LAPORAN PENDAHULUAN POST OP LAMINEKTOMI SPONDILITIS TB
KELOMPOK IV:
Oleh:
Indra Wahyudi
(PO.62.20.1.15.125)
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIV KEPERAWATAN REGULER II 2017
A. Konsep Dasar 1.
Pengertian
Laminektomi adalah suatu tindakan pembedahan atau pengeluaran dan atau pemotongan lamina tulang belakang dan biasanya dilakukan untuk memperbaiki luka pada spinal.
Laminektomi adalah pengangkatan sebagian dari diskus lamina.
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan
peradangan
granulomatosa
yang
bersifat
kronik
destruktif
oleh
Mycobacterium tuberculosa. Spondilitis tuberculosa adalah infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di sebabkan oleh kuman spesifik yaitu mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebraT8 – vertebraT8 – L3. L3. Percivall Pott (1973) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit p enyakit ini disebut juga sebagai pen yakit Pott (Rasjad, 2007).
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil. Bakteri yang paling sering
menjadi
penyebabnya
adalah
Mycobacterium
tuberculosis.
Spondilitis
tuberkulosa merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di tempat lain di tubuh, 9095% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa typic (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5-10% oleh Mycobacterium tuberculosa atypic. Lokalisasi spondilitis tuberkulosa terutama pada daerah vertebra torakal bawah dan lumbal atas, sehingga diduga adanya infeksi sekunder dari suatu tuberkulosis traktus urinarius, yang penyebarannya melalui pleksus Batson pada vena paravertebralis (Rasjad, 2007).
3. Tanda dan Gejala
Secara klinik gejala tuberkulosis tulang belakang hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu: (Mansjoer, 2000).
a. Terdapat gejala klasik tuberkulosis berupa penurunan berat badan, keringat malam, demam subfebris, kakeksia. Gejala ini sering tidak menonjol. b. Nyeri vertebra/lokal pada lokasi infeksi sering dijumpai dan menghilang bila istirahat. c. Gejala dan tanda kompresi radiks atau medula spinalis terjadi pada 20% kasus (akibat abses dingin). d. Onset penyakit dapat gradual atau mendadak (akibat kolaps vertebra dan kifosis). e. Pada awalnya terjadi nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut, kemudian diikuti paraparesis yang lambat laun semakin memberat, spastisitas, klonus, hiperrefleksia dan refleks Babinsky bilateral. Dapat ditemukan deformitas dan nyeri ketok tulang vertebra. f.
Penekanan mulai dari bagian anterior sehingga gejala klinis yang muncul terutama gangguan motorik.
g. Gangguan menelan dan pernapasan akibat adanya abses retrofaring.
4. Patofisiologi Patogenesis penyakit ini sangat tergantung dari kemampuan bakteri menahan cernaan enzim lisosomal dan kemampuan host untuk memobilisasi imunitas seluler. Jika bakteri tidak dapat diinaktivasi, maka bakteri akan bermultiplikasi dalam sel dan membunuh sel itu. Komponen lipid, protein serta polisakarida sel basil tuberkulosa bersifat immunogenik, sehingga akan merangsang pembentukan granuloma dan mengaktivasi makrofag. Beberapa antigen yang dihasilkannya dapat juga bersifat immunosupresif (Mansjoer, 2000). Infeksi mycobacterium tuuberculosis pada tulang selalu merupakan infeksi sekunder. Berkembnagnya kuman dalam tubuh tergantung pada keganasan kuman dan ketahanan tubuh klien. Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberculosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi
kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea. Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu : a. Penekanan oleh abses dingin b. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis c. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya d. Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.
5. Pathway
6. Klasifikasi Spondilitis tuberkulosa merupakan suatu tuberkulosis tulang yang sifatnya sekunder dari TBC tempat lain di dalamtubuh. Penyebarannya secara hematogen, diduga terjadinya penyakit ini sering karena penyebaran hematogen dariinfeksi traktus urinarius melalui pleksus Batson. Infeksi TBC vertebra ditandai dengan proses destruksi tulang progresif tetapi lambat di bagian depan (an terior vertebral body). Penyebaran dari jaringan yang mengalami perkejuanakan menghalangi proses pembentukan tulang tulan g sehingga berbentuk tuberculos tube rculos squestra. Sedang jaringan j aringan granulasi TBCakan penetrasi ke korteks dan terbentuk abses paravertebral yang dapat menjalar ke atas atau bawah lewatligamentum longitudinal anterior dan posterior. Sedangkan diskus intervertebralis karena avaskular lebih resisten tetapiakan mengalami dehidrasi dan penyempitan karena dirusak oleh jaringan granulasi TBC. Kerusakan progresif bagiananterior vertebra akan menimbulkan kifosis. Perjalanan penyakit spondilitis tuberkulosa terdiri dari lima lima stadium yaitu: a. Stadium implantasi Setelah bakteri berada dalam tulang, apabila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasimembentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus danpada anak-anak pada daerah sentral vertebra. b. Stadium destruksi awalSelanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra dan penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsungselama 3-6 minggu. c. Stadium destruksi lanjutPada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yangberbentuk cold abses, yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuksekuestrum dan kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di depan (wedginganterior) akibat kerusakan korpus vertebra sehingga menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus. d. Stadium gangguan neurologisGangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi tetapi ditentukan oleh tekanan abses kekanalis spinalis. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudahterjadi di daerah ini. Apabila terjadi gangguan neurologis, perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia yaitu: 1) Derajat I Kelemahan pada anggota gerak bawah setelah beraktivitas atau berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadigangguan saraf sensoris. 2) Derajat II Kelemahan pada anggota gerak bawah tetapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya. 3) Derajat III Kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak atau aktivitas penderita disertai denganhipoestesia atau anestesia. 4) Derajat IV gangguan saraf sensoris dan motoris disertai dengan gangguan defekasi dan miksi.TBC paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya.Pada penyakit yang
masih aktif, paraplegia terjadi karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral ataukerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang tidakaktif atau sembuh terjadi karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau pembentukan jaringan fibrosisyang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. TBC paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadidestruksi tulang disertai dengan angulasi dan gangguan vaskuler vertebra. e. Stadium deformitas residua, Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen karenakerusakan vertebra yang massif di depan. 7. Pemeriksaan Penunjang Adapun pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada penyakit spondilitis tuberkulosa antara lain: (Rasjad, 2007) a. Pemeriksaan laboratorium 1) Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis 2) Uji Mantoux : positif tb 3) Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan Mycobacterium 4) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional 5) Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel b. Pemeriksaan radiologis 1) Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru 2) Foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan diskus intervertebralis yang berada diantara korpus tersebut dan mungkin dapat ditemukan adanya massa abses paravertebral 3) Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehin gga timbul kifosis 4) Pemeriksaan mielografi dilakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang. 5) Pemeriksaan CT scan 6) Pemeriksaan MRI
8. Penatalaksanaan Pada prinsipnya pengobatan spondilitis tuberkulosis harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pengobatan terdiri atas: (Rasjad, 2007)
a. Terapi konservatif, berupa: 1) Tirah baring (bed rest) 2) Memperbaiki keadaan umum klien 3) Pemasangan brace pada klien, baik yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi 4) Pemberian obat anti tuberkulosa. Obat-obatan yang diberikan terdiri atas: a) Isonikotinik hidrasit (INH) dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per h ari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg berat badan. b) Asam para amino salisilat. Dosis oral 8-12 mg/kg berat badan c) Etambutol. Dosis per oral 15-25 mg/kg berat bada n per hari d) Rifampisin. Dosis oral 10 mg/kg berat badan diberikan pada anak-anak. Pada orang dewasa 300-400 mg per hari. e) Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi. b. Terapi operatif Indikasi operasi yaitu: 1) Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik. 2) Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft. 3) Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis. Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi klien tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN Proses keperawatan adalah suatu sistem dalam merencanakan pelayanan asuhan keperawatan dan juga sebagai alat dalam melaksanakan praktek keperawatan. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan. Pengkajian di lakukan dengan cermat untuk mengenal masalah klien, agar dapat memeri arah kepada tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat tergantung pada kecermatan dan ketelitian dalam tahap pengkajian. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan yaitu : pengumpulan data, pengelompokan pengelompok an data, perumusan diagnosa keperawatan. a. Pengumpulan data. Secara tehnis pengumpulan data di lakukan melalui anamnesa baik pada klien, keluarga maupun orang terdekat dengan klien. Pemeriksaan fisik di lakukan dengan cara , inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. 1) Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, status perkawinan, agama, suku bangsa, pendidikan, alamat, tanggal/jam MRS dan diagnosa medis. 2) Riwayat penyakit sekarang. Keluhan utama pada klien Spodilitis tuberkulosa terdapat nyeri pada punggung bagian bawah, sehingga mendorong klien berobat kerumah sakit. Pada awal dapat dijumpai nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut. Nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Selain adanya keluhan utama tersebut klien bisa mengeluh, nafsu makan menurun, badan terasa lemah, sumersumer (Jawa) , keringat dingin dan penurunan berat badan. 3) Riwayat penyakit dahulu Tentang terjadinya penyakit Spondilitis tuberkulosa biasany pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberkulosis paru. 4) Riwayat kesehatan keluarga Pada klien dengan penyakit Spondilitis tuberkulosa salah satu penyebab timbulnya adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit tuberkulosis atau pada lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit menular tersebut. 5) Riwayat psikososial Klien akan merasa cemas terhadap penyakit yang di derita, sehingga kan kelihatan sedih, dengan kurangnya pengetahuan tentang penyakit, pengobatan dan perawatan terhadapnya maka penderita akan merasa takut dan bertambah cemas sehingga emosinya akan tidak stabil dan mempengaruhi sosialisai penderita.
6) Pola - pola fungsi kesehatan a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Adanya tindakan medis serta perawatan di rumah sakit akan mempengaruhi persepsi klien tentang kebiasaan merawat diri , yang dikarenakan tidak semua klien mengerti benar perjalanan penyakitnya.Sehingga menimbulkan salah persepsi dalam pemeliharaan kesehatan. Dan juga kemungkinan terdapatnya riwayat tentang keadaan perumahan, gizi dan tingkat ekonomi klien yang mempengaruhi keadaan kesehatan klien. b) Pola nutrisi dan metabolisme. Akibat dari proses penyakitnya klien merasakan tubuhnya menjadi lemah dan amnesia. Sedangkan kebutuhan metabolisme tubuh semakin meningkat, sehingga klien akan mengalami gangguan pada status nutrisinya. c) Pola eliminasi Klien akan mengalami perubahan dalam cara eliminasi yang semula bisa ke kamar mandi, karena lemah dan nyeri pada punggung serta dengan adanya penata laksanaan perawatan imobilisasi, sehingga kalau mau BAB dan BAK harus ditempat tidur dengan suatu alat. Dengan adanya perubahan tersebut klien tidak terbiasa sehingga akan mengganggu proses aliminasi. d) Pola aktivitas Sehubungan dengan adanya kelemahan fisik dan nyeri pada punggung serta penatalaksanaan perawatan imobilisasi akan menyebabkan klien membatasi aktivitas fisik dan berkurangnya kemampuan dalam melaksanakan aktivitas fisik tersebut. e) Pola tidur dan istirahat Adanya nyeri pada punggung dan perubahan lingkungan atau dampak hospitalisasi akan menyebabkan masalah dalam pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat. f) Pola hubungan dan peran Sejak sakit dan masuk rumah sakit klien mengalami perubahan peran atau tidak mampu menjalani peran sebagai mana man a mestinya, baik itu peran dalam keluarga ataupun masyarakat. Hal tersebut berdampak terganggunya hubungan interpersonal. g) Pola persepsi dan konsep diri Klien dengan Spondilitis tuberkulosa seringkali merasa malu terhadap bentuk tubuhnya dan kadang - kadang mengisolasi diri.
h) Pola sensori dan kognitif Fungsi panca indera klien tidak mengalami gangguan terkecuali bila terjadi komplikasi paraplegi. i) Pola reproduksi seksual Kebutuhan seksual klien dalam hal melakukan hubungan badan akan terganggu untuk sementara waktu, karena di rumah sakit. Tetapi dalam hal curahan kasih sayang dan perhatian dari pasangan hidupnya melalui cara merawat sehari - hari tidak terganggu atau dapat dilaksanakan. j) Pola penaggulangan stress Dalam penanggulangan stres bagi klien yang belum mengerti penyakitnya , akan mengalami stres. Untuk mengatasi rasa cemas yang menimbulkan rasa stres, klien akan bertanya - tanya tentang penyakitnya untuk mengurangi stres. k) Pola tata nilai dan kepercayaan Pada klien yang dalam kehidupan sehari - hari selalu taat menjalankan ibadah, maka semasa dia sakit ia akan menjalankan ibadah pula sesuai dengan kemampuannya. kemampu annya. Dalam hal ini ibadah bagi mereka di jalankan pula sebagai penaggulangan stres dengan percaya pada tuhannya. 7) Pemeriksaan fisik a) Inspeksi, pada klien dengan Spondilitis tuberkulosa kelihatan lemah, pucat, dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis. b) Palpasi, sesuai dengan yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi. c) Perkusi, pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok. d) Auskultasi, pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak di temukan kelainan. 8) Hasil pemeriksaan medik dan laboratorium a) Radiologi
Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior. Terdapat penyempitan diskus.
Gambaran abses para vertebral ( fusi form ). b) Laboratorium
Laju endap darah meningkat. c) Tes tuberculin
Reaksi tuberkulin biasanya positif.
2. Diagnosa Keperawatan a. Gangguan rasa nyaman : nyeri bd luka post operasi b. Gangguan mobilitas fisik bd nyeri, kelemahan pada ekstremitas bawah c. Resiko tinggi penyebaran infeksi bd pembentukan abses tulang 3. Intervensi No 1
2
Diagnosa keperawatan Gangguan rasa nyaman : nyeri bd luka post operasi
Gangguan mobilitas fisik bd nyeri, kelemahan pada ekstremitas ekstremitas bawah
Tujuan
Intervensi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan …x24 jam klien mampu mengontrol nyeri dan menunjukkan tingakat nyeri
Kaji tingkat nyeri, frekuensi, durasi, dan karekteristik nyeri Berikan posisi yang nyaman Ajarkan klien teknik relaksasi napas dalam Monitor kenyamanan klien dan perubahan posisi
Setelah dilakukan tindakan keperawatan …x24 jam klien dapat melakukan mobilissi secara optimal
Kaji tingkat mobilitas klien Berikan alih baring sesuai kondisi klien
Bantu klien dalam memenuhi kebutuhan Bantu klien mengoptimalkan gerak sendi Jaga keamanan klien
3
Resiko tinggi penyebaran penyebaran infeksi bd pembentukan pembentukan abses tulang
Setelah dilakukan tindakan keperawayan …x24 jam …x24 jam resiko penyebaran infeksi berkurang, suhu suhu badan normal normal
Inspeksi kulit adanya iritasi/kontuinitas Kaji sisi kulit adanya peningkatan peningkatan nyeri, edema, bau Berikan perawatan luka Observasi luka Berikan obat antibiotik sesuai indikasi
Rasional Mengetahui karakteristik nyeri Posisi yg nyaman ↑ relaksasi otot Mengontrol dan mengurangi nyeri Mengetahui tingkat kenyamanan, mengurangi resiko dekubitus Mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas Menghindari posisi yang menyebabkan ketidaknyamanan dan spasme otot Kebutuhan klien dapat terpenuhi Memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan Memberikan rasa aman bagi klien Melihat tanda-tanda infeksi, kemerahan, bengkak Mengetahui penyebaran infeksi Menjaga luka tidak infeksi Tidak terjadi tanda-tanda infeksi Menghindari/mengurari penyebaran infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Arif, Mansjoer, dkk. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus. FKUI
Brunner & Suddarth. 2002. Buku 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah . Bedah . Jakarta : EGC
Price & Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit . Jakarta: EGC
Rasjad,
Chairudin.
2007. Pengantar
Ilmu
Bedah
Orthopedi. Orthopedi. Jakarta:
PT.
Watapone
Johnson & Mass. 2008. Nursing Outcomes Classifications. 2nd edition. New York: Mosby-Year Book inc
McCloskey & Bulechek. 2008. Nursing Interventions Classifications. 4th edition. New York: Mosby-Year Book inc
NANDA. 2009-2011. Nursing Diagnosis: Definitions and classification. Philadelphia, USA