LAPORAN PENDAHULUAN KLIEN DENGAN ENSEFALOPATI HEPATIK
Disusun Oleh: Prisca Triviana Yanuar 0910720069
JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013
1. Definisi
Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai pada pasien yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin, 2001). Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati. Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).
2. Etiologi
Bahan-bahan yang diserap ke dalam aliran darah dari usus, akan melewati hati, dimana racun-racunnya dibuang. Namun, pada ensefalopati hepatik, yang terjadi adalah:
a. Racun-racun ini tidak dibuang karena fungsi hati terganggu. b. Telah terbentuk hubungan antara system portal dan sirkulasi umum (sebagai akibat dari penyakit hati), sehingga racun tidak melewati hati.
c. Pembedahan by pass untuk memperbaiki hipertensi portal (shunt system portal ) juga akan menyebabkan beberapa racun tidak melewati hati.
Karena hal tersebut, akibatnya adalah sampainya racun di otak dan mempengaruhi fungsi otak. Bahan yang bersifat racun terhadap otak, secara pasti belum diketahui. Tetapi tingginya kadar hasil pemecahan protein dalam darah, misalnya ammonia dapat memegang peranan penting dalam mempengaruhi fungsi otak. Pada penderita penyakit hati menahun, ensefalopati biasanya dipicu oleh:
a. Infeksi akut. b. Pemakaian alkohol. c. Terlalu banyak makan protein, yang akan meningkatkan kadar hasil pemecahan protein dalam darah.
d. Perdarahan pada saluran pencernaan, misalnya pada varises esofageal, juga bisa menyebabkan bertumpuknya hasil pemecahan protein, yang secara langsung bisa mengenai otak.
e. Obat-obat tertentu, terutama obat tidur, obat pereda nyeri dan diuretic (azotemia, hipovolemia).
f. Obstipasi meningkatkan produksi, absorpsi ammonia dan toksin nitrogen lainnya.
3. Klasifikasi
Menurut cara terjadinya, yaitu:
a. Ensefalopati hepatik tipe akut Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, atau dapat pula pada sirosis hati.
b. Ensefalopati hepatic tipe kronik Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah ensefalopati hepatik yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsur-angsur makin berat. Menurut faktor etiologinya, yaitu:
a. Ensefalopati hepatic primer (endogen) Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati (nekrosis sel hati yang meluas). Pada hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriak-teriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal atau kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat.
b. Ensefalopati hepatic sekunder (eksogen) Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
1) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah a) Dehidrasi / hipovolemia b) Parasintesis abdomen c) Diuresis berlebihan 2) Pendarahan gastrointestinal 3) Operasi besar 4) Infeksi berat 5) Intake protein berlebihan 6) Konstipasi lama yang berlarut-larut 7) Obat – obat narkotik atau hipnotik 8) Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
9) Azotemia 4. Patofisiologi
Ensefalopati hepatik merupakan suatu bentuk intosikiasi otak yang disebabkan oleh isi usus yang tidak di metabolisme oleh hati. Keadaan ini dapat terjadi bila terdapat kerusakan sel hati akibat nekrosis, atau adanya pirau (patologis atau akibat pembedahan) yang memungkinkan adanya darah porta mencapai sirkulasi sistemik dalam jumlah besar tanpa melewati hati. Metabolit yang bertanggung jawab atas timbulnya ensefalopati hepatik tidak diketahui dengan pasti. Mekanisme dasar tampaknya adalah karena intosikasi otak oleh hasil pemecahan metabolisme protein oleh bakteri dalam usus. Hasil-hasil metabolisme ini dapat memintas hati karena adanya penyakit pada sel hati. Ensefalopati hepatik pada penyakit hati kronik biasanya dipercepat oleh keadaan seperti perdarahan saluran cerna, asupan protein berlebihan, pemberian diuretik, parasentesis, hipokalemia, infeksi akut, pembedahan, azotemia dan pemberian morfin, sedatif, atau obat-obatan yang mengandung ammonia. Ensefalopati hepatik tidak disebabkan oleh salah satu faktor tunggal, melainkan oleh beberapa faktor yang sekaligus berperan bersama. Sebagian besar menunjukkan bahwa terdapat hubungan sirkulasi porto sistemik yang langsung tanpa melalui hati, serta adanya kerusakan dan gangguan faal hati yang berat. Kedua keadaan ini menyebabkan bahanbahan toksik yang berasal dari usus tidak mengalami metabolisme di hati, dan selanjutnya tertimbun di otak ( blood brain barrier ), yang memudahkan masuknya bahan-bahan toksik tersebut ke dalam susunan saraf pusat. Secara garis besar ada dua teori yang mendasarinya yaitu Teori Amonia dan neurotransmitter palsu. Amonia merupakan zat yang sering di libatkan dalam patoganesis ensefalopati hepatic. Metabolit lain yang dapat berperan pada ensefalopati hepatic meliputi mercaptans, short chain fatty acid , neurotransmitter palsu. Kadar berlebihan dari gama amino butyric acid (GABA), yaitu suatu penghambat transmitter di sistem saraf pusat merupakan faktor penting terjadinya penurunan kesadaran yang terlihat pada ensefalopati hepatic. Kenaikan kadar GABA di sistem saraf pusat merupakan refleksi dari kegagalan hati untuk mengeluarkan GABA yang berasal dari usus. Beberapa bahan toksik yang diduga berperan pada ensefalopati heoatik, yaitu:
a. Ammonia Ammonia berasal dari penguraian nitrogen oleh bakteri dalam usus, di samping itu dihasilkan oleh ginjal, jaringan otot perifer, otak dan lambung. Secara teori ammonia
mengganggu faal otak karen dapat mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
b. Asam amino neurotoksik (triptofan, metionin, dan merkaptan) Triptopan dan metabolitnya serotonin bersifat toksis terhadap sistem saraf pusat (SSP). Metionin dalam usus mengalami metabolisme oleh bakteri menjadi merkaptan yang toksis terhadap SSP. Di samping itu merkaptan dan asam lemak bebas akan bekerja sinergistik mengganggu detoksifikasi ammonia di otak, dan bersama-sama ammonia menyebabkan timbulnya koma.
c. Gangguan keseimbangan asam amino Asam Amino Aromatik (AAA) meningkat pada ensefalopati hepatik karena kegagalan deaminasi di hati dan penurunan asam amino rantai cabang (AARC) akibat katabolisme protein di otot dan ginjal yang terjadi hiperinsulinemia pada penyakit hati kronik.
d. Asam lemak rantai pendek Pada ensefalopati hepatik terdapat kenaikan kadar asam lemak rantai pendek seperti asam butirat, valerat, oktanoat, dan kaproat, diduga sebagai salah satu toksin serebral penyebab ensefalopati hepatik.
e. Neurotramsmitter palsu Neurotrasmitter palsu yang telah diketahui adalah Gamma Aminobutyric Acid (GABA), oktapamin, histamin, feniletanolamin, dan serotonin. GABA bekerja secara sinergis dengan benzodiasepine membentuk suatu kompleks, menempati reseptor ionophore chloride di otak, yang disebut reseptor GABA/BZ. Pengikatan reseptor tersebut akan menimbulkan hiperpolarisasi sel otak, di samping itu juga menekan fungsi korteks dan subkorteks, rangkaian peristiwa tersebut menyebabkan kesadaran dan koordinasi motorik terganggu.
f. Glukagon Peningkatan AAA pada ensefalopati hepatik mempunyai hubungan erat dengan tingginya kadar glukagon. Peninggian glukagon turut berperan atas peningkatan beban nitrogen. Karena hormon ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis.
g. Perubahan sawar darah otak Pembuluh darah otak dalam keadaan normal tidak permeabel terhadap berbagai macam substansi. Terdapat hubungan kuat antara endotel kapiler otak, ini merupakan sawar yang mengatur pengeluaran bermacam-macam substansi dan menahan beberapa zat essensial seperti neurotrasmitter asli.
5. Manifestasi Klinis
Gejalanya merupakan akibat dari menurunnya fungsi otak,yang utama adalah gangguan kesadaran. Pada stadium awal, perubahan hampir tidak terlihat yaitu terjadi pada logis kepribadian dan tingkah laku, suasana hati penderita bisa berubah dan terjadi gangguan dalam menyatakan pendapatnya. Sejalan dengan perkembangan penyakit penderita menjadi mengantuk dan bingung, malas bergerak dan bercakap-cakap sering terjadi disorientasi. Pada akhirnya penderita akan kehilangan kesadarannya dan jatuh kedalam keadaan koma. Secara garis besar gejala klinis ensefalopati hepatik terbagi menjadi:
a. Ensefalopati hepatik sub klinis 1) Disebut juga “ latent hepatic encephalopathy ” 2) Dari penelitian disimpulkan bahwa 45%-85% penderita sirosis hati sudah mengidap ensefalopati hepatik sub klinis.
3) Belum di temukan atau terlihat gejala dan tanda penyakit. 4) Dapat di deteksi dengan test uji hubungan angka ( number connection test ). Number connection test (NCT) :
Uji psikomotorik untuk deteksi dini ensefalopati hepatik sub klinis.
Syarat pasien tidak buta huruf.
Sederhana, praktis,aman, murah.
Bermanfaat pula untuk monitoring dan evaluasi hasil terapi.
Pasien diminta menyambung angka secara urut no.1 -25 secepat mungkin.
Ada korelasi antara lamanya waktu yang di perlukan untuk menyelesaikan NCT ( uji hubung angka) dengan kondisi enesefalopati hepatik pasien ( makin lama ∞ makin buruk)
Pada kondisi baik uji ini harus dapat di selesaikan ± 30 detik
Skala NCT (menurut kriteria West Haven): Skala NCT
Lamanya penyelesaian NCT
0
15-30 detik
1
31-50 detik
2
51-80 detik
3
81-120 detik
4
>120 detik atau tidak dapat diselesaikan
b. Ensefalopati Hepatik klinis, ada 4 stadium yaitu:
1) Stadium 1 (prodromal : awal) Terdapat gangguan stasus mental, sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati. Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi. Tanda-tandanya:
Asteriksis : gangguan motorik yang di tandai dengan penyimpangan intermiten dari postur.
Kesulitan bicara
Kesulitan menulis
EEG (elektroensefalografi) (+)
2) Stadium 2 (Impending koma atau koma ringan) gangguan mental semakin berat, flapping tremor (tangan
bergetar), pengendalian
sfingter
kurang,
kebingungan,
disorientasi,
mengantuk, dan asteriksis. 3) Stadium 3 (Stupor) Terjadi kebingungan yang nyata dengan perubahan tingkah laku yang mencolok, penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan, asteriksis, fetor hepatik, lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek . 4) Stadium 4 (koma) pasien koma tidak sadarkan diri Penderita masuk ke dalam tingkat kesadaran koma sehingga muncul refleks hiperaktif dan tanda babinsky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya, dan tonus otot hilang.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. Hematologi
1) Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit. 2) Jika diperlukan : faal pembekuan darah. b. Biokimia darah
1) Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
2) Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum. 3) Kadar amonia darah.
4) Atas indikasi : HbsAg, anti-HCV,AFP, elektrolit, analisis gas darah. c. Urin dan tinja rutin d.
EEG
(Elektroensefalografi)
dengan
potensial
picu
visual
( visual
evoked
potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus
dalam status kejiwaan pada sirosis. e. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol). f. Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.
7. Penatalaksanaan
Ensefalopati hepatik tipe akut a. Tindakan umum
1) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif yang intensif, yaitu dengan memperhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter forley .
2) Pemantauan kesadaran, keadaan neuropsikiatri, system kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan b asa.
3) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental). b. Tindakan khusus
1) Mengurangi pemasukan protein
Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
Diet rendah protein (nabati 20 gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian
ditambahkan
10
gram
secara
bertahap
sampai
kebutuhan maintanance (40-60 gram/hari).
2) Mengurangi populasi bakteri kolon ( urea splitting organism).
Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium IIIIV, 30-50 cc tiap jam, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan.
Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol ), dosis : 0,3-0,5 gram/hari.
Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari: dapat dipakai katartik osmotic
seperti MgSO4 atau laveman, yaitu dengan memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4 Antibiotika : neomisisn 4x1-2gram/hari, peroral, untuk stadium I-II, atau
melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat rimycin), dosis : 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif. c. Obat-obatan lain
1) Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC ( comafusin hepar ) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (aminoleban) : 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
2) L-dopa : 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
3) Hindari pemakaian sedativa atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat ( dramamine ) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain, yaitu fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
4) Vitamin K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik. d. Pengobatan radikal Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati.
Ensefalopati hepatik tipe kronik Prinsip-prinsip penatalaksanaan ensefalopati hepatik tipe kronik adalah sebagai berikut:
a. Diet rendah protein, maksimal 1 gram / kg berat badan terutama protein nabati. b. Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari).
c. Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram/hari. d. Bila timbul aksaserbasi akut, sama seperti ensefalopati hepatik tipe akut. e. Perlu
pemantauan
neuromuskulernya.
jangka
panjang
untuk
penilaian
keadaan
mental
dan
f. Pembedahan elektif : colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk ensefalopati hepatik kronik stadium III-IV.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN ENSEFALOPATI HEPATIK
PENGKAJIAN
1. Biodata Pasien a. Nama
:
b. Umur
:
c. Jenis kelamin
:
d. Alamat
:
e. Pendidikan
:
f.
Pekerjaan
:
g. Suku/bangsa
:
h. Diagnosa Medis
:
2. Keluhan Utama Biasanya keluarga atau orang terdekat melaporkan bahwa adanya perubahan kepribadian dan penurunan mental.
3. Riwayat Kesehatan. a. Riwayat Penyakit Sekarang Tanyakan sejak kapan pasien mengalami keluhan seperti yang ada pada keluhan utama dan tindakan apa yang dilakukan untuk menanggulanginya. b. Riwayat Penyakit Dahulu Tanyakan pada pasien apakah pernah mengalami penyakit hati seperti sirosis hati, infeksi hati, atau apakah pasien sering mengkonsumsi alcohol sebelumnya. c. Riwayat Penyakit Keluarga Apakah ada keluarga pasien yang pernah menderita penyakit seperti yang di derita pasien sekarang.
4. Riwayat Aktifitas Sehari-hari Data dasar tergantung pada penyebab dan beratnya kerusakan atau gangguan hati. a. Aktivitas
Kelemahan
Kelelahan
Malaise
b. Sirkulasi
Bradikardi ( hiperbilirubin berat )
Ikterik pada sklera kulit, membran mukosa
c. Eliminasi
Urine gelap
Diare feses warna tanah liat
d. Makanan dan Cairan
Anoreksia
Berat badan menurun
Mual dan muntah
Peningkatan oedema
Asites
e. Neurosensori
f.
Peka terhadap rangsang
Cenderung tidur
Letargi
Asteriksis
Nyeri / Kenyamanan
Kram abdomen
Nyeri tekan pada kuadran kanan
Mialgia
Atralgia
Sakit kepala
Gatal ( pruritus )
g. Keamanan
Demam
Urtikaria
Lesi makulopopuler
Eritema
Splenomegali
Pembesaran nodus servikal posterior
h. Seksualitas
Pola hidup atau perilaku meningkat resiko terpajan
5. Pemeriksaan Fisik a. Status kesehatan umum : keadaan umum lemah, tanda-tanda vital. b. Kepala : normo cephalic, simetris, pusing, benjolan tidak ada, rambut tumbuh merata dan tidak botak, rambut berminyak, tidak rontok. c. Mata: alis mata, kelopak mata normal, konjuktiva anemis (+/+), pupil isokor sclera agak ikterus (-/ -), reflek cahaya positif, tajam penglihatan menurun. d. Telinga : sekret, serumen, benda asing, membran timpani dalam batas normal. e. Hidung: deformitas, mukosa, secret, bau, obstruksi tidak ada, pernafasan cuping hidung tidak ada. f.
Mulut dan faring : bau mulut, stomatitis (-), lidah merah merah mudah, kelainan lidah tidak ada.
g. Leher : simetris, kaku kuduk tidak ada. h. Thoraks :
Paru: gerakan simetris, retraksi supra sternal (-), retraksi intercoste (-), perkusi resonan, rhonchi -/-, wheezing -/-, vocal fremitus dalam batas normal.
Jantung: batas jantung normal, bunyi s1 dan s2 tunggal, gallop (-), mumur (), capillary refill time 2 – 3 detik.
i.
Abdomen : nyeri pada kuadran kanan atas.
6. Pemeriksaan Penunjang a. Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
Jika diperlukan : faal pembekuan darah.
b. Biokimia darah
Uji faal hati : trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
Uji faal ginjal : Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
Kadar amonia darah Tingkat ensefalopati kadar ammonia darah dalam satuan µg/dl: 1) Tingkat 0
: < 150
2) Tingkat 1
: 151 – 200
3) Tingkat 2
: 201 – 250
4) Tingkat 3
: 251 – 300
5) Tingkat 4
: > 300
c. Urin dan tinja rutin
d. EEG (Elektroensefalografi) Dengan pemerikasaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8 – 12Hz). Tingkat ensefalopati frekuensi gelombang EEG: frekuensi gelombang Alfa 1) Tingkat 0
: 8,5 – 12 siklus per detik
2) Tingkat I
: 7 – 8 siklus per detik
3) Tingkat II
: 5 – 7 siklus per detik
4) Tingkat III
: 3 – 5 siklus per detik
5) Tingkat IV : 3 siklus per detik atau negatif e. CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol). f.
Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis : peningkatan kadar ammonia serum. 2. Perubahan volume cairan : edema anasarka berhubungan dengan penurunan kadar albumin dalam serum dan penurunan tekanan osmotik intra vaskuler. 3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan penurunan nafsu makan INTERVENSI
No
1.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
INTERVENSI
RASIONAL
Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis : peningkatan kadar ammonia serum.
Observasi perubahan perilaku dan mental. Contohnya letargi, bingung, cenderung tidur, bicara lambat atau tidak jelas, dan peka rangsang. Catat terjadinya ikterik, aktivitas kejang.
Pengkajian terus menerus terhadap perilaku dan status mental penting karena fluktuasi alami dari ensefalopati hepatik.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
Menunjukkan peningkatan kadar amonia serum.
keperawatan selama 1x24 jam pasienmenunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk mencegah atau meminimalkan perubahan mental. Kriteria Hasil: Menunjukkan proses o berfikir yang logis dan terorganisasi o Tidak mudah terganggu Dapat membandingkan o dan membedakan dua benda.
2.
Perubahan volume cairan : edema anasarka berhubungan
Konsul pada orang terdekat tentang perilaku umum dan mental pasien. Orientasikan kembali pada waktu, tempat, orang sesuai kebutuhan.
Membantu dalam mempertahankan orientasi kenyataan, menurunkan bingung atau ansietas. Menurunkan rangsangan Pertahankan kenyamanan berkebihan, meningkatkan lingkungan. relaksasi, dan dapat meningkatkan koping. Menurunkan resiko cedera bila bingung, kejang, atau Pasang pengaman tempat terjadi perilaku merusak. tidur, beri pengawasan ketat. Ammonia bertanggung jawab terhadap perubahan Kolaborasi dalam mental pada ensefalopati pembatasan diet protein. hepatik. Berikan tambahan glukosa, hidrasi yang adekuat. Ukur masukan dan haluaran, timbang berat badan.
dengan penurunan kadar albumin dalam serum dan penurunan tekanan osmotik intra vaskuler.
Awasi tanda-tanda vital terutama tekanan darah.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatanpasien menunjukkan volume cairan yang stabil.
Kaji derajat edema Kriteria hasil: o Keseimbangan input dan output o Berat badan stabil Tanda vital dalam rentang o normal o Tidak ada edema
3.
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Memberikan dasar unutk perbandingan dengan status saat ini.
Ukur lingkar abdomen
Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori
Menunujukkan status volume sirkulasi, terjadinya atau perbaikan perpindahan cairan, dan respon terhadap terapi. Peningkatan tekanan darah biasanya berhubungan dengan kelebihan volume cairan, tetapi mungkin tidak terjadi karena perpindahan cairan keluar area vaskuler. Perpindahan cairan pada jaringan akibat retensi natrium dan air,penuruna albumin dan penurunan ADH. Menunujukkan akumulasi cairan diakibatkan oleh kehilangan proteon plasma atau cairan ke dalam area peritoeal.
Memberikan informasi tentang kebutuhan
berhubungan dengan penurunan nafsu makan. Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan,kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi Kriteria hasil: o Keadaan umum cukup o Turgor kulit baik o BB meningkat Tidak mengalami o malnutrisi lebih lanjut
Bantu dan dorong pasien untuk makan, jelaskan alasan tipe diet yang di berikan. Biarkan orang terdekat membantu pasien. Pertimbangakan pilihan makanan yang disukai.
Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan. Konsul dengan ahli gizi tentang diet yang sesuai.
pemasukan atau defisiensi. Diet yang tepat, penting untuk penyembuhan.
Pasien mungkin akan merasa lebih baik jika keluarga terlibat dan makan makanan yang di sukai sebanyak mungkin. Mulut kotor akan membuat rasa tidak enak pada mulut yang akan menambah anoreksia. Diet yang tepat, membantu dalam penyembuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Baradero, Mary et al. 2008. Klien Gangguan Hati : Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta : Buku Kedokteran EGC Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Jakarta : EGC Doenges E. Marilynn et al. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC Herdman T. Heather. 2010. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC Pearce C. Evelyn. 2004. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : Gramedia Wilkinson M. Judith. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan Edisi 7. Jakarta : EGC Tri Harsono. 2008. Ensefalopati http://emedicine.medscape.com/ Hepatikum gastroenterology#liver (diakses pada tanggal 16 Juni 2013)