SUBSISTEM INPUT
Pemeliharaan/budidaya
SUBSISTEM PASCA PANEN/ PENGOLA-HAN
Pengolahan hasil produksi
Pengolahan limbah
SUBSISTEM PEMASA-RAN
Distribusi
Promosi
Benih, bibit
Pupuk, obat-obatan
SUBSISTEM PRODUKSI/BUDIDAYA
Sarana dan prasaran
Pemanenan
Pemeliharaan kesehatan
Informasi dan intelejen pasar
Sumber pasar (ekspor/impor)
32
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
"Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman"
(Koes Plus, 1973)
Beberapa baris kalimat diatas adalah lirik lengkap lagu yang dirilis oleh grup band legendaris Indonesia, Koes Plus pada tahun 1973. Lagu ini menggambarkan tentang betapa kayanya Indonesia. Dan memang benar, Indonesia merupakan negara agraris tropis terbesar kedua setelah Brazil. Indonesia memiliki 11% wilayah tropis yang dapat ditanami dan dibudidayakans etiap tahunnya dari total 27% zona tropis dunia. Menurut World Bank, Indonesia memiliki luas lahan yang dapat ditanami seluas 241,880 km² atau kurang lebih 12% dari total luas wilayah seluas 1,91 juta km². Sisanya merupakan daerah perbukitan/pegunungan, laut dan lainnya. Luasnya wilayah dan lahan yang dapat ditanami ini menempatkan Indonesia berada pada posisi nomor 10 di dunia (Hutabarat, 2012). Dari sisi astronomi Indonesia terletak di antara 6ºLU-11ºLS dan 95ºBT-141ºBT, secara geografis terletak antara Lautan Pasifik dan Lautan Hindia, antara Benua Asia dan Benua Australia, pada pertemuan dua deretan pegunungan, yaitu Sirkum Pasifik dan Sirkum Mediteranean dan dilalui oleh garis khatulistiwa. Karena posisi astronomis dan geografis itulah Indonesia masuk pada zona tropical yang memiliki dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan yang yang ada di Indonesia rata-rata cukup tinggi sehingga banyak jenis tumbuhan dapat hidup dan tumbuh dengan cepat. Sedangkan dilihat dari sisi geologi, Indonesia terletak pada titik pergerakan lempengan tektonik sehingga banyak terbentuk pegunungan yang kaya akan mineral dan tanah yang subur (Lupitasari, 2014).
Sebagai negara agraris maka tidak salah jika masyarakat Indonesia mayoritas bermata pencaharian pada sektor pertanian (Lupitasari, 2014). Data Survei Angkatan Kerja Nasional bulan Agustus 2012 menunjukkan bahwa terdapat dari total 110.808.154 orang tenaga kerja (umur 15 tahun ke atas), sebanyak 38.882.134 orang atau sebesar 35,1% diantaranya bekerja pada sektor pertanian secara luas yang meliputi sektor peternakan, pertanian, kehutanan, perkebunan dan perikanan (agribisnis) (Dirjen PKH, 2013).
Sebagai negara agraris Indonesia memiliki potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang kaya ditambah dengan kondisi alamnya yang subur dan luas lahan yang dapat ditanami seluas 241,880 km² maka wajar jika pembangunan Indonesia seharusnya menempatkan sektor pertanian sebagai lokomotifnya. Karena itu dalam Peraturan Pemerintah Nomer 68 tahun 2002 ditegaskan bahwa pembangunan pertanian bertujuan kepada tiga hal pokok yaitu pencapaian ketahanan pangan, pengembangan agribisnis dan peningkatan kesejahteraan petani. Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang dapat diukur dari tersedianya pangan.
Dalam rangka tercapainya ketahanan pangan nasional tersebut maka Kementerian Pertanian (2009) mencanangkan 4 (empat) target utama (Hanafi, 2013). Empat target utama tersebut adalah, pertama, pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan, dengan cara peningkatan 39 komoditas unggulan nasional dan 7 komoditas diantaranya adalah komoditas peternakan. Kedua, peningkatan diversifikasi pangan atau keragaman pangan. Sasaran percepatan keragaman konsumsi pangan adalah tercapainya pola konsumsi pangan yang aman, bermutu, dan bergizi seimbang. Konsumsi umbi-umbian, sayuran, buah-buahan, pangan hewani ditingkatkan dengan mengutamakan produksi lokal, sehingga konsumsi beras diharapkan turun. Ketiga, peningkatan nilai tambah, daya saing, dan ekspor. Peningkatan nilai tambah dilakukan dengan cara peningkatan kualitas dan jumlah olahan produk pertanian. Peningkatan daya saing ditekankan pada pengembangan produk berbasis sumberdaya lokal yang bisa meningkatkan pemenuhan permintaan untuk konsumsi dalam negeri dan bisa mengurangi ketergantungan impor. Peningkatan ekspor dilakukan dengan memprioritaskan pengembangan produk yang punya daya saing di pasar internasional, baik segar maupun olahan, yang kebutuhan di pasar dalam negeri sudah tercukupi. Dan target keempat adalah peningkatan kesejahteraan petani. Meningkatnya kesejahteraan petani berarti meningkatnya pendapatan petani. Empat target utama tersebut dalam pencapaiannya dengan cara pengembangan dan penerapan pertanian berbasis sistem agribisnis. Operasionalisasi program pengembangan agribisnis tersebut dilakukan melalui pengembangan sentra/kawasan agribisnis komoditas unggulan. Dengan model pengembangan agribisnis ini maka keterlibatan banyak tenaga kerja akan terjadi. Dan dengan semakin banyaknya masyarakat petani yang terlibat maka target peningkatan kesejahteraan petani bisa terwujud.
Dalam perspektif bidang peternakan maka ketersediaan pangan ini berarti tersedianya produk peternakan yang cukup, baik pada jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Salah satu produk peternakan yang penting adalah daging sapi. Namun demikian penyediaan daging sapi nasional terkendala pada ketidakseimbangan antara ketersediaan populasi sapi potong dibandingkan dengan tingginya permintaan produk daging sapitersebut (Talib, 2008).
Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang menyebutkan bahwa impor pangan pokok hanya dapat dilakukan bila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi, tidak dapat diproduksi di dalam negeri, dan untuk mengatasi masalah darurat pangan (Rusastra, 2013). Oleh karena itu guna mengatasi masalah tersebut maka pemerintah melakukan impor daging. Kebijakan tersebut diambil berdasar pada amanah pasal 36 UU No 18/2012. Banyak pihak terutama kalangan pengusaha berpandangan bahwa impor sapi lebih menguntungkan dari pada membudidayakannya sendiri di Indonesia. Beberapa alasannya antara lain adalah terkait dengan waktu pemeliharaan, margin keuntungan harga beli dan harga jualnya serta kualitas daging sapi impor.
Rumusan Masalah
Dari uraian singkat diatas maka dapat disimpulkan bahwa masih terdapat banyak kendala dalam upaya membangun ketahanan pangan secara nasional khususnya pada upaya membangun kemandirian daging sapi nasional. Berbagai permasalahan tersebut adalah :
Bagaimana proyeksi kebijakan impor sapi bakalan dan daging sapi di masa depan dalam kaitan dengan upaya membangun kemandirian daging nasional?
Konsep peternakan sapi potong nasional seperti apa yang paling tepat diterapkan agar Indonesia mampu mengembangkan peternakan sapi nasional yang mandiri, terintegrasi dan berkelanjutan sekaligus mampu memenuhi kebutuhan daging nasional tanpa harus impor?
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah :
Memahami perspektif untung dan rugi impor sapi dari sudut pandang kebijakan dan kebijakan apa saja yang diperlukan agar Indonesia memiliki peternakan sapi potong nasional yang mandiri, terintegrasi dan berkelanjutan.
Memahami problematika peternakan sapi potong di Indonesia sehingga mampu merumuskan kebijakan-kebijakan prioritas dan strategis untuk terwujudnya peternakan sapi potong nasional dan tidak perlu impor.
Hipotesis
Dari rumusan masalah diatas maka dapat ditarik hipotesis bahwa :
Dari sisi orientasi bisnis, impor sapi memang lebih menguntungkan akan tetapi dari sisi orientasi pengembangan dan penerapan agribisnis peternakan sapi potong dalam rangka mencapai tujuan ketahanan pangan nasional dan peningkatan kesejahteraan peternak, impor sapi tidak menguntungkan.
Dengan segala keuntungan komparatif yang dimiliki Indonesia sebagai negara agraris seharusnya pengembangan peternakan sapi nasional yang mandiri, terintegrasi dan berkelanjutan dapat diwujudkan serta dapat memenuhi kebutuhan daging nasional.
Acuan Naskah Kebijakan
Beberapa naskah akademik kebijakan yang menjadi acuan dalam pembahasan makalah ini antara laian, sebagai berikut :
UU No 18/2012 tentang Pangan
UU No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan
PP No 14/2002 tentang Karantina Tumbuhan
UU 41/2014 tentang Perubahan Atas UU No 18/2009
PP No 47/2014 tentang Pengendalian Dan Penanggulangan Penyakit Hewan
Kepmenhub No KM.53/2002 tentang Tatanan Kepelabuhan Nasional
Permentan No 94/Permentan/OT.140/12/2011 tentang Tempat Pemasukan Dan Pengeluaran Media Pembawa Penyakit Hewan Karantina Dan Organisme Pengganggu Tumbuhan Karantina
Permentan No 44/Permentan/OT.140/3/2014 tentang Perubahan Atas Permentan No 94/PERMENTAN/OT.140/12/2011
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Profil Peternakan Sapi Nasional
Sejarah peternakan di Indonesia tercatat sangat panjang. Beberapa petunjuk tentang manfaat ternak di zaman kerajaan terhadap peternakan muncul dalam beberapa tulisan prasasti atau dalam kitab-kitab Cina Kuno yang diteliti para ahli sejarah. Diungkapkan bahwa peranan ternak pada zaman kerajaan Tarumanegara, Sriwijaya, Mataram, Kediri, Sunda, Bali dan Majapahit secara umum memiliki tiga peran penting, yaitu pertama sebagai simbol status sosial, misalnya sebagai hadiah Raja kepada penduduk atau pejabat yang berjasa kepada raja. Peranan kedua adalah sebagai barang niaga atau komoditi ekonomi yang sudah diperdagangkan atau dibarter dengan kebutuhan hidup lainnya. Dan peranan ketiga adalah sebagai tenaga pembantu manusia baik untuk bidang pertanian maupun untuk bidang transportasi. Berbagai jenis ternak yang sudah diternakkan dan diperdagangkan pada masa kerajaan itu antara lain sapi, kerbau, kambing, domba, babi, ayam dan itik (Yudi, 2010).
Selanjutnya dijelaskan pula bahwa pada zaman penjajahan, selama abad kesembilan belas dan abad kedua puluh sampai berakhirnya pemerintahan Hindia Belanda, terdapat beberapa catatan kegiatan yang memiliki hubungan dengan perkembangan usaha peternakan di zaman pemerintah Indonesia. Kegiatan dalam bidang peternakan di zaman tersebut dikelompokkan ke dalam 10 jenis kegiatan, yaitu peningkatan mutu ternak, pengadaan peraturan, pameran ternak, pembangunan taman-taman ternak, pembentukan koperasi peternakan, sensus ternak, pengamanan ternak, pengadaan sarana distribusi dan pemotongan, produksi serum dan vaksin, danpendidikan dan penelitian (Yudi, 2010).
Secara umum dapat dijelaskan bahwa ciri-ciri peternakan sapi potong di Indonesia sebagai berikut :
Jenis Usaha Peternakan
Usaha peternakan di Indonesia terdiri dari dua macam usaha peternakan yaitu peternakan industri/perusahaan dan peternakan rakyat (PP 16/1977). Perbandingan antara usaha peternakan perusahaan dan peternakan rakyat sebagai berikut (Tabel 1) :
Tabel 1. Perbedaan antara perusahaan peternakan dan peternakan rakyat
No
Aspek
Perusahaan Peternakan
Peternakan Rakyat
1
Sifat
Pokok
Sambilan
2
Tujuan
Menghasilkan pendapatan pokok dengan memaksimalkan keuntungan (komersial)
Menambah pendapatan rumah tangga
3
Skala
Besar
Kecil
4
Kedudukan
Badan hukum
Individual/Kelompok kecil
5
Pengelolaan
Intensif
Tradisional
6
Jumlah sapi
Lebih dari 100 ekor campuran
Kurang/sama dgn 100 ekor campuran
Sumber : Soekardono, 2009, Kepmentan No. 404/2002
Menurut catatan Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2013, jumlah peternak rakyat yang memiliki populasi sapi siap potong hanya 1-2 ekor cukup besar, jumlahnya mencapai 3,81 juta orang. Sementara itu peternak skala besar yang mempunyai populasi sapi siap potong lebih dari 500 ekor tercatat hanya 38 peternak (detikfinance, 2015). Dengan jumlah pemilikan yangsangat terbatas tersebut dapat dibayangkan bahwa penerapan teknologi akan sulit diadopsioleh para peternak (Talib, 2008).
Tehnik Budidaya dan Sosial Budaya Peternak
Saat ini, peternakan sapi nasional masih didominasi oleh peternakan sapi rakyat. Eni et al. (2006) menjelaskan bahwa peternakan sapi potong diIndonesia lebih dari 90% berupa peternakan rakyat yang memiliki ciri sebagai berikut:
Skala usaha relatif kecil, berkisar antara 1-5 ekor, merupakan usaha rumah tangga dengan pemeliharaan yang bersifat tradisional dan ternak sering digunakan sebagai sumber tenaga kerja.
Ternak sebagai penghasil pupuk kandang dan tabungan yang memberikan rasa aman pada musim paceklik. Hutabarat et al., (2009) menyebutnya sebagai usaha sampingan (backyard farming). Budaya ini berpengaruh terhadap penghitungan berapa jumlah sapi potong yang siap dipotong. Kesulitan penghitungan inilah yang juga berkontribusi besar terhadap keruwetan data sebagai dasar apakah populasi yang ada cukup untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional atau tidak.
Menurut Abdullah (2015), model pemeliharaan peternakan rakyat di Indonesia ada dua macam yaitu yaitu dengan cara ekstensif yaitu dengan digembalakan di padang penggembalaan (NTT, NTB dan Sulawesi) dan model pemeliharaan intensif atau sering disebut sistem kereman/dikandangkan (Jawa dan Sumatera). Sistem produksi yang paling efisien dan kompetitif untuk meningkatkan populasi sapi adalah dengan sistem produksi dengan pemeliharaan di padang penggembalaan, dimana sapi bakalan dari sistem ini dikembangkan secara intensif. Biaya pemeliharaan di padang penggembalaan sapi di Australia per minggu per ekor membutuhkan biaya 2,8 Dolar Australia atau sekitar Rp 4.000-4.500 per hari per ekor, sedangkan pemeliharaan di padang penggembalaan di Dompu (NTB), Timor Tengah Selatan (NTT), Bombana (Sulawesi Tenggara) dan Sidrap (Sulawesi Selatan) hanya memerlukan biaya antara Rp 1.500-4.000 per hari per ekor (perlu dikaji lebih lanjut secara lebih detail).
Tingkat pendidikan peternak rakyat didominasi oleh petani kecil dengan tingkat pendidikan yang rendah, sebanyak 1.597.005 orang adalah lulusan SD (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Data ini terkorelasi dengan mengapa peternak kecil umumnya membudidayakan sapi lokal dengan jumlah kepemilikan kecil dan jauh dari upaya optimal serta pola pengelolaannya masih dengan pola tradisional (Ilham et al., 2009).
Rendahnya produktifitas sapi lokal. Matondang et al, (2013) menjelaskan bahwa pada peternakan sapi potong rakyat masih banyak terjadi kawin berulang (S/C>2) dan rendahnya angka kebuntingan (<60%). Hal tersebut menyebabkan jarak beranak (calving interval) menjadi panjang (>18 bulan).
Produktivitas sapi lokal yang rendah juga disebabkan oleh manajemen pemeliharaan yang belum efisien dan tingkat kematian ternak yang tinggi, terutama kematian pedet yang mencapai 20-40% dan induk berkisar antara 10-20%, terutama akibat kekurangan pakan dan air pada musim kemarau (Matondang, 2013).
Rendahnya perkembangan populasi sapi per tahun dan menurunnya pendapatan petani dari usaha ternak (Matondang, 2013).
Rendahnya perkembangan populasi sapi potong juga berkaitan dengan manajemen perkawinan yang tidak tepat, seperti 1) pola perkawinan kurang benar, 2) pengamatan birahi dan waktu kawin tidak tepat, 3) rendahnya kualitas atau kurang tepatnya pemanfaatan pejantan dalam kawin alam, 4) kurang terampilnya petugas inseminasi buatan (IB), dan 5) rendahnya pengetahuan peternak tentang IB. Pada perkawinan alami, peternak sulit memperoleh pejantan, apalagi yang berkualitas, sehingga pedet yang dihasilkan bermutu rendah, bahkan terindikasi terjadi kawin keluarga (inbreeding) terutama di wilayah padang penggembalaan.
Ketersediaan Pakan
Pakan adalah komponen utama pada sektor hulu yang harus diperhatikan ketersediaannya oleh peternak. Pakan berpengaruh sebesar 70% pada penggemukan sapi potong. Meskipun potensi genetik ternak tinggi tapi apabila kekurangan pakan maka tidak akan didapatkan hasil optimal (Siregar, 1994).
Abdullah (2015) menjelaskan bahwa pada pemeliharaan sapi maka pakan hijauan menjadi komponen yang harus tersedia secara terus menerus. Namun demikian untuk dapat memenuhi prosentase kecukupan protein kasar untuk sapi, perlu ditambahkan pakan konsentrat. Biaya untuk penyediaan pakan konsentrat pada usaha ternak sapi mengambil porsi sebesar kurang lebih 68-72% dari total biaya produksi. Untuk menghasilkan daging yang berkualitas, usaha peternakan sapi potong di Indonesia umumnya dihadapkan pada ketersediaan pakan hijauan maupun konsentrat.
Di Indonesia pola pemeliharaan sapi potong dikategorikan menjadi dua macam pola yaitu pola ekstensif dengan pola penggembalaan di padang rumput dan pola intensif dengan sistem kereman. Pola ekstensif banyak dilakukan di kawasan Indonesia timur. Namun saat ini, persaingan penggunaan lahan menjadi permasalahan pada pola ekstensif ini. Pertambahan jumlah penduduk yang mengharuskan adanya perluasan lahan pertanian, pemukiman dan pembangunan subsektor lainnya menjadikan padang penggembalaan menjadi menyempit dan akhirnya menyebabkan daya tampungnya menjadi tidak seimbang dengan kebutuhan per satuan ternak. Luas padang penggembalaan di Indonesia antara 2,3-3,8 juta Ha namun terjadi pengurangan sekitar 2,3% setiap 5 tahun sejak 2003 (Abdullah, 2015). Kekurangan pakan hijauan akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan ternak sehingga produktifitasnya menjadi turun juga.
Sementara itu untuk pola pemeliharaan secara intensif dengan sistem kereman biasanya menggunakan pakan hijauan dan konsentrat. Pakan hijauan biasanya berasal dari rumput raja dan sisa-sisa tanaman seperti jerami padi, jerami jagung atau jerami kacang-kacangan. Namun karena tenaga kerja peternak dalam satu rumah tangga peternak sangat terbatas, antara 1-2 orang saja. Hal tersebut akan berpengaruh pada pola manajemen pemeliharaan juga berpengaruh pada terbatasnya jumlah ternak sapi yang dipelihara karena keterbatasan pekerja dalam mencarikan pakan untuk sapinya tersebut (Hadi dan Ilham, 2000).
Sedangkan pakan konsentrat biasanya dipakai untuk pemeliharaan penggemukan terbuat dari bahan padat energi seperti bekatul, jagung dan ampas tahu. Namun demikian, hambatan penggunaan sisa-sisa tumbuhan seperti jerami adalah pada rendahnya kandungan nutrisinya. Karena itu jerami tersebut perlu diolah dulu agar nutrisinya meningkat.
Ketersediaan Bibit
Komponen utama lainnya adalah tersedianya bibit/anakan/pedet sapi potong secara teratur. Pedet merupakan sumber utama sapi bakalan untuk usaha penggemukan sapi potong.
Belum tersedianya pusat perbibitan nasional. Kondisi ini dapat mengancam keberlangsungan populasi sapi dan menguras populasi sapi potong yang ada. Sementara itu, kebutuhan daging yang terus meningkat mendorong terjadinya pengurasan dan pemotongan sapi betina produktif yang diperkirakan mencapai 200 ribu ekor per tahun. Hal ini menyebabkan stok bibit nasional semakin berkurang yang pada gilirannya akan menghambat pertambahan populasi sapi lokal (Matondang, 2013).
Sumber pedet berasal dari peternakan rakyat dan sapi impor dari Australia tapi jumlahnya relatif kecil. Hal ini berarti bahwa sumber utama produksi daging nasional masih bergantung pada pembibitan peternakan rakyat dalam negeri.
Kendala-kendala dalam sistem pembibitan nasional yaitu : 1) semakin berkurangnya jumlah tenaga kerja ternak karena beralih pada tenaga kerja pertanian khususnya di daerah penghasil tanaman pangan; 2) upaya IB masih kekurangan tenaga inseminator, fasilitas IB dan semen sapi bangsa unggul. Tahun 2010, BIB Singosari dan Lembang masing-masing memproduksi 1,5 juta dosis dan 2,5 juta dosis, sementara permintaannya mencapai 5 juta dosis. Di BIB Lembang permintaan semen beku tahun 2009 mencapai 2 juta dosis, namun kemampuan produksinya baru 1,5 jutadosis. BIB Singosari memproduksi semen beku 3 juta straw setiap tahun, namun masih belum memenuhi permintaan pemerintah daerah (Sanuri, 2010); 3) skala usaha kecil karena mayoritas peternakan rakyat kekurangan tenaga kerja. 4) untuk pemeliharaan pola ekstensif, semakin menyempitnya padang penggembalaan karena terjadi konversi ke penggunaan yang lain. 5) adanya penyakit reproduksi pada sistim pembibitan ekstensif. 6) UPT terkait belum mampu memproduksi dan mendistribusikan ternak dalam jumlah yang memadai khususnya terhadap permintaan semen sapi bangsa unggul, dan 7) tidak adanya keterlibatan pihak swasta di bidang pembibitan (Hadi dan Ilham, 2000). Junaidi (2013) juga menyatakan bahwa kekurangan tenaga penyuluh pertanian, tenaga medis dan paramedik veteriner untuk menangani gangguan reproduksi dan kesehatan hewan serta belum optimalnya peran Balai Pembibitan Ternak Unggul menjadi kendala dalam usaha pengembangan pembibitan nasional.
Pola pembibitan yang kurang intensif dan pengetahuan peternak yang masih rendah tentang tehnologi pembibitan juga merupakan kendala yang nyata di lapangan (Arif et al., 2011)
Pemotongan Sapi Betina Produktif.
Struktur populasi sapi potong yang ada di masyarakat berdasarkan analisis dari Talib (2007), sapi potong di Indonesia didominasi oleh betina dewasa sebesar 44,3 % (Tabel 2). Analisis tersebut didasarkan pada asumsi bahwa tingkat pemotongan di tahun 2008 yang sudah melebihi 2 juta ekor maka tentunya hampir semua sapi jantan dewasa dan muda yang baik dipotong untuk konsumsi termasuk pemotongan sapi betina sudah pasti dilaksanakan (Talib, 2008).
Tabel 2. Struktur Populasi Sapi Potong PadaPeternakan Rakyat
Struktur Populasi Sapi Potong
Populasi (%)
Betina dewasa
44,30
Jantan dewasa
10,01
Betina muda
14,86
Jantan muda
11,61
Betina sapihan
9,87
Jantan sapihan
9,35
Total
100
Total populasi 10.726.347 ekor
Sumber:Talib (2007) (dianalisis kembaliberdasarkan data Ditjennak, 2007).
Analisis Talib (2007) diatas terbukti pada tahun 2013 dimana populasi sapi potong diIndonesia yang pada tahun 2011 tercatat 14,8 juta ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013), pada tahun 2013 menurut sensus Badan Pusat Statistik (BPS) turun menjadi 12,32 juta ekor (Khairul, 2015). Penurunan jumlah populasi ini disebabkan oleh terus naiknya pemotongan sapi betina produktif (umur 1-5 tahun). Pada umur ini sapi betina sedang berada pada puncak produksinya (peak product). Pemotongan sapi betina produktif ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu bertambahnya penduduk dibarengi dengan meningkatnya konsumsi daging sapiper kapita, kurangnya pasokan sapi lokal yang tidak bisa memenuhi kebutuhan, dan pemangkasan kuota impor sapi dan daging.
Undang-undang No 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mencantumkan larangan memotong sapi betina produktif bahkan dengan tegas memberikan sanksi atas berbagai upaya untuk memotong sapi betina produktif. Bahkan demi melindungi sapi betina produktif, pemerintah rela memberi insentif kepada para peternak sebesar Rp.500.000 untuk sapi betina yang sedang hamil. Namun demikian jumlah pemotongan sapi betina produktif dan sapi betina bunting masih marak terjadi. Data kajian Soejosopoetro (2011) menunjukkan bahwa sebanyak 15% sapi yang dipotong di RPH Singosari, Malang adalah sapi betina produktif, sementara di RPH Gadang, Malang sebanyak 26%. Dari penelitian yang dilakukan Suardana, et al., (2013) tercatat dari 246 ekor sapi yang dipotong di RPH Pesanggaran, terlihat sebanyak 201 ekor (81,71%) berjenis kelamin betina danhanya 45 ekor (18,29%) berjenis kelamin jantan. Hasil yang sama juga ditemukan pada RPH Mambal, yaitu dari 232 ekor sapi yang dipotong di RPH tersebut, sebanyak 203 ekor (87,5%) berjenis kelamin betina sedang sisanya 29 ekor (12,5%) berjenis kelamin jantan. Sedangkan prosentase sapi Bali betina yang dipotong di RPH Pesanggaran 99% masih produktif (umur 0-5 tahun) sedangkan di RPH Mambal sebesar 67,49%. Hafid dan Syam (2000) mencatat bahwa di RPH Kendari secara spesifik teramati tingginya intensitas pemotongan sapi betina sampai sebesar 95,1%, sebagian betina muda dan diantaranya ada yang dalam kondisi bunting. Hal tersebut terlihat dari indikator ditemukannya embrio/janin pada uterus sapi yang dipotong. Di Jawa Tengah, Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Jawa Tengah, pada tahun 2015, mencatat, bahwa rata-rata pemotongan sapi betina produktif di Jawa Tengah, mencapai 46.000 ekor per tahun. Dengan kata lain, ada sekitar 3.800 ekor sapi betina produktif yang menjadi sapi pedaging per bulan (Khairul, 2015). Apabila dikonversikan secara nasional maka diperkirakan sebanyak 150-200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya (Diwyanto, 2011).
Pada tahun 2010 pemerintah telah menyediakan dana untuk talangan sebesar Rp. 60 milyar untuk penyelamatan sumber bibit dan sapi betina produktif namun program ini belum dapat dilakukan secara maksimal. Penyebab utamanya antara lain karena lembaga yang ada, dalam hal ini dinas, khawatir dalam penggunaan anggaran. Penyebab lainnya adalah waktu turunnya anggaran yang tidak tepat, sehingga pemotongan tetap tidak terhindarkan (Sunari et al, 2010)
Sebaran Populasi dan Ketimpangan Distribusi Pasokan
Di Indonesia penyebaran populasi sapi potong sebagian besar terdapat di Jawa,yakni 7,5 juta ekor atau 50,74% dari total populasi sapi potong di Indonesia, disusul Sumatera 2,7 juta ekor (18,40%), Bali dan Nusa Tenggara 2,1 juta ekor (14,19%), Sulawesi 1,8 juta ekor (11,97%), serta Kalimantan, Maluku dan Papua dengan populasi masing-masing kurang dari 0,5 juta ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Data tersebut memperlihatkan bahwa penyebaran ternak sapi di Indonesia belum merata (Matondang, 2013). Sementara itu mengacu pada data Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk di Jawa dan Sumatera sebanyak 186,7 juta jiwa atau 78,8% dari total seluruh penduduk Indonesia. Dengan asumsi konsumsi daging sapi sebesar 2,2 kg per kapita per tahun (Kemendag, 2010) maka kebutuhan daging di Jawa dan Sumatera diperkirakan sebanyak 410 juta kg per tahun atau setara dengan 2,98 juta ekor sapi potong lokal (asumsi rata-rata berat sapi potong lokal 350 kg dengan berat karkas sebesar 54%) (Harianto, 2013).
Namun demikian penyebaran populasi sapi potong yang mayoritas ada di Jawa dan Sumatera ini ternyata tidak serta merta bisa menutupi kebutuhan daging di Jawa (khususnya Jabodetabek) dan Sumatera, hal ini terkait dengan motif kepemilikan dan pemeliharaan peternak rakyat di Jawa yang sebagian besar menjadikan sapinya sebagai tabungan. Karena itu ketersediaan sapi potong siap dipotong sulit dipastikan. Karenanya perlu didatangkan sapi potong dari daerah produksi lainnya seperti Bali dan Nusa Tenggara yang faktanya dihuni oleh sekitar 5,5 juta penduduk tapi memiliki populasi sapi potong sebesar 14,18% dari total populasi nasional (Harianto, 2013). Masalahnya adalah, untuk mendatangkan sapi antar pulau ini masih terkendala kondisi geografis. Biaya transportasi mahal dan tidak mudah dilakukan dan beban biayanya akan dibebankan pada harga jual sapi di daerah konsumen (Ariningsih, 2014).
Tataniaga Sapi Potong
Tataniaga daging sapi lokal masih mengandalkan pada pengiriman sapi hidup dan hambatannya cukup banyak sehingga tidak efisien. Penyebabnya adalah karena jumlah dan kapasitas alat transportasi serta rendahnya kualitas alat transportasi baik truk maupun kapal laut. Bahkan menurut Abdullah (2015), jauhnya jarak yang harus ditempuh ditambah dengan buruknya kualitas alat transportasi yang digunakan untuk pengiriman sapi dapat menyebabkan sapi menjadi stres dan menyebabkan sapi tersebut tidak mau makan yang akhirnya dapat menurunkan berat hidup sapi tersebut. Penurunan berat hidup tersebut bisa mencapai 15% dari berat hidup pada saat awal pengiriman. Harianto (2013) juga menyatakan bahwa proses bongkar muat sapi di pelabuhan yang tidak memperhatikan kenyamanan sapi juga dapat menjadi faktor timbulnya stres pada sapi. Disisi lain kebanyakan pelabuhan belum memiliki holding ground untuk tempat pengumpulan sementara sapi dan tempat pemeriksaan karantina sebelum naik atau setelah turun dari atas kapal. Belum lagi adanya retribusi selama proses distribusi mulai dari desa, kecamatan, kabupaten, provinsi sampai ke tempat tujuan menjadikan biaya pengiriman menjadi semakin mahal. Dan sekali lagi total biaya pengiriman tersebut akan dikompensasikan ke dalam harga jual daging kepada konsumen.
Harianto (2013) menjelaskan bahwa seharusnya pasokan daging untuk wilayah Jabodetabek tidak menjadi masalah apabila distribusi sapi dari daerah produsen (Bali dan Nusa Tenggara) dapat dilakukan dengan mudah dan biaya yang murah.Namun pada kenyataannya selain karena banyak faktor yang sudah dijelaskan diatas, penyebab lainnya adalah tidak adanya jaminan muatan balik dari wilayah timur bagi angkutan kargo, sehingga biaya bahan bakar perjalanan bolak balik (PP) dari wilayah timur ke barat dan sebaliknya dikompensasikan kepada biaya satu arah.
Disisi lain, Ariningsih (2014) yang mengutip Muqoddas (2013) menyatakan bahwa permainan mafia perdagangan sapi juga ikut bermain pada perdagangan sapi nasional. Modusnya adalah dengan memborong sapi siap kirim ke Jakarta sebagai tengkulak dan menjual sendiri ke Jakarta dengan harga dua kali lipatnya. Bahkan apabila sapi ini sudah sampai Jakarta tanpa melalui perantaranya maka mafia ini akan meminta RPH ke pihak RPH untuk tidak menerima sapi-sapi tersebut atau minimal memotong dengan jumlah yang diatur oleh para mafia tersebut. Mereka bahkan berani memberikan fee yang lebih besar kepada RPH yang hanya mau menerima sapi impor untuk dipotong. Berdasarkan temuan KPK terdapat beberapa RPH yang dibiarkan tidak beroperasi karena tidak menerima sapi lokal. Bahkan berdasarkan temuannya, KPK (2013) menyatakan bahwa : 1) kebijakan tata niaga tidak mencerminkan keberpihakan pada 6,2 juta peternak rakyat, peternak skala kecil dan menengah; 2) kebijakan tata niaga tidak mengarah pada pengembangan industri daging sapi di sentra produksi; dan 3) adanya kelemahan dalam kebijakan dan tata laksana impor akibat dominannya praktik-praktik rent-seeking dan kartel. Lemahnya tataniaga ini menurut Sunari et al. (2010) juga disebabkan karena lemahnya koordinasi kelembagaan (antar kementerian dan antara pemerintah pusat dan daerah).
Impor Sapi Potong dan Daging Sapi
Inseminasi Buatan (IB) yang dikembangkan sejak awal 1950, berhasil mendongkrak perkembangbiakan sapi dalam negeri sejak dekade 1960. Menurut catatan Badan Pusat Statistik, ekspor sapi potong pada tahun 1968 sebanyak 34.541 ekor. Jumlah ini naik menjadi 72.490 ekor pada tahun 1970. Tahun 1978 adalah tahun terakhir Indonesia mampu mengekspor sapi potong. Jumlahnya hanya 400 ekor saja (Riadi, 2010). Sejak saat itu peternakan rakyat lebih banyak memasok kebutuhan daging dalam negeri saja. Bahkan keran impor daging dari Australia mulai dibuka kembali. Tapos tampaknya menginspirasi pengusaha ternak untuk melakukan impor bibit.
Tercatat mulai tahun 1990, Indonesia mulai melakukan impor sapi bakalan sebesar 8.061 ekor. Dua belas tahun kemudian angka ini melonjak drastis hingga 429.615 ekor. Krisis ekonomi 1998, menyebabkan pemerintah mengurangi impor sapi bakalan dari tahun 1997 hingga tahun 2001 sehingga sapi-sapi lokal terkuras oleh permintaan. Dan jangka waktu yang pendek, populasi sapi menurun drastis. Seperti tak punya pilihan lain, sejak tahun 2002 Indonesia kembali meningkatkan impor sapi bakalan guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi. Dan jumlah impor sapi bakalan serta daging dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Undang-undang Nomer 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa impor pangan pokok hanya dapat dilakukan bila produksi pangan dalam negeri dan cadangan pangan nasional tidak mencukupi, tidak dapat diproduksi di dalam negeri, dan untuk mengatasi masalah darurat pangan (Rusastra, 2013).
Menurut Husodo (2013), proporsi pemenuhan kebutuhan daging sapi domestik bersumber dari produksi daging lokal (70,0 persen) dan sisanya (30,0 persen) dari impor sapi bakalan dan impor daging sapi. Disebutkan juga bahwa struktur konsumsi daging sapi nasional tahun 2013 dengan total konsumsi 550 ribu ton didominasi oleh konsumsi masyarakat langsung dengan proporsi 76,8 persen, kebutuhan industri 14,7 persen, dan konsumen lembaga seperti hotel, restoran, dan katering mencapai 8,5 persen.
Pertumbuhan jumlah penduduk dan peningkatan konsumsi per kapita juga merupakan alasan dilakukannya impor sapi dan daging sapi secara terus menerus hingga saat ini. Pada Focus Group Discussion (FGD)Road Map Pengembangan Industri Sapi Potong di Indonesia antara Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada dan Asosiasi Pengusaha Feedlot Indonesia (APFINDO) tahun 2013 disampaikan bahwa semakin meningkatnya jumlah penduduk dan konsumsi daging per kapita maka akan semakin meningkatkan kuota impor sapi dan daging sapi. Mengacu pada hasil survey BPS tahun 2014 dengan asumsi laju pertumbuhan 1,43% per tahun maka jumlah penduduk Indonesia diperkirakan akan meningkat dari tahun 2014 sebanyak 251.490.091 orang, menjadi 273.791.049 orang pada tahun 2020. Sementara itu, konsumsi daging per kapita per tahun diperkirakan akan meningkat dari 2,36 kg/kapita/tahun pada tahun 2014 menjadi 3,36 kg/kapita/tahun pada tahun 2020. Dengan demikian maka total kebutuhan daging secara nasional yang pada tahun 2014 diperkirakan sebesar 593.516,62 ton/tahun akan meningkat menjadi 864.991,05 ton/tahun pada tahun 2020 (Tabel 3).
Tabel 3. Tren Proyeksi Pertumbuhan Penduduk dan Konsumsi Daging Nasional 2014-2020.
Tahun
Jumlah Penduduk (Orang)
Konsumsi Daging Sapi (kg/kapita/tahun)
Konsumsi Daging Sapi Nasional (ton)
2014
251.490.091
2,36
593.516,62
2015
255.076.592
2,56
639.857,57
2016
258.714.240
2,72
684.884,27
2017
262.403.765
2,88
729.910,96
2018
266.145.906
3,04
774.937,66
2019
269.941.414
3,20
819.964,36
2020
273.791.049
3,36
864.991,05
Sumber : Road Map Pengembangan Industri Sapi Potong di Indonesia,Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada,2013
Sebagai catatan, data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013 menunjukkan bahwa terjadi penurunan populasi sapi dan kerbau dari 16,73 juta ekor pada tahun 2011 menjadi hanya 14,17 juta ekor pada tahun 2012 (Khairul, 2015).
Peran Mafia Impor Sapi
Sebagaimana dipaparkan oleh KPK (2013) bahwa terdapat kelemahan dalam kebijakan dan tata laksana impor akibat dominannya praktik-praktik rent-seeking dan kartel. Dalam paparannya tersebut KPK menjelaskan bahwa lemahnya kebijakan impor sapi dan daging sapi tersebut dapat dilihat dari : 1) penetapan dan pembagian kuota impor yang rawan kolusi antara pengusaha, politisi dan birokrasi; 2) peruntukan impor tidak jelas; 3) persyaratan importir sapi hidup dan daging tidak ketat (membuka peluang percaloan); dan 4) kebijakan impor sapi bakalan rawan penyalahgunaan. KPK juga menjelaskan bahwa tata laksana importasi sapi dan daging sapi rawan fraud. Hal tersebut disebabkan karena instalasi karantina hewan/produk hewan sementara sulit dikontrol, dokumen-dokumen impor rawan penyalahgunaan dan tidak terintegrasinya badan-badan otoritas di pelabuhan khususnya yang terkait dengan penanganan impor sapi dan daging sapi.
Wibowo (2013) yang dikutip Ariningsih (2014), mensinyalir adanya kelompok mafia yang bermain untuk mengatur ketersediaan daging. Modus kelompok ini antara lain, pertama, mengatur agar estimasi kebutuhan sapi siap potong dan dagingsapi dilebih-lebihkan agar terlihat perbedaan yang besar antara suplai dan kebutuhan sehingga pemerintah perlu melakukan impor. Kedua, mengkondisikan agar terjadi lonjakan harga komoditas daging pada bulan-bulan tertentu sehingga membenarkan bahwa impor daging memang perlu dilakukan. Langkah tersebut dilakukan dengan cara menahan stok sapi bekerja sama dengan RPH agar sapi tidak segera dipotong sehingga terjadi kelangkaan daging sapi di pasaran dan harga daging menjadi naik. Ketiga, mendorong kemudahan perpajakan yaitu pembebasan bea masuk, pembebasan PPN dan PPH sehingga mereka mendapatkan keuntungan lebih besar. Dan keempat adalah memainkan mekanisme pengaturan kuota impor dan pembagian kuota impor.
Khudori (2015) juga menyatakan bahwa model perizinan impor sapi bakalan dan daging sapi tertutup. Kuota impor ditetapkan oleh tiga kementerian yaitu pertanian, perdagangan dan perindustrian namun pembagian kuota impor per perusahaan tidak jelas siapa yang menentukan.
Agribinis di Indonesia
Karena Indonesia adalah negara agraris maka pembangunan ekonomi nasional identik dengan pembangunan sektor pertanian dan berbasis sistem agribisnis (Pasaribu, 2012). Pembangunan berbasis sistem agribisnis seharusnya ditempatkan sebagai pendekatan baru pembangunan sekaligus sebagai penggerak utama (grand strategy) pembangunan Indonesia (agribusiness led development). Hal tersebut didasarkan pada amanah Pasal 33 UUD 1945 yang sesungguhnya menegaskan bahwa sistem perekonomian yang dikembangkan di Indonesia adalah demokrasi ekonomi yang berarti bahwa pembangunan nasional harus berbasis pada ekonomi kerakyatan. Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa sumber daya manusia yang besar dan sumber daya alam yang berlimpah. Dengan pembangunan berbasis ekonomi kerakyatan maka jumlah penduduk, keanekaragaman sosial budaya masyarakat dan sumber daya alam akan menjadi subyek dan modal pembangunan ekonomi. Namun demikian pembangunan ekonomi berbasis kerakyatan tidak mengesampingkan pentingnya modal dan tehnologi dalam aplikasinya.
Terdapat 5 (lima) pertimbangan strategis mengapa pembangunan sektor pertanian harus berbasis sistem agribisnis, pertama, bahwa Indonesia adalah negara agraris dan maritim. Oleh karena itu pembangunan perekonomian harus berbasis pada peningkatan daya saing berdasar pada keuntungan komparatif sebagai negara agraris dan maritime tersebut. Sektor pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar penduduk Indonesia sekaligus mampu menyediakan keragaman menu pangan dan juga mendukung sektor industri baik industri hulu maupun hilir (Firdaus, 2010). Kedua, bahwa agribisnis menjadi penyumbang terbesar dalam PDB, kesempatan kerja dan berusaha serta meningkatkan devisa ekspor. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2010, sistem agribisnis mampu meberikan kontribusi dalam PDB sebesar 609,6 trilyun rupiah atau sebesar 26,3% dari total PDB nasional atau sebesar 28% dari PDB nasional non migas. Sedangkan pada tahun 2012, sistem agribisnis mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 41.205.030 orang tenaga kerja atau sebesar 35,1% dari total tenaga kerja nasional (Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2013). Ketiga, sistem agribisnis nerupakan penunjang utama dalam perekonomian daerah dan paling siap dilaksanakan dewasa ini. Keempat, membangun sistem agribisnis sama dengan membangun ketahanan pangan nasional yang berbasis pada keanekaragaman pangan yang senantiasa memperhatikan kearifan lokal. Dan kelima, pembangunan agribisnis juga berimplikasi pada terjaganya lingkungan hidup. Menstimulasi pemerataan penduduk, transmigrasi dari Jawa keluar Jawa dan juga dari perkotaan ke pedesaan.
Agribisnis memiliki pengertian yang beragam. Firdaus (2010), menjelaskan bahwa agribisnis adalah sebuah sistem yang terdiri atas lima subsistem yaitu subsistem pembuatan, pengadaan dan penyaluran berbagai sarana produksi pertanian (farm supplaier), subsistem kegiatan produksi, subsistem pengumpulan, pengolahan dan penyimpanan hasil produksi, subsistem penyaluran atau pemasaran berbagai produk pertanian dan subsistem penunjang.
Sementara itu Pasaribu (2012) menyatakan bahwa kegiatan usaha agribisnis dimulai dari subsistem input (hulu), kemudian subsistem output (produksi), subsistem pro industri/agro industri, subsistem pemasaran dan subsistem penunjang. Subsistem input meliputi pengadaan peralatan pertanian (alsintan), benih, bibit, pupuk, pakan ternak (hijauan atau buatan), obat-obatan dan sarana penunjang yang lainnya. Subsistem output (produksi) adalah subsistem yang berbasis pada usaha budidaya semua komoditas agribisnis seperti ternak, tanaman pangan/holtikultura, tanaman perkebunan, tanaman hutan dan perikanan. Kemudian subsistem agro industri atau pengolahan adalah subsistem yang bergerak pada pengolahan pasca produksi semua jenis komoditas baik yang langsung maupun tidak langsung yang menghasilkan produk olahan baru. Seluruh hasil olahan baru tersebut dapat langsung dipasarkan dalam bentuk segar atau dalam bentuk kemasan sehingga diperlukan kegiatan penyimpanan untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan produk. Sementara subsistem pemasaran meliputi kegiatan pengumpulan hasil produksi dan pemasarannya baik kepada konsumen langsung atau melalui agen dan distributor. Sedangkan subsistem penunjang merupakan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan keseluruhan sistem tetapi belum tentu dilakukan oleh pelaku agribisnis seperti ketersedian modal oleh lembaga keuangan, kebijakan oleh pemerintah, kelompok usaha sebagai wadah organisasi dan pasar sebagai tujuan pemasaran hasil agribisnis.
Gambar 1. Sistem agribisnis secara umum
SUBSISTEM JASA & PENUNJANGPenelitian&pengembanganPerkreditan&asuransiPendidikan&penyuluhanTransporatsi&pergudanganKebijakan
SUBSISTEM JASA & PENUNJANG
Penelitian&pengembangan
Perkreditan&asuransi
Pendidikan&penyuluhan
Transporatsi&pergudangan
Kebijakan
Sumber : Pasaribu, 2012
Di Indonesia, kegiatan agribisnis sudah mulai dilaksanakan sejak sebelum pembangunan jangka panjang dengan model usaha tani. Pada abad 21 agribisnis semakin dikembangkan secara luas dengan melibatkan berbagai kementerian yaitu pertanian, perindustrian dan perdagangan. Perluasan agribisnis tersebut dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk yang semakin cepat sehingga terjadi juga peningkatan kebutuhan lapangan kerja. Untuk itulah salah satu upaya untuk penyediaan lapangan kerja maka sistem agribisnis dikembangkan secara modern dimana dalam sistem ini industri atau swasta sudah dilibatkan sehingga peluang lapangan kerja juga meningkat (Firdaus, 2010).
Namun demikian, hambatan pengembangan sistem agribisnis di Indonesia terletak pada beberapa persoalan yang sampai saat ini belum mampu diselesaikan. Persoalan tersebut sebagaimana dijelaskan oleh Firdaus (2010) antara lain adalah :
Pola produksi beberapa komoditi pertanian masih terpencar-pencar sehingga menyulitkan pembinaan dan sulitnya tercapai efisiensi pada skala usaha tertentu.
Sarana dan prasarana pertanian secara umum belum memadai sehingga sulit untuk mencapai efisiensi usaha.
Pemusatan agroindustri malah ada di kota-kota besar.
Biaya transportasi dari daerah produksi ke daerah konsumen mahal.
Sistem kelembagaan di pedesaan yang masih lemah sehingga menyebabkan tingginya fluktuasi produksi dan harga komoditi mentah.
Saragih (2000) menambahkan bahwa koordinasi antar kelembagaan kementrian (pertanian, perkebunan, perikanan, perkebunan dan kehutanan) sringkali tidak berjalan sehingga berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing kementrian menjadi tumpang tindih dan pada akhirnya tidak berjalan di lapangan.
Berbagai persoalan diatas pada dasarnya bermuara pada satu kata kunci yaitu efisiensi baik efisiensi produksi, efisiensi pengolahan hasil produksi, efisiensi distribusi hasil produksi dan olahan hasil produksi. Dengan demikian berbagai upaya harus diupayakan agar sistem agribisnis yang dikembangkan di Indonesia mencapai titik efisiensi yang optimum sehingga bisa menekan harga produk maupun hasil olahan di tingkat konsumen menjadi lebih murah.
BAB IV
PEMBAHASAN
Kelebihan dan Kekurangan Impor Sapi dan Daging Sapi
Secara kualitas daging impor dan daging sapi lokal memiliki kesamaan dan perbedaan sebagaimana terlihat pada tabel 4 (Gunawan, 2012).
Tabel 4. Perbandingan Daging Impor dan Daging Lokal
PERBANDINGAN
DAGING IMPOR
DAGING LOKAL
Warna
merah cerah dari darah segar
merah cerah dari darah segar
Aroma
aroma segar, tidak anyir serta tidak mengeluarkan bau busuk
aroma segar, tidak anyir serta tidak mengeluarkan bau busuk
Tekstur
empuk, serat dagingnya sedikit serta halus terlihat untuk seratnya
Keras, mempunyai banyak serat daging dan jelas terlihat seratnya
Lemak
lebih banyak dan berwarna putih
sedikit dan berwarna kekuningan
Rasa
dagingnya tasty, juiciness, gurih, dan melted di mulut
hambar, tidak ada juicy daging, dan tidak tasty
Sumber : Gunawan, 2012
Dari sisi kepentingan bisnis murni jika dikomparasikan margin keuntungan yang diperoleh dari pemasaran sapi lokal dan sapi impor, maka keuntungan yang diperoleh lebih banyak pada pemasaran sapi impor. Hal ini dinilai menjadi salah satu motif terus dilakukannya impor sapi. Analisis margin keuntungan pemasaran sapi lokal dan sapi impor tahun 2013 menurut Husodo (2013) adalah sebagai berikut harga hidup sapi lokal di Jawa adalah Rp. 38.000/kg (setara dengan Rp. 76.000/kg daging). Berdasarkan pertimbangan biaya potong dan transportasi sampai di Jakarta Rp. 14.000/ kg dan harga daging sapi eceran Rp. 100.000/ kg, maka margin keuntungan pemasaran kurang lebih sebesar Rp. 10.000/kg. Sementara itu, harga daging impor sampai di Jakarta adalah Rp.45.000/kg; dan harga sapi bakalan sampai di Jakarta mencapai Rp. 28.000/kg berat hidup. Mengacu pada harga daging sapi eceran Rp. 100.000/kg, maka importir daging sapi dan sapi bakalan memperoleh keuntungan yang jauh lebih besar.
Menurut Khudori (2015), harga daging sapi (Australia dan Brasil) di pasar dunia pada tahun 2014 adalah sebesar 4,5-5 US dolar/kg. Harga tersebut naik pada Juli 2015 menjadi sebesar 3,4-4,8 US dolar/kg. Dengan ditambah biaya transport, asuransi dan bongkar muat, maka harga daging sapi tersebut di pelabuhan Indonesia menjadi 5,7 US dolar/kg atau seharga Rp. 79.515,- (kurs dolar 13.950). Harga sapi bakalan dari Australia pada tahun 2014 sebesar Rp. 20.000,-per kilogram berat hidup, kemudian naik sekitar 1-2 US dolar/kg hidup pada Juli 2015. Kenaikan disebabkan karenaBrasil dan Amerika Serikat menahan stok sapinya. Kenaikan harga sapi bakalan tersebut juga disebabkan naiknya harga pakan terutama dedak gandum, dedak padi, jagung dan ampas singkong sejak 2015. Di Indonesia karena tidak ada breeding farm skala besar maka harga berat hidup sapi potong lokaldi tingkat peternak sebesar Rp. 38.000,-per kilogram. Setelah lebaran Idul Fitri atau menjelang lebaran Idul Adha harga sapi lokal akan naik menjadi Rp. 45.000,- per kilogram berat hidup.
Dinilai dari dua faktor diatas yaitu pada kualitas daging dan margin keuntungan pemasarannya maka jelas daging impor memiliki keuntungan yang lebih dari pada pemasaran daging lokal. Dengan kualitas daging yang lebih unggul maka pemasarannya akan lebih mudah dan harganya bisa dipastikan akan lebih mahal dari daging sapi lokal. Karena itulah jika dilihat dari sisi business oriented semata maka impor sapi dan daging sapi dinilai lebih menguntungkan. Pertanyaannya kemudian adalah, siapa yang paling diuntungkan?
Namun demikian apabila sudut pandangnya dialihkan pada kepentingan pengembangan peternakan nasional berbasis sistem agribisnis sekaligus meningkatkan kesejahteraan peternak rakyat maka impor sapi dan daging sapi ini justru tidak menguntungkan. Hal tersebut disebabkan pada beberapa alasan, pertama, impor sapi hanya menguntungkan sebagian kecil pelaku usaha di bidang peternakan. Hanya sebagian kecil dari peternak rakyat yang bisa dilibatkan pada proses tersebut. Kedua, dari sisi pengembangan agribisnis maka impor sapi hanya menyentuh pada subsistem hilir (pemotongan dan pengolahan pasca potong) dan subsistem pemasarannya saja, sementara pada subsistem hulu (breeding/pembibitan) dansubsistem budidaya tidak tergarap. Apabila sapi yang di impor adalah sapi bakalan maka sapi-sapi tersebut tidak boleh langsung dipotong tetapi harus melalui proses penggemukan minimal empat bulan. Namun demikian tetap saja bahwa peternak rakyat tidak dapat menikmati keuntungan dari proses penggemukan tersebut karena sebagian besar perusahaan peternakan tersebut melakukan penggemukan sendiri. Dalam proses ini serapan tenaga kerjanya relatif kecil. Ketiga, dengan tidak tergarapnya subsistem input (pembibitan) maka Indonesia akan terus menerus mengalami masalah kelangkaan bibit sapi potong. Kekurangan bibit sudah pasti akan berpengaruh pada populasi sapi potong nasional dan ujung-ujungnya Indonesia akan melakukan impor sapi bakalan dan daging lagi. Dan yang keempat, menarik apa yang disampaikan dalam penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2013), dimana dalam kesimpulannya disampaikan bahwa praktik mafia impor pangan terjadi dari hulu sampai ke hilir. Di hulu, kecuranganimpor terjadi pada ranah regulasi, sedangkan di hilir kecurangan impor yangdilakukan antara lain pemalsuan data kebutuhan pangan, pemalsuan dokumen,penghindaran pajak dan bea masuk, pelanggaran kuota.
Intergrated-Sustainable System Peternakan Sapi Potong di Indonesia
Pertimbangan-pertimbangan tentang model atau konsep pembangunan peternakan sapi potong di Indonesia telah banyak disampaikan. Rouf et al., (2014) menyatakan bahwa pada umumnya usaha sapi potong di berbagai daerah Indonesia memiliki daya saing yang masih lemah. Oleh karena itu, upaya peningkatan daya saing usaha sapi potong dapat diwujudkan dengan mengembangkan usaha sapi potong secara holistik dari subsistem hulu sampai hilir, sehingga diharapkan koordinasi dan sinergi kebijakan antara pemangku kepentingan dan pelaku ekonomi akan lebih baik.
Destina (2013), dalam laporan kunjungannya ke peternakan sapi di Australia juga menyatakan saran bahwa Indonesia mempunyai lahan yang sangat luas, terutama di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Di lahan sawah, baik sawah irigasi maupun tadah hujan sebenarnya peternakan sapi bisa diintegrasikan dengan padi. Demikian pula dilahan perkebunan, peternakan sapi dapat diintegrasikan dengan tanaman perkebunan seperti sawit, karet, dan lain-lain. Pola ini yang dikenal sebagai Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak (SITT) sebenarnya sudah mulai berkembang di beberapa tempat di Jawa Tengah dan Sumatera Selatan. Sistem ini termasuk sistem pertanian yang ramah lingkungan karena setiap limbah dari satu produksi dapat dijadikan input untuk produksi berikutnya atau dikenal sebagai zero waste.
Ginting (2013) menyatakan bahwa kegiatan ekonomi berbasis sapi potong tidak terlepas dari paradigma lama dimana pembangunan peternakan masih sebatas usaha peternakan (on farm). Cara ini sudah tidak sesuai dengan perkembangan dunia peternakan hari ini, dimana sarana produksi berasal dari luar usaha peternakan dan produksinya sudah berorientasi pasar. Oleh karena itu pembangunan peternakan sapi potong di Indonesia harus dientuk sebagai suatu bangunan sistem agribisnis.
Berdasar pada beberapa pertimbangan tersebut ditambah dengan gambaran tentang profil peternakan sapi potong di Indonesia saat ini dengan segala permasalahan yang melingkupinya serta seluruh keunggulan komparatif yang dimiliki oleh Indonesia sebagai negara agraris maka pilihan sistem agribisnis yang paling tepat dikembangkan dalam rangka pembangunan peternakan sapi potong di Indonesia adalah sistem agribisnis yang terintegrasi dan berkelanjutan (integrated-sustainable agribusiness). Hal ini senada dengan tujuan program percepatan swasembada daging sapi nasional adalah agar Indonesia mampu mencapai kemandirian dalam penyediaan daging sapi melalui pengembangan agribisnis yang secara simultan dapat beriringandengan terjadinya peningkatan kesejahteraan para peternak kecil yang mendominasi penyediaan daging nasional dari sapi lokal. Oleh karena itu pembangunan peternakan sapi potong harus didasarkan pada asas kelestarian, kemandirian,dan kesinambungan (Talib, 2008).
Terintegrasi (integrated) berarti pengembangan peternakan sapi potong harus terintegrasi dengan sub sektor lainnya seperti pertanian, perkebunan, perindustrian, rumah tangga dan kehutanan. Hal ini sebagai jawaban atas :
Persoalan ketersediaan pakan untuk sapi potong. Pakan hijauan adalah makanan utama sapi. Namun demikian apabila terjadi kelangkaan pakan hijauan, maka limbah pertanian atau perkebunan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Misal, jerami, dedak padi, dedak jagung, pohon jagung, daun kelapa sawit, bungkil kelapa sawit, bungkil ketela pohon, bungkil kedelai, tetes tebu dan lain sebagainya.
Persoalan limbah ternak berupa kotoran ternak dapat segera terserap untuk sektor integrasinya. Misal,limbah kotoran padat dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organic yang dapat diaplikasikan pada lahan pertanian dan perkebunan atau dimanfaatkan untuk campuran pakan ikan yang dapat diaplikasikan pada usaha pemeliharaan ikan. Limbah kotoran cair dapat diolah menjadi biogas dan dapat digunakan untuk kebutuhan rumah tangga peternak sehingga bisa mengurangi pengeluaran untuk membeli gas.
Produk sampingan dari pemotongan sapi adalah kulit, tulang dan darah. Kulit dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri penyamakan kulit dan industri rumah tangga seperti home industri pembuatan tas, sepatu, jaket dan lain sebagainya. Tulang sapi dibutuhkan oleh industri pembuatan pakan ternak untuk dijadikan tepung tulang yang digunakan sebagai campuran pada pakan ternak semisal pakan unggas dan ikan. Sementara darah sapi dapat dimanfaatkan sebagai makanan olahan atau dapat dijual kepada industri pakan unggas dan ikan. Tumbuh dan berkembangannya industri pengolahan produk sampingan ini akan menumbuhkan peluang pekerjaan.
Sistem ini menjamin bahwa semua produk dari peternakan sapi potong baik berupa produk utama (daging), produk sampingan (kulit, tulang, darah) dan produk limbah (kotoran padat dan cair) dapat dimanfaatkan (zero waste). Dengan termanfaatkannya seluruh produknya termasuk kotorannya maka keuntungan lain yang diperoleh adalah terjaganya lingkungan.
Sedangkan berkelanjutan (sustainable) berarti bahwa pengembangan peternakan sapi potong ini harus bisa berjalan secara terus menerus mengingat bahwa di masa yang akan datang seiring dengan terus naiknya pertumbuhan penduduk maka kebutuhan konsumsi daging sapi akan terus meningkat pula. Untuk bisa menciptakan sistem peternakan yang berkelanjutan ini maka harus disiapkan sistem pembibitan sapi potong yang mapan baik yang berasal dari peternakan rakyat maupun yang berasal dari industri breeding farm. Disisi lain, untuk menjamin keberlangsungan peternakan ini maka harus disiapkan langkah-langkah yang sistimatis dan terukur untuk menjamin ketersediaan pakan termasuk ketersediaan pakan konsentrat untuk sapi potong.
Dari sudut pandang aplikasinya sistem integrated-sustainable agribusiness ini dapat diterapkan pada peternakan rakyat baik yang bersifat individu/rumah tangga atau berkelompok. Perlu diingat bahwa mayoritas peternak sapi rakyat adalah petani. Sistem ini juga bisa diterapkan dengan baik pada pola pemeliharaan sistim kereman (dikandangkan) maupun pola penggembalaan.
Namun demikian, pengembangan suatu jenis usaha dipengaruhi oleh berbagaifaktor, salah satunya adalah dukungan aturan dan kebijakan (rules and policies) pemerintah. Dalam hal ini, kemauan pemerintah (govermental will) dan legislatif berperan penting, selain lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Amar, 2008). Walaupun secara teknis berbagai upaya telah dilakukan, termasuk penerapan sistim agribisnis yang tepat untuk mengembangkan usaha peternakan sapi potong, tanpa dukungan politis maupun sosial budaya (kultural), hasilnya kurang optimal. Oleh karena itu, kebijakan pengembangan sapi potong perlu disosialisasikan sehingga mampu mendukung upaya pemenuhan kecukupan daging.
Sistem agribisnis mensyaratkan keberadaan subsistem penunjang, subsistem hulu, subsistem budidaya, subsistem hilir, subsistem pemasaran produk peternakan dan hasil olahan produknya. Gambaran langkah-langkah subsistem dan strategi yang perlu diambil dalam rangka pembangunan peternakan sapi potong nasional dengan sistem integrated-sustainable agribusiness adalah sebagai berikut (tabel 5 dan 6) :
Tabel 5. Strategi Pembangunan Peternakan Sapi Nasional Berbasis Sistem Integrated-Sustainable Agribusiness
Subsistem Penunjang
Subsistem Hulu/Agroinput
Subsistem Budidaya/Usaha Tani (On Farm)
Perlunya kebijakan tehnis dan strategis
Penelitian ttg genetik improvement bibit sapi lokal & pemurnian genetik sapi lokal.
Penelitian peningkatan kualitas pakan hijauan dan pakan olahan limbah pertanian, perkebunan & kehutanan
Penelitian ttg obat tradisional & vaksin lokal
Pengembangan pusat pemeliharaan baru khususnya di daerah produksi pangan (pertanian), perkebunan & kehutanan
Pengembangan bibit pejantan sapi lokal (PO, Bali dll)
Perbaikan tehnologi produksi & reproduksi melalui IB & kawin alam
Pengembangan pusat pembibitan murah, efisien &terintegrasi dgn pertanian, perkebunan, kehutanan khususnya daerah produsen sapi
Pemantapan kelembagaan sistem pembibitan nasional
Pemanfaatan biomas limbah pertanian, perkebunan , kehutanan
Membangun pabrik pakan konsentrat kecil & menengah
Mengembangkan industri obat tradisional & vaksin lokal
Membangun sarana & prasarana lab keswan & sumber air
Memberdayakan peternakan rakyat dgn sistem kelompok besar & pemberian kredit lunak
Peternakan yg efisien, terintegrasi dgn pertanian, perkebunan dlm skala besar dan mendorong investasi swasta dengan pola ini-plasma dgn peternak rakyat
Mengembangkan feedlotter yg terintegrasi dgn pertanian, perkebunan, kehutanan & ketersediaan pakan lokal sehingga biaya pakan murah & sumber bakalan terjamin.
Peningkatan produktifitas ternak melalui percepatan umur beranak, memperpendek jarak beranak, menekan angka kematian ternak.
Peningkatan pertambahan bobot badan sapi dgn ketersediaan pakan berkualitas hasil olahan limbah peetanian, perkebunan & kehutanan
Mendorong swasta untuk membangun pembibitan skala besar
Penyediaan pejantan lokal unggul utk perkawinan alam/IB
Sumber : diolah dari berbagai sumber
Tabel 6. Strategi Pembangunan Peternakan Sapi Nasional Berbasis Sistem Integrated-Sustainable Agribusiness
Subsistem Hilir/Pengolahan Produk
Subsistem Perdagangan & Pemasaran
Re-vitalisasi & re-organisasi RPH nasional sekaligus memfasilitasi seluruh RPH yang ada dgn Cold Storage yg memadai utk penyimpanan daging segar/beku, sehingga kualitas daging tetap terjaga.
Meningkatkan efisiensi, kesehatan (higienis) & daya saing dalam pengolahan produk yg memenuhi standar SNI & disesuaikan dgn permintaan konsumen.
Pengembangan divesifikasi produk olahan dgn cara mendorong industri produk olahan swasta.
Pengembangan industri pengolahan produk sampingan, kompos & peningkatan mutu pengolahan limbah & kotoran ternak sehingga memiliki nilai tambah bagi peternak.
Pengembangan pembuatan biogas sebagai sumber energi lokal terbarukan utk kebutuhan rumah tangga.
Memperpendek rantai pemasaran dan peningkatan efisiensi pemasaran daging , produk olahannya dan hasil ikutan lainnya.
Memperkuat & mengembangkan kelembagaan kelompok tani-ternak & sistem pemeliharaan kelompok
Memperbaiki moda transportasi (dilengkapi juga dgn cold storage) antar daerah produsen & konsumen (antar pulau & antar propinsi/laut & darat) yang murah, nyaman, sehingga harga sapi/daging menjadi lebih murah.
Memperbaiki fasilitas di pelabuhan seperti holding ground & penurunan retribusi masuk khusus untuk ternak sapi dalam negeri.
Mengembangkan pola peternakan dgn sistem inti plasma (petani-swasta) di daerah pertanian, perkebunan & kehutanan.
Promosi dan positioning produk hasil peternakan sebagai produk organik.
Sumber : diolah dari berbagai sumber
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Indonesia sebagai negara agraris memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage) berupa kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berlimpah. Dalam kepentingan untuk tecapainya ketahanan pangan nasional yang dalam perspektif peternakan sapi potong nasional adalah terpenuhinya kebutuhan konsumsi daging nasional dari produksi sapi potong dalam negeri.
Saat ini di Indonesia laju pertumbuhan jumlah penduduk tidak seimbang dengan laju pertambahan populasi sapi potong nasional. Hal ini disebabkan oleh kinerja peternakan sapi potong nasional masih rendah. Rendahnya kinerja peternakan sapi potong nasional tersebut disebabkan oleh berbagai masalah antara lain : 1) proporsi peternakan sapi potong nasional didominasi oleh peternakan sapi potong rakyat; 2) tidak adanya pusat pembibitan nasional yang mampu menyediakan bibit sapi potong yang digunakan sebagai sumber bibit sapi bakalan; 3) kekurangan suplai pakan hijauan dan pakan konsentrat sebagai sumber energi utama produktifitas dan reproduksi sapi; 4) maraknya pemotongan sapi betina produktif dan sapi betina bunting akibat kurangnya pasokan sapi nasional dan kultur sosial masyarakat peternak; 5) lemahnya kelembagaan peternakan sapi potong nasional di tingkat peternak dan peemrintah sehingga menyebabkan in-efisiensi pemeliharaan; dan 6) sistem dan moda transportasi ternak antar pulau (laut) dan antar propinsi (darat) belum memadai sehingga menyebabkan mahalnya biaya transport ditambah kurang memadainya fasilitas penunjang di pelabuhan (holding ground) serta banyaknya retribusi pada jalur distribusi dari lokasi produsen sampai ke daerah konsumen.
Dengan profil peternakan sapi potong seperti itu maka pemerintah masih harus mengimpor sapi bakalan dan daging sapi dari luar negeri. Impor sapi bakalan dan daging sapi harus dijadikan sebagai solusi jangka pendek karena tidak menguntungkan bagi pengembangan sistem agribisnis peternakan sapi potong nasional. Impor sapi bakalan dan daging sapi hanya akan menguntungkan sekelompok pengusaha penggemukan (feedlotter) dan para kroni mafianya saja.
Pengembangan peternakan sapi potong nasional tetap harus menjadi prioritas pemerintah apalagi dengan latar belakang amanah Pasal 33 UUD 1945, UU No 18/2012, UU No 18/2009 dan posisi Indonesia sebagai negara agraris. Pengembangan peternakan sapi potong nasional akan tepat dengan pendekatan pembangunan peternakan sapi nasional berbasis sistem integrated sustainable agribusiness. Penerapan sistem ini menjadi kebijakan dalam rangka membangun peternakan sapi potong nasional akan menggerakkan seluruh instrumen kelembagaan, masyarakat dan swasta ikut serta dalam pelaksanaannya. Penerapan kebijakan ini harus dibarengi dengan berbagai strategi dan kebijakan penunjangnya.
Saran Kebijakan
Menetapkan sistem integrated sustainable agribusiness sebagai pola baku peternakan nasional baik pada skala kecil (rumah tangga), kelompok besar atau pada skala industri untuk tujuan pembibitan maupun peningkatan produksi daging nasional yang terintegrasi dengan pertanian, perkebunan dan kehutanan nasional. Sistem Integrasi Sapi Kelapa Sawit (SISKA) perlu terus dikembangkan sehingga bisa diterapkan di seluruh kawasan perkebunan kelapa sawit. Demikian pula Crop Livestock Sistem (CLS) untuk padi, Livestock Sugarcane Integration Sistem (LISIS) untuk usaha tebu/gula, dan Sustainable Livestock Techno Park (SLTP) untuk kawasan pertanian lahan kering.
Memberikan kewajiban kepada pengusaha feedlotter untuk juga membuka industri pembibitan sapi potong lokal atau industri pakan olahan dan konsentrat dengan memanfaatkan potensi biomas dari limbah pertanian, perkebunan dan kehutanan sebagai kompensasi atas insentif impor sapi bakalan dan daging dari luar negeri.
Melakukan revitalisasi dan reorganisasi RPH-RPH dengan melakukan penguatan kelembagaan dan melengkapi setiap RPH dengan fasilitas cold storage skala kecil untuk penyimpanan daging segar/beku.
Melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap pemotongan sapi betina produktif dan betina bunting sekaligus melaksanakan tindakan tegas sesuai dengan UU bagi pelakunya. Kebijakan ini juga diikuti dengan pendekatan social budaya kepada peternak agar memahami pentingnya untuk tidak memotong atau menjual sapi betina produktif atau sapi betina bunting kepada penjagal.
Mendorong kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan peraturan daerah tentang perlindungan ternak, khususnya terkait dengan pemotongan sapi betina produktif, sapi betina bunting dan sapi jantan dibawah umur.
Membangun moda transportasi ternak sapi antar pulau dan antar propinsi yang efisien, murah dan memadai sekaligus dilengkapi dengan cold storage (mini) khusus untuk moda transportasi daging.
Melakukan evaluasi terhadap program penerapan persilangan, tehnologi IB, pengembangan BIB di daerah, tehnologi embrio transfer dengan tujuan naiknya produksi bibit sapi potong lokal (dalam bentuk straw) yang berkualitas.
Mengembangkan produk kompos dan biogas secara masal sekaligus menetapkan SNI nya agar memberikan tambahan pendapatan harian untuk peternak
Mempertegas larangan impor untuk sapi potong siap potong dan daging sapi dari negara yang belum bebas penyakit (misal PMK, BSE dan lainnya).
Melarang ekspor sapi betina produktif lokal yang sudah terbukti keunggulannya seperti sapi Bali (bobot karkas tinggi, 54%).
Meneruskan dan mematangkan pemberian insentif kepada peternak pemilik sapi betina bunting dan jika diperlukan melakukan pembelian sapi betina produktif dari peternak yang untuk selanjutnya dikonsolidir dalam jumlah tertentu dan dijadikan sapi indukan untuk menghasilkan bibit sapi lokal unggul.
Jika diperlukan, membuat langkah jangka pendek dengan melakukan impor betina produktif dari negara-negara yang bebas penyakit zoonosis (PMK, BSE dan lainnya) sebagai solusi jangka pendek untuk pengadaan sapi induk.
Revitalisasi dan pengembangan peternakan sapi potong dengan pola penggembalaan dengan pemberian insentif bagi swasta yang berinvestasi dalam peternakan sapi nasional.
SUBSISTEM INPUT
Benih, bibit
Pupuk, obat-obatan
Sarana dan prasaran
SUBSISTEM PRODUKSI/BUDIDAYA
Pemeliharaan/budidaya
Pemanenan
Pemeliharaan kesehatan
SUBSISTEM PASCA PANEN/ PENGOLA-HAN
Pengolahan hasil produksi
Pengolahan limbah
SUBSISTEM PEMASA-RAN
Distribusi
Promosi
Informasi dan intelejen pasar
Sumber pasar (ekspor/impor)