; faktor ketidakberimbangan insentif ekonomi yang kemudian memancing sebagian aparat mencari tambahan dengan cara
menyalahgunakan wewenang. Keenam; faktor historis, yang terkait dengan dua warisan utama kolonialisme, yakni mental korup dan struktur pemerintahan yang berorientasi menjadi pelayan atasan ketimbang pelayan masyarakat. Faktor-faktor itulah yang menjadi penyakit kronis, bahkan kejahatan kemanusiaan, yang berujung pada pembusukan peradaban. Bagaimana menyumbat dan memutus mata rantai yang menggurita tersebut sehingga tidak terjadi pergeseran modus operandi seiring kemelokalan fenomena korupsi dalam konteks otonomi? Tidak bisa dipungkiri pemberantasan korupsi harus dilakukan melalui dua aras, yakni aras atas atau struktural dan aras bawah yang beroperasi pada level masyarakat dan budaya. Ketimpangan pada keduanya tidak saja menyulitkan keterberantasan korupsi tetapi sebaliknya membuka celah bagi perkembangan korupsi pada segala bidang. Pada level atas, persoalan pembinaan integritas dan keteladanan tetap memainkan peran menentukan. Selain itu, eksistensi lembaga semacam KPK harus diperkuat. Lembaga itu patut memiliki wewenang besar, seperti akses administrasi dan intelijen yang memadai, jaringan kuat hingga ke daerah, hingga kemandirian yang luas, termasuk dalam hal politik dan finansial. Yang tak bisa diabaikan adalah pembenahan hukum secara komperhensif, baik dari aspek materi maupun personil penegak hukum. Sementara pada level bawah, hal yang sesungguhnya harus dilakukan adalah terkait soal pembuktian terbalik. Ini penting dilakukan karena demikian pelik dan pintar pelaku korupsi menutup kasusnya. Pembuktian terbalik juga dimaksudkan agar pejabat terbiasa untuk bersikap transparan terhadap harta kekayaan mereka. Dengan semua itu kita berharap bisa mencegah regenerasi korupsi yang berlangsung cepat dan masif. Termasuk mengantisipasi secara dini pergeseran locus pada era otonomi. Satu hal yang perlu digelorakkan adalah bahwa korupsi adalah kejahatan kemanusiaan yang memiskinkan masyarakat secara struktural. Pada titik inilah banalisasi korupsi harus kita kikis habis, atau bangsa ini makin terpuruk dan berujung pada negara gagal. - Achmad Maulani, research associate di Pusat Studi Asia Pasifik UGM, staf ahli DPR
BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Indonesia merupakan suatu negara yang sedang berusaha mewujudkan good governance dalam tata kelola pemerintahannya. Melihat kondisi yang ada sekarang memang di Indonesia belum dapat mewujudkan istilah good governance dalam menjalankan roda pemerintahan dengan baik, terbukti dengan masih banyaknya masalah yang berhubungan dengan transparasi pemerintah yang belum terselesaikan. Dapat dikatakan bahwa negara Indonesia masih jauh untuk dapat dikatakan bebas KKN. Pemerintah yang baik adalah tidak dilihat dari rancangan atau bagusnya perumusan undang-undang melainkan dapat dilihat dari sikap transparasi maupun sikap yang pasti dalam mengambil keputusan untuk kepentingan masyarakat serta tepat sasaran yaitu kepada siapa dan mengapa suatu tindakan itu dilakukan. Good governance memiliki pengertian yang luas sehingga tidak hanya sekedar mengartikan kata-kata tetapi memerlukan pemikiran yang luas mengenai hal tersebut. Peran pemerintah dalam hal memajukan negara sagat besar sehingga diperlukan pemahaman yang baik mengenai good governance agar tidak terjadi kesalahan saat diaplikasikan dalam tata kelola pemerintahan. B. Saran Dalam usaha mewujudkan good governance agar dapat terlaksana dengan baik diperlukan nilai etika dan integritas yang tinggi dari pihak terkait karena sebaik apapun rancangan atau desain dari pengawasan tidak akan dapat berjalan efektif, efisien dan ekonomis jika tidak ada nilai etika yang baik dan integritas yang tinggi. Selain itu juga diperlukan kerja sama yang baik dari pihak-pihak terkait agar good governance ini tidak hanya menjadi wacana melainkan dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.Yogyakarta: Gajahmada Universiti Press. http://pksm.mercubuana.ac.id/new/elearning/files_modul/99011-12466363723031.doc diperoleh tanggal 1 Januari 2013 http://www.alisjahbana08.wordpress.com/page/22/ diperoleh tanggal 1 Januari 2013 http://www.bangka.go.id/artikel.php?id_artikel=7 diperoleh tanggal 1 Januari 2013 http://www.kpk.go.id/modules/news/article.php?storyid=1067 diperoleh tanggal 1 Januari 2013 http://www.scribd.com/doc/52568330/Good-Governance diperoleh tanggal 1 Januari 2013 http://www.scribd.com/document_downloads/direct/52568330?extension=docx&ft=1322 794393<=1322798003&uahk=I7OI11/oFO1Qz582ultXVVmvKbU diperoleh tanggal 1 Januari 2013
Kansil, C.S.T., Drs. SH., dan Christine S.T. Kansil, S.H., M.H. 2000. Hukum Tata Negara Republik Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Ridwan, Juniarso., dan Achmad Sodik Sudrajat. 2009. Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik. Bandung: Nuansa.