LAPORAN KEGIATAN PKPA WARD FARMASI KLINIK
MONITORING TERAPI PASIEN HIPERTENSI EMERGENSI Pembimbing : Endang Yuniarti M.Kes, Apt.
Oleh : KELOMPOK D Riza Alfian, S. Farm 11762089
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER RS PKU MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA PERIODE APRIL – MEI 2012
HIPERTENSI A. Pendahuluan 1. Latar Belakang
Hipertensi dikenal secara luas sebagai penyakit kardiovaskular. Diperkirakan telah menyebabkan 4.5% dari beban penyakit secara global, dan prevalensinya hampir sama besar di negara berkembang maupun di negara maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko utama gangguan jantung. Selain mengakibatkan gagal jantung, hipertensi dapat berakibat terjadinya gagal ginjal maupun penyakit serebrovaskular. Penyakit ini bertanggung jawab terhadap tingginya biaya pengobatan dikarenakan alasan tingginya angka kunjungan ke dokter, perawatan di rumah sakit dan / atau penggunaan obat jangka panjang. Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering disebut sebagai “silent killer ”. ”. Tanpa disadari penderita mengalami komplikasi pada organ-organ vital seperti jantung, otak ataupun ginjal. Gejala-gejala akibat hipertensi, seperti pusing, gangguan penglihatan, dan sakit kepala, seringkali terjadi pada saat hipertensi sudah lanjut disaat tekanan darah sudah mencapai angka tertentu yang bermakna. Di Amerika, menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES III), paling sedikit 30% pasien hipertensi tidak menyadari kondisi mereka,
dan hanya 31% pasien yang diobati mencapai target tekanan darah yang diinginkan dibawah 140/90 mmHg. Di Indonesia, dengan tingkat kesadaran akan kesehatan yang lebih rendah, jumlah pasien yang tidak menyadari men yadari bahwa dirinya menderita hipertensi 20 10 dan yang tidak mematuhi minum mi num obat kemungkinan lebih besar. Healthy People 2010 for Hypertension menganjurkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan
intensif guna mencapai pengontrolan tekanan darah secara optimal. Maka untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan partisipasi aktif para sejawat Apoteker yang melaksanakan praktek profesinya pada setiap tempat pelayanan kesehatan. Apoteker dapat bekerja sama dengan dokter dalam memberikan edukasi ke pasien mengenai hipertensi, memonitor respons pasien melalui farmasi komunitas, adherence terhadap terapi obat dan non-obat, mendeteksi dan mengenali secara dini reaksi efek samping, dan mencegah dan/atau memecahkan masalah yang berkaitan dengan pemberian obat.
2. Epidemiologi
Di Amerika, diperkirakan 30% penduduknya (± 50 juta jiwa) menderita tekanan darah tinggi (≥ 140/90 mmHg); dengan persentase biaya kesehatan cukup besar setiap tahunnya.3 Menurut National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES), insiden hipertensi pada orang dewasa di Amerika tahun 1999-2000 adalah
sekitar 29-31%, yang berarti bahwa terdapat 58-65 juta orang menderita hiertensi, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHNES III tahun 1988-1991. Tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit degeneratif. Umumnya tekanan darah bertambah secara perlahan dengan bertambahnya umur. Risiko untuk menderita hipertensi pada populasi ≥ 55 tahun yang tadinya tekanan darahnya normal adalah 90%.2 Kebanyakan pasien mempunyai tekanan darah prehipertensi sebelum mereka didiagnosis dengan hipertensi, dan kebanyakan diagnosis hipertensi terjadi pada umur diantara dekade ketiga dan dekade kelima. Sampai dengan umur 55 tahun, laki-laki lebih banyak menderita hipertensi dibanding perempuan. Dari umur 55 s/d 74 tahun, sedikit lebih banyak perempuan dibanding laki-laki yang menderita hipertensi. Pada populasi lansia (umur ≥ 60 tahun), prevalensi untuk hipertensi sebesar 65.4 %. 3. Etiologi
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologi-nya tidak diketahui (essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat disembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial. Hipertensi primer (essensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi essensial (hipertensi primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi essensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi primer tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam suatu keluarga, hal ini setidaknya menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi primer. Menurut data, bila ditemukan gambaran bentuk disregulasi tekanan darah yang monogenik dan poligenik mempunyai kecenderungan timbulnya hipertensi essensial. Banyak karakteristik
genetik dari gen-gen ini yang mempengaruhi keseimbangan natrium, tetapi juga di dokumentasikan adanya mutasi-mutasi genetik yang merubah ekskresi kallikrein urine,
pelepasan
nitric
oxide,
ekskresi
aldosteron,
steroid
adrenal,
dan
angiotensinogen. Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan sekunder dari penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah (lihat tabel 1). Pada kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular adalah penyebab sekunder yang paling sering.5 Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan darah. Obat-obat ini dapat dilihat pada tabel 1. Apabila penyebab sekunder dapat diidentifikasi, maka dengan menghentikan obat yang bersangkutan atau mengobati/mengoreksi kondisi komorbid yang menyertainya sudah merupakan tahap pertama dalam penanganan hipertensi sekunder. Tabel 1. Penyebab hipertensi yang dapat diidentifikasi
4. Patofisiologi Tekanan darah arteri
Tekanan darah arteri adalah tekanan yang diukur pada dinding arteri dalam millimeter merkuri. Dua tekanan darah arteri yang biasanya diukur, tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan darah diastolik (TDD). TDS diperoleh selama kontraksi jantung dan TDD diperoleh setelah kontraksi sewaktu bilik jantung diisi. Banyak faktor yang mengontrol tekanan darah berkontribusi secara potensial dalam terbentuknya hipertensi; faktor-faktor tersebut adalah (lihat gambar 1 ):
Meningkatnya Meningkatnya aktifitas sistem saraf simpatik (tonus simpatis dan/atau variasi diurnal), mungkin berhubungan dengan meningkatnya meningkatnya respons terhadap t erhadap stress psikososial dll
Produksi berlebihan hormon yang menahan natrium dan vasokonstriktor
Asupan natrium (garam) berlebihan
Tidak cukupnya asupan kalium dan kalsium
Meningkatnya sekresi renin sehingga mengakibatkan meningkatnya produksi angiotensin I dan aldosteron aldosteron
Defisiensi vasodilator seperti prostasiklin, nitrik oxida (NO), dan peptide natriuretik
Perubahan dalam ekspresi sistem kallikrein-kinin yang mempengaruhi tonus vaskular dan penanganan garam oleh ginjal
Abnormalitas tahanan pembuluh darah, termasuk gangguan pada pembuluh darah kecil di ginjal
Diabetes mellitus
Resistensi insulin
Obesitas
Meningkatnya Meningkatnya aktivitas vascular growth factors
Perubahan reseptor adrenergik yang mempengaruhi denyut jantung, karakteristik inotropik dari jantung, dan tonus vaskular
Berubahnya transpor ion dalam sel
Gambar 1. Mekanisme patofisiologi dari hipertensi
5. Klasifikasi tekanan darah
Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis (Tabel 2). Klasifikasi tekanan darah mencakup 4 kategori, dengan nilai normal pada tekanan darah sistolik (TDS) < 120 mm Hg dan tekanan darah diastolik (TDD) < 80 mm Hg. Prehipertensi tidak dianggap sebagai kategori penyakit tetapi mengidentifikasi pasien-pasien yang tekanan darahnya cendrung meningkat ke klasifikasi hipertensi dimasa yang akan datang. Ada dua tingkat (stage) hipertensi , dan semua pasien pada kategori ini harus diberi terapi obat. Tabel 2.Klasifikasi tekanan darah untuk dewasa menurut JNC VII.
Krisis hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi yang kemungkinan dapat menimbulkan atau telah terjadinya kelainan organ target. Biasanya ditandai oleh tekanan darah >180/120 mmHg; dikategotikan sebagai hipertensi emergensi atau hipertensi urgensi. Pada hipertensi emergensi tekanan darah meningkat ekstrim disertai dengan kerusakan organ target
akut yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan segera (dalam hitungan menit – jam) untuk mencegah kerusakan organ target lebih lanjut. Contoh gangguan organ target akut: encephalopathy, pendarahan intrakranial, gagal ventrikel kiri akut disertai edema paru, dissecting aortic aneurysm, angina pectoris tidak stabil, dan eklampsia atau hipertensi berat selama kehamilan. Hipertensi urgensi adalah tingginya tekanan darah tanpa disertai kerusakan
organ target yang progresif. Tekanan darah diturunkan dengan obat antihipertensi oral ke nilai tekanan darah pada tingkat 1 dalam waktu beberapa jam s/d beberap hari. 6. Gejala Klinis
Secara umum pasien dapat terlihat sehat atau beberapa diantaranya sudah mempunyai faktor resiko tambahan, tetapi kebanyakan asimptomatik. Tabel 3. Faktor-faktor resiko kardiovaskuler.
7.
Penatalaksanaan Hipertensi
Penatalaksanaan Penatalaksanaan hipertensi dapat dilakukan dengan: 1. Terapi nonfarmakologi 2. Terapi farmakologi 1) . Terapi nonfarmakologi
Menerapkan gaya hidup sehat bagi setiap orang sangat penting untuk mencegah tekanan darah tinggi dan merupakan bagian yang penting dalam penanganan hipertensi. Semua pasien dengan prehipertensi dan hipertensi harus melakukan perubahan gaya hidup. Perubahan yang sudah terlihat menurunkan tekanan darah dapat terlihat pada tabel 4 sesuai dengan rekomendasi dari JNC VII. Disamping menurunkan tekanan darah pada pasien-pasien dengan hipertensi, modifikasi gaya hidup juga dapat mengurangi berlanjutnya tekanan darah ke hipertensi pada pasienpasien dengan tekanan darah prehipertensi. Modifikasi gaya hidup yang penting yang terlihat menurunkan tekanan darah adalah mengurangi berat badan untuk individu yang obes atau gemuk; mengadopsi pola makan DASH ( Dietary Approach to Stop Hypertension) yang kaya akan kalium dan kalsium; diet rendah natrium; aktifitas fisik; dan mengkonsumsi alkohol sedikit saja. Pada sejumlah pasien dengan pengontrolan tekanan darah cukup baik dengan terapi satu obat antihipertensi; mengurangi garam dan berat badan dapat membebaskan pasien dari menggunakan obat.10 Program diet yang mudah diterima adalah yang didisain untuk menurunkan berat badan secara perlhan-lahan pada pasien yang gemuk dan obes disertai pembatasan pemasukan natrium dan alkohol. Untuk ini diperlukan pendidikan ke pasien, dan dorongan moril. Fakta-fakta berikut dapat diberitahu kepada pasien supaya pasien mengerti rasionalitas intervensi diet: a. Hipertensi 2 – 2 – 3 3 kali lebih sering pada orang gemuk dibanding orang dengan berat badan ideal b. Lebih dari 60 % pasien dengan hipertensi adalah gemuk (overweight) c. Penurunan berat badan, hanya dengan 10 pound (4.5 kg) dapat menurunkan tekanan darah secara bermakna pada orang gemuk d. Obesitas abdomen dikaitkan dengan sindroma metabolik, yang juga prekursor dari hipertensi dan sindroma resisten insulin yang dapat berlanjut ke DM tipe 2, dislipidemia, dan selanjutnya ke penyakit kardiovaskular.
e. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh dapat menurunkan tekanan darah pada individu dengan hipertensi. f. Walaupun ada pasien hipertensi yang tidak sensitif terhadap garam, kebanyakan pasien mengalami penurunaan tekanan darah sistolik dengan p embatasan natrium. 2). Terapi Farmakologi
Ada 9 kelas obat antihipertensi yaitu Diuretik, penyekat beta, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), dan antagonis kalsium dianggap sebagai obat antihipertensi utama (tabel 5). Obat-obat ini baik sendiri atau dikombinasi, harus digunakan untuk mengobati mayoritas pasien dengan hipertensi karena bukti menunjukkan keuntungan dengan kelas obat ini. Beberapa dari kelas obat ini (misalnya diuretik dan antagonis kalsium) mempunyai subkelas dimana perbedaan yang bermakna dari studi terlihat te rlihat dalam mekanisme kerja, penggunaan penggunaan klinis atau efek samping. Penyekat alfa, agonis alfa 2 sentral, penghambat adrenergik, dan vasodilator digunakan sebagai obat alternatif pada pasien-pasien tertentu disamping obat utama. Evidence-based medicine adalah pengobatan yang didasarkan atas bukti
terbaik yang ada dalam mengambil keputusan saat memilih obat secara sadar, jelas, dan bijak terhadap masing-masing pasien dan/atau penyakit. Praktek evidence-based untuk hipertensi termasuk memilih obat tertentu berdasarkan data yang menunjukkan penurunan mortalitas dan morbiditas kardiovaskular atau kerusakan target organ akibat hipertensi. Bukti ilmiah menunjukkan kalau sekadar menurunkan tekanan darah, tolerabilitas, dan biaya saja tidak dapat dipakai dalam seleksi obat hipertensi. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor ini, obat-obat yang paling berguna adalah diuretik, penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI), penghambat reseptor angiotensin (ARB), penyekat beta, dan antagonis kalsium (CCB). Kebanyakan pasien dengan hipertensi memerlukan dua atau lebih obat antihipertensi untuk mencapai target tekanan darah yang diinginkan. Penambahan obat kedua dari kelas yang berbeda dimulai apabila pemakaian obat tunggal dengan dosis lazim gagal mencapai target tekanan darah. Apabila tekanan darah melebihi 20/10 mm Hg diatas target, dapat dipertimbangkan untuk memulai terapi dengan dua obat. Yang harus diperhatikan adalah resiko untuk hipotensi ortostatik, terutama pada pasien-pasien dengan diabetes, disfungsi autonomik, dan lansia.
Terapi Kombinasi
Rasional kombinasi obat antihipertensi: Ada 6 alasan mengapa m engapa pengobatan kombinasi pada hipertensi dianjurkan: 1. Mempunyai efek aditif 2. Mempunyai efek sinergisme 3. Mempunyai sifat saling mengisi 4. Penurunan efek samping masing-masing obat 5. Mempunyai cara kerja yang saling mengisi pada organ tar get tertentu 6. Adanya “ fixed dose combination” akan meningkatkan kepatuhan pasien (adherence)
Fixed-dose combination yang paling efektif adalah sebagai berikut: 1. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan diuretik 2. Penyekat reseptor angiotensin II (ARB) dengan diuretik 3. Penyekat beta dengan diuretik 4. Diuretik dengan agen penahan kalium 5. Penghambat enzim konversi angiotensin (ACEI) dengan antagonis kalsium 6. Agonis α-2 dengan diuretik 7. Penyekat α-1 dengan diuretik.
Gambar 2.Kombinasi dari kelas yang berbeda untuk terapi hipertensi.
Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien
Petunjuk
dari
JNC
7
merekomendasikan
diuretik
tipe
tiazid
bila
memungkinkan sebagai sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB). Diuretik tipe thiazide sudah menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial. Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna dalam mengontrol tekanan darah , dan harganya lebih dapat dijangkau dibanding obat antihipertensi lainnya.
Pertimbangan lain dalam Pemilihan obat Antihipertensi
Efek yang berpotensi menguntungkan :
Diuretik tipe thiazide berguna untuk memperlambat demineralisasi pada osteoporosis.
β-blocker dapat berguna untuk pengobatan atrial takhiaritmia/fibrilasi, migraine, tirotoksikosis (jangka pendek), atau tremor tr emor esensial.
Kalsium antagonis dapat berguna juga untuk pengobatan sindroma Raynaud dan aritmia tertentu
α-blocker dapat berguna untuk gangguan prostat
Efek yang berpotensi tidak menguntungkan menguntungkan :
Diuretik tipe thiazide harus digunakan dengan hati-hati pada pasien dengan diagnosa pirai atau yang mempunyai sejarah medis hiponatremia yang bermakna.
Hindari penggunaan penyekat β pada pasien asma, reactive airway disease, atau second or third degree heart block • ACEI dan ARB tidak boleh diberikan kepada perempuan punya rencana hamil dan kontraindikasi pada perempuan hamil. ACEI tidak boleh diberikan pada pasien dengan riwayat angioedema.
Antagonis aldosteron dan diuretic penahan kalium dapat menyebabkan hiperkalemia, sehingga jangan diberikan kepada pasien dengan kalium serum >5.0 mEq/L (tanpa minum obat apa-apa)
Algoritma penatalaksanaan penatalaksanaan terapi hipertensi menurut JNC J NC VII :
B. KASUS DAN PEMBAHASAN
Data Pasien:
1. Nama
: Harto Wiyono
2. Usia
: 72 tahun
3. Pekerjaan
: Wiraswasta
4. Status pasien : JamkesMas 5. Alamat
: Kalipakis DK I No. 145 Kasihan, Bantul, DIY.
6. No. MR
: 537136
7. Ruang/Kamar : Marwah/ Marwah/ A5 8. Dokter
: dr. Wibowo, Sp. PD
Subyektif :
1. Keluhan Utama
: Pusing, muntah-muntah, buyar, meriang, sulit makan.
2. Riwayat Penyakit Pasien
: Hipertensi
3. Riwayat Pengobatan Pasien : Obat hipertensi seperti HCT, bisoprolol, captopril (incompliace)
4. Riwayat Penyakit Keluarga
: - (tidak ada)
5. Riwayat Alergi Obat
: - (tidak ada)
Obyektif
1. Genetik : Laki-laki ras Asia 2. Vital Sign
Pemeriksaan Tanggal Tek. Darah Nadi Suhu (◦C)
11 219/ 105 75x/ Mnt 36,5
12 191/ 85 90x/ Mnt 36
Bulan Mei 2012 13 14 15 192/ 180/ 180/ 94 84 100 85x/ 100x/ 85x/ Mnt mnt mnt 36 36 36,4
16 140/ 90 90x/ mnt 36,6
17 130/ 80 95x/ mnt 36
3. Data hasil laboratorium JENIS PEMERIKSAAN
Hematologi Leukosit Eosinofil Basofil Netrofil Limfosit Monosit Eritrosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC RDW Trombosit MPV PCT PDW Kimia Klinik GDS Ureum Kreatinin Kolesterol total Trigliserida
NILAI RUJUKAN
4-10 0,5 0,1 50-70 25-40 2-8 4,4-5,9 12,0-17,0 36-52 80-100 22-34 32-36
SATUAN
rb/uL % % % % % Juta/uL g/dL % Fl Pg g/dL
11,6-14,8 150-450 5,30-8,70 0,00-9,99 0,00-9,90
% Rb/uL
70-140 18-55 < 1,3 < 265 < 160
mg/dL mg/dL mg/dL
Fl
HASIL PEMERIKSAAN keterangan 11/05/2012
12, 9 0 0 93 5 2 4,57 13,3 40 87,7 29,0 33,1 14,7 180 6,3
15,7
mg/dL mg/dL
166 39
Sedikit tinggi Normal Normal Tinggi Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Tinggi Sedikit Tinggi Normal Normal Normal Normal
Hasil monitoring pasien: Catatan pemberian obat pada pasien dan perkembangan kondisinya
Tanggal 11 Mei UGD
11 Mei 2012
12 Mei 2012
Obat yang diberikan Infus RL Injeksi Antrain Injeksi Ondansetron O2 Infus RL Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 2 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Infus RL
Perkembangan Perkembangan kondisi pasien
Kondisi umum lemah, pusing,gemetar. pusing,gemetar.
Kondisi umum lemah, pusing,gemetar. pusing,gemetar.
13 Mei 2012
14 Mei 2012
15 Mei 2012
16 Mei 2012
17 Mei 2012
Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 2 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Infus RL Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 2 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Infus RL Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 3 x 50 mg HCT 1 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Cefixime 2 x 100 mg Infus RL Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 3 x 50 mg HCT 1 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Cefixime 2 x 100 mg Betahistin 3 x 1 Infus RL Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 3 x 50 mg HCT 1 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Cefixime 2 x 100 mg Betahistin 3 x 1 Infus RL Amlodipin 1 x 10 mg Captopril 3 x 50 mg HCT 1 x 25 mg Frego (Flunarizine 5 mg) 2x1 Cefixime 2 x 100 mg Betahistin 3 x 1
Kondisi umum lemah, pusing,gemetar. pusing,gemetar.
Kondisi umum putar,gemetar.
lemah,
pusing
berputar-
Kondisi umum cukup, rasa lemas, bisa makan dan minum, masih pusing, suhu tubuh normal, kekakuan otot bahu.
Kondisi umum cukup, masih lemas, bisa makan dan minum, pusing berkurang, suhu tubuh normal, masih lemas dan bisa duduk, kekakuan otot berkurang.
Pusing berkurang, bisa berbicara sambil duduk lama, vertigo berkurang, lemas berkurang, se mua keluhan teratasi, status hipertensi terkontrol, pasien boleh pulang.
Penjabaran hasil pemantauan terapi obat pada pasien dengan lebih lengkap dapat dilihat pada lampiran Form Pemantauan Pengobatan Pasien. Assesment Pada kasus Bapak Harto Wiyono, pasien didiagnosa awal dengan hipertensi
emergensi dengan alasan tekanan darah yang sangat tinggi yaitu 219/105 disertai dengan vertigo yang dilihat dari gejala pusing, muntah-muntah, sulit makan dan pandangan buyar.
Diagnosis hipertensi diperkuat karena pasien memiliki riwayat penyakit hipertensi yang sama pada bulan November 2011.
Review
penggunaan obat:
1. Penggunaan Captopril 25 mg, Captopril 50 mg, Amlodipine 10 mg, HCT 25 mg
Tn. Pharto Wiyono (72 tahun) merupakan pasien geriatrik yang mendapat cukup banyak obat dalam pengobatannya, hal ini terjadi karena pasien mengalami hipertensi emergensi dengan tekanan darah yang sangat tinggi dengan komplikasi vertigo. Pada awalnya pasien hanya mendapatkan kombinasi 2 obat anti hipertensi yaitu captopril 2 kali 25 mg dan amlodipine 1 kali 10 mg, hal ini sudah sesuai dengan standar terapi hipertensi pada JNC VII dimana tekanan darah di atas 160/100 mmHg bisa menggunakan kombinasi 2 obat untuk terapi inisiasi. Penggunaan kombinasi 2 obat selama 3 hari ternyata tidak efektif karena tekanan darah pasien masih berkisar diantara 190/90 mmHg. Terapi kombinasi 2 obat kemudian diganti menjadi kombinasi 3 obat dengan dengan penambahan penambahan HCT 1 kali 25 mg sebagai diuretika diuretika dan mengganti dosis dan frekuensi pemakaian captopril menjadi 3 kali 50 mg. Setelah 2 hari penggunaan kombinasi 3 obat anti hipertensi tersebut tekanan darah pasien menurun mendekati tekanan darah normal yaitu 140/90 mmHg dan bisa terkontrol. Penggunaan kombinasi 3 obat anti hipertensi memiliki potensi efek hipotensi sehingga diperlukan monitoring ketat terhadap tekanan darah pasien. Mekanisme kerja captopril adalah dengan menghambat perubahan angiotensin I menjadi angiotensin II, dimana angiotensin II adalah vasokonstriktor poten yang juga merangsang sekresi aldosteron yang merupakan anti diuretik hormon. Captopril juga
memblok
degradasi bradikinin
dan
merangsang sintesa
zat-zat
yang
menyebabkan vasodilatasi, termasuk prostaglandin E2 dan prostasiklin. Peningkatan bradikinin meningkatkan efek penurunan tekanan darah dari Captopril, tetapi juga bertanggung jawab terhadap efek samping batuk kering yang sering dijumpai pada penggunaan penggunaan Captopril. Mekanisme kerja diuretika thiazid adalah dengan menginhibisi reabsorbsi Na pada pada tubulus distal renal renal yang meningkatkan meningkatkan ekskresi ekskresi dari Na , K, H, dan air. Mekanisme kerja amlodipine adalah dengan menghambat influx calcium sepanjang sel sehingga mencegah terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah dan relaksasi otot jantung (Dipiro, 2009). Pada kasus ini, pasien Tn. Harto Wi yono tidak mengalami gejala batuk kering yang biasa terjadi pada 2% pasien yang menggunakan captopril terutama untuk pasien
geriatrik (DIH, 2008). Pasien mengalami fatigue yang merupakan efek samping dari amlodipine, efek samping fatigue pada amlodipine terjadi pada 4,7% pasien yang menggunakan menggunakan amlodipine (DIH, 2008). Jadi penggunaan kombinasi 3 obat antihipertensi untuk pasien ini sudah tepat dan menguntungkan dengan mempertimbangkan mempertimbangkan risk and benefit pada kondisi pasien. 2. Penggunaan cefixime 100 mg
Pada kasus ini terdapat DRP ada obat tidak ada indikasi. Pasien tidak ada mengalami gejala infeksi tetapi pasien mendapatkan antibiotik cefixime dengan dosis o
2 x 100 mg. Suhu tubuh pasien berkisar 36 C yang menunjukkan masih tidak ada indikasi infeksi. Heart rate pasien masih dalam batas normal dibawah 100 kali per r ate pasien juga masih dalam batas normal yaitu 20 kali per menit. menit. Respiration rate 3
Angka leukosit pasien 12.900 per mm masih dalam batas normal. Menurut parameter diagnosis Sistemic Inflamatoey Response Syndrome (SIRS) pasien tidak mengalami infeksi karena diagnosis infeksi tidak bisa ditegakkan karena untuk menegakkan diagnosis infeksi maka minimal dua parameter SIRS terpenuhi. Tabel parameter diagnostik infeksi berdasarkan SIRS dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 4. Parameter diagnostik infeksi i nfeksi berdasarkan SIRS.
Rekomendasi yang bisa diberikan pada kasus ini dengan melihat parameter kondisi fisik pasien dan hasil laboratorium adalah dengan menghentikan penggunaan antibiotik cefixime karena antibiotik tersebut tidak ada indikasi. Lagi pula penggunaan antibiotik cefixime tersebut hanya 3 hari dan sangat berpotensi menyebabkan terjadinya resistensi bakteri karena kur terapi untuk antibiotik minimal digunakan dalam 5 hari.
3. Penggunaan Frego (Flunarizine 5 mg) dan Betahistin 6 mg.
Pasien Tn, Harto Wiyono mengalami vertigo dengan gejala muntah-muntah, pandangan buyar, dan pusing berputar-putar. Pasien mendapatkan obat frego 5 mg 2 kali sehari dari awal masuk rumah sakit sampai keluar dari rumah sakit dan juga mendapatkan mendapatkan frego 5 mg untuk dibawa pulang. Frego 5 mg mengandung flunarizine 5 mg dengan mekanisme aksi sebagai antihistamin dan aktivitas melakukan blok terhadap kanal selektif kalsium. Pemberian frego 5 mg tidak memberikan efek penurunan gejala dari vertigo secara signifikan sampai hari keempat pasien di Rumah Sakit. Pada hari kelima Pasien mendapatkan tambahan terapi betahistin 3 kali 6 mg untuk mengatasi gejala vertigonya. Setelah pemberian kombinasi kedua obat tersebut perlahan-lahan gejala vertigo pasien sudah mulai berkurang secara signifikan. Penggunaan frego secara terus menerus memiliki efek samping yang dapat dirasakan pasien yaitu gejala ekstrapiramidal terutama fatigue. Efek samping fatigue dirasakan pasien selama rawat inap di Rumah Sakit. Rekomendasi yang dapat diberikan adalah pada saat pasien mengalami gejala fatigue maka sebaiknya frego 5 mg dihentikan dan diganti dengan betahistin 6 mg 3 kali sehari karena betahistin 6 mg tidak memiliki efek samping fatigue. Sebaiknya juga untuk obat pasien yang dibawa pulang bukan frego 5 mg tetapi betahistin 6 mg. Rekomendasi Rekomendasi lain terkait efek samping fatigue yang terjadi pada p ada pasien adalah dengan memberikan vitamin neurotropik dengan kombinasi vitamin E untuk memperbaiki sistem saraf pasien dan mengurangi kekakuan otot pasien.
4. Penggunaan injeksi antrain di UGD
Pada kasus ini injeksi antrain hanya digunakan di UGD untuk mengatasi efek pusing yang dirasakan oleh pasien. Antrain mengandung zat aktif metamizole 500 mg yang merupakan analgetika dengan mekanisme kerja menghambat aktivitas siklooksigenase.
5. Penggunaan Injeksi ondansetron di UGD
Pada kasus ini injeksi ondansetron hanya digunakan di UGD untuk mengatasi efek muntah-muntah dari pasien. Injeksi ondansetron yang digunakan adalah ondansetron dengan dosis 4 mg dalam 2 ml. Ondansetron adalah antagonis selektif reseptor 5-HT3 sehingga menekan efek muntah dari pasien.
6. Pengatasan efek samping
Pengobatan yang diberikan kepada pasien cukup banyak dan memiliki kemungkinan timbulnya reaksi efek samping yang beragam. Pada kasus ini juga dilakukan scoring naranjo untuk menilai kemungkinan adanya ROM.
PHARMACOVILIGANCE NARANJO ALGORYTME SCORE Hasil Skor
Tingkat Kejadian ROM atau IO
1-3
Possible (Kemungkinan terjadi ROM/IO)
4-8
Probable (Kemungkinan Besar terjadi ROM/IO)
9 - 13
Definite (Pasti terjadi ROM/IO)
Hasil untuk scoring adalah : Scoring Naranjo yang dapat digunakan untuk mengetahui ADR Fatigue-frego (Flunarizine5 mg) No.
Reaksi Obat yang Merugikan (ROM) ( ROM)
Ya
Tidak Tidak Tahu
Skor
01.
Apakah ada laporan yang jelas tentang ROM tersebut pada waktu lampau?
+1
02.
Apakah ROM terjadi setelah pemberian obat tersebut?
+2
03.
Apakah ROM berkurang ketika obat dihentikan atau ketika diberi obat antagonis?
0
04.
Apakah ROM timbul lagi ketika obat tersebut diberikan lagi?
0
05.
Adakah alternatif lain penyebab ROM pada pasien tersebut?
06.
Apakah ROM juga timbul ketika diberikan plasebo?
0
07.
Apakah Obat berada pada konsentrasi toksis dalam darah?
0
08.
Apakah ROM meningkat ketika dosis ditingkatkan atau berkurang ketika dosis diturunkan?
0
09.
Apakah pasien pernah mengalami ROM yang sama di waktu lampau ketika obat yang sama atau turunannya diberikan?
0
10.
Apakah diagnosis ROM tersebut didukung oleh
+1
+1
bukti yang objektif? Jumlah Skor
3
Hasil skor naranjo pada ROM untuk fatigue karena penggunaan Amlodipine 10 mg adalah possible, atau kemungkinan terjadinya ROM karena penggunaan obat tersebut. Scoring Naranjo yang dapat digunakan untuk mengetahui ADR Fatigue-Amlodipine 10 mg No.
Reaksi Obat yang Merugikan (ROM) ( ROM)
Ya
Tidak Tidak Tahu
Skor
01.
Apakah ada laporan yang jelas tentang ROM tersebut pada waktu lampau?
+1
02.
Apakah ROM terjadi setelah pemberian obat tersebut?
+2
03.
Apakah ROM berkurang ketika obat dihentikan atau ketika diberi obat antagonis?
0
04.
Apakah ROM timbul lagi ketika obat tersebut diberikan lagi?
0
05.
Adakah alternatif lain penyebab ROM pada pasien tersebut?
06.
Apakah ROM juga timbul ketika diberikan plasebo?
0
07.
Apakah Obat berada pada konsentrasi toksis dalam darah?
0
08.
Apakah ROM meningkat ketika dosis ditingkatkan atau berkurang ketika dosis diturunkan?
0
09.
Apakah pasien pernah mengalami ROM yang sama di waktu lampau ketika obat yang sama atau turunannya diberikan?
0
10.
Apakah diagnosis ROM tersebut didukung oleh bukti yang objektif? Jumlah Skor
-1
+1 3
Hasil skor naranjo pada ROM untuk fatigue karena penggunaan Amlodipine 10 mg adalah possible, atau kemungkinan terjadinya ROM karena penggunaan obat tersebut.
Pasien mengeluh mengalami gejala fatigue selama di rawat inap di Rumah Sakit dari tanggal 11-17 Mei 2012. Dari hasil perhitungan skor naranjo di atas menunjukkan bahwa kemungkinan gejala fatigue itu timbul karena penggunaan penggunaan dari frego 5 mg dan amlodipine 10 mg. Penggunaan amlodipine untuk pengatasan hipertensi dengan tekanan darah yang sangat tinggi sangat penting karena amlodipine mengurangi vasokonstriki pembuluh darah dan
mencegah spasme pembuluh darah di otak sehingga dapat mencegah terjadinya stroke sehingga
penggunaannya
tetap
direkomendasikan
untuk
dipertahankan.
Sedangkan
penggunaan frego 5 mg masih bisa digantikan dengan obat lain dengan indikasi anti vertigo yang sama dari golongan lain yang tidak memiliki efek samping fatigue seperti betahistine 6 mg 3 kali sehari. Rekomendasi mengenai penggunaan frego 5 mg adalah menghentikan penggunaannya penggunaannya dan diganti dengan betahistine 6mg untuk mengatasi gejala vertigo.
7. Analisis Biaya
Tipe Pasien
: Pasien Rawat Inap
Deskripsi
: Hipertensi Vertigo
Batas Program
: 6 hari
Plafon JamKesMas
: Rp 2.903.555,-
Biaya total pasien
: Rp 4.673.900,-
Tanggungan Tanggungan Rumah Sakit
: Rp 1.770.345,-
Biaya total pasien selama di Rumah Sakit adalah Rp 4.673.900, sedangkan dana platfon JamKesMas yang diperoleh dari pemerintah untuk diagnosa hipertensi vertigo adalah Rp 2.903.555, sehingga Rumah Sakit memiliki tanggungan tanggungan Rp 1.770.345. Biaya tanggungan tersebut menjelaskan bahwa Rumah Sakit mengalami kerugian karena dana tanggungan pemerintah tidak mencukupi untuk seluruh bia ya pasien.
Planning 1. Merekomendasikan ke dokter untuk menghentikan pemberian cefixime 100 mg
karena tiak ada indikasi infeksi 2. Merekomendasikan kepada dokter untuk menghentikan penggunaan frego 5 mg karena efek samping fatigue yang dialami oleh pasien dan menggantikannya hanya dengan betahistine 6 mg. 3. Merekomendasikan Merekomendasikan kepada dokter untuk menambahkan terapi untuk mengatasi gejala fatigue pasien dengan memberikan vitamin neurotropik. 4. Merekomendasikan Merekomendasikan pasien untuk melakukan kontrol tekanan darah secara rutin dan rutin untuk menggunakan obat anti hipertensi agar tekanan darah pasien dapat terkontrol.. 5. Menjelaskan kepada pasien tentang tata cara penggunaan obat anti hipertensi (jadwal penggunaan dan diminum sebelumatau sesudah makan)
6. Memberikan Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada pasien berupa : a. Monitoring tekanan tekanan darah sebulan sekali sekali atau 2 minggu sekali sampai sampai mencapai normal. Tekanan darah normal untuk pasien : < 140/80 mmHg b. Memberi konseling dan edukasi kepada pasien agar pasien melakukan diet garam sehingga tidak memperparah penyakit hipertensi pasien. c. Memberikan motivasi dan informasi kepada pasien agar menggunakan obat anti hipertensi secara rutin untuk mengontrol tekanan darahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006. Pharmaceutical care untuk penyakit hipertensi. Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Ditjen Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI. Armstrong, Lora L, et al. 2008. Drug Information Handbook . American Pharmaceutical Association : Lexi-Comp Inc Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT, Roccella EJ. Seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Hypertension. 2003;42: 1206 – 1252. 1252. DiPiro, et al. 2008. Pharmacotherapy Handbook Seventh Edition. USA : McGraw-Hill Companies. Paterson, R.L, and N.R. Webster. Sepsis and the systemic inflammatory response syndrome. Academic Unit of Anaesthesia and Intensive Care, University of Aberdeen, Aberdeen, U.K. J.R.Coll.Surg.Edinb., 45, June 2000, 178-182 Wang. J Thomas and Ramachandran S. Vasan. Epidemiology of Uncontrolled Hypertension in the United States : American Heart association.